• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Keaktifan Berorganisasi dan Kompetensi Interpersonal

Leny & P. Tommy Y. S. Suyasa

Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara

ABSTRACT

This research aimed to examine the relationship between the activeness in participating at student’s organization and interpersonal competence on college students. Subjects were students from Tarumanagara University (N = 156). A questionnaire was used to collect the data. The data were analyzed through Pearson’s correlation test. The result shows that there is a positive and significant correlation between the activeness in participating at student’s organization and interpersonal competence on college students.

Keywords: interpersonal competence, college student, organization

Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, manusia senantiasa memiliki kebutuhan dasar untuk mengembangkan hubungan interpersonal yang hangat dengan sesama manusia (Baron & Byrne, 2004; Thalib, 1999). Untuk dapat menjalin hubungan yang hangat dengan orang lain, dibutuhkan kecakapan yang memampukan individu untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi (Lukman, 2000). Kecakapan ini dikenal juga dengan istilah kompetensi interpersonal.

Menurut Buhrmester (1996), kompetensi interpersonal merupakan kecakapan atau kemampuan yang sangat diperlukan guna membangun, membina, dan memelihara hubungan interpersonal yang akrab, misalnya hubungan dengan orangtua, teman dekat, dan pasangan. Adanya kompetensi interpersonal ini membuat seseorang merasa mampu dan terampil untuk menjalin hubungan yang efektif dengan orang lain dan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam situasi hubungan antarpribadi. Sebaliknya, kurangnya kompetensi interpersonal tersebut dapat mengakibatkan ketidakmampuan dalam penyesuaian diri dan terganggunya kehidupan sosial seseorang.

Keberadaan kompetensi interpersonal dalam kehidupan sehari-hari sangat diperlukan oleh setiap individu, tidak terkecuali oleh mahasiswa. Menurut Nashori

(2)

(2000), kompetensi interpersonal mahasiswa dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang turut mempengaruhi kompetensi interpersonal mahasiswa adalah aktivitas dan partisipasi sosial yang dijalaninya. Keikutsertaan mahasiswa pada berbagai kegiatan yang dilakukan bersama-sama dengan orang lain serta kebiasaan untuk hidup bersama dan mengembangkan pergaulan yang akrab akan menjadikan kompetensi interpersonal mahasiswa menjadi berkembang (Mahoney & Cairns, 1997; Mahoney, Cairns, & Farmer, 2003).

Nashori (2000) berpendapat bahwa mahasiswa dapat memanfaatkan berbagai bentuk kegiatan organisasi kemahasiswaan yang tersedia di kampus untuk membiasakan dirinya hidup bersama dan mengembangkan pergaulan yang akrab dengan orang lain. Kesempatan untuk mengembangkan pergaulan yang akrab dengan orang lain dapat diperoleh salah satunya dengan cara aktif dalam organisasi kemahasiswaan.

Mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung senang melibatkan diri dalam pelaksanaan berbagai acara maupun kegiatan yang diadakan oleh organisasi kemahasiswaan tempatnya bergabung, misalnya dengan cara menjadi panitia maupun pengurus organisasi (Priambodo, 2000). Dalam menjalankan tugasnya sebagai panitia maupun pengurus organisasi, mahasiswa seringkali dihadapkan pada situasi kerja sama dengan orang lain. Dalam situasi kerja sama, mahasiswa harus mampu untuk menyesuaikan diri dengan orang yang berada dalam lingkungan kerja sama tersebut. Selain itu, mahasiswa juga harus mampu untuk mengatasi berbagai konflik antarpribadi yang mungkin muncul dalam situasi kerja sama tersebut. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dan untuk mengatasi konflik antarpribadi ini dapat berkembang seiring dengan keaktifan mahasiswa di dalam organisasi kemahasiswaan (Nashori, 2000). Lebih lanjut, keaktifan di dalam organisasi kemahasiswaan dapat menjadikan kompetensi interpersonal mahasiswa menjadi tumbuh dan berkembang.

Mahasiswa yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik ditandai dengan berkembangnya kemampuan untuk berinisiatif dalam memulai hubungan interpersonal, kemampuan untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampuan untuk mengatasi konflik yang mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Buhrmester,

(3)

Furman, Wittenberg, & Reis, 1988). Melalui berbagai pengalaman yang diperoleh mahasiswa seiring dengan keaktifannya dalam organisasi kemahasiswaan, kemampuan-kemampuan tersebut dapat semakin dikembangkan.

Berdasarkan keseluruhan pembahasan yang telah dikemukakan di atas, terlihat adanya fenomena hubungan positif antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa. Dalam pengertian, semakin tinggi tingkat keaktifan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan, semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya. Dengan bermaksud menguji fenomena yang ada, maka peneliti tertarik untuk mengungkapkan keberadaan hubungan antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa.

Organisasi Kemahasiswaan

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 1999, organisasi kemahasiswaan adalah suatu wadah yang dibentuk untuk melaksanakan peningkatan kepemimpinan, penalaran, minat, kegemaran, dan kesejahteraan mahasiswa dalam kehidupan kemahasiswaan di perguruan tinggi. Berikutnya, organisasi kemahasiswaan intra perguruan tinggi juga dipahami sebagai wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi (Surat Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998, pasal 1 ayat 1). Ada dua tujuan pendidikan tinggi. Pertama, menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Kedua, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional (Surat Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998, pasal 1 ayat 2).

Selanjutnya, dalam Surat Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998 pasal 1 ayat 5 dijelaskan pula bahwa kegiatan organisasi kemahasiswaan meliputi penalaran dan keilmuan, minat dan kegemaran, serta upaya perbaikan kesejahteraan mahasiswa dan bakti sosial bagi masyarakat. Organisasi kemahasiswaan tersebut diselenggarakan

(4)

berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk mahasiswa dengan memberikan peranan dan keleluasaan yang lebih besar kepada mahasiswa (Surat Keputusan Mendikbud No. 155/U/1998, pasal 2).

Menurut Joesoef (1978), organisasi kemahasiswaan merupakan wadah yang diharapkan mampu menampung seluruh kegiatan kemahasiswaan dan juga merupakan sarana untuk meningkatkan kemampuan berpikir atau bernalar secara teratur di luar perkuliahan formal, kemampuan berorganisasi, dan menumbuhkan kepemimpinan. Selanjutnya Joesoef (1978) menambahkan bahwa dibentuknya organisasi atau lembaga kemahasiswaan ini bertujuan untuk membantu mahasiswa mewujudkan kekuatan penalaran yang secara potensial dimilikinya, kelak apabila mahasiswa menerjunkan dirinya ke masyarakat setelah ia menyelesaikan studinya di perguruan tinggi.

Sementara itu menurut Launa (2000), pengertian organisasi kemahasiswaan tidak jauh berbeda dengan pengertian organisasi pada umumnya. Menurut Launa (2000), organisasi kemahasiswaan kampus merupakan suatu wadah atau organisasi yang bergerak di bidang kemahasiswaan, yang di dalamnya dilengkapi dengan perangkat teknis yang jelas dan terencana seperti struktur, mekanisme, fungsi, prosedur, program kerja, dan elemen lainnya yang berfungsi mengarahkan seluruh potensi yang ada dalam organisasi tersebut pada tujuan atau cita-cita akhir yang ingin dicapainya.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan mengenai organisasi kemahasiswaan, dapat disimpulkan bahwa organisasi kemahasiswaan adalah wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah integritas kepribadian, perluasan wawasan, peningkatan kecendekiawanan, serta peningkatan kepemimpinan, penalaran, minat, kegemaran, dan kesejahteraan mahasiswa dalam kehidupan kemahasiswaan di perguruan tinggi, yang di dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan perangkat teknis yang jelas dan terencana seperti struktur, mekanisme, fungsi, prosedur, program kerja, dan elemen lainnya yang berfungsi mengarahkan seluruh potensi yang ada dalam organisasi tersebut pada tujuan atau cita-cita akhir yang ingin dicapainya

(5)

Ciri-ciri Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

Menurut Priambodo (2000) dan Sarwono (1978), terdapat beberapa ciri yang melekat dalam diri mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Salah satu cirinya yaitu senang menghabiskan waktu dengan berbagai kegiatan kemahasiswaan. Mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan hampir selalu ingin terlibat dalam kepengurusan harian maupun kepanitiaan berbagai kegiatan dan acara yang diadakan organisasinya. Mereka bersedia untuk terlibat aktif mendorong pelaksanaan berbagai kegiatan dalam organisasi tempatnya bergabung (Priambodo, 2000; Sarwono, 1978).

Ciri selanjutnya yaitu cenderung sering duduk-duduk dan berbincang-bincang di ruangan atau kantor organisasi kemahasiswaan yang diikuti. Mahasiswa-mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung lebih banyak meluangkan waktunya untuk berkumpul di ruangan atau kantor organisasi sambil duduk-duduk dan berbincang-bincang dengan sesama anggota organisasi lainnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan organisasi yang diikuti maupun mengenai isu-isu yang beredar di lingkungan luar atau masyarakat (Priambodo, 2000).

Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Sarwono (1978), yang mengemukakan bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung lebih banyak menggunakan waktunya untuk hal-hal yang sifatnya non-akademis. Mereka lebih banyak menggunakan waktu luangnya untuk berkumpul dan berdiskusi tentang berbagai hal yang menyangkut keorganisasian dibandingkan untuk memikirkan tugas-tugas perkuliahan.

Lebih lanjut, Priambodo (2000) berpendapat bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan, khususnya yang memegang jabatan sebagai pemimpin, cenderung mempunyai wawasan yang luas tentang perkembangan dunia luar maupun tentang hal-hal yang terjadi di seputar kampus. Di samping memiliki wawasan yang luas, mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan juga cenderung memandang segala sesuatu secara kritis (Sarwono, 1978). Mereka cenderung lebih peka dan lebih kritis terhadap perkembangan kejadian-kejadian di lingkungan luar, misalnya perkembangan keadaan politik di dalam maupun luar negeri (Priambodo, 2000).

(6)

Melengkapi beberapa ciri yang telah dikemukakan sebelumnya, Sarwono (1978) berpendapat bahwa mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan juga cenderung memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat secara efektif, serta memiliki keberanian yang lebih untuk berprakarsa dan mengambil resiko dalam bertindak.

Kompetensi Interpersonal

Kompetensi interpersonal adalah kecakapan yang memampukan individu untuk berhubungan dengan individu lain secara pribadi (Lukman, 2000). Pengertian yang serupa juga dikemukakan oleh Darmawan (2002) dan Thalib (1999), yaitu: kompetensi interpersonal adalah kemampuan untuk bergaul atau menjalin hubungan dengan orang lain secara pribadi di dalam lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, tempat kerja, dan organisasi sosial lainnya.

Buhrmester (1996) mengemukakan bahwa kompetensi interpersonal merupakan kemampuan-kemampuan yang sangat diperlukan guna membangun, membina, dan memelihara hubungan interpersonal yang akrab, misalnya hubungan dengan orang tua, teman dekat, dan pasangan. Kurangnya kemampuan tersebut dapat mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial seseorang, misalnya menjadi pemalu, menarik diri, memisahkan diri dari orang lain, dan memutuskan hubungan (Buhrmester, 1996).

Lebih lanjut, kompetensi interpersonal juga dipahami sebagai kemampuan individu untuk melakukan hubungan antarpribadi yang efektif dan untuk menuntun ke arah tujuan komunikasi secara berhasil (Muhammady, 2001; Nashori, 2000). Menurut Nashori (2000), individu yang mampu melakukan komunikasi interpersonal secara efektif dapat disebut memiliki kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal dalam konteks ini memuat berbagai pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan untuk membentuk suatu interaksi yang efektif, yaitu suatu bentuk interaksi yang dikarakteristikkan ketika seseorang dapat memahami orang lain dan orang lain juga dapat memahaminya (Sperling & Berman, 1994; Zulkarnain, Lubis, & Asmara, 1997).

Kemampuan ini ditandai oleh adanya karakteristik-karakteristik psikologis tertentu yang sangat mendukung dalam menciptakan dan membina hubungan

(7)

interpersonal yang baik dan memuaskan. Di dalamnya termasuk pengetahuan mengenai konteks yang ada dalam interaksi, pengetahuan mengenai perilaku non-verbal orang lain, kemampuan untuk menyesuaikan komunikasi dengan interaksi yang tengah berlangsung dan dengan orang yang ada dalam interaksi tersebut, dan kemampuan-kemampuan lainnya (De Vito, 1997). Dalam hal ini seorang individu mampu untuk mengatur apakah hal yang akan dikomunikasikan itu layak untuk dikomunikasikan pada orang tertentu dan di lingkungan tertentu atau tidak (Muhammady, 2001; Nashori, 2000).

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan mengenai kompetensi interpersonal, dapat dirumuskan bahwa kompetensi interpersonal adalah kemampuan atau kecakapan yang diperlukan guna membangun, membina, dan memelihara hubungan interpersonal, agar dapat diperoleh kualitas hubungan interpersonal yang memuaskan, efektif, dan optimal. Adanya kompetensi interpersonal ini membuat seseorang merasa mampu dan terampil untuk menjalin hubungan dengan orang lain dan untuk mengatasi berbagai permasalahan yang mungkin muncul dalam situasi hubungan antarpribadi, terutama yang berkaitan dengan kesulitan dalam bergaul, seperti sikap cemas dan pemalu ketika berhubungan dengan orang lain, perilaku menarik diri, dan sebagainya.

Buhrmester, Furman, Wittenberg, dan Reis (1988) menyatakan bahwa secara umum kompetensi interpersonal terdiri dari lima komponen kemampuan antara lain (a) kemampuan untuk berinisiatif, (b) kemampuan untuk membuka diri atau self-disclosure, (c) kemampuan untuk bersikap asertif, (d) kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan (e) kemampuan untuk mengatasi konflik.

Mahasiswa

Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar di perguruan tinggi dan merupakan bagian dari sivitas akademika (Kansil, Soepardi, & Kansil, 1998). Pada umumnya, mahasiswa berusia antara 18-30 tahun. Dalam kerangka psikologi perkembangan, usia mahasiswa merupakan fase peralihan antara fase remaja akhir menuju dewasa awal (Pudjiwati, 1998). Pada masa remaja akhir, individu dituntut untuk lebih matang mempersiapkan diri memasuki dunia dewasa, baik secara sosial, material, intelektual, profesional, dan okupasional (Pudjiwati, 1998; Sarwono, 2003).

(8)

Persiapan memasuki kehidupan dewasa, seperti persiapan berumah tangga, memasuki kehidupan sosial dan menjadi bagian dari masyarakat, serta mendapatkan pekerjaan, merupakan karakteristik utama dalam fase ini. Semuanya itu menuntut adanya kematangan perkembangan pribadi. Namun transisi dalam fase ini tidak selamanya berjalan mulus, adakalanya mengalami hambatan yang jika tidak diatasi akan menimbulkan kekecewaan atau bahkan kegagalan dalam perkembangan kepribadiannya (Papalia, Olds, & Feldman, 2004).

Kompetensi Interpersonal pada Mahasiswa

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya mengenai mahasiswa, dapat diketahui bahwa memasuki usia mahasiswa, yang merupakan fase peralihan antara fase remaja akhir menuju dewasa awal, seorang individu dituntut untuk lebih matang mempersiapkan diri memasuki dunia dewasa. Salah satunya adalah mempersiapkan diri secara sosial. Mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas serta menjadi bagian dari masyarakat umum merupakan bagian dari tugas perkembangan yang harus dijalani mahasiswa (Pudjiwati, 1998; Sarwono, 2003).

Mempersiapkan diri untuk memasuki kehidupan sosial yang lebih luas sebenarnya telah dimulai sejak seseorang memasuki periode remaja. Memasuki periode remaja, seseorang mulai mengurangi intensitasnya untuk berinteraksi dengan orang tua dan mulai menuju ke arah teman sebaya untuk membina hubungan yang lebih akrab (Buhrmester, 1996). Pada periode ini, kebutuhan dan keinginan untuk dapat berkomunikasi dan memperoleh teman yang banyak juga semakin meningkat. Remaja mulai membentuk kelompok sahabat yang memiliki minat, kesukaan, dan nilai-nilai yang sama serta banyak menghabiskan waktu dalam kegiatan yang melibatkan banyak orang dan menginginkan kedekatan emosional dalam kelompoknya (Mastuti, 2001).

Selanjutnya seiring dengan bertambahnya usia, perkembangan sosial seseorang juga mengalami perubahan. Apabila pada perioda remaja, seseorang cenderung lebih banyak berinteraksi dengan teman yang sebaya, maka memasuki perioda atau usia mahasiswa, seseorang cenderung memperluas hubungan sosialnya. Hubungan sosial pada mahasiswa tidak hanya berorientasi pada teman sebaya,

(9)

melainkan sudah dikembangkan pada lingkungan sosial yang lebih luas, misalnya dosen dan masyarakat secara umum (Sarwono, 2003). Dalam hal ini, mahasiswa diharapkan mampu mengembangkan hubungan interpersonal yang akrab dengan orang lain dan mampu mencapai tanggung jawab sosial dengan cara melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan sosial, baik di kampus, di kantor, maupun di lingkungan umum (Pudjiwati, 1998).

Guna mengembangkan hubungan interpersonal yang akrab dengan orang lain dan mencapai tanggung jawab sosial tersebut, mahasiswa membutuhkan unsur-unsur keterampilan yang bersifat antarpribadi atau kompetensi interpersonal. Kompetensi interpersonal pada mahasiswa merupakan seperangkat kemampuan dan kecakapan yang sangat diperlukan mahasiswa guna membangun, membina, dan memelihara hubungan interpersonal dengan orang lain, agar dapat diperoleh kualitas hubungan interpersonal yang efektif, memuaskan, dan optimal (Buhrmester, 1996). Kompetensi interpersonal pada mahasiswa meliputi kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, serta kemampuan untuk mengatasi konflik yang mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Buhrmester et al., 1988). Adanya kompetensi interpersonal ini akan memampukan mahasiswa untuk bergaul dan berhubungan dengan orang lain secara efektif (Thalib, 1999).

Mahasiswa yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik dapat mengemukakan pandangan atau gagasannya secara jelas tanpa menyakiti orang lain. Mereka juga biasanya mudah mendapatkan teman, mampu berkomunikasi secara efektif dan memberikan informasi selama berkomunikasi tanpa perasaan tegang atau perasaan tidak enak lainnya. Bahkan, mahasiswa yang memiliki kompetensi interpersonal yang baik akan mampu pula mengemukakan ide-idenya secara meyakinkan kepada orang lain dan menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dalam situasi interpersonal dengan efektif (Thalib, 1999).

Lebih lanjut, Thalib (1999) berpendapat bahwa kompetensi interpersonal yang dimiliki mahasiswa akan mempengaruhi kemampuannya untuk melakukan penyesuaian diri di lingkungan kampus. Di lingkungan kampus, seorang mahasiswa dituntut untuk dapat membina hubungan interpersonal dan melakukan penyesuaian diri. Tuntutan agar mahasiswa dapat menyesuaikan diri dan dapat membina hubungan

(10)

dengan individu lain hanya dapat terwujud apabila mahasiswa memiliki kompetensi interpersonal yang cukup. Dengan adanya kompetensi interpersonal, mahasiswa akan dapat menyesuaikan diri dengan cepat di lingkungan kampus dan dapat terhindar dari isolasi sosial (Buhrmester, 1996).

Mengingat begitu pentingnya manfaat kompetensi interpersonal bagi mahasiswa, saat ini banyak bermunculan kegiatan organisasi kemahasiswaan di lingkungan kampus, yang bertujuan untuk memfasilitasi perkembangan kompetensi interpersonal pada mahasiswa. Melalui kegiatan organisasi kemahasiswaan, mahasiswa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan banyak orang serta untuk mengasah keterampilan bersosialisasi dan komunikasi. Selain itu, mahasiswa juga menjadi lebih mampu untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang dari beragam tipe kepribadian. Lebih lanjut, kemampuan mahasiswa untuk menyelesaikan konflik maupun untuk bersikap asertif juga dapat terlatih seiring dengan keterlibatan mereka pada kegiatan organisasi kemahasiswaan (Nashori, 2000).

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dirumuskan bahwa kompetensi interpersonal pada mahasiswa merupakan hal yang sangat penting guna membangun, membina, dan memelihara hubungan interpersonal yang memuaskan dan membahagiakan dengan orang lain. Adanya kompetensi interpersonal ini akan memberikan sejumlah manfaat bagi mahasiswa, diantaranya mudah mendapatkan teman, mampu melakukan komunikasi yang efektif, mampu menyampaikan perasaan dan pendapat secara proporsional, mampu menyelesaikan konflik, serta mampu menyesuaikan diri di lingkungan baru dengan baik. Lebih lanjut, kompetensi interpersonal ini dapat lebih mudah dikembangkan seiring dengan keterlibatan mahasiswa pada kegiatan-kegiatan sosial baik di lingkungan kampus maupun di lingkungan umum.

Mahasiswa yang aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan individu-individu lain dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Hal ini tentunya semakin memperkaya pengalaman mereka yang terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan dalam menghadapi individu-individu dengan berbagai karakter kepribadian. Dengan perkataan lain, mahasiswa yang aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan lebih terlatih secara sosial dan lebih kompeten dalam

(11)

menghadapi berbagai situasi interpersonal dibandingkan dengan mahasiswa yang jarang atau bahkan tidak pernah aktif dalam organisasi kemahasiswaan.

Dalam organisasi kemahasiswaan yang mengharuskan mahasiswa untuk berinteraksi secara langsung dengan individu-individu lain, mahasiswa dilatih untuk memiliki sikap inisiatif, asertif, terbuka, dan empati. Melalui kegiatan organisasi kemahasiswaan ini, mahasiswa didorong untuk menjadi pribadi yang aktif dalam berinteraksi dengan individu lain. Selanjutnya, keikutsertaan mahasiswa pada berbagai kegiatan organisasi kemahasiswaan juga akan mengembangkan keterampilan mereka dalam menyelesaikan konflik, baik yang terjadi dalam tubuh organisasi maupun konflik antarpribadi. Lebih lanjut melalui berbagai pengalaman di dalam organisasi kemahasiswaan, mahasiswa dapat memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk mengasah kepekaan dan keterampilan bersosialisasi maupun berkomunikasi serta dapat mempelajari cara-cara untuk mengembangkan jaringan sosial, baik di dalam maupun di luar kampus, cara-cara untuk beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan cara-cara untuk memelihara hubungan interpersonal yang hangat dengan orang lain. Selain itu melalui kegiatan kemahasiswaan, mahasiswa juga dibiasakan untuk hidup bersama, bekerja sama, dan mengembangkan pergaulan yang akrab dengan individu lain. Pengalaman-pengalaman seperti ini tentunya akan meningkatkan kompetensi interpersonal mahasiswa.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa umumnya mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan akan memiliki kompetensi interpersonal yang lebih baik dibandingkan mahasiswa yang tidak aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi kemahasiswaan memiliki pengalaman dan kesempatan yang lebih banyak untuk berinteraksi dan untuk memperluas jaringan pertemanan dengan individu lain. Hal ini akan membuat keterampilan sosial mahasiswa semakin terasah dan semakin kompeten dalam mengatasi situasi interpersonal sehingga mahasiswa juga menjadi lebih mampu untuk menyesuaikan diri dan membina hubungan interpersonal yang hangat ketika berhadapan dengan individu lain. Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, peneliti mengajukan hipotesis penelitian, yaitu: terdapat hubungan positif antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa.

(12)

METODE PENELITIAN Subjek

Subjek yang dijadikan responden dalam penelitian ini berjumlah 156 orang, teridiri dari 100 (64,1%) laki-laki, dan 56 (35,9%) perempuan. Berdasarkan data yang diperoleh mengenai usia, diketahui bahwa usia minimum subjek penelitian adalah 18 tahun dan usia maksimumnya adalah 25 tahun, dengan usia rata-rata subjek penelitian adalah 21,08 tahun dengan standar deviasi sebesar 1,36. Selanjutnya berdasarkan data yang diperoleh mengenai golongan usia, diketahui bahwa subjek penelitian yang berada di periode remaja akhir atau yang berusia antara 18 - 21 tahun berjumlah 99 orang (63,5%) dan subjek penelitian yang berada di periode dewasa awal atau yang berusia antara 22 – 25 tahun berjumlah 57 orang (36,5%).

Pengukuran

Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa kuesioner yang terdiri dari sejumlah butir pernyataan. Kuesioner yang diberikan kepada subjek penelitian terdiri dari empat bagian. Bagian pertama berupa pengantar yang terdiri dari salam pembuka dari peneliti, tujuan penelitian, keterangan bahwa identitas akan dirahasiakan, petunjuk pengisian, dan ucapan terima kasih atas kesediaan subjek untuk bekerja sama sebagai penutup. Selanjutnya, bagian kedua berupa surat persetujuan yang menyatakan kesediaan subjek untuk dilibatkan dalam penelitian. Kemudian, bagian ketiga berupa data kontrol yang terdiri dari usia, jenis kelamin, fakultas/jurusan, semester/angkatan, IPK, organisasi kemahasiswaan yang dikuti, jabatan dalam organisasi kemahasiswaan, lamanya bergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Terakhir, berupa skala pengukuran keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan skala kompetensi interpersonal.

Pengukuran Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan.

Variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan diukur dengan menggunakan alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada ciri-ciri mahasiswa aktivis yang dikemukakan oleh Sarwono (1978) dan Priambodo (2000).

(13)

Semakin tinggi skor total keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, maka semakin tinggi pula kecenderungan subjek untuk melibatkan diri secara aktif dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Keterlibatan tersebut antara lain ditandai dengan tingkah laku seperti: (1) sering melibatkan diri menjadi ketua organisasi, ketua panitia, koordinator, maupun anggota panitia dalam berbagai kegiatan kampus; (2) mengenal dan dikenal oleh berbagai lembaga dan pihak yang ada di lingkungan kampus; (3) selalu menyempatkan diri untuk datang ke sekretariat organisasi; (4) sering memberikan arahan maupun pandangan kepada teman-teman mengenai kondisi sosial yang diharapkan; (5) sering menanggapi permasalahan sosial yang ada secara lisan maupun tulisan; (6) sering berkomunikasi, berdiskusi, dan berkoordinasi dengan teman mengenai urusan organisasi; (7) sering mengemukakan pendapat dalam suatu forum pertemuan maupun rapat organisasi; (8) sering menggunakan sebagian besar waktu yang dimiliki untuk mengurus kegiatan organisasi; (9) memiliki lebih banyak informasi mengenai permasalahan yang terjadi di lingkungan sekitar; (10) sering mendiskusikan dan memberikan ide-ide untuk mengembangkan organisasi; (11) memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan kewajiban perkuliahan; (12) sering memberikan kontribusi atau bantuan yang bersifat materi maupun non-material (waktu, tenaga, dan pemikiran) kepada organisasi; (13) serta cenderung menyukai tantangan dan pengalaman baru. Alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang terdiri dari 36 butir memiliki koefisien konsistensi reliabilitas internal sebesar 0,943.

Pengukuran Kompetensi Interpersonal

Variabel kompetensi interpersonal diukur dengan menggunakan alat ukur kompetensi interpersonal yang dibuat oleh peneliti dengan mengacu pada teori kompetensi interpersonal yang dikemukakan oleh Buhrmester et al. (1988). Semakin tinggi skor yang diperoleh pada alat ukur kompetensi interpersonal, maka semakin subjek memiliki kemampuan atau kecakapan yang diperlukan guna membangun, membina, dan memelihara hubungan interpersonal. Dengan perkataan lain, semakin tinggi skor yang diperoleh per dimensi, maka semakin subjek memiliki kemampuan untuk berinisiatif; semakin subjek memiliki kemampuan untuk membuka diri; semakin subjek memiliki kemampuan untuk bersikap asertif; semakin subjek

(14)

memiliki kemampuan untuk memberikan dukungan emosional; dan semakin subjek memiliki kemampuan untuk mengatasi konflik. Demikian pula sebaliknya.

Pengujian reliabilitas yang dilakukan pada alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan untuk berinisiatif menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,683. Dimensi ini memuat 6 butir pernyataan, yang terdiri dari 3 butir pernyataan positif dan 3 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah: “Ketika saya sedang menghadiri suatu acara atau pesta, saya senang mengajak orang yang saya temui berkenalan lebih dulu” (butir pernyataan positif); dan “Sulit bagi saya untuk memulai pembicaraan dengan orang yang baru saya kenal” (butir pernyataan negatif).

Pengujian reliabilitas pada alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan untuk membuka diri menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,545. Dimensi ini memuat 8 butir pernyataan, yang terdiri dari 4 butir pernyataan positif dan 4 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah: “Saya berani mengemukakan hal-hal yang bersifat pribadi ketika sedang berbicara dengan orang yang baru saya kenal” (butir pernyataan positif); dan “Saya merasa enggan apabila harus menceritakan masalah dan kehidupan pribadi saya kepada orang lain” (butir pernyataan negatif).

Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan untuk bersikap asertif menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,646. Dimensi ini memuat 12 butir pernyataan, yang terdiri dari 6 butir pernyataan positif dan 6 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah: “Pada saat saya merasa tidak sepaham dengan pendapat orang lain, saya akan berterus terang” (butir pernyataan positif); dan “Saya merasa agak sungkan apabila harus menolak permintaan orang lain ” (butir pernyataan negatif).

Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan untuk memberikan dukungan emosional menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,799. Dimensi ini memuat 12 butir pernyataan, yang terdiri dari 6 butir pernyataan positif dan 6 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah: “Pada saat seseorang menceritakan masalahnya kepada saya, saya dapat ikut merasakan kesedihan dan kegelisahan yang dialami oleh orang

(15)

tersebut” (butir pernyataan positif); dan “Kadang-kadang saya cenderung acuh tak acuh dengan perasaan orang lain” (butir pernyataan negatif).

Pengujian reliabilitas alat ukur kompetensi interpersonal, dimensi kemampuan untuk mengatasi konflik menghasilkan koefisien Alpha Cronbach sebesar 0,643. Dimensi ini memuat 10 butir pernyataan, yang terdiri dari 5 butir pernyataan positif dan 5 butir pernyataan negatif. Contoh dari beberapa butir pernyataan tersebut adalah: “Dalam setiap situasi masalah yang pernah saya alami, saya selalu berhasil menemukan pilihan atau jalan keluar yang akan menguntungkan saya dan orang lain (butir pernyataan positif); dan “Kadang saya kurang memahami apa yang harus saya lakukan apabila timbul masalah antara saya dan orang lain” (butir pernyataan negatif).

Prosedur

Peneliti melakukan proses pengambilan data dari tanggal 1-14 September 2005. Tempat pengambilan data adalah di lingkungan Universitas Tarumanagara yang terletak di wilayah Jakarta Barat. Proses pengambilan data dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner lengkap yang terdiri dari kata pengantar, surat persetujuan, data diri subjek atau data kontrol, alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, dan alat ukur kompetensi interpersonal kepada subjek penelitian, yaitu mahasiswa Universitas Tarumanagara yang aktif mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan sekurang-kurangnya selama satu tahun terakhir.

Dalam proses pengambilan data di lapangan, peneliti dibantu oleh beberapa orang rekan peneliti yang sebelumnya telah diberikan penjelasan singkat (briefing) oleh peneliti mengenai garis besar penelitian, instruksi, alat ukur, dan hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam proses pengambilan data. Selanjutnya bersama dengan rekan yang telah diberikan penjelasan singkat (briefing), peneliti mendatangi subjek penelitian di setiap fakultas dan di setiap ruangan organisasi kemahasiswaan tingkat fakultas maupun tingkat universitas, meminta kesediaan waktu selama 30 menit untuk mengisi kuesioner yang tersedia, memberikan instruksi singkat dan petunjuk pengisian kuesioner, serta membagikan kuesioner kepada subjek penelitian.

Selanjutnya setelah selesai memberikan instruksi singkat, peneliti membagikan kuesioner kepada masing-masing subjek penelitian. Diperkirakan subjek

(16)

memerlukan waktu lebih kurang 30 menit untuk mengisi kuesioner tersebut sampai selesai. Kemudian setelah subjek mengembalikan kuesioner yang sudah terisi, peneliti tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya serta memberikan souvenir kepada subjek yang telah membantu peneliti.

Jumlah kuesioner yang berhasil dikumpulkan oleh peneliti adalah 244 buah. Namun, setelah dilakukan screening ternyata hanya 156 buah kuesioner yang datanya valid dan dapat dipergunakan untuk penelitian.

HASIL PENELITIAN

Analisis data penelitian yang akan dibahas meliputi gambaran mengenai keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, dan kompetensi interpersonal subjek penelitian; uji korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal; serta analisis data tambahan. Metode statistik yang digunakan untuk analisis data adalah metode deskriptif dan inferensial, yang dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 12.0.

Gambaran Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh subjek penelitian untuk variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan adalah 1,37, sedangkan skor maksimum yang diperoleh subjek penelitian untuk variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan adalah 5,69. Sementara itu, hasil rata-rata skor yang diperoleh untuk variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan adalah 3,39 dengan standar deviasi sebesar 0,94. Apabila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 3,5 (rentang skala jawaban mulai dari 1 sampai dengan 6), maka skor rata-rata keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berada di bawah titik tengah alat ukur atau cenderung rendah. Hal ini menunjukkan bahwa subjek cenderung kurang melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh organisasi kampus serta jarang memberikan kontribusi berupa waktu, tenaga, dan pemikiran bagi organisasi.

(17)

Gambaran Kompetensi Interpersonal

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa skor minimum yang diperoleh subjek penelitian untuk variabel kompetensi interpersonal adalah 2,60, sedangkan skor maksimum yang diperoleh subjek penelitian untuk variabel kompetensi interpersonal adalah 5,11. Sementara itu, hasil rata-rata skor yang diperoleh untuk variabel kompetensi interpersonal adalah 3,74 dengan standar deviasi sebesar 0,46. Apabila dibandingkan dengan titik tengah alat ukur yaitu 3,5 (rentang skala jawaban mulai dari 1 sampai dengan 6), maka skor rata-rata kompetensi interpersonal berada di atas titik tengah alat ukur atau cenderung tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa subjek cenderung mampu untuk memulai suatu interaksi dengan orang lain, untuk membuka diri, untuk bersikap asertif, untuk memberikan dukungan emosional, dan untuk mengatasi konflik dengan baik.

Tabel 1.

Gambaran keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, dan kompetensi interpersonal

Variabel M SD

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan 3,39 0,94 Kompetensi Interpersonal (Secara Umum) 3,74 0,46 - Dimensi Kemampuan untuk Berinisiatif 3,59 0,80 - Dimensi Kemampuan untuk Membuka Diri 3,39 0,69 - Dimensi Kemampuan untuk Bersikap Asertif 3,88 0,64 - Dimensi Kemampuan untuk Memberikan Dukungan Emosional 4,09 0,61 - Dimensi Kemampuan untuk Mengatasi Konflik 3,72 0,62

Uji Korelasi antara Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan dan Kompetensi Interpersonal pada Mahasiswa

Pengujian korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal dilakukan dengan menggunakan perhitungan korelasi Pearson. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa r(238) = 0,379 dan p < 0,01. Nilai ini menyatakan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara variabel keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan variabel kompetensi interpersonal. Hal ini berarti, semakin tinggi keaktifan subjek dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya.

(18)

Analisis Data Tambahan

Pada bagian ini akan dibahas mengenai hasil analisis terhadap beberapa data tambahan. Hasil analisis terhadap data tambahan ini dapat digunakan untuk melengkapi hasil analisis sebelumnya. Metode yang digunakan dalam analisis data tambahan ini adalah metode inferensial berupa independent sample t-test dan one way anova serta metode deskriptif berupa perhitungan frekuensi dan persentase, yang dilakukan dengan bantuan program SPSS versi 12.0.

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek laki-laki adalah 3,74 (SD = 0,86) dan pada subjek perempuan adalah 3,06 (SD = 0,90). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dengan independent sample t-test, diketahui bahwa t(238) = 5,905 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan. Apabila dilihat dari rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang berjenis kelamin laki-laki memiliki tingkat keaktifan yang secara signifikan lebih tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada perempuan.

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Asal Fakultas

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang paling tinggi ada pada subjek yang berasal dari Fakultas Teknik, yaitu: 3,77 (SD = 0,85). Rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang paling rendah ada pada subjek yang berasal dari Fakultas Kedokteran adalah 3,05 (SD = 0,87). Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui bahwa F(6, 233) = 4,394 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara subjek berdasarkan asal Fakultas.

(19)

Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2.

Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan asal fakultas.

Fakultas Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F

Rata-rata SD Ekonomi 3,61 0,92 4,394** Hukum 3,59 0,99 Teknik 3,77 0,85 Kedokteran 3,05 0,87 Psikologi 3,07 0,93

Seni Rupa dan Desain 3,23 0,76

Teknologi Informasi 3,71 1,28

**. Signifikan pada level 0,01

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Semester

Dari rata-rata skor tingkat keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, nampak bahwa subjek yang berada di semester 11 dan 13 tergolong memiliki tingkat keaktifan yang paling tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada subjek yang berada di semester 3, semester 5, semester 7, dan semester 9. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 3. Berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui bahwa F(5, 234) = 2,893 dan p < 0,05. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan berdasarkan semester.

Tabel 3.

Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan semester.

Semester Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F

Rata-rata SD 3 3,05 0,81 2,893* 5 3,54 0,81 7 3,33 0,98 9 3,28 0,97 11 4,27 0,52 13 4,07 2,28

*. Signifikan pada level 0,05

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) Apabila dilihat dari rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang memiliki nilai IPK di bawah 2.00 memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada subjek yang memiliki nilai IPK di atas 2.00. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4. Berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui bahwa F(3, 236) = 3,512 dan p < 0,05. Artinya, ada

(20)

perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara subjek yang memiliki nilai IPK di bawah 2.00 dan subjek yang memiliki nilai IPK di atas 2.00.

Tabel 4.

Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaani berdasarkan golongan IPK.

Golongan IPK Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F

Rata-rata SD

< 2.00 4,04 0,47 3,512*

2.00 – 2.75 3,52 0,98

2.76 – 3.50 3,16 0,88

3.51 – 4.00 3,51 0,70

*. Signifikan pada level 0,05

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Status Keikutsertaan dalam Organisasi Kemahasiswaan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan adalah 3,84 (SD = 0,78), sedangkan rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang tidak ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan adalah 2,56 (SD = 0,59). Sementara itu berdasarkan hasil analisis dengan independent sample t-test,diketahui bahwa t(238) = -14,220 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara subjek yang ikut serta dan yang tidak ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan.

Apabila dilihat dari rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada subjek yang tidak ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan ini memiliki kemampuan untuk membedakan tingkat keaktifan antara kelompok subjek yang ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan dengan kelompok subjek yang tidak ikut serta dalam kegiatan organisasi kemahasiswaan. Dengan perkataan lain, alat ukur keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan ini memiliki discriminant validity yang baik. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.

(21)

Tabel 5.

Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan status keikutsertaan dalam organisasi kemahasiswaan.

Status Keikutsertaan Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan t

Rata-rata SD

Ikut Serta 3,84 0,78 -14,220**

Tidak Ikut Serta 2,56 0,59

**. Signifikan pada level 0,01

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Jabatan dalam Organisasi Kemahasiswaan

Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai ketua organisasi adalah 2,56 (SD = 0,50). Rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai pengurus organisasi adalah 3,93 (SD = 0,64). Rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan pada subjek yang menduduki jabatan sebagai anggota biasa adalah 3,33 (SD = 0,91).

Selanjutnya berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui bahwa F(2, 153) = 32,955 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan antara subjek yang menduduki jabatan sebagai ketua organisasi, pengurus organisasi, dan anggota biasa. Apabila dilihat dari rata-rata skornya, nampak bahwa subjek yang menduduki jabatan sebagai pengurus organisasi memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada subjek yang menduduki jabatan sebagai ketua organisasi dan anggota biasa. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 6.

Tabel 6.

Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan jabatan dalam organisasi kemahasiswaan.

Jabatan Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F

Rata-rata SD

Ketua Organisasi 2,56 0,50 32,955**

Pengurus Organisasi 3,93 0,64

Anggota Biasa 3,33 0,91

(22)

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan Berdasarkan Lama Bergabung

Apabila dilihat dari rata-rata skor keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan, nampak bahwa subjek yang telah bergabung selama 4 tahun memiliki tingkat keaktifan yang cenderung paling tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan dibandingkan dengan subjek yang telah bergabung selama kurang atau lebih dari 4 tahun. Berdasarkan hasil analisis dengan one way anova, diketahui bahwa F(8, 147) = 2,781 dan p < 0,01. Artinya, ada perbedaan keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang signifikan berdasarkan lamanya bergabung. Keterangan selengkapnya dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7.

Keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan berdasarkan lama bergabung. Lama Bergabung

(dalam tahun)

Keaktifan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan F

Rata-rata SD 1 3,46 0,76 2,781** 1,5 3,60 0,89 2 3,50 0,91 2,5 3,84 0,96 3 4,21 0,83 3,5 3,52 0,84 4 4,26 0,53 4,5 4,13 0,28 5 2,60 0,00 **. Signifikan pada level 0,01

Gambaran Alasan Subjek Penelitian Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat diketahui bahwa ada 2 alasan utama yang diungkapkan oleh subjek sehingga bergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Dua alasan utama subjek tersebut adalah untuk mengembangkan hubungan sosial dan menambah teman dan untuk bereksplorasi dengan pengalaman-pengalaman baru. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8.

Gambaran alasan subjek penelitian bergabung dalam organisasi kemahasiswaan.

Alasan Bergabung Frekuensi Persentase Untuk mengembangkan hubungan sosial dan menambah teman 65 41,7 Untuk bereksplorasi dengan pengalaman-pengalaman baru 33 21,2 Untuk menyalurkan aspirasi, bakat, minat secara lebih terarah 27 17,3 Untuk mengaktualisasikan diri secara maksimal 16 10,3

Lain-lain 11 5,9

(23)

Gambaran Manfaat yang Didapatkan Subjek Penelitian dengan Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan tiga manfaat utama yang dirasakan oleh subjek yang bergabung dalam organisasi kemahasiswaan. Ketiga manfaat tersebut, yaitu: (1) adanya kesempatan untuk memperluas pergaulan dan memperoleh banyak teman; (2) adanya kesempatan untuk mempelajari dan menambah pengalaman mengenai organisasi; (3) adanya kesempatan untuk menambah pengetahuan dan wawasan akan hal-hal baru. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 9.

Tabel 9.

Gambaran manfaat yang didapatkan subjek penelitian dengan mengikuti organisasi kemahasiswaan.

Manfaat Frekuensi Persentase

Dapat memperluas pergaulan dan memperoleh banyak teman 35 22,4 Dapat mempelajari dan menambah pengalaman mengenai organisasi 34 21,8 Dapat menambah pengetahuan dan wawasan akan hal-hal baru 32 20,5 Dapat membentuk kepribadian menjadi lebih matang dan dewasa 21 13,5 Dapat belajar bekerja sama dalam kelompok atau tim 12 7,7 Dapat melatih diri untuk bertanggung jawab dengan pekerjaan atau tugas 15 9,6 Dapat berprestasi di bidang yang diminati 1 0,6

Dapat melatih kemampuan memimpin 1 0,6

Dapat mematangkan kerohanian 1 0,6

Dapat dengan bebas menggunakan fasilitas kampus 1 0,6

Dapat membantu teman-teman mahasiswa 1 0,6

Dapat mengembangkan bakat dan talenta 1 0,6

Dapat menjaga kebugaran tubuh 1 0,6

Gambaran Dampak Negatif yang Dirasakan Subjek Penelitian Selama Mengikuti Organisasi Kemahasiswaan

Berdasarkan data yang diperoleh, dapat disimpulkan ada 2 hal yang dirasakan sebagai dampak negatif oleh subjek selama mengikuti organisasi kemahasiswaan. Pertama, adalah kesulitan untuk membagi waktu antara kuliah dan kegiatan berorganisasi. Kedua, adalah timbulnya kelelahan atau terkurasnya energi fisik. Gambaran selengkapnya dapat dilihat pada tabel 10.

(24)

Tabel 10.

Gambaran dampak negatif yang dirasakan subjek penelitian selama mengikuti organisasi kemahasiswaan.

Dampak Negatif f %

Kesulitan membagi waktu antara kuliah dan organisasi 59 37,8 Cukup melelahkan, menguras energi dan stamina 56 35,9 Sering dinilai sebagai orang yang sombong, sok berkuasa, dan sok eksklusif 5 3,2 Kurang fokus pada pelajaran sehingga nilai menurun 18 11,5 Hubungan dengan orang lain menjadi agak kurang harmonis 18 11,5

PEMBAHASAN

Pengujian korelasi antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa. Ini berarti, semakin tinggi keaktifan mahasiswa dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan, maka semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya.

Hal ini dapat dipahami mengingat mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung memiliki keberanian yang lebih untuk berprakarsa dalam bertindak, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat secara efektif, serta memiliki kepekaan terhadap kejadian-kejadian yang berkembang di lingkungan sosial (Priambodo, 2000; Sarwono, 1978). Karakteristik-karakteristik tersebut dapat berkembang seiring dengan keaktifan mahasiswa dalam organisasi kemahasiswaan. Berkembangnya karakteristik-karakteristik tersebut berhubungan erat dengan kompetensi interpersonal mahasiswa yang ditandai dengan kemampuan untuk berinisiatif, kemampuan untuk membuka diri, kemampuan untuk bersikap asertif, kemampuan untuk memberikan dukungan emosional, dan kemampuan untuk mengatasi konflik yang mungkin muncul dalam situasi interpersonal (Nashori, 2000). Berikut ini adalah beberapa penjelasan mengenai hal tersebut.

Pengalaman aktif dalam organisasi kemahasiswaan melatih diri mahasiswa yang tergabung di dalamnya untuk lebih berani berprakarsa dalam bertindak. Keberanian untuk mengambil tindakan ini dapat menumbuhkan rasa kepercayaan diri mahasiswa. Dalam situasi interpersonal, keberanian untuk berprakarsa dalam

(25)

mengambil tindakan dan rasa percaya diri ini menuntun mahasiswa pada kemampuan untuk berinisiatif dalam menjalin hubungan interpersonal dengan orang lain.

Selanjutnya, aktif dalam organisasi kemahasiswaan juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa yang tergabung di dalamnya untuk berinteraksi dan berhadapan dengan orang lain dengan berbagai tipe kepribadian. Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Nashori (2000), pengalaman berhadapan dengan orang lain dengan beragam tipe kepribadian akan membiasakan mahasiswa pada kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat secara efektif. Dalam situasi interpersonal, kemampuan untuk berkomunikasi dan menyampaikan pendapat ini menuntun mahasiswa pada kemampuan untuk membuka diri, untuk bersikap asertif, dan untuk mengatasi konflik interpersonal.

Selain kedua hal di atas, mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan juga memiliki kepekaan terhadap berbagai kejadian yang berkembang di lingkungan sosial (Priambodo, 2000). Menurut Buhrmester et al. (dikutip oleh Nashori, 2000), kepekaan ini dapat menumbuhkan perasaan empati terhadap sesama. Dalam membina hubungan interpersonal, kemampuan untuk berempati terhadap sesama sangat dibutuhkan, karena adanya perasaan empati ini memberikan kemampuan pada mahasiswa untuk memberikan dukungan emosional terhadap sesamanya.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa berbagai pengalaman dan keterampilan yang diperoleh mahasiswa seiring dengan keaktifannya dalam organisasi kemahasiswaan dapat menumbuhkan kemampuan mereka untuk menjalin hubungan interpersonal yang memuaskan. Hal ini cukup menjelaskan mengapa mahasiswa yang aktif dalam organisasi kemahasiswaan cenderung memiliki kompetensi interpersonal yang baik.

Namun, perlu dipahami juga bahwa kompetensi interpersonal mahasiswa tidak hanya dapat dikembangkan melalui organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus. Selain organisasi kemahasiswaan di kampus, masih terdapat beberapa bentuk organisasi lain di luar kampus yang dapat diikuti oleh mahasiswa dalam rangka mengembangkan kompetensi interpersonalnya.

Berikutnya hasil analisis juga menunjukkan bahwa apabila dilihat dari semester dalam perkuliahan, nampak bahwa mahasiswa yang berasal dari semester 11

(26)

dan 13 (angkatan ’99 & ‘00) memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada mahasiswa yang berasal dari semester lainnya (angkatan ’04, angkatan ’03, angkatan ’02, & angkatan ’01). Hal tersebut diperkirakan disebabkan oleh lebih banyaknya waktu luang yang dimiliki oleh mahasiswa yang berasal dari angkatan ’99 mengingat kesibukan akademik yang tidak lagi padat. Banyaknya waktu luang yang dimiliki memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk lebih mengaktifkan dirinya dalam organisasi kemahasiswaan.

Lebih lanjut hasil analisis juga menunjukkan bahwa apabila dilihat dari golongan IPK, nampak bahwa mahasiswa yang memiliki nilai IPK di bawah 2.00 memiliki tingkat keaktifan yang lebih tinggi dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan daripada mahasiswa yang memiliki nilai IPK di atas 2.00. Nilai IPK yang berada di bawah rata-rata ini diperkirakan disebabkan karena ketidakmampuan mahasiswa untuk membagi waktu antara kegiatan kuliah dan kesibukan berorganisasi sehingga berdampak pada menurunnya nilai prestasi akademik. Kesibukan mahasiswa dalam mengurus berbagai hal yang menyangkut keorganisasian kadangkala membuat mereka harus mengesampingkan kegiatan kuliahnya dan tanpa mereka sadari prestasi akademik pun menjadi menurun.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pengolahan dan analisis data, diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikan antara keaktifan mengikuti organisasi kemahasiswaan dan kompetensi interpersonal pada mahasiswa. Hal ini berarti, semakin tinggi keaktifan mahasiswa dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan, semakin tinggi pula kompetensi interpersonalnya. Sebaliknya, semakin rendah keaktifan mahasiswa dalam mengikuti organisasi kemahasiswaan, semakin rendah pula kompetensi interpersonalnya.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R. A., & Byrne, D. (2004). Social psychology: Understanding human interaction (10th ed.). Boston: Allyn & Bacon.

Buhrmester, D. (1996). Need fulfillment, interpersonal competence, and the developmental context of early adolescent friendship. In W. M. Bukowski, A. F. Newcomb, & W. W. Hartup (Eds.), The company they keep: Friendship in childhood and adolescence (pp. 158—185). New York: Cambridge University Press.

Buhrmester, D., Furman, W., Wittenberg, M. T., & Reis, H. T. (1988). Five domains of interpersonal competence in peer relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 55(6), 991—1008.

Damayanti, M. G. E., Prihanto, F.X. S., & Lasmono, H. K. (1995). Hubungan antara kualitas komunikasi dalam keluarga dan self-disclosure dengan kepuasan hidup pada remaja delingkuen di lembaga permasyarakatan kelas IIA – Tangerang. Jurnal Anima, 10(38), 35—48.

Darmawan, A. (2002). Hubungan antara komunikasi interpersonal dengan keterlibatan kerja pada tenaga perawat. Jurnal Psikodinamik, 4(2), 103—112. De Vito, J. A. (1997). The interpersonal communication book (8th ed.). New York:

Harper Collins.

Huang, Y., & Chang, S. (2004, July). Academic and cocurricular involvement: Their relationship and the best combinations for student growth. Retrieved May 18, 2005, from http://www.findarticles.com/p/articles/mi_qa3752

Joesoef, D. (1978). Normalisasi kehidupan kampus dan bentuk penataan kembali kehidupan kampus. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Juriana. (2000). Kesesuaian antara konsep diri nyata dan ideal dengan kemampuan manajemen diri pada mahasiswa pelaku organisasi. Psikologika, 5(9), 65—75. Kansil, C. S. T., Soepardi, R. B. (1998). Sistem pendidikan tinggi. Jakarta: UPT

Penerbitan Universitas Tarumanagara.

Launa. (2000, Desember). Gerakan intelektual dan aksi massa mahasiswa: Refleksi dan prospeksi peran politik mahasiswa era orde baru. Widya, 183, 49—57.

(28)

Lukman, M. (2000). Kemandirian anak asuh di panti asuhan yatim Islam ditinjau dari konsep diri dan kompetensi interpersonal. Jurnal Psikologika, 5(10), 57—74. Mahoney, J. L., & Cairns, R. B. (1997). Do extracurricular activities protect against

early school dropout? Developmental Psychology, 33(2), 241—253.

Mahoney, J. L., Cairns, R. B., & Farmer, T. W. (2003). Promoting interpersonal competence and educational success through extracurricular activity participation. Journal of Educational Psychology, 95(2), 409—418.

Mastuti, E. (2001). Studi korelasi antara rasa percaya (trust) dan ketertarikan (attraction) dengan kecenderungan pengungkapan diri (self-disclosure) dalam hubungan interpersonal. Jurnal Insan, 3(1), 50—59.

Muhammady, F. F. (2001). Kompetensi komunikasi antarbudaya dalam proses interaksi kaum pedagang: Studi kasus pada proses interaksi kaum pedagang etnis Padang dan etnis Sunda di Pasar Mayestik Jakarta Selatan. Tesis tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Depok.

Nashori, F. (2000). Hubungan antara konsep diri dengan kompetensi interpersonal mahasiswa. Jurnal Anima, 16(1), 32—40.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2004). Human development (9th ed.). New York: McGraw-Hill.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi.

Priambodo, A. (2000). Sikap politik, pengaruh kelompok, dan partisipasi politik di kalangan mahasiswa: Studi deskriptif pada mahasiswa Universitas Indonesia. Skripsi tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Depok.

Pudjiwati. (1998, April). Peranan penasehat akademik dalam upaya pendewasaan mahasiswa. Widya, 151, 51—55.

Sarwono, S. W. (1978). Perbedaan antara pemimpin dan aktivis dalam gerakan protes mahasiswa: Suatu studi psikologi sosial. Tesis tidak diterbitkan, Universitas Indonesia, Depok.

Sarwono, S. W. (2003). Psikologi remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sperling, M. B., & Berman, W. H. (Eds.). (1994). Attachment in adults: Clinical and developmental perspectives. New York: The Guillford Press.

(29)

Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 155/U/1998 tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.

Thalib, S. B. (1999). Hubungan percaya diri dan harga diri dengan kemampuan bergaul mahasiswa. Jurnal Ilmu Pendidikan, 6(3), 247—256.

Zulkarnain, I., Lubis, S., & Asmara, S. (1997). Konsep diri dan efektivitas komunikasi antarpribadi. Laporan Penelitian tidak diterbitkan, Universitas Sumatera Utara.

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, untuk penerima manfaat (remaja) yang menerima layanan bimbingan kelompok menjadi pribadi yang lebih baik dalam berperilaku dan dapat

Oleh karena itu, yang menjadi syarat dapat ditempuhnya upaya hukum luar biasa adalah sangat materiil atau substansial dan syarat yang sangat mendasar adalah

Oleh karena tampaknya para pengayom kesenian atau orang-orang yang potensial dalam pengembangan kesenian tersebut kurang arif dan bijak dalam mengembangkan seni

Berdasarkan WHO katarak adalah hilangnya kejernihan lensa kristalin dari mata. Katarak merupakan suatu keadaan kekeruhan yang terjadi pada lensa akibat hidrasi lensa,

Usaha-usaha untuk mengurangi ungkitan gigi tiruan berujung bebas dilakukan dengan cara : perlua san landasan yang maksimal; pengurangan luas bidang oklusal gigi

Proses pembelian dimulai saat pembeli mengenali sebuah masalah atau kebutuhan. Kebutuhan tersebut dapat dicetuskan oleh rangsangan internal atau eksternal. Pihak

Hanya saja, agar penetrasi nilai-nilai akhlak meresap ke dalam jiwa anak, suatu keharusan bagi orang tua atau guru untuk menetapkan strategi metode apa yang pantas

Pernyataan di atas dierkuat dengan hasil angket yang menyatakan bahwa bahwa dari sejumlah 50 responden 90% menyatakan guru PAI selalu guru PAI selalu memberikan