Creco Research Institute
Seminar : Mengelola Ekonomi dibawah Ancaman Inflasi dan Derasnya Modal Masuk 1 Maret 2011
Sambutan Gubernur Bank Indonesia Dr. Darmin Nasution
Overview Kebijakan Moneter/Perbankan-Tentang Inflasi dan Capital Inflows
Yang saya hormati
Wakil Presiden Republik Indonesia , Bapak Prof Dr Boediono Wakil Menteri Perdagangan, Bapak Mahendra Siregar
Bapak Ibu Pejabat Negara Bapak-Ibu undangan lainnya
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua,
Mengawali sambutan ini, perkenankanlah saya mengajak Hadirin untuk memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Subhanahu WaTa’ala karena berkat izin dan rahmat-Nya kita semua dapat hadir dalam seminar ini. Saya berpandangan, di tengah lingkungan global yang terus bergerak semakin dinamis, penyelenggaraan seminar ini sangat bermanfaat untuk berbagi pemikiran dan masukan terutama dalam menjawab tantangan berat dalam perekonomian kita ke depan.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
<ekonomi global paska krisis dan implikasinya bagi bank sentral>
Krisis keuangan 2008/2009 lalu telah merubah tatanan perekonomian global, sementara diperlukan waktu yang tidak singkat bagi perekonomian global itu sendiri untuk menyesuaikan kembali menuju kondisi normal. Saat ini kita menyaksikan bagaimana pemulihan ekonomi global terbagi
kedalam dua kecepatan (multispeed of recovery), yaitu negara maju dan emerging market, yang masing-masing menghadapi prospek ekonomi, tantangan, dan respon kebijakan yang berbeda. Perbedaan ini terus menimbulkan ketidakpastian dan fluktuasi di pasar keuangan global saat ini, yang antara lain ditandai dengan bergesernya preferensi investasi (risk apetite) dan alokasi modal global, yang mengarah ke negara emerging market. Dinamika lingkungan global seperti ini tentunya akan membuat tantangan bagi bank sentral emerging market dalam menjaga stabilitas makro semakin komplek, sehingga memerlukan framework kebijakan yang berbeda dibandingkan sebelum krisis.
Setidaknya, terdapat dua implikasi bagi tugas bank sentral di emerging market. Implikasi pertama, adanya keharusan bagi bank sentral untuk semakin mempertegas dua fungsi yaitu menjaga stabilitas harga (inflasi) dan sektor keuangan (financial stability) secara sekaligus sebagai dua fungsi yang tidak terpisahkan. Pelajaran berharga dari krisis global terakhir adalah bahwa dalam kondisi terjaganya stabilitas harga tidak cukup untuk dapat menjamin terpeliharanya stabilitas keuangan. Potensi krisis justru terakumulasi karena pelaku ekonomi mengambil risiko secara berlebihan dalam kondisi dimana ekonomi sedang tumbuh pesat (economic boom), dan inflasi terjaga stabil dan rendah.
Implikasi kedua, sebagai konskuensi dari semakin terintegrasinya pasar keuangan domestik dengan global maka sumber utama risiko dan instabilitas akan lebih banyak berasal dari eksternal. Derasnya aliran modal ke emerging market akibat kebijakan stimulus di negara maju dan melambungnya harga komoditas menjadi dua risiko eksternal yang menghadapkan respon kebijakan bank sentral emerging market pada tantangan yang juga semakin kompleks. Tantangan pertama adalah dilema
yang dihadapi kebijakan moneter karena bank sentral harus secara sekaligus mengatasi tekanan apresiasi, mengendalikan inflasi, namun juga menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Tantangan kedua, terkait dalam menjaga stabilitas keuangan akibat potensi ketidakseimbangan makroekonomi, asset bubble, dan risiko pembalikan modal dalam jumlah besar dan mendadak.
Hadirin sekalian yang berbahagia,
<empat tantangan utama bagi Bank Indonesia >
Saya ingin menyampaikan secara sekilas 4 (empat) tantangan utama, di mana Bank Indonesia harus merespon secara sekaligus melalui suatu bauran kebijakan.
Tantangan pertama adalah bagaimana mengendalikan inflasi ke arah sasaran yaitu 5±1% pada 2011 dan 4.5±1% pada 2012. Di
tengah meningkatnya kegiatan ekonomi, melambungnya harga minyak dan komoditas pangan di pasar global, tingginya ekses likuiditas di pasar keuangan dalam negeri, dan derasnya arus modal masuk, maka upaya pengendalian inflasi ini tentu tidaklah ringan.
Meningkatnya kegiatan investasi sejak pertengahan 2010 memang telah mendorong peningkatan kapasitas produksi sehingga dapat mengimbangi kuatnya pertumbuhan konsumsi. Hal ini tercermin dari inflasi inti yang masih tumbuh moderat. Namun, tekanan inflasi inti yang bersumber dari eksternal atau imported inflation perlu terus dicermati sejalan dengan melonjaknya harga komoditas di pasar global termasuk harga minyak mentah dan pangan.
Kenaikan harga minyak dapat berpengaruh pada kenaikkan harga BBM non-subsidi terutama di tingkat industri. Demikian pula, kenaikkan harga
komoditas pangan di pasar global seperti CPO, gandum, kedelai, jagung, dan beras mulai berdampak, baik secara langsung (first round effect) melaui kenaikkan input cost, maupun tidak langsung (second round effect) terhadap perkembangan harga pangan di domestik.
Tekanan inflasi yang bermula dari tekanan harga minyak dan pangan juga dapat memberikan dampak lanjutan apabila terus mempengaruhi ekspektasi inflasi di masyarakat, dan apabila tidak direspons akan memberikan tekanan ke inflasi inti. Hasil survey Bank Indonesia menunjukkan ekspektasi inflasi baik di tingkat produsen dan konsumen dalam kecenderungan meningkat. Kita juga perlu mencermati pengaruh naiknya ekspektasi inflasi dan persistensi kenaikkan harga pangan terhadap tekanan kenaikkan tingkah upah, yang pada gilirannya dapat memicu terjadinya perputaran yang saling mempengaruhi (spiraling-up) antara ekspektasi inflasi dan upah.
Di pasar keuangan, menguatnya ekspektasi inflasi sudah terlihat sejak awal Januari lalu, tercermin dari meningkatnya yield obligasi disertai tekanan depresiasi rupiah. Apabila kondisi tersebut tidak direspon juga dikawatirkan dapat memicu terjadinya perputaran yang saling mempengaruhi ( spiraling-up) antara ekspektasi inflasi dan ekspektasi depresiasi, sehingga semakin memperburuk outlook inflasi.
Selain permasalahan siklikal seperti tersebut di atas, permasalahan kualitas dan kuantitas infrastruktur serta kurang efisiennya struktur pasar merupakan titik lemah yang menyebabkan inflasi di Indonesia relatif lebih tinggi dalam skala kawasan.
Tantangan kedua adalah bagaimana mengoptimalkan manfaat dari aliran masuk modal asing dan meminimalkan risikonya.
Komplikasi pengelolaan kebijakan makro yang ditimbulkan oleh derasnya arus masuk modal jangka pendek merupakan permasalahan yang tengah dihadapi bersama oleh sebagian besar emerging market. Permasalahan timbul karena risiko inherent yang melekat pada aliran modal jangka pendek yaitu sifat 'procyclicality' di mana modal mengalir masuk deras pada saat ekonomi tumbuh pesat (economic boom), sebaliknya mengalir deras keluar pada saat ekonomi melambat (economic slowdown).
Pada saat ekonomi tumbuh pesat aliran modal masuk dapat mendorong ekonomi ke dalam kondisi 'internal imbalances' karena arus modal turut memicu tekanan inflasi dan asset bubble, dan sekaligus mendorong ke kondisi 'external imbalance' karena tekanan apresiasi yang ditimbulkan arus modal masuk tersebut juga memperburuk neraca transaksi berjalan. Sebaliknya, pada saat ekonomi melambat, arus modal dapat berbalik mendadak sehingga memicu tekanan depresiasi dan instabilitas makro dan sistem keuangan.
Pada prinsipnya, bagi Indonesia aliran masuk modal asing masih diperlukan sebagai salah satu sumber pembiayaan perekonomian.Tantangannya adalah bagaimana besarnya minat asing terhadap pasar keuangan domestik dapat diarahkan untuk memfasilitasi pendalaman pasar keuangan dan pembiayaan dunia usaha.
Tantangan ketiga adalah bagaimana mengendalikan ekses likuiditas agar sesuai dengan kebutuhan permintaan domestik.
Derasnya aliran masuk modal asing semakin menambah ekses likuiditas yang telah ada terutama di sektor perbankan, sehingga dapat memberikan tekanan terhadap stabilitas makro apabila tidak dikelola secara optimal.
Dalam kondisi perbankan yang mengalami ekses likuiditas, transmisi kebijakan moneter juga menjadi kurang efektif.
Untuk mengatasi hal tersebut, di tengah derasnya arus modal masuk, Bank Indonesia dituntut untuk terus mengembangkan strategi operasi moneter yang tepat dengan berbagai kombinasi instrumen. Demikian pula, koordinasi kebijakan dengan Pemerintah juga menjadi sangat penting dalam rangka mengelola ekses likuiditas yang bersumber dari operasi keuangan Pemerintah.
Tantangan keempat adalah bagaimana meningkatkan efisiensi, ketahanan dan daya saing perbankan.
Transmisi kebijakan moneter juga akan berjalan kurang efektif apabila efisiensi perbankan rendah dan ketahanan permodalannya rapuh. Dalam skala regional, daya saing perbankan Indonesia dari segi efisiensi, permodalan dan aset masih lebih rendah dibandingkan negara-negara kawasan. Misalnya, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan Net Interest Margin (NIM) perbankan Indonesia masih lebih tinggi dari perbankan di Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina.
Hadirin sekalian yang berbahagia, <trilemma kebijakan>
Berbagai tantangan yang dihadapi perekonomian kita sebagaimana diuraikan di atas memiliki implikasi tersendiri terhadap kebijakan moneter yang harus ditempuh. Berbagai tantangan tersebut menghadapkan Bank Indonesia pada sebuah trilemma kebijakan, yaitu (i) menjaga stabilitas moneter untuk stabilitas harga dan sekaligus (ii) menjaga stabilitas nilai tukar dan (iii) stabilitas sistem keuangan.
Dalam prakteknya, tidak ada negara yang berada dalam titik ekstrim trilemma tersebut, yaitu berada dalam ketiga tujuan trilemma kebijakan tersebut secara penuh. Secara umum, negara-negara emerging market mensiasati trilemma tersebut dengan memilih berada di tengah-tengah (middle ground solution), yaitu dengan pergerakan nilai tukar yang terkendali, dan pada saat yang bersamaan tetap berupaya menjaga stabilitas harga dan stabilitas sistem keuangan.
<bauran kebijakan>
Dalam menyikapi berbagai tantangan serta trilemma sebagaimana telah diuraikan di atas, suku bunga kebijakan yang dalam keadaan normal dapat digunakan sebagai instrumen kebijakan moneter, menjadi tidak cukup dan harus ditambah dengan berbagai instrumen kebijakan lainnya. Untuk itu, sejak tahun lalu Bank Indonesia merumuskan bauran instrumen kebijakan moneter, makroprudensial, dan fleksibilitas nilai tukar secara terkendali. Kebijakan makroprudensial melengkapi kebijakan moneter, baik untuk mengelola likuiditas domestik -misalnya melalui penerapan Giro Wajib Minimum (GWM)-, maupun untuk mengendalikan derasnya arus modal masuk -misalnya melalui penerapan ketentuan kewajiban kepemilikan SBI selama satu bulan (One Month Holding Period) dan ketentuan pembatasan pinjaman luar negeri (PLN) jangka pendek bank.
Pada tahun 2011 ini, bauran kebijakan tersebut akan terus diperkuat dan dikalibrasi berdasarkan assessment yang menyeluruh terhadap prospek perekonomian dan sistem keuangan. Bauran kebijakan tersebut mencakup; (i) kebijakan suku bunga BI rate, (ii) kebijakan nilai tukar, (iii) menjaga kecukupan cadangan devisa, (iii) kebijakan makroprudensial untuk
pengelolaan likuiditas domestik, dan (iv) kebijakan makroprudensial terhadap aliran masuk modal asing.
Hadirin sekalian yang berbahagia, <Kebijakan BI Rate>
Terkait dengan kebijakan suku bunga, keputusan BI Rate senantiasa mempertimbangkan 5 faktor utama, yaitu: (i) proyeksi inflasi dua tahun ke depan dan konsistensinya dengan sasaran inflasi, (ii) proyeksi pertumbuhan ekonomi dua tahun ke depan, (iii) proyeksi nilai tukar dan faktor penyebabnya, termasuk aliran modal asing, serta pengaruhnya pada proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi, (iv) perkembangan suku bunga dan kredit perbankan, serta (v) valuasi aset di sektor keuangan.
Dua faktor pertama diperlukan untuk menjaga konsistensi BI rate dengan pencapaian sasaran inflasi dengan mempertimbangkan dampaknya pada pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, tiga faktor terakhir diperlukan untuk keseimbangan eksternal, stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan, sekaligus untuk assessment terhadap mekanisme transmisi kebijakan moneter. Ini berimplikasi bahwa keputusan BI Rate akan dilakukan secara terukur (measured paces) dan dirubah dalam kondisi yang tepat (timely) dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap kesinambungan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan. Sebagai bagian dari bauran kebijakan, respon suku bunga sangat penting untuk lebih mempertegas sinyal atas kebijakan makroprudensial yang telah lebih dahulu ditempuh seperti Giro Wajib Minimum (GWM). Meredam peningkatan tekanan inflasi di tengah meningkatnya imported inflation akibat melambungnya harga komoditas juga memerlukan pemberian fleksibilitas bagi nilai tukar rupiah untuk menguat, sehingga kenaikkan BI
Rate yang terlalu besar dapat dihindari. Namun, fleksibilitas tersebut juga harus terkendali agar daya saing ekspor tetap terjaga.
Bauran kebijakan sebagaimana saya uraikan tersebut, hemat saya merupakan solusi yang memadai untuk merespon tantangan yang semakin komplek saat ini dan kedepan. Meski demikian, dalam kondisi dimana aliran modal jangka pendek cukup besar, sementara daya serap perekonomian dan pasar keuangan masih terbatas, maka bauran kebijakan tersebut tetap tidaklah cukup.
Untuk mencapai hasil optimal, kebijakan moneter harus dijalankan secara bersinergi dengan kebijakan fiskal, serta ditopang kebijakan lain terutama untuk mengatasi persoalan pasokan dan kebijakan pendalaman pasar keuangan. Kebijakan fiskal yang prudent sangat penting untuk menjaga kesinambungan, namun juga perlu disertai dengan pembelanjaan yang efektif dan efisien sehingga akan lebih memperkuat pertumbuhan ekonomi sekaligus membantu mengurangi ekses likuiditas di pasar keuangan. Sementara itu, jalinan koordinasi untuk mengatasi persoalan pasokan dan distribusi perlu terus diperkuat, termasuk melalui optimalisasi peran TPI dan TPID. Demikian pula, langkah konkrit dalam rangka pendalaman pasar keuangan tidak kalah penting untuk membantu mengurangi risiko instabilitas yang ditimbulkan oleh arus modal yang volatile.
Hadirin sekalian yang berbahagia, <kebijakan perbankan>
Implementasi kebijakan moneter yang efektif memerlukan lembaga keuangan khususnya sektor perbankan yang kuat dan efisien. Efisiensi tersebut dapat menjadi simpul terurainya permasalahan intermediasi, sehingga dapat meningkatkan kredit dan selanjutnya diharapkan lebih
mendorong pertumbuhan ekonomi. Efisiensi juga dapat mendorong perilaku bank dalam memberikan kredit yang lebih hati-hati, selektif, produktif dan prospektif. Perilaku tersebut juga akan menstimulasi praktek kehati-hatian perbankan, yang merupakan prasyarat terciptanya stabilitas system keuangan.
Usaha peningkatan efisiensi tersebut telah kita mulai dengan pemberlakuan ketentuan mengumumkan ’suku bunga dasar kredit’ (SBDK). Bank Indonesia juga masih terus menyiapkan langkah-langkah lanjutan, termasuk pelaksanaan benchmarking antar bank.
Hadirin sekalian yang berbahagia, <Penutup>
Sebagai penutup saya ingin mengajak kita bersama, pemangku kebijakan, komunitas di sektor kuangan, serta pelaku bisnis untuk waspada namun tetap optimis dalam menyikapi prospek perekonomian domestik. Meskipun menunjukkan kemajuan yang berarti, berbagai ketidakseimbangan masih menyertai proses pemulihan global sehingga dapat memicu ketidakpastian dan kerentanan di pasar keuangan global. Dalam lingkungan global yang semakin dinamis seperti itu, mengedepankan orientasi pertumbuhan bisnis yang sehat dengan terus meningkatkan kemampuan dalam mengukur dan mengelola risiko yang lebih baik menjadi sebuah keniscayaan. Dengan demikian, kita semua dapat turut berkontribusi dalam mewujudkan pembangunan ekonomi yang tidak saja tumbuh lebih tinggi, namun yang lebih penting adalah lebih berkualitas dan berkesinambungan.
Terima kasih dan semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan membimbing kita semua.