• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL TRACKING AND TRACING DALAM PROSES DISTRIBUSI UNTUK MENDUKUNG KUALITAS PRODUK PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL TRACKING AND TRACING DALAM PROSES DISTRIBUSI UNTUK MENDUKUNG KUALITAS PRODUK PERTANIAN"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGEMBANGAN MODEL TRACKING AND TRACING DALAM PROSES

DISTRIBUSI UNTUK MENDUKUNG KUALITAS PRODUK PERTANIAN

Wahyu Supartonoa, Joewono Soemardjitob, dan Eka Indartob a

Jurusan Teknologi Industri Pertanian – Fakultas Teknologi Pertanian bPusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) – Universitas Gadjah Mada

ABSTRACT

Basically agricultural products have unique characteristics, namely perishable, bulky and seasonal. Supply chain model for these products is more complex than other industrial products. It is caused the agricultural products have potency to be decayed since they have been harvested in the field. Decrease of their quality level due to their distribution activities to consumers is caused by change of time and distance, temperature and distribution vehicles. Current activity and added value of agricultural product supply chain is uncertain, that leads to influence the product quality. Traceability is a part of implementation of ISO 9001:2008 which is defined as the ability of product to be traced until at the consumers. This process is very important in the future in term of quality assurance of agricultural products to be consumed safely. This activity supports the implementation of Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) and or ISO 22000 on food safety system, which deals with activity such “from farm to table” or “from pork to fork”. To develop tracing and tracking model of agricultural products it is needed an identification number of at least farmer’s group (based on location) which receives the supply from its farmers. This number is used as reference number for the products which are distributed to consumers or industries. Some additional facilities such as sorting, washing, cold storage and suitable material for packaging should be added at farmer’s group location (as farm-gate) or at sub-terminal or hub-market for agricultural products.

Keywords: Tracking, tracing, product quality, distribution channel PENDAHULUAN

Latar Belakang Penelitian

Produk pertanian memiliki karakteristik berbeda dibandingkan dengan komoditi lain, seperti umur penggunaan yang pendek, tingkat kerentanan yang tinggi terhadap lingkungan mikro (cuaca/iklim), sehingga produk ini memerlukan penanganan khusus dalam proses packaging dan distribusinya guna mempertahankan kualitas produk tersebut. Setelah dipanen, semua produk pertanian dapat didistribusikan untuk dikonsumsi langsung kepada customer atau digunakan sebagai bahan baku pada industri makanan dan minuman.

Proses pendistribusian produk pertanian terkait erat dengan supply chain management. Model supply chain produk pertanian lebih komplek daripada model supply chain produk industri lainnya, mengingat karakteristik yang melekat pada produk-produk pertanian. Hal tersebut dikarenakan kuantitas hasil panen produk pertanian sangat tergantung pada proses pertumbuhan terkait penanaman di lahan pertanian. Hal tersebut dikarenakan produk pertanian dapat mengalami kerusakan atau loss function sejak dipanen dari lahan pertanian.

Beberapa kasus kegagalan produk, seperti yang dilakukan Hillstrom et. al. (2003), dalam surveinya di wilayah regional Asia Tenggara pada tahun 1997, mengindikasikan kehilangan produksi pertanian (total loss) berkisar antara 10% hingga 37% dari mulai proses panen hingga proses distribusinya. Patut disesalkan karena total loss dari produk pertanian mengalami peningkatan berkisar antara 20% hingga 60% dari total jumlah produk yang dipanen pada setiap negara (The Food and Fertilizer Technology Center dalam http://www.agnet.org). Beberapa aspek penyebab penurunan kualitas produk sayur-mayur di Indonesia, pada umumnya karena masalah teknis, seperti: buruknya kualitas benih, serangan hama/penyakit, praktek-praktek yang kurang tepat, dan yang tidak kalah penting adalah kehilangan kualitas akibat penanganan yang buruk selama pascapanen (Dimyati dalam http://www.papuaweb.org/dlib/tema/ubi/psp-2003-dimyati.pdf).

(2)

Penurunan kualitas produk sayuran juga terkait dengan aktivitas distribusi produk komoditi pertanian hingga ke konsumen dikarenakan suatu perubahan dalam dimensi waktu-jarak atau suhu serta media/sarana pengangkutan dalam setiap mata rantai aktivitas distribusi. Nilai aktivitas sekarang dan nilai tambah pada supply chain produk pertanian seperti sayur-mayur mengalami ketidakpastian, sehingga hal ini semakin kuat dapat mempengaruhi kualitas produk. Dengan total loss yang begitu besar untuk produk sayur-mayur berarti terjadi kesalahan atau ketidakseimbangan selama proses pemanenan dan pengiriman produk baik untuk jumlah dan waktu. Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka akan menimbulkan kerugian bagi petani sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen.

Cara penangkutan komoditi sayur-mayur harus mendapatkan perhatian lebih karena sifatnya yang mudah rusak tersebut. Misalnya dari lahan pertanian dan setelah panen seharusnya produk tersebut diangkut sesuai dengan sifat fisikokimia produk, misalnya klimaterik/non-klimaterik, perlu suhu rendah atau tidak, tidak ditumpuk, dikemas dengan kemasan dari bahan apa, dlsbnya. Kondisi tersebut harus diperhatikan atau dikendalikan dengan baik agar kehilangan (loss) selama proses pengangkutan dan distribusi dapat diminimalkan.

Penjagaan kualitas atau quality assurance pada produk pertanian, seperti sayur-mayur, relatif sulit karena komoditi ini memiliki sifat-sifat: bulky (volumenya besar), perishable (mudah rusak) dan seasonal (musiman). Kendala ini merupakan tantangan dalam menjaga kualitas produk karena para pemasok produk pertanian diharapkan dapat memasok produk dengan kualitas baik atau sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh industri atau pasar. Hal ini juga diperkuat adanya penerapan ISO 9001:2008 yang menyatakan bahwa semua pemasok yang memasok bahan baku/pembantu pada industri yang telah memiliki ISO tersebut harus memenuhi persyaratan yang sesuai dengan aturan yang ada.

Traceability merupakan salah satu bagian dalam pelaksanaan ISO 9001:2008 dan dapat didefinisikan sebagai kemampuan telusur balik dari produk yang sampai pada konsumen. Proses ini sangat penting untuk masa yang akan datang terutama dalam hal penjaminan kualitas produk yang digunakan oleh konsumen dapat dikategorikan aman untuk digunakan atau dikonsumsi.

Kemampuan untuk tracing and tracking ini sangat penting bagi komoditi sayur-mayur karena semua konsumen menghendaki keamanan pangan “from farm to table” atau “from pork to fork”. Dengan adanya dua kegiatan tersebut beberapa keuntungan dapat diraih antara lain: (a) prosedur identifikasi dan menyusur produk dari tahap produksi, distribusi dan instalasi; (b) adanya informasi tentang bagian apa yang terdapat dalam bagian produk, spesifikasi produk, status produk, dll.; (c) adanya informai tentang isi yang tepat tentang produk tersebut; dan (d) membantu ke arah pencapaian process control.

Fungsi tracking and tracing pada komoditi sayur-mayur antara lain membantu konsumen maupun produsen untuk mengetahui siapa pemasok mereka serta bagaimana cara para pemasok dalam menangani produk. Apabila ada kasus pencemaran atau timbulnya suatu penyakit yang disebabkan oleh produk sayur-mayur dapat dideteksi lebih dini atau dapat diketahui dengan mudah sumber pencemaran atau penyakit tersebut. Kepastian ini akan menambah kepercayaan konsumen dalam mengkonsumsi produk sayur-mayur tersebut.

Dalam upaya menjaga kualitas produk pertanian, khususnya sayur-mayur, dan guna mendukung kebijakan pemerintah dalam program ketahanan pangan, maka dengan adanya tracking and tracing system diharapkan dapat menjadi salah satu strategi alternatif untuk mencapai tujuan tersebut. Hal tersebut menjadi fokus utama yang hendak diangkat dalam penelitian ini dengan melibatkan peran industri logistik sebagai bagian penting dalam proses distribusi produk/komoditi pertanian (sayur-mayur).

Secara umum penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi kebutuhan pengembangan sistem tracking and tracing pada perusahaan bersangkutan untuk mendukung proses distribusi komoditi sayur-mayur.

2. Menyusun kerangka model sistem informasi pengendalian kualitas sayur-mayur untuk mendukung kualitas produk agar tetap pada tingkat yang dibutuhkan konsumen (tepat kualitas, tepat kuantitas, serta tepat waktu dan tepat tempat).

(3)

METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah pusat pengumpulan dan distribusi sayur-mayur dan buah-buahan, yang pada umumnya berupa pasar tradisional. Lokasi yang diteliti berada di dua wilayah provinsi, yaitu Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DI Yogyakarta (tabel 1)

Tabel 1. Lokasi Penelitian

No Desa Kecamatan Kabupaten/Kota Provinsi

1 Jetis Bandungan Semarang Jawa Tengah

2 Kalisoro Tawangmangu Karanganyar Jawa Tengah

3 Trirenggo Giwangan Yogyakarta DIY

Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilaksanakan secara bertahap, meliputi: tahap persiapan, tahap pengumpulan data, dan tahap analisis. Secara umum alur pelaksanaan kegiatan adalah sebagai berikut: 1) Tahap Persiapan. Tahap ini merupakan awal kegiatan penelitian. Kegiatan yang dilakukan pada tahap awal ini adalah kegiatan identfikasi masalah; dan pendalaman literatur yang terkait dengan tema penelitian.

2)Tahap pengumpulan data. Tahap ini terbagi dalam dua kegiatan, pertama: kegiatan persiapan (pra) survey, mencakup identifikasi awal lokasi-lokasi simpul pengumpulan dan distribusi produk pertanian yang terdapat di Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DI Yogyakarta. Setelah teridentifikasi dan dipilih lokasi yang sesuai, selanjutnya dilakukan kegiatan peninjauan lokasi untuk melihat gambaran nyata aktivitas para pelaku pasar produk sayur-mayur dan buah-buahan di lokasi bersangkutan.

3)Tahap analisis. Kegiatan yang dilakukan dalam tahap ini adalah menganalisis hasil pengumpulan data lapangan ditinjau dari kompleksitas masalah yang hendak dipecahkan melalui penelitian ini. PEMBAHASAN

Rantai Pasok pada STA Jetis Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah

Pengepul 1

Pengepul 2

Retail Kota Tujuan

Retail Kota Tujuan

Retail Kota Tujuan

Petani Petani

STA Jetis Bongkar Muat

Gambar 1. Pola Rantai Pasok Komoditi Pertanian yang Berlaku di STA Jetis Bandungan, Provinsi Jawa Tengah

Pola rantai pasok komoditi pertanian menggambarkan aliran komoditi pertanian dari titik asal produk hingga titik atau tujuan akhir. Pola rantai pasok komoditi pertanian yang berlaku pada daerah penelitian bervariasi antara satu lokasi dengan lokasi yang lain. Secara umum, pola rantai pasok komoditi pertanian yang terjadi dapat dijelaskan melalui skema berikut ini.

Skema rantai pasok komoditi pertanian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 menunjukkan aliran produk pertanian dari titik asal (petani) hingga tujuan akhir yaitu retail pada kota tujuan. Pada pola di atas, terdapat komponen Pengepul yang berperan sebagai: (1) titik pengumpulan produk pertanian dari para petani sebelum dibawa ke STA Jetis dan (2) titik pengumpulan produk

(4)

pertanian setelah keluar dari STA Jetis sebelum didistribusi ke tujuan akhir, meskipun terdapat aliran produk dari pertanian langsung menuju ke STA Jetis tanpa melalui Pengepul.

Keberadaan Pengepul yang menjadi area kolektif komoditi pertanian sebelum dibawa ke STA Jetis membawa dampak tertundanya produk masuk langsung ke STA Jetis. Hal ini tentunya akan menghambat proses masuknya komoditi ke titik bongkar muat di STA Jetis. Berdasar hasil pengamatan, penundaan waktu dapat mencapai 12 jam dan hal ini tentunya akan menciptakan ketidakefisienan dalam proses transfer produk dari petani ke STA Jetis. Dampak yang lain adalah potensi terjadinya kerusakan (loss) produk pertanian yang pada akhirnya akan membawa kerugian bagi petani dan konsumen akhir.

Rantai Pasok pada Pasar Induk Giwangan, Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta

Pola rantai pasok komoditi pertanian yang berlaku di Pasar Induk Giwangan, Kabupaten Bantul, Provinsi DI Yogyakarta disajikan seperti skema berikut ini.

Gambar 2. Pola Rantai Pasok Komoditi Pertanian yang Berlaku di Pasar Induk Giwangan, Provinsi DI Yogyakarta

Skema rantai pasok komoditi pertanian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 menunjukkan aliran produk pertanian dari titik asal (petani) hingga tujuan akhir yaitu konsumen rumah tangga. Pada pola di atas, seluruh produk komoditi yang akan masuk ke Pasar Giwangan harus melalui Pengepul sebagai titik antara. Dengan demikian dapat diindikasikan adanya tundaan waktu yang dapat berdampak inefisiensi dalam proses transfer produk. Akibat tertundanya waktu produk pertanian masuk ke Pasar Induk Giwangan, dapat menyebabkan kerusakan (loss) produk. Pada akhirnya, hal tersebut akan membawa kerugian bagi petani dan konsumen.

Jika dibandingkan dengan pola rantai pasok yang berlaku di STA Jetis, pada Pasar Induk Giwangan, aliran perjalanan produk dari petani hingga ke konsumen akhir (rumah tangga) lebih kompleks. Keberadaan pasar menengah dan pasar eceran menambah waktu tundaan proses aliran barang ke tangan akhir (konsumen akhir). Untuk komoditi pertanian yang bersifat perishable, penundaan produk selama proses perjalanan, tentunya akan meningkatkan ketidakefisienan. Apabila selama proses perjalanan terjadi penanganan material yang keliru, maka potensi kerusakan komoditi menjadi tinggi.

Pengepul P.I Giwangan Pasar Menengah

Petani

Pasar Eceran

Petani Petani

Konsumen Skala Menengah (Katering, Rumah Makan)

Konsumen Rumah Tangga

Konsumen Rumah Tangga

(5)

Rantai Pasok pada Pasar Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi DI Jawa Tengah Pola rantai pasok komoditi pertanian yang berlaku di Pasar Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah disajikan seperti skema berikut ini.

Gambar 3. Pola Rantai Pasok Komoditi Pertanian yang Berlaku di Pasar Tawangmangu, Provinsi Jawa Tengah

Pola rantai pasok produk pertanian yang terjadi di Pasar Tawangmangu dimulai dari petani menuju ke pengepul/tengkulak sebelum masuk ke pasar. Selanjutnya, aliran produk pertanian dari Pasar Tawangmangu didistribusi ke grosir dan ke pasar eceran. Konsumen pada umumnya mendapatkan produk pertanian melalui dua titik tersebut, yaitu melalui pasar eceran atau grosir.

Pola rantai pasok yang terjadi di Pasar Tawangmangu hampir mirip dengan pola rantai pasok yang terjadi pada Pasar Induk Giwangan. Yang membedakan adalah terletak pada keberadaan Pasar Menengah yang tidak dijumpai di Pasar Tawangmangu. Jika dibandingkan dengan dua pola rantai pasok yang lain, pola rantai pasok produk pertanian yang terjadi di Pasar Tawangmangu terlihat lebih efisien ditinjau dari aliran perjalanan produk.

Komparasi antar Pola Rantai Pasok Komoditi Pertanian

Dari hasil pengamatan pola rantai pasok komoditi produk pertanian pada ketiga lokasi penelitian, kiranya dapat diperbandingkan di antara ketiganya dengan tinjauan: (1) peran pengepul, (2) tingkat efisiensi waktu distribusi, (3) keberadaan sistem tracking dan tracing eksisting, dan (4) indikasi tingkat kerusakan komoditi selama proses perjalanan, seperti disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komparasi Pola Rantai Pasok Komoditi Pertanian pada Lokasi Penelitian

Lokasi Peran Pengepul Tingkat Efisiensi Waktu Distribusi Sistem Tracking dan Tracing eksisting Indikasi tingkat Kerusakan Komoditi STA Jetis + + + + + + v +

Pasar Induk Giwangan + + + v + + +

Pasar Tawangmangu + + v + +

Keterangan: + + + : besar/tinggi ; + + : sedang ; + : kecil/rendah Berdasar Tabel 2 dapat disimpulkan sebagai berikut:

1) peran keberadaan Pengepul di STA Jetis paling dominan dibandingkan dua lokasi yang lain, hal ini diindikasikan dari keberadaan peran Pengepul selama proses distribusi produk baik sebelum masuk pasar maupun saat akan didistribusi keluar;

2) tingkat efisiensi waktu distribusi produk pada Pasar Induk Giwangan menunjukkan yang paling tinggi (paling efisien), hal ini diindikasikan dari banyaknya titik perpindahan komoditi pertanian mulai dari Pasar Giwangan hingga konsumen akhir;

3) tingkat kerusakan komoditi pertanian yang paling besar diperkirakan terjadi di Pasar Induk Giwangan, hal ini diperkirakan memiliki korelasi erat dengan lamanya produk sampai ke tangan akhir (konsumen), mengingat banyak titik yang harus dilalui.

Petani Pengepul/ tengkulak Pasar Tawangmangu Pedagang/ pasar eceran Grosir Konsumen rumah tangga Konsumen rumah tangga Petani Petani

(6)

4) keberadaan sistem tracking dan tracing eksisting saat ini berlaku di seluruh lokasi penelitian, namun teknologi sistem yang digunakan masih sangat minim (hanya menggunakan fasilitas komunikasi telepon selular).

Tingkat Kerusakan Komoditi akibat Cara Penanganan

Berdasar pengamatan di lapangan, penanganan komoditi produk pertanian menentukan terhadap tingkat kerusakan (loss) komoditi. Sebagai contoh, bagi para petani/pengepul yang telah memiliki cukup pengalaman dalam penanganan komoditi, memberikan indikasi tingkat kerusakan yang relatif kecil (1-4%). Penanganan yang dilakukan petani adalah melakukan pemetikan komoditi sebelum masa panen. Alasannya adalah untuk meningkatkan ketahanan komoditi selama proses distribusi yang dapat memakan waktu lebih dari 1 hari.

Selain penanganan komoditi seperti yang dilakukan di atas, bagi petani/pengepul yang memiliki pengalaman dan pemahaman cara penanganan, telah melakukannya dengan memberikan perlakuan yang baik. Misalnya, untuk produk sayur-mayur berupa kol, penanganannya dilakukan dengan cara menata dalam sebuah keranjang dengan cara disusun dan diikat.

Kerusakan komoditi pertanian sesungguhnya sudah dapat diidentifikasi mulai dari proses bongkar muat komoditi. Selama ini, proses bongkar muat menggunakan tenaga manusia (sebagai buruh / tenaga angkut) untuk membawa komoditi dari sarana angkut menuju pasar. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan sangat mungkin terjadi karena faktor kesalahan manusia selama pengangkutan. Untuk mengatasi hal tersebut, para petani/pengepul sudah melakukan langkah antisipasi dengan cara melakukan pengepakan terlebih dahulu (meskipun dengan cara yang masih sederhana) dari lokasi keberangkatan (lahan pertanian) sebelum dibawa menuju ke pasar.

Sistem Tracking and Tracing Eksisting

Sistem tracking and tracing untuk komoditi pertanian di lokasi penelitian yang dikelola dan terorganisasi secara baik belum ada. Mekanisme monitoring pergerakan komoditi hanya dilakukan sebatas antara petani dan pengepul, setelah itu tidak terdapat mekanisme yang cukup efektif untuk memonitor pergerakan produk.

Selama ini, perangkat atau alat yang digunakan adalah perangkat komunikasi seperti telepon genggam/seluler. Keberadaan telepon genggam saat ini hanya berfungsi sebagai alat komunikasi antara petani dan pengepul. Informasi yang diperlukan petani dan pengepul hanya sebatas untuk urusan transaksi produk. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa traceability system belum ada. Pengembangan Konsep Model Tracking and Tracing Produk Pertanian

Entitas tracking and tracing produk pertanian akan melibatkan banyak pihak, antara lain: 1) Suplier (petani). Suplier berperan sebagai sumber penyedia bahan pangan, tinjauan kritisnya

adalah supplier berada pada beberapa sentral produksi dan mengelompok menjadi beberapa kelompok besar dalam satu kesatuan manajemen. Dengan hal ini akan mempermudah dalam trasportasi untuk penyimpannya.

2) Penyimpanan (Gudang). Bahan baku pangan dari petani akan disimpan pada beberapa gudang yang guna mengatur stabilitas dan ketersedian bahan pangan. Tinjauan kritisnya gudang penyimpanan memiliki teknologi yang cukup baik untuk menghindari kerusakan seperti jamur dan membusuknya bahan pangan. Lokasi gudang setidaknya berdekatan atau mudah dijangkau oleh perusahan pangan.

3) Industri Pangan. Dengan kemudahan akses dan ketersedian bahan pangan maka diharapkan industri pangan dapat memaksimalkan produksinya dari aspek kualitas dan juga kuantitas dan dapat melakukan distribusi produk secara efektif.

4) Konsumen akhir. Konsumen memegang peranan penting dalam industri pangan, perilaku dan tingkat komsumsinya akan menetukan perkembangan industri pangan. Hal penting adalah memperlajari perilaku konsumen, menjamin ketersedian pangan dan menjaga hubung dengan konsumen dalam kepuasan penggunaan produk.

5) Transportasi. Optimasi cost supply dengan meminimalkan biaya transportasi dapat dilakukan dengan cara mengatur lokasi gudang dan industri, mengelompokan supplier dan merancang pola distribusi yang efektif ke konsumen. Kualitas transportasi harus diperhatikan untk menghindari

(7)

kerusakan pangan. Karena kerusakan bahan pangan akan menurunkan harga dan kualitas pangan secara keseluruhan.

Keterkaitan berbagai pihak tersebut di atas membutuhkan suatu regulasi, koordinasi dan perencanaan yang memaksimalkan keuntungan. Konsep sistem tracking and tracing produk pertanian yang dikembangkan secara skematis dapat disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Konsep Sistem Tracking and Tracing Produk Pertanian

Berdasar gambar 5 dapat dijelaskan bahwa, keberadaan pasar dapat menjadi pusat informasi produk pertanian yang dapat diakses oleh semua pihak yang terlibat. Peran Pengepul cukup strategis mengingat selama ini keberadaannya di titik pusat area transaksi antara produsen (petani) dan konsumen. Dengan demikian akan lebih efektif apabila pada setiap lokasi pertemuan petani dan pengepul terfasilitasi oleh sistem informasi untuk mendukung mekanisme tracking and tracing. Hubungan antara pelaku dengan sistem informasi yang dibutuhkan dapat dijelaskan melalui Tabel 3.

Tabel 3. Hubungan antara Sistem Informasi dan Karakteristik Pelaku Lahan pertanian Pusat Pengumpulan Komoditi (pasar) End user Sistem informasi Petani

Pergudangan Industri pangan

Pengepul KonsumenRT Transportasi Transportasi Aliran Distribusi Produk Pelaku

(8)

IDENTIFIKASI PRODUK PELACAKAN DATA ROUTING PRODUK PERANGKAT INSTRUMEN PELACAKAN PRODUK

PETANI PENGEPUL TRANSPORTASI PENGEPUL

KONSUMEN PETANI PENGEPUL PERGUDANGAN

KONSUMEN PERGUDANGAN

Dimensi Jumlah Siklus produksi Kompatibilitas produk

Volume Tipe Kegiatan Kompatibilitas proses

Berat Tingkat kerincian Lead time Jumlah data terbaca Kondisi permukaan Tingkat perubahan Peralatan Jumlah data tercatat Tingkat Kerentanan Syarat penyimpanan

data

Manual operasi Derajat otomatisasi Pengemasan Tingkat kerahasiaan Otomatisasi operasi Keakurasian data Harga Cek dan pengingat Sistem pergerakan Kelayakan data

Umur produk Sistem penyimpanan pengetahuan

perusahaan

Struktur harga produk Sistem pembiayaan

1) Aspek Teknologi. Pemilihan perangkat teknologi untuk mendukung sistem tracking and tracing dapat disesuaikan dengan kebutuhan berbagai pihak yang terlibat dengan pertimbangan faktor finansial serta kelembagaan dan SDM pengelolanya. Hal ini akan sangat menentukan keberlangsungan pengoperasian sistem yang akan dibangun.

2) Aspek Kelembagaan dan SDM. Kelembagaan atau organisasi pengelola sistem tracking and tracing merupakan faktor kunci keberhasilan pengoperasian sistem. Kapabilitas lembaga dan SDM sangat penting untuk dapat mendukung implementasi sistem. SDM yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang pengoperasian instrumen tracking and tracing dibutuhkan untuk dapat menangani tugas-tugas yang diemban oleh setiap unsur SDM yang terlibat. Kelembagaan yang diusulkan dapat berupa semacam koperasi atau Paguyuban atau Kelompok Tani/Pengepul.

3) Aspek Finansial. Dukungan finansial dalam hal ini diperlukan untuk membangun sistem dan kelancaran pengelolaan. Aspek pembiayaan penyelenggaraan sistem dapat dibentuk melalui kerjasama para pelaku di pasar, misalnya para pengepul.

(9)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

1. Pola rantai pasok komoditi pertanian pada lokasi yang diteliti memiliki karakteristik yang berbeda antara satu lokasi dengan lokasi yang lain, dengan perbedaan spesifik berikut:

a) Peran dan keberadaan Pengepul di STA Jetis paling dominan dibandingkan dua lokasi yang lain, hal ini diindikasikan dari keberadaan peran Pengepul selama proses distribusi produk baik sebelum masuk dan keluar

b) tingkat efisiensi waktu distribusi produk pada Pasar Induk Giwangan menunjukkan yang paling tinggi (paling efisien), hal ini diindikasikan dari banyaknya titik perpindahan komoditi pertanian mulai dari Pasar Giwangan hingga konsumen akhir;

c) tingkat kerusakan komoditi pertanian yang paling besar diperkirakan terjadi di Pasar Induk Giwangan, hal ini diperkirakan memiliki korelasi erat dengan lamanya produk sampai ke tangan akhir (konsumen), mengingat banyak titik yang harus dilalui;

d) keberadaan sistem existing tracking and tracing saat ini berlaku di seluruh lokasi penelitian, namun teknologi sistem yang digunakan masih sangat minim.

2. Pola rantai pasok komoditi pertanian yang berlaku selama ini mengindikasikan adanya kehilangan (loss) produk selama proses distribusi dari titik asal (lahan pertanian) hingga titik tujuan akhir (konsumen) serta upaya meminimasi kehilangan atau kerusakan produk diantisipasi dengan cara pengemasan/penataan produk saat diangkut menuju ke tempat pengumpulan;

3. Sistem tracking and tracing belum terbangun pada ketiga lokasi penelitian, meskipun saat ini para pelaku, khususnya petani dan pengepul, telah melakukan upaya komunikasi untuk mengendalikan produk pertanian (sayur-mayur) namun terbatas pada urusan transaksi harga; 4. Konsep tracking and tracing system yang diusulkan adalah mengoptimalkan peran para pihak

yang terlibat, yaitu: petani, pengepul, konsumen, dan transportasi dengan didukung suatu perangkat / teknologi informasi dan komunikasi yang dapat dibangun pada simpul-simpul penting seperti pada tempat pengepulan komoditi (pasar). Pengembangan model tracking and tracing system perlu memperhatikan tiga hal penting, yaitu: aspek teknologi, aspek kelembagaan dan SDM, dan aspek finansial.

Saran

Saran tindak lanjut bagi penelitian selanjutnya adalah:

a. pengembangan perangkat sistem tracking and tracing sebagai pilot project penelitian; dan

b. perlunya penelitian / kajian lanjutan untuk mengidentifikasi kebutuhan teknologi, kelembagaan dan SDM, dan finansial sebagai pendukung implementasi sistem tracking and tracing yang diusulkan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2003. Best Practice in Traceability. EAN. Belgium.

Arthawan, IGK Arya. 2009. The Necessity of Traceability System in Indonesia as Repsonse of Modern Food Safety Management System and Global Requirements. Indonesia – National Paper, APO Project Notification code: 08-AG-GE-TRC-B/C-IDN, hal 1-7.

Dimyati A. Research priorities for potato in Indonesia dalam http://www.papuaweb.org/dlib/tema/ubi/psp-2003-dimyati.pdf.

Hillstrom K and LC Hillstrom. 2003. Asia: A Continental Overview of Environmental Issues. ABC-CLIO. Oxford-UK.

Starbird SA, V Amanor-Boadu. 2004. Traceability, Inspection and Food Safety. AAEA Annual Meeting. Denver Colorado.

Vernède R, F Verdenius, J Broeze. 2003. Traceability in Food Processing Chains – state of the art and future developments. KLICT position paper. Wageningen University. Wageningen.

Gambar

Gambar 1. Pola Rantai Pasok Komoditi Pertanian yang Berlaku di STA Jetis Bandungan,  Provinsi Jawa Tengah
Gambar 2. Pola Rantai Pasok Komoditi Pertanian yang Berlaku di Pasar Induk Giwangan, Provinsi DI  Yogyakarta
Gambar 3. Pola Rantai Pasok Komoditi Pertanian yang Berlaku di Pasar Tawangmangu, Provinsi Jawa  Tengah
Gambar 5. Konsep Sistem Tracking and Tracing Produk Pertanian

Referensi

Dokumen terkait