II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanaman Nilam
Tanaman nilam (Pogostemon cablin Benth) termasuk dalam famili labiatae dengan tinggi antara 0.3 – 1.3 meter. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah yang subur dengan curah hujan yang merata yaitu sebanyak 2300 – 3000 milimeter setiap tahun. Beberapa spesies Pogostemon yaitu :
Pogostemon cablin Benth. Populer dengan nama nilam Aceh, ciri utamanya adalah daunnya membulat seperti jantung dan di permukaan bagian bawahnya terdapat bulu-bulu rambut. Jenis ini sampai umur 3 (tiga) tahun hampir tidak berbunga.
Pogostemon hortensis Backer. Dikenal dengan nama nilam sabun. Ciri utamanya lembaran daun lebih tipis, tidak berbulu, permukaan daun tampak mengkilat, dan warnanya hijau. Pogostemon heyneanus Benth. Sering disebut nilam hutan atau nilam Jawa. Ciri-cirinya yaitu
ujung daun agak runcing, lembaran daun tipis dengan warna hijau tua dan berbunga lebih cepat.
Dari ketiga jenis nilam tersebut, yang paling tinggi kandungan minyaknya adalah nilam Aceh (2,5 – 5,0%), sedangkan nilam lainnya rata-rata hanya mengandung 0,5 – 1,5 %. Saat ini telah dikenal 3 varitas unggul nilam Indonesia dengan produktivitas > 300 kg minyak/ha yaitu Sidikalang, Tapaktuan dan Lhokseumawe.
Budidaya nilam tidaklah terlalu sulit, yang perlu diperhatikan adalah ketepatan memilih jenis varitas nilam, pengelolaan budidaya secara intensif dan lingkungan tumbuh yang memenuhi persyaratan, yakni pada suhu 24 – 28 °C, curah hujan 2000 – 3500 mm/tahun atau kelembaban > 75%, tekstur tanah remah, gembur dan banyak humus, dan ketinggian tanah mencapai 50 – 400 m dpl. Tanaman yang tumbuh di dataran rendah memiliki kadar minyak tinggi, PA (pathchouly alkohol) rendah, dan sebaliknya di dataran tinggi, kadar minyak rendah tapi PA-nya tinggi (Polontalo, 2009).
Menurut Panuju (2009) tanaman nilam merupakan tumbuhan tropik yang memiliki ciri-ciri seperti semak dengan tinggi 0,3-1,3 m, akar serabut, batang lunak, cabang banyak dan bertingkat mengitari batang dengan radius cabang melebar 60 cm, daun bulat lonjong, p=10 cm, l=8 cm, ujung meruncing, dan termasuk famili labiatae. Klon nilam Aceh memiliki kadar minyak dan produksi terna yang cukup tinggi, antara lain klon asal Sidikalang, Tapak Tuan, dan Meulaboh dengan kadar minyak 2-3% dari terna kering suling (kadar air 12-15%) dengan produksi terna segar (kadar air 70-80%) antara 10-20 ton/ha/panen (panen tiap 4-6 bulan) (Anonim, 2010).
2.2 Minyak Nilam
Minyak nilam merupakan minyak atsiri yang diperoleh dari hasil penyulingan tanaman nilam. Minyak nilam dipakai sebagai salah satu bahan baku dalam industri wewangian, kosmetika, dan sebagai bahan campuran pembuatan kompon. Minyak nilam sukar tercuci, sukar menguap dibandingkan dengan minyak atsiri lainnya, dapat larut dalam alkohol dan dapat dicampur dengan minyak eteris lainnya. Karena sifat-sifat inilah minyak nilam dipakai sebagai unsur pengikat dalam industri wewangian. Selain digunakan dalam bentuk minyak, daun nilam juga berguna untuk bahan pelembab kulit, menghilangkan bau badan, pengawet mayat dan obat gatal-gatal pada kulit. Selain itu menurut Mardiningsih, dkk (1998), minyak nilam dapat digunakan sebagai pengendali hama, baik
pada bahan simpanan di gudang maupun hama yang ada di lapangan, sebagai penolak serangga, pengendali pertumbuhan populasi serangga, dan sebagai penghambat pertumbuhan serangga.
Dalam dunia perdagangan minyak nilam digolongkan dalam satu jenis mutu dengan nama Patchouli oil yang harus memenuhi SNI (Standar Nasional Indonesia ) untuk minyak nilam seperti yang terdapat pada Tabel 2. Berbagai faktor yang mempengaruhi mutu minyak nilam, yaitu varietas, lingkungan tumbuh, teknik budidaya, perlakuan pendahuluan, proses penyulingan, serta pengemasan dan penyimpanan (Anggraeni dkk, 1998). Komponen utama dalam minyak nilam adalah patchouli alkohol (PA) yang kadarnya sekitar 30%. Komponen inilah yang biasanya dijadikan dasar penentuan mutu minyak nilam yang diinginkan pembeli selain minyak bebas cemaran besi (Fe). Oleh karena itu penyulingan sebaiknya dilakukan dengan menggunakan ketel berbahan bebas karat (stainless steel) bukan dari besi yang bersifat korosif (Polontalo, 2009). Komposisi minyak nilam secara umum dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4.
Tabel 2. Persyaratan mutu minyak nilam Indonesia (SNI 06-2385-2006)
Kharakteristik Nilai
Warna Kuning Muda-Coklat kemerahan
Bobot jenis (25o /25oC) 0,950-0,975
Indeks bias 25oC 1,507-1,515
Bilangan Asam Maksimum 8,0
Kelarutan dalam Alkohol 90% Larutan jernih pada perbandingan volume 1 : 10
Bilangan Ester Maksimum 20,0
Putaran Optik (£D 25) (-48
o
) - (-65o)
Patchouli alcohol (C15H26O) Minimal 30%
Alpha copaena (C15H24) Maksimal 0.5%
Kandungan besi (Fe) Maksimal 25 mg/kg
Sumber : Badan Standardisasi Nasional (2006)
Tabel 3. Komposisi Minyak Nilam
Senyawa Jumlah (%) α-elemene 1 caryophyllene 20 α-guaiene 15 α-bulnesene 25 α-bulnesene oxide 4 α-guaene oxide 1 Caryophyllene oxide 2 Nor-patchoulinol 0.5 Patchouli alkohol 30 Pogostol 1 Sumber : Skadia, dkk (2007)
Tabel 4. Komposisi Minyak Nilam
No. Komponen Jumlah (%) Rumus Molekul Berat Molekul
1 Alpha-pinene 0.56 C10H26 136.24 2 Beta-pinene 0.56 C10H26 136.24 3 Limonene 0.13 C10H26 136.24 4 Beta-patchoulene 0.71 C10H24 204.35 5 Beta-elemene 0.22 C10H24 204.36 6 Beta-caryophylene 1.33 C10H24 204.36 7 Alpha,-guaine azulene 1,2 8.22 C10H24 204.36 8 Seychellene 5.73 C10H26 218.28 9 Alpha-patchoulene 3.27 C10H24 204.35 10 Alpha-elemene 0.11 C10H24 204.36 11 Beta-caryophyllene 0.15 C10H24 204.36 12 Alloaromadrene 0.19 C10H24 204 13 Patchoulene 0.32 C10H24 204.35 14 (+)-aromadendrene 1 H-cyclopr… 0.12 C10H24 204 15 Pentadecane, 3-methyl-(CAS)… 0.36 C10H24 204.36 16 Alpha-bulsene 10.98 C10H24 204.36 17 Delta-guaiene 0.27 C10H24 204.36 18 Delta-cadinene 0.46 C10H24 204.36 19 Caryophyllene oxide 0.55 C10H20O 192.30 20 Hexadecane (CAS) 0.13 C15H24 204.36 21 Caryophyllene oxide 0.34 C13H20O 192.30 22 Alpha-copaene 0.13 C15H24 204.36 23 Viridiflorol 0.44 C15H24O 220 24 Pogostol 1.38 C15H24O 201.34
25 Patchouli alcohol 1,6 methan… 22.21 C15H26O 222.36
26 Patchouli alcohol 22.15 C15H26O 222.36 27 Aromadendrene 0.11 C15H24 204 28 4,5 dimethoxy 2-methylphenol 17 C15H22O 218 29 Eugenol benzoat 3.48 C10H12O2 164.2 30 Norpathoulenol 0.82 C15H26O 222.36 31 Nortetrapatchoulenol 0.7 C14H24O 208.34
32 8H-benzo [3,4]cylobuta [1,2]cyclo 0.13 C15H24O 220
33 3,beta-hydroxy-17-methy-4(13… 1.13 C15H24O 220
Berdasarkan komposisi tersebut terlihat bahwa komponen utama minyak nilam adalah patchouli alkohol. Komponen utama inilah yang biasanya digunakan sebagai pengikat (fixative) pada industri parfum. Minyak nilam adalah minyak atsiri yang diperoleh dari daun nilam (Pogostemon cablin Benth) dengan cara penyulingan. Minyak nilam terdiri dari komponen bertitik didih tinggi seperti patchouli alkohol, patchoulen, kariofilen dan non patchoulenol yang berfungsi sebagai zat pengikat dan belum dapat digantikan oleh zat sintetik (Hidayat, 2010). Menurut Ketaren (1985) komponen kimia penyusun minyak nilam terdiri dari dua golongan, yaitu golongan terpen dan golongan terpen-O. Unsur kimia golongan terpen-O terdiri dari Carbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O). Beberapa senyawa penyusun minyak nilam antara lain:
a. Patchouli Alkohol
Patchouli alkohol merupakan seskuiterpen alkohol yang dapat diisolasi dari minyak nilam, tidak larut dalam air, larut dalam alkohol, eter atau pelarut organik yang lain, mempunyai titik didih 287oC pada tekanan 760 mmHg. Kristal yang terbentuk mempunyai titik lebur 56oC. Patchouli alkohol disebut juga patchouli camphor atau oktahidro-4,8a,9,9-tetrametil-1,6-metanonaftalen, mempunyai berat molekul 222,36 dengan rumus molekul C
12H26O, selain itu terhadap patchouli
alkohol dapat dilakukan esterifikasi dengan asam asetat dan katalis asam sulfat menghasilkan patchouli asetat (Bulan, 2004). Sifat fisik patchouli alkohol dapat dilihat pada Tabel 5 dan rumus bangunnya dapat dilihat pada Gambar 1.
Tabel 5. Sifat fisik Patchouli Alkohol
Sifat Nilai Indeks bias (20oC) 1.52450 Titik didih (760mmHg) 287-288oC Titik lebur (760 mmHg) 55-58oC Densitas 1.001 ± 0.06 g/cm3 Flash point 101.67oC Sumber: Anonim (2010)
Gambar 1. Rumus bangun patchouli alkohol
Kadar patchouli alkohol dalam minyak nilam dapat diketahui dengan cara melakukan uji kromatografi gas (GC). Pada uji kromatografi gas, komponen monoterpen akan keluar lebih dahulu,
OH
H
kemudian diikuti oleh golongan monoterpen-O yang memiliki polaritas dan bobot molekul yang lebih besar dibandingkan dengan komponen monoterpen. Berikutnya akan keluar golongan seskuiterpen yang memiliki bobot molekul lebih besar dari monoterpen-O, dan diikuti oleh golongan seskuiterpen-O yang memiliki polaritas dan bobot molekul terbesar. Patchouli alkohol memiliki waktu retensi yang cukup lama karena titik didihnya yang tinggi. Waktu retensi adalah waktu yang digunakan oleh senyawa patchouli alkohol untuk bergerak melalui kolom menuju detektor. Waktu ini diukur berdasarkan waktu dari saat sampel diinjeksikan pada titik dimana tampilan menunjukkan tinggi puncak maksimum untuk senyawa itu. Setiap senyawa memiliki waktu retensi yang berbeda. Untuk senyawa tertentu, waktu retensi sangat bervariasi dan bergantung pada:
1. Titik didih senyawa. Senyawa yang mendidih pada temperatur yang lebih tinggi daripada temperatur kolom, akan menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk berkondensasi sebagai cairan pada awal kolom. Dengan demikian, titik didih yang tinggi akan memiliki waktu retensi yang lama.
2. Kelarutan dalam fase cair. Senyawa yang lebih mudah larut dalam fase cair, akan memiliki waktu retensi yang lama.
3. Temperatur kolom. Temperatur tinggi menyebabkan pergerakan molekul-molekul dalam fase gas dan mempersingkat waktu retensi. Namun, pemisahannya kurang baik sehingga tidak akan terdapat jarak antara puncak-puncak dalam kromatogram. Semakin rendah temperatur kolom semakin baik pemisahan komponen atau senyawa tetapi akan memakan waktu yang lama untuk mendapatkan senyawa karena kondensasi yang lama pada bagian awal kolom (Clark, 2007).
b. Patchoulene
Patchoulene terdiri dari alpha-patchoulene dan beta-patchoulene yang rumus bangunnya dapat dilihat pada Gambar 2. Alpha-patchoulene atau hexahydro1,4,9,9-2,3,6,7,8alpha-tetramethyl-1H-3alpha,7-methanoazulene dan beta-patchoulene memiliki indeks bias yang sama yaitu 1.515 ± 0.03 cm3 sedangkan titik didih, bobot jenis, dan flash pointnya berbeda. Alpha-patchoulene memiliki bobot jenis sebesar 0.94 ± 0.1 g/cm3, titik didih sebesar 262-263oC pada tekanan 760 mmHg dan flash point
sebesar 110oC, sedangkan beta-patchoulene memiliki bobot jenis sebesar 0.95 ± 0.1 g/cm3, titik didih sebesar 260-262oC, dan flash point sebesar 99.44 oC.
Alpha-patchoulene Beta-patchoulene Gambar 2. Rumus bangun patchoulene
c. Beta-caryophyllene
Beta-caryophyllene juga disebut dengan trans-caryophyllene dapat larut dalam alkohol dan propilen glikol. Beta-caryophyllene memiliki nilai indeks bias sebesar 1.494 ± 0.03, bobot jenis sebesar 0.89 ± 0.1 g/cm3, nilai putaran optik -5 sampai -10 dan nilai flash point sebesar 93.33 oC. Rumus bangun beta-caryophyllene dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rumus bangun beta-caryophyllene d. Beta-elemene
Beta-elemene dikenal juga dengan 1-ethenyl-1-methyl-2,4-bis-cyclohexane yang rumus bagunnya dapat dilihat pada Gambar 4 memiliki bobot jenis sebesar 0.862 ± 0.06 g/cm3, indeks bias sebesar 1.501 ± 0.02, flash point sebesar 98.33°C dan memiliki titik didih sebesar 251 sampai 253 °C pada 760.00 mm Hg.
Gambar 4. Rumus bangun beta-elemene e. Alpha-copaene
Alpha-copaene dikenal juga dengan aglaiene (copaeneal/pha-copaene) memiliki bobot jenis sebesar 0.939 ± 0.06 g/cm3, indeks bias sebesar 1.509 ± 0.02, nilai flash point sebesar 42.78°C dan memiliki titik didih sebesar 246 sampai 251°C pada 760.00 mm Hg. Rumus bagun alpha-copaene dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Rumus bangun alpha-copaene f. Pogostol
Pogostol dikenal juga dengan 1,4-dimethyl-7-prop-1-en-2-yl-2,3,3a,5,6,7,8,8a-octahydro-1H-azulen-4-ol memiliki bobot jenis sebesar 0.929 ± 0.06 g/cm3, indeks bias sebesar 1.483 ± 0.02, nilai
flash point sebesar 128.33°C dan memiliki titik didih sebesar 303 sampai 304°C pada 760.00 mm Hg. Rumus bangun pogostol dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Rumus bangun pogostol g. Beta-gurjunene
Beta-gurjunene dikenal juga dengan 1aR-decahydro-1,1,4-trimethyl-7-methylene-1H-cycloprop(e)azulene memiliki bobot jenis sebesar 0.93 ± 0.1 g/cm3, indeks bias sebesar 1.505 ± 0.03,
nilai flash point sebesar 106.11°C dan memiliki titik didih sebesar 257 sampai 258°C pada 760.00 mm Hg. Rumus bangun beta-gurjunene dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Rumus bangun beta-gurjunene h. Alpha-pinene
Alpha-pinene dikenal juga dengan dextro,laevo-pin-2(3)-ene memiliki bobot jenis sebesar 0.879 ± 0.06 g/cm3, indeks bias sebesar 1.464 pada suhu 25°C, dan memiliki nilai flash point sebesar 32.22°C. Rumus bangun alpha-pinene dapat dilihat pada Gambar 8.
i. Beta-pinene
Beta-pinene dikenal juga dengan terbenthene memiliki bobot jenis sebesar 0.88 ± 0.1 g/cm3, indeks bias sebesar 1.477 sampai 1.481 pada 20° pada suhu 25°C, dan memiliki nilai flash point sebesar 35°C. Rumus bangun beta-pinene dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9. Rumus bangun beta-pinene
2.3 Pengeringan
Faktor yang mempengaruhi kecepatan pengurangan kadar air antara lain : luas permukaan bahan, perbedaan kelembaban udara pengering dan permukaan komoditas, temperatur udara pengering, koefisien perpindahan panas, dan kecepatan udara pengering (Amin, 2005). Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air, pengurangan kadar air pada awalnya hanya terjadi pada permukaan bahan jika temperatur sekitar jauh lebih tinggi dari temperatur bahan. Pengeluaran air dari permukaan bahan relatif lebih mudah jika dibandingkan dengan pengeluaran kandungan air yang berada lebih jauh dari permukaan kulit. Kandungan air di permukaan bahan mudah menguap, semakin dalam konduksi panas semakin sukar menembus bahan sehingga penguapan air semakin lambat. Mutu minyak nilam dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain mutu daun, penyulingan dan penyimpanan minyak. Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu daun sebelum disuling adalah kesuburan tanah, umur tanaman, daerah asal, perlakuan pengeringan dan lama penyimpanan. Pengeringan daun nilam perlu dilakukan, karena bila daun nilam segar langsung disuling akan mengakibatkan daun rapuh dan sulit untuk disuling, sedangkan pengeringan yang terlampau lama akan berakibat timbulnya bau yang kurang enak akibat adanya pertumbuhan jamur (Sudaryani dan Sugiharti, 1989).
Kehilangan minyak selama pengeringan disebabkan karena keluarnya minyak asiri dari kantong minyak di dalam bahan dengan bantuan air disebut dengan peristiwa hidrodifusi. Minyak atsiri bersifat tidak permeable terhadap dinding kantong minyak sehingga tidak bisa keluar dari kantong minyak. Dengan adanya air di dalam bahan segar disertai dengan pemanasan (dalam hal ini pengeringan) maka air yang bersifat permeable terhadap kantong minyak masuk ke dalam kantong minyak dan mendispersikan bagian minyak (nonpolar) dan melarutkan minyak yang relatif polar. Akibatnya minyak yang tadinya bersifat tidak permeable menjadi bersifat permeable (karena sebagian terdispersi dan sebagian larut dalam air), sehingga dapat keluar dari dinding kantong ke permukaan bahan dan akhirnya menguap bersama-sama dengan air. Penguapan minyak bersama-sama dengan air selama proses pengeringan adalah penguapan larutan dalam sistem dua fase (menuruti Hukum Dalton). Itulah sebabnya minyak atsiri yang bertitik didih tinggi (paling rendah 135oC ) dapat
menguap dibawah titik didihnya (dalam hal ini pada suhu pengeringan 40-50oC). Menurut penelitian yang dilakukan Irfan dalam Anonim (2010), daun nilam yang dikeringanginkan mengakibatkan penurunan kadar minyak, bilangan ester, serta beberapa komponen terpen dalam minyak nilam.
Sebaliknya bobot jenis, indeks bias dan komponen berat yang polar dalam minyak semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu pengeringanginan.
Menurut Guenther (1970), pengeringan membutuhkan waktu selama 2-3 hari tergantung dari keadaan matahari dan kelembaban udara untuk mencapai kadar air daun siap suling (12-15%). Pelayuan dan pengeringan dimaksudkan untuk menguapkan sebagian air dalam bahan sehingga penyulingan lebih mudah dan lebih singkat. Menurut Hernani dan Risfaheri (1989), rendemen minyak nilam tertinggi didapat dari kombinasi perlakuan lama penjemuran 2 jam dan dilanjutkan pelayuan selama 9 hari. Berdasarkan hasil penelitian Nurdjannah dan Makmun (1994) yang menunjukkan bahwa daun nilam yang dijemur selama 4 jam kemudian dilanjutkan dengan pengeringanginan selama 6 hari menghasilkan minyak nilam yang lebih tinggi dibandingkan dengan daun nilam yang dikeringanginkan saja seperti yang terdapat pada Tabel 6.
Tabel 6. Produksi minyak nilam dari bahan dijemur dan tidak dijemur selama penyimpanan 0, 1, dan 2 Minggu
Penyimpanan (Minggu)
Produksi Minyak Nilam (%)
Tanpa Dijemur Dijemur
0 1.48 1.50
1 1.58 1.72
2 1.49 1.35
Sumber : Nurdjannah dan Makmun dalam Nurdjannah, dkk (2006)
Minyak nilam bersumber dari daun dan batang tanaman nilam. Sebelum bahan tersebut disuling, sebaiknya dirajang terlebih dahulu menjadi potongan-potongan kecil. Proses perajangan ini bertujuan untuk memudahkan penguapan minyak nilam dari bahan, dan untuk mengurangi sifat kamba bahan yang diolah (Ketaren, 1985). Perajangan bertujuan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan, memperluas permukaan suling dari bahan dan mengurangi sifat kamba. Pada umumnya perajangan dilakukan pada ukuran 20 – 30 cm (Polontalo, 2009).
2.4 Penyulingan
Minyak nilam dapat diproduksi melalui tiga metode penyulingan, yaitu penyulingan dengan cara rebus, penyulingan dengan uap, dan penyulingan dengan cara kukus. Penyulingan bahan memiliki hubungan yang erat dengan proses difusi, terutama dengan proses osmosis. Difusi minyak nilam dan air panas melalui membran tanaman disebut dengan hidrodifusi. Pada suhu air mendidih, sebagian minyak atsiri akan larut dalam air yang terdapat dalam kelenjar. Campuran minyak dalam air ini berdifusi keluar dengan peristiwa osmosis, melalui selaput membran yang sedang mekar sampai di permukaan bahan, dan selanjutnya menguap.
1. Penyulingan cara rebus (water distillation)
Pada metode penyulingan dengan cara rebus ini terna nilam yang akan disuling kontak langsung dengan air yang mendidih. Terna nilam dapat mengapung atau tenggelam, tergantung berat jenisnya dan jumlah bahan yang akan disuling yang dimasukkan ke dalam ketel. Pemanasannya dapat dilakukan dengan menggunakan pemanasan langsung, mantel uap ataupun pipa uap dalam spiral yang terbuka dan berlubang (Sumarni, Nunung dan Solekan, 2010). Pada metode penyulingan cara rebus, ketel suling diisi air sampai volumenya 50% dan dipanaskan. Sebelum air mendidih, terna nilam dimasukkan ke dalam ketel suling, sehingga penguapan air dan minyak atsiri berlangsung bersamaan.
2. Penyulingan dengan uap (steam distillation)
Pada metode ini, air yang menjadi sumber uap panas terletak dalam boiler yang letaknya terpisah dari ketel penyuling. Penyulingan dengan uap sebaiknya dimulai dengan tekanan uap yang rendah (kurang lebih 1 atm), kemudian secara berangsur-angsur tekanan uap dinaikkan menjadi kurang lebih 3 atm. Metode ini membutuhkan tipe alat penyulingan dengan kontruksi yang lebih kuat dan tahan lama dari pada tipe alat penyulingan untuk metode lainnya (Ketaren, 1985). Pada metode ini ketel uap yang berisi air dipanaskan kemudian uapnya dialirkan ke dalam ketel suling yang berisi terna nilam. Partikel-partikel minyak pada bahan akan terbawa bersama uap dan dialirkan ke alat pendingin, sehingga uap air yang bercampur minyak akan mengembun dan mencair kembali. Selanjutnya, dialirkan ke tabung pemisah minyak yang akan memisahkan minyak atsiri dan air. 3. Penyulingan dengan cara kukus (water and steam distillation)
Menurut Hayani (2005), dalam industri pengolahan minyak atsiri dikenal tiga macam sistem penyulingan, yaitu penyulingan air (rebus), penyulingan dengan uap dan air (kukus), serta penyulingan uap. Cara penyulingan yang paling sederhana untuk memperoleh minyak nilam adalah dengan penyulingan air dan uap atau dikukus. Cara ini biasa dilakukan untuk skala kecil, sedangkan untuk skala industri menggunakan cara penyulingan uap. Penyulingan terna nilam untuk mendapatkan minyak atsiri dilakukan antara 6-8 jam.
Pada penyulingan ini terna nilam yang akan disuling diletakkan di atas sarangan berlubang yang menyebabkan bahan tidak berhubungan langsung dengan air mendidih sehingga penyulingan ini disebut juga dengan penyulingan tidak langsung (indirect distillation). Kemudian ketel penyulingan diisi dengan air sampai permukaannya tidak jauh dari bawah sarangan. Terna nilam yang akan disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas.