• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA TEOLOGI TRADISI MAPENDEM SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN HUKUM ADAT (AWIG-AWIG) DI DESA ADAT PUJUNGAN KABUPATEN TABANAN. Oleh : I Nyoman Suadnyana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA TEOLOGI TRADISI MAPENDEM SEBAGAI WUJUD PELAKSANAAN HUKUM ADAT (AWIG-AWIG) DI DESA ADAT PUJUNGAN KABUPATEN TABANAN. Oleh : I Nyoman Suadnyana"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

19

MAKNA TEOLOGI TRADISI MAPENDEM SEBAGAI WUJUD

PELAKSANAAN HUKUM ADAT (AWIG-AWIG) DI DESA ADAT PUJUNGAN KABUPATEN TABANAN

Oleh :

I Nyoman Suadnyana ABSTRAK

Desa adat Pujungan secara geografis terletak di lereng gunung Batukaru, dimana secara teologi gunung Batukaru sebagai tempat pemujaan Ista Dewata yaitu Tuhan yang bermanifestasi sebagai Mahadewa. Secara tata surya bahwa gunung Batukaru terletak di sisi Barat. Desa adat Pujungan merupakan salah satu desa yang mengempon gunung Batukaru, disamping desa lain seperti desa Sanda, desa Batungsel dan desa Pempatan. Masyarakat desa Pujungan secara turun temurun tidak boleh malakukan pembakaran jenazah dalam kegiatan Pitra Yadnya. Diyakini asap dari hasil pembakaran jenazah dapat mengotori (cemer) gunung Batukaru sebagai stana Hyang Mahadewa. Bertitik tolak dari hal tersebut maka didalam melakukan kegiatan apabila ada orang meninggal (Pitra Yadnya) upacaranya tidak dilakukan dengan cara membakar tetapi melalui proses penguburan (mapendem).

ABSTRACT

The traditional village of Pujungan is geographically located on the slopes of the Batukaru mountain, where theologically the Batukaru mountain is a place of worship for Ista Dewata, namely God who manifests as Mahadeva. In the solar system, the Batukaru mountain is located on the West side. The traditional village of Pujungan is one of the villages that adhere to the Batukaru mountain, in addition to other villages such as Sanda village, Batungsel village and Pempatan village. The people of Pujungan village have not been allowed to burn their bodies from generation to generation during their Pitra Yadnya activities. It is believed that the smoke from the burning of the corpse can pollute (cemer) Mount Batukaru as the place for Hyang Mahadeva. Starting from this, in carrying out activities when a person dies (Pitra Yadnya) the ceremony is not done by burning but through a burial process (mapendem).

(2)

20 I. PENDAHULUAN

Agama Hindu adalah agama yang bersifat dinamis, fleksibel, dan universal. Dalam perkembangannya tidak membawa budaya sehingga memberikan peluang terhadap bangsa dan negara lain untuk mempraktekkan ajaran agamanya sesuai dengan peradaban bangsa-bangsa yang ada di dunia ini (Desa, Kala, Patra). Hal ini akan mampu menumbuh kembangkan seni budaya, sistem sosial, dan praktek kehidupan umat lainnya yang penuh dengan nilai-nilai ajaran Agama Hindu (Wibawa, 2020). Semua itu ditampilkan dengan berbagai macam perbedaan, namun tetap berjiwakan nilai-nilai terkandung dalam Weda. Maksudnya adalah setiap pelaksanaan acara keagamaan yang berhubungan dengan adat istiadat, tradisi dan budaya merupakan suatu media untuk menyampaikan ajaran agama Hindu. Strategi agama yang universal tidak menentang munculnya kepercayaan-kepercayaan atau agama-agama tetapi berusaha menyuburkan kepercayaan yang telah berkembang. Hal ini merupakan salah satu alasan bahwa ajarannya mudah diterima oleh masyarakat di berbagai belahan dunia.

Menurut Subagiasta, (2008: 1) Bali merupakan pulau kecil yang sebagian besar masyarakatnya menganut agama Hindu, hal ini dapat dilihat dalam pelaksanaan upacara-upacara agama Hindu di Bali yang pada hari raya tertentu masyarakat melaksanakan kegiatan agama sesuai dengan adat dan tradisinya masing-masing sebagai aplikasi dari tri kerangka dasar agama Hindu (tattwa, etika dan ritual) dalam pemahaman

dan pelaksanaan ajaran Agama Hindu (Kemenuh, 2020).

Pelaksanaan-pelaksanaan upacara keagamaan Hindu di Bali nampaknya sangat meriah dan semarak karena dijiwai oleh ajaran agamanya dan di topang oleh adat istiadatnya yang kuat. Setiap pelaksanaan upacara disertai dengan banten sebagai sarananya. Yajña mendidik kita untuk mendekatkan diri pada alam lingkungan sekitar sebagai kepercayaan terhadap adanya sekala

dan niskala. Menurut Swami

Sivananda (2005: 96) menjelaskan bahwa

Ada lima upacara kurban yang dilaksanakan oleh setiap kepala keluarga yaitu Brahma Yajña, Dewa Yajña, Pitra Yajña, Bhuta Yajña dan

Manusia Yajña. Sebagaimana

diketahui juga dalam ajaran agama Hindu, secara garis besar dikenal lima Yajña yang lazim disebut dengan Panca Yajña meliputi: Dewa Yajña, Rsi Yajña, Pitra Yajña, Manusia Yajña dan Bhuta Yajña (Hadriani, 2020).

Menurut Swastika, (2008: 1) Dewa Yajña yaitu persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, Pitra Yajña yaitu persembahan kepada para leluhur, Manusia Yajña yaitu persembahan kehadapan sesama manusia, Rsi Yajña yaitu persembahan kepada beliau yang disucikan atau para Pandita dan Bhuta Yajña yaitu korban suci yang ditujukan kehadapan bhuta kala. Dalam pelaksanaan Panca Yajña tidak dapat dilaksanakan secara tersendiri, ini merupakan suatu keterkaitan di antara satu dengan yang lain, artinya pelaksanaannya tidak dapat meninggalkan Yajña lainnya.

(3)

21 Dengan demikian Panca Yajña dalam pelaksanaan selalu terkait dengan Yajña yang lain yang merupakan bagiannya, hanya saja hal ini dapat dilihat dari porsi pelaksanaannya yang sangat menonjol dari salah satu diantaranya (Ningrum, 2020).

Di desa adat Pujungan dalam pelaksanaan upacara yadnya (Panca Yadnya) mengacu kepada aturan-aturan yang ada dalam bentuk hukum adat (awig-awig). Apabila pelaksanaan Panca Yadnya tidak sesuai dengan hukum adat (awig – awig) maka akan dikenakan sangsi. Sebagai salah satu desa yang ngempon pura Batukaru yang secara teologi adalah sebagai stana dari Hyang Mahadewa, untuk pelaksanaan dewa yadnya kalau upacara yang dilakukan besar maka pada bulan oktober (sasih kapat) dan bulan April (sasih kadasa) menghaturkan sesajen memakai binatang kerbau. Begitu perlakuan desa adat pujungan untuk menjaga kesucian gunung batukaru, maka pelaksanaan upacara pembakaran jenazah tidak dilakukan karena dianggap membuat kotor (cemer) stana mahadewa (Gunung Batukaru), dan hal ini dituangkan dalam bentuk hukum adat (awig-awig) desa adat pujungan (Srilaksmi, 2020).

Aturan yang melarang pembakaran jenazah dalam upcara Pitra Yadnya adalah:

“Sakalwiring pitra yadnya nenten kedadosan ngeseng sawa utami sakalwir niasa-niasa sawa mekadi sekah sawa (jemek/tangunan) ring setra, ring karang paumahan muah ring wewidangan desa pakraman Pujungan”.

(Awig-awig desa adat Pujungan Sukerta Tata Agama, Sargah IV Palet I Pawos 34)Terjemahannnya: Setiap upacara Pitra Yadnya tidak diperbolehkan membakar jenazah atau simbol-simbol jenazah di kuburan, pekarangan perumahan atau di wilayah desa pakraman Pujungan (Srilaksmi, 2020).

II. PEMBAHASAN

Teologi dirumuskan sebagai usaha sistematis untuk menampilkan, menafsirkan dan membenarkan kepercayaan para dewa-dewa dan atau Tuhan dengan cara yang konsisten dan bermakna. William memandang teologi sebagai suatu disiplin yang bertumpu pada suatu kebenaran yang diwahyukan dan tidak tergantung pada filsafat maupun ilmu. Objeknya adalah Tuhan; eksistensi-Nya, esensi-Nya dan aktivitas-Nya. Pandangan lain menyatakan teologi sebagai ilmu yang mengkaji hakikat Tuhan dan hubungan Tuhan dengan manusia dan alam semesta. Konsep teologi Hindu dalam penelitian ini adalah Siwatatwa. Ketuhanan dalam Siwatatwa menyebutkan bahwa : Tuhan yang Esa, Tuhan sumber segala, Tuhan berada dimana- mana, Tuhan bersifat imanen dan transenden (Suadnyana, 2020).

2.1. Tuhan adalah Esa adanya Ajaran ketuhanan dalam Weda adalah ajaran yang mengajarkan bahwa Tuhan adalah Esa adanya, namun Ia meliputi segala, mempunyai banyak nama. Ia yang Esa berada pada semua yang ada, semua yang ada berada pada Yang Esa. Kutipan-kutipan Weda di bawah ini

(4)

22 menyatakan hal itu (Susila & Karmini, 2019).

“Indram mitram varuna agnim

āhur atho divyah sasuparno

garutmān,

ekam sad viprā bahudhā vadantyagnim yamam mātariśvānam āhuh”

(Rg Veda I.164.46) Terjemahannya :

Mereka menyebutkan Indra, Mitra, Varuna, Agni dan Dia yang bercahaya yaitu Garutman yang bersayap elok.’ ‘Satu itu (Tuhan) sang bijaksana menyebut dengan banyak nama seperti Agni, Yama, Matarisvan.

Dalam Siwatattwa yaitu dalam lontar Jnanasiddhanta kita dapati uraian tentang Tuhan yang senada dengan isi mantra Veda tersebut di atas. Uraian itu adalah sebagai berikut :

“Sa eko bhagavān sarvah śiva kārana kāranam, aneko viditah sarvah catur vidhasya kāranam.”

“Ekatwānekatwa swalaksana

Bhattāra. Ekatwa ngaranya,

Kahidêp makalaksana ng Śiwatattwa.

Ndan tunggal, tan rwatiga

kahidepanira. Mangekalaksana Śiwa kārana juga, tan paprabheda.” “Aneka ngaranya kahidêpan Bhattāra makalaksana caturdhā.

Caturdhā ngaranya laksananiran sthula sūksma paraśūnya”

Terjemahannya :

Sifat Bhattāra adalah eka dan aneka. Eka (esa) artinya Ia dibayangkan

bersifat Śiwatattwa. Ia hanya Esa, tidak dibayangkan dua atau tiga. Ia bersifat Esa saja sebagai Śiwakārana (Śiwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhattāra dibayangkan bersifat caturdhā artinya adalah sthūla suksma para śūnya.

Pelaksanaan upacara tradisi mapendem menggunakan peralatan atau disebut upakara dalam bentuk sesaji (banten). Jadi upakara adalah sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tujuan yang dimaksud adalah dapat menghubungkan diri dengan penuh kesucian kehadapan Tuhan beserta manifestasinya yang sedang dipuja. Banten yang bermakna bahwa Tuhan Esa Adanya yaitu : Daksina.

Daksina disebut Juga "Yajña Patni" yang artinya istri atau sakti daripada Yajña. Dalam lontar Yajña Prakerti disebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru/ Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa. Daksina merupakan suatu banten yang memiliki fungsi sebagai perwujudan Gayatri Maha Mantram (Reg Veda III.62.10). Unsur-unsur yang membentuk Daksina, diurut dari isi terbawah hingga ke atas yaitu:

1. Alas

Bedogan/Srembeng/wakul/katung terbuat dari janur/slepan yang bentuknya bulat dan sedikit panjang serta ada batas pinggirnya. Alas Bedogan ini lambang pertiwi unsur yang dapat dilihat dengan jelas.

2. Bedogan/Srembeng/wakul/katung/ srobong Daksina Bedogan terbuat dari janur/slepan yang dibuat

(5)

23 melingkar dan tinggi, seukuran dengan alas wakul. Bedogan bagian tengah ini adalah lambang Akasa yang tanpa tepi. Srembeng Daksina juga merupakan lambang dari hukum Rta (Hukum Abadi Tuhan). 3) Tampak dibuat dari dua potongan janur lalu dijahit sehinga membentuk tanda tambah.

Tampak adalah lambang

keseimbangan baik makrokosmos maupun mikrokosmos. Tampak juga melambangkan swastika, yang artinya semoga dalam keadaan baik.

4) Beras yang merupakan makanan pokok melambang dari hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan manusia di alam raya ini (Wiana, 2001: 26). Beras merupakan salah satu ciri dari sekte waisnawa di mana Dewi Sri adalah sakti Dewa Wisnu merupakan dewi kesuburan (beras).

5) Sirih tempel/ Porosan terbuat dari daun sirih (lambang Dewa wisnu/sekte waisnawa), kapur (lambang Dewa siwa/sekte saiwa) dan pinang (lambang Dewa brahma/sekte brahma) diikat sedemikian rupa sehingga menjadi satu, porosan adalah lambang pemujaan.

6) Kelapa adalah buah serba guna, yang juga simbol Pawitra (air keabadian/amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari tujuh lapisan (sapta loka dan sapta patala) karena ternyata kelapa memiliki tujuh lapisan ke dalam dan tujuh lapisan ke luar. Air sebagai lambang Mahatala, Isi lembutnya lambang Talatala, isinya lambang tala, lapisan pada isinya lambang Antala, lapisan isi

yang keras lambang sutala, lapisan tipis paling dalam lambang Nitala, batoknya lambang Patala. Sedangkan lambang Sapta Loka pada kelapa yaitu: Bulu batok kelapa sebagai lambang Bhur loka, Serat saluran sebagai lambang Bhuvah loka, Serat serabut basah lambang svah loka, Serabut basah lambanag Maha loka, serabut kering lambang Jana loka, kulit serat kering lambang Tapa loka, Kulit kering sebagai lamanag Satya loka Kelapa dikupas dibersihkan hingga kelihatan batoknya dengan maksud karena Bhuana Agung sthana Hyang Widhi tentunya harus bersih dari unsur-unsur gejolak indria yang mengikat dan serabut kelapa adalah lambang pengikat indria (Wiana, 2001: 27).

7) Telor Itik dibungkus dengan tipat taluh, adalah lambang awal kehidupan/getar-getar kehidupan, lambang Bhuana Alit yang menghuni bumi ini, karena pada telor terdiri dari tiga lapisan, yaitu Kuning Telor/Sari lambang Antah Karana Sarira, Putih Telor lambang Suksma Sarira, dan Kulit telor adalah lambang Sthula sarira. Dipakai telur itik karena itik dianggap suci, bisa memilih makanan, sangat rukun dan dapat menyesuaikan hidupnya (di darat, air dan bahkan terbang bila perlu). 8) Pisang, Tebu dan Kojong adalah simbol manusia yang menghuni bumi sebagai bagian dari alam ini. Idealnya manusia penghuni bumi ini hidup dengan Tri Kaya

Parisudhanya. Dalam

tetandingan Pisang melambangkan jari, Tebu

(6)

24 belambangkan tulang (Wiana, 2001: 26).

9) Buah Kemiri adalah simbol Purusa / Kejiwaan / Laki-laki, dari segi warna putih (ketulusan). 10) Buah kluwek/ Pangi merupakan lambing pradhana/ kebendaan/ perempuan, dari segi warna merah (kekuatan).

11) Gegantusan merupakan perpaduan dari isi daratan dan lautan, yang terbuat dari kacang-kacangan, bumbu-bumbuan, garam dan ikan teri yang dibungkus dengan kraras/daun pisang tua adalah lambang sad rasa dan lambang kemakmuran. 12) Papeselan yang terbuat dari lima

jenis dedaunan yang diikat menjadi satu adalah lambang

Panca Devata; daun duku

lambang Isvara, daun manggis lambang Brahma, daun durian/ langsat / ceroring lambang Mahadeva, daun salak/mangga lambang Visnu, daun nangka atau timbul lambang Siva. Papeselan juga merupakan lambang kerjasama (Tri Hita Karana).Pepesalan apabila dikaji juga memiliki makna penyatuan konsep Siva sidhanta dari sekte Brahma, Waisnawa maupun Siva. 13) Bijaratus adalah campuran dari 5 jenis biji-bijian, diantaranya; godem (hitam-Wisnu), Jawa (putih-Iswara), Jagung Nasi (merah-Brahma), Jagung Biasa (kuning- Maha Dewa) dan Jali-jali (Brumbun-Siwa). Kesemuanya itu dibungkus dengan kraras (daun pisang tua). 14) Benang Tukelan adalah alat

pengikat simbol dari naga Anantabhoga dan naga Basuki dan naga Taksaka dalam proses

pemutaran Mandara Giri di Ksirarnava untuk mendapatkan Tirtha Amertha dan juga simbolis dari penghubung antara Jivatman yang tidak akan berakhir sampai terjadinya Pralina. Sebelum Pralina Atman yang berasal dari Paramatman akan terus menerus mengalami penjelmaan yang berulang-ulang sebelum mencapai Moksa. Dan semuanya akan kembali pada Hyang Widhi kalau sudah Pralina. Dalam tetandingan dipergunakan sebagai lambang usus/perut.

15) Uang Kepeng adalah alat penebus segala kekurangan sebagai sarining manah. Uang juga lambang dari Deva Brahma yang merupakan inti kekuatan untuk menciptakan hidup dan sumber kehidupan. Ini merupakan salah satu ciri dari Sekte Sogata (Budha).

16) Sesari; sebagai lambang saripati dari karma atau pekerjaan (Dana Paramitha).

17) Sampyan Payasan; terbuat dari janur dibuat menyerupai segi tiga, lambang dari Tri Kona; Utpeti, Sthiti dan Pralina.

18) Sampyan pusung; terbuat dari janur dibentuk sehingga menyerupai pusungan rambut, sesungguhnya tujuan akhir manusia adalah Brahman dan pusungan itu simbol pengerucutan dari indria-indria. Mantra (saha) Daksina adalah sebagai berikut:

“ Om pakulun Bhatara Wisnu alinggihaning daksina sesantun Bhatara guru asung nganugraha saluiring pinuja

(7)

25 Tan mamiruda ring sariraning ulun” Terjemahannya :

Ya Tuhan dalam manifestasi-Mu sebagai Dewa Wisnu yang berstana pada Daksina, Bathara Guru memberikan anugerah dalam setiap pemujaan karena Beliau adalah Maha Sempurna, tidak ada kekotoran pada diri Beliau (Untara, 2020)

2.2. Tuhan Sumber Segala Agama Hindu mengajarkan bahwa semua yang ada ini berasal dari Tuhan, berada dalam Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Hal ini dinyatakan dalam satra-sastra agama Hindu, baik yang berbahasa Sanskerta, maupun yang berbasa Jawa Kuna atau Bahasa Bali.

“Yathorna nābhih sŗjate gŗhnate ca,

yathā pŗthivyam osadhayas

sambhavanti,

yathā satah purusāt kesalomāni tathāksarāt sambhavatīha viśvam”

(Mundaka Upanisad I.7)

Terjemahannya :

Seperti laba-laba mengeluarkan dan menarik benangnya, seperti tumbuh-tumbuhan bahan obat tumbuh di bumi, seperti rambut tumbuh di kepala dan badan orang demikianlah alam semesta muncul dari Tuhan.

Tuhan adalah sumber hidup, sumber tenaga dari Dialah asal yang ada ini dan kepada-Nya pula segala yang ada ini kembali. Karena itu Ia disebut Sangkan Paraning Dumadi, asal dan kembalinya semua makhluk. Taittiriya Upanisad menerangkan hal ini sebagai berikut :

“Yato vā imāni bhūtani jāyante, yena jātāni jīvanti,

yat prayanty abhisam viśanti, tad vijijñāsasva tad brahmeti” (Taittiriya Upanisad III.1) Terjemahannya :

Dari mana semua ini lahir, dengan apa yang lahir ini hidup, kemana mereka masuk setelah kembali, ketahuilah, bahwa itu adalah Brahman.’

Sebelum melakukan kegitan tradisi nyacahin dalam upacara Pitra Yajña, melakukan piuning kepada Bhatara Yang Guru Kamulan atau Brahma, Wisnu, Iswara di pura pamarajan yang merupakan sumber segalanya, dengan tujuan supaya rangkaian kegiatan tradisi nyacahin dalam upacara Pitra Yajña dari awal sampai akhir bisa berjalan dengan lancar, dan juga memohon tirta yang digunakan untuk menyelesaikan upacara tersebut.

Mantra di pura pamarajan adalah sebagai berikut:

“ Om Brahma Visnu Isvara devam Tri-purusa suddhatmakam,

Tri-deva tri-murti-lokam Sarva vighna Vinasanam” tuti & Stava 157.1.

Terjemahannya :

Om hyang Widhi dalam wujud-Mu sebagai Brahma, Wisnu, Iswara, dewa Tri Purusa Maha suci, Tridewa adalah Trimurti, semogalah hamba terbebas dari segala bencana.

Kamulan Turus Lumbung

digunakan untuk memohon segala bentuk tirta yang digunakan dalam upacara tradisi mapendem dalam Upacara Pitra Yajña, dan memohon

(8)

26 keselamatan dan kelancaran dari prosesi upacara yang akan dilaksanakan. Ini menunjukkan bahwa Tuhan sebagai sumber dari segalanya. Dan Tuhan dinyatakan dalam wujud Tri Murti berstana di Turus Lumbung ini.

Secara teologi banten yang menunjukkan bahwa Tuhan sumber segala adalah sebagai berikut: Suci Alit, Sorohan, Pejati, Banten Beakala, Prayascita, Segehan Agung.

III. SIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dianalisa beberapa simpulan sebagai berikut:

1. Bahwa keyakinan masyarakat desa adat Pujungan apabila melakukan pembakaran jenazah dapat membuat kotor (cemer) gunung Batukaru. Berdasarkan sastra gunung Batukaru merupakan tempat pemujaan kepada Tuhan dalam manifestasi sebagai Mahadewa.

2. Hukum adat (awig-awig) melarang masyarakat adat dalam melakukan upacara Pitra Yadnya, melakukan pembakaran jenazah. 3. Secara teologi banten yang

menunjukkan Tuhan Esa Adanya adalah Daksina.

4. Secara teologi banten yang menunjukkan Tuhan sebagai sumber segala adalah: Suci Alit, Sorohan, Pejati, Banten Beakala, Prayascita, Segehan Agung.

DAFTAR PUSTAKA Awig-awig desa pakraman Pujungan. Hadriani, N. L. G. (2020). TRANSFORMASI HUKUM HINDU DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL DI TENGAH DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA. Maha Widya Bhuwana: Jurnal Pendidikan, Agama dan Budaya, 2(2), 23-31.

Kemenuh, I. A. A. (2020). Ajaran Karma Phala Sebagai Hukum Sebab Akibat Dalam Hindu. Pariksa, 4(1), 22-29.

Ningrum, P. A. P. (2020). Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tindak Pidana Pengancaman Yang Ditujukkan Dengan Ucapan Dan Hinaan. Pariksa, 4(1), 39-45.

Suadnyana, I. B. P. E. (2020). Pembelajaran Abad 21 Dan Pengembangan Program Studi Filsafat Hindu Di Stahn Mpu Kuturan Singaraja. PINTU: Jurnal Penjaminan Mutu, 1(2). Susila, I. N. A., & Karmini, N. N. (2019). NILAI-NILAI PANCASILA DALAM CERITA RAKYAT BALI SEBAGAI

PEMBELAJARAN DAN PENANAMAN KARAKTER BANGSA. Suluh Pendidikan, 17(2), 101-114.

Srilaksmi, N. K. T. (2020). Fungsi Kebijakan Dalam Negara Hukum. Pariksa, 4(1), 30-38. Subagiasta, 2008. Pengantar Acara Agama Hindu. Surabaya : Paramita. Sudarsana, 2009. Upacara Pitra

(9)

27 Tim Penyusun, 2000. Siwatattwa.

Pemerintah Provinsi Bali. Proyek Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama.

Tim Penyusun, 2005 Panca Yajña. Pemerintah Provinsi Bali Kegiatan Peningkatan Sarana dan Prasarana Kehidupan Beragama.

Tim Penyusun, 1991, Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV. Denpasar : Pemda Bali.

Titib, I Made 2003. Theologi dan Simbol-Simbol Dalam Ajaran Hindu. Surabaya : Paramita. Triguna, Ida Bagus Gede Yudha.

2000. Teori Tentang Simbol, Denpasar : Widya Dharma. Wiana, 2000. Arti dan Fungsi Sarana

Persembahyangan. Surabaya : Paramita. Wibawa, G. Y. S. (2020). URGENSI PENGATURAN KEWENANGAN DESA ADAT DALAM

MENUNJANG ERA NEW NORMAL KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI. VYAVAHARA DUTA, 15(2), 85-98. Untara, I. M. G. S. (2020). Strategi

Pengelolaan Prodi Filsafat

Hindu Stahn Mpu Kuturan Singaraja Dalam Meningkatkan

Mutu Pembelajaran Daring

Pasca Covid 19. PINTU: Jurnal Penjaminan Mutu, 1(2).

Referensi

Dokumen terkait