• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pedang Sakti Tongkat Mustika 01-05

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pedang Sakti Tongkat Mustika 01-05"

Copied!
377
0
0

Teks penuh

(1)

Karya : Herman Pratikto Jilid : 01 - 05

Jilid 1

Bab - 01 Perburuan

Suasana alam pada senja hari itu guram lembah. Hujan rintik turun semenjak pagi. Angin kencang melanda bumi, kemudian naik turun bagaikan gelambang pasang. Tanah lembab yang tergelar didepan Gunung Lawu sunyi senyap. Per-kampungan mati tiada bernafas.

Penduduk tiada seorangpun mencongakkan diri diluar rumah. Dalam keadaan demikian, nampaklah lima penunggang kuda berlari-lari menyeberangi lautan lumpur. Mereka tak menghiraukan licinnya jalan, dingin hawa dan hujan rintik. Kuda yang berada paling depan membawa seorang kanak-kanak berumur kurang lebih sepuluh tahun. Anak ini berpakaian biru singsat. Pada pelananya tergantung sebatang pedang pendek.

Yang berada dibelakangnya seorang gadis berumur 16 tahun. Parasnya cantik. Hanya saja wajahnya muram berduka dan kuyu. Jelas sekali, ia menderita suata keletihan luar biasa. Rambutnya kusut setengah terurai. Pakaian yang dikenakan berlepotan lumpur. Sedangkan lengan kirinya terbalut saputangan yang di tambusi darah kental.

Penunggang kuda ketiga tidak jelas warna pakaiannya, karena penuh lumpur. Usianya kurang lebih sembilan belas tahun. Dia seorang pemuda yang gagah tampan. Pandangnya memancarkan suatu keberanian tersembunyi.

Agak jauh dibelakangnya berderap dua ekor kuda yang saling susul. Yang pertama ditunggangi seorang wanita setengah umur. Alisnya tebal melengkung

(2)

melindungi sepasang matanya yang tajam. Pandang wajahnya muram luar biasa oleh susuatu kedukaan yang berlarut. Lehernya terbalut sehelai selendang sutera berwarna kelabu. Melihat darahnya yang menembusi lipatan pembebatnya yang tebal - teranglah sudah - bahwa ia baru saja menderita luka agak parah.

Ia dijajari oleh seorang laki-laki berumur limapuluh tahun lebih. Laki-laki ini ber-tubuh singsat dan cekatan. Ia membekal sebilah pedang terhunus. Kerapkali ia menoleh ke belakang. Kemudian melambatkan kudanya sambil menebarkan penglihatannya. Ia berjenggot pendek dan rambutnya yang agak gcndrcng sudah beruban. Walaupun demikian - diantara keampat penunggang kuda - dialah yang nampak gesit dan segar bugar.

Pandang matanya tajam luar biasa, akan tetapi, mengandung air mata yang membasahi kelopak kedua belah pipinya tergores ampat luka memanjang. Dua diantaranya adalah goresan luka baru.

Melihat cara mereka berlima melarikan kudanya, mudah ditebak bahwa mereka sedang melarikan diri dari sesuatu peristiwa. Kelirna kuda tunggang mereka nampak letih sekali.

Dalam pada itu cuaca senjahari itu makin mendekati petang yang muram. Dan hujan rintik kian menjadi deras. Buru-buru mereka menikungi jalan pegunungan. Seberang-menyeberang jalan nenghadang jurang dalam dan tanaman liar.

Laki-laki beruban yang berada dibelakang, tiba-tiba menghentak tali kendali sehingga kudanya kaget berjingkrak. Lalu menyusul kuda wanita setengah umur yang berada duapuluh langkah didepannya.

"Larasati! Kalau tents-terusan begin', kita akan mati kecapaian. Tak apalah aku mati ditengah perjalanan ini. Tetapi bagaimana ketiqa anak kita? Marilah kita beristirahat sebentar!" serunya dengan perkataan ditekan-tekan.

"Malam nanti kita melanjutkan perjalanan. Selanjutnya kita hadapkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Adil. Bagairnana lukamu?"

Setelah berkata demikian, kedua kelopak matanya basah kena air mata. Ia sangat berduka. Hatinya tersayat-sayat. Lalu menangis tertahartahan. Untunglah angin meniup kencang, sehirgga suara tangisnya terendap dari pengamatan pendengaran.

Larasati, wanita setengah umur yang muram wajahnya, lalu tersenyum. Sahutnya lernbut :

"Tak apa-apa. Kau tak perlu resah hati. Inilah luka ringan yang tiada artinya sama sekali. Kulitku hanya terlecet sedikit. Hanya yang kucemaskan ialah luka ... eh lengan Sudarawerti. Nampaknya ia menderita luka berat. Lenganriya seperti terkulai ..."

Tetapi luka yang diderita Larasati sendiri, sebenarnya parah. Senjata yang melukai lehernya tidak hanya melecet kulit belaka. Tetapi menembus hampir satu senti. Urat nadi nyaris terancam.

(3)

Seseorang yang menderita luka demikian, tidak boleh bergerak terlalu banyak Sebaliknya senjahari itu, ia berada diatas kudanya mengarungi badai hujan tiada hentinya.

Sudarawerti yang berada didepan, agaknya mendengar keluh-kesah Larasati. Ia berpaling. Katanya dengan nada riang :

"Ayah!.Jangan dengarkan ibu! Lenganku tak kurang suatu apa.". Ia tersenyum, akan tetapi dua titik air mata jatuh kepelana kudanya. Teranglah; mereka berdua sedang berusaha menghibur dan mernbesarkan hati laki-laki beruban itu.

"Sudarawerti, janganlah kau membohongi aku, bukankah lukamu ..." tegor laki-laki beruban itu.

"Ayah, benar-benar aku tak kurang suatu apa," sahut: Sudarawerti. "Lihatlah!" Setelah berkata demikian, ia mengertak gigi. Kemudian nengangkat lengannya yang tadi sarrpai terkulai. Katanya nyaring: "Sekarang, sama sekali tak terasa sakit."

Akan tetapi begitu tangannya terangkat, suatu rasa nyeri luar biasa menggigit janttngnya. Peluh dingin meraba jidat dan tengkuk Sudarawerti. Cepat-cepat ia mernbuang mukanya. Lalu memacu kudanya sambil menurunkan lengannya, hati-hati.

Kedua orang tuanya berkata tajam. Dengan sekilas pandang, tahulah mereka bahwa puterinya sedang menanggung suatu derita yang nengancam. Apabila lengan yang terluka itu tidak segera gemperoleh perawatan yang balk, Sudarawerti bisa cacat seumur hidupnya. Karena sangat berduka laki-laki beruban itu mendcngak ke udara suram .

"Hm Kata orang, aku disebut Arya Udayana seorang ahli pedang murid ketiga guru besar Kyahi Basaman. Selamanya tak pernah aku merasa malu terhadap bumil dan langit yang melindungiku. Melihat kekiri aku berbesar hati. Melihat kekanan aku berbangga hati. Memandang ke depan tiada rasa segan. Menoleh kebelakang tiada rasa kecewa. Kenapa kini, Ya Tuhan, kami bisa menjadi begini? Kenapa aku harus membuat anak-isteriku tersangkut dalam kesengsaraanku yang terpaksa merantau dari tempat ke tempat sekian bulan lamanya? Ya Tuhan, berilah ... kami cerahmu!"

Larasati menahan kendali kudanya, kemudian menghduipiri suaminya. Setelah lari berjajar, ia menekap lengan kirinya. Katanya lembut :

"Suamiku, jangan engkau terlalu berduka memikirkan kami. Manusia yang suci bersih pasti akan nemperoleh berkat Tuhan Yang Maha Adil. Memang keluargamu lagi menjadi korban suatu fitnah. Kabut gelap menutupi penglihatanmu. Akan tetapi sebentar atau lama, latar belakang peristiwa ini pasti akan tersingkap. Sabarlah untuk beberapa hari saja. Apabila kita sudah bertamu dengan Kyahi Basaman, semuanya akan menjadi beres seperti sediakala."

Lake-laki beruban yang menyebut dirinya Arya Udayana menggelengkan kepala. Sahutnya sedih :

(4)

"Hari ini sudah hari yang ke 174 ... Kita telah melintasi air, gunung, rimba dan ladang belukar. Tapi tetap saja kita diikuti. Selama seratus tujuh puluh ampat hari, belum pernah kita beristirahat barang sebentarpun. Alangkah sakit hatiku Larasati, tak usahlah engkau menutupi suatu kenyataan! Pendekar-pendekar gagah seluruh penjuru ingin membekuk aku, engkau dan ketiga anak kita. Hidup atau mati. Kalau hal itu sudah terlaksana, barulah mereka mau tidur. Walaupun aku memiliki lidah tajam, setajam Shri Kresna sulit bagiku untuk memberikan penjelasan kepada mereka."

"Kangmas! Janganlah kau terlalu bersedih hati. Salah paham ini pasti ada akhirnya.Tuhan Maha Adil. Waktu masih panjang. Tak perlu kita terburu napsu." Udayana berpaling menatap wajah isterinya. Ia melihat selendang kelabu membalut lehernya.

Sekarang semua lipatannya sudah menjadi merah semua. Suatu bukti bahwa darah masih saja mengalir. Melihat hal itu, ia malu kepada diri sendiri. Dia yang terkenal sebagai seorang ahli pedang, apa sebab tak mempu melindungi isteri-nya.

"Kita berlari-lari sepanjang malam sampai sekarang," katanya dengan menghela napas. "Rumah Panjalu tak jauh lagi dari sini. Mari kita beristirahat sebentar. Aku mengharap bisa mencapai rumah Panjalu pada esok pagi." Dengan pelahan-lahan Larasati mengangguk. sahutnya :

"Benar. Kita perlu menghimpun tenaga kurasa malam nanti kita tak dapat kesempatan beristirahat. Selain itu, kita perlu merawat luka Sudarawerti. Akh, kasihan anak-anak kita yang tidak berdosa dan yang tak tahu-menahu tentang peristiwa ini. Mereka ikut pula nenanggung derita. Selama tujuh tahun, hampir dikatakan kita tak merasakan suatu ketenangan meski satu haripun ..."

Bukan kepalang sedihnya Udayana diingatkan perkara itu, Dengan hati bergetar ia berkata :

"Larasati! Benar-benar tak pantas aku menjadi suami dan ayah ketiga anak kita. Aku tak sanggup melindungi kalian."

"Jangan kau terlalu menyesali diri sendiri," bujuk Larasati.

"Siapa saja takkan sanggup menghadapi lawan yang jumlahnya tidak hanya se-ratus dua se-ratus orang. Mereka bisa saling bergiliran. Akan tetapi engkau? Akh! Sebab musabab terjadinya peristiwa ini adalah aku. Aku isterimu yang membuka suatu rahasia besar, karena ketololan dan kecerobohanku. Sebenarnya, akuulah yang harus mati."

Udayana mendongak keudara. Ia menarik napas dalam lagi. Lalu melepaskan pandang dijauh sana. Katanya setengah berseru :

"He! Bukankah itu sebuah rumah? Mari kita kesana untuk beristirahat sebentar. Kita perlu berteduh agar tak kemasukan angin jahat dan dingin hujan!"

Setelah berkata demikian, Udayana menghentak kendali kudanya. Ia mendahului memimpin rambongannya menuju kerumah itu. Isterinya segera mengikuti dengan membedalkan kudanya pula.

(5)

Dan ketiga anaknya lantas saja berada dibelakangmereka.

Rumah yang berada didepan sebenarnya bukan rumah orang. Rumah itu sebuah lumbung desa tempat penyimpan hasil bumi. Pastilah milik seorang berada. Sebab yang mempunyai lumbung di tengah ladang, biasanya seorang kepala Desa, haji atau seorang petani yang makmur hidupnya.

Makin mendekati rumah itu, hujan terasa bertambah deras. Mereka tak menghiraukan deras hujan. Yang ditakuti apabila ada angin jahat menyusup tubuhnya. Syukurlah, rumah itu tidak begitu jauh.

Dalam waktu kurang dari seperempat jam, sampailah mereka.

Limbung yang dikiranya rumah penduduk,berukuran kecil, akan tetapi bersih. Gentingnya terbuat dari rambut pohon aren. Gelap kelam, namun kokoh. Dindingnya bambu dan masih rapat. Suatu tanda bahwa pemiliknya masih memakainya.

Yang melompat turun dari kudanya terdahulu adalah Udayana. Kemudian merentangkan kedua tangannya untuk menyambut isterinya. Hati-hati ia bermaksud menolong isterinya turun dari kuda.

Akan tetapi isterinya malahan melompat turun dari sisi lainnya. Katanya :

"Kangmas! Tak usahlah kangmas terlalu memperhatikan aku. Kau bantulah anak kita Sudarawerti."

Akan tetapi pada saat itu Sudarawerti sudah melompat turun tanpa bantuan siapapun juga. Ia bahkan lari menghampiri ibunya. Itulah sebabnya Udayana mendekati anaknya yang paling bungsu. Baru saja ia hendak menggapainya, Sudarawerti sudah mendahului. Rupanya ia segera berputar arah begitu melihat ayahnya menghampiri adiknya.

"Lingga! Biarlah aku yang menolongmu. Ayah hendak beristirahat disini," katanya lembut .

Bocah itu menarik kendali kudanya kencang-kencang. Ia mendengar kata-kata kaka, Eaxrctpuan, akan tetapi sama sekali tak bergerak. Dengan wajah keagung-agungan ia mendcngal, melihat udara kelam. Sepasang alisnya berkerut seakanakan seorang panglima lagi memecahkan suatu persoalan. Lingga baru berumur delapan tahun. Nama lengkapnya Lingga Wisnu. Suatu names yang diam-- bil ayahnya dari seorang raja keramat dijaman kerajaan Pejajaran. Selama dilahirkan didunia, ia ikut menderita bersama ayah-ibunya. Merantau dari tavatketempat. Penghidupan demikian me•buat dirinya lekas masak dan berkepribadian penuh. Wa*anya tiada cahaya berseri. Kegembiraan masa kanak-kanaknya lenyap sehingga ia lebih mirip dengc,n seorang panuda tanggung yang hendak menanjak dewasa.

Sudarawerti meraih lengan adiknya itu dengan sabar. Katanya lembut lagi : "Lingga, kau lagi megdkirkan apa? Lihatlab hujan kian deras!"

Lingga Wisnu tersentak sejenak. Kemudian melompat turun tanpa bantuan. Ia menolak raihan Sudarawerti dengan tersenymn. Sahutnya ringan:

(6)

Sudarawerti tertawa sedih. Katanya menghidiri :

"Benar, kuda kita sudah lelah. Satu hari satu malam kita berlari-lari terus tiada henti. Kitapun agaknya perlu beristirahat pula." Sambil berkata demikian, ia mengamat-amati Lingga Wisnu.Adik ini sudah setinggi pundaknya.

Dan tiba-tiba kedua matanya berkaca-kaca. Dahulu, tujuh tahun yang lalu, dia masih perlu didukung bergantian, tatkala harus meninggalkan kampung halaman. Ia dibesarkan disepanjang jalan, dari tempat ketempat.Kini sudah mirip seorang penuda tanggung.

Nasibnya seperti Pinten-Tansen, putera raja Pandu dalam cerita Maha Bharata yang dibesarkan didalam perantauan Akh! Ternyata cerita wayang yang nampaknya tak ubah dongeng seribu satu malam benar-benar terjadi dan dialaminya.

Tatkala itu Lingga Wisnupun menatap wajah Sudarawerti. Seperti berjanji, diapun lagi mentaksir-taksir tinggi badannya. Lalu berkata:

"Kak! Satu atau dua tahun lagi, tinggi tubuhku akan melampaui tinggimu." Sudarawerti tertawa tawar Sahutnya:

"Benar, adikku. Kau akan lebih tinggi dari padaku. Setiap matahari muncul dilangit, tinggi tubuhmu selalu bertambah dan bertambah. Jangan-jangan

engkau kelak memiliki tubuh seperti

Bhima"

Tujuh tahun lamanya, keluarga Udayana hidup dalam perantauan. Mereka tidak hanya merantau untuk rnencari sandang--pangan , tetapi pun berlari-larian sambil membela diri terhadap serangan lawan yang datang bertubi-tubi dari seluruh penjuru mata angin. Selama merantau, mereka kepanasan, kehujanan, kelaparan dan kehausan. Dalam kepahitan hidup merekapun memperoleh suatu hikmah.

Masing-masing berusaha menghibur dan membesarkan hati. Dan dengan diamdiam mereka menguatkan hati untuk mereguk semua penderitaan yang mereka alami-.

Pada saat itu datanglah kakaknya laki-laki menghampiri. Dia seorang panda yang berumur kurang lebih sembilanbelas tahun. Dengan tibatiba saja is menyamber kendali kuda Lingga Wis-nu. Katanya sambil tertawa ramah

"Hai! Apakah kalian hendak mandi hujan? Beristirahatlah dengan ayah-bunda! Beliau berdua berada didalam lagi rnenyalakan api."

"Engkaulah justeru yang paling lelah kali ini. Kita berdua bisa beristirahat dengan perlahan-lahan," sahut Sudarawerti. Suaranya lembut penuh perasaan. Kakaknya yang bernama Umardanus, tertawa perlahan. Memang dialah satu-satunya anggauta keluarga yang penuh lumpur sehingga warna pakaian yang dikenakan jadi semu. Waktu mendengar ujar adiknya, dia tidak membuka mulutnya. Sebaliknya dengan seorang diri ia membawa kelima ekor kuda keladang rumput yang berada disebelah selatan Lumbung itu.

(7)

Melihat rumput, lima ekor kuda itu terus saja mengisi perutnya dengan lahap. Dan Umardanus tetap berada disitu tanpa menghiraukan derasnya hujan. 13

Udayana nuncul diambang pintu sambil menggeribiki pakaiannya. Melihat putera sulungnya tak berani meninggalkan kuda, ia lantas berseru :

"Mardanus! Tinggalkan saja. Mereka takkan lari. Kau perlu beristirahat!"

"Sebentar, ayah. Lebih baik ayah memeriksa kuda Sudarawerti dan ibu. Aku bisa nengurusi diri." Sahut Umardanus dengan suara hormat.

Udayana mengurut-urut janggutnya. Ia diam sejenak menimbang-nimbang. Kemudian berputar tubuh dengan menarik napas, perlahan-lahan ia memasuki lumbung menghampiri isteri dan anaknya yang lain.

Menang, setiap kali beristirahat, Umardanus selalu mengurus kuda tunggangan terlebihdahulu. Sebab kuda-kuda itu merupakan kaki dan tulang punggung keluarganya. Kalau sampal terjadi sesuatu, semuanya akan lumpuh. Dan kelumpuhan berarti suatu ancaman bahaya sendiri.

Itulah sebabnya selama merantau tujuh tahun tak pernah ia melalaikan tugas pekerjaannya. Malahan kuda-kuda itu baginya jauh lebih berharga dari pada jiwanya sendiri. Itulah sebabnya, demi kuda-kuda itu ia tak menghiraukan hujan atau terik matahari. Kalau perlu ia rela nenderita lapar dan dahaga.

Didalam ruang lumbung yang bersih itu, duduklah Udayana dengan isterinya, Sudarawerti dan Lingga Wisnu. Perlahan-lahan ia melepaskan bungkusan yang selalu menggeblok pada punggungnya. Itulah bungkusan makanan kering, nasi tanpa sayur ! .

"Anak-anak, mari kita makan," ajaknya. "Kali ini mungkin sekali merupakan perjalanan kita yang terakhir. Sebab setelah kita bertemu dengan paman-gurumu PanjaIu kemudian eyang paman-gurumu, selanjutnya tiada lagi yang bakal mengganggu kita."

Setelah berkata demikian, ia membuka pula dua botol air minum . Ia mengangsurkan kepada isterinya. Berkata pula :

"Inipun merupakan suguanku yang terakhir kepadamu. Kau minumlah!"

Perlahan suaranya, sehingga mirip orang berbisik. Kemudian dengan pandang lembut ia menatap wajah Sudarawerti. Katanya :

"Coba, kau perlihatkan lukamu!"

"Akh, lukaku tidak parah." sahut Sudarawerti cepat. "Luka ibu perlu mendapat perhatian ayah."

Larasati tertawa perlahan. Ujarnya :

"Lukaku? Apakah arti lukaku ini! Ibu kan sudah berusia tua. Seumpama, lantaran tidak kena obat, akan meninggalkan cacatpun tidak banyak artinya. Pendeknya bukan soal lagi. Sebaliknya engkau seumpama tanaman sedang mekar mekarnya. Bukankah kau kini sudah berumur enambelas tahun ? Coba,

(8)

kalau lenganmu sampai cacat, engkau akan menyesal seumur hidupmu. ibupun ikut menderita pula."

"Baiklah, baiklah. Kalian jangan saling bertengkar. Obat lukaku cukup untuk penyembuh dua orang lagi," tukas Udayana.

Setelah berkata demikian, Udayana membuka pembalut isterinya. Luka itu masih mengeluarkan darah. Hal itu membuat hatinya bercekat. Katanya didalam hati:

" Hebat sabetan golok Rujipinentang. Benar-benar dia merupakan musuh tangguh sampai bisa melukai isteriku. Untunglah tidak sampai memagas urat nadi," dan cepat-cepat ia menaburkan bubuk obat luka yang berwarna kelabu. "Sekarang giliranmu, anakku," katanya kemudian.

Sudarawerti membuka pembalut lukanya sendiri. Kemudian mengangsurkan lengannya kepada ayahnya. Luka itu dideritanya tiga hari yang lalu. Karena kurang terawat dan kena hujan dan angin jahat, kini nampak diseliputi nanah. Melihat nanah itu, Udayana mengerutkan alis. Katanya sambil menghela napas :

"Sudarawerti, kalau kasep dua hari lagi, pastilah lenganmu akan cacat. Kau ... kau ..."

Ia tak meneruskan kata-katanya. Sebenarnya ia menganjurkan agar Sudarawerti merawat lukanya baik-baik. Akan tetapi selama beberapa hari ini, hampir-hampir tiada suatu kesempatan untuk beristirahat. Musuh yang datang dari semua penjuru angin menyerang secara bergiliran. Apalagi berkesempatan melihat luka, sedangkan untuk menidurkan diri saja sama sekali tiada waktu. Itulah sebabnya, dengan membungkam Udayana menuang sisa obat bubuknya lalu membuang pembungkusnya diatas tanah. Ujarnya setengah berdoa : "Mudah-mudahan inilah perjalanan kita yang terakhir."

Selagi ia merenungi ucapannya sendiri dengan wajah muram, tiba-tiba Lingga Wisnu minta keterangan diluar dugaan. Katanya anak tanggung itu :

"Ayah, dapatkah aku minta suatu keterangan ? Ada sesuatu yang tidak kumengerti .. "

Udayana tercengang. Segera ia berpaling dan menatap wajah puteranya yang bungsu. wajah Lingga Wisnu nampak muram dan setengah bergusar .

Dan melihat kesan itu , ia menghela napas lagi dengan tak dikehendaki sendiri , sahutnya dengan perlahan :

"Kau hendak minta keterangan apa , anakku ? Kau berkatalah! Sebenarnya, andaikata kau tak mengerti, akhirnya kau akan mengerti sendiri .Aku sendiri sudah memutuskan hendak memberi penjelasan kepadamu. Kukira umurmu kini sudah dapat menangkap suatu keterangan."

Anak lumrah yang berumur delapan tahun ,sebenarnya tidak mungkin dapat diajak membicarakan masalah orang tua. Akan tetapi Lingga Wisnu adalah seorang anak yang dibentuk oleh keadaan.

(9)

Pertumbuhan akalnya lebih cepat daripada anak lumrah. Dan setelah mendengar kata-kata ayahnya,maka ia berkata :

"Ayah, yang kuingat ... eh,teringatlah aku pada waktu itu. Kita semua berlari sepanjang malam, melewati gunung dan melintasi hutan. Aku ... "

"Akh, anakku!" potong ibunya dengan suara mengeluh, lantas meneluk lehernya dengan air mata bercucuran.

"Itulah terjadi tiga tahun yang lalu..."

"Sekarang ini berapa sih usiaku?"

"Delapan tahun," sahut ayahnya dengan suara tegas.

"Hai! Jadi aku sekarang sudah berumur delapan!" seru Lingga Wisnu. "Kata kakak Sudarawerti, kita merantau selarna tujuh tahun. Kalau begitu ayah mengajak aku meninggalkan rumah sewaktu aku masih, berumur satu tahun. Ayah, aku telah melihat banyak gunung, hutan, jurang, sungai dan batu. Ayah mengajak aku merantaui padang luas. Kadang-kadang menyeberangi ladang belukar. Teringatlah aku, kalau hujan turun deras dan angin meniup begitu gemuruh. Teringatlah aku, kalau berhari-hari kita berada di tengah terik matahari. Kita lantas mencari mata air untuk meneguk airnya yang bening. Hanya yang kuherankan, apa sebab ayah, ibu, kak Mardanus, kak Sudarawerti mesti harus bertempur setiap, kali bertemu dengan orang ? Apakah kita pernah menyalahi mereka? Ataukah mereka memang orang-orang jahat yang memusuhi kita? Buktinya, suatu kali kita pernah melintasi kota dan pedusunan. Dan ayah tak perlu nenghunus pedang untuk nenikam mereka ..."

Masih sangat muda usia Lingga Wisnu. Akan tetapi pengalamannya terlalu dahsyat. Dari tahun ke tahun, nalurinya membuat akalnya mulai ingin mengerti semuanya. Tatkala mula-mula melihat keluarganya bertarung dengan orang-orang tertentu, ia bersikap acuh tak acuh. Kemudian rasa takut mulai menggerayangi. Lalu rasa gusar dan girang apabila keluarganya menang. Setelah itu mulai menebak-nebak apa sebab selalu terjadi suatu pertarungan adu jiwa. Dan pada tiga hari yang lalu, untuk yang pertama kalinya salah seorang anggauta keluarganya kena luka. Dialah Sudarawerti. Dan hal itu membuat akalnya mulai bingung. Lalu ibunya kena sabetan golok seorang musuh yang menamakan diri Rujipinentang. Kalau begitu terjadi suatu pertarungan itu, tidak dikehendaki oleh keluarganya sendiri. Terasa sekali, betapa ayah-bundanya terpaksa melayani lawan untuk suatu pembelaan diri . Mengapa Ayah bundanya di musuhi orang begitu banyak ? Benar-benar ia tak mengerti. Dan dalam tiga hari itu , ingin ia minta penjelasan. Namun rasa lelahnya lebih menguasai dari pada perhatiannya itu . Ia tertidur begitu menggeletakkan badan. Kini dia kehujanan. Pakaiannya basah kuyup . Inilah yang membuat dirinya tak dapat tertidur dengan cepat. Maka ini pula kesempatan baginya untuk minta keterangan kepada ayahnya.

"Lingga, jangan membuat Ayahmu berduka ! " tegur ibunya.

Mendengar teguran ibunya, wajah Wisnu nampak muram luar biasa. Ia jadi bingung, cemas dan sesal. Akhirnya ia ingin menangis dengan perasaan tak menentu. Sejenak kemudian ia mencari kesan wajah ayahnya. Berkata :

(10)

"Benarkah ayah berduka dengan pertanyaanku ini? Kalau begitu, patutlah aku ayah hukum."

Udayana menoleh kepada isterinya. Berkata:

"Larasati, mengapa dia kau tegur demikian ? Dalam hal ini bukan dia yang salah. Sebaliknya akulah manusia yang tiada gunanya hidup sebagai ayah dan suamimu. Tujuh tahun lamanya, aku membuat engkau sengsara. juga ketiga anakku ... "

Ia berhenti menelan ludah. Kanudian meraih leher Lingga Wisnu dan nengusap-usap kepalanya dengan perasaan kasih-sayang. Katanya lagi dengan suara agak parau:

"Lingga, kau tak salah! Sama sekali tak salah. Mengapa aku mesti menghukummu? Selama tujuh tahun ini, ayahmu mencoba mengatasi kesulitan ini, untuk mengkikis suatu salah paham. Akan tetapi, ayahmu tidak berdaya sama sekali menghadapi lawan-lawan yang bersikap sangat ganas."

Lingga Wisnu mengangkat kepalanya memandang wajah ayahnya. Berkata seperti merajuk :

"Ayah, dapatkah ayah menjelaskan tentang salah paham itu?" Udayana mengangguk seraya tertawa sedih. Jawabnya pasti :

"Tentu. Tentu saja. Saat ini justeru saat kita yang terakhir. Semenjak tadi, ayah sudah berkeputusan untuk menjelaskan kepadamu, walaupun otakmu mungkin belum dapat mengerti persoalan latar-belakangnya. Kalau ayah tidak men-jelaskan sekarang, kapan lagi ayahmu memperoleh kesempatan lagi ? Kau duduklah baik-baik. Kemudian dengarlah setiap patah kata ayahmu. Sebab setelah ini, ayahmu tidak akan berkata-kata lagi."

Sudarwerti yang semenjak tadi berdiam diri sambil membalut lukanya , menyambung :

"Ayah! Selama tujuh tahun merantau, baru kali ini ayah membawa kami melarikan diri. Aku tahu sebenarnya. Itulah lantaran kami melakukan diri tahu sebenarnya. Itulah lantaran aku dan ibumu terluka. Ibumu mahir sekali menggunakan pedang. Kak Umardanus makin tangguh. Akupun merasa men-dapat kemajuan pula. Setelah lukaku sembuh, tak perlu ayah membawa kami lari-lari begini. Hanya saja, ada satu hal yang tidak kumengerti. Ayah terlukai musuh. Mengapa ayah tak mau membalas, sedangkan sebenarnya ayah marnpu berbuat begitu."

Sambil bertanya demikian, Sudarawerti mengawasi luka ayahnya yang menggarit kedua belah pipinya. Lingga Wisnupun demikian pula. Berkata menguatkan pertanyaan kakaknya :

"Benar ayah. Apa sebab ayah membiarkan musuh melukai pipi ayah ? " "Lingga! Jangan kurangajar!" bentak ibunya .

"Larasati, biarlah!" kata Udayana membujuk. Akan tetapi wajahnya nampak muram luar biasa. Walaupun demikian, pandang matanya tiba-tiba bersinar tajam. Dengan suara bernada menghibur ia berkata kepada kedua anaknya :

(11)

"Tak dapat ayahmu melakukan kesalahan lagi setelah pernah berbuat suatu kekeliruan. Sekarang ini ayahmu sudah berusia lebih dari setengah abad. Kalau hari ini harus mati, hati ayah rela benar. Akan tetapi bagaimana dengan kamu sekalian. Kalau ayah menggali tanah lebih dalam lagi, kamulah yang bakal memikul akibatnya. Dapatkah dibenarkan apabila seorang ayah meninggalkan suatu warisan penderitaan kepada anak keturunannya? Tidak! Tak dapat aku menanamkan bibit permusuhan yang berlarut-larut tiada habisnya untuk kamu sekalian."

"Akh, ayah terlalu bermurah hati kepada mereka." ujar Sudarawerti. "Sebaliknya mereka tak mau tahu. Mereka mengejar kita terus menerus selama tujuh tahun. Setiap gerakan senjata mereka mengancam maut tak terampun kan. Selama beberapa tahun, entah sudah berapa kali ayah dan ibu menderita luka ringan dan berat. Tetapi kerelaan ayah dan ibu menanggung derita itu, tak dapat merubah hati mereka. Bahkan mereka bertambah ganas dan ganas. Kenapa semangat ayah tiba-tiba menurun deras?"

Udayana rnenggelengkan kepalanya sambil menghela napas. Katanya perlahan:

"Tidak, anakku. Tidak. Sama sekali tidak. Semangat ayahmu bukan runtuh dengan deras. Tetapi karena mempertimbangkan keadaan. Tegasnya ayahmu ini dipaksa oleh suatu keadaan. Manang merubah sikap mereka, kini tiada harapan lagi. Satu-satunya jalan hanyalah membela diri mati-matian. Kita membunuh atau dibunuh. Akan tetapi anakku, musuh-musuh kita ini luar biasa banyaknya. Barangkali kau masih ingat, tatkala mula-mula kita meninggalkan rumah. Dari Sumedang aku membawa kalian lari kebarat sampai mencapai pantai barat. Kemudian menembus hutan belukar, balik ke timur. Melintasi Cirebon. Berbelok keselatan.Menyeberang pegunungan Banyumas. Akhirnya sampai disini. Dilembah Gunung Lawu. Akan tetapi musuh-musuh kita tetap mengejar. Setiap kali memasuki suatu wilayah, musuh-musuh berganti orang. Kau tahu, siapakah musuh kita sebenarnya?"

"Itulah yang hendak kutanyakan," sahut Sudarawerti.

"Benar ayah, agar kita menjadi jelas siapa musuh-musuh kita." Lingga Wisnu menguatkan.

Udayana menundukkan kepalanya.Setelah diam sejenak, dengan muka berkerut lalu ia berkata:

"Musuh kita adalah seluruh pendekar di dunia ini yang mempunyai angan-angan hendak nencapai langit."

Baik Sudarawerti maupun Lingga Wisnu menggeridik mendengar keterangan ayahnya. Sudarawerti delapan tahun lebih tua daripada Lingga Wisnu. Karena itu dapat ia berpikir dan menimbang. Katanya lagi minta penjelasan :

" Seluruh pendekar didunia ini? Masakan begitu, ayah? Bagaimana mereka memusuhi ayah.Apakah ayah pernah mengenal mereka?"

" Tidak. Tidak semuanya," jawab ayahnya .

(12)

" Itulah karena ... karena ... " jawab ayahnya nya sulit. Ia menimbang-nimbang sebentar.

Kemudian mengalihkan pembicaraan:

"Mereka mencanangkan ayah sebagai seorang pencuri mahabcsar yang harus dibekuk hidup atau mati. Barang siapa dapat menangkap ayahmu ini hidup-hidup, memperoleh tiga bagian mustika dunia. Sebaliknya apabila menangkap ayahmu mati, hanya peroleh sebagian. Tetapi sebagian itu sudah cukup untuk membuat namanya tenar di dunia. Karena apa yang disebut mustika itu merupakan ilmu sakti tertinggi didunia. Konon dikatakan dapat melawan jin, setan, iblis dan dewa sendiri. Ia akan merajai segenap manusia didunia. Dia akan dihormati dan dipuja sebagai malaikat."

" Akh! Itulah kabar berlebih-lebihan saja," gerutu Sudarawerti. "Kita hidup pada jaman ini. Pernahkah Tuhan melahirkan seorang yang bisa mengalahkan dewa atau malaikat? Itulah suatu dusta besar!"

" Benar. Itulah suatu dusta. Namun ayahmu tidak berdaya melawan anggapan demikian," kata ayahnya.

" Jadi, mereka mengejar ayah sampai di Lembah Gunung Lawu ini semata-mata lantaran menginginkan iImu sakti tiada taranya didunia ini?"

" Benar."

" Inilah suatu kegilaan," bisik Sudarawerti dengan terlongong. "Ya, benar-benar gila!"

" Kau boleh berkata demikian, anakku. Tetapi buktinya, keluarga ayahmu menjadi buruan mereka. Cobalah pertimbangkan masak-masak, dapatkah ayahmu melawan demikian banyaknya?" kata Udayana dengan menghela napas sedih.

"Itulah sebabnya, tiada jalan lain kecuali melarikan diri. Kemudian berusaha mencari paman gurumu dan .... kalau Tuhan melindungi, kita akan berlindung kepada eyang-gurumu Kyahi Basaman. Ia adalah seorang guru besar, dihormati dan disegani orang. Setidak-tidaknya pendekar-pendekar Jawa Tengah mengenal namanya. Karena itu anakku, meskipun penderitaan kita berlarut-larut, namun aku tak percaya bahwa suatu penderitaan tiada akhirnya. Belurn pernah manusia menyaksikan awan hitam menutupi langit cerah sepanjang masa. Dan sebaliknya pula, matahari yang perkasa terbatas pula kekuasaannya ..."

"Seluruh pendekar nemusuhi ayah," Lingga Wisnu berkomat-kamit, memotong perkataan ayahnya. "Mereka berbuat begitu, semata-mata karena ingin memiliki warisan ilmu sakti. Kata ayah, barangsiapa yang dapat menangkap ayah hidup atau mati akan mendapat ilmu sakti mustika dunia.Sebenarnya apakah yang disebutnya mustika dunia itu, ayah?"

Udayana tercengang mendengar pertanyaan puteranya yang bungsu itu. Terus saja ia rneraih dan mengusap-usap kepalanya. Katanya perlahan:

(13)

Hatinya meneruskan : 'Kau tumbuh terlalu cepat ... Dan hatinya lantas saja terasa pedih.

Lalu berpaling kepada isterinya. Berkata :

"Larasati! Meskipun kita kini hampir memasuki wilayah perguruan, namun hidup atau mati belum dapat kita pastikan. Oleh karena itu, kalau kini aku tidak segera memberi penjelasan kepada anak-anak kita, jangan-jangan aku tidak mempunyai kesempatan lagi. Bagaimana menurut pendapatmu?"

Larasati menatap wajah suaminya. sabar :

" Kalau demikian pertimbanganmu, terserahlah padamu."

Segera Udayana menghirup napas segar. la melepaskan raihannya. Kemudian nemandang wajah Lingga Wisnu dan Sudarwerti. Berkatalah dengan hati-hati: "Anakku, inilah soal yang sulit untuk kau pahami. Mungkin sekali karena umurmu belum cukup kuat untuk menanggapi. Terus terang saja, sampai kini ayahmupun tetap berada dalam suatu teka-teki pelik. Sebenarnya bagaimana asalmula terjadinya suatu fitnah ini, masih kurang jelas. Hanya anehnya, mengapa mereka semua tahu belaka tentang diri ayahmu. Pastilah ada seorang yang meniup-niupkan suatu kabar tentang diriku. Benar dan tidak bercampur-aduk tak keruan. Aku mempunyai dugaan. Tetapi selama tujuh tahun lebih , tak dapat aku membuka mulutku. Akh, seumpama ayahmu tidak terlalu sibuk menghadapi orang-orang yang datang memusuhi tanpa alasan permusuhan, siang-siang ayahmu pasti sudah dapat membekuk biang keladinya ..."

Sanpai disini Udayana berhenti berbicara. Mulutnya membungkam dengan rnendadak. Giginya berceratukan seolah-olah sedang menggigit sesuatu yang ulat luar biasa.

Sudarawerti seorang gadis perasa. Terus saja berkata :

" Ayah sangat bersakit Kati. Biarlah ayah tak meneruskan saja keterangan tentang peristiwa yang memedihkan ini"

" Tidak, anakku. Ayahmu harus berbicara terus. Hanya saja ..." ia berhenti lagi. Tiba-tiba berdiri dan berjalan keluar ambang pintu. Menyeru putera sulungnya: "Mardanus, kemarilah! Ayah hendak berbicara dengan kamu semua."

Umardanus masih mengawasi kelima ekor kudanya. Mendengar seruan ayahnya, segera ia menambatkan tali-tali kendali menjadi seonggok. Kemudian bergegas memasuki lumbung. Minta keterangan :

" Ayah hendak berbicara perkara apa?"

" Kau duduklah dahulu diantara kedua adikmu!" perintah Udayana.

Umardanus menggeribiki-pekaiannya. Kemudian menghampiri kedua adiknya. Tak dapat ia segera duduk, karena pakaian yang ia kenakan sudah basah kuyup.

" Baiklah, kau berdiri saja. Kau panaskan tangan dan kakimu, sambil mendengarkan," kata Udayana memutuskan.

(14)

" Cobalah kau terka, apa sebabnya seluruh pendekar dunia ini memusuhi ayahmu sekeluarga ! "

Umardanus menatap wajah ayahnya dengan hati tercekat. Lalu menjawab perlahan :

" Yang kuketahui, sepak terjang mereka membuat ayah sangat berdendam dan penasaran."

" Yang kumaksudkan sebab-sebabnya," tukas Udayana. Umardanus bimbang. Hati-hati ia menjawab:

" Menurut yang kudengar, ayah dituduh menyimpan sebatang tongkat mustika dunia. Atau setidaknya ayah tahu rahasianya dan tahu pula dimana tongkat mustika itu tersimpan."

" Benar. Sebatang tongkat mustika. Itulah gara-garanya. Tahukah engkau apa sebenarnya tongkat mustika itu?" ayahnya seperti guru nguji muridnya.

Sebelum Umardanus menjawab pertanyaan sang ayah, tibatiba Lingga Wisnu memotong dengan pertanyaan pula:

" Kak Mardanus! Kenapa mereka mengira ayah yang menyimpan tongkat itu?" Mendengar pertanyaan itu, Umardanus tercengang. Justeru hal itu pulalah yang membuat dirinya terus berteka-teki selama tujuh tahun lebih.

"Entahlah ..." jawabnya. "Aku sendiri kurang jelas."

Setelah menjawab demikian, ia berpaling ke ayahnya. Meneruskan :

" Orang-orang yang datang mengejar kita ini, pada suatu hari dipanggil se-seorang yang membawa warta tongkat mustika tersebut. Mereka dikisiki dimanakah tongkat mustika itu berada. Mereka diberi penjelasan pula, bahwa tongkat mustika itu tidaklah hanya menggenggam suatu rahasia ilmu sakti yang sangat tinggi tetapipun menyimpan sebuah gunung emas dan berlian yang tak ternilai harganya. Pendek kata, barangsiapa dapat mamperoleh tongkat mus-tika itu akan bisa memerintah dunia. Benar tidaknya, aku tak tahu. Ayah, benarkah itu?"

Pandang mata Sudarawerti dan Lingga Wisnu mengarah kepada ayahnya. Tiba-tiba mereka melihat kedua mata ibunya mereteskan air mata. Mereka jadi terkejut. Lingga Wisnu terus saja meloncat dari duduknya. Ia memeluk ibunya dan berkata

" Ibu, kalau keterangan ayah akan menyusahkan ibu, biarlah ayah tidak usah menjawab pertanyaan kakak."

Mendengar ucapan Lingga Wisnu, air mata Larasati menetes kian deras. Ia berpaling kepada suaminya. Kemudian menunduk memandang kepala anaknya yang bungsu. Katanya perlahan :

" Memang semuanya ini ibumu ikut bersalah. Bahkan ibumulah yang menjadi bibit permusuhan ini ..."

" Larasati! Pengakuanmu tidak benar!" potong suaminya setengah membujuk. "Aku sendiri belum memperoleh pegangan yang kuat."

(15)

"Tidak! Aku, selama tujuh tahun engkau membungkam demi untukku," ujar Larasati dengan suara pasti.

"Sekarang tak boleh lagi engkau memendam persangkamu. Betapa rapat seseorang membungkus ikan busuk, akhirnya akan tercium juga. Selama merantau tujuh tahun ini, jangan lagi engkau, aku sendiri telah marperoleh tanda tandanya. Dialah ..."

"Larasati!" potong suaminya dengan suara keras. Tetapi berbareng dengan itu, ia menghela napas.

Dengan menundukkan kepala ia berkata mendesah :

"Baiklah, aku akan berbicara. Akan tetapi, sama sekali tiada maksudku, aku mencelamu. Bahkan selama ini, aku sangat berbahagia. Aku berhutang budi padamu, Larasati. engkaulah pelita hidupku, mercu hidup anak-anakku yang la-hir lewat rahimmu. Kalau malapetaka ini terjadi juga, bukankah sudah semestinya aku harus menyadari jauh sebelumnya."

Larasati mengusap air matanya. Ia menatap wajah suaminya dengan pandang lembut. Kemudian berkata lembut :

"Katakan saja! Aku adalah bagian hidupmu. Tiada sesuatu kekuatan yang bisa memisahkan kita, kecuali maut ... Kau katakan saja , suamiku "

Udayana meruntuhkan pandang keperdiangan Ia menyalakan api lebih besar lagi. Kemudian melempar kan pandang keluar pintu. Udara lembah Gunung Lawu telah menjadi guram. Dingin hawa mulai merayapi tujuh.

Perlahan-lahan ia mengembarakan pandang dan berhenti pada wajah ketiga anaknya. Dan diantara gemercik hujan, mulai ia berkata :

"Semasa kanak-kanak, aku hidup di wilayah ini. Di wilayah Gunung Lawu yang dianggap keramat oleh penduduk Jawa Tengah. Aku hidup di pinggang gunung sebelah timur laut, didalam dia nempunyai pertalian darah dengan seorang kesatria sakti yang bermukim dipuncak gunung. Kabarnya salah seorang putera Raja Brawijaya terakhir pada jaman keruntuhan kerajaan Majapahit.

"Pedepokan eyang gurumu disebut orang Wukir Baji. Tempatnya berada dibewah kepundan sebelah utara. Memencil dari semua kesibukan dunia. Siang dan malam hari hanya berselimut awan putih yang dingin luar biasa.

"Eyang gurumu mempunyai tujuh murid. Ayahmu ini termasuk murid kelima. Paman-gurumu yang tertua bernama: Ugrasena. Lalu: Dewabrata, Tawangalun, Podang Wilis, kemudian ayahmu. Setelah itu Panjalu dan Samtanus. Guru tidak menerima murid perempuan. Itulah sebabnya, sekalian muridnya adalah laki-laki.

"Kami bertujuh hidup sebagai keluarga sendiri. Saling menolong dan saling membantu. Pendek kata saling bahu-membahu. Setelah masing-masing mempunyai keluarga lantas berpisah. Diantara kami, kabarnya tinggal dua orang saja yang belum kawin. Merekalah pamanmu Panjalu dan Samtanus. "Semenjak kami berpisah, eyang gurumu mendaki puncak gunung. Kabarnya beliau ingin melewati jembatan Jalu Angin agar bisa bertemu dengan kasatria Majapahit itu. Syukur masih hidup. Seumpama tidak, makampun bolehlah."

(16)

"Bukankah kerajaan Majapahit runtuh beberapa ratus tahun yang lalu?" sela Sudarawerti.

"Benar. Hanya saja diluar terjadi suatu kepercayaan yang keras sekali, bahwa putera Majapahit itu sesungguhnya tidak mati. Dia pernah minum air hidup yang membawa suatu kekekalan. Dan kabarnya, dia membangunkan kerajaan jin yang berbakti kepada Tuhan." jawab ayahnya. "Biarlah kita ikuti saja dongeng rakyat itu ..."

"Ayah agaknya menganggap suatu dongeng belaka. Masakan eyang guru tidak?"

"Kabar, bahwasanya dia hendak melintasi jembatan Jala Angin untuk bisa bertemu dengan kasatria sakti tersebut, sebenarnya hanya satu dalil semata. Yang benar, eyang gurumu hendak mencoba memecahkan teka-teki tentang jembatan Jala Angin itu."

Umardanus, Sudarawerti dan Lingga Wisnu heran nendengar keterangan ayahnya itu. Tatkala mereka hendak minta keterangan tentang jembatan tersebut, ayahnya telah mendahului berkata :

" Kitapun akan menuju kesana pula, apabila keadaan sangat memaksa."

Mendengar pernyataan itu, mereka bertiga menoleh kepada ibunya.Larasati nampak mengucurkan air mata. Hal itu membuat mereka berteka-teki.

Dalam pada itu, Udayana memandang tiga anaknya, seorang demi seorang. Berkata menguji :

" Pernahkah engkau nendengar kabar, apa sebab jembatan itu bernama Jala Angin ? "

" Belum pernah aku nendengar," jawab Umardanus.

"Itulah suatu tempat yang sangat berbahaya dan sukar dicapai," Udayana menerangkan. "Walaupun demikian, banyak orang-orang gagah yang ingin menyeberangi. Apa sebabnya ? Sebenarnya aku sendiri belum mengetahui jelas , kecuali suatu kabar angin belaka. Dan kabarnya sudah lebih seribu jiwa yang mati terperosok ke dalam jurang, yang dalamnya entah berapa ratus ribu kaki."

" Jika jembatan itu sangat berbahaya, apa sebab mereka datang kesana seolah- olah sedang berlomba?" ujar Sudarawerti sambil menundukkan kepala. Udayana menjawab :

" Itulah karena mereka ingin memiliki sebatang tongkat mustika dunia yang katanya menggenggam rahasia ilmu sakti tertinggi dan harta karun yang luar biasa banyaknya."

"Akh!" seru Sudarawerti dan Lingga Wisnu berbareng dengan suara tertahan. Kemudian kesunyian terjadi dengan sejenak. Dan hujan setengah deras diluar lumbung terdengar gemersak.

"Ayah!" Sudarawerti berkata. "Sebatang tongkat mustika berada diseberang jembatan. Mengapa ayah dikejar-kejar ribuan orang perkara tongkat itu pula?"

(17)

"Nah, inilah soalnya." sahut Udayana. "Guruku terkenal sebagai seorang sakti yang tinggi ilmunya. Mengingat kepandaiannya, mereka yakin eyang gurumu berhasil menyeberangi jembatan maut dan berhasil pula memdliki tongkat mustika tersebut. Karena setiap setahun sekali guru muncul dipadepokan, mereka mengira bahwa tongkat mustika itu telah diserahkan kepada salah seorang muridnya."

"Mengapa justeru ayah yang kena fitnah?"

"Karena paman gununu bertempat tinggal disekitar Gunung Lawu, sebaliknya hanya ayahmu seorang yang merantau sampai di Jawa Barat. Sebab ibumu berasal dari Sumedang. Di Sumedang, ibumu mempunyai warisan tanah dan perumahan. Tak tahunya ..." Udayana bimbang. Ia mengerling kepada Larasati. Melihat air mata isterinya mengucur bertambah deras, ia lantas manbungkam. "Kau katakan saja, suamiku," ujar Larasati diantara sedannya.

Dengan hati berduka Udayana meneruskan kata katanya :

"Tak tahunya justeru ayahmu bertempat tinggal jauh, maka mereka mengira bahwa tongkat itu ayahmulah yang menyimpan ..."

"Kalau begitu, kesalahan ini tak dapat ditimpakan kepundak ibu!" seru Sudarawerti.

"Tidak. Memang ibumu yang menjadi bibitnya," kata Larasati. "Coba ayahrnu bertempat tinggal ditempat lain, atau katakan saja berdekatan dengan saudara-saudara seperguruannya, bukankah mereka tak mempunyai alasan menuduh ayahmu yang bukan-bukan ? "

"Aneh! Benar-benar aneh! " Sudarawerti meledak. "Sebenarnya apa sih tongkat mustika Aku sendiri menganggapnya sebagai dongeng. sebaliknya mereka menganggapnya sebagai sesuatu sungguh-sungguh ada. Bukankah ayah tak pernah melihat tongkat itu ? "

"Benar. Tak pernah aku melihat tongkat tersebut, " sahut Udayana. "Kalau begitu, apakah mereka gila?" teriak Sudarawerti.

Udayana tertawa menyerinyal. Suatu kepedihan terbayang pada wajahnya. Katanya kepada isterinya :

"Larasati, lihatlah! Sedangkan anak-anak kita saja tidak percaya kepada keteranganku bahwasanya aku benar-benar tak pernah melihat tongkat tersebut. Apalagi mereka ..."

Mendengar ucapan ayahnya, Sudarawerti terkejut. Ucapannya tadi

dimaksudkan untuk mengutuk mere ka. Dan bukan menyangsikan keterangan ayahnya. Memang perkataan itu rnenpunyai dua arti. Mengutuk dan menyangsikan keterangan ayahnya. Masakan ribuan pengejar ayahnya gila se-mua dan memusuhi tanpa alasan yang berdasar ?

" Ayah, sama sekali aku bukan menyangsikan keterangan ayah. Aku percaya benar. Aku mengatakan mereka gila, karena perbuatannya itu benar benar tak ubah rombongan orang gila ! "

(18)

"Bukan karena mereka gila, tetapi karena enngkau masih terlalu muda untuk bisa mengerti. "

Sudarawerti menoleh kepada Umardanus mencari pengertian. Tapi pada saat itu, Umardanus menundukkan kepalanya sambil nemeras pakaiannya yang basah kuyup.

"Baiklah, kujelaskan." kata Udayana menutuskan. "Mula-mula latar

belakangnya dahulu. Itulah perkara jembatan maut yang bernama Jala Angin. Jembatan itu sebenarnya berbentuk sebuah batu memanjang yang menghubungkan puncak gunung dengan dataran ketinggian. Seperti kalian ketahui, Gunung Lawu mempunyai tiga kepundan. Masing masing kepundan dibatasi oleh jurang dalam.Dan batu itu melintang dari kepundan satu ke lainnya. Sepanjang tahun, batu penghubung itu diliputi awan tebal dan kabut hitam. Selain itu angin yang datang dari dasar jurang luar biasa derasnya. Jangan lagi manusia atau binatang , sedangkan batu raksasa bisa dilontarkan tinggi-tinggi seumpama dapat mencapai bintang. Batu itupun sangat licin, karena lumutnya sudah berumur ratusan ribu tahun. Barang siapa melalui jembatan itu dan sampai tergelincir, jangan harap lagi dapat melihat matahari atau bulan. Tubuhnya akan musna dite lan kegelapan jurang yang dalam entah berapa ribu kaki. Walaupun demikian, karena diseberang jemba tan terdapat sebuah mustika dunia yang harganya melebihi seribu jiwa, banyak juga para pendekar me ngadu untung. Sepanjang cerita, selama ratusan tahun itu hanya ada dua orang yang berhasil mencapai seberang jembatan. Merekalah yang disebut orang Ki Ageng Branjangan dan Ki Ageng Tapak Angin. Pada masa mudanya, mereka merupakan bintang kasatria gagah tiada tandingnya."

"Apakah mereka berdua menyeberangi jembatan itu demi tongkat mustika itu? " sela Sudarawerti.

"Benar. Seumpama tidak mungkin sekali hanya untuk mengangkat nama," jawab Udayana "Mereka dapat menyeberang akan tetapi taik dapat balik kembali. Karena itu cerita tentang tongkat mustika tetap merupakan suatu rahasia besar."

"Sebenarnya siapakah yang menyebarkan, cerita tentang tongkat mustiks itu , ayah?" tanya Lingga Wisnu.

"Kata orang pemiliknya sendiri "

"Siapa dia?"

"Putera raja Majapahit itu sendiri," jawab Udayana. "Tegasnya begini. Tatkala kerajaan Majapahit runtuh, raja putera itu melarikan diri kemari. Karena dia menjadi perburuan, akhirnya dengan memberanikan diri ia melintasi jembatan Jala Angin dan selamat. Dia lenyap dari percaturan. Akan tetapi tongkat mustika milik kerajaan Majapahit yang dibawanya semenjak melarikan diri dari Majapahit terbawa hilang pula. Dan semenjak itu tersebarlah dongeng perkara tongkat mustika tersebut. Banyak orang ingin memiliki. Sebab barangsiapa dapat nemiliki tongkat mustika tersebut akan menjadi seperti raja, seumpama raja Majapahit sendiri yang pernah menguasai seluruh kepulauan Nusantara sampai Madagaskar. Selain itu, dia akan mewarisi rahasia ilmu sakti leluhur kita semenjak dunia ini ada,"

(19)

"Apakah manusia-manusia pada waktu ini tiada yang sakti?" tanya Lingga Wisnu.

"Banyak terdapat orang-orang sakti, tetapi dibandingkan dengan kesaktian orang pada jaman dahulu sangat jauh terpautnya. Dahulu orang bisa membuat sebilah keris hanya dengan tangan. Bisa duduk diatas api unggun seolah-olah berada di atas tanah yang dingin. Bisa menghilang, dapat merubah diri. Mampu mentaklukkan kerajaan jin dan iblis. Bisa berhubungan dengan dewa dan bi-dadari. Mampu menggempur gunung dengan tumbukan kaki dan tangannya. Bisa mendorong lantang sampai mundur seribu kaki. Seperti Empu Beradah di kabarkan bisa menyeberangi pulau Bali, hanya menginjakkan kakinya diatas selembar rumput alang alang. Pendek kata ragam kesaktian yang kita miliki sekarang ini hanyalah merupakan sisa-sisa butirannya belaka. Sedangkan yang inti-patinya lenyap ditelan sejarah. Peristiwa ini samalah halnya yang pernah terjadi dinegeri Mesir. Peradaban bangsa Mesir yang bisa membangun bangu-nan agung lenyap tak keruan hingga tak dapat diwarisi oleh angkatan yang mendatang. Bagaimana bisa terjadi demikian, masih merupakan rahasia dunia yang sangat besar dan sampai kini masih saja merupakan teka-teki tak terpecahkan. Orang-orang tua pernah berkata bahwa dunia dahulu pernah mengalami kiamat sehirgga melenyapkan peradaban jaman Purba.

Mendengar tutur kata itu, Lingga Wisnu yang masih berumur delapan tahun tertarik bukan main sehingga mulutnya terlolong-lolong.

"Demikianlah oleh keyakinan itu orang-orang gagah tidak menghiraukan masalah persambungan jiwa. Akan tetapi seorang demi seorang, mereka runtuh ditelan jurang. Dan habislah riwayat hidupnya yang pernah cemerlang. Maka tak mengherankan pula, apa sebab ribuan orang datang mengejar ayahmu ..." Udayana meneruskan.

Sudarawerti terpekur sejenak. Berkata :

" Tetapi soalnya apakah benar ayah menyimpan tongkat mustika itu ? "

"Sudah kukatakan tadi bahwa sampaipun detik ini ayahrnu belum pernah melihat. Apaladi menyimpan atau memiliki," jawab Udayana dengan suara tegas. "Kalau hal itu difitnahkan kepada ayahmu adalah disebabkan eyang gurumu nenghampiri jembatan Jala Angin setelah ketujuh muridnya mengundurkan diri dari rumah perguruan. Fyang gurumu seorang sakti yang melebihi orang-orang gagah lainnya. Semua orang percaya bahwa eyang gurumu pasti berhasil. Buktinya Ki Ageng Branjangan dan Ki Ageng Tapak Angin bisa melintasi jembatan Jala Angin dengan selamat. Celakanya eyang gurumu setiap tahun sekali datang kembali kepadepokan untuk menerima sujud murid-muridnya yang terdekat. Dan hal ini dikabar kan orang bahwa eyang gurumu sudah berhasil pulang dari seberang jembatan dengan membawa tongkat mustika tersebut. Terang sekali, itulah suatu fitnah. Akan tetapi jalan pikiran mereka bisa dimengerti. Cobalah pikir, eyang gurumu datang dipadepokan satu tahun sekali untuk beberapa hari, kemudian balik kembali di jembatan Jala Angin. tahun berikutnya datang lagi. Lalu balik kembali. Dernikianlah sampai lima enam kali. Kalau tidak memiliki tongkat mustika, bagaimana mungkin bisa menyeberangi jembatan maut tersebut."

(20)

"Apakah eyang guru benar-benar berhasil memiliki tongkat mustika tersebut?" Sudarawerti menegas.

Udayana bimbang. Sejenak kemudian menjawab pertanyaan anaknya :

"Itulah sebabnya ingin aku membawa semuanya kesana untuk nembuktikan. Seumpama eyang gurumu berhasil menyeberangi jembatan Jala Angin akupun akan membawa kalian menyeberangi pula."

" Apakah ... apakah kita akan berhasil ? "

Udayana nampak gelisah. Ia mendongak merenungi atap. Beberapa saat ia berdiam diri. Kemudian menundukkan kepalanya dan berkata :

"Memang aku tak mengharapkan bisa berhasil menyeberangi jembatan maut itu. Yang kuharapkan salah seorang keluarga kita harus bisa menyeberang. Dengan begitu keturunan kita tidak akan terputus. Sebab kalau engkau bisa melintasi jembatan Jala Angin, tiada seorangpun berani mencoba menyeberangi embatan tersebut ..."

"Ayah, kalau jembatan itu Memang sangat berbahaya, mengapa ayah tidak mengungsi kapedepokan saja ? " Sudarawerti menegas dengan suara gemetar. " Sudah kukatakan tadi, bahwa eyang gurumu lebih sering berada di jembatan maut itu, dari pada dipadepokan. Syukurlah bilamana eyang gurumu berada dirumah perguruan. Seumpama tidak, mereka bisa membakar padepokan karena gusar dan marah. Dan ini merupakan dosa tak terampunkan untuk ayahmu. Matipun rasanya belum dapat menebus noda tersebut." jawab Udayana.

Kesunyian lantas terjadi lagi. Gemericik hujan terdengar nyata kembali. Sekonyong konyong Larasati berkata :

"Mengapa engkau mash sembunyikan satu hal lagi, suamiku? Katakanlah! Katakanlah terus terang ! Bukankah kita berdua telah menemukan pula tanda-tandanya ? "

Mendengar perkataan isterinya, bukan main sedih hati Udayana. Ia lantas nampak duapuluh tahun lebih tua dari pada usianya sekarang. Mukanya nampak kusut sayu dan guram. Akan tetapi ia mencoba menguatkan diri. Setelah menatap wajah isterinya beberapa saat lamanya, ia berkata perlahan : "Sebenarnya, aku sendiri masih bimbang. Benarkah dia yang menerbitkan huru-hara ini?"

"Kalau bukan dia, siapa lagi?" sahut isterinya.

Udayana menghela napas panjang sekali seraya bergeleng kepala. Ia keberatan untuk meluluskan anjuran isterinya.

"Apakah harus aku sendiri yang menceritakan?" desak Larasati. "Dua anak diantara ketiga anak kita sudah menanjak dewasa. Masih perlukah engkau sembunyikan masalah kehidupan muda-mudi?"

"Tetapi apa perlu mengungkat soal lama? Apakah keuntungannya?" Larasati menatap wajahnya, lalu berkata :

(21)

"Aku tahu engkau seorang pendekar yang mengutamakan budi luhur. Demi kebajikan itu, kau rela hancur lebur tanpa kubur. Akan tetapi, aku tidak! Sebab disini kupertaruhkan kesucian hatiku. Karena aku tak rela engkau mengalami malapetaka sebesar ini. Itulah karena gara-gara masa mudaku. Engkau khawatir menyinggung perasaanku. Karena itu, engkau mencoba menutupi. Tetapi justeru demikian, aku jadi tersinggung. Sebab artinya engkau mencurigai kesetiaan dan kesucianku."

"Larasati, nengapa kau berkata begitu? Demi Tuhan tak pernah aku berkata yang bukan bukan terhadapmu," potong Udayana.

Umardanus, Sudarawerti dan Lingga wisnu berprihatin menyaksikan orang tuanya bertengkar kata. Inilah kejadian yang disaksikan untuk yang pertama kali. Mereka jadi terpaku.

"Baiklah anakku, biarlah aku yang memberi keterangan kepada kalian," kata Larasati dengan tabah.

"Pada masa mudaku, aku seperti engkau, Sudarawerti. Cukup menarik dan cukup menawan perhatian orang. Ayah bundaku mempertunangkan aku dengan seorang pemuda yang belum pernah kukenal. Itulah adat-istiadat jaman kuno. Pemuda itu bernama Dara Petak. Dia anak seorang yang berpengaruh. Selain itu, ilmu kepandaiannya sangat tinggi. Menurut orang, tiada celanya. Akan tetapi setelah bertemu dengan ayahmu, aku berkeputusan untuk membangkang kehendak eyangmu, inilah jadinya. Walaupun ayahmu tadi menyatakan rnasih bimbang namun aku mengira bahwa semuanya ini adalah perbuatannya. Kau ingat-ingatlah namanya Dara Petak. Aku rnengharapkan agar dikemudian hari kalian bisa menyelidiki benar tidaknya."

Sederhana keterangan Larasati, akan tetapi cukup merangkum

keseluruhannya. Dan mendergar cara ibunya menekan-nekan setiap patah katanya membuat hati mereka bertiga bercekat.

Mendadak pada saat itu, terdengarlah suara derap kuda diantara gemericik hujan. Wajah Udayana berubah hebat. Serunya setengah mengeluh:

"Akh! Benar-benar mereka tidak membiarkan kita bisa beristirahat sebentar. Kalau begitu anak-anakku tiada jalan lain kecuali menyeberangi jembatan Jala Angin. Sebab untuk lari mengungsi dipadepokan eyang gurumu, rasanya tak sempat lagi."

Mendengar ucapan Udayana, Larasati mencelat keambang pintu dengan menghunus pedangnya .

"Biarlah aku mengambil kuda kita," katanya

"Ibu! Tak usah ibu bersusah-payah . Biarlah aku!" seru Umardanus. Udayana melesat menghadang. Cegahnya:

"Biarkan ibumu yang pergi. Sekarang yang penting dengarkan kata-kataku ini. Aku tak tahu apakah kata-kataku ini merupakan pesan ayahmu yang penghabisan."

Umardanus mundur selangkah. Ia berdiri tegak didepan kedua adiknya dengan memancarkan pandang berapi.

(22)

"Umardanus, Sudarawerti, Lingga Wisnu! Dengarkan. Siapa saja diantara kamu bertiga, harus bisa melintasi jembatan. Jika harapan ayahmu ini terkabulkan, itulah sudah cukup.yang kelak wajib menyambung asal keturunan keluarga kita. Kau dengar?" kata Udayana dengan suara gemetar.

"Ya, ayah," mereka bertiga menjawab berbareng dengan suara tertahan.

"Tetapi apabila kita semua terpaksa gugur sebelum mencapai jembatan Jala Angin, ya sudahlah. Itulah diluar kekuatan dan kekuasaan kita. Artinya Tuhan yang menghendaki. Walaupun demikian sampai detik kini, masih aku berdoa semoga Tuhan memberkahi ayah-ibumu, semoga salah seorang diantara kamu bertiga bisa selamat sampai keseberang jembatan. Oh Tuhan, Kau dengarkanlah suaraku kali ini! Kemudian, apabila Tuhan mengabulkan sehingga salah seorang diantara kamu bertiga bisa menyeberangi jembatan maut, pergilah engkau kedusun Karang teleng. Letak dusun itu disebelah selatan Kartasura. Carilah seorang buta yang bernama: Ki Waluja. Tanyakan kepadanya apakah dia masih menyimpan barang titipan keluarga Udayana. Dia nanti akan menjawab: Sekarang waktu apa ? Maka engkau harus menjawab katu-kata sandi itu: Hari sudah lewat lohor. Matahari bersinar pare-anom. Apabila dia mendengar jawabanmu, ia akan berkata: Dimanakah jalan yang bisa membawa manusia ke ketenteraman abadi? Jika dia berkata demikian, maka benarlah dia Ki Waluja. Maka engkau harus menjawab: KUNCI. Nah, kau ingatlah kata-kata sandi itu. Umardanus, kau lindungi kedua adikmu itu. Cepat!" Udayana nampak gugup. Sebab ia mendengar beradunya senjata. Alangkah cepat gerakan musuh itu. Pastilah dia bukan sembarangan.

"Umardanus! Kau lepaskan panah berapi biru itu! Disini dekat rumah perguruan ayahmu. Barangkali salah seorang paman gurumu melihat api tanda bahaya," kata Udayana.

Setelah berkata demikian ia melesat keluar pintu.

Setelah Udayana hilang dikegelapan malam, Umardanus menyambar lengan Lingga Wisnu. Katanya dengan suara dalam:

"Adikku selama tujuh tahun belum pernah sekali jua engkau terluka. Karena itu, engkau satu-satunya harapan kita. Aku akan membawaru lari dan melindungimu sampai mencapai jembatan Jala Angin. Aku tahu dimana arah jembatan tersebut, karena ayah mengabarkan kepadaku. Aku, Sudarawerti, ayah dan ibu mempertaruhkan harapan kepadamu seorang. Engkaulah kelak yang harus dapat menyambung asal usul keluarga kita. Karena itu dengan tubuhmu yang masih utuh moga-moga Tuhan mengabulkan permohonan keluargamu. Kami sekeluarga berharap agar dikemudian hari engkau bisa mencuci bersih rasa penasaran keluargamu Terutama rasa sakit hati ayah bundamu yang pernah mendukungmu kesana kemari menempuh bahaya dan melindungi dirimu. Adikku, cepatlah kau melompat diatas kudamu dan kaburlah dengan segera. Kesana!"

Setelah berkata demikian dengan menghumus pedang Umardanus berjalan menghampiri ambang pintu, melindungi kedua adiknya.

(23)

Tiba diluar, Sudarawerti segera mernberi contoh melompat keatas kudanya dengan gesit sekali. Dan setelah Lingga Wisnu berada pula diatas pelana kudanya, Umardanus menjajari dan menghentak kendalinya.

"Mari!" ajaknya.

Limapuluh meter didepannya, ibunya sedang lertempur melawan seorang yang mengenakan jubah pendeta. Pendeta itu bersenjata sepasang golok. Dialah yang mengenalkan diri dengan name Ruji Pinentang. Gerakannya gesit dan membawa angin bergulungan. Larasati dengan sebentar saja dapat dikurungnya rapat-rapat.

Melihat ibunya kena kurung. Umardanus mengurungkan niatnya mengaburkan kudanya. Teringatlah dia kepada pesan ayahnya. Cepat ia menarik anak panah dan dinyalakan. Kemudian dilepaskan keudara.

Seketika itu juga terdengarlah suara bersuling diudara tinggi. Kemudian dengan suara ledakan kecil, apinya yang biru pecah berantakan merayapi keseluruh penjuru. Indah sekali pemendangan itu dimalam gelap gulita, tetapi mereka samua tiada kesempatan untuk menikmati keindahan itu.

Setelah melepaskan anak panah, Umardanus melompat dengan

menyambarkan pedangnya. Tangan kirinya menggenggam pula sebilah belati tajam .

Begitu memasuki gelanggang dengan mengerahkan tenaga ia menangkis golok Rujipenentang berbareng menikamkan belatinya.

Rujipenentang kaget sampai undur dua langkah. Dan pada saat itu, mendadak Lingga Wisnu melompat pula dari kudanya sambil menarik pedang pendeknya yang selalu tergantung dipelananya.

"Hai! Kau hendak kemana7" cegah Sudarawerti.

"Kakak! Jangan halangi aku!" teriaknya seperti kalap. Mereka sangat kejam dan sama sekali tak sudi memberi ampun. Mereka selalu mengejar kita seperti barisan iblis. Kalau aku tidak ikut membasmi mereka, sampai kapan kita bisa hidup tenteram? Aku harus membasmi mereka! Aku harus membasmi mereka!" "Lingga! Jangan menuruti perasaanmu sendiri. Kau ingat pesan kakak atau tidak ? Cepat! Pergilah! Lihat musuh makin banyak! Aku akan mernbantu ayah ibu menahan mereka, sernentara kau perai menjauhi."

Memang benar. Pada saat itu muncullah belasan orang berkuda yang langsung mengepung Udayana dan Larasati dengan segera. Melihat datang musuh, Udayana sama sekali tak gentar. Seperti Umardanus, kedua tangannya menggenggam pedang dan belati yang berkilat karena tajamnya. Deng-an cepat ia mendampingi isterinya yang tak sudi mundur walaupun selangkahpun. Untuk sejenak mereka tak berdaya menghadapi perlawanan yang rapih itu. Udayana suami isteri merupakan sepasang pendekar semenjak menasuki Jenjang perkawinan. Mereka bisa bekerja sama. Sekarang mereka berdua ditambah dengan pengalamannyayangpahit dan berbahaya selama tujuh tahun berturut turut. Tak mengherankan, pernbelaan diri mereka rapih dan rapat. Walaupun kena kerubut belasan orang, namun gerak gerik mereka tidak kacau.

(24)

Sudarawerti menjadi sibuk sendiri. tak dapat ia mibiarkan kedua orang tuanya dikerovok demikian. Perlahan-lahan ia menguraikan pedang lemas yang membelit pinggangnya. Pedangnya itu terbuat dari emas sangat tua. Sifatnya lemas dan ulat. Begitu kena ditarik, pedang itu lencang seperti berpegas. Tepat pada saat itu, kilat mengejap. Dan kena kejapan kilat, pedang emas meletikkan cahaya kemilau.

Umardanus yang sedang melayani musuh, Kaget melihat kejapan cahaya itu. Deegan menjejak tanah, ia mundur jumpalitan sambil berteriak:

"Adik, kau tak usah maju! Bawalah Lingga menjauh cepat-cepat. Kalau tidak, kita bakal menggagalkan pesan ayah."

Sudarawerti tertegun. Ia menjadi bingung dan dengan wajah penuh pertanyaan, ia menatap kakaknya , Belum pernah kakaknya menbentak dengan suara demikian. Hatinya yang lembut terhentak kaget. Dengan suara gugup ia minta penjelasan .

"Sebenarnya kakak mau apa?"

"Kakak mau apa?" bentak Umardanus dengan mata membelalak. Katanya menjelaskan:

"Belum pernah aku berbicara dengan cara begini kepadamu, bukan ? Tapi sekarang lain! Siapa diantara kita kamu berdua tidak mau mendengarkan perkataa ini, tak kuakui sebagai saudaraku lagi: berdua mendengar? Nah, sekarang naiklah ke kudamu. Lingga, kau pergilah menuju jembatan Angin. Kesana terus! Lihat yang tenang!"

Dengan air mata bercucuran, Sudarawerti coba meyakinkan :

"Kakak, kau keliru! Pesan ayah sebenarnya dialamatkan kepadamu dan adik. Sebab kakak dan adik adalah laki-laki. Ayah mengharapkan keturunan untuk menyambung asal usul keluarga. Bukan aku! Aku seorang perempuan. Biarlah aku yang matumembantu ayah-bunda. Ingatlah, kak. Aku seorang perempuan. Tanggung jawab untuk melaksanakan pesan ayah sangat berat bagiku. Terus-terang saja, aku tak sanggup! Aku seorang perempuan! Seumpama aku selamat, apakah yang harus kulakukan? Karena itu maafkan adikmu ini. Biarlah aku yang membantu ayah-bunda. Sebaliknya kakak dan adiklah yang harus memikul tugas berat untuk rnencuci bersih nama keluarga kita dikemudian hari."

"Tutup mulutmu!" bentak Umardanus dengan mata berapi-api. "Kau hendak mathantu ayahbunda, apakah kepandaianmu melebihi aku?"

"Tentu saja kepandaian kakak berada diatasku," sahut Sudarawerti dengan suaraberduka.

"Jika begitu, kau mengertimaksudku," kata Umardanus. "Belasan musuh yang mengejar kita kali ini, nampaknya seranbongan pendekar pilihan. Mereka tahu, jika lambat sedikit, ayahbunda dan kita semua berarti selamat. Karena sudah hampir mamasuki wilayah perguruan eyangguru. Itulah sebabnya, mereka mengerahkan jago-jagonya kelas satu Sekarang kau berlagak hendak melawan mereka. Walaupun tubuhmu bakal hancur, tiada gunanya sama sekali. Kau tak

(25)

bisa menolong ayah-bunda. Maka itu, cepatlah engkau pergi membawa adikmu mendahului kami! Percayalah, kami akan segera menyusul!"

Keras kata-kata Umardanus, sehingga suaranya agak menggeletar, sedang kedua matanya penuh air mata.

Teranglah, bahwa ia berbicara demikian untuk menghibur kedua adiknya. Sudarawerti seorang gadis lembut perasaan dan cerdas. Ia tahu menebak maksudkakaknyaitu. Lantas saja iamenangis sedih. Katanyamencoba:

"Kakak, tak dapatkah engkau berangkat bersama kami?"

"Tidak!" bentak Umardanus. "Kau mau mendengar perkataanku atau tidak?" Sudarawerti mendengar suara bengis kakaknya, tapipun berbareng melihat kedua mata kakaknya yang bercucuran air mata. Ia lantas menjadi lemah hati. Perlahan-lahan ia melibatkan pedang emasnya kembali pada pinggangnya yang ramping.

"Baiklah ... kak. Baiklah." katanya perlahan diantara sedannya.

Umardanus tersenyum lebar. Akan tetapi mengandung suatu rasa sedih tak terhingga. Sahutnya serang.

"Nah, begitulah baru seorang adik. "Akh, adikku yang manis dan baik hati. Kau lindungilah adikku itu. Tak usah kau menunggu ayahbunda dan aku! Kau dengar perkataanku ini? Nah cepatlah kau larikan kudamu. Tuhan Yang Maha Adil melindungi kalian berdua dan akan memberkahi kita semua. Selamat jalan, adikku. kalian berdua bisa mencapai jembatan Jalan Angin yang dituju! "

Setelah berkata demikian, ia menghampi. Lingga Wisnu. Pedang pendek adiknya diambilnya dari tangannya. Ia sendiri lantas mengasurkan, pedangnya. Katanya :

"Adik! Pedang ini walau , jelek pedang pusaka turun-temurun. sebuah pedang luhur ibu. Dengan pedang ini, leluhur ibumu pernah membuat nama cemerlang. Kau tahu namanya? Pedang ini bernama: Pedang Gumbala Geni. Artinya penggebah jin setan dan iblis! sayang ayah bunda kena fitnah sehingga kita terpaksa hidup mengembara tak tentu tujuan selama tujuh tahun lebih. Kita bisa hidup sampai kini adalah karunia Tuhan dan berkat kegagahan ayah bunda. Beberapa hari yang lalu, ayah mewariskan Pedang Gumbala Geni kepadaku lantaran ayah telah merasa usianya makin tua Beliau rnengharapkan kepadaku, agar akulah yang berada didepan sebagai perisai dan penggebah musuh-musuh kita. Tetapi malam ini, pedang Gumbala Geni kuserahkan kepadamu, adik. Baik ayah bunda maupun aku mengharapkan agar engkau kelak dapat mengangkat dan menjunjung tinggi nama keluarga kita untuk selamanya." Lingga Wisnu menerima pedang Gumbala Geni dengan tangan bergemetaran. "Kakak ... kakak ... aku ..." katanya tergagap.

"Kau peganglah erat-erat!" potong Umardanus. "Lekas kau lecut kudamu agar lari secepat-cepatnya. Percayalah pada saat ini engkau dilindungi kekeramatan pedang Gumbala Geni. Kau akan selamat. Kau akan bisa menyeberangi lembatan itu. Kau akan menjadi seorang laki-laki sejati dikemudian hari.

(26)

Percayalah, adikku. Memang aku sendiri masih meraba-raba peristiwa permusuhan besar ini. Tegasnya aku masih gelap, karena itu sebelum berhasil engkau menggenggam ilmu sakti yang tangguh lebih balk kau menyematkan nama samaran saja, adikku. Hal ini penting sekali demi tujuanmu yang besar dikemudian hari ..."

Tepat pada saat itu terdengarlah teriak Udayana mengandung kemarahan. "Akh kalian keterlaluan. Mengapa kalian begini ganas? Baiklah aku Udayana malam ini kau paksa melakukan pembunuhan besar-besaran. Lihat saja!" Boleh dikatakan belum berhenti ia berkata-kata atau disana terdengar suara jeritan menyayatkan hati. Memang Udayana terkenal sebagai seorang ahli pedang kenamaan. Selama menjadi perburuan tujuh tahun lebih belum pernah ia melakukan ilmu sakti simpanannya. Tapi malam itu merupakan malam pertaruhan hidup dan mati.

Apalagi ia merasa dipaksakan oleh keganasan lawan. Maka tanpa segan-segan ia menerjang dengan ilmu pedang simpanannya.

Akibat robohnya seorang musuh, rekan-rekan yang menjadi gusar. Lantas saja nampaklah berbagai senjata berkeredepan apabila kena kejapan kilat menyambar cakrawala. Dengan berteriak-teriak mereka meluruk suami-isteri Udayana bagaikan gugurnya gunung.

Tak usah diceritakan, Udayana sangat sibuk menghadapi lawan yang banyak sekali lumlahnya.

Menyaksikan hal itu, Umardanus mencim,adiknya silih berganti. Lingga wisnu masih tertegun oleh perbawa pedang sakti. Sebaliknyatidak demikianlah halnya Sudarawerti yang sudah berumur. Ia mengerti cium itu. Lantas ia menangis sedih.

" Berangkatlah adikku ! " kata Umardanus .

Sudarawerti mengertak gigi menguatkan hati , rasa penasarannya jatuh kepada kuda Lingga Wisnu. Mengapa semuanya ini harus terjadi ? Dan dengan sekuat tenaga ia menghantarkan kuda Lingga Wisnu .

Kuda yang tak mengerti kesalahannya, kaget berjingkrak begitu kena hantamannya. Lantas saja melesat maju dengan berderap. Untung Lingga Wisnu sudah biasa naik kuda. Meskipun tubuh bergoyang tatkala kudanya melompat maju, tetari beberapa detik kemudian ia sudah bisa menguaai. Tatkala menoleh, kakaknya perempuan sudah herada dibelakangnya dengan menghunus pedang emasnya.

Umardanus mengikuti kepergian kedua adiknya dengan pandang matanya. Setelah mereka lenyap dibalik tikungan bukit, ia berputar tubuh. Berteriak keras:

"Ibu! Silahkan rnengaso sebentar. Biarlah aku yang maju!"

Dalam pada itu Sudarawerti dan Lingga Wisnu terus melarikan kudanya secepat-cepatnya. Jalan yang ditempuhnya mendaki tegak. Belukar dan hutan raya diterjangnya dengan membabi buta. Setelah lari berkejar-kejaran belasan

Referensi

Dokumen terkait