• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Bentuk dan Fungsi Benteng Sembilan Cakung, Jakarta Timur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Identifikasi Bentuk dan Fungsi Benteng Sembilan Cakung, Jakarta Timur"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Identifikasi Bentuk dan Fungsi “Benteng Sembilan” Cakung,

Jakarta Timur

Ratna Esykha W.P1, Supratikno Rahardjo2

1. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok. 2. Departemen Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok.

Email: ratnaesykha@gmail.com Abstrak

“Benteng Sembilan” merupakan salah satu bangunan militer tinggalan Belanda dari periode abad ke-20 yang belum diidentifikasi lebih lanjut mengenai bentuk dan fungsinya dalam aktivitas militer masa lalu. Identifikasi bentuk dan fungsi diperlukan guna mengetahui peranan bangunan ini terutama dalam peristiwa Agresi Militer Belanda di wilayah Jakarta Timur serta menjadi satu pembuktian bagi peristiwa bersejarah tersebut. Penelitian ini diawali dengan pendeskripsian yang kemudian dilanjutkan analisis khusus dan analisis perbandingan dengan dua bangunan pertahanan lain yang serupa. Penelitian ini menghasilkan interpretasi bahwa bangunan ini merupakan bangunan gudang amunisi dan senjata serta diduga dahulu digunakan dalam peristiwa Agresi Militer Belanda di sekitar daerah Cakung, Jakarta Timur.

Form and Function Identification of “Benteng Sembilan” Cakung, North Jakarta

Abstract

“Benteng Sembilan” is one of Dutch’s military defense building which it form and function in past military activities has not been identified yet. Form and function identification is needed to recognize the building’s role in Dutch Military Agression in North Jakarta and also to prove the building as features of the historical event. The research was began with description method and continued by specific analysis and comparative analysis with another two similar defense building. This research produced an interpretation that the building was an ammunition and weapon storage and probably used in Dutch Military Agression in Cakung, North Jakarta.

Key Words: “Benteng Sembilan”; form, function; Dutch Military Agression; ammunition and weapon storage.

(2)

Pendahuluan

Sejak awal kedatangannya di Indonesia, bangsa Belanda telah membuat berbagai macam bangunan kolonial yang mencerminkan kebudayaan bangsanya. Salah satu bentuk bangunan kolonial yang dibangun oleh bangsa Belanda adalah bangunan militer. Awalnya bangunan militer dibangun dengan tujuan melindungi gudang-gudang dagangan (pakhuizen), namun di masa kemudian fungsi dan penggunaan bangunan ini berkembang menjadi bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal, tempat pemerintahan, sekaligus tempat sentral dalam upaya merebut dan mengusai pemerintahan pribumi, sehingga peranan bangunan militer menjadi penting pada masa lampau (Haris, 2001: 745).

Selain sebagai pusat pemerintahan, fungsi utama bangunan militer terutama benteng adalah bangunan tempat berlindung atau bertahan dari serangan musuh. Benteng dapat pula diartikan sebagai sesuatu yang digunakan untuk memperkuat atau mempertahankan kedudukan, posisi, dan yang lainnya. Benteng juga merupakan salah satu upaya dari pihak asing untuk menandingi sistem pertahanan masyarakat atau penguasa lokal (Koestoro, 2010: 97).

Bangunan militer dan bangunan pertahanan Belanda diketahui telah dibangun di wilayah Indonesia sejak abad 17 dan pembangunannya terus berkembang hingga abad 20. Pada masa awal pendiriannya, bangunan pertahanan ini difokuskan dibangun di garis luar pertahanan darat yaitu di sepanjang pantai dan di pulau-pulau kecil lepas pantai guna mencegah datangnya musuh dari laut (Marihandono dan Juwono, 2011: 54). Pada perkembangannya kemudian, pembangunan bangunan pertahanan berada tidak jauh dari kota, yaitu berada di pinggir kota atau bahkan di tengah-tengah kota. Penempatan lokasi ini bergantung pada efektivitas penggunaan, strategi militer dan intensitas ancaman yang datang saat itu (Abbas, 2011: 9). Selain dari lokasinya, perkembangan bangunan pertahanan juga terjadi dari segi bentuknya. Di masa awal pendiriannya bangunan pertahanan Belanda memiliki desain dan ukuran yang menyerupai kastil-kastil Eropa abad pertengahan dengan dilengkapi dinding yang tinggi serta menara-menara melingkar pada sudut bangunannya. Guna menambah perlindungan, umumnya kastil-kastil ini dilindungi dengan dinding-dinding pertahanan kota, seperti misalnya tembok-tembok kota yang ada di Batavia, Ternate, Ambon, Banda Neira, Makassar, dan Semarang (Bonke, 2010: 35-36). Di masa

(3)

kemudian, mulai dari abad ke-19 terutama abad 20, bangunan pertahanan Belanda tidak lagi berukuran besar dan memiliki menara di sudut bangunannya melainkan berubah menyesuaikan kebutuhan perang masa itu yang membutuhkan tingkat efisiensi dan mobilitas tinggi. Bangunan militer dan pertahanan Belanda yang dibangun belakangan bentuknya mengikuti bangunan militer Eropa pada masa Perang Dunia 1 dan 2 yaitu lebih kecil dan sederhana namun dengan teknologi dinding yang lebih kuat. Bangunan tersebut juga dibangun lebih rendah atau bahkan dibangun sepenuhnya atau sebagian berada di permukaan tanah dengan tujuan perlindungan dari serangan senjata perang (Octaviadi, 2008: 120).

Salah satu contoh bangunan pertahanan atau bangunan militer Belanda yang dibangun pada abad ke-20 dan berada dalam wilayah perkotaan adalah “Benteng Sembilan”. Benteng ini berada di wilayah Cakung, Jakarta Timur, yang dahulu merupakan wilayah administrasi kota Bekasi. Pemberian nama “Benteng Sembilan” bukanlah nama resmi dari pihak pemerintah karena bangunan ini belum terdaftar dan ditetapkan sebagai cagar budaya daerah maupun negara. Nama “Benteng Sembilan” berasal dari masyarakat sekitar yang menyebutnya berdasarkan jumlah bangunan yang ada di lahan tersebut.

Berdasarkan denah pembangunannya, bangunan ini diduga dibangun pada periode pasca kemerdekaan, yaitu tahun 1947. Dari masa pembangunan dan keletakan geografisnya tersebut, dapat diasumsikan bahwa bangunan ini memiliki suatu peranan dalam peristiwa peperangan pasca kemerdekaan antara Belanda dan Indonesia, yaitu peristiwa Agresi Militer Belanda 1. Pada periode pasca kemerdekaan, wilayah Bekasi dan Karawang merupakan daerah pinggiran kota Jakarta yang berusaha dikuasai oleh pihak Belanda dan NICA guna dijadikan markas atau titik sentral penyerangan ke wilayah pusat Jakarta (Heijboer, 1998) sehingga cukup tepat apabila bangunan ini dikaitkan dengan peristiwa agresi militer tersebut.

Berdasarkan denah bangunannya pula, bangunan ini dahulu berfungsi sebagai ammonitie opslagplaats, atau sebagai gudang amunisi dan senjata. Dalam perang, umumnya bangunan pertahanan terutama bagian gudang penyimpanan senjata semacam depot dan aarsenal diletakan di wilayah yang strategis dan mudah dijangkau. Meskipun terkadang juga dibangun di tempat yang tersembunyi, namun lokasi pembangunan dipastikan dekat dengan wilayah sasaran perang sehingga

(4)

memudahkan pasukan militer mempersenjatai diri (Bearss, 1965: 317). Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini secara tidak langsung dapat membuktikan peranan wilayah Cakung dan Jakarta Timur dalam konflik militer di periode pasca kemerdekaan.

Keadaan bangunan yang relatif utuh dibandingkan bangunan militer tinggalan Belanda lain di Indonesia, terutama di Jakarta, menjadikan satu dasar tersendiri bagi dimulainya penelitian ini. Di samping itu, bentuk bangunan yang cukup unik dan jarang ditemui di Indonesia, yaitu beberapa bangunan yang berdiri terpisah namun terintegrasi atau membentuk suatu formasi, juga menjadi suatu alasan kuat bagi penelitian ini. Sejauh ini belum didapati penelitian mengenai sejarah bangunan maupun penelitian lain yang terkait dengan bangunan “Benteng Sembilan” ini sehingga menjadikan penelitian ini sebagai penelitian awal dan penelitian pendahuluan.

“Benteng Sembilan” merupakan salah satu bangunan militer milik pemerintah kolonial Belanda yang belum diketahui dan diidentifikasi lebih lanjut mengenai bentuk dan fungsi dari bangunannya, bahkan berdasarkan bentuk bangunan dan keterangan pada denah, bangunan Benteng Sembilan ini diduga memiliki fungsi lain di luar fungsi bangunan militer dan pertahanan yang umum dijumpai yaitu sebagai gudang tempat menyimpan amunisi dan senjata perang. Pada umumnya bangunan gudang penyimpanan senjata ini terintegrasi dengan bangunan militer lainnya dan bukanlah suatu bangunan yang umum untuk berdiri sendiri, sehingga berdasarkan hal itu timbul pertanyaan yang terkait dengan bentuk dan fungsi dari bangunan ini. Bentuk bangunan ini dapat menunjukan dan menjelaskan fungsinya, baik sebagai gudang amunisi seperti halnya yang tertulis pada denah bangunannya, ataupun sebagai bangunan militer yang memiliki fungsi lain. Maka dari itu, permasalahan penelitian utama yang akan diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimana identifikasi bentuk umum dan fungsi dari bangunan “Benteng Sembilan?”.

Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan guna mencapai tujuan yang diinginkan dalam penelitian adalah metode penelitian yang dilakukan oleh Deetz yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data (Deetz, 1967: 8).

(5)

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan melalui studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka merupakan pengumpulan data tertulis yang berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan objek yang diteliti seperti berbagai hasil penelitian, dokumen, dan foto yang menjelaskan mengenai penelitian keberadaan “Benteng Sembilan” ini sejak pertama kali dibangun hingga saat ini, serta data-data mengenai hasil survey lapangan yang pernah dilakukan. Selain itu, sebagai data sekunder juga dilakukan pengumpulan data berupa laporan penelitian, peta, dokumen, dan foto sehubungan dengan bangunan bangunan militer milik pemerintah Belanda misalnya bangunan benteng Gunung Palasari di wilayah Sumedang dan bangunan pertahanan Ancol di Jakarta Utara yang merupakan bangunan militer Belanda dan memiliki kemiripan bentuk dan kesamaan masa dengan “Benteng Sembilan”.

Studi lapangan dilakukan dengan mendatangi langsung objek penelitian serta institusi lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian guna memperoleh data yang diperlukan. Dalam tahap ini dilakukan perekaman data yang dilakukan secara verbal maupun piktorial yaitu dengan pencatatan serta pengambilan gambar atau dokumentasi mencangkup bentuk, ukuran, dan keletakan dan kemudian akan dilanjutkan dengan pendokumentasian dalam pembuatan gambar, sketsa denah, maupun pengambilan foto dari “Benteng Sembilan”. Pengumpulan data lapangan juga dilakukan dengan metode wawancara sederhana terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar “Benteng Sembilan” guna mendapatkan keterangan-keterangan sejarah yang terkait dengan bangunan tersebut. Informasi yang didapatkan dari masyarakat sekitar ini nantinya akan dicocokan dan diintegrasikan dengan dokumen awal atau denah bangunan “Benteng Sembilan” sehingga informasi yang didapatkan akan semakin lengkap.

Perekaman data berupa pengambilan dokumentasi gambar secara langsung juga dilakukan terhadap kedua bangunan yang menjadi objek pembanding yaitu Benteng Gunung Palasari di Sumedang serta Bangunan Pertahanan atau Batteri Ancol di Jakarta Utara. Data dari hasil pendokumentasian tersebut akan ditunjang dengan data-data dari hasil laporan penelitian yang pernah dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung terhadap kedua objek pembanding tersebut. Data dari hasil penelitian tersebut akan digunakan dalam pendeskripsian kedua data pembanding. Pengumpulan

(6)

data kemudian dilanjutkan dengan mendatangi beberapa institusi yang mungkin berkaitan dengan objek seperti misalnya Balai Arkeologi Bandung, Pusat Dokumentasi Arsitektur, Arsip Nasional RI, Perpustakaan Nasional, dan Pusat Sejarah TNI .

Data-data yang telah didapatkan melalui studi pustaka dan studi lapangan kemudian akan digunakan dalam proses pendeskripsian bangunan utama penelitian, yaitu “Benteng Sembilan”, maupun pendeskripsian dua data pembanding, yaitu Benteng Gunung Palasari dan Bangunan Pertahanan atau Batterai Ancol. Pendeskripsian yang dilakukan meliputi berbagai komponen bangunan yang akan dianalisis dalam tahap penelitian selanjutnya.

Tahap penelitian selanjutnya adalah pengolahan data. Dalam tahap ini dilakukan analisis khusus terhadap komponen-komponen bangunan “Benteng Sembilan”. Guna menambah hasil analisis, dalam tahap ini akan dilakukan pengambilan data penunjang dari benteng-benteng atau bangunan militer lain dengan menggunakan prinsip adanya kedekatan wilayah atau kesamaan ekologi, adanya persamaan bentuk, dan adanya kesinambungan budaya (Sharer& Ashmore, 1979 : 455-456). Data penunjang yang digunakan adalah data mengenai bangunan yang berasal dari kurun waktu sezaman dan memiliki kemiripan bentuk dengan “Benteng Sembilan” yaitu Benteng Gunung Palasari di Sumedang dan bangunan pertahanan di Ancol, Jakarta Utara. Selain berasal dari kurun waktu sezaman dan memiliki kemiripan bentuk, kedua bangunan pertahanan tersebut dipilih sebagai data pembanding karena kedua data tersebut dapat mewakili bangunan pertahanan dengan fungsi ofensif dan defensif serta bangunan pertahanan dengan fungsi logistik. Kedua bangunan tersebut juga pernah diteliti sebelumnya sehingga memiliki kelengkapan informasi yang memadai misalnya dari segi penanggalannya, pihak pembuatnya yaitu militer Belanda, serta dugaan awal mengenai fungsi kedua bangunan.

Data utama kemudian akan dibandingkan dengan kedua data penunjang tersebut dengan mengamati dan menganalisis perbedaan serta persamaan komponen-komponen dasar bangunan yang serupa dengan komponen-komponen bangunan “Benteng Sembilan” mencangkup denah bangunan, atap, dinding, pintu, jendela, dan ventilasi bangunan, serta analisis terhadap lokasi pendirian bangunan. Dengan menganalisis persamaan dan perbedaan komponen-komponen tersebut dari dua bangunan

(7)

pertahanan yang sudah memiliki kejelasan mengenai bentuk dan fungsinya, maka diharapkan akan memudahkan proses penelitian bentuk dan fungsi dari “Benteng Sembilan” sebagai objek utama penelitian. Selain dari komponen bangunan, analisis khusus dan perbandingan juga akan dilakukan terhadap lokasi dari ketiga bangunan pertahanan. Perbandingan lokasi dilakukan guna memperjelas dan memperkuat interpretasi mengenai fungsi bangunan yang akan dilakukan dalam tahap penelitian selanjutnya.

Tahap penelitian yang terakhir adalah penafsiran data hasil analisis. Pada tahap ini data-data yang didapat dari hasil analisis khusus dan analisis perbandingan akan digunakan terutama untuk menginterpretasikan fungsi dari bangunan “Benteng Sembilan”. Di samping itu, interpretasi yang akan dilakukan juga mencangkup interpretasi mengenai pihak pembuatnya bangunan, masa pendirian bangunan, dan kaitan bangunan tersebut dengan peristiwa sejarah yang terjadi pada masa itu. Penafsiran yang dilakukan dalam tahap ini diharapkan dapat menjawab permasalahan penelitian dan juga menjelaskan identitas bangunan ini secara lebih spesifik.

Bangunan Pertahanan Abad-20

Bangunan pertahanan atau lebih dikenal dengan istilah benteng dibangun dengan tujuan awal melengkapi salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan rasa aman (Koentjaraningrat, 1985: 5-6). Pada masa awal pembangunannya, bangunan benteng dibangun sebagai pusat aktivitas seperti tempat tinggal dan pusat pemerintahan yang merangkap sebagai tempat perlindungan. Di masa kemudian, bangunan benteng dibangun dengan tujuan lebih khusus yaitu sebagai tempat berlindung dari serangan musuh ketika ada potensi peperangan.

Bangunan benteng di Indonesia khususnya dapat dikelompokan berdasarkan fungsi bangunan dan periode waktu pembangunannya. Berdasarkan fungsinya, Novida Abbas mengelompokan benteng ke dalam dua kelompok yaitu pertama, benteng yang berfungsi sebagai sarana pertahanan yang dapat melaksanakan fungsi ofensif dan defensif. Benteng ini memiliki ciri fasilitas penunjang seperti lubang-lubang penembakan dan bastion pada tiap sudut benteng yang bertujuan untuk memudahkan menembak ke segala arah tanpa perlu menampakan diri. Benteng yang

(8)

memiliki fungsi ofensif dan defensif biasanya ditempatkan pada lokasi-lokasi strategis seperti di pusat kegiatan suatu kota, tepi jalur jalan utama, puncak bukit yang memungkinkan pengawasan daerah sekitarnya, dan tepi pantai atau sungai yang merupakan jalur keluar-masuk pelabuhan maupun kota. Kedua, benteng yang memiliki fungsi sebagai tempat penyimpanan logistik, pendidikan, latihan, dan penjara. Benteng-benteng yang memiliki fungsi ini umumnya tidak dilengkapi fasilitas ofensif dan defensif serta keletakannya cukup tersembunyi dan jauh dari pusat kegiatan maupun jalur utama suatu kota (Abbas, 2001:35-36).

Berdasarkan periode waktu pembangunannya, bangunan pertahanan atau benteng dibangun dengan bentuk dan fungsi yang berbeda, sesuai dengan kebutuhan, strategi militer, serta perkembangan teknologi yang ada pada pada kurun waktu tertentu. Pada abad ke-14, benteng dibangun dengan ukuran besar dan dikelilingi tanggul tanah, namun ketika mulai diciptakannya teknologi meriam pertama dalam masa tersebut, tanggul tanah dianggap tidak mencukupi untuk menahan tembakan meriam sehingga diperlukan bangunan pertahanan dengan rancang bangun khusus untuk menahan tembakan meriam (Brice 1990: 7). Pada abad 15-17, benteng dibangun masih dalam ukurang yang besar dan masif, dilengkapi dengan perlindungan tambahan berupa dinding keliling, baik yang berbentuk “v” maupun dinding keliling berbentuk bintang, serta adanya parit yang dibangun mengelilingi benteng. Ciri lainnya dari benteng yang berkembang dari masa ini adalah adanya bastion pada sudut dan sisi-sisi tertentu bangunan benteng. Pada abad 18-19, penggunaan bastion mulai ditinggalkan dalam pembangunan suatu bangunan benteng. Hal ini didasarkan adanya revolusi industri di Inggris dan penemuan laras meriam beralur yang memungkinkan peluru meriam meluncur ke sasaran dengan akurat dan stabil (Beazley, 1998: 312), menyebabkan sistem pertahanan dengan bastion menjadi kurang efektif lagi karena amunisi dapat ditembakan dari jarak yang lebih jauh dengan keakuratan dan daya hancur yang lebih besar. Benteng yang dibangun dalam kurun waktu abad 18-19 lebih berfokus pada kekuatan dinding bangunannya yang kuat, yang diharapkan dapat menahan serangan dari berbagai senjata modern yang berkembang kala itu. Penguatan dinding bangunan pertahanan atau benteng ditunjang juga dengan penemuan semen Portland pada abad ke-19 M yang menjadi salah satu unsur pendorong penggunaan beton bertulang dalam pembuatan bangunan-bangunan pertahanan. Selain itu, guna meminimalisir bangunan pertahanan atau benteng dari

(9)

serangan tembakan, bangunan benteng dibuat lebih rendah dari sebelumnya tanpa harus mengorbankan ruang yang diperlukan untuk meriam, peralatan, pasukan, dan logistik yaitu dengan cara membangun benteng ke dalam tanah (Brice, 1999: 130-131).

Sementara itu bangunan-bangunan pertahanan yang dibangun pada abad-20, tepatnya ketika Perang Dunia 1 dan 2 berlangsung, pada umumnya memiliki ciri tergabung dalam satu sistem pertahanan yang saling mendukung. Umumnya juga terintegrasi dengan jalur komunikasi dan suplai yang konstan (Abrianto, 2011: 70). Bentuk dan ukuran bangunan-bangunan pertahanan yang dibangun pada masa ini tidak terlalu besar seperti bangunan pertahanan masa-masa sebelumnya, terbuat dari beton bertulang dengan ketebalan dinding yang memadai mengatasi serangan meriam modern, dan apabila memungkinkan dibangun ke dalam tanah, meskipun ada juga yang berada di atas permukaan tanah (Abrianto, 2008: 120). Karakteristik bangunan pertahanan abad ke-20 tersebut didasari oleh perkembangan teknologi dan strategi masa itu. Teknologi perang yang berkembang pada masa itu diantaranya peledak dengan kekuatan besar dan eksplosif, artileri dengan jarak jangkauan jauh, tank, senapan mesin, dan senapan otomatis. Strategi pertempuran juga berubah dari pasif dan tidak bergerak menjadi pertempuran dinamis dan bergerak dimana medan pertempuran dapat berpindah dengan cepat dalam waktu singkat yang tentu memerlukan komunikasi secara intensif serta jalur perlengkapan yang dapat bergerak dan menyesuaikan diri dengan keperluan. Maka dari itu, bentuk bangunan pertahanan atau benteng dengan karakteristik bangunan yang besar, kokoh, statis, dan berada di permukaan tanah tidak lagi efektif dan digunakan di masa ini (Abrianto 2011: 69).

Bangunan pertahanan dari abad 20 juga memiliki karakterisitik lainnya yang membedakan dengan bangunan pertahanan dari masa sebelumnya yaitu lokasi pembangunannya tidak lagi ditempatkan di tepi pantai. Pada masa ini bangunan pertahanan pesisir pantai mulai ditinggalkan karena dianggap tidak lagi efektif dalam menghadapi serangan senjata modern yang dapat ditembakan bahkan dari jarak sejauh 30 km seperti halnya misil dan roket (Hogg, 1981: 242). Fokus bangunan pertahanan masa itu kemudian bukan lagi pada lokasinya yang berada di pesisir pantai, namun seringkali ditempatkan di tengah perkotaan dan dititikberatkan pada bahan pembangunannya yang diperkuat dengan bahan bangunan beton. Bangunan

(10)

pertahanan beton pada masa perang modern telah terbukti dapat bertahan terhadap serangan bom atom, seperti pada peristiwa bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, dan serangan nuklir, berdasarkan uji coba nuklir yang dilakukan di Australia dan USA. Selain penggunaan bahan beton yang kuat, bangunan pertahanan modern juga memiliki dinding-dinding yang kuat dan dibangun di bawah permukaan tanah. Jika dibangun di atas permukaan tanah, maka atap bangunannya didesain secara khusus dengan tujuan untuk melindungi diri dari serangan-serangan bom (Hogg, 1981: 243-244).

Bangunan pertahanan modern pada dasarnya tetap memiliki ide, prinsip dasar, dan fungsi yang sama dengan bangunan pertahanan yang berasal dari masa sebelumnya seperti misalnya bangunan pertahanan rancangan Vauban, yaitu sama-sama dibuat dengan tujuan untuk memusatkan kekuatan serangan dan memenangi suatu peperangan. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa dari segi arsitektur dan estetika, bangunan pertahanan modern tidak semenarik bangunan pertahanan yang berasal dari masa-masa sebelumnya (Hogg, 1981: 249). Hal inilah yang mungkin menjadi satu perbedaan yang mencolok dari bangunan pertahanan modern dengan bangunan pertahanan masa-masa sebelumnya.

Teknik Pendirian Bangunan Pertahanan Modern Belanda

Menurut Tjoe dkk (2002: 32) , untuk mendesain dan membangun sebuah bangunan pertahanan yang baik, ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan dasar dari sebuah bangunan pertahanan:

• Memiliki saluran udara atau ventilasi yang baik • Tidak ada pintu yang kedap udara

• Memiliki sejumlah pos observasi yang cukup untuk memantau pergerakan musuh

Lebih spesifik lagi, bangunan pertahanan yang dibangun oleh bangsa Belanda pada umumnya memiliki serangkaian karakteristik khusus yang harus dipenuhi dalam proses pembangunannya (Pusat Dokumentasi Arsitektur, Forts In Indonesia, 2010), seperti:

(11)

• Posisi dari bangunan pertahanannya harus memiliki perlindungan keliling dan tertutup dari semua sisi

• Lahan terbuka yang digunakan sebagai tempat penyerangan harus terus diperiksa secara berkala dan harus ditutupi oleh kawat berduri

• Harus terhindar dari bahaya serangan dadakan oleh musuh

• Denah rancangan bangunannya harus sederhana, harus dapat menyediakan kemungkinan pertahanan terbaik walaupun dengan jumlah pasukan yang sedikit

• Menggunakan rintangan atau fitur-fitur yang ada di alam untuk memperkuat pertahanan dari serangan musuh

• Bangunan pertahanannya harus tahan terhadap serangan senapan dan senjata-senjata yang memiliki daya ledak lainnya

• Dimensi besaran dari bangunan pertahanannya harus seminimal mungkin dengan tujuan agar dapat dilindungi dengan baik bahkan oleh jumlah pasukan yang sedikit

Berbagai ciri dan dan karakter bangunan pertahanan modern, terutama bangunan pertahanan modern yang dibangun oleh militer Belanda, yang telah disebutkan di atas akan menjadi dasar untuk proses identifikasi periode masa pembangunan serta pihak pembuat bangunan objek utama penelitian yaitu “Benteng Sembilan”. Karakter bangunan yang disebutkan di atas digunakan selama proses identifikasi bangunan, baik identifikasi awal pada denah bangunan, maupun identifikasi langsung di lapangan. Meskipun demikian, poin-poin di atas bukanlah syarat mutlak dari suatu bangunan pertahanan modern milik Belanda, namun secara garis besar dapat membantu proses identifikasi bahkan proses interpretasi yang dilakukan pada akhir penelitian.

Hasil dan Pembahasan

Denah merupakan satu-satunya sumber tertulis yang menyebutkan secara langsung mengenai objek utama penelitian sehingga sumber ini menjadi penting untuk dibahas secara khusus. Denah berbahasa Belanda ini memiliki judul

Ammonitie Opslagaats Petoekangan” yang berarti gudang amunisi yang berada di

(12)

aslinya. Denah ini diduga digambar oleh seseorang bernama A.J.A Hermsen di bawah persetujuan seorang Genie Chef Belanda yang bernama Mr. Cornelis pada tanggal 24 Mei 1947. Tercatat pada tanggal 25 April 1992, denah ini digambar ulang oleh Suwarno R.

Dalam denah tersebut terlihat sembilan bangunan utama yang berdiri terpisah satu sama lain ditambah dengan dua tembok memanjang yang melengkung pada salah satu ujung temboknya dengan bentuk formasi bangunan menyerupai trapesium. Pintu masuk bangunan ini berada di Selatan bangunan-bangunan tersebut. Terdapat beberapa keterangan yang menjelaskan mengenai bangunan-bangunan tersebut diantaranya penyebutaan kantoor atau kantor, Pan yang belum diketahui maksud dan arti dari kata tersebut, Opstelling Agregaat yang apabila diterjemahkan merupakan suatu preparation unit atau semacam gardu instalasi listrik, serta Decooville Rail yang diduga memaksudkan rel kereta, mungkin kereta barang, mulai dari pintu masuk hingga menuju ke depan masing-masing bangunan.

Di samping sembilan bangunan utama, terdapat juga komponen-komponen bangunan lain seperti misalnya gracht atau parit juga moeras atau rawa-rawa yang terlihat mengelilingi kesembilan bangunan utama, jembatan di depan pintu masuk,

dan wacht yang diduga memaksudkan pos penjagaan. Untuk dapat menuju bangunan

Gambar  1.  Gambar  denah  awal  bangunan  “Benteng  Sembilan”.  (Sumber:  Balai   Konservasi  Kota  Tua)  

(13)

wacht tadi, harus melewati jalur veerharde weg yang artinya merupakan sebuah jalur atau jalan yang telah diperkeras, entah dengan batu, beton, atau bahkan aspal. Di samping veeharde weg tersebut, sebelum sampai ke wacht, terdapat beberapa komponen bangunan lainnya seperti sportveld atau lapangan olahraga, legering

manschi atau diduga merupakan pangkalan pasukan, dan woning comot atau yang

diduga sebagai bangunan rumah tinggal. Semua komponen bangunan tersebut terlihat dikelilingi oleh garis yang disertai dengan tanda “x” di sisi-sisinya. Hal ini mungkin memaksudkan bahwa keseluruhan komponen bangunan dikeliling atau dilindungi oleh semacam pagar pembatas yang diduga terbuat dari kawat berduri.

Keterangan dari saksi sejarah juga menyebutkan adanya komponen yang sama seperti yang disebutkan dalam denah awal bangunan misalnya adanya perlindungan berlapis berupa pagar kayu jati, kawat berduri, serta parit yang mengelilingi seluruh kompleks bangunan “Benteng Sembilan”. Keterangan lainnya juga menyebutkan bahwa pada pertengahan tahun 1960 hingga awal tahun 2000 masih ditemukan sebuah lapangan serta bangunan kecil serupa rumah yang merujuk pada sportveld serta

woning comot pada denah awal bangunan. Komponen-komponen bangunan yang

disebutkan ini sayangnya sudah tidak dapat lagi ditemukan di lapangan, namun kesesuaian antara denah dan kondisi asli bangunan, baik kondisi di masa lalu berdasarkan keterangan saksi sejarah, maupun kondisi sekarang, menjadi suatu bukti bahwa bangunan ini merupakan bangunan milik pemerintah Belanda dan kemungkinan besar berfungsi layaknya keterangan dalam denah tersebut yaitu sebagai bangunan penyimpanan senjata dan amunisi milik pemerintah Belanda. Interpretasi awal ini akan ditunjang dengan perbandingan bangunan ini dengan dua bangunan militer milik pemerintah Belanda lainnya yaitu Benteng Gunung Palasari dan Bangunan Pertahanan Ancol.

Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan yang dilakukan dalam rentang waktu tahun 2013 hingga 2014, “Benteng Sembilan” merupakan kompleks bangunan yang terdiri dari sembilan bangunan yang tertutup (memiliki atap) dengan ukuran bangunan yang relatif sama, namun secara keseluruhan memiliki lima tipe bentuk bangunan yang berbeda. Ke-sembilan bangunan berada di permukaan tanah, jarak antar bangunannya tidak terlalu jauh satu sama lain, dan membentuk suatu formasi yang menyerupai trapesium. Terdapat tembok atau dinding melengkung di hampir

(14)

seluruh sisi masing-masing bangunan namun tembok atau dinding penghubung ini tidak menghubungkan bangunan satu dengan bangunan lainnya. Pendeskripsian pada kompleks bangunan “Benteng Sembilan” dilakukan berdasarkan denah pembuatan bangunan “Benteng Sembilan" dengan penomoran bangunan 1-9, yang dimulai dari Barat-Timur, atau berlawanan arah dengan jarum jam.

Foto  1.  Gambar  citra  satelit  hasil  GIS  yang  memperlihatkan  tampak  atas  “Benteng   Sembilan”.  Lingkaran  merah  menunjukan  bangunan  1-­‐9,  lingkaran  biru  

menunjukan  tembok  panjang.  

Foto 2. Tampak depan sejumlah bangunan “Benteng Sembilan”: (A) Bangunan 2, (B) Bangunan 4, (C) Bangunan 7, (D) Bangunan 9.

A  

C   D  

(15)

Interpretasi Fungsi Bangunan “Benteng Sembilan”

Pemaparan analisis komponen-komponen bangunan yang dilakukan terhadap bangunan “Benteng Sembilan” dengan dua bangunan pertahanan lainnya yaitu Benteng Gunung Palasari dan Bangunan Pertahanan Ancol menunjukan fungsi serta aktivitas-aktivitas yang terkait dengan bangunan objek utama penelitian yaitu “Benteng Sembilan”. Fungsi yang akan dijelaskan dalam tahapan ini bukan sekedar memaksudkan fungsi bangunan ini sebagai bangunan pertahanan, namun fungsi dan penggunaannya dalam aktivitas militer secara lebih spesifik.

Gambar 2. Sketsa bangunan “Benteng Sembilan” yang menunjukan adanya lima tipe bentuk bangunan yang berbeda: (A) Bangunan 1,2 dan 3, (B) Bangunan 4 dan 6, (C) Bangunan 5,

(D) Bangunan 7, (E) Bangunan 8 dan 9.  

A   B  

(16)

Lokasi bangunan “Benteng Sembilan” yang berada di wilayah perkotaan Jakarta menimbulkan indikasi bahwa bangunan ini memiliki peranan yang cukup penting dan vital dalam aktivitas militer di kota Jakarta dan sekitarnya. Ditambah lagi berdasarkan undang-undang perang Staat van Beleg serta catatan perang yang ditulis Moeffreni Moe’min, wilayah Cakung tempat bangunan ini berdiri merupakan wilayah batas antara wilayah tentara Belanda dan tentara RI pada rentang waktu 1946-1949 sehingga seringkali menjadi titik pertemuan serta titik sentral perang masa itu (Majid dan Darmiati, 1999: 89). Keletakan bangunan yang berada di tengah rawa diduga mengindikasikan bangunan tersebut sengaja dibangun dengan alam rintang alam sekitarnya dengan tujuan menyamarkan dan menyembunyikan keberadaan bangunan tersebut dari musuh yaitu tentara RI. Kuat dugaan bahwa strategi semacam ini cukup berhasil pada masa itu, mengacu dari sisa bangunan yang relatif utuh hingga kini.

Dari segi formasi denah dan beberapa komponen bangunan, terlihat bahwa bangunan “Benteng Sembilan” lebih identik atau memiliki banyak kesamaan dengan bangunan Benteng Gunung Palasari sehingga mungkin saja fungsinya sama seperti Benteng Gunung Palasari yaitu sebagai bangunan penunjang dalam aktivitas militer atau perang di masa lalu yang digunakan mungkin sebagai penjara, tempat pendidikan militer, barak, atau tempat penyimpanan senjata dan amunisi perang.

Dinding bangunan “Benteng Sembilan” terbuat dari beton bertulang, mengindikasikan bangunan ini merupakan rancangan Kolonial Belanda dan menggunakan teknologi bangunan pertahanan abad 20. Teknologi beton bertulang yang digunakan pada bangunan ini menjadi suatu indikator kuat yang dapat menepis dugaan bahwa bangunan ini merupakan bangunan buatan militer Jepang. Dibandingkan dengan bangunan militer Belanda yang umumnya lebih masif dan kompleks teknologinya, bangunan militer Jepang lebih sederhana dari segi rancangan dan teknologi pembuatan bangunannya. Bangunan militer Jepang juga pada umumnya berukuran lebih kecil, tidak terintegrasi dengan bangunan lainnya (berdiri sendiri, tidak membentuk suatu formasi atau kompleks bangunan), dan sebagian besar dibangun di bawah permukaan tanah.

Dinding yang tebal dibandingkan dua bangunan pertahanan yang menjadi data banding, ditambah dengan dinding miring sebagai dinding tambahan penguat, mengindikasikan bangunan ini dirancang untuk dapat bertahan dari serangan senjata

(17)

berdaya ledak besar seperti halnya tank, meriam, bahkan bom. Selain dinding, desain atapnya yang tebal juga semakin menegaskan bahwa bangunan ini dirancang untuk tujuan tersebut. Rancangan yang dapat bertahan dari serangan senjata berdaya ledak tinggi menguatkan dugaan bahwa bangunan ini berfungsi dan digunakan sebagai bangunan penyimpanan senjata dan amunisi. Hal sesuai dengan karakteristik umum bangunan magazine atau tempat penyimpanan senjata, amunisi, dan mesiu, yang mana rancang bangunannya diharuskan bombproof atau tahan terhadap ledakan bom (Smith dalam Geier, 2010: 239).

“Benteng Sembilan” sama dengan kedua bangunan pertahanan lainnya, dahulu diduga memiliki daun pintu yang terbuat dari besi sehingga mengindikasikan bahwa bangunan ini merupakan bangunan tertutup yang penggunaanya intensif dan mungkin permanen serta ditujukan digunakan untuk jangka waktu yang panjang. Pintu tersebut juga dapat mengindikasikan bahwa bangunan dibuat dengan tujuan melindungi, menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu, entah sekelompok manusia, ataupun sejumlah benda-benda logistik perang. Akan tetapi, minimnya sirkulasi udara pada sejumlah bangunan “Benteng sembilan”, yaitu bangunan 1-3 dan 7-9, mengindikasikan bahwa bangunan tersebut tidak ditujukan untuk aktivitas manusia yang intensif, melainkan mungkin hanya digunakan sebagai tempat penyimpanan benda-benda logistik. Sisa bangunan lainnya, yaitu bangunan 4-6, sebaliknya memungkinkan adanya aktivitas manusia di dalamnya dikarenakan sirkulasi udara yang cukup bagus pada ketiga bangunan tersebut. Hal ini berarti bahwa meskipun sesuai nama aslinya , ammonitie opslagplaats, bangunan ini memiliki fungsi utama sebagai tempat penyimpanan senjata dan amunisi, namun diduga bangunan ini memiliki fungsi lain yang melibatkan banyak aktivitas manusia di dalamnya semisal kantor, barak, ataupun penjara.

Gambar

Gambar	
  1.	
  Gambar	
  denah	
  awal	
  bangunan	
  “Benteng	
  Sembilan”.	
  (Sumber:	
  Balai	
   Konservasi	
  Kota	
  Tua)	
  
Gambar 2. Sketsa bangunan “Benteng Sembilan” yang menunjukan adanya lima tipe bentuk  bangunan yang berbeda: (A) Bangunan 1,2 dan 3, (B) Bangunan 4 dan 6, (C) Bangunan 5,

Referensi

Dokumen terkait

Adapun berbagai tujuan yang sangat penting untuk melakukan kajian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh jumlah modal, lama usaha dan jam kerja terhadap pendapatan

Dalam hal ini tindak kekerasan dilakukan karena seorang guru memiliki kekuasaan di sekolah sehingga dapat dengan leluasa melakukan berbagai tindakan untuk

Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Pendidikan dengan menggunakan data kualitatif untuk mengukur aktivitas guru, aktivitas siswa, dan minat siswa

Untuk mendapatkan minimum attractive rate of return (MARR), yang digunakan sebagai acuan untuk menetapkan apakah suatu investasi jalan tol layak atau tidak layak

Cilj ovog teorijskog rada je prikupiti podatke iz što većeg broja znanstvenih studija te opisati mogućnosti liječenja bolesnika oboljelih od multiple skleroze, s naglaskom

Puji syukur kehadiran Allah SWT atas segala rahmat dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul: ”Pengaruh Kondisi Lingkungan Kerja

Keempat, proses terjadinya transformasi Islam berawal dari hancurnya kerajaan Demak yang memiliki dasar Islam putihan dan digantikan oleh kerajaan Pajang

Tepung umbi teki Cyperus rotundus pada konsentrasi 50 g L -1 dinilai cukup efektif dalam menekan perkecambahan biji gulma Asystasia gangetica pada media