• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berupa gerakan, tindakan atau simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pihak lain.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. berupa gerakan, tindakan atau simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pihak lain."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

7 2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah proses pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol bahasa atau gerak (non-verbal), untuk mempengaruhi perilaku orang lain. Stimulus atau rangsangan dapat berupa suara/bunyi atau bahasa lisan berupa gerakan , tindakan atau simbol-simbol yang dapat dimengerti oleh pihak lain. Oleh sebab itu reaksi atau respon dalam bentuk simbol merupakan pengaruh atau hasil proses komunikasi (Notoatmodjo, 2010). Proses komunikasi yang menggunakan stimulus atau respon dalam bentuk bahasa baik lisan maupun tulisan selanjutnya disebut komunikasi verbal. Sedangkan apabila proses komunikasi tersebut menggunakan simbol-simbol disebut komunikasi non-verbal.

Komunikasi merupakan proses dimana seorang individu berusaha untuk memperoleh pengertian yang sama melalui pengiriman pesan simbolik. Komunikasi menekankan pada tiga hal penting yaitu pertama, komunikasi melibatkan individu dan oleh karenanya pemahaman komunikasi mencakup upaya memahami bagaimana individu berhubungan dengan individu lain. Kedua, komunikasi melibatkan pengertian yang sama, artinya agar dua individu atau lebih dapat berkomunikasi, mereka harus sepakat mengenai definisi dari istilah yang digunakan sebagai alat komunikasi. Ketiga, komunikasi bersifat simbolik, yaitu gerak isyarat, bunyi, huruf,

(2)

angka dan kata-kata hanya dapat mewakili atau mengira-ngirakan gagasan yang hendak dikomunikasikan.

2.2 Unsur-unsur Komunikasi

Komunikasi berlangsung apabila terjadi kesamaan makna dalam pesan yang diterima oleh komunikan. Dengan kata lain, komunikasi adalah proses membuat sebuah pesan setala (tuned) bagi komunikator dan komunikan. Komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan oleh komunikator cocok dengan kerangka asuan (frame of reference), yakni paduan pengalaman dan pengertian (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan (Liliweri, 2007).

Menurut Wilbur Schramm untuk dapat berkomunikasi diperlukan paling sedikit tiga unsur yaitu the source, the message dan the destination, yang diperinci menjadi lima unsur komunikasi yaitu :

1. Sumber (Source)

Adalah pihak yang mensponsori atau ide yang melandasi kegiatan-kegiatan komunikasi. Sumber dapat merupakan sebuah lembaga, atau sebuah kejadian atau sipenyampai pesan itu sendiri.

2. Komunikator (Encoder)

Komunikator adalah pihak yang menjalankan atau yang menyampaikan pesan dalam suatu proses komunikasi. Seorang komunikator dalam suatu proses komunikasi terkadang dapat berubah menjadi komunikan dan sebaliknya komunikan dapat berubah menjadi komunikator. Komunikator dalam melancarkan

(3)

kegiatan komunikasi dapat melakukannya dalam situasi antar personal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa.

3. Pesan (Message)

Pesan yaitu materi pernyataan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan. Materi pernyataan ini dapat diwujudkan secara lisan dan tulisan, juga dalam bentuk gambar, warna, isyarat dan segala lambang yang ada di alam pikiran manusia, asal saja lambang-lambang ini sama-sama dapat dipahami oleh komunikator maupun komunikan.

Wilbur Schramm menampilkan apa yang ia sebut “The condition of success in communication” yakni kondisi yang harus dipatuhi jika kita menginginkan agar suatu pesan membangkitkan tanggapan yang kita kehendaki:

1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian komunikan.

2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan komunikan sehingga sama-sama dimengerti. 3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikator dan menyarankan

beberapa cara untuk memperoleh kebutuhan tersebut.

4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi yang layak bagi situasi kelompok dimana komunikan berada pada ia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki.

(4)

4. Komunikan / Sasaran (Decoder)

Komunikan atau sasaran adalah orang atau pihak yang menerima pesan dalam suatu kegiatan komunikasi. Komunikan dalam suatu kegiatan komunikasi dapat berbentuk : - Masyarakat umum (general public).

- Masyarakat khusus (special public).

- Individu-individu yang berasal dari suatu particular group atau massa seperti pendengar radio, pemirsa televisi, pembaca surat kabar dan lain-lain.

5. Tujuan (Destination)

Setiap komunikasi yang dilancarkan pasti mempunyai tujuan, yakni bagaimana hasil dari komunikasi yang dijalankan mendapat umpan balik positif atau dengan kata lain komunikan dapat memberikan respon/ tanggapan yang merupakan umpan balik (feed back) yang positif (Meinanda, 1981).

Model komunikasi David K.Berlo dalam Cangara (2006) melibatkan empat komponen komunikasi meliputi: komunikator/sumber, pesan, media/saluran, komunikan/penerima. David K. Berlo menjelaskan bahwa proses komunikasi bersifat timbal balik, berawal dari seorang sumber informasi (komunikator) yang menciptakan dan mengirimkan pesan kepada penerima atau komunikan. Selanjutnya komunikan memberi tanggapan, respon, umpan balik atau feed back kepada komunikator.

(5)

2.3 Bentuk-bentuk Komunikasi

Secara garis besar komunikasi dibagi menjadi empat bentuk, yaitu komunikasi intrapersonal, komunikasi interpersonal, komunikasi massa, dan komunikasi organisasi (Liliweri, 2007). Komunikasi intrapersonal adalah komunikasi yang dilakukan pada diri sendiri, yang terdiri dari sensasi, persepsi, memori dan berpikir. Komunikasi ini biasanya dilakukan oleh seseorang ketika merenung tentang dirinya atau pada saat melakukan evaluasi diri.

Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan kepada orang lain atau komunikasi yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. Komunikasi massa adalah komunikasi yang dilakukan dengan perantara atau media komunikasi yang ada dimasyarakat seperti radio, televis, film, pers, dan lain-lain. Komunikasi organisasi adalah komunikasi yang terjadi antara organisasi, institusi, atau lembaga. Organisasi juga dapat terjadi antara unit misalnya antara bagian, antarseksi atau subbagian, antar departemen dan sebagainya.

Agar proses komunikasi tentang kesehatan efektif dan terarah dapat dilakukan melalui bentuk komunikasi interpersonal yang merupakan salah satu bentuk komunikasi yang paling efektif, karena antara komunikan dan komunikator dapat langsung tatap muka, sehingga timbul stimulus yakni pesan atau informasi yang disampaikan oleh komunikan, langsung dapat direspon atau ditanggapi pada saat itu juga.

(6)

2.3.1 Pengertian Komunikasi Interpersonal

Komunikasi antarpribadi (interpersonal communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal atau nonverbal. Bentuk khusus dari komunikasi antarpribadi ini adalah komunikasi diadik (dyadic communication) melibatkan hanya dua orang, seperti suami istri, dua sejawat, dua sahabat dekat, guru-murid dan sebagainya (Mulyana, 2011).

Menurut Effendi dalam Sunarto (2003), pada hakekatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antar komunikator dengan komunikan, komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung, komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan, komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau negatif, berhasil atau tidaknya. Jika ia dapat memberikan kesempatan pada komunikan untuk bertanya seluas-luasnya.

Komunikasi interpersonal adalah interaksi tatap muka antar dua atau beberapa orang dimana pengirim dapat menyampaikan pesan secara langsung dan penerima pesan dapat menerima dan menanggapi secara langsung pula (Hardjana, 2003). Sehingga komunikasi interpersonal atau komunikasi antar pribadi dapat meningkatkan hubungan insani (humans relations), menghindari dan mengatasi konflik-konflik pribadi, mengurangi ketidakpastian sesuatu, serta berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan orang lain (Cangara, 1998).

(7)

Proses komunikasi interpersonal adalah suatu proses dua arah, lingkaran interaktif dimana pihak-pihak yang berkomunikasi saling bertukar pesan. Kedua pihak menjadi pengirim maupun penerima pesan. Dalam proses ini si penerima menafsirkan pesan pengirim sebelumnya dan memberi tanggapan dengan pesan yang baru. Dengan kata lain komunikasi interpersonal adalah tatap muka penyampaian informasi dan saling pengertian antara dua orang atau lebih.

2.3.2 Bentuk Komunikasi Interpersonal

Bentuk komunikasi dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu : 1. Komunikasi verbal (verbal communication)

Komunikasi verbal menggunakan kat-kata, mencakup komunikasi bahasa lisan. Bahasa terbanyak dan terpenting digunakan dalam berkomunikasi. Hal ini disebabkan karena “bahasa” selain dapat mewakili kenyataan konkrit dalam dunia sekeliling, juga dapat mewakili hal-hal yang abstrak.

2. Komunikasi nonverbal (nonverbal communication).

Yakni yang menyangkut gerak-gerik, sikap, ekspresi wajah, penampilan, dan lain sebagainya (Riswandi, 2008).

2.3.3 Faktor-faktor Efektivitas Komunikasi Interpersonal

Menurut teori Devito (1997), faktor-faktor efektifitas komunikasi interpersonal dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu : 1. Keterbukaan (Openness)

Kualitas keterbukaan mengacu pada sedikitnya tiga aspek dari komunikasi interpersonal. Komunikator interpersonal yang efektif harus terbuka kepada orang

(8)

yang diajaknya berinteraksi. Ini tidaklah berarti bahwa orang harus dengan segera membukakan semua riwayat hidupnya, memang ini mungkin menarik, tapi biasanya tidak membantu komunikasi. Sebaliknya, harus ada kesediaan untuk membuka diri mengungkapkan informasi yang biasanya disembunyikan, asalkan pengungkapan diri ini patut. Kesediaan komunikator untuk bereaksi secara jujur terhadap stimulus yang datang. Orang yang diam, tidak kritis, dan tidak tanggap pada umumnya merupakan peserta percakapan yang menjemukan. Kita ingin orang bereaksi secara terbuka terhadap apa yang kita ucapkan. Dan kita berhak mengharapkan hal ini. Tidak ada yang lebih buruk daripada ketidak acuhan, bahkan ketidaksependapatan jauh lebih menyenangkan. Kita memperlihatkan keterbukaan dengan cara bereaksi secara spontan terhadap orang lain.

2. Empati atau sebagai ”kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu, dari sudut pandang orang lain itu, melalui kacamata orang lain itu.” Bersimpati, di pihak lain adalah merasakan bagi orang lain atau merasa ikut bersedih. Sedangkan berempati adalah merasakan sesuatu seperti orang yang mengalaminya. Orang yang empati mampu memahami motivasi dan pengalaman orang lain, perasaan dan sikap mereka, serta harapan dan keinginan mereka untuk masa mendatang.

3. Sikap mendukung (supportiveness). Suatu konsep yang perumusannya dilakukan berdasarkan karya Jack Gibb. Komunikasi yang terbuka dan empati tidak dapat berlangsung dalam suasana yang tidak mendukung. Kita memperlihatkan sikap

(9)

mendukung dengan bersikap (1) deskriptif, bukan evaluatif, (2) spontan, bukan strategik, dan (3) provisional, bukan sangat yakin.

4. Sikap Positif (Positiveness). Komunikasi interpersonal terbina jika seseorang memiliki sikap positif terhadap diri mereka sendiri.

5. Kesetaraan. Komunikasi interpersonal akan lebih efektif bila suasananya setara, artinya harus ada pengakuan secara diam-diam bahwa kedua pihak sama-sama bernilai dan berharga, dan bahwa masing-masing pihak mempunyai sesuatu yang penting untuk disumbangkan. Dalam suatu hubungan interpersonal yang ditandai oleh kesetaraan, ketidak-sependapatan dan konflik lebih dillihat sebagai upaya untuk memahami perbedaan yang pasti ada daripada sebagai kesempatan untuk menjatuhkan pihak lain. Kesetaraan tidak mengharuskan kita menerima dan menyetujui begitu saja semua perilaku verbal dan nonverbal pihak lain. Kesetaraan berarti kita menerima pihak lain, atau menurut istilah Carl rogers, kesetaraan meminta kita untuk memberikan ”penghargaan positif tak bersyarat” kepada orang lain.

2.4 Kinerja

2.4.1 Pengertian Kinerja

Kinerja adalah penampilan hasil karya personal, baik secara kualitas maupun kuantitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personal. Penampilan hasil karya tidak terbatas kepada

(10)

personal yang memangku jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personal di dalam organisasi (Illyas, 2001).

Menurut Mangkunegara (2002), kinerja adalah hasil kerja secara kuantitas dan kualitas yang dicapai oleh pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggungjawab yang diberikan kepadanya. Baik tidaknya karyawan dalam menjalankan tugas yang diberikan perusahaan dapat diketahui dengan melakukan penilaian terhadap kinerja karyawannya.

Selain dari pada itu juga ada beberapa ahli yang mengatakan bahwa kinerja atau prestasi kerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.

2.4.2 Faktor-faktor yang Memengaruhi Kinerja

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja antara lain faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Secara psikologis faktor kemampuan terdiri dari kemampuan pontensial (IQ) dan kemampuan reality (knowledge + skill) artinya seseorang yang memiliki IQ di atas rata-rata (110-120) apalagi superior dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, akan lebih mudah mencapai kinerja maksimal.

Faktor motivasi, motivasi merupakan suatu sikap seseorang terhadap situasi kerja dilingkungan organisasinya, mereka yang bersikap positif terhadap situasi kerjanya akan menunjukkan motivasi kerja tinggi dan sebaliknya jika mereka bersikap negatif terhadap situasi kerjanya akan menunjuk motivasi kerja yang rendah.

(11)

Situasi kerja yang dimaksud seperti hubungan kerja, fasilitas kerja, iklim kerja, kebijakan dan pimpinan. Misalnya, terkait dengan kinerja perawat, khususnya dalam menghadapi berbagai tantangan profesinya, kesiapan dan kemampuan perawat dituntut untuk selalu ditingkatkan. Kualitas sumberdaya perawat sangat menentukan tingkat keberhasilan pelayanan suatu organisasi pelayanan kesehatan.

Motivasi merupakan interaksi antara perilaku dan lingkungan sehingga dapat meningkatkan, menurunkan atau mempertahankan perilaku. Menurut Robbins, (2006) Kinerja merupakan ukuran hasil kerja yang mana hal ini menggunakan sejauh mana aktivitas seseorang dalam melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan yang ditetapkan. a. Faktor kemampuan (ability) b. Faktor motivasi (motivation) kondisi yang terarah untuk mencapai tujuan kerja. Motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi kerja. Davis (2004) menyatakan bahwa faktor-faktor mempengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (Ability) dan faktor motivasi (Motivation).

Secara psikologis kemampuan karyawan terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (Knowledge+Skill). Artinya karyawan yang memiliki IQ diatas rata-rata dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam mengerjakan pekerjaan, maka ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Sedangkan Robbins (2006), menambahkan dimensi baru yang menentukan kinerja seseorang yaitu kesempatan. Menurutnya, meskipun seseorang bersedia (motivasi) dan mampu (kemampuan) ada rintangan yang menjadi kendala kinerja seseorang, yaitu kesempatan yang ada, mungkin berupa lingkungan kerja

(12)

yang tidak mendukung, peralatan, pasokan bahan, rekan kerja yang tidak mendukung, prosedur kerja yang tidak jelas dan sebagainya.

Mangkunegara mengemukakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Karyawan yang memiliki pengetahuan yang memadai untuk jabatannya dan ketrampilan dalam mengerjakan pekerjaannya sehari-hari, maka ia lebih mudah untuk mencapai kinerja yang diharapkan.

Menurut hasil studi Lazerb dan Wikstrom, aspek-aspek yang dinilai dalam kinerja dapat dikelompokkan menjadi :

1. Kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik dan peralatan yang digunakan untuk melaksnakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya.

2. Kemampuan konseptual,yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas tempat bekerja atau pada intinya seorang individu tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang pegawai.

3. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan bekerja sama dengan orang lain, memotivasi pegawai/staf, komunikasi dengan pasien, dan lain lain.

Dalam Pedoman Peningkatan Kinerja Perawat di Puskesmas (Panduan bagi Kabupaten/Kota) dari Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Depkes RI Tahun 2006, dalam pelaksanaan kegiatan Perawat Puskesmas diharapkan mempunyai kompetensi minimal dalam:

(13)

1. Promosi kesehatan dalam rangka pemberdayaan individu, keluarga, kelompok/masyarakat untuk hidup sehat secara mandiri.

2. Pengamatan penyakit menular dan tidak menular (surveillance) khususnya mengidentifikasi faktor resiko terjadinya penyakit/masalah kesehatan; menemukan kasus secara dini, mengidentifikasi, pelacakan; melaporkan kasus.

3. Pelayanan asuhan keperawatan terhadap individu, keluarga, kelompok/masyarakat dengan masalah kesehatan prioritas terkait dengan komitment global, nasional, maupun daerah (P2M, Gizi, KIA-KB, Kesling, dan lainnya), antara lain: (a) Tindakan keperawatan langsung (direct care), (b) Pendidikan/penyuluhan kesehatan, (c) Pengobatan dasar sesuai kewenangan dan tata laksana standar, (d) Penanggulangan gawat darurat dasar termasuk penanggulangan bencana alam, (e) Pencegahan infeksi.

4. Memotivasi individu, keluarga, kelompok masyarakat dalam pembentukan pelayanan kesehatan yang bersumberdaya masyarakat (contoh Posyandu, Posyandu Usila, Pos obat desa, dan lainnya).

5. Membina pelayanan kesehatan yang bersumber daya masyarakat, misalnya melakukan pembinaan pelayanan Posyandu, Posyandu Usila, Pos obat desa, dan lainnya) di wilayah kerjanya.

6. Konseling keperawatan/kesehatan terhadap individu dan keluarga untuk membantu memecahkan masalah.

(14)

7. Pelatihan dan atau penyegaran kader/masyarakat untuk mengatasi masalah kesehatan di wilayah kerja.

8. Kerjasama tim dengan tenaga kesehatan lain, baik lintas program maupun lintas sektor.

9. Monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan baik oleh Perawat dan masyarakat.

10. Pendokumentasian kegiatan termasuk pencatatan dan pelaporan sesuai ketentuan.

2.4.3 Kinerja Perawat dan Pelayanan Kesehatan

Kinerja menjadi tolak ukur keberhasilan pelayanan kesehatan yang menunjukkan akuntabilitas lembaga pelayanan dalam kerangka tata pemerintahan yang baik (good governance). Dalam pelayanan kesehatan, berbagai jenjang pelayanan dan asuhan pasien (patient care) merupakan bisnis utama, serta pelayanan keperawatan merupakan mainstream sepanjang kontinu asuhan. Upaya untuk memperbaiki mutu dan kinerja pelayanan klinis pada umumnya dimulai oleh perawat melalui berbagai bentuk kegiatan, seperti: gugus kendali mutu, penerapan standar keperawatan, pendekatan-pendekatan pemecahan masalah, maupun audit keperawatan.

Menurut Depkes RI (2000), sistem Penilaian Kinerja Pegawai di Puskesmas adalah penilaian sistematik tentang prestasi kerja, disiplin dan potensi pegawai yang dilaksanakan oleh atasan langsung pada bawahannya. Menurut Berwick (2001), mata rantai terdepan yang perlu diperhatikan dalam perbaikan mutu dan kinerja pelayanan

(15)

kesehatan adalah pengalaman pasien dan masyarakat terhadap pelayanan yang mereka terima. Sementara menurut WHO (2002), pengembangan Manajemen Kinerja merupakan pendekatan perbaikan proses pada sistem mikro yang mendukung dan meningkatkan kompetensi klinis perawat dan bidan untuk bekerja secara profesional dengan memperhatikan etika, tata nilai, dan aspek legal dalam pelayanan kesehatan. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja klinis perawat dan bidan melalui kejelasan definisi peran dan fungsi perawat atau bidan, pengembangan profesi, dan pembelajaran bersama.

Terdapat beberapa alasan penting terkait penerapan kualitas pelayan kesehatan dalam organisasi pelayanan kesehatan, antara lain (Pohan, 2007)

1. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan dapat menjamin organisasi pelayanan kesehatan akan selalu menghasilkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, sebuah pelayanan kesehatan yang sesuai dengan harapan dan kebutuhan pasien.

2. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menjadikan organisasi pelayanan kesehatan semakin efisien.

3. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan membuat organisasi pelayanan kesehatan menjadi terhormat, terkenal dan selalu dicari oleh siapapun yang membutuhkan pelayanan kesehatan yang berkualitas, serta menjadi tempat kerja menyenangkan bagi tenaga kesehatan.

4. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan terutama akan memperhatikan keluaran pelayanan kesehatan, sehingga setiap pelaksanan

(16)

tugas harus dilakukan dengan benar agar pelayanan kesehatan benar-benar bermanfaat bagi pasien.

5. Penerapan pendekatan kualitas pelayanan kesehatan akan menumbuhkan kepuasan kerja, komitmen, dan peningkatan moral profesi pelayanan kesehatan, serta akhirnya akan menimbulkan kepuasan pasien.

Sementara menurut Depkes RI (2000), beberapa hal yang penting tentang kinerja perawat antara lain ;

1. Kinerja mencerminkan hasil akhir seseorang, yaitu perbandingan antara target dan tingkat pencapaian

2. Kinerja berkaitan dengan seluruh tugas-tugas yang diberikan kepada seseorang

3. Kinerja diukur dalam waktu tertentu

Menurut Sedarmayanti (2004), proses peningkatan kinerja memberi kesempatan terbaik untuk membangun pengalaman yang terus berkembang. Jadi, untuk membuat peningkatan yang berarti dalam kinerja harus terus berusaha mencapai tingkat terbaik. Peningkatan tersebut memerlukan berbagai kebijakan dan program yang dirancang untuk meningkatkan 3R (result, resources, dan ratio) organisasi.

Kinerja mengisyaratkan adanya hubungan antara barang dan jasa yang dihasilkan dan sumber-sumber masukan yang digunakan. Menurut Dharma (2005), pengelolaan kinerja karyawan memiliki implikasi yang luas daripada hanya sekedar meningkatkan kinerja individu dan menyediakan landasan bagi penentuan tingkat

(17)

gaji/upah berdasarkan kinerja karyawan. Pengelolaan kinerja juga berkenaan dengan tiga masalah kunci dalam kehidupan berorganisasi yaitu manajemen sumber daya manusia, pengembangan yang berkesinambungan dan kerjasama tim.

Pengelolaan kinerja dapat memenuhi sejumlah sasaran manajemen sumber daya manusia yang mendasar, terutama yang terkait dengan :

1. Mencapai tingkat kinerja yang tinggi yang dapat dipertahankan dari sumberdaya manusia suatu organ isasi

2. Mengembangkan karyawan sampai kepada kapasitas kerja serta potensinya 3. Menciptakan lingkungan di mana potensi laten dari para karyawan dapat

direalisasi

4. Memperkuat atau mengubah budaya organisasi. Terdapat empat dimensi tolak ukur kinerja yaitu :

1. Kualitas, yaitu; tingkat kesalahan, kerusakan dan kecermatan. 2. Kuantitas, yaitu; jumlah pekerjaan yang dihasilkan.

3. Penggunaan waktu dalam bekerja, yaitu; tingkat ketidak hadiran, keterlambatan, dan waktu kerja efektif/jam kerja hilang.

4. Kerjasama dengan orang lain dalam bekerja.

Sementara Parasuraman et al. (1994), berpendapat bahwa beberapa tolak ukur kinerja dalam dimensi kualitas pelayanan, antara lain :

1. Kehandalan (reliability), terdiri dari kemampuan karyawan memberikan pelayanan yang dijanjikan dengan tepat dan segera.

(18)

2. Daya tanggap (responsiveness), keinginan karyawan untuk membantu pelanggan dan memberikan pelayanan dengan tanggap.

3. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan kejujuran yang dimiliki karyawan, bebas dari bahaya dan resiko.

4. Empati (emphaty), meliputi kemudahan karyawan dalam melakukan hubungan, komunikasi, dan memahami kebutuhan pelanggan.

5. Keberwujudan (tangibles), meliputi fasilitas fisik, peralatan, dan penampilan karyawan.

2.5 Landasan Teori

Menurut teori komunikasi Devito (1989) bahwa faktor yang berpengaruh terhadap kinerja perawat adalah efektivitas komunikasi interpersonal yang dimulai dengan lima kualitas umum yang dipertimbangkan yaitu keterbukaan (openness), empati (empathy), sikap mendukung (supportiveness), sikap positif (positiveness), dan kesetaraan (equality). Berdasarkan uraian tugas pokok dan fungsi perawat puskesmas, kinerja perawat yang ditinjau dari segi : kehandalan, daya tanggap, jaminan, empati dan keberwujudan.

(19)

2.6 Kerangka Konsep Penelitian

Variabel-variabel yang merupakan objek dalam penelitian ini dikumpulkan dan dihubungkan satu dengan yang lainnya dalam bentuk bagan sesuai dengan tujuan penelitian, sebagai kerangka konsep penelitian (Widodo, 2004: 100) sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Komunikasi Interpersonal Kepala Puskesmas - Keterbukaan - Empati - Sikap Mendukung - Sikap Positif - Kesetaraan

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Kinerja Perawat - Kehandalan - Daya tanggap - Jaminan - Empati - Keberwujudan

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya tugas akhir ini diharapkan sebuah komunikasi jaringan antar komputer dapat lihat secara real time dengan menggunakan sebuah aplikasi monitoring yang

Berdasarkan analisis multivariat, faktor yang dominan terhadap kejadian stroke adalah pola konsumsi minuman berkafein dengan OR 2,344 yang artinya orang yang

Penanganan fisioterapi yang dapat dilakukan pada pasien yang mengalami inkontinensia urin meliputi kegel exercise dan core stability exercise, kegel exercise adalah latihan

Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Ukuran Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang dan Nilai Perusahaan (Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di BEI)..

Hasil informasi baru merupakan komponen output yang dapat disimpan untuk digunakan di masa yang akan datang dan ditampilkan dalam layar komputer atau dicetak

Adapun tujuan penelitian dari Perancangan Sistem Informasi penerimaan dan penyaluran Zakat Di Kementerian Agama Kabupaten Pidie Berbasis Web ini adalah:.. 1.) Dapat