• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies. (Lanyon, 1986, diacu dalam McKenzie and Campbell, 2002)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies. (Lanyon, 1986, diacu dalam McKenzie and Campbell, 2002)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Lamun Bagi Ekosistem Pesisir

Lamun (seagrass) merupakan tumbuhan berbunga (angiospermae) dan mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah (Gambar 2). Lamun hidup di sedimen dasar laut, dengan daun yang tegak dan memanjang, akar tertanam ke dalam dasar perairan. Lamun di tropis berasosiasi dengan komunitas lain seperti mangrove dan terumbu karang (McKenzie dan Campbell, 2002).

Parameter yang mempengaruhi pertumbuhan lamun antara lain adalah faktor fisiologi, yaitu : suhu, salinitas, gelombang, arus, kedalaman (berhubungan dengan penetrasi cahaya matahari), substrat dasar dan lamanya penyinaran matahari dan faktor alam yang mempengaruhi aktivitas fotosistesis yaitu: cahaya matahari, nutrien, epiphytes (tumbuhan pengganggu) dan penyebaran penyakit dan faktor lain yang disebabkan oleh manusia (anthropogenic) seperti penambangan pasir, limbah pertanian, limbah industri atau pencemaran minyak (McKenzie dan Campbell, 2002).

Gambar 2 Ilustrasi morfologi lamun yang membedakan tiap spesies. (Lanyon, 1986, diacu dalam McKenzie and Campbell, 2002)

(2)

6 Interaksi antara lamun dan mangrove terjadi akibat adanya pergerakan sedimen yang terjadi di darat. Sedimen yang berasal dari darat terperangkap dalam ekosistem mangrove dan selanjutnya sedimen akan berkurang di daerah padang lamun kemudian sedimen akan semakin berkurang ketika mencapai ekosistem terumbu karang (McKenzie dan Campbell, 2002). Tutupan daun lamun mampu mengurangi pergerakan air dan menyokong penyimpanan partikel tersuspesi, baik yang hidup maupun yang mati, secara tidak langsung menjadi filter bagi perairan pesisir.

Kapasitas partikel yang terperangkap di lamun akan meningkat dengan keberadaan organisme yang hidup di daun lamun, organisme tersebut menyaring partikel dengan memakannya dan menangkap partikel yang tersuspensi pada lendir yang berada di permukaan lamun (Terrados dan Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).

Terumbu karang merupakan pelindung pantai dari terjangan gelombang laut yang akan melewati ekosistem lamun dan mangrove. Sedimen terperangkap di padang lamun dan menyebabkan pergerakan air menjadi lebih pelan dan membuat sedimen tersuspensi di dasar perairan. Perangkap sedimen ini menguntungkan ekosistem terumbu karang karena berkurangnya sedimen di kolom air (McKenzie dan Campbell, 2002).

Lamun dan yang berasosiasi dengan alga mampu mengabsorbsi nutrien inorganik, baik oleh daun maupun akarnya. Perolehan nutrien dari kolom air bersaing dengan fitoplankton sebagai nutrien inorganik yang mendukung produktivitas primer ekosistem pesisir. Kelimpahan fitoplankton yang sedikit, berarti penyinaran cahaya matahari akan tinggi, karena sel fitoplankton menyerap cahaya matahari (Terrados dan Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).

Padang lamun (seagrass meadows) di wilayah tropis hidup di perairan dangkal, dengan substrat halus di sepanjang pantai dan estuari. Spesies lamun di tropis banyak ditemukan di perairan dengan kedalaman kurang dari 10 meter. Coles et al. (1993) menyatakan bahwa komposisi spesies lamun terdapat di tiga zona yaitu: (1) zona dangkal kurang dari 6 meter, merupakan zona dengan kelimpahan tinggi; (2) zona kedalaman antara 6 sampai kedalaman 11 meter, didominasi oleh genus Halodule dan Halophila; dan (3) zona yang lebih dalam,

(3)

7 lebih dari 11 m, hanya dihuni oleh genus Halophila (McKenzie dan Campbell, 2002).

Padang lamun merupakan habitat yang kompleks dengan kelimpahan biota yang tinggi. Lamun di daerah karang yang datar dan dekat estuari merupakan daerah masukan nutrien, sebagai buffer atau penyaring (filter) masukan nutrien dan bahan kimia ke perairan laut (McKenzie dan Campbell, 2002).

Lamun menyediakan habitat bagi sekumpulan organisme yang tidak dapat hidup di dasar tanpa vegetasi. Tutupan daun dan keterkaitan akar dan lapisan dasar sebagai penstabil sedimen, dan juga sebagai tampat bersembunyi untuk menghindari pemangsa, sehingga kelimpahan dan keragaman flora dan fauna yang hidup di padang lamun lebih tinggi dibanding di daerah yang tak bervegetasi (Terrados dan Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).

Produktivitas primer padang lamun rata-rata cukup tinggi, hal ini berhubungan dengan produktivitas rata-rata yang berasosiasi dengan perikanan di sekitar padang lamun. Tumbuhan lamun mendukung rantai makanan kehidupan sejumlah herbivora dan detritifora (McKenzie dan Campbell, 2002), sehingga dapat dikatakan bahwa lamun merupakan indikator daerah pesisir dan dapat digunakan dalam pengelolaan strategis dengan tujuan untuk memelihara atau meningkatkan kualitas lingkungan pesisir (Terrados dan Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).

Dekomposisi lamun cukup lama, lamun menyimpan karbon di sedimen memakan waktu yang cukup lama. Produksi primer lamun hanya 1% dari total produksi primer di laut, tetapi lamun bentanggung jawab terhadap 12% total karbon yang ada di laut untuk disimpan dalam sedimen. Pemisahan karbon dioksida di alam dengan fotosintesis dan dikeluarkan melalui respirasi oleh lamun yang berperan dalam perputaran global karbon di udara (Terrados and Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).

Padang lamun merupakan habitat yang memegang peranan penting dalam siklus kehidupan berbagai organisme. Biota yang hidup di padang lamun seperti crustacea (seperti udang, dll) dan ikan-ikan kecil yang merupakan kumpulan dari larva dan juvenil, yang mengindikasikan bahwa padang lamun merupakan habitat untuk perkembangan larva dan juvenil. Padang lamun dapat menjadi daerah

(4)

8 perlindungan bagi organisme kecil dan merupakan daerah mencari makanan. Biasanya burung bermigrasi memanfaatkan padang lamun di perairan dangkal untuk beristirahat dan juga menjadikannya daerah mencari makan. Lamun merupakan elemen penting bagi perlindungan wilayah pesisir, tidak hanya karena lamun dapat melindungi dari sedimen yang mudah longsor, tetapi juga lamun mampu menghasilkan sedimen sendiri. (Terrados dan Borum, diacu dalam Borum et al. 2004).

Coles et al. 1993 dan Watson et al. 1993 menyatakan bahwa lamun memegang peranan penting di komunitas pesisir karena merupakan pendukung bermacam-macam flora dan fauna, sehingga mempengaruhi produktivitas perikanan pesisir, serta merupakan penstabil sedimen dan mengontrol kualitas air dan kejernihan air, dengan demikian bahwa kita tidak dapat begitu saja mengabaikan keberadaan lamun mengingat fungsinya yang mampu mempengaruhi kondisi ekosistem di sekitarnya bahkan hingga kawasan pesisir pada wilayah yang lebih luas.

Pemantauan Lamun

Pemantauan lamun penting karena merupakan salah satu cara untuk mengontrol keberadaan lamun dan memungkinkan kita untuk mengetahui status dan kondisi lamun apakah tetap, berlebih atau berkurang. Pengamatan awal mengenai perubahan kondisi lamun membantu dalam pengelolaan wilayah pesisir karena keterkaitannya dengan kondisi ekosistem lainnya seperti mangrove dan terumbu karang, keuntungan lain yang dapat diperoleh dengan melakukan pengamatan awal adalah dapat mengetahui lebih awal gangguan lingkungan pesisir sebelum terjadi kerusakan, mampu mengembangkan teknik pengukuran yang lebih baik dan lebih efektif, dan nantinya bisa memperkenalkan, memperakarsai syarat-syarat dan perioritas pada masa yang akan datang, serta mampu menentukan manajemen praktis yang sebaiknya digunakan (McKenzie dan Campbell. 2002).

Pemantauan pada dasarnya merupakan pengamatan yang dilakukan berulang-ulang, biasanya untuk mengetahui perubahan yang terjadi. Pengamatan terhadap perubahan dan akurasi setiap program tergantung dari metodologi yang

(5)

9 digunakan. Metodologi untuk pemantauan memiliki peran yang berbeda-beda dan memiliki kemungkinan penggunaan berbagai model (Duarte et al. diacu dalam Borum et al. 2004).

Kesadaran akan pentingnya pemantauan kesehatan padang lamun telah dimulai dua dasawarsa yang lalu (Gambar 3). Perhatian yang meningkat ini berkembang seiring dengan bertambahnya pengetahuan tentang peran padang lamun di wilayah pesisir. Pembangunan yang cepat, disertai dengan berubahnya fungsi lahan, pembangunan kota, pengembangan wilayah pantai, dan kegiatan penangkapan serta pertanian yang radikal, menyebabkan perubahan masukan material dan tekanan terhadap ekosistem pesisir. Luas padang lamun diperkirakan mengalami pengurangan sekitar 2%/tahun Duarte et al. diacu dalam Borum et al. 2004).

Program pemantauan lamun pertama kali dilakukan pada awal 1980-an di Australia, USA dan Perancis. Pada masa itu, 40 negara telah mengembangkan program monitoring lamun dilebih dari 2000 lokasi padang lamun di dunia (Duarte et al. diacu dalam Borum et al. 2004).

Strategi dan indikator untuk masing-masing metode monitoring dipengaruhi oleh batasan wilayah studi, apakah suatu skala untuk menggambarkan wilayah lokal atau untuk skala global. Indikator dan strategi monitoring berikut direkomendasikan oleh modifikasi dari Short dan Coles, 2001, diacu dalam Borum et al. 2004 (Tabel 1).

Terdapat tiga indikator penyebaran lamun yang digunakan oleh Krause-Jensen et al. diacu dalam Borum et al. 2004, yaitu: keberadaan (presence/ absence) lamun, area distribusi dan batasan distribusi. Indiaktor lain yang diperhitungkan adalah kelimpahan lamun, yaitu: tutupan (cover), biomassa dan densitas (shoot density).

(6)

10 Gambar 3 Perkembangan program pemantauan lamun, kurang dari dua

(7)

11 Table 1 Pemilihan metode untuk pemetaan tergantung luas area dan kedalaman perairan (modifikasi dari Short and Coles 2001), *video’: real-time towed video camera; **’scanner’: digital airborne scanner

Ukuran wilayah

Kedalaman perairan

Metode visual sensus Metode penginderaan jauh penyel

aman

Grab Video Aerial photo Scanner Satelit Skala wil. kecil: Intertidal X X X <1 ha (1:100) Perairan dangkal (<10m)* X X X X** Perairan dalam (>10m) X X X

Skala sedang: Intertidal X X X X 1 ha - 1 km2 (1:10.000) Perairan dangkal (<10m)* X X X X** X Perairan dalam (>10m) X X X

Skala besar: Intertidal X X X 1 - 100 km2 (1:250.000) Perairan dangkal (<10m)* X X** X X Perairan dalam (>10m) X Skala sangat luas : Intertidal X X X >100 km2 (1:1000.000) Perairan dangkal (<10m)* (X) X** X X Perairan dalam (>10m) (X)

Akustik untuk Deteksi Padang Lamun

Akustik bawah air dapat digunakan untuk pemantauan dan pemetaan dasar perairan berupa informasi substrat dasar dan vegetasi di dasar perairan berdasarkan karakteristik signal gema yang dipantulkan target. Informasi tersebut mampu diklasifikasikan dari data survei sebaik data informasi distribusi ikan dan plankton yang telah umum digunakan untuk aplikasi hydroacoustic (Burczynski et al. 2001). Menurut Valley dan Drake, 2005, sistem akustik yang terintegrasi dengan global posistioning system (GPS) serta geografis information system (GIS) merupakan alat pemantauan perubahan biovolum vegetasi air yang menjanjikan.

(8)

12 Beberapa aplikasi dari tipe instrumen akustik memiliki kemampuan lebar surat (beam width), frekuensi dan lebar pulsa (pulse width) optimal untuk mengumpulkan data. Pada perairan dangkal 0-100 m, untuk klasifikasi dasar perairan membutuhkan frekuensi rendah, dengan sistem lebar surat (wide beam) echo sounder; untuk pemetaan vegetasi bawah air membutuhkan frekuensi tinggi dengan sistem surat sempit (narrow-beam) echo sounder (Hoffman et al. 2002). Keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan sistem digital echo sounder yaitu dapat mengumpulkan data hanya dengan sekali survei (single acoustic), sehingga dapat menghemat waktu mengingat banyaknya data yang harus dikumpulkan dalam area yang luas.

Menurut Sabol (1998), prinsip dasar survei batimetri dengan akustik adalah mendeteksi dan melihat perbedaan waktu gema (echo) dari orientasi vertikal pulsa. Proses deteksi pulsa sangat beragam dari masing-masing sistem, namun pada dasarnya tergantung dari intensitas minimum pembatas (threshold) dan lebar puncak (peak width). Untuk navigasi pada survei batimetri, diperoleh dari arah dan waktu pulsa gema (echo) terhadap kedalaman dasar perairan. Klasifikasi vegetasi bawah air dengan pantulan akustik tergantung dari tipe, tinggi dan densitas vegetasi tersebut untuk mengembalikan gema yang diterima dari transduser.

Metode untuk pemetaan lamun menurut Komatsu et al. (2003) dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu: berdasarkan observasi atau pengukuran langsung (visual sensus) dan metode tidak langsung melalui peralatan penginderaan jauh. Karena membutuhkan waktu dan banyak tenaga, metode ini dinilai tidak efektif. Selanjutnya, berkembang dua metode tidak langsung (indirect) berdasarkan instrumen penginderaan jauh yang digunakan, apakah berdasarkan penginderaan jauh optik (optical remote sensing) atau penginderaan jauh akustik (acoustical remote sensing).

Foto udara dan citra satelit merupakan teknologi pemetaan area yang baik untuk pemetaan vegetasi (Belsher, 1989 dan Long et al. 1994, diacu dalam Komatsu et al. 2003). Tapi kelemahan dari teknologi ini dibatasi oleh kedalaman dan kecerahan perairan. Salah satu teknologi akustik yang dikembangkan untuk pemetaan vegetasi bawah air adalah menggunakan sonar surat sempit (narrow

(9)

13 multi-beam sonar) yang telah digunakan untuk pemetaan topografi dasar perairan laut dangkal. Metode ini mampu menampilkan gambaran secara horizontal dasar perairan sebaik menampilkan topografi vertikal sehingga mampu menentukan densitas vegetasi berdasarkan distribusi vertikal dan horizontal (Komatsu et al. 2003).

Sonar multi surat (multi-beam sonar) dapat digunakan untuk membedakan dasar perairan dan vegetasi bila tutupan vegetasi lebih tinggi dibanding dasar perairannya. (Komatsu et al. 2003). Estimasi volume lamun yang diterapkan oleh Komatsu et al. (2003) adalah menggunakan beberapa tahapan, yaitu: (1) memetakan terlebih dahulu daerah yang tertutupi oleh vegetasi, (2) data distribusi kedalaman dasar perairan dimasukkan ke dalam komputer, kemudian (3) dengan memanfaatkan perangkat lunak hidrografi (hydrography software), data vegetasi dihilangkan dari data dasar perairan untuk memperoleh data dasar perairan pasir, setelah itu (4) distribusi kedalaman dari sedimen pasir ditambahkan data vegetasi untuk memperoleh volume vegetasi. Sinyal pantulan yang diperoleh dari vegetasi berasal dari daun.

Telah lebih dari 50 tahun aplikasi teknik hidroakustik digunakan untuk estimasi keberadaan ikan dan plankton. Walaupun aplikasi untuk membedakan sinyal dasar perairan telah digunakan untuk memperoleh indikasi kehadiran tumbuhan (vegetasi), namun hanya pada penerapan dasar (Schneider et al. 2001).

Metode baru yang dikembangkan oleh Bruce Sabol, USACE Waterways Experiment Station, Vicksburg, dengan nama SAVEWS (Submersed Aquatic Vegetation Early Warning System) dan diadopsi menggunakan Windows® environment oleh BioSonics® Inc., Seattle, dengan nama EcoSAV, yang dapat digunakan untuk konversi digital echosounder menjadi informasi berupa pendugaan keberadaan vegetasi air. Perangkat lunak BioSonics® EcoSAV mampu menginformasikan data echosounder menjadi informasi berupa tutupan dan ketinggian vegetasi sekaligus posisi (Schneider et al. 2001).

EcoSAV merupakan perangkat yang mempunyai kemampuan tinggi untuk menentukan ukuran, kelimpahan, dan distribusi ikan dan plankton. Kemampuan lain yang lebih baik adalah dalam klasifikasi dasar perairan dan deteksi vegetasi bawah air (submersed aquatic vegetation/SAV) yaitu kemampuan untuk

(10)

14 mengumpulkan data akustik berdasarkan kedalaman, tipe substrat, tutupan dan tinggi vegetasi, dan kelimpahan serta distribusi ikan (Hoffman et al. 2002).

Hasil yang diperoleh menggunakan SAV dapat membedakan dengan benar keberadaan vegetasi atau tidak, khususnya lamun yang tegak seperti Zostera marina (Gambar 4) (Schneider et al. 2001).

Gambar 4 Contoh tampilan data hasil olahan EcoSAV (survei di Santoña). SAV tinggi (atas, dalam meter) dan persen tutupan (bawah), dimana dapat dikombinasikan dengan peta batimetri (Schneider et al. 2001)

Beberapa teknologi perangkat lunak telah banyak digunakan untuk membantu dalam pengolahan sinyal akustik, selain EcoSAV terdapat perangkat lunak RoxAnn dan QTC View. RoxAnn digunakan untuk klasifikasi dasar perairan yang menghasilkan dua parameter E1 dan E2. E1 yang dimaksud adalah energi bagian belakang dari gema akustik yang berasal dari target/dasar, yang menggambarkan kekasaran (roughness) dari sedimen, E2 adalah energi keseluruhan gema akustik kedua yang berasal dari dasar, yang menggambarkan kekerasan (hardness) sedimen (Gambar 5) (McCauley dan Siwabessy, 2006).

(11)

15 Sistem QTC View menguji bentuk gema akustik pertama dari dasar, kemudian menggunakan algoritma untuk menterjemahkan bentuk echo menjadi susunan 166 variabel (McCauley dan Siwabessy, 2006). Sistem RoxAnn dan QTC View menggunakan cluster analysis untuk klasifikasi tipe dasar berdasarkan kemiripan bagian dan kemudian diverifikasi dengan ground-truthing (Gambar 6) (McCauley dan Siwabessy, 2006).

(a) E1 at 200 kHz (b) E2 at 200 kHz

Gambar 5 Hasil titik trek sonar surat tunggal (single-beam) yang membedakan dasar pasir dan lamun (McCauley dan Siwabessy, 2006)

(a) (b)

Gambar 6. Scatterplot E1 terhadap E2 setelah cluster analysis (a) dan klas habitat dasar sepanjang trek (b); hitam = pasir; hijau = lamun; merah = bad data. (McCauley dan Siwabessy, 2006)

(12)

16 Penelitian yang dilakukan Hoffman et al. di Lake Washington tahun 2001 memanfaatkan perangkat lunak EcoSAV, hasil proses algoritma menghasilkan kedalaman perairan, keberadaan vegetasi, tinggi vegetasi dan luasan tutupan vegetasi.

Algoritma EcoSAV menganalisa 8-10 ping/cycle antara signal DGPS yang berurutan, menentukan kedalaman dan keberadaan vegetasi pada tiap ping berdasarkan bentuk echo envelope. Jika terdapat vegetasi, ditetapkan dengan adanya jarak antara dasar perairan ke atas tutupan vegetasi.

Hasil yang diperoleh menggunakan frekuensi 420 kHz mudah untuk membedakan keberadaan vegetasi, namun tidak dapat membedakan spesiesnya (Gambar 7). Bila menggunakan frekuensi 70 kHz terdapat kekurangan pada perbedaan area hingga 100 m, sehingga tidak tepat digunakan untuk analisis tipe dasar.

Berdasarkan model geospasial diperoleh biovolume, persen penutupan, tipe sedimen, dan betimetri. Data batimetri dan vegetasi menggunakan model minimum curvature method, dimana data sedimen menggunakan kriging model (Hoffman et al. 2002).

(13)

17 Gambar 7 Persentase biovolume vegetasi air di utara Lake Washington.

(Hoffman et al. 2002).

Teori Akustik terhadap Vegetasi Air Gelombang Akustik

Akustik bawah air (underwater acoustic) pada dasarnya merupakan karakteristik suara di air. Suara yang dipancarkan di dalam air adalah gelombang akustik yang memiliki komponen dasar yaitu amplitudo, frekuensi, panjang gelombang (wavelength) dan gelombang suara terhadap waktu (phase).

Ada beberapa hal yang mempengaruhi sifat dan karakteristik perambatan gelombang akustik di dalam air, diantaranya temperatur, kadar garam, tekanan dan kedalaman. Kuat sinyal akustik yang merambat melalui media air laut akan mengalami pelemahan (attenuation) yang pada prinsipnya disebabkan oleh penghamburan (spreading), dimana sumber akustik memancarkan energi ke

(14)

18 segala arah secara merata membentuk bola yang dimodelkan pada Gambar 8 disebut spherical spreading.

Gambar 8 Sumber akustik memancarkan sinyal ke segala arah seperti digambarkan pada model spherical spreading

Kuat sinyal akustik Pi pada jarak ri (i=1,2), berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya terhadap titik pancar. Rasio pelemahan kuat sinyal (dalam dB) pada jarak r1 dan r2 dapat dimodelkan melalui persamaan :

... (1) Jika kuat sinyal pada jarak r1 = 1 meter digunakan sebagai referensi, maka pelemahan pada jarak r2 adalah :

Pelemahan = 20logr2

Pelemahan sinyal akustik lain disebabkan oleh penyerapan energi akustik oleh media air. Pelemahan ini biasa dinyatakan dalam desibel per meter ( dB/m ). Besarnya pelemahan karena penyerapan media air sangat tergantung dari frekuensi gelombang dan tingkat salinitas media air. Gambar 9 menunjukkan hubungan pelemahan sinyal akustik terhadap frekuensi pada media air tawar dan air laut (Stewart, 2005). Garis a merupakan pelemahan pada media air tawar, sedangkan garis b merupakan pelemahan pada media air laut.

(15)

19 Gambar 9 Hubungan pelemahan sinyak akustik terhadap frekuensi pada media air

Pada prinsipnya refleksi sinyal pada incident acoustic yang berasal dari dasar perairan berbeda berdasarkan berbagai pengaruh. Hal ini seperti yang telah diuraikan oleh Kloser et al. (2001) yang diacu dalam Siwabessy (2001), refleksi sinyal akustik dipengaruhi oleh:

(1) impedansi akustik pada medium permukaan air laut maupun pada permukaan dasar perairan,

(2) parameter akustik pada instrumen,

(3) penetrasi sinyal akustik pada dasar perairan sebagai volume scattering dari sumber pulsa,

(4) arah refleksi pada kolom air dan permukaan dasar perairan akibat kekasaran dasar perairan,

(5) waktu tunda (time delay) yang kembali akibat spherical spreading terhadap perubahan kedalaman,

(6) respon dari scattering yang berasal dari second acoustic bottom pada permukaan air, gelembung dalam kolom air dan kapal,

(7) kedalaman perairan yang tiba-tiba cekung, (8) absorpsi akustik air laut, dan

(9) gaung (noise) yang disebabkan instrumen akustik.

Hambur Balik Akustik pada Vegetasi Air

Algoritma yang dikembangkan untuk klasifikasi vegetasi air merupakan pengamatan dari perbedaan aras gema (echo level) dari vegetasi dan dasar perairan. (Tegowski et al. 2003). Sebagian besar gema yang berasal dari

(16)

20 vegetasi lebih tinggi dari aras gema yang berasal dari penghamburbalik (backscattering) dasar. Algoritma yang digunakan berdasarkan echo envelope untuk menentukan posisi dasar perairan. Keberadaan vegetasi dideteksi berdasarkan perbedaaan kemunculan dasar perairan yang datar dan sebaran vegetasi.

Sinyal hambur balik yang berasal dari hamparan dasar perairan yang gundul (tanpa vegetasi) dan sinyal hamburan yang berasal dari vegetasi akan dibandingkan, seperti yang telah dihasilkan oleh Tegowski et al. (2003) (Gambar 10), yang memperlihatkan perbedaan lebar pulsa (pulse width), gema yang berasal dari area yang memiliki vegetasi memperlihatkan lebar pulsa yang lebih lebar. Terlihat pula perbedaan bentuk echo envelope, terlihat lebih halus pada echo yang berasal dari dasar perairan tanpa vegetasi. Berdasarkan pulse width dan bentuk echo envelope distribusi vegetasi dapat terlihat (Tegowski et al. 2003).

Gambar 10 Normalisasi echo envelope, (a) yang berasal dari vegetasi; (b) yang berasal dari dasar

(17)

21 Instrumen Hidro Akustik

Instrumen yang digunakan dalam penelitain ini adalah SIMRAD EY 60 yang merupakan echosounder tipe surat terbagi (split beam). Sistem surat terbagi menggunakan transduser penerima yang memiliki empat kuadran yakni fore, aft, port, dan starboard.

Selama transmisi, transmitter mengirim daya akustik ke semua bagian transduser pada waktu yang bersamaan. Sinyal yang terpantul dari target diterima secara terpisah oleh masing-masing kuadran. Selama penerima berlangsung keempat bagian transduser menerima gema dan target, dimana target yang terdeteksi oleh transduser terletak pada pusat dari surat suara dan gema dari target akan dikembalikan dan diterima oleh keempat bagian pada waktu yang bersamaan. Tetapi jika target yang terdeteksi tidak terletak tepat pada sumbu pusat surat suara, maka gema yang kembali akan diterima lebih dulu oleh bagian transduser yang paling dekat dari target atau dengan mengisolasi target dengan menggunakan output dari surat penuh (full beam) (SIMRAD, 1993).

Sistem surat terbagi memiliki kelebihan dan kekurangan dibandingakan dengan sistem lainnya. Kelebihan sistem surat terbagi adalah tepat waktu dalam melakukan pengukuran, lebih akurat dalam mengukur TS ikan di alam, dapat menduga densitas ikan secara langsung, posisi sudut dan kecepatannya dengan sifat data recording, sedangkan kekurangan sistem surat terbagi adalah memerlukan perangkat keras dan lunak lebih rumit dibandingkan metode dwi surat (dual beam method) dan ukuran transduser adakalanya besar sehingga sulit dioperasikan secara portable melainkan harus hull-mounted system, namun kini telah banyak tersedia tranducer yang mudah dibawa (portable) salah satunya adalah SIMRAD EY60.

Pengukuran dengan posisi target dihitung dari kedua berkas terbagi dengan fase pada bidang alongship atau arah sejajar dengan kapal dan athwarship atau arah tegak lurus dengan kapal.

Gambar

Gambar 2   Ilustrasi  morfologi  lamun  yang  membedakan  tiap  spesies.  (Lanyon,  1986, diacu dalam McKenzie and Campbell, 2002)
Gambar 4   Contoh tampilan data hasil olahan EcoSAV (survei di Santoña). SAV  tinggi (atas, dalam meter) dan persen tutupan (bawah), dimana dapat  dikombinasikan dengan peta batimetri (Schneider et al
Gambar 6.  Scatterplot  E1  terhadap  E2  setelah  cluster  analysis  (a)  dan  klas  habitat dasar sepanjang trek (b); hitam = pasir; hijau = lamun; merah
Gambar 8  Sumber  akustik  memancarkan  sinyal  ke  segala  arah  seperti  digambarkan pada model spherical spreading
+2

Referensi

Dokumen terkait

Parameter yang diamati meliputi pertumbuhan bibit yang terdiri dari tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang yang diamati sejak pin- dah tanam sampai bibit berumur 3

CITA JAYA Hasnah Binti Ibrahim Hasnah Binti Ibrahim Kg.. Cita Jaya, Batu

Mencatat seluruh barang milik daerah yang berada di Puskesmas Bontang Utara II baik yang berasal dari APBD, maupun perolehan lain yang sah ke dalam Kartu Inventaris Barang

 percobaan ini ini yaitu yaitu menganalisis menganalisis macam-mavam macam-mavam sampel sampel air air ( ( air air dalam dalam bak, bak, air air laut,dan

Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan

Efek Faraday atau juga dapat disebut sebagai Rotasi Faraday adalah suatu interaksi antara cahaya dengan medan magnetik yang terjadi dalam suatu bahan dielektrik..

8.. a) Vastaa kysymykseen valitsemalla parhaiten nykyistä opetustilannettasi kuvaava vaihtoehto. Opetustilani soveltuu hyvin kemian opetukseen. Saan käyttööni kemian

Nilai Ketakteraturan Total Sisi dari Graf Matahari; Tanti Windartini, 080210191031; 2012: 70 halaman; Program Studi Pendidikan Matematika, Ju- rusan Pendidikan Matematika dan