ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 57
STUDI TENTANG KEKERASAN VICKERS GEOPOLIMER BERBAHAN DASAR FLY ASH DAN METAKAOLIN
Subaer, Agus Susanto, M. Jam’an
Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Negeri Makassar
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat korelasi antara vickers hardness dengan struktur permukaan geopolimer berbahan dasar fly ash dan metakaolin yang diaktivasi dengan larutan alkali sodium silicate dan sodium hydroxide. Berdasarkan foto Scanning Electron Microscopy (SEM), geopolimer fly ash memiliki struktur matriks yang padat namun mengandung banyak partikel yang tidak bereaksi, sedangkan keberadaan partikel yang tidak bereaksi tidak dapat dijelaskan secara pasti karena struktur permukaan yang tidak rata akibat pemolesan yang kurang halus. Nilai Vickers hardness geopolimer fly ash yang diperoleh mencapai 0.74 GPa, sedangkan untuk metakaolin hanya mencapai 0.29 GPa.
KATA KUNCI : fly ash, metakaolin, mikrostruktur, vickers hardness
1. Pendahuluan
Geopolimer semakin mendapat perhatian yang besar sebagai sebuah bentuk baru polimer inorganik karena selain untuk mensubtitusi semen Portland, dapat juga digunakan sebagai bahan plastik, bahan keramik (komposit tahan panas) dan produk-produk mineral lainnya.
Seiring dengan perkembangan aplikasi material geopolimer, maka informasi mengenai karakteristik (sifat) material tersebut mutlak untuk diketahui. Sifat-sifat material yang penting tersebut meliputi berbagai aspek seperti aspek mekanik, optik, listrik, magnetik, termal, dan daya tahan (terhadap lingkungan fisik atau kimia). Sifat mekanik berkaitan dengan deformasi yang dihasilkan oleh beban atau gaya seperti pada pengukuran hardness (kekerasan), modulus elastisitas dan kekuatan tekan (compressive strength).
Davidovits memperkenalkan istilah geopolimer pada tahun 1978 untuk menggambarkan keluarga pengikat mineral dengan struktur kimia yang sama dengan zeolit.
Dia juga memperkenalkan istilah poly(sialate) untuk geopolimer yang dibuat silico-aluminate.
Poly(sialate) merupakan polimer rantai dan cincin yang terbentuk dari Si4+ dan Al3- dalam bilangan koordinasi lipat IV, serta oksigen dengan matriks berupa amorf hingga semi-kristal. Rumus empiris poly(sialate) adalah:
Mn [(-SiO2)z-AlO2]n. wH2O
dimana z adalah 1, 2, 3, sampai 32; M adalah kation monovalen seperti potassium atau sodium; dan n adalah derajat polikondensasi. Selain itu, Davidovits juga memperkenalkan 3 jenis poly(sialate) yaitu poly(sialate), poly(sialate-siloxo), poly(sialate-disiloxo) Struktur dari ketiga jenis poly(sialate) tersebut dapat dilihat pada gambar 1.1.
Geopolimerisasi melibatkan reaksi kimia oksida alumina-silikat (Si2O5.Al2O3) dengan alkali poly(silicate) yang memiliki ikatan polimerik Si-O-Al. Polysilicate seperti sodium silikat atau potassium silikat biasanya diperoleh dari industri-industri kimia atau berupa bubuk
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 58
silika halus sebagai hasil produksi metalurgi ferro-silicon.
Gambar 1.1 Struktur kimia poly(sialate). (Davidovits, 1991)
Untuk menghasilkan poly(sialate-disiloxo) (rasio atomik Si:Al = 3), sejumlah silika amorf (misalnya dari bahan silica fume) ditambahkan ke campuran pereaksi (Na,K)-PSS. Material seperti ini sangat bermanfaat sebagai bahan untuk proteksi api dan komposit tahan panas.
Geopolimer dengan rasio Si:Al >>3 memiliki struktur polimer yang diperoleh dari rantai cross-linked atau lempeng polisilikat dengan sialate.
Tidak seperti pada semen Portland biasa (OPC), geopolimer tidak membentuk calcium-silicate-hidrates (CSHs) dalam struktur matriksnya, namun dengan optimalisasi polikondensasi precursor silika dan alumina dan alkali yang tinggi dapat membentuk kekuatan strukturnya.
Oleh karena itu, geopolimer sering disebut sebagai pengikat alkali-activated alumino silicate. Dari rumus kimia pada gambar 1.2 berikut dapat dilihat bahwa air terbentuk selama terjadi reaksi kimia dalam pembentukan geopolimer atau selama proses curing.
NaOH, KOH
2 5 2 5 2 2 3 3
(-)
(Si O , Al O )n + nSiO + nH O
n(OH) -Si-O-Al-O-Si-(OH)
→
2 (-)|
(OH)
NaOH, KOH (+) 3 3 2 (-)
| |
n(OH) -Si-O-Al-O-Si-(OH)
(Na,K)
-(-Si-O-Al-O-Si-O-) + nH O
|
|
→
2| | |
(OH) O O O
Gambar 1.2 Reaksi geopolimerisasi: disolusi dan polikondensasi anion ortho (sialate-siloxo) (Davidovits 1991)
2. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini digunakan bahan dasar fly ash dari PLTU Asam-Asam Banjarmasin. Sedangkan bahan dasar metakaolin diperoleh dari Toko Bahan Kimia Intraco. Sedangkan larutan alkali menggunakan campuran larutan NaOH, Na2O.3SiO2, H2O. Fly
ash dicampur dengan larutan alkali sedikit demi sedikit sampai terbentuk pasta geopolimer dan dimasukkan kedalam cetakan, kemudian di-curing dalam oven bersuhu 60-70 selama 2 jam. Proses pembuatan geopolimer dari metakaolin sama dengan geopolimer fly ash namun untuk
memperoleh metakaolin terlebih dahulu kaolin didehidroksilasi pada suhu 750 selama 22 jam.
Tabel 1. Komposisi geopolimer:
Geopolimer fly ash - Fly ash = 75 gr - NaOH = 3 gr - Na2O.3SiO2 = 12 gr - H2O = 7.5gr Geopolimer metakaolin - Metakaolin (Al2Si2O5(OH)4) - NaOH - Na2O.3SiO2 - H2O
Pengujian vickers hardness
laboratorium Fisika FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November (ITS Surabaya), sedangkan karakterisasi SEM dilakukan di laboratorium FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB).
3. Hasil dan Pembahasan
3.1. Mikrostruktur geopolimer
Mikrograf bahan dasar fly ash
pada gambar 3.1. Dari gambar tersebut dapat dilihat struktur permukaan berupa butiran dengan ukuran yang bervariasi. Butiran
partikel tersebut kemungkinan masih terdiri dari partikel lain yang ukurannya lebih kecil.
Warna yang lebih cerah (putih mengkilap) pada gambar 3.1. menunjukkan terdapat unsur atom dengan nomor atom yang lebih tinggi. Unsur dengan nomor atom yang tinggi memiliki tingkat absorbsi elektron yang tinggi dan menyebabkan terlepasnya elektron sekunder atau backscattered.
JSPF Vol. memperoleh metakaolin terlebih dahulu kaolin
didehidroksilasi pada suhu 750 selama 22 jam. Tabel 1. Komposisi geopolimer:
= 75 gr = 3 gr ↔ 0.075 mol = 12 gr↔0.067 mol = 7.5gr↔0.417 mol = 30 gr = 3.4 gr = 13.8 gr = 10 gr
vickers hardness dilakukan di laboratorium Fisika FMIPA Institut Teknologi Sepuluh November (ITS Surabaya), sedangkan karakterisasi SEM dilakukan di laboratorium FMIPA Institut Teknologi Bandung (ITB).
fly ash ditunjukkan Dari gambar tersebut dapat dilihat struktur permukaan berupa butiran dengan ukuran yang bervariasi. Butiran-butiran masih terdiri dari partikel lain yang ukurannya lebih kecil.
ebih cerah (putih mengkilap) menunjukkan terdapat unsur atom dengan nomor atom yang lebih tinggi. Unsur dengan nomor atom yang tinggi memiliki tingkat absorbsi elektron yang tinggi dan menyebabkan terlepasnya elektron sekunder
Gambar 3.1. Hasil foto SEM bahan dasar ash perbesaran 3000 kali Gambar 3.2. menunjukkan
partikel fly ash berbentuk butiran dengan ukuran yang bervariasi dari 0,125µm hingga 6,875µm. Warna cerah pada partikel menunjukkan bahwa partikel tersebut terdiri dari unsur dengan nomor atom yang tinggi yang tidak lain merupakan pengotor fly ash seperti unsur titanium d
Gambar 3.2. Hasil foto SEM bahan dasar perbesaran 7500 kali.
Mikrograf geopolimer berbahan dasar ash diperlihatkan dalam gambar 3.3 3.3.(b). Berdasarkan gambar
dilihat bahwa pada permukaan sampel banyak terdapat pori dan butiran
yang tidak bereaksi.
permukaan sampel kemungkinan besar disebabkan oleh terlepasnya sejumlah butiran ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 59 .1. Hasil foto SEM bahan dasar fly
perbesaran 3000 kali
Gambar 3.2. menunjukkan bahwa berbentuk butiran dengan ukuran yang bervariasi dari 0,125µm hingga 6,875µm. Warna cerah pada partikel menunjukkan bahwa partikel tersebut terdiri dari unsur dengan nomor atom yang tinggi yang tidak lain merupakan seperti unsur titanium dan besi.
Hasil foto SEM bahan dasar fly ash perbesaran 7500 kali.
Mikrograf geopolimer berbahan dasar fly diperlihatkan dalam gambar 3.3.(a) dan Berdasarkan gambar 3.3.(a) dapat dilihat bahwa pada permukaan sampel banyak terdapat pori dan butiran-butiran partikel fly ash yang tidak bereaksi. Banyaknya pori pada permukaan sampel kemungkinan besar disebabkan oleh terlepasnya sejumlah butiran
dari permukaan sampel selama proses pemolesan berlangsung.
Pada gambar 3.3.(b) ditunjukkan
permukaan sampel dengan matriks geopolimer yang padat dengan retakan sekunder.
sekunder ini kemungkinan terbentuk ketika sampel dipotong atau dipoles. Retakan dengan
(a)
Gambar 3.3 Hasil foto SEM geopolimer berbahan dasar
Gambar 3.4. berikut mikrograf bahan dasar kaolin.
Gambar 3.4. Mikrograf bahan dasar kaolin
Pada gambar terlihat tumpukan partikel kaolinite berbentuk lempeng. Mikrograf kaolin dengan mengunakan TEM diperlihatkan pada gambar 3.5. Gambar ini menunjukkan
kaolinite berbentuk hampir heksagonal (
JSPF Vol. dari permukaan sampel selama proses
ditunjukkan struktur permukaan sampel dengan matriks geopolimer yang padat dengan retakan sekunder. Retakan sekunder ini kemungkinan terbentuk ketika es. Retakan dengan
lebar kurang dari 10 µm dikategorikan sebagai retakan mikro (microcrack
(2001) mengkategorikan sebuah retakan sebagai retakan mikro bila lebar retakan tersebut lebih kecil daripada 50
(a) (b)
.3 Hasil foto SEM geopolimer berbahan dasar fly ash (a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran 5000 kali.
memperlihatkan
Mikrograf bahan dasar kaolin.
tumpukan partikel Mikrograf kaolin diperlihatkan pada menunjukkan bahwa berbentuk hampir heksagonal
(pseudo-hexagonal) dengan tepian yang tidak sempurna dan menunjukkan ketidaksempurnaan kristalisasi
Gambar 3.5 Mikrograf TEM kristal kaolin
Gambar 3.6.(a)
memperlihatkan mikrograf geopolimer metakaolin. Terlihat dari gambar 3.6.(a) bahwa kehalusan permukaan geopolimer metakaolin ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 60 m dikategorikan sebagai microcrack). Bisschop & van Mier (2001) mengkategorikan sebuah retakan sebagai retakan mikro bila lebar retakan tersebut lebih kecil daripada 50 µm.
(a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran
) dengan tepian yang tidak sempurna dan menunjukkan ketidaksempurnaan
Mikrograf TEM kristal kaolin
dan gambar 3.6.(b) memperlihatkan mikrograf geopolimer Terlihat dari gambar 3.6.(a) bahwa kehalusan permukaan geopolimer metakaolin
tergolong rendah, hal ini diakibatkan pada saat pemolesan geopolimer yang tidak berlangsung dengan baik. Warna yang cerah (putih mengkilap) pada permukaan sampel geopolimer kemungkinan selain menunjukkan bahwa pada bagian tersebut terdapat unsur dengan nomor atom yang lebih tinggi, dapat juga diakibatkan
(a)
Gambar 3.6. Hasil foto SEM geopolimer berbahan metakaolin (a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran
Homogenitas metakaolin menunjukkan partikel-partikel penyusun metakaolin yang bereaksi dan ini berarti bahwa larutan s silikat yang tersedia cukup untuk mengaktivasi hampir seluruh partikel metakaolin dan menghasilkan geopolimer setelah melewati proses perawatan (curing).
Karakterisasi Geopolimer dengan SEM Karakterisasi SEM dilakukan
memahami mikrostruktur geopolimer dalam rangka meningkatkan sifat atau kualitas geopolimer. Karakterisasi ini dilengkapi dengan dengan EDS untuk mengetahui komposisi elemental suatu material.
Gambar 3.7. berikut merupakan karakterisasi geopolimer dari bahan dasar ash dengan perbesaran 2.500 kali dengan penempatan spot elektron yang berbeda
JSPF Vol. tergolong rendah, hal ini diakibatkan pada saat
pemolesan geopolimer yang tidak berlangsung yang cerah (putih mengkilap) pada permukaan sampel geopolimer kemungkinan selain menunjukkan bahwa pada bagian tersebut terdapat unsur dengan nomor atom yang lebih tinggi, dapat juga diakibatkan
oleh permukaan sampel yang tidak merata (halus).
Gambar 3.6.(b) menunjukkan struktur sampel geopolimer metakaolin berbentuk lempengan yang tersusun. Karena permukaan sampel yang tidak rata maka sulit untuk mengetahui tingkat homogenitas metakaolin
(b)
Hasil foto SEM geopolimer berbahan metakaolin (a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran 5000 kali.
Homogenitas metakaolin menunjukkan partikel penyusun metakaolin yang bereaksi dan ini berarti bahwa larutan sodium silikat yang tersedia cukup untuk mengaktivasi hampir seluruh partikel metakaolin dan menghasilkan geopolimer setelah melewati
Karakterisasi Geopolimer dengan SEM-EDS SEM dilakukan untuk memahami mikrostruktur geopolimer dalam sifat atau kualitas . Karakterisasi ini dilengkapi dengan dengan EDS untuk mengetahui komposisi
Gambar 3.7. berikut merupakan hasil mer dari bahan dasar fly dengan perbesaran 2.500 kali dengan penempatan spot elektron yang berbeda-beda.
Gambar 3.7. Foto SEM geopolimer perbesaran 2.500 kali dengan spot untuk EDS pada
partikel
Dalam gambar 3
elektron untuk EDS, spot EDS diperlihatkan dengan gambar kotak. Bagian luar spot tampak butiran partikel dengan berbagai perbesaran serta retakan sekunder yang terjadi ketika sampel dipotong dan dipoles.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 61 oleh permukaan sampel yang tidak merata
(b) menunjukkan struktur sampel geopolimer metakaolin berbentuk lempengan yang tersusun. Karena permukaan sampel yang tidak rata maka sulit untuk mengetahui tingkat homogenitas metakaolin
(b)
Hasil foto SEM geopolimer berbahan metakaolin (a) perbesaran 1000 kali, (b) perbesaran
Foto SEM geopolimer perbesaran 2.500 kali dengan spot untuk EDS pada
partikel fly ash
3.7 juga ditampilkan spot elektron untuk EDS, spot EDS diperlihatkan dengan gambar kotak. Bagian luar spot tampak butiran partikel dengan berbagai perbesaran serta retakan sekunder yang terjadi ketika sampel dipotong dan dipoles.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 62
Selanjutnya, berdasarkan spektrum EDS yang ditunjukkan dalam gambar 3.8., terlihat bahwa oksida tertinggi adalah SiO2.
Komposisi elementalnya diperlihatkan pada tabel 4.1 dan menunjukkan rasio molar Si : Al sebesar 2 : 1.
Gambar 3.8 Spektrum EDS dari matriks geopolimer gambar 4.4
Tabel 4.1 Komposisi elemental geopolimer berbahan dasar fly ash berdasarkan hasil EDS gambar 3.8.
Karakterisasi SEM-EDS pada bagian matriks geopolimer ditunjukkan pada gambar 3.9 berikut.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 63
Gambar 3.9 Foto SEM geopolimer perbesaran 2.500 kali dengan spot untuk
EDS pada matriks geopolimer
Dari gambar 3.9 tampak terdapat banyak pori dengan berbagai ukuran. Selanjutnya penyelidikan dengan EDS memberikan informasi mengenai komposisi kimia dari partikel geopolimer seperti pada gambar 3.10. berikut.
Gambar 3.10. Spektrum EDS dari matriks geopolimer gambar 3.9
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 |64
Berdasarkan spektrum EDS pada gambar 3.10., menunjukkan kandungan silika (SiO2) berkurang diikuti dengan penambahan zat pengotor berupa FeO. Komposisi tiap elemental (tabel 4.2) memperlihatkan perbandingan atomik Si:Al = 2 : 1.
Gambar 3.11. menunjukkan foto SEM dengan penempatan spot pada butiran partikel fly ash yang tidak bereaksi paling besar.
Gambar 3.11. Foto SEM geopolimer perbesaran 2.500 kali dengan spot untuk EDS pada partikel
fly ash yang tidak bereaksi
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 |65
Tabel 4.3 Komposisi elemental geopolimer berbahan dasar fly ash berdasarkan hasil EDS gambar 3.11.
Tampak silika (SiO2) agak meningkat, namun FeO sebagai pengotor masih lebih dominan. Berdasarkan tabel komposisi elemental memperlihatkan perbandingan atomik Si : Al sebesar 2 : 1. Dari ketiga hasil karakterisasi tersebut, dapat dilihat bahwa komposisi elemental tiap bagian tertentu berbeda-beda dan FeO merupakan zat pengotor yang paling dominan dari fly ash.
Pengujian Vickers hardness Geopolimer. Pengujian kekerasan dengan metode vickers bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap intan berbentuk piramida dengan sudut puncak 1360 yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut.
Tabel 4. Hasil pengujian Vickers hardness
Sampel Titik Indentasi Beban (kg) Diameter (µm) Hv (N/mm2) Rata-rata (GPa) d1 d2 Fly ash 1 1 2 3 2 2 2 239.3 235.6 234.2 238.6 236.5 239.8 649.4 665.5 660.2 0.66±0.007 2 1 2 3 2 2 2 244.6 240.6 240.9 243.0 246.5 245.3 623.8 625.1 627.4 0.63±0.001 3 1 2 3 2 2 2 224.5 222.2 222.1 223.0 223.1 223.8 740.7 748.0 746.0 0.74±0.003 Metakaolin 1 1 2 3 2 2 2 387.6 385.3 385.2 385.2 384.1 382.0 248.4 250.6 252.0 0.25±0.001 2 1 2 3 2 2 2 371.7 369.1 372.4 372.8 368.2 368.6 267.6 272.8 270.1 0.27±0.002 3 1 2 3 2 2 2 353.1 362.8 361.6 359.7 362.9 355.8 291.9 281.6 288.2 0.29±0.004
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 66
Tabel di atas menunjukkan bahwa sampel 1 geopolimer fly ash memiliki nilai Vickers hardness sebesar 0.66±0.007GPa, sampel 2 sebesar 0.63±0.001 GPa, dan sampel 3 sebesar 0.74±0.003GPa. Sedangkan untuk sampel 1 geopolimer metakaolin diperoleh nilai Vickers hardness sebesar 0.25±0.001GPa, untuk sampel 2 sebesar 0.27±0.002 GPa, dan untuk sampel ke-3 sebesar 0.29±0.004 GPa.
Ketiga sampel di atas memiliki nilai Vickers hardness yang berbeda-beda pada setiap titik indentasi. Perbedaan ini diakibatkan oleh struktur permukaan sampel yang tidak merata karena adanya partikel-partikel yang tidak bereaksi. Pada geopolimer fly ash tampak banyak terdapat partikel yang tidak bereaksi seperti halnya pada geopolimer metakaolin. Namun khusus untuk metakaolin, tidak jelas keberadaan partikel yang tidak bereaksi karena permukaan yang tidak rata sehingga sulit diamati melalui hasil foto SEM.
4. Kesimpulan
Dari hasil karakterisasi SEM menunjukkan bahwa geopolimer fly ash memiliki matriks yang lebih padat dibandingkan dengan geopolimer metakaolin, sehingga terdapat perbedaan nilai Vickers hardness yang cukup signifikan dimana geopolimer fly ash memiliki nilai Vickers hardness yang lebih besar.
.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Davidovits J. (1994) “Properties of Geopolymer Cements”, Alkaline
Cements and Concretes.
[2]. Duxson, P., Mallicoat, S. W., Lukey, G. C., Kriven, W. M., van Deventer, J. S. J., (2006), “The Effect of Alkali
And Si/Al Ratio on The
Development of Mechanical
Properties of Metakaolin-Based
geopolymers”, Colloids And
Surfaces.
[3]. Duxsona P, Provis J. L, Lukey G. C, Mallicoat S. W, Kriven W. M, van Deventer J. S. J, (2005),
“Understanding The Relationship
Between Geopolymer
Composition, Microstructure And Mechanical Properties”, Colloids
and Surfaces, 47-58.
[4]. Ferna´ndez-Jime´nez A, Palomo A, Criado M, (2005), ”Microstructure
Development Of Alkali-Activated Fly Ash Cement: A Descriptive Model”, Cement and Concrete
Research, 1204–1209.
[5]. Granizo, M. L,. Blanco-Varela M. T, Martı´nez-Ramı´rez, S, (2007), ”Alkali Activation Of Metakaolins:
Parameters Affecting Mechanical, Structural And Microstructural Properties”, J.
Material Science, 2934–2943.
[6]. Hardjito, D. & Rangan, B. V., (2005), “Development And Properties Of
Low-Calcium Fly Ash-Based Geopolymer Concrete”, Reseach
Report, Faculty of Engineering Curtin University of Technology Perth, Australia.
[7].http://www.calce.umd.edu/general/Facilities/
Hardness_ad_.htm, (6/7/2008)
[8]. http://www.fhwa.dot.gov/index.html, (6/7/2008)
[9]. Sabir, B. B., Wild, S., Bai, J. (2001) “Metakaolin and Calcined Clays
as Pozzolans For Concrete: a review”, Cement & Concrete Composites, 441-454.
ISSN : 1858-330X
JSPF Vol. 9, Mei 2009 | 67
[10]. Subaer, 2007, “Pengantar fisika Geopolimer”. UNM.
[11]. van Jaarsveld, J.G.S, van Deventer, J.S.J, Lukey, G.C, (2003), “The
Characterisation Of Source
Materials In Fly Ash-Based
Geopolymers”, Materials Letters,
1272–1280.
[12]. van Jaarsveld, J. G. S., van Deventer, J. S. J., Lorenzen, L. (1997), “The
Potential Use Of Geopolymeric To Immobilise Toxict Metals: Part 1.
Theory And Applications”,