• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karesidenan Semarang di sebelah Barat berbatasan dengan Karesidenan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karesidenan Semarang di sebelah Barat berbatasan dengan Karesidenan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karesidenan Semarang di sebelah Barat berbatasan dengan Karesidenan Pekalongan, di sebelah Selatan berbatasan dengan Karesidenan Kedu, Surakarta, Madiun. Di sebelah Timur dan Timur Laut berbatasan dengan Karesidenan Rembang dan Jepara, dan di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. Dalam abad ke-19, Karesidenan Semarang terdiri dari 5 kabupaten, yakni Kabupaten Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, dan Grobogan; 8 kawedanan (afdeeling) yakni: Semarang, Salatiga, Ambarawa, Kaliwungu, Kendal, Selokaton, Demak, dan Grobogan. Secara administratif Karesidenan Semarang pada akhir abad ke-19 terdiri dari 8 afdeeling atau pembagian wilayah, yaitu Semarang, Salatiga, Kendal, Demak, Grobogan, Pati, Kudus, dan Jepara (Inventaris Arsip Karesidenan Semarang, 2007: 2-3).

Sepur berasal dari bahasa Belanda Spoor, memiliki arti yang sama dalam bahasa Indonesia yaitu kereta api. Kereta api merupakan alat transportasi massal yang bergerak di atas rel, terdiri dari lokomotif dan gerbong untuk membawa barang dan penumpang serta memberikan pelayanan keselamatan, nyaman, dan aman bagi para penumpang (Yan Pramdya Puspa, 1977: 780-781).

Awal abad ke-19 penduduk Jawa berjumlah 4.615.270 jiwa, diantaranya lebih dari 1,5 juta jiwa hidup di daerah kerajaan dan 3 juta jiwa hidup di daerah

(2)

2

yang langsung diperintah oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berada di wilayah Karesidenan Semarang. Dalam abad ke-19 Jawa merupakan daerah agraris, yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian dan peternakan. Pertanian dan teknologi yang digunakan masih tradisional untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat di Jawa (Sartono Kartodirdjo, 1990: 289-290). Dalam sistem feodal atau pemerintahan kuno di Jawa awal abad ke-19, lalu lintas barang menggunakan jalan tradisional dan pengangkutan tradisional. Pengangkutan tradisional yaitu dilakukan dengan menggunakan tenaga binatang kerbau, kuda dan sapi yang memerlukan waktu tempuh perjalanan cukup lama (Sartono Kartodirdjo, 1987: 302).

Beberapa perkebunan baru di Karesidenan Semarang dibuka selama periode 1860, seperti perkebunan di Ambarawa, Kedu, dan Salatiga yang merupakan penyebab utama dari meningkatnya produksi hasil-hasil perdagangan. Perkebunan-perkebunan tersebut sebagian besar diperuntukkan bagi tanaman kopi, kina dan padi. Orang-orang Eropa menginvestasikan modal dalam perusahaan-perusahaan pertanian untuk kepentingan terhadap perdagangan ekspor. Usaha-usaha ekspor dari Semarang melibatkan kepentingan pemerintah maupun swasta, yang dipegang oleh Nederlandsche Handelmaatschappij (Maskapai Dagang Belanda) di Semarang. Ekspor komoditi pemerintah yang sangat penting ialah kopi dan gula, sedangkan ekspor komoditi dari pihak swasta yaitu kopi, gula, nila, tembakau, merica, getah perca, rotan dan kulit. Hasil-hasil panen yang diekspor melalui pelabuhan Semarang tidak hanya

(3)

3

merupakan hasil dari Karesidenan Semarang saja, melainkan dari luar Karesidenan Semarang seperti tembikar, kapas, kerajinan emas dan perak. Barang-barang yang diimpor berupa barang jadi, seperti barang konsumsi, pakaian, peralatan mekanik, dan teknik mesin. Barang-barang tersebut umumnya sudah jadi dan siap untuk dipakai, yang berasal dari Eropa, Amerika, Australia, dan beberapa Negara di Asia. Di antara barang-barang impor yang berasal dari luar Indonesia, katun dan jenis-jenis tekstil lainnya memiliki peranan yang penting dalam perdagangan di Semarang. Tahun 1860 barang-barang impor mengalami peningkatan dalam perdagangan (Djoko Suryo, 1989: 150-153).

Pertumbuhan hasil-hasil produksi pertanian dan ekspor membutuhkan alat dan sarana akan penambahan transportasi, tercermin adanya penambahan sejumlah transportasi baik dalam pembukaan dan perbaikan jalan, jembatan-jembatan antara Bawen dan Pingit yang memudahkan transportasi ke Semarang, Magelang, dan Yogyakarta. Jalan-jalan tersebut menjadi urat nadi yang pokok bagi pengangkutan hasil-hasil panen dari daerah Kerajaan dan Karesidenan Kedu ke Semarang, sehingga menjadi wilayah terpenting di Jawa Tengah (Djoko Suryo, 1989: 106).

Peningkatan hasil ekspor dan impor mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk menambah alat transportasi darat yang dapat menembus ke wilayah-wilayah pedalaman Jawa Tengah. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya perkebunan-perkebunan, sehingga pemerintah membuat jalan-jalan kereta api untuk pertama kalinya yaitu dari Semarang ke daerah-daerah

(4)

4

Kerajaan di pedalaman untuk mengangkut barang-barang dan penumpang. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya komunikasi langsung antara wilayah pantai (pelabuhan) dengan wilayah pedalaman, serta menjadi daya tarik bagi para pedagang luar pedesaan untuk menghubungkan unit-unit pemasaran di pedesaan dengan kota. Pedagang luar pedesaan berperan membuka desa-desa pedalaman terhadap komoditi impor dan pengaruh ekonomi dunia (Djoko Suryo, 1989: 108).

Sektor ekonomi masa Hindia Belanda mengalami perkembangan pesat, terutama industri-industri ekspor yang terdiri dari perkebunan-perkebunan besar dan pertambangan-pertambangan. Selama melaksanakan politik liberal, pemerintahan Belanda telah membangun prasarana pengangkutan, tujuan utamanya untuk menunjang produksi tanaman perdagangan ekspor. Salah satu sarana terpenting adalah alat transportasi, yaitu dengan membangun jalan kereta api secara umum pada jalur lalu lintas Jawa Tengah. Tahun 1860 keadaan transportasi darat semakin menjadi masalah, khususnya bagi kawasan Vorstenlanden (wilayah-wilayah Kerajaan). Perusahaan perkebunan di kawasan itu telah maju dan banyak memberikan keuntungan, sehingga tidak mungkin lagi memperluas usahanya karena alat transportasi yang kurang memadai. Pada tahun 1857 pemerintah Hindia Belanda membentuk sebuah komisi urusan alat-alat angkut di bawah pimpinan Insinyur Stieltjes (Rusdi Santoso, 1988: 10). Komisi ini bertugas untuk melihat dari dekat sistim pengangkutan yang ada, serta

(5)

5

bagaimana menciptakan sarana-sarana transportasi yang memadai untuk mengangkut hasil perkebunan yang akan dibawa ke pelabuhan Semarang.

T.J. Stieltjes ditunjuk oleh pemerintah sebagai penasehat masalah-masalah teknis pada Kementerian daerah-daerah kolonial, dan dikirim ke Jawa tahun 1860 untuk mengadakan penelitian tentang perbaikan-perbaikan transportasi. T.J. Stieltjes mengidentifikasikan dua rute jalan kereta api yang menghubungkan Semarang dengan daerah-daerah kerajaan di pedalaman selatan Jawa Tengah, yang disebut sebagai rute gunung sebelah barat dan rute gunung sebelah timur meskipun kenyataannya kedua rute tersebut melewati sebelah timur kompleks Merapi-Merbabu. Pertama menuju ke selatan dari Semarang, sejajar dengan jalan kecil melewati Ungaran, Bawen, Ambarawa, Salatiga, Boyolali, dan Prambanan berakhir ke Kedu. Rute pertama lebih singkat dan mampu menarik lalu lintas yang lebih berat bagi para penumpang maupun barang-barang dagangan, dikarenakan rute ini melintasi daerah-daerah yang lebih padat penduduknya dan dekat dengan daerah makmur. Rute yang kedua menuju ke arah tenggara dari Semarang melewati Kedungjati, Repaking, Sarean, Saren, dan Jatinom (Djoko Suryo, 1989: 109).

Bagian yang pertama, rute dari Semarang-Kedungjati dibagi menjadi dua yaitu Semarang-Tanggung, dan Tanggung-Kedungjati. Rute pertama dibangun mulai tanggal 17 Juni 1864 dan selesai pada bulan Agustus 1867. Panjangnya 24,6 km melewati daerah dataran rendah, daerah persawahan dan desa-desa yang penduduknya padat. Rute yang kedua yaitu dari

(6)

Tanggung-6

Kedungjati, panjangnya 19,2 km berselang-seling melewati jurang, perbukitan, dan hutan kayu jati, diselesaikan pada tahun 1870.

Bagian yang kedua, dari Kedungjati ke Surakarta mempunyai beberapa terminal lokal. Jalur-jalur dari Kedungjati menuju Serang panjangnya 24 km, melintasi hutan kayu jati dan beberapa ladang tanaman, namun sebagian besar merupakan daerah yang tidak berpenghuni. Selanjutnya dari Serang ke Ngresep menuju Lawang jaraknya 7 km, dengan melintasi daerah-daerah yang sama. Rute berikutnya memanjang dari Lawang menuju Salam melalui sawah-sawah irigasi, dimana hampir tidak ada pemukiman penduduk. Sebaliknya, rute dari Salam ke Surakarta melintasi tanah-tanah pertanian dan daerah yang agak padat penduduknya. Bagian dari Kedungjati ke Surakarta ini akhirnya selesai pada tahun 1870.

Bagian yang ketiga, dari Surakarta menuju ke Yogyakarta melewati sawah-sawah irigasi dan desa-desa yang padat penduduknya. Bagian ini melewati jurang-jurang sepanjang 56,7 km. Dibangun jalur cabang dari Surakarta menuju sungai Sala, yaitu sekitar 4,5 km yang selesai pada tahun 1873. Bagian yang terakhir, dari Kedungjati ke Ambarawa diselesaikan tahun 1875. Panjangnya kira-kira 33,5 km dengan beberapa tempat pada mulanya belum ada jalur perhubungan yang memadai. Tahap pertama menghubungkan Kedungjati dengan desa Tempuran melewati hutan-hutan kayu jati, beberapa daerah penanaman dan melintasi sungai Tuntang. Dari Tempuran menuju Karanglo, melewati tanah-tanah yang belum diolah, beberapa areal penanaman dan

(7)

7

perkebunan kopi di sekitar jurang dan daerah perbukitan. Selanjutnya jalur ini menuju Suruan, rute kembali lagi melintasi sungai Tuntang dan menuju ke jalan kecil Bawen-Salatiga, berakhir di terminal Willem I yang baru. Rute Kedungjati-Ambarawa dimaksudkan untuk mengangkut hasil-hasil panen seperti kopi, tembakau, dan nila. Jalur ini merupakan penghubung utama antara Kedu dengan sebagian daerah Kerajaan dan Semarang (Djoko Suryo, 1989: 111-113).

Tanaman kopi yang maju pesat mengalami kenaikan harga di antara tahun 1849-1874, produksinya memuncak pada tahun 1879-1884 yang mencapai 94 ribu ton di tanah gubernemen yang meliputi Yogyakarta dan Surakarta. Dalam periode ini tampak beberapa kecenderungan yaitu menanjaknya beberapa hasil ekspor seperti tembakau, teh, karet, minyak tanah. Semakin besar pula bagian yang diambil oleh daerah luar Jawa dalam produksi untuk ekspor, serta pertumbuhan pesat tanaman ekspor untuk dijual (cash crop) bila dibanding dengan perkembangan tanaman pangan (food crops) di luar Jawa. Sehubungan dengan itu, investasi dalam bidang infrastruktur dilakukan melalui pengembangan alat transportasi kereta api untuk kelancaran pengangkutan hasil tanaman ekspor tersebut (Sartono Kartodirdjo, 1987: 327-329).

Dalam tahun 1860 politik batig slot atau politik mencari keuntungan besar dari tanah jajahan (Hindia Belanda), dilaksanakan kaum liberal dan kaum agama Kristen berusaha memperbaiki taraf kehidupan rakyat Indonesia agar mampu menghadapi iklim liberalisme. Keberhasilan tersebut dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang Agraria tahun 1870. Pokok-pokok

(8)

Undang-8

Undang Agraria tahun 1870 berisi : pribumi diberi hak memiliki tanah dan menyewakannya kepada pengusaha swasta, serta pengusaha dapat menyewa tanah dari gubernemen dalam jangka waktu 75 tahun. Undang-Undang Agraria memberi kesempatan dan jaminan kepada swasta asing Eropa non Belanda untuk membuka usaha dalam bidang perkebunan di Indonesia, dan melindungi hak penduduk atas tanah agar tidak hilang atau tidak dijual. Dengan adanya Undang-Undang Agraria tahun 1870, banyak swasta asing yang menanamkan modalnya di Indonesia, baik dalam usaha perkebunan maupun pertambangan. Kalangan liberalisme membuka pelatihan praktis kepada rakyat untuk mampu menghadapi pasar-pasar internasional, seperti mengajarkan keterampilan dengan pengenalan pada produk-produk pasar internasional, pola tanam, dan sistem jual beli bukan barang tukar barang. Undang-Undang Agraria tahun 1870 mendorong pelaksanaan politik pintu terbuka yaitu membuka Jawa bagi perusahaan swasta asing Eropa non Belanda. Kebebasan dan keamanan para pengusaha dijamin dengan politik pasifikasi. Pemerintah kolonial hanya memberi kebebasan para pengusaha untuk menyewa tanah, bukan untuk membelinya. Hal ini dimaksudkan agar tanah penduduk tidak jatuh ke tangan asing. Tanah sewaan itu dimaksudkan untuk memproduksi tanaman yang dapat diekspor ke Eropa (Marwati Djoened, 1975: 89-94).

Sistem perdagangan bebas mengatur hubungan-hubungan ekonomi Belanda dengan negara-negara tetangga. Perkembangan perusahaan-perusahaan swasta mengakibatkan hasil-hasil tanah jajahan lebih banyak mencari pasaran di

(9)

9

negeri-negeri asing daripada di Negeri Belanda sendiri. Kebijakan politik pintu terbuka yaitu meningkatnya komunikasi dan transportasi karena perkembangan perdagangan dan industri yang cepat di Pulau Jawa. Jalan dan rel kereta api dibangun untuk menghubungkan perkebunan satu dengan perkebunan yang lain serta dari perkebunan menuju pelabuhan. Keberhasilan komersial politik pintu terbuka di Jawa menimbulkan golongan kelas menengah yang terdiri dari Belanda asli, Indo-Belanda, pribumi dan imigran Cina. Sedangkan dampak positif bagi pemerintah Belanda adalah keuntungan yang sangat besar bagi kaum swasta Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda dari pajak penyewaan tanah dan penjualan hasil-hasil pertanian yang ditanam di Indonesia (Sartono Kartodirdjo, 1987: 22). Berbagai komoditi diangkut dari daerah pedalaman menuju ke Semarang menggunakan kereta api. Pengangkutan barang-barang yang menonjol tahun 1870 ialah berupa batu untuk perbaikan tanggul-tanggul, jalan-jalan, jembatan-jembatan dan kanal-kanal, gula, kopi, kayu api. Gula menjadi komoditi yang sangat penting di antara semua barang yang diangkut dari daerah pedalaman menuju ke Semarang. Tahun 1890 Indonesia terbuka untuk modal swasta asing non Belanda supaya bisa masuk dan diatur dalam Undang-Undang Agraria, yaitu wilayah yang sudah diamankan. Tahun 1900 wilayah-wilayah perkebunan dan pertanian di Karesidenan Semarang mengalami surplus (Djoko Suryo, 1989: 158).

(10)

10 B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah serta pembatasan yang telah dikemukakan, maka permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana perkembangan dan fungsi Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang tahun 1870-1900?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan perkembangan dan fungsi Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang tahun 1870-1900.

D. Batasan Masalah

Dalam rangka memenuhi tuntutan ilmiah dalam penelitian ini diadakan pembatasan masalah, agar tidak terjadi penyimpangan dalam menafsirkan masalah yang diteliti dan menghindari munculnya kesalahan pengertian. Maka diperlukan batasan-batasan yaitu:

1. Tempat penelitian (lokasi)

Penelitian dilakukan di Karesidenan Semarang. 2. Waktu

Dalam penelitian ini hanya dibatasi pada tahun 1870-1900. 3. Peristiwa

Penelitian ini hanya dibatasi pada perkembangan dan fungsi Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang.

(11)

11 E. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi dunia pendidikan pada umumnya dan pengajaran pada khususnya. Penelitian ini memiliki manfaat:

1. Manfaat Akademis

a. Memberikan sumbangan bagi dunia pendidikan sejarah khususnya, sebagai sumber belajar dan sumber mengajar bagi siswa dan guru.

b. Memberikan wawasan mengenai perkembangan dan fungsi Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang tahun 1870-1900.

2. Manfaat Praktis

a. Secara praktis penelitian ini memberikan pemahaman terhadap perkembangan dan fungsi Transportasi Kereta Api di Karesidenan Semarang tahun 1870-1900.

b. Menambah khazanah sumber-sumber tertulis tentang perkembangan sistim transportasi kereta api di Jawa Tengah era 1870-1900.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data yang diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan sarana prasarana di sekolah kepala sekolah

Penulisan Tugas Akhir dengan judul ”ANALISIS PUSHOVER NONLINIER STRUKTUR GEDUNG GRIYA NIAGA 2 BINTARO” disusun guna melengkapi syarat untuk menyelesaikan jenjang pendidikan

Alamat Email : pututm pada domain hotmail.com;pmarwoto pada domain yahoo.com. Pangkat/Golongan/Ruang :

Dengan demikian, pembangunan industri kimia yang menghasilkan Sodium Nitrat ini sangat penting karena dapat mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap industri luar

Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan terhadap hasil kuesioner yang telah disebarkan kepada responden maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar owner mempunyai

Sementara SGBK lebih baik dari pada SGBV dan cenderung hampir sama dengan SGBA dimana subjek mampu menyatakan langkah- langkah yang ditempuh dalam soal

Namun hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hutagulung, Djumahir dan Ratnawati (2013) dengan hasil penelitian yang menyatakan bahwa

otobiografinya berjudul Kitab Riwayat Hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin , yang selesai ditulis pada 28 Syawwal 1423 H/9 Nopember 2002 di suraunya sendiri, yang terletak di