• Tidak ada hasil yang ditemukan

BUKU PANDUAN Keterlibatan Umat Katolik Dalam Pilkada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BUKU PANDUAN Keterlibatan Umat Katolik Dalam Pilkada"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Keterlibatan Umat Katolik Dalam Pilkada a

(2)
(3)

KETERLIBATAN

UMAT KATOLIK

DALAM

PILKADA

BUKU PANDUAN

Komisi Kerasulan Awam KWI

(4)

©2020

Komisi Kerasulan Awam KWI Jl. Cikini II No.10

Jakarta 10330

(5)

PENGANTAR

S

ejak tahun 2015 hampir setiap tahun ada Pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan pada tahun 2020 ini juga ada pilkada. Pada tahun ini pilkada akan berlangsung di 270 daerah yang terdiri dari 9 provinsi, 37 kota dan 224 kabupaten. Berdasarkan pengalaman selama ini, pemilihan kepala daerah bukan sekedar memilih seorang pemimpin atau pejabat tetapi merupakan kesempatan bagi warga bangsa ini untuk menghidupi nilai-nilai demokrasi dan menjunjung tinggi moral serta etika berpolitk.

Umat Katolik sebagai bagian dari masyarakat diharapkan terlibat aktif dengan berbagai macam cara sehingga pesta demokrasi dapat berjalan jujur, adil, lancar, dan damai. Di tengah kehidupan berbangsa yang sedang menghadapi pandemi virus korona yang telah meluluhlantakan berbagai bidang kehidupan dan beragam tantangan lainnya seperti Pancasila yang dirongrong oleh para radikalis dan ekstrimis, Bhinneka Tunggal Ika yang digerogoti oleh kekuatan intoleran, umat Katolik bersama dengan elemen masyarakat yang lain turut meringankan beban bangsa tersebut. Dengan terlibat aktif dalam pilkada masyarakat berkesempatan

(6)

untuk menggunakan hak politiknya tetapi juga turut membidani lahirnya para kepala daerah yang mempunyai wawasan luas dan terobosan untuk membuat masyarakat bangkit dari keterpurukan karena virus korona ini, berani memperjuangkan nilai-nilai keindonesiaan, mengarusutamakan Pancasila dalam berbagai kebijakan, dan menjaga keutuhan bangsa.

Terkait dengan pilkada pada tahun ini, Komisi Kerasulan Awam Konferensi Waligereja Indonesia (Kerawam KWI) mengeluarkan buku panduan dengan judul Keterlibatan Umat Katolik Dalam Pilkada. Buku kecil ini sebagai bacaan dan pegangan para Ketua Kerawam Keuskupan, Paroki, dan umat Katolik pada umumnya dalam menyongsong Pemilihan Kepala Daerah.

PC. Siswantoko, Pr

(7)

DAFTAR ISI

Pengantar 1 Pilkada Dengan Protokol Kesehatan 7 Pilkada 11 Gereja Katolik Dan Politik 19

Terlibat Dalam Pilkada 27

(8)
(9)

PILKADA DENGAN

PROTOKOL KESEHATAN

S

ejak bulan Maret 2020 bangsa Indonesia mulai berjuang melawan penyebaran virus korona dan perjuangan itu masih berlangsung sampai sekarang. Virus korona yang telah memakan banyak korban jiwa itu telah mengubah cara bekerja, beribadah, belajar, dan berbagai aktivitas hidup yang lain. Salah satu cara agar masyarakat tetap dapat beraktivitas dan tidak terpapar virus tersebut pemerintah telah mengajak untuk memasuki kenormalan baru (new normal). Segala dinamika hidup harus selalu berpedoman pada protokol kesehatan. Demikian juga Pilkada yang berlangsung pada tahun ini juga turut terkena dampak virus korona ini. Dengan adanya pandemi Covid-19 Pilkada serentak yang sedianya dilangsungkan pada tanggal 23 September 2020 ditunda.

Penundaan itu dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Dalam Perppu No.2 Tahun 2020 itu dikatakan bahwa pemungutan suara serentak akan dilaksanakan pada bulan Desember 2020.

(10)

Pasal 201A

(1)

Pemungutan suara serentak sebagaimana dimaksud pasal 201 ayat (6) ditunda karena terjadi bencana nonalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1)

(2)

Pemungutan suara serentak yang ditunda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan pada bulan Desember 2020

(3)

Dalam hal pemungutan serentak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilaksanakan pemungutan suara serentak ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana nonalam sebagaiamana dimaksud pada ayat (1) berakhir, melalui mekanisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 122A

Pemungutan suara pada bulan Desember juga masih ada kemungkinan untuk ditunda, sangat tergantung pada situasi. Kita semua berharap bahwa pandemi virus korona ini segera berakhir sehingga Pilkada dapat diselenggarakan pada waktu yang telah ditetapkan.

Terkait dengan penundaan pilkada, Komisi Pemilihan Umum telah menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2019 Tentang Tahapan,

(11)

Program dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2020. Dalam PKPU ditegaskan beberapa hal mendasar terkait dengan Pilkada 2020:

Pasal 8B

Pelaksanaan pemungutan suara serentak yang ditunda karena terjadi bencana nonalam Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), dilaksanakan pada tanggal 9 Desember 2020

Pasal 8C

(1)

Seluruh tahapan, program, dan jadwal Pemilihan serentak lanjutan harus dilaksanakan sesuai dengan protokol kesehatan penangangan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19)

(2)

Protokol kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh KPU setelah berkoordinasi dengan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan

(12)

(3)

Ketentuan mengenai tata cara teknis pelaksanaan seluruh tahapan, program, dan jadwal Pemilihan serentak lanjutan yang menerapkan protokol kesehatan penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan KPU.

Dengan PKPU itu jelas bahwa pelaksanaan pilkada serentak pada tahun ini mengikuti protokol kesehatan dalam setiap tahapannya. Dalam kondisi normal saja perhelatan pilkada sudah sangat repot apalagi ditambahi dengan tata cara protokol kesehatan. Hal ini membutuhkan dukungan dan kerja keras semua pihak sehingga pilkada tetap dapat berjalan meskipun dalam situasi yang sulit. Masyarakat sebagai pemilih, penyelenggara dan pengawas, para calon kepala daerah harus benar-benar siap dari sisi mental, teknis, dan aturan agar pesta demokrasi tetap dapat berlangsung dengan kualitas yang baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa pandemi virus korona ini tidak hanya menimbulkan kesulitan tehnis tetapi juga berbagai kerawanan yang bisa mengancam nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu umat Katolik dan masyarakat pada umumnya sudah sepantasnya mendukung agar pilkada sukses dalam segala dimensinya.

(13)

PILKADA

P

emilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota merupakan peristiwa politik penting yang tidak boleh dilewatkan oleh masyarakat, termasuk umat Katolik. Mengapa begitu? Karena pilkada itu akan menentukan nasib hidup kita selama lima tahun yang akan datang. Ada tidaknya perbaikan jalan di kampung, renovasi bangunan sekolah yang rusak, peningkatan pendapatan petani dan pedagang, kenaikan gaji dan upah, tergantung dari kepala daerah. Jika kita ingin daerah kita maju dan berkembang maka tidak ada jalan lain kecuali kita berjuang untuk memilih dan memenangkan calon kepala daerah yang mampu membawa perbaikan dan kemajuan di provinsi, kota, dan kabupaten kita.

Kadang kita mengeluh kepala daerah kita kurang merakyat, tidak pernah turun ke lapangan, tidak mempunyai kebijakan yang kreatif, membiarkan tindakan intoleran, dan masih banyak yang lain. Mengeluh seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah, apalagi mengubah keadaan. Dalam demokrasi, masyarakat sebagai penentunya, maka pilkada ini jangan dilewatkan begitu saja. Masyarakat harus mau terlibat. Orang baik, jujur, pintar, merakyat, sederhana, dan berwawasan luas tidak

(14)

Kakek sudah berapa tahun jadi tukang tambal ban sepeda? Pingin meningkat punya bengkel

sepeda motor ndak? Haiyah.!!

Lima tahun yang lalu bapak datang ke sini pakai

kata-kata persis seperti itu. Lupa ya?

“ujug-ujug” bisa jadi kepala daerah. Orang-orang seperti itu harus dipilih dan dimenangkan. Oleh karenanya kita tidak bisa lagi berpangku tangan, berdiam diri, menjadi penonton, tetapi harus aktif, paling tidak menjadi pemilih yang bijak dan cerdas. Tentu saja, kecerdasan masyarakat

Kucing saya saja masih ingat

(15)

itu, perlu didukung oleh kinerja para penyelenggara dan pengawas pilkada yang profesional, berintegritas, adil, dan netral.

A. Politik itu baik atau kotor?

Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini masih banyak warga masyarakat, termasuk umat Katolik yang malas untuk diskusi, apalagi terlibat dalam politik termasuk dalam Pilkada ini. Politik itu melelahkan, penuh dengan permainan, intrik, dan persengkolan yang ujung-ujungnya duit, rebutan jabatan dan kekuasaan, banyak janji yang diingkari serta masih banyak lagi gambaran buruk tentang politik yang ada dibenak masyarakat. Pandangan seperti itu memang tidak bisa disalahkan karena masyarakat selama ini sering melihat dan mengalami politik yang buruk seperti itu. Apakah benar politik itu isinya hanya hal-hal buruk begitu? Tentu tidak.

Gereja Katolik memandang bahwa politik itu pada dasarnya baik karena sebagai sarana untuk memperjuangkan dan mewujudkan keadilan, kebenaran, kejujuran, kesederajatan, solidaritas, dan toleransi dalam hidup berbangsa dan bernegara. Bahkan politik merupakan wujud tertinggi dari cinta kasih karena dengan politik masyarkat dapat terbebas dari belenggu kemiskinan, hak-hak dan kewajiban asasi masyarakat terjamin, angka pengangguran dan kriminalitas menurun, orang dapat beribadah dengan tenang dan damai dan masih banyak hal-hal baik lainnya.

(16)

B.Aktor politik idaman

Politik sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan umum menjadi kotor bukan karena politiknya tetapi karena orang-orang yang ada dalam politik itulah yang sering mengotori politik dengan pernyataan-pernyataan, tindakan-tindakan, dan kebijakan-kebijakan yang kurang berfaedah bagi kehidupan bersama. Para aktor politik itu banyak yang melupakan atau dengan sengaja melanggar, dan meninggalkan nilai-nilai yang harusnya mereka pegang dan perjuangkan. Nilai-nilai itu seperti keadilan, pelayanan, pengorbanan, kedisplinan, komitmen, konsistensi, dan tanggung jawab sebagai pejabat publik.

Dengan tidak adanya nilai-nilai itu, akhirnya politik menjadi tempat untuk mengumbar keserakahan, mengeruk keuntungan pribadi dan kelompok serta menjadi arena perselingkuhan berbagai kepentingan yang mengakibatkan kehidupan masyarakat kian menderita. Inilah sumber utama keburukan politik.

Namun kita juga harus mengakui bahwa tidak semua aktor politik itu buruk. Saat ini masih banyak kepala daerah yang arah kepemimpinannya jelas, jiwa pelayanannya kelihatan, kebijakan-kebijakannya sangat pro rakyat, sistem kerjanya transparan dan dapat dipercaya, dan berani pasang badan untuk membela kepentingan rakyat. Para kepala daerah yang sudah baik seperti itu harus terus dijaga dan didukung agar pembangunan dapat terus berjalan dan kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Dengan pilkada ini kita ingin memperbanyak jumlah kepala daerah yang

(17)

benar-Yang Penting justru bagaimana Bapak sebagai orang Katolik

membuktikan tujuan itu... Kalok soal menjelaskan ke umat

sih gampang Yang Penting

Romo menjelaskan ke umat bahwa politik itu

memiliki tujuan yang mulia...

(18)

benar dapat menjadi idaman masyarakat. Mereka tidak hanya akan menjadi tumpuan harapan masyarakat dan dapat memperbaiki kehidupan politik sehingga lebih bermanfaat dan bermartabat.

C. Umat Katolik diam? Sudah bukan jamannya

Pilkada menjadi kesempatan bagi masyarakat dan orang-orang Katolik untuk ikut melahirkan para kepala daerah yang baik. Partisipasi politik orang Katolik baik sebagai pemilih, penyelenggara, pengawas, serta kandidat kepala daerah didasarkan pada kesadaran bahwa iman kepercayaan yang dimiliki tidak hanya untuk memperjuangkan keselamatan diri sendiri tetapi juga harus digunakan sebesar-besarnya untuk keselamatan dan kebaikan bersama. Doa yang selalu didaraskan dan ibadah yang selalu dilakukan hendaknya mendorong orang Katolik untuk berani keluar dari zona nyaman dan ikut membangun kehidupan politik yang baik lewat pesta demokrasi ini.

Nota Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia tahun 2018 yang berjudul Panggilan Gereja Dalam Hidup Berbangsa: Menjadi Gereja Yang Relevan dan Signifikan artikel no.23 dengan sangat jelas menyatakan bahwa “ Partisipasi warga Gereja dalam berpolitik menjadi “suara hati” bagi dunia. Dalam konteks pluralitas masyarakat Indonesia, warga Gereja justru dapat memperjuangkan nilai-nilai keadilan, perdamaian dan kerukunan serta menjauhkan politik yang kental

(19)

dengan politik identitas, diskriminatif, sektarian, dan eksklusif. Gereja dipanggil untuk menjadi tanda perekat dan pemersatu, dengan memperjuangkan perwujudan nilai-nilai Pancasila sebagai spirit dasar dan pedoman etis-moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara”.

Jika masyarakat diam dan tidak terlibat dalam pilkada maka hal-hal yang sudah baik itu tidak akan berlanjut atau hal-hal buruk yang selama ini sudah ada akan terus terjadi. Akhirnya masyarakat sendiri yang nantinya akan menyesal dan menderita. Jika masyarakat diam, cuek, dan tidak memilih, bisa jadi orang yang tidak baik, tidak memilki kapasitas, terpapar radikalisme dan ekstrimisme, menentang nila-nilai Pancasila, serta menolak Bhinneka Tunggal Ika yang akan menjadi kepala daerah. Apakah kita ingin dipimpin oleh orang-orang seperti itu? Pasti tidak. Maka mari kita ikut aktif dalam pilkada ini sehingga orang-orang seperti itu tidak sampai menjadi kepala daerah.

(20)

Sebagai bukti bahwa kita menjunjung tinggi demokrasi, di

sini kita boleh berbeda pilihan politik... yang penting di TPS nanti mencoblos berdasarkan hati

(21)

GEREJA KATOLIK DAN POLITIK

G

ereja Katolik sebagai paguyuban umat beriman merupakan bagian dari masyarakat dan dinamika politik yang ada baik di tingkat nasional maupun daerah. Oleh karenanya, Gereja Katolik diharapkan selalu terbuka terhadap kehidupan politik. Hierarki dan awam saling bahu membahu untuk turut menciptakan dan mengembangkan kehidupan bersama yang damai, tentram, maju, aman, dan sejahtera. A. Menjadi warga negara dan Gereja yang baik

Keterlibatan umat Katolik dalam kehidupan politik bukan hanya atas kemauan dari masing-masing pribadi, tetapi memang dikehendaki oleh Yesus junjungan kita. Yesus menghendaki agar orang-orang yang percaya dan beriman kepada-Nya untuk berlaku bijak artinya kewajiban sebagai warga negara dan warga agama dijalankan dengan sebaik-baiknya. Yesus bersabda” Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah” (Mat.22:21). Yesus tidak

(22)

menyuruh agar orang hanya taat dan tunduk kepada aturan dan kewajiban agama atau hanya kepada aturan dan kewajiban negara saja tetapi keduanya diharapkan berjalan beriringan. Menjadi warga negara yang baik sekaligus warga Gereja yang baik merupakan salah satu perwujudan dari iman.

Yesus juga mengutus para murid-Nya agar hidup mereka berguna dan bermanfaat untuk orang lain dengan menjadi garam terang dunia. “ Kamu adalah garam dunia, jika garam itu menjadi tawar dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatan-mu yang baik dan memuliakan Bapa-mu yang di sorga” (Mat.5:13-16). Hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara merupakan kesempatan bagi orang Katolik untuk melaksanakan perintah Tuhan tersebut. Tuhan telah memberikan akal budi, pengetahuan, kebebasan, hati nurani dalam diri kita dan hal-hal itulah yang akan kita pakai untuk menjadi garam dan terang di dunia politik.

(23)

B. Kembali ke politik nilai, kuno?

Partisipasi umat Katolik dalam pilkada merupakan wujud cinta terhadap bangsa sekaligus suatu perjuangan untuk ikut membangun kehidupan politik yang baik. Orang Katolik yang terlibat dalam politik pertama-tama tidak membawa kepentingan diri dan kelompok tetapi menghidupi dan menyebarkan nilai-nilai kekatolikan yang sangat universal.

Orang Katolik hadir untuk ikut mengembalikan politik pada posisi yang sebenarnya yaitu sarana untuk

Kenapa ke TPS pake bawa garam

segala...?

Ini bukti bahwa umat Ka

-tolik juga peduli pada urusan

(24)

mewujudkan kesejahteraan umum berdasarkan pada niai-nilai. Konsili Vatikan II dalam dokumen Gaudium et Spes (GS) dengan sangat jelas menegaskan bahwa

“Untuk membangun kehidupan politik yang sungguh manusiawi, tidak ada yang lebih baik daripada menumbuhkan semangat batin keadilan dan kebaikan hati serta pengabdian demi kesejahteraan umum, lagi pula memantapkan keyakinan-keyakinan

Saya Keamanan lokalisasi, Pak Saya ketua paguyuban parkir, Pak Bupati Saya Ketua Panitia Pembangunan rumah ibadah

Kalok boleh tau, Bapak-Bapak ini dari mana,

atau mewakili lembaga apa...?

(25)

dasar tentang hakekat sejati negara, dan tentang tujuan, tepatnya pelaksanaan dan batas-batas wewenang pemerintah” (GS.73).

Dokumen itu sangat jelas menunjukkan bahwa nilai keadilan, pelayanan, pengabdian, pengorbanan, dan kepedulian harus menjadi landasan dalam berpolitik. Oleh karenanya, politik tidak hanya digerakan oleh kepentingan, apalagi kepentingan yang sifatnya pribadi dan golongan, tetapi oleh nilai-nilai untuk mewujudkan kesejahteraan semua orang. Politik berbasis nilai ini kayaknya untuk jaman sekarang terasa aneh, jadul banget, dan mungkin banyak orang sudah tidak menganggap penting diperbincangkan apalagi diperjuangkan tetapi itulah tantangan orang Katolik yang harus dijawab dan dibuktikan saat ini.

C. Politik yang bermoral, apa masih ada? Para calon kepala daerah, jika dalam pilkada itu terpilih, maka sebagai pejabat publik dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya tidak bisa sembarangan dalam memimpin dan membuat kebijakan. Mereka harus tetap mengetahui dan mematuhi norma-norma moral. Mereka tidak bisa membuat aturan dan kebijakan berdasarkan pertimbangan senang dan tidak senang, atau hanya untuk memuaskan kepentingan kelompok tertentu.

“Pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu harus berlangsung

(26)

dalam batas-batas moral untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan secara dinamis, menurut tata perundang-undangan yang telah dan harus ditetapkan secara sah” ( GS.74).

Norma moral ini mempunyai peran agar kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki oleh para kepala daerah tidak diselewengkan dan disalahgunakan. Kultur

Romo saya orang Katolik yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah.

kalo saya menang gereja akan saya

bikin megah Bukan itu yang diinginkan

(27)

politik yang baik sejatinya bertumpu pada orang-orang yang mampu taat pada norma moral sehingga kepemimpinannya mampu mengorkestra berbagai perbedaan, memberdayakan berbagai potensi, dan memperkuat kebersamaan dalam keanekaragaman. Kualitas dan mutu kepemimpinan seorang kepala daerah juga bisa dilihat dari kemampuan mereka memenuhi tuntutan-tuntutan moral dalam menjalankan tugas pemerintahannya. Dokumen Apostolicam Actuositatem (AA) dengan amat lugas menyatakan:

“Hendaknya mereka berusaha, berpengaruh dengan bobot pandangan mereka, sehingga pemerintahan dijalankan dengan adil, dan hukum-hukum selaras dengan tuntutan-tuntutan moral serta menunjang kesejahteraan umum” ( AA.14).

D. Politik keteladanan, masih langka lho Kepemimpinan seorang kepala daerah tidak hanya didukung oleh pengalaman, kecerdasan, kepiawaian dalam membuat kebijakan, pengetahuan terhadap berbagai macam peraturan dan perundang-undangan, tetapi juga dengan keteladanan. Keteladan dalam hidup berkeluarga, beragama, dan bermasyarakat juga menjadi sangat penting. Mereka tidak harus berpidato panjang lebar soal kedisiplinan dalam bekerja, solidaritas, toleransi, kerukunan, dan keadilan karena semuanya itu telah mereka lakukan dalam kehidupan sehari-sehari baik di rumah maupun di tempat kerja.

(28)

Oleh karena itu, orang-orang Katolik yang diutus dan dipercaya oleh Allah untuk menjadi kepala daerah hendaknya selalu ingat bahwa apa yang mereka katakan itulah yang harusnya mereka lakukan. Mereka tidak hanya bisa memerintah anak buah dan rakyat tetapi mereka sendiri yang pertama-tama harus memberikan teladan. Menjadi politisi itu mudah tetapi menjadi negarawan dengan keteladanan hidup yang baik, itu yang masih langka dan orang-orang Katolik dipanggil untuk seperti itu. Soal keteladanan ini juga ditekankan oleh Ajaran Gereja yang menyatakan bahwa:

“Hendaklah segenap umat Kristen menyadari panggilan mereka yang khas dalam bernegara. Disitulah harus dipancarkan teladan mereka, yang terikat oleh kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum yang memang perlu ditingkatkan” (GS.75)

(29)

TERLIBAT DALAM PILKADA

K

eterlibatan umat Katolik dalam pesta demokrasi bukan hal yang baru lagi. Umat Katolik dari tingkat keuskupan, paroki, wilayah, dan lingkungan sudah sering terlibat dalam pemilu dan pilkada yang berlangsung beberapa tahun terakhir ini. Oleh karena itu, umat Katolik bersama dengan warga masyarakat yang lain sebagai subyek demokrasi harus lebih aktif lagi terlibat sebelum proses pemilihaan, saat pelaksanaan dan pasca pemungutan suara.

A. Jangan lupa, tetap waspada

Partisipasi umat Katolik dalam pilkada disamping harus cerdas dan bijak, juga harus hati-hati, tidak terpengaruh dengan berbagai ajakan untuk masuk dalam permainan politik kotor atau terlibat dalam cara-cara yang tidak bermoral dari orang-orang atau pihak-pihak tertentu yang ingin meraih jabatan dan kekuasaan dengan merusak demokrasi. Beberapa hal yang perlu diwaspadai dan ditolak selama pilkada berlangsung :

(30)

Saya tidak mau merugikan rakyat,

jajan ya harus bayar... kembaliannya buat

anakmu... Aduh.

Pak Bupati... ndak usah bayar, Pak...

saya ikhlas, ndak usah bayar... gratis,

(31)

Politisasi SARA

§ Mempolitisasi suku, agama, dan ras (SARA). Penggunaan SARA untuk mendulang suara dan meraih kemenangan mempunyai dampak buruk bagi demokrasi dan kehidupan masyarakat. Politisasi SARA akan membuat perpecahan dalam masyarakat dan perpecahan itu bisa berlangsung lama. Proses pilkada sudah selesai, pemenang sudah ditetapkan, bahkan kepala daerah terpilih sudah dilantik tetapi perseteruan antar warga masyarakat masih terus berlangsung. Masyarakat masih terkotak-kotak, saling membenci, saling ejek dan menebar, lebih-lebih di media sosial.

Terhadap situasi yang seperti itu, umat Katolik diajak untuk berprinsip bahwa pilihan politik boleh berbeda-beda tetapi persaudaraan, kerukunan, dan kebersamaan sebagai masyarakat tidak boleh retak apalagi terpecah belah. Jika umat Katolik menerima Short Message Service (SMS) dan WhatsApp (WA) yang isinya mengajak untuk memusuhi orang lain atau membuat kekacauan lebih baik pesan itu segera dihapus dan tidak disebarkan ke mana-mana. Kita harus tetap menjadi pewarta kasih, pembawa perdamaian, ketentraman, dan kerukunan dalam masyarakat yang tensi politiknya cenderung naik selama selama pilkada berlangsung.

(32)

Politik uang

§ Menggunakan uang untuk membeli suara. Politik uang saat ini masih sangat marak dan menjadi penyakit demokrasi yang sangat sulit untuk diberantas. Ketika masyarakat dan umat Katolik pada khususnya memilih calon kepala daerah karena calon itu telah memberikan uang, tanpa memperhatikan rekam jejaknya, wawasan kebangsaannya, penguasaan masalah daerahnya, kapasitasnya dalam memimpin, jiwa nasionalismenya, dan karakter pribadinya, bisa jadi jika calon itu menang hanya akan mampu memberi kekecewaan dan kesengsaraan hidup. Perubahan-perubahan yang diharapkan seperti pembangunan yang merata, menurunnya angka pengangguran dan kriminalitas, meningkatnya kesejahteraan rakyat hanya akan menjadi mimpi, tanpa pernah menjadi kenyataan.

Umat Katolik tidak boleh terjebak dalam money politic dan berani menjadi pemutus rantai politik uang itu. Melanggengkan politik uang sama saja dengan mengabadikan korupsi di wilayah kita masing-masing. Korupsi telah menjadi musuh bersama bangsa ini, masak orang Katolik masih ingin menceburkan diri di dalamnya? Jelas tidak. Kita tidak ingin menjadi musuh bangsa ini tetapi ingin menjadi pembela negeri ini dengan tidak terseret ke pusaran korupsi dan ikut aktif memberantas

(33)

dan menumpas tindakan korupsi di daerah kita masing-masing.

Golongan putih

§ Golongan putih (golput). Setiap kali pemilu

atau pilkada pasti ada sekelompok orang yang tidak menggunakan hak suaranya dan ada juga yang mengajak atau mempengaruhi orang lain Kalok kamu

nyoblos Calon ini, kelak kamu masuk

surga... Kalok nyoblos ini,

kamu masuk neraka

Nyoblos calonku saja, nggak pake surga atau neraka, tapi

dapat uang seratus rebu...

(34)

untuk tidak memilih. Tidak ikut memilih dalam pilkada sama artinya dengan menyerahkan nasib dan masa depan daerahnya kepada siapapun juga, termasuk kepada orang-orang yang tidak berkualitas, tidak bisa memimpin, menganut ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, tidak mempunyai pendirian dan hanya mengikuti pihak-pihak yang menguntungkan dirinya dan dapat mengamankan jabatannya.

Kadang kita memang tidak menemukan calon kepala daerah seperti yang kita harapkan. Kita harus realistis bahwa tidak ada orang yang sempurna termasuk mereka yang maju untuk menjadi calon kepala daerah. Setiap orang pasti mempunyai cacat dan kekurangan. Menunggu orang yang sempurna mencalonkan diri jadi kepala daerah kayaknya juga mustahil. Maka dihadapkan pada para calon kepala daerah yang seperti itu, kita perlu bijak juga dengan memilih orang yang kelemahan atau kekurangannya lebih sedikit dibandingkan dengan calon yang lain. Oleh karenanya, mencari informasi tentang calon kepala daerah itu menjadi sangat penting. Jika kita hanya diam dan menjadi penonton saja, maka harapan untuk melihat kepala daerah yang jujur, adil, merakyat, dan berani berpihak pada kebenaran tidak akan pernah menjadi kenyataan.

(35)

Takut terpapar korona

§ Pelaksanaan pilkada dalam masa pandemi virus korona ini sedikit banyak akan mempengaruhi antusiasme dan semangat masyarakat untuk berpartisipasi. Disampiang adanya rasa takut terpapar dengan virus korona itu, menggunakan protokol kesehatan saat di TPS bagi sebagian orang akan terasa sangat tidak nyaman dan merepotkan. Dihadapkan pada kondisi seperti ini, umat Katolik perlu menyadari bahwa dengan adanya virus korona ini, semua orang mengalami kerepotan dalam hidup. Semua orang sebenarnya menjadi korban dari korona ini, dengan bentuk yang berbeda-beda. Oleh karena itu, dengan kesadaran ini tidak ada alasan bagi umat Katolik untuk tidak mau mencoblos. Jika orang lain dengan kondisi yang sama tetap bersemangat untuk memberikan hak suaranya, maka orang-orang Katolik juga dapat melakukan hal yang sama bahkan bisa lebih dari mereka. Dengan mentaati protokol kesehatan yang ada maka ketakutan dan kekhawatiran akan terpapar saat ke TPS tidak akan terjadi. Di tiap TPS juga pasti akan disediakan berbagai sarana dan tata cara sebagaimana diamanatkan oleh protokol kesehatan, sehingga masyarakat tetap aman saat memberikan hak suaranya.

(36)

B. Mari terlibat

1. Sebagai pemilih

a. Mengetahui jadwal dan aturan selama proses pilkada.

b. Mengetahui hal-hal teknis seputar pemungutan suara

c. Mencari informasi atau rekam jejak dari para calon kepala daerah.

d. Mengetahui partai-partai politik pengusung dan pendukung dari masing-masing pasangan calon. e. Mengetahui dan melengkapi syarat-syarat untuk

menjadi pemilih

f. Mengecek nama di Daftar Pemilih Sementara dan Daftar Pemilih Tetap

g. Menolak politik uang dengan tidak menerima uang atau barang apapun yang diberikan dengan maksud agar mereka memilih kandidat tertentu h. Meluangkan waktu ke TPS untuk memberikan

suara, mencoblos kartu suara secara benar, dan ikut mengawasi penghitungan suara

i. Memilih kandidat yang beriman, menerima Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika dan berani menolak segala bentuk intoleransi, radikalisme, dan ekstrimisme

j. Memilih kandidat yang kehidupan rumah tangganya baik, tidak memilki cacat hukum dan moral.

(37)

k. Memilih kandidat yang dapat memperjuangkan kepentingan umum dan aspirasi Gereja Katolik l. Memilih berdasarkan suara hati dan bukan karena

adanya tekanan dan pesanan tertentu

m. Peka dan peduli dengan sesama pemilih, khususnya mereka yang lanjut usia, mengalami disabilitas atau keterbatasan yang lain.

n. Mentaati protokol kesehatan seperti: 1. Menggunakan masker saat ke TPS 2. Mengukur suhu badan

3. Membawa handsanitizer

4. Jaga jarak saat mengantri atau berkumpul 5. Rajin mencuci tangan sabun dan air mengalir

2. Sebagai calon kepala daerah

2.1. Syarat umum

Mungkin kita akan bertanya-tanya, calon kepala daerah seperti apa yang harus kita pilih? Secara umum syarat-syarat calon kepala daerah itu ada dalam pasal 7 UU No.10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur. Bupati, dan Walikota, maka syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat maju sebagai calon Kepala Daerah dalam Pilkada ini adalah:

(38)

a. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. Setia kepada Pancasila, Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita – cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia

c. Berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat

Kalok dilihat begini kayaknya ya semua calon kepala

daerah sudah memenuhi syarat semua Secara administratif saja... Punya program hebat semua

(39)

d. Berusia paling rendah 30 (tiga puluh tahun) untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota

e. Mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim;

f. Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

g. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

h. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;

i. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi;

j. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

k. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

(40)

l. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;

m. Belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;

n. Belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk Calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama;

o. Berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;

p. Tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;

q. Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;

r. Menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; dan

(41)

s. Berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.

2.2. Syarat khusus

a. Mempunyai visi, misi, dan program yang jelas

b. Berkampanye bersih tanpa mempolitisasi suku, agama, dan ras (SARA), menyebar berita bohong dan kebencian.

c. Mempunyai komitmen untuk memperjuangkan kepentingan umum dan Gereja Katolik.

d. Mempunyai wawasan yang memadai terkait dengan persoalan yang ada di daerah pemilihannya.

e. Mempunyai kemampuan dan terobosan yang cerdas, kreatif dan adil untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di daerahnya

f. Bersih dari cacat hukum dan moral

g. Aktif dalam kegiatan lingkungan, paroki, dan keuskupan

h. Kehidupan keluarganya baik dan harmonis

3. Sebagai Penyelenggara dan Pengawas Pilkada

a. Memahami dan melaksanakan secara konsisten undang-undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikot serta aturan lainnya yang berlaku

(42)

c. Melayani masyarakat, kandidat dan partai politik secara baik

d. Memberikan informasi yang cukup dan akurat kepada masyarakat terkait dengan pilkada

e. Menegakkan kode etik penyelenggara pemilu secara konsisten

f. Menyediakan diri untuk menjadi pengawas partisipatif g. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang sesuai

dengan protokol kesehatan Pak Hansip. orang ini sudah nyoblos di TPS sana, lha kok sekarang

mau nyoblos lagi di TPS sini... enaknya

diapakan?

Serahkan ke petugas

(43)

4. Pengawas Partisipatif

Pengawasan partisipatif artinya masyarakat dan umat Katolik dapat turut mengawasi pilkada dalam masa kampanye, saat tenang, pada hari pemungutan suara, dan pasca pencoblosan tanpa harus menjadi anggota Panwas. Aktivitas yang dapat dilakukan sebagai pengawas partisipatif adalah memantau jalannya pilkada, melaporkan jika ada pelanggaran yang ditemukan dengan saksi dan bukti yang kuat sehingga dapat ditindaklanjuti.

Pengawasan partisipatif ini merupakan gerakan moral masyarakat yang didasari pada kesadaran untuk membangun budaya berpolitik yang baik dan terwujudnya pilkada yang berkualitas. Disamping itu, partisipasi masyarakat dalam pengawasan ini juga untuk membantu para penitia pengawas yang dilantik secara formal, yang jumlahnya sangat terbatas.

C. Peran hierarki, sangat penting!

Para gembala umat diharapkan hadir dan memberikan dukungan kepada para awam sehingga mereka dengan dasar-dasar iman Katolik terlibat dalam politik. Dalam konteks pilkada ini, hierarki diharapkan hadir untuk membimbing, agar umat tidak mudah terpecah-pecah oleh pilihan politik yang berbeda, tahan terhadap berbagai kampanye yang berbau SARA, dan mendorong kaum awam untuk aktif dalam berbagai macam cara. Bahkan jika ada umat Katolik yang mempunyai kemampuan untuk ikut dalam kontestasi politik didukung. Semakin

(44)

Saya dukung saudara berdua, tapi siapa yang saya

pilih hanya Tuhan yang tahu... Kebetulan ada

dua calon yang dari Gereja Katolik: saya dan beliau ini...

Monsenyur nyoblos siapa besok...?

(45)

banyak orang Katolik yang berkomitmen menjadi pejabat negara yang berkualitas, peran Gereja Katolik untuk Indonesia kian nyata.

Kesatuan yang harmonis antara kaum awam dan para hierarki akan membuat kontribusi Gereja Katolik semakin relevan dan signifikan. Para anggota hierarki memang tidak bisa langsung terlibat dalam politik praktis tetapi mereka bisa terlibat dengan memberikan prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan umat untuk terlibat dalam pilkada.

Terkait dengan dukungan dari para hierarki ini, Konsili Vatikan II dalam dokumen Apostolicam Actuositatem (AA) dengan tegas menyatakan bahwa

“Hierarki wajib mendukung kerasulan awam, menggariskan prinsip-prinsipnya, dan menyediakan bantuan rohani, mengatur pelaksanaan kerasulan demi kesejahteraan Gereja dan menjaga supaya ajaran serta tata tertib Gereja tetap di patuhi” ( AA. 24)

Hierarki dan kaum awam hendaknya saling bekerjasama. Kebersamaan dan dukungan ini sangat dibutuhkan oleh kaum awam, lebih-lebih untuk merasul diranah politik yang tidak mudah dan harus menghadapi berbagai macam tantangan.

“Hendaklah para Uskup, pastor-pastor paroki dan para imam lainnya, baik diosesan maupun religius, bahwa hak serta tugas merasul sama-sama ada pada semua orang beriman baik klerus maupun awam, dan bahwa dalam pembangunan

(46)

Gereja para awam pun menjalankan peran mereka sendiri. Maka dari itu hendaknya mereka dalam Gereja dan demi Gereja bekerja sama secara persaudaraan dengan kaum awam, dan secara istimewa menaruh perhatian terhadap para awam dalam karya-karya kerasulan mereka” ( AA .25)

Peran dan keteladanan hierarki sangat penting untuk mendukung kaum awam agar lebih berani dalam mengambil peran-peran penting dalam rangka mewartakan Kabar Gembira dan menghidupkan nilai-nilai Pancasila, khususnya di daerah-daerah.

(47)

PENuTuP

G

ereja Katolik sebagai paguyuban umat beriman berada di tengah masyarakat dan tidak bisa lepas dari dinamika politik yang ada, baik di tingkat nasional maupun lokal. Umat beriman dan hierarki dalam batas dan kewenangan masing-masing diharapkan untuk terlibat aktif dalam bidang politik, karena politik juga merupakan tempat untuk mewartakan Kabar Gembira. Salah satu dinamika politik yang ada di daerah yaitu pemilihan kepala daerah (Pilkada)

Gereja Katolik memandang bahwa politik pada dasarnya baik karena menjadi sarana untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan oleh karenanya bidang politik ini harus pegang oleh orang-orang yang setia dan berani memperjuangkan keadilan, kesetaraan, toleransi, dan kebaikan untuk semua masyarakat tanpa membeda-bedakan. Keterlibatan umat Katolik dalam pilkada menjadi sangat penting untuk turut melahirkan kepala daerah yang menjadi harapan masyarakat karena memimpin berdasarkan nilai-nilai itu dan di saat yang sama juga turut memperbaiki kehidupan politik yang sedang carut marut oleh berbagai macam kepentingan.

(48)

Pilkada pada tahun ini diselenggarakan ditengah pandemi virus korona dan umat Katolik tetap dapat berpartisipasi dengan penuh semangat dalam setiap tahapan pilkada dengan mentaati protokol kesehatan. Mentaati protokol kesehatan dalam pilkada ini sangat penting. Jangan sampai pilkada yang harusnya menjadi kesempatan untuk bergembira karena merayakan pesta demokrasi justru menjadi duka yang berkelanjutan karena ketidaktaatan kita terhadap protokol kesehatan. Jangan sampai jumlah orang yang terpapar virus korona akan semakin bertambah setelah pilkada berlangsung. Oleh karena itu, mari kita sukseskan pilkada tahun ini dengan tetap saling menjaga kesehatan.

(49)
(50)

Komisi Kerasulan Awam KWI Jl. Cikini II No.10

Referensi

Dokumen terkait

Karmarkar) kurang dari 0,05.Persoalan program linier yang berukuran kecil, metode Karmarkar membutuhkan perhitungan yang relatif lebih besar dan lebih cepat jika

Berdasarkan hasil temuan dan pengelolaan data diatas dapat disimpulkan sebagai berikut : terdapat pengaruh yang disignifikan latihan One-on-one sadhow tag terhadap

Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mendeskripsikan sosialisasi nilai-nilai sila ke-4 Pancasila pada pemuda Dusun Jetak selama ini; 2) Mendeskripsikan bentuk metode

Masalah yang dibahas dalam tesis ini adalah lembaga-lembaga apa saja yang terlibat dalam pengelolaan bagan pancang nelayan, serta bagaimana konsep pengelolaan bagan pancang

Tetapi pada pihak lain, realitas multi-kultural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekontruksi kembali identitas bangsa Indonesia yang memerlukan

Ketentuannya yaitu nasabah tidak dapat mengambil dananya sebelum akhir periode yaitu selama 24 bulan (2 tahun), BMT Ar-Rahman Gaya Baru 2 diberikan ijin

1) Proses Pengembangan Media Pembelajaran Media Pembelajaran Berbasis Permainan Monopoli Pada Materi Perencanaan Pemasaran Kelas X Jurusan Pemasaran SMK Ketintang

Akan tetapi dalam perkembangan kecerdasan interpersonal ini juga tidak terlepas kaitannya dengan pola asuh yang diterapkan oleh para orang tua remaja tersebut, khusunya pada siswa