• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION A. PENGERTIAN TANGGUNG JAWAB NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION A. PENGERTIAN TANGGUNG JAWAB NEGARA"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TANGGUNG JAWAB NEGARA DAN TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

(2)

Tanggung jawab secara harafiah dapat diartikan sebagai keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh pihak lain.24 Menurut Sugeng Istanto, pertanggungjawaban berarti kewajiban memberikan jawaban yang merupakan perhitungan atas semua hal yang terjadi dan kewajiban untuk memberikan pemulihan atas kerugian yang mungkin ditimbulkannya. Menurut hukum internasional pertanggungjawaban negara timbul dalam hal negara itu merugikan negara lain. Pertanggungjawaban negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang melanggar hukum internasional saja. Perbuatan suatu negara yang merugikan negara lain tetapi tidak melanggar hukum internasional tidak menimbulkan pertanggungjawaban. Misalnya perbuatan negara menolak seorang warga negara asing yang masuk ke dalam wilayah negaranya.25

Pertanggungjawaban negara atau responsibility of states mengandung kewajiban dalam bagian dari suatu negara untuk memperbaiki kerusakan yang dihasilkan dari sebuah serangan yang dilakukan dalam wilayah yurisdiksinya dan melawan anggota lainnya dari komunitas internasional.26 Dapat dikatakan bahwa keberadaan konsep tanggung jawab negara dalam hukum internasional adalah

24

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1006

25

F, Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Yogyakarta: Penerbitan UAJYogyakarta hlm.77

26

Joseph P Harris – Consulting editor,1935, Introduction to the Law of Nations, McGraw Hill Series Inc., Political science, New York-Toronto-London, hlm.133

(3)

untuk mencegah terjadinya konflik antar negara, disamping juga bertujuan memberikan perlindungan hukum.

Prinsip bahwa setiap negara adalah berdaulat memang diakui dan dilindungi oleh hukum internasional. Oleh karena itu semua negara yang menjadi bagian dari masyarakat internasional harus menghormati dan mengakui hal tersebut. Namun kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara itu tidak tak terbatas. Artinya dalam melaksanakan hak berdaulat itu terkait di dalamnya kewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut.

Suatu negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk tindakan-tindakannya yang melawan hukum akibat kelalaian-kelalaiannya. Latar belakang timbulnya tanggung jawab di dalam hukum internasional adalah bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak negara lain. Setiap perbuatan atau kelalaian terhadap hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran hak tersebut.

B. TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION AKIBAT KEBAKARAN HUTAN.

Tranboundary Haze Pollution atau yang dikenal juga sebagai polusi kabut asap adalah asap dari kebakaran hutan atau lahan yang menghasilkan efek berbahaya bagi kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya, ekosistem, instalasi umum, dan bertentangan dengan standar baku mutu lingkungan. Kebakaran hutan tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara asal tempat terjadinya kebakaran, namun juga kerugian pada negara lain berupa pencemaran asap lintas batas.

(4)

Selama 20 tahun terakhir, kebakaran hutan telah menjadi peristiwa tahunan yang sudah merugikan negara dan rakyat Indonesia. Sejak tahun 1997-1998 kebakaran hutan telah mengakibatkan kerugian Negara sebesar US$ 3 Milyar.27

1.Penanganan dan Peraturan yang Berkaitan Dengan Transboundary Haze Pollution

Transboundary haze pollution adalah polusi kabut asap yang berasal dari suatu negara tetapi efeknya sampai ke negara lain, biasanya sampai sulit dibedakan sumbernya. Setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat, setidaknya seperti yang dijamin oleh hukum internasional. Tercantum juga dalam prinsip 21 deklarasi Stockholm yang menyatakan hal yang sama, dan hak seperti ini dilindungi oleh hak mengajukan gugatan. Hak-hak tersebut juga dilengkapi dengan hak atas perlakuan yang sama. Walaupun hak-hak tersebut juga memiliki batas. Adapun tanggungjawab sipil memiliki penyelesaian untuk masalah di atas dimana protes antara negara nantinya tidak akan diperlukan. Tanggungjawab sipil juga menerapkan prinsip polluter pays dengan baik. Penerapan tanggungjawab ini tidak akan jalan tanpa adanya kerjasama internasional. Lalu terakhir yang tidak kalah penting adalah hak anak cucu bagi lingkungan yang baik kelak.28 Luasnya dampak negatif yang diberikan dari polusi asap terhadap lingkungan, hasilnya pada tahun 2002 ASEAN akhirnya mengesahkan sebuah perjanjian lingkungan

27

“WWF desak Indonesia ratifikasi perjanjian asap” diakses dari http://www.bakornaspb.go.id/website/index.php?option

=com_content&task=view&id=1691&Itemid=120 pada tanggal 2 Februari 2012

28

Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, International Law & the Environment, Oxford, 1992, hlm. 190-214

(5)

hidup yang ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN yang bertujuan untuk mengendalikan pencemaran polusi asap di Asia Tenggara yaitu The ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)29

Negara-negara mengalami kerugian akibat Transboundary Haze Pollution dapat menuntut ganti rugi materiil dan pembebanan biaya untuk melakukan rehabilitasi lingkungan. Protes, atau dapat didefinisikan sebagai komunikasi formal dari suatu subyek internasional kepada subyek internasional lainnya untuk mengutarakan keberatan terhadap pelanggaran hukum internasional.30

Cara penyelesaian sengketa yang paling tradisional adalah dengan perundingan secara langsung (negotiation). Perundingan diadakan dalam bentuk-bentuk pembicaraan langsung antara negara-negara yang bersengketa dalam pertemuan tertutup antara wakil-wakilnya. Perundingan-perundingan langsung ini biasanya dilakukan menteri-menteri luar negeri, duta-duta besar atau wakil-wakil yang ditugaskan khusus untuk berunding dalam kerangka diplomasi ad hoc. Ada kalanya sengketa itu juga dinternasionalisasikan dalam sebuah konferensi internasional.31 Untuk kasus ini sepertinya bentuk inilah yang sedang berjalan, terbukti dengan negoisiasi-negosiasi Indonesia dengan Malaysia dan Singapura

29

“Sekretariat ASEAN” diakses dari Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, tanggal 2 Februari 2012

30 Black’s Law Dictionary

31

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Bandung, Alumni, 2000 hlm. 190

(6)

dalam menyusun draft-draft kesepakatan dalam menyelesaikan masalah kabut asap.

Politik luar negeri adalah cara dalam melaksanakan hubungan luar negeri antara satu negara dengan negara lainnya. Pada kenyataanya politik luar negeri banyak dipengaruhi oleh intrik-intrik yang disebabkan oleh tujuan masing-masing negara yang berbeda. Obyek politik luar negeri sendiri luas menyangkut perjanjian-perjanjian internasional. Adapun subyek-subyek pelakunya luas mencakup kepala negara hingga warga negaranya.

Dalam menjalankan politik luar negerinya, setiap negara memiliki gayanya masing-masing, yang tentu akan dipengaruhi oleh faktor kebudayaan yang berlaku di masing-masing negara. Oleh karena itu kajian politik internasional tidak akan lepas dari disiplin ilmu lain seperti ekonomi, sosial, budaya, dan hukum.

Oleh karena itu sebaiknya bagi pihak yang merugikan adalah menyelesaikan kasus ini dalam lingkup dalam negeri terlebih dahulu agar untuk ke depannya kasus ini tidak akan berlanjut kepada arbitrasi atau mahkamah internasional. Sementara itu bagi pihak yang dirugikan adalah melihat kepada substansi permasalahan itu sendiri yakni kepada pencemaran lingkungannya. Prinsip yang berlaku dalam kasus ini salah satunya adalah prinsip cooperation atau kerjasama. Hal ini berlaku dalam negara-negara ASEAN menghadapai masalah kabut asap. Salah satu yang dibahas dalam AATHP adalah masalah haze fund yang disediakan negara-negara ASEAN untuk menangani masalah ini.

(7)

Berdasarkan Bab IV the Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC), terdapat 3 (tiga) mekanisme atau prosedur penyelesaian sengketa yang dikenal negara-negara anggota ASEAN, meliputi :

1. Penghindaran Timbulnya Sengketa dan Penyelesaian Melalui Negosiasi secara langsung

Pasal 13 TAC mensyaratkan negara-negara anggota untuk sebisa mungkin dengan iktikad baik mencegah timbulnya sengketa di antara mereka. Namun apabila sengketa tetap lahir dan tidak mungkin dicegah maka para pihak wajib menahan diri untuk tidak menggunakan (ancaman) kekerasan. Pasal ini selanjutnya mewajibkan para pihak untuk menyelesaikannya melalui negosiasi secara baik-baik (friendly negotiations) dan langsung di antara mereka.

Pasal 13 TAC berbunyi :

The High Contracting Parties shall have the determination and good faith to prevent disputes from arising. In case disputes on matters directly affecting them should arise, especially disputes likely to disturb regional peace and harmony, they shall refrain from the threat or use of force and shall at all times settle such disputes among themselves through friendly negotiations.

(8)

Manakala negosiasi secara langsung oleh para pihak gagal, penyelesaian sengketa masih dimungkinkan dilakukan oleh the High Council (Pasal 14 TAC).

Pasal 14 TAC berbunyi :

To settle disputes through regional process, the High Contracting Parties shall constitute, as a continuing body, a High council comprising a Representative at ministerial level from each of the High contracting parties to take cognizance of the existence of disputes or situations likely to disturb regional peace and harmony.

The Council terdiri dari setiap negara anggota ASEAN. Apabila sengketa timbul maka the Council akan memberi rekomendasi mengenai cara-cara penyelesaian sengketanya. The High Council juga diberi wewenang untuk memberikan jasa baik, mediasi, penyelidikan atau konsiliasi, apabila para pihak menyetujuinya (Pasal 15 dan 16 TAC).

Pasal 15 TAC berbunyi :

In the event no solution is reached through direct negotiations, the High Council shall take cognizance of the dispute or the situation and shall recommend to the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation, inquiry or conciliation. The High council may however offer its good offices, or upon agreement of the parties in dispute appropriate means of settlement such as good offices, mediation, inquiry or conciliation. The high Council may however offer its good offices, or upon agreement of the parties in dispute, constitute itself into a committee of mediation, inquiry or conciliation. When deemed necesarry, the High Council shall recommend appropriate measures for the prevention of a deterioration of the dispute or the situation.

(9)

Pasal 16 TAC berbunyi :

The foregoing provision of this Chapter shall not apply to a dispute unless all the parties to the dispute agree to their application to that dispute. However this shall not preclude the other High Contracting Parties not party to the dispute from offering all possible assistance to settle the said dispute. Parties to the dispute should be well disposed of towards such offers of assistance.

3. Cara-Cara penyelesaian Sengketa Berdasarkan pasal 33 Ayat (1) Piagam PBB.

Meskipun terdapat mekanisme di atas, TAC tidak menghalangi para pihak untuk menempuh cara atau metode penyelsaian sengketa lainnya yang para pihak sepakati sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB (Pasal 17 TAC).

Dalam praktik, para pihak yang bersengketa lebih cenderung untuk menyelesaikan sengketanya secara hukum. Misalnya penyelesaian sengketa sesuai dengan Pasal 17 TAC, yaitu penyelesaian sengketa sesuai dengan Pasal 17 TAC, yaitu penyelesaian sengketa ke Mahkamah Internasional (ICJ). Contoh langkah seperti ini misalnya adalah sengketa Indonesia-Malaysia mengenai status kepemilikan Pulau Sipadan-Ligitan,

(10)

atau antara Malaysia-Singapura mengenai status kepemilikan Pulau Batu Puteh.

Pasal 17 TAC berbunyi:

Nothing in this Treaty shall preclude recourse to the modes to peaceful settlement contained in Article 33 (1) of the Charter of the United Nations. The High Contracting parties which are parties to a dispute should be encouraged to take initiatives to solve it by friendly negotiations before resorting to the other procedures provided for in the Charter of the United Nations.

Uraian di atas mengisyaratkan beberapa kesimpulan berikut :

Pertama, dari instrumen-instrumen hukum yang mendasari berdirinya organisasi internasional regional, tersirat adanya kehendak dari negara-negara pendirinya untuk menghindari caracara kekerasan dalam penyelesaian sengketa. Instrumeninstrumen tersebut mengakui dan menyadari bahwa penyelesaian sengketa harus dilaksanakan secara damai di antara mereka.

Kedua, badan-badan organisasi internasional regional mensyaratkan kata sepakat untuk menentukan cara atau mekanisme yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketa mereka.

Tiga, organisasi-organisasi internasional regional memberikan fungsi non yudisial kepada lembaga baik yang sudah ada atau yang secara khusus dibentuk.

Empat, kecenderungan lain yang juga tampak adalah latar belakang dan tujuan pembentukan suatu organisasi yang sedikit banyak akan memberi warna

(11)

terhadap penyelesaian sengketa. Organisasi regional yang dikaji di atas umumnya adalah organisasi regional politis. Karena itu tampaknya wajar pula apabila persoalan atau sengketa yang timbul di antara mereka penyelesaiannya ditempuh secara politis. Dalam hal ini, penyelesaiannya misalnya dilakukan secara negosiasi, mediasi atau penyelesaian melalui bantuan pihak ketiga lainnya, baik oleh suatu lembaga permanen atau suatu lembaga ad hoc (sementara).

Lima, pemanfaatan Pasal 33 ayat (1) piagam PBB, khususnya penyelesaian melalui jalur hukum, dalam hal ini oleh Mahkamah Internasional (ICJ), hanya ditempuh oleh para pihak manakala cara-cara penyelesaian sengketa secara langsung (atau melalui pihak ketiga) telah ditempuh dan ternyata gagal.

Traktat adalah metode yang paling sering dilakukan untuk membuat peraturan internasional yang mengikat terkait dengan lingkungan. Pada dasarnya itu adalah perjanjian dengan berbagai bentuk diantara negara yang diatur oleh hukum internasional. Pembentukannya mengacu pada Konvensi Wina 1969. Negara yang telah menandatangani traktat namun belum meratifikasinya dilarang untuk melakukan aktivitas yang dilarang oleh traktat.32

Salah satu traktat yang berpengaruh dalam kasus ini adalah Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources yang ditandatangani di Kuala Lumpur pada 9 Juli 1985. Traktat ini menjamin perlindungan bagi sumber daya alam.yang tercantum dalam prinsip dasar pada pasal 1.

32

Patricia W. Birnie, Alan E. Boyle, International Law & the Environment, Oxford, 1992, hlm. 11-14

(12)

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, yaitu suatu perjanjian multilateral di antara negara-negara ASEAN untuk menuntaskan masalah kabut asap. Menarik untuk diulas karena persoalan kabut asap ini telah berulang-ulang kali terjadi dan merugikan banyak pihak. Oleh karena itu dibuatlah perangkat ini sebagai salah satu alat untuk menangani masalah tersebut.

Traktat ini ditandatangani tanggal 10 Juni tahun 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Pada saat itu negara-negara yang menandatangani adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Traktat ini menekankan kembali kepada Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 yang mengibarkan semangat kerjasama regional diantara negara-negara ASEAN. Juga mengingat kembali pada pertemuan di Kuala Lumpur mengenai Lingkungan dan Pembangunan yang menyatakan perlunya pencegahan polusi lintas batas negara. Juga lanjutan dari Rencana ASEAN akan Polusi Lintas Batas pada tahun 1995 yang khusus membahas mengenai polusi lintas batas negara dalam udara, dan menetapkan prosedur dan mekanisme kerjasama diantara negara ASEAN dalam pencegahan dan mitigasi kebakaran hutan dan kabut asap.33

Traktat ini bertujuan untuk menggerakkan Rencana Kabut Asap 1997 dan Rencana Hanoi yang bermaksud mengimplementasikan Rencana Kerjasama ASEAN terhadap Polusi Lintas Batas 1995, dengan penekanan Rencana Regional Kabut Asap sampai tahun 2001. Substansi yang diatur dalam AATHP adalah

(13)

pengikatan kerjasama antara para pihak dalam ASEAN untuk menuntaskan masalah polusi kabut asap lintas batas.

Adapun hambatan yang menghalangi tercapainya tujuan ini secara sempurna adalah belum semua negara ASEAN meratifikasi perjanjian ini, termasuk Indonesia. Bagi Indonesia sendiri peratifikasian perjanjian ini akan menguntungkan karena dijamin bantuan dari para Pihak untuk menyelesaikan masalah kabut asap yang nota bene sebagian berasal dari negara ini. Saran terhadap traktat ini sendiri adalah pencantuman klausula formal yang jelas karena secara teknis belum jelas panduan pelaksanaannya dalam traktat ini.

Peratifikasian AATHP adalah salah satu kunci bagi kasus ini agar memiliki mekanisme secara internasional. Perjanjian ini sendiri sudah terbentuk pada tahun 1997. Hingga saat ini hanya Indonesia dan Filipina yang belum meratifikasinya. Bagi Indonesia proses di DPR yang menghambat proses ratifikasi. Walaupun secara eksplisit dalam pasal 6 UU no. 37 tahun 1999 memang dikatakan untuk perjanjian internasional adalah wewenang badan legislatif.34

Walaupun perjanjian ini tergolong soft law, salah satu alasannya adalah karena tidak ada sanksi yang mengikat bagi para pihak, tetapi dengan semangat kerjasama yang diusung ASEAN telah berlangsung usaha-usaha untuk mengatasi masalah ini. Dalam perjanjian ini juga disinggung mengenai Conference of the Parties. Indonesia dan Filipina walaupun belum meratifikasi AATHP tetapi

34

“WWF desak Indonesia ratifikasi perjanjian asap’ diakses dari www.bakornaspb.go.id Tanggal 2 Februari 2012.

(14)

mereka diundang kepada setiap konferensi. Political will dibutuhkan Indonesia untuk meratifikasi AATHP karena akan muncul implikasi-implikasi berikutnya. Persetujuan ini memerlukan ratifikasi, penerimaan, persetujuan, dan aksesi dari setiap negara pihak untuk dapat berlaku ke dalam hokum nasionalnya. Pembukaan atas instrumen-instrumen tersebut adalah pada hari setelah persetujuan tersebut tertutup untuk penandatanganan. Dalam pasal 28 juga menyebutkan bahwa

This Agreement shall be subject to ratification, acceptance, approval or accession by the Member States. It shall be opened for accession from the day after the date on which the Agreement is closed for signature. Instruments of ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the Depositary”

Artinya pemberlakuan atas instrumen-instrumen tersebut di atas harus disimpan oleh depositary sebelumnya. Depositary disini adalah Sekretaris Jenderal ASEAN yang akan membuat salinan dari instrumen-instrumen tersebut dari setiap negara anggota.35

C. PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG

TANGGUNGJAWAB NEGARA.

Ketentuan hukum internasional yang mengatur masalah tanggung jawab negara hingga kini belum ada yang mapan, dan terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Para ahli hukum internasional mengakui

35

(15)

bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip fundamental hukum internasional.36 International Law Commision (ILC) merupakan sebuah badan PBB yang bertugas mengurusi dan membahas draft tentang ketentuan tanggungjawab negara. Walaupun masih dalam bentuk draft tetapi karena disusun oleh para ahli hukum terkemuka yang mewakili berbagai kebudayaan terpenting di dunia dan mempunyai nilai tinggi serta tergabung dalam panitia hukum internasional, seperti yang tergabung dalam kepanitiaan penyusunan draft tentang tanggung jawab negara dalam ILC, maka ketentuan tanggung jawab negara ini dapat digunakan sebagai sumber tambahan di dalam hukum internasional. Prinsip tanggung jawab negara lahir dari kewajiban internasional yang bersifat primer (primary rules of obligation), yakni suatu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban suatu negara. Setiap negara yang menyandang hak tertentu adalah juga merupakan subjek yang mendukung kewajiban tertentu pula. Kewajiban ini merupakan sisi lain dari hak yang diberikan oleh hukum.37

Fungsi dasar dari prinsip tanggung jawab negara ini dalam hukum internasional adalah memberikan perlindungan kepada setiap negara, antara lain dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara yang menderita kerugian tersebut. 38

Tentang bagaimana suatu negara yang dirugikan akan meminta sejumlah perbaikan, rehabilitasi atau ganti rugi sangat tergantung pada peristiwa yang

36

M.N. Shaw, International Law, Butterworths, edisi 2, 1986, h. 466, Ian Brownlie,

Principles of Public International Law, 1979, h. 431, seperti dikutip oleh Huala Adolf,1996,

Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, h. 174

37

Arif, “pencemaran transnasional akibat kebakaran hutan di Indonesia dalam hubungannya dengan penerapan prinsip tanggung jawab negara” Tesis, 2000, h.47

38

(16)

terjadi. Kebanyakan negara yang menderita akan meminta sesuatu yang bersifat satisfaction melalui negosiasi diplomati, apabila suatu negara merasa kehormatannya direndahkan sebuah permohonan maaf resmi dari negara yang bertanggung jawab biasanya dipenuhi atas diajukannya suatu keberatan. Sedangkan yang menyangkut dengan perbaikan dan biaya kompensasi lainnya diajukan apabila negara yang dirugikan itu telah menderita berupa material loss or damage. Guna memenuhi ini tidak jarang digunakan jalur hukum yang diajukan kepada internasional arbitral or tribunal.39

1.Pembagian tanggung jawab Negara

Secara garis besar tanggung jawab negara dibagi menjadi :

a.Tanggung jawab perbuatan melawan hukum (delictual liability)

Tanggung jawab ini lahir dari setiap kesalahan atau kelalaian suatu negara terhadap orang asing di dalam wilayah negaranya atau wilayah negara lain. Hal ini dapat timbul karena :

a.1. Eksplorasi ruang angkasa a.2. Eksplorasi nuklir

a.3. Kegiatan Lintas Batas Nasional

(17)

Pertanggungjawaban negara timbul karena suatu negara melanggar perjanjian internasional (treaty) yang dibuat dengan negara lain yang mengakibatkan kerugian terhadap negara lainnya.

2. Kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk menentukan adanya tanggung jawab Negara.

Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara yaitu :40

a. Subjective fault criteria

b. Objective fault criteria

c. Strict Liability

d. Absolute Liability

Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara. Dalam konsep objective fault criteria ditentukan adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari adanya suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Jika suatu negara dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya tindakan pihak ketiga, negara yang bersangkutan dapat dibebaskan dari pertanggungjawaban tersebut.

40

Sharon Williams, “Public International Governing Trans-boundary Pollution” 13 Univ. of Queensland L.J. (1984), h. 114-118 dikutip oleh Marsudi Triatmodjo, h. 177

(18)

Konsep strict liability membebani negara dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan atau tidak berbuat yang terjadi di wilayahnya yang menimbulkan pencemaran dan mengakibatkan kerugian di wilayah negara lain, meskipun berbagai persyaratan pencegahan pencemaran telah diterapkan. Dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau forcé majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate).

Menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam konsep ini terdapat total pertanggungjawaban walaupun segala standar telah dipenuhi.41

3.Peraturan yang berkaitan dengan tanggung jawab negara

Daud Silalahi menyatakan bahwa konsep state responsibility-liability (tanggung jawab negara atas lingkungan) dalam kerangka hukum lingkungan internasional mengacu pada pembahasan the principle of sovereignity dan the freedom highseas. Pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah negara terhadap lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan tersebut menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act injuries to another states) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip responsibility-liability dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya untuk melakukan pencegahan terhadap aktivitas dengan cara menetapkan/mengatur standar permisible injury atau ambang batas dari kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan (environmental injuries) dapat pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang

(19)

timbul dari kegiatan ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan ambang batas atau baku mutu lingkungan.42

Penetapan permisible level of injury (ambang batas kerusakan dari lingkungan) dilakukan melalui hasil putusan pengadilan internasional, atau penetapan standar perbuatan/tindakan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar tanggungjawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan injury of one state to another. Jika akibat timbul di luar wilayah suatu negara, pada wilayah yang termasuk common heritage of mankind (wilayah-wilayah yang merupakan warisan bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah tanggung jawab internasional.43

Salah satu prinsip yang terkenal dari hukum lingkungan internasional adalah principles of good neighbourliness. Pada intinya prinsip itu mengatakan kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara lain. Hal ini patut berlaku pada saat terjadi aktivitas dalam negara yang menggangu negara lain. Ada juga prinsip lain yakni preservation and the protection of environment yang menegaskan bahwa tindakan-tindakan perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian prinsip preventif yang menekankan tindakan pencegahan bagi kerusakan lingkungan. Selanjutnya pelanggaraan prinsip-prinsip ini akan

42

Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan : Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, Penerbit Alumni, ed. 2, cet. 1, Bandung, h. 129-137

43 Ibid

(20)

membawa kepada penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha memperbaiki kerusakan lingkungan yang dibuatnya. Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam artikel 2(1) dari Konvensi ECE tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus mengambil tindakan pencegahan untuk mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara adalah mewujudkan langkahlangkah administratif dan legislatif untuk melindungi lingkungan sehingga dapat dikatakan sebagai pemerintah yang baik.44

Prinsip kedua yang dikenal luas juga adalah kerjasama antara negara untuk mitigasi resiko kerusakan lingkungan lintas batas. Prinsip ini juga tercantum dalam prinsip ke 24 Deklarasi Stockholm.45 Prinsip berikutnya adalah polluter pays principle. Pada intinya ini adalah prinsip ekonomi dimana negara dituntut untuk membiayai tindakan yang dibutuhkan agar lingkungan kembali pada kondisi semula.46 Lalu ada juga prinsip ’balance of interest’ (keseimbangan kepentingan) pihak-pihak yang telah dirugikan. Prinsip ini terdapat di dalam Article 9 Draft on State Responsibility. Kemudian ada juga prinsip non-diskriminasi (nondiscrimination yang mewajibkan negara untuk mengatasi/menanggulangi akibat-akibat yang diderita oleh Negara lain dengan cara yang sama dengan yang dipergunakan jika akibat-akibat tersebut sudah

44

Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle,1992, International Law & The Environment, Oxford, hlm. 89-93

45

Ibid

46

(21)

terjadi di negaranya sendiri. Prinsip ini terdapat di dalam Article 11 dan 15 Draft on State Responsibility.

Ukuran untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang digolongkan sebagai abnormally dangerous (the standard of abnormality) didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut :

1. Tingkat risiko (the degree of risk). Risiko dianggap tinggi apabila tidak dapat dijangkau oleh upaya yang lazim atau menurut kemampuan teknologi yang telah ada

2. Tingkat bahaya (the gravity of harm) sulit untuk dicegah pada saat mulai terjadinya.

3. Tingkat kelayakan upaya pencegahan (the appropriateness), sudah dilakukan upaya pencegahan secara maksimal;

4. Pertimbangan terhadap keseluruhan nilai kegiatannya (value of activity) telah dilakukan secara memadai.

Sementara itu merujuk pada the restatement of the law torts in America, menentukan apakah suatu kegiatan termasuk ke dalam kegiatan yang berbahaya (abnormally dangerous) yakni :47

47 M Ramdan Andri GW., Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan

Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 0854-7378 Tahun V No. I/1999, h. 5

(22)

1. Kegiatan tersebut mengandung tingkat bahaya yang tinggi bagi manusia, tanah, atau benda bergerak (the activity involves a high degree of some harm to the person, land or chattels of others)

2. Kerusakan yang diakibatkan oleh kegiatan tersebut mempunyai kemungkinan untuk menjadi besar (the harm which may result from it is likely to be great)

3. Risiko tidak dapat dihilangkan meskipun kehati-hatian yang layak sudah diterapkan (the risk cannot be eliminated by the exercise of reasonable care) 4. Kegiatan itu tidak termasuk ke dalam kegiatan yang lazim (the activity is

not a matter of common usage)

5. Kegiatan itu tidak sesuai dengan tempat dimana kegiatan itu dilakukan (the activity is inappropriate to the place where it

is carried on)

6. Nilai atau manfaat kegiatan tersebut bagi masyarakat (the value of activity to the community)

Berdasarkan prinsip pencemar membayar (the polluter must pay) dan asas strict liability dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang disebut shifting or alleviating the burden of proofs. Penerapan asas strict liability dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan :48

1. Strict liability with contributory negligence defense, yakni strict liability diterapkan kepada tergugat sepanjang pihak korban tidak mempunyai andil

(23)

kesalahan atas timbulnya kerugian, kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu dibuktikan;

2. Negligence with contributory negligence defense, yakni tergugat bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian ada pada tangan penggugat;

3. Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan disesuaikan dengan proporsi dari besarnya andil terhadap timbulnya kerugian.

Masih berkaitan dengan strict liability, Green Paper menyediakan hal-hal yang perlu dipertimbangkan :49

1. Tipe bahaya yang dihasilkan oleh kegiatan tertentu

2. Kemungkinan terjadinya kerugian dari suatu kegiatan dan kemungkinan meluasnya kerugian

3. Insentif yang akan akan disediakan oleh strict liability berupa pengelolaan risiko dan pencegahan kerugian yang lebih baik;

4. Kemungkinan pelaksanaan dan biaya-biaya pemulihan kerugian yang diperkirakan akan terjadi

5. Beban keuangan yang harus ditanggung oleh sektor-sektor ekonomi yang terlibat, yang ditetapkan berdasarkan strict liability, dan

6. Kebutuhan akan tersedianya asuransi.

Kalau ditelaah butir-butir prinsip yang ditelurkan oleh konferensi internasional mengenai lingkungan Stockholm 1972 itu, terlihat penuh dengan kompromi antara negara-negara maju dan berkembang, inilah salah satu faktor

49

(24)

menurut penulis, justru mengurangi kepastian dan mengikatnya ketentuan internasional mengenai lingkungan ini. Ditambah dengan kenyataan, bahwa dalam prinsip-prinsip itu diakui hak berdaulat setiap negara untuk mengelola sumber-sumber alam dan lingkungannya sendiri sesuai dengan ”sistem nilai-nilai yang berlaku di tiap negara” (Prinsip XXIII), makin menjadi kabur ketentuan internasional ini.

Kunci keberhasilan hukum lingkungan internasional ini terletak pada ”pengaturan kerja sama multilateral dan bilateral antara negara-negara” untuk pengawasan efektif, pencegahan, pengurangan dan peniadaan dampak yang merusak lingkungan (Prinsip XXIV). Kelihatannya Eropa Barat cukup berhasil dalam menciptakan pengaturan kerja sama regional seperti dimaksud ini, sehingga dapat dikatakan menjadi pencetus lahirnya European Environmental Law.

Referensi

Dokumen terkait

Inovasi ini adalah penting kerana ia bukan sahaja membantu para penyelidik menjalankan kajian dengan lebih sistematik malah membantu mereka mewujudkan satu jaminan yang jelas

Setelah dianalisis dengan menggunakan uji gain, dimana nilai pada siklus I dengan siklus II terdapat 20 peserta didik yang berada pada indeks gain sedang, ini

Pada tahap ini yang melakukan validasi atau tinjauan dari ahli isi atau materi dan ahli media yang bertujuan untuk mengetahui kelayakan dari produk yang dikembangkan.. Apabila

Penelitian ini akan mengusulkan penggunaan learning machine Naive Bayes (NB) dengan mengintegrasikan antara teknik SMOTE dan Bagging serta algoritma Information

Communication" yang terdapat dalam buku "Communication Probes" mengatakan setiap kali orang berbicara atau menyampaikan pesan kepada orang kedua terjadiempat

(II) Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana persetubuhan yang dilakukan oleh anak terhadap anak dalam perkara Nomor

Jika long-term debt ratio (LTDR), total asset turn- over (TAT), return on asset (ROA), komisaris inde- penden (Kind), kepemilikan manajerial (KM), ke- pemilikan

Setelah melakukan analisis dan implementasi sistem yang dilanjutkan dengan pengujian sistem, maka dari hasil implementasi dan pengujian tersebut dapat ditarik