vi
DAFTAR ISI
Halaman
PERNYATAAN ... i
ABSTRAK ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK ... viii
DAFTAR BAGAN ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 11
D. Variabel Penelitian ... 12
E. Manfaat Penelitian ... 14
F. Definisi Operasional ... 15
G. Metode Penelitian ... 17
H. Lokasi dan Sampel Penelitian ... 26
BAB II KERANGKA TEORETIK ... 27
A. Anak Tunagrahita ... 27
B. Pendidikan Seni Tari Anak Tunagrahita ... 37
C. Pendekatan Kontekstual ... 49
BAB III METODE PENELITIAN ... 61
A. Metode Penelitian ... 61
B. Operasionalisasi Variabel ... 62
C. Jenis dan Sumber Data ... 63
D. Teknik Pengumpulan Data ... 64
E. Instrumen Penelitian ... 65
F. Langkah-langkah Penelitian ... 66
G. Teknik Pengolahan Data ... 70
vii
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75
A. Hasil Pengumpulan Data ... 75
1. Pelaksanaan Proses Pembelajaran Seni Tari dengan Menggunakan Pendekatan Kontekstual di SLB-C Sukapura Bandung ... 76
2. Aplikasi Pendekatan Kontekstual di SLB-C Sukapura Bandung ... 83
a. Perencanaan Pembelajaran Seni Tari dengan Menerapkan Pendekatan Kontekstual ... 84
b. Pelaksanaan Penerapan Pendekatan Kontekstual sebagai Upaya dalam Meningkatkan Kreativitas Pembelajaran Seni Tari di SLB-C Sukapura Bandung ... 91
B. Analisis Data ... 107
1. Hasil Pengamatan pada Anak Tunagrahita Ringan di SLB-C Sukapura Bandung ... 107
a. Hasil Pengamatan dengan Menggunakan Lembaran Observasi... 107
b. Hasil Pengamatan dengan Menggunakan Skala Sikap .... 109
c. Data Hasi Tes ... 111
d. Hasil Wawancara ... 115
2. Hasil Pengumpulan Data Penunjang dari Hasil Wawancara dengan Guru Seni Tari, Kepala Sekolah ... 116
3. Hasil Pengumpulan Data Penunjang dari Hasil Studi Dokumentasi ... 119
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 121
A. Kesimpulan ... 121
B. Saran – Saran ... 124
DAFTAR PUSTAKA ... 125
LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 127
1 BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hampir setiap orang menyenangi seni bahkan bagi sebagian orang
sudah menjadi kebutuhan, karena dengan seni kehidupan terasa menjadi lebih
indah, bermakna dan menyenangkan.
Pengertian atau hakikat dari seni pada kenyataannya sangat majemuk, terbuka dan berubah sesuai perkembangan budaya dan zaman. Bentuk
manifestasi artistiknya pun beragam dengan ciri khasnya masing-masing. Seni
selalu hadir di tengah-tengah masyarakat dan menyertai perjalanan hidup
manusia, karena seni memiliki fungsi individual dan sosial. Tak hanya
mencakup kebutuhan spiritual dan ekspresi tetapi juga untuk memenuhi
kebutuhan komersial, politik, sosial, alat penerangan, propaganda, sarana
promosi, hiburan, pendidikan, terapi dan sebagainya. (Widia Pekerti
Dkk,2005:1.19)
Mengingat pentingnya seni dalam kehidupan manusia maka pemerintah memasukannya dalam kurikulum nasional. Dasar-dasar pemikiran
dimasukannya seni dalam kurikulum pendidikan nasional bertumpu pada
pokok-pokok pikiran:
Pertama, sesuai dengan sifat dan hakikat dari kesenian itu sendiri, maka
seni dalam Pendidikan di sekolah-sekolah umum seyogyanya menggunakan
2
multidisiplin dalam pendidikan seni bertujuan mengembangkan kemampuan
mengekspresikan diri dengan berbagai medium: rupa, bunyi, gerak, bahasa,
tulisan atau perpaduannya. Multidimensional dalam pendidikan seni
digunakan dalam mengembangkan pemahaman dan kesadaran bahwa
kesenian tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan banyak aspek dalam
kehidupan seperti sejarah, sosial, budaya, ekonomi, lingkungan dan
sebagainya. Adapun pendekatan multikultural dalam pendidikan seni
digunakan untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan kemampuan
mengapresiasi keragaman budaya lokal, bahkan juga global sebagai sarana
pembentukan sikap saling menghargai, toleransi dan demokratis dalam
masyarakat yang pluralistic (majemuk).
Kedua, pendidikan seni berperan dalam pembentukan pribadi yang
harmonis dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan kemampuan dasar
anak didik meliputi kemampuan: fisik, pikir, emosional, persepsi, kreativitas,
sosial dan estetika melalui pendekatan ‘belajar dengan seni’ ‘melalui seni’,
dan tentang seni’ sehingga anak didik memiliki kepekaan indrawi, rasa,
intelektual, keterampilan dan kreativitas berkesenian sesuai dengan minat dan
potensi anak didik.
Ketiga, pendidikan seni berperan mengaktifkan kemampuan dan fungsi
otak kiri dan otak kanan secara seimbang agar anak didik mampu
3
kecerdasan emosional (EQ) , kecerdasan kreatifitas (CQ), kecerdasan spiritual
(SQ) dan multi-intelegensi (MI). (Widi Pekerti dkk,2005:1.20)
Seni tari merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kesenian pada
umumnya mempunyai peran dan fungsi yang sama pula dalam kehidupan
manusia. Demikian halnya Pendidikan Seni dibutuhkan bagi anak
berkebutuhan khusus Dalam penelitian ini anak tunagrahita yang menjadi
objek penelitian. Anak Tunagrahita bagian dari anak yang dikatagorikan
anak yang berkebutuhan khusus. dan bagian yang tidak terpisahkan dengan
anak-anak pada umumnya.
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang dalam proses
pertumbuhan/perkembangannya secara signifikan (bermakna) mengalami
kelainan/penyimpangan (phisik, mental-intelektual, sosial, emosional)
dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya, sehingga mereka memerlukan
pelayanan pendidikan khusus (Direktorat PLB, 2004:5) sedangkan anak
tunagrahita diartikan anak yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata sedemikian rupa,
sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas akademik komunikasi
maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan pendidikan khusus
ketunagrahitaan mengacu pada fungsi intelektual umum yang secara
signifikan berada di bawah rata-rata normal. Bersamaan dengan itu pula,
tunagrahita mengalami kekurangan dalam tingkah laku dan penyesuaian.
4
demikian, seorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga faktor, yaitu
(1) keterlambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata, (2)
ketidakmampuan dalam prilaku adaptif, dan (3) terjadi selama perkembangan
sampai usia 18 tahun. (Direktorat PLB, 2004:16)
Pengertian lain tentang anak tunagrahita dijelaskan Amin (1995:11)
anak tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya jelas berada di bawah
rata-rata. Di samping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam
memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit, dan yang berbelit-belit.
Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari dua
hari atau sebulan atau dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya, dan bukan
hanya dalam dua hal tetapi hampir segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran
seperti: mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol,
berhitung, dan dalam semua pelajaran, yang bersifat teoritis. Dan juga mereka
kurang/terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Secara umum, anak tunagrahita dibagi menjadi 3 (tiga) yakni
tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat.
Anak tunagrahita ringan dipandang sebagai anak yang masih memiliki
kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik,
penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja meskipun kecerdasan dan
adaptasi sosialnya terhambat. Mereka masih mempunyai potensi untuk
5
melakukan penyesuaian sosial dan bahkan banyak yang dapat mandiri dalam
masyarakat. Mereka dapat melakukan pekerjaan semi skill dan sosial
sederhana. Hal tersebut di atas menyebabkan seringkali tidak dapat
diidentifikasi sampai mengikuti pelajaran di sekolah biasa selama satu atau
dua tahun karena kesulitan dalam mengikuti pelajaran dan penyesuaian diri
dengan teman-temannya.
Anak tunagrahita sedang dipandang sebagai anak yang memiliki
kemampuan intelektual umum dan adaptasi perilaku di bawah tunagrahita
ringan. Mereka dapat belajar keterampilan dasar akademik seperti berhitung
sederhana, mengenal nomor-nomor sampai dua angka dan melakukan
aktivitas mengurus diri atau self-help seperti berpakaian dan aktivitas di
kamar mandi serta melakukan pekerjaan rutin di bawah pengawasan. Anak
tunagrahita sedang pada umumnya dapat diketahui sewaktu kecil karena
mengalami keterlambatan dalam perkembangan dan kadang-kadang dapat
terlihat dari penampilan fisiknya.
Anak tunagrahita berat dipandang sebagai anak yang hampir tidak
memiliki kemampuan untuk mengurus diri, sosialisasi, dan bekerja sehingga
sepanjang hidupnya selalu tergantung pada bantuan dan perawatan orang lain.
ada dari kelompok anak tunagrahita berat yang apabila dilatih dapat
melakukan beberapa aktivitas mengurus diri dan berkomunikasi secara
sederhana serta menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar yang sangat
6
Anak tunagrahita juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dalam berbagai bidang termasuk dalam pendidikan, seperti yang tertuang
dalamUndang Undang nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional Pasal 5:
”Setiap warga mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (ayat 1), Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat 2), Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus (ayat 3), Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (ayat 4), Setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat”.
Pasal 32:
”Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa (ayat 1), Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang, masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari segi ekonomi.”
Setiap anak baik yang tergolong normal maupun tidak normal, pada dasarnya
berhak untuk memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kondisi dan
kemampuannya. Dalam PP 72 tahun 1991 Bab 2 pasal 2 disebutkan bahwa
tujuan pendidikan luar biasa adalah
7
Tujuan khusus pendidikan bagi anak tunagrahita, menurut pendapat Amin
(1995:157) adalah sebagai berikut:
1. dapat mengembangkan potensi sebaik-baiknya;
2. dapat menolong diri, mandiri dan berguna bagi masyarakat;
3. memiliki kehidupan lahir batin yang layak.
Seperti dalam kurikulum pendidikan sekolah umum, dalam kurikulum
pendidikan bagi anak tunagrahita pun terdapat mata pelajaran yang berkaitan
dengan bidang kesenian yaitu mata pelajaran seni dan budaya. Pendidikan
seni dan budaya diberikan di sekolah karena keunikan perannya yang tidak
mampu diemban oleh mata pelajaran lain. Keunikan tersebut terletak pada
pemberian pengalaman estetik dalam bentuk kegiatan berekspresi/berkreasi
dan berapresiasi melalui pendekatan seni dan budaya dan keterampilan.
Dalam Kurikulum SMPLB (Depdiknas, 2006:108) Pendidikan seni
dan budaya bagi anak tunagrahita bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut:
1. memahami konsep dan pentingnya seni dan budaya.
2. menampilkan sikap apresiasi terhadap seni dan budaya
3. menampilkan kreativitas melalui seni dan budaya.
4. menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional
maupun global.
Mata pelajaran seni budaya bagi anak tunagrahita meliputi aspek-aspek
8
1. seni rupa, mencakup keterampilan tangan dalam menghasilkan karya seni rupa lukisan, patung, ukiran, cetak mencetak, dan sebagainya. 2. seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal,
memainkan alat musik dan apresiasi karya musik.
3. seni tari , mencakup keterampilan gerak berdasarkan olah tubuh dengan dan tanpa rangsangan bunyi dan apresiasi terhadap gerak tari.
4. seni drama, mencakup keterampilan pementasan dengan memadukan seni musik, seni tari dan peran.
5. keterampilan mencakup segala aspek kecakapan hidup (life skills) yang meliputi keterampilan personal, keterampilan sosial, keterampilan vokasional, akademik.
Dalam pelaksanaannya di antara keempat bidang seni yang ditawarkan
minimal satu bidang seni sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia
serta fasilitas yang tersedia. Pada sekolah yang mampu menyelenggarakan
pembelajaran lebih dari satu bidang seni, peserta didik diberi kesempatan
untuk memilih bidang seni yang akan diikutinya sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan peserta didik. Permasalahan berdasarkan hasil observasi di
lapangan ada kecenderungan pembelajaran berorientasi pada target
penguasaan materi, terbukti hanya berhasil dalam kompetisi ‘mengingat’
jangka pendek, tapi gagal dalam membekali anak memecahkan persoalan
dalam kehidupan jangka panjang. Ditambah lagi dengan metode mengajar
yang digunakan cenderung lebih banyak memberi contoh, sementara anak
hanya menirukan contoh tersebut, yang akibatnya kreativitas anak terabaikan.
Untuk itu perlu dicari pendekatan yang efektif untuk memberdayakan siswa.
Idealnya sebuah pembelajaran menjadi bermakna jika lingkungan belajar lebih
alamiah, dan belajar dengan “mengalami” sendiri apa yang dipelajarinya,
9
Jika dikaji pembelajaran bagi anak tunagrahita program
pembelajarannya bersifat tematik, artinya dalam setiap pembelajaran tidak
terpaku pada satu mata pelajaran tetapi mengarah pada tema yang akan
diambil misalnya tentang lingkungan, kemudian guru menganalisis standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang berkaitan dengan lingkungan yang ada
pada kurikulum tiap mata pelajaran dalam program umum seperti Agama,
IPA, Matametika, Bahasa Indonesia maupun program khusus yaitu Bina Diri,
kemudian dibuat indikator untuk tiap standar kompetensi dan kompetensi
dasar, jadi dalam satu kegiatan pembelajaran dapat disusun indikator yang
dikembangkan dari standar kompetensi dan kompetensi dasar ada pada tiap
mata pelajaran yang berkaitan dengan tema yang diambil.
Berdasarkan permasalahan di atas peneliti bermaksud melakukan
penelitian pendekatan kontekstual. Pendekatan Kontekstual (Contextual
Teaching and Learning (CTL)) merupakan konsep belajar yang membantu
guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata
yang dialami oleh siswa dan mendorong mereka membuat hubungan antara
pengetahuan yang telah ada pada siswa dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep
itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses
pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan
mengalami bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi
10
Bagi anak tunagrahita dengan keterbelakangannya dari segi mental dan
intelektual mengalami hambatan dalam proses pendidikannya, diantaranya
dalam mengikuti hal-hal yang abstrak . Memperhatikan keadaan anak
tunagrahita yang demikian, maka pendekatan kontekstual diharapkan dapat
membantu anak belajar dengan mengalami sendiri kekhususannya belajar
dalam pelajaran menari.
Berdasarkan paparan di atas peneliti melakukan penelitian dengan
judul:
” MODEL PEMBELAJARAN SENI TARI BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN MELALUI PENDEKATAN KONTEKSTUAL (Penelitian Tindakan Kelas Di Sekolah Luar Biasa C Sukapura Bandung)
B. Rumusan Masalah
Memilih masalah dan katagori apa yang akan diteliti merupakan
prasyarat penting , sehingga langkah berikutnya dalam merancang prosedur
kerja bisa berjalan dengan tepat dan efektif. Berdasarkan uraian yang
dipaparkan pada bagian latar belakang masalah, maka dapat ditarik rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana model pembelajaran dengan pendekatan kontekstual pada
pembelajaran seni tari bagi anak tunagrahita ringan?
2. Bagaimana proses penerapan model pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran seni tari
11
3. Bagaimana hasil pembelajaran seni tari bagi anak tunagrahita ringan
dengan menggunakan pendekatan kontekstual
C. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka
tujuan umum penelitian ini yaitu mengkaji keterkaitan antara pendekatan
kontekstual dengan aktifitas belajar siswa dalam pembelajaran seni tari.
Tujuan khusus yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui dan menganalisis:
1. Untuk memperoleh data tentang model pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual pada pembelajaran seni tari bagi anak tunagrahita ringan.
2. Untuk memperoleh data tentang proses penerapan model pembelajaran
dengan pendekatan kontekstual pada pembelajaran seni tari bagi anak
tunagrahita ringan.
3. Untuk memperoleh data tentang hasil pembelajaran seni tari bagi anak
12
D. Variabel Penelitian
Setiap masalah penelitian harus mengandung variabel yang jelas
sehingga memberikan gambaran data dan informasi apa yang diperlukan
untuk memecahkan masalah tersebut pengertian variabel menurut Nana
Sujana (2001:11) adalah ciri atau karakteristik dari individu, objek, peristiwa
yang nilainya bisa berubah-ubah. Ciri tersebut memungkinkan untuk
dilakukan pengukuran baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.
Dalam penelitian terdapat dua variabel, yakni variabel bebas atau
variabel prediktor (independent variable) sering diberi notasi X adalah
variabel penyebab atau yang diduga memberikan suatu pengaruh atau efek
terhadap peristiwa lain, dan variabel terikat atau variabel respons (dependent
variable) sering diberi nama notasi Y, yakni variabel yang ditimbulkan atau
efek dari variabel bebas. Nana Sujana (2001:12)
Variabel bebas atau variabel X dalam penelitian ini adalah pendekatan
kontekstual, dalam pembelajaran seni tari yang dipadukan dengan pelajaran
lain dalam hal ini sesuai dengan tema yang akan diambil. Dalam hal ini akan
diambil beberapa tema misalnya tentang lingkungan hidup dengan sub tema
Bercocok Tanam.
Dalam proses pembelajarannya, sebagai descriptor dari varibel terikat
adalah sebagai berikut:
1. Kemampuan siswa dalam menjawab pertanyaan tentang cara-cara
13
2. Kemampuan siswa untuk mengenali jenis-jenis tanaman yang ditanam di
sekolah.
3. Kemampuan siswa untuk mengenali alat-alat pertanian yang digunakan
untuk bercocok tanam.
3. Kemampuan menggunakan alat-alat pertanian yang distilasi menjadi
gerak-gerak tari.
4. Kemampuan merangkai gerak-gerak tari dari stimulus cara bercocok
tanam.
Variabel terikat atau variable Y adalah proses hasil belajar siswa
tunagrahita dalam pembelajaran tari. Variabel tersebut dijabarkan sebagai
berikut :
1. Di dalam kelas guru melakukan tindakan appersepsi dengan menggunakan
metode tanya jawab dengan para siswa tentang bercocok tanam.
2. Para siswa diperkenalkan jenis-jenis tumbuhan yang bisa ditanam di
halaman sekolah.
3. Pada para siswa ditunjukan alat-alat yang dapat dipergunakan dan para
siswa menyebutkan nama-nama alat yang ditunjukan tersebut.
4. Kepada para siswa ditunjukan bagaimana cara menggunakan alat
pertanian misalnya cangkul, dalam kegiatan ini ditunjukan gerakan
mencangkul dengan bentuk gerak yang distimulir.
5. Para siswa dibawa ke halaman sekolah/kebun sekolah untuk belajar
14
Untuk mengukur proses dan hasil belajar siswa dipergunakan beberapa
format penilaian diantaranya: Lembar Observasi, skala sikap dan Lembar
Kerja Siswa.
E. Manfaat Penelitian
Kegunaan yang dapat diambil dengan mengangkat penelitian ini,
adalah sebagai berikut:
1. Kegunaan Teoritis
Dengan penelitian ini diharapkan akan menambah informasi bagi
pengembangan metode, model atau pendekatan yang dapat meningkatkan
aktifitas belajar siswa dalam pelajaran seni tari bagi anak tunagrahita.
2. Kegunaan Praktis
Penelitian ini diharapkan akan berguna bagi lembaga atau individu yang
menaruh perhatian pada pembelajaran seni tari dan anak tunagrahita,
diantaranya:
a. Bagi Lembaga Pendidikan anak berkebutuhan khusus atau Sekolah
Luar Biasa, dalam peningkatan layanan pendidikan terutama dalam
pengembangan metode, model dan pendekatan pembelajaran,
khususnya pada pembelajaran seni tari, agar lebih aktif, efektif, variatif
dan bermakna
b. Bagi sekolah-sekolah reguler yang menerapkan program inklusif dalam
15
pengembangan metode, model dan pendekatan pembelajaran yang
disesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak.
c. Bagi mahasiswa program seni tari dan mahasiswa PLB adalah sebagai
bahan rujukan untuk penelitian selanjutnya, khususnya dalam model
pembelajaran dan pendidikan seni budaya.
d. Bagi Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) sebagai lembaga
pendidikan yang memberikan informasi pada stakeholder, penelitian
diharapkan dapat menjadi bahan informasi.
F. Definisi Operasional
Untuk menghindari salah penafsiran terhadap maksud penelitian ini
maka dipandang perlu membatasi definisi operasional tentang hal yang
berkaitan dengan penelitian ini
Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning)) atau
dengan singkatan CTL, merupakan konsep belajar yang membantu guru
mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata yang
dialami oleh siswa dan mendorong mereka membuat hubungan antara
pengetahuan yang telah ada pada siswa dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep
itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. “Proses
16
mengalami bukan tranfer pengetahuan dari guru kepada siswa. Strategi
pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil” .(Depdiknas,2002:1),
. Pembelajaran seni tari merupakan kegiatan yang tidak hanya melihat
dan mendengarkan, tapi menuntut anak didik untuk melakukan gerakan ritmis
sesuai irama tertentu. Maka dengan demikian pendekatan kontekstual ini
sangat tepat digunakan dalam pembelajaran seni tari, baik pada anak-anak
normal maupun anak-anak tunagrahita.
Anak tunagrahita adalah “anak yang secara nyata mengalami
hambatan dan keterbelakangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata
sedemikian rupa sehingga mengalami kesulitan dalam tugas-tugas
akademik, komunikasi maupun sosial, dan karenanya memerlukan layanan
pendidikan khusus”. (Direktorat PLB, 2004:16). Anak tunagrahita ringan
merupakan bagian dari anak yang masih memiliki kemampuan untuk
berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan
kemampuan bekerja meskipun kecerdasan dan adaptasi sosialnya terhambat.
Mereka masih mempunyai potensi untuk menguasai mata pelajaran akademik
di sekolah dasar, mampu dididik untuk melakukan penyesuaian sosial dan
bahkan banyak yang dapat mandiri dalam masyarakat. Anak tunagrahita
ringan, meskipun mengalami hambatan dalam memahami hal yang abstrak,
maka dengan pendekatan kontekstual ini sangat tepat digunakan dalam
17
Definisi operasional dari judul “Model Pembelajaran Seni Tari Bagi
Anak Tunagrahita Ringan Melalui Pendekatan Kontekstual” dalam penelitian
ini adalah, suatu bentuk atau konsep pembelajaran seni tari yang diperuntukan
bagi anak tunagrahita ringan, yakni anak yang mengalami keterbelakangan
mental dan intelektual, melalui suatu pendekatan kontekstual. Pendekatan
kontekstual ini mengaitkan materi seni tari yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata yang dialami siswa, dengan harapan dapat mendorong mereka
membuat hubungan antara pengetahuan seni tari yang ada pada siswa dengan
kehidupan nyata yang ada dalam lingkungan hidupnya.
G. Metodologi Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan adalah Penelitian Tindakan
Kelas (PTK) “yaitu suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif
terhadap beberapa ‘aksi’ atau tindakan yang dilakukan oleh guru/pelaku,
mulai dari perencanaan sampai dengan penilaian terhadap tindakan nyata di
dalam kelas yang berupa kegiatan belajar mengajar untuk memperbaiki
kondisi pembelajaran yang dilakukan”. (Depdiknas, 2003:9), sedangkan
menurut Elliot (Depdiknas,2003:7) bahwa yang dimaksud dengan PTK ialah
“kajian tentang situasi sosial dengan maksud untuk meningkatkan kualitas
tindakan di dalamnya. seluruh prosesnya, telaah, diagnosis, perencanaan ,
pelaksanaan yang diperlukan antara evaluasi diri dari perkembangan
18
Mc.Taggart, yang mengatakan bahwa “PTK adalah suatu bentuk refleksi diri
kolektif yang dilakukan oleh peserta-pesertanya dalam situasi sosial untuk
meningkatkan penalaran dan keadilan praktik-praktik itu dan terhadap situasi
tempat dilakukan praktik-praktik tersebut” (Depdiknas,2003:7) Sedangkan
Siswojo Hardjodiputro, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah
PTK adalah
“suatu pendekatan untuk memperbaiki pendidikan melalui perubahan dengan mendorong para guru untuk memikirkan praktik mengajarnya sendiri agar kritis terhadap praktik tersebut, dan agar mau untuk mengubahnya. PTK bukan sekedar mengajar , PTK mempunyai makna sadar dan kritis terhadap mengajar, dan menggunakan kesadaran kritis terhadap dirinya sendiri untuk bersiap terhadap proses perubahan dan perbaikan proses pembelajaran. PTK mendorong guru untuk berani bertindak dan berpikir kritis dalam mengembangkan teori dan rasional bagi mereka sendiri, dan bertanggung jawab mengenai pelaksanaan tugasnya secara professional”. (Depdiknas,2003:7)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan PTK adalah suatu penelitian yang dilakukan secara sistematis reflektif
terhadap berbagai tindakan yang dilakukan oleh guru yang sekaligus sebagai
peneliti, sejak disusunnya suatu perencanaan sampai dengan penilaian
terhadap tindakan nyata di dalam kelas berupa kegiatan belajar mengajar,
untuk memperbaiki kondisi pembelajaran yang dilakukan.
Berdasarkan jenisnya menurut Chein (Depdiknas,2003:15) PTK ada
empat jenis, yaitu “(a) PTK Diagnostik, (b) PTK partisipan, (c) PTK empiris,
dan (d) PTK eksperimental. Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan
PTK eksperimental”. Yang dikatagorikan sebagai PTK eksperimental ialah
19
atau strategi secara efektif dan efisien di dalam suatu kegiatan belajar
mengajar. Di dalam kaitannya dengan kegiatan belajar mengajar
dimungkinkan terdapat lebih dari satu strategi atau teknik yang diterapkan
untuk mencapai suatu tujuan instruksional. Dengan diterapkannya PTK ini
diharapkan peneliti dapat menemukan cara mana yang efektif dan efisien
dalam rangka untuk mencapai tujuan pengajaran. Model PTK yang akan
digunakan adalah Model yang diperkenalkan oleh Kurt Lewin (Depdiknas,
2003:16),, yaitu bahwa satu siklus terdiri dari dari empat langkah, yaitu “1)
Perencanan (planning), 2) aksi atau tindakan (acting) , 3) observasi
(observing), dan 4) refleksi (reflecting)”, hal tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut
Aksi
(Bagan diadopsi dari langkah-langkah Penelitian Tindakan Kelas)
Dalam penelitian ini akan menggunakan PTK eksferimentalis yang
ditujukan untuk mengetahui hubungan antara teknik maupun metode yang
berkaitan dengan penerapan pendekatan kontekstual learning yang
dikhususkan dalam pembelajaran seni tari. Teknik pengumpulan data yang Perencanaan
20
akan dilakukan berupa observasi partisifatif langsung ke lapangan dengan
menerapkan pendekatan kontekstual learning, kemudian diadakan pengukuran
untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari
keterangan-keterangan secara faktual tentang kondisi yang bersangkutan.
Penelitian ini akan dilakukan terhadap anak tunagrahita di SLB-C Sukapura
Kota Bandung , dan ditujukan untuk melakukan penilaian terhadap hasil
eksperimen berupa model pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
kontekstual.
Pengembangan instrument dalam penelitian ini merancang instrument
pengukuran terhadap penerapan pendekatan kontekstual learning dalam
pembelajaran seni tari. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan
kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif, yaitu:
konstruktivisme (Contructivism), bertanya (Quetioning), menemukan
(Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling),
21
Tabel 1.1
Tahapan Siklus Penelitian
Siklus 1 Perencanaan
ide awal
Meningkatkan Aktifitas belajar anak
tunagrahita dalam pembelajaran seni
tari.
Temuan awal Selama ini sering ditemukan bahwa
anak tunagrahita kurang memahami
konsep yang abstrak, sehingga
mempengaruhi proses dan hasil
pembelajaran yang kurang efektif dan
hasil belajar yang kurang optimal.
Untuk itu diperlukan adanya upaya dari
pihak guru untuk menggunakan
pendekatan pembelajaran yang dapat
membawa anak tunagrahita pada hal
yang sifatnya kongkrit dan langsung,
agar proses dan hasil pembelajaran
sesuai dengan yang diharapkan.
Diagnosa
(hipotesis)
Dengan menggunakan pendekatan
kontekstual meningkatkan aktifitas
belajar anak tunagrahita, dalam menari
dan akan berdampak positif pada proses
dan hasil dari pembelajaran yang
dilakukan.
Perencanaan - merencanakan program
pembelajaran
- mempersiapkan silabus
22
- menyiapkan format evaluasi
- menyiapkan format observasi.
- menyiapkan alat Bantu pelajaran
- menyiapkan media pengiring
- menata kelas
Tindakan - Mata Pelajaran seni tari yang
dipadukan dengan mata pelajaran
IPA, Bina Diri,
- membawa para siswa ke halaman
sekolah yang banyak tanaman.
- memulai pembelajaran dengan
appersepsi
- penyampaian pembelajaran tentang
berkebun dengan menggunakan
berpusat pada aktifitas siswa.
- Penyampaian materi pelajaran
dengan menggunakan media , alat
bantu atau alat peraga.
- Pemberian tugas dan evaluasi
Observasi
(Pengamatan)
- Mengamati proses pembelajaran
terutama cara belajar siswa dengan
menggunakan format observasi,
skala sikap
- Menilai hasil tindakan dengan
menggunakan format Lembar Kerja
Siswa.
Refleksi - Melakukan evaluasi tindakan yang
23
perhatian, konsentrasi, cara
menggunakan alat, gerakan tari dan
aktifitas siswa selama pembelajaran
berlangsung,
- Melakukan pertemuan dengan
guru untuk membahas hasil
evaluasi tentang tindakan yang
telah dilakukan.
- Memperbaiki pelaksanaan sesuai
hasil evaluasi , untuk digunakan
pada siklus berikutnya
Siklus 2 Perencanaan - merencanakan program
pembelajaran
- menyusun Rencana
Pembelajaran
- menyiapkan format evaluasi
- menyiapkan format observasi.
- menyiapkan alat Bantu pelajaran
- menyiapkan media
Tindakan - memulai pembelajaran dengan
appersepsi
- penyampaian pembelajaran
dengan menggunakan model
pembelajaran yang berpusat pada
aktifitas siswa.
- Penyampaian materi pelajaran
dengan menggunakan media ,
alat bantu atau alat peraga.
24
Observasi
(Pengamatan)
- Mengamati proses pembelajaran
terutama cara belajar siswa
dengan menggunakan format
observasi.
- Menilai hasil tindakan dengan
menggunakan format Lembar
Kerja Siswa.
Refleksi - Melakukan evaluasi tindakan
yang telah dipraktekkan.,
meliputi evaluasi: perhatian,
konsentrasi, kemampuan
mengungkap gerak , aktifitas
siswa selama pembelajaran
berlangsung.
- Melakukan pertemuan untuk
membahas hasil evaluasi tentang
tindakan yang telah dilakukan.
- Memperbaiki pelaksanaan sesuai
hasil evaluasi , untuk digunakan
25
Untuk jelasnya Tahapan Siklus Penelitian dapat dilihat dari skema bagan berikut ini.
Bagan 1.1
Siklus Tahapan Penelitian
TINDAKAN II KBM dengan membawa
anak ke lapangan Refleksi RANCANGAN
PROGRAM I
TINDAKAN I KBM dengan membawa
anak ke kebun sekolah
Observasi dan Pengumpulan Data
26
H. Lokasi dan sampel penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di SLB-C Sukapura yang terletak di
Jalan Perumahan Bumi Asri Sukapura Kota Bandung, dengan menggunakan
sample penelitian anak-anak tunagrahita ringan kelas 1 SMPLB.
Penentuan lokasi SLB-C Sukapura ini lebih kepada pemilihan
berdasarkan kebutuhan proses aplikasi yang diinginkan, yaitu penekanannya
untuk memberi solusi dalam pembelajaran seni tari, mengingat di SLB-C
Sukapura memerlukan pengembangan pendekatan pembelajaran yang tepat
dan efektif. Selain itu, dalam penerapan pendekatan kontekstual pada anak
tunagrahita, dapat dijadikan sebagai studi kasus dalam penelitian ini, sehingga
dapat menjawab rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian. Dengan
27
BAB II
KERANGKA TEORETIK A. Anak Tunagrahita
1. Karakteristik Anak Tunagrahita
Kondisi kecerdasan anak tunagrahita jauh di bawah rata-rata, yang
ditandai dengan keterbatasan inteligensi dan ketidakcakapan dalam
interaksi sosial. Istilah anak tunagrahita sebagai sebutan pada anak yang
mempunyai intelektual di bawah rata-rata anak normal yang mempunyai
rata-rata Intelligence Quotion (IQ) 100. Anak tunagrahita atau disebut juga
anak terbelakang mental, karena keterbasannya mengakibatkan dirinya
sukar untuk mengikuti program pendidikan di sekolah biasa secara klasikal.
Anak tunagrahita membutuhkan pelayanan khusus sesuai dengan
kemampuan anak tersebut, oleh karena itu anak tungrahita yang termasuk
klasifikasi anak luar biasa dalam kurikulum 2006 disebut anak yang
berkebutuhan khusus, T SutjihatiSomantri (2006:105-106) mengemukakan
beberapa karakteristik umum anak tunagrahita, yaitu yang memiliki
keterbatasan inteligesi, keterbatas sosial dan keterbatasan fungsi-fungsi
mental lainnya.
a. Keterbatasan inteligensi
Anak tunagrahita mempunyai keterbatasan Inteligensi seperti:
keterbatasan kemampuan mempelajari informasi dan keterampilan
menyesuaikan diri dengan masalah-masalah kehidupan baru,
keterbatasan belajar dari pengalaman masa lalu, berfikir abstrak kreatif,
28
mengatasi kesulitan dan keterbasan kemampuan merencanakan masa
depan kehidupan dirinya.
Howard Gardner (Amin Fa,2008:2-3) dengan Multiple Intelligence
Riset-nya, merumuskan inteligensi itu ke dalam delapan kecerdasan,
yaitu: interpersonal intelligence, intrapersonal intelligence, logis
matematis intelligence, visual spasial intelligence, bodily kinestetic
intelligence, rytm musical intelligene, dan natural intelligence. Anak
tunagrahita mempunyai keterbatasan dalam semua kecerdasan atau
inteligensi itu.
b. Keterbatasan sosial
Anak tunagrahita juga memiliki kesulitan dalam mengurus dirinya
sendiri dalam masyarakat, sehingga ia memerlukan bantuan pelayanan
khusus. Anak tunagrahita cenderung berteman dengan anak yang lebih
muda usianya, ketergantungan kepada orang tuanya sangat besar, tidak
mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijak, sehinga ia selalu
dibimbing dan diawasi. Karaktristik lainnya anak tunagrahita mudah
dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa memikirkan
akibatnya.
c. Keterbatasan Fungsi-fungsi Mental lainnya.
Untuk menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya, anak
tunagrahita memerlukan waktu yang lebih lama dari anak normal.
29
konsisten di dalamnya dari hari ke hari. Ia tidak dapat menghadapi
sesuatu kegiatan atau tugas dalam jangka waktu yang lama. Anak
tunagrahita memiliki keterbasan penguasaan bahasa, karena pusat
pembendaharaan bahasanya kurang berfungsi, sehinga ia mengalami
kesulitan memahami kata-kata yang bersifat abstrak, dan oleh
karenanya ia membutuhkan kata-kata kongkrit yang sering
didengarnya. Keterbatasan lainnya anak tunagrahita kurang mampu
untuk mempertimbangkan sesuatu, membedakan yang baik dan buruk,
sedang dan berat, dan membedakan yang benar dan salah, sehingga ia
tidak dapat membayangkan konsekuensi dari suatu perbuatan.
Berdasarkan pada taraf inteligensinya, anak tunagrahita
umumnya diklasifikasikan menjadi tunagrahita ringan, sedang, dan berat.
Pengklasifikasian ini bersifat artificial karena ketiganya tidak ada garis
demarkasi yang tajam. Gradasi suatu level ke level berikutnya bersifat
kontimum, dan pengukurannya kebanyakan dengan tes Stanford Binet dan
Skala Weschler (T Sutjihati Somantri,2006:106).
a. Anak tunagrahita ringan disebut moron atau debil, yang memiliki IQ
antara 68-52 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 69-55 (menurut Sakal
Weschler), dapat dilihat dari tanda-tandanya antara lain :
1) Masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana.
30
peternakan, pekerjaan rumah, dan bekerja di pabrik jika dilatih dan
dibimbing dengan baik.
3) Tidak mampu malakukan penyesuaian sosial secara independen.
4) Secara fisik anak tunagrahita ringan tampak seperti anak normal,
sehingga sulit dibedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan
dengan anak normal.
5) Anak tunagrahita ringan masih dapat bersekolah bersama anak yang
berkesulitan belajar, dengan dilayani pada kelas khusus dan guru dari
pendidkan luar biasa.
b. Anak tunagrahita sedang disebut imbesil , yang memiliki IQ antara 51-36
(menurut Skala Binet) atau IQ antara 54-40 (menurut Sakala Weschker)
dapat dilihat dari tanda-tandanya antara lain :
1) Sulit bahkan tidak dapat belajar membaca, menulis dan berhitung,
tetapi masih dapat menulis secara sosial seperti menulis namanya,
alamat rumahnya dan lain-lain.
2) Masih dan dapat dididik mengurus dirinya sendiri seperti mandi,
berpakaian, makan, minum, dan mengerjakan perjaan rumah seperti
3) menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, serta melindungi diri
sendiri dari bahaya seperti berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan,
menghindari kebakaran dan sebagainya.
31
5) Dalam kehidupan sehari-hari membutuhkan pengawasan terus
menerus.
c. Tunagrahita berat disebut Idiot yang memilki IQ antara 32-20 (menurut
Skala Binet) atau IQ antara 39-25 (menurut Skala Weschler), dapat dilihat
dari tanda-tandanya antara lain:
1) Tidak dapat belajar membaca, menulis dan berhitung
2) Tidak dapat dididik mengurus dirinya sendiri, sehingga ia memerlukan
bantuan total seperti mandi, berpakaian, makan, minum dan lain-lain
dan memerlukan perlindung dari bahaya seumur hidup. Apalagi anak
tunagrahita sangat berat yang memilki IQ di bawah 19 (menurut Skala
Binet) atau IQ di bawah 24 (menurut Skala Weschler), ia sangat
memerlukan bantuan total seumur hidupnya.
Perkembangan anak tunagrahita ditinjuau dari perkembangan fisik, kognitif,
bahasa, emosi dan penyesuaian sosial serta keribadiannya, dapat dilihat dari
tanda-tandanya antara lain sebagai berikut:
a. Perkembangan fisik dan motorik anak tunagrahita ada yang sama atau
hampir menyamai dan ada yang tertinggal jauh dari anak normal. Pada
umumnya perkembangn fisik dan motorik anak tunagrahita tidak secepat
anak normal. Anak tunagrahita yang memiliki kemampuan mental dua
sampai dua belas tahun, ada dalam katagori kurang sekali (Umdjani
Martasuta, dalam T Sutjihati Somantri, 2006:108). Dengan demikian
tingkat kesegaran jasmani anak tunagrahita setingkat lebih rendah dari
32
Dalam hal mempelajari bentuk-bentuk gerak fungsional, yang merupakan
dasar dari semua keterampilan gerak, anak tunagrahita memerlukan
latihan secara khusus, sementara anak normal dapat belajar kerampilan
gerak fundamental secara instingtif pada saat bermain.
b. Perkembangan kognitif yang mencakup lima proses yaitu: persepsi,
memori, pemunculan ide-ide, evaluasi dan penalaran (Messen, Conger,
dan Kagan, dalam T Sutjihati Somantri,2006:110), anak tunagrahita
banyak memiliki keterbasan, sehingga peroleh pengetahuannya kurang
jika dibandingkan dengan anak normal. Berdasarkan hasil penelitian, anak
tunagrahita yang memiliki kemampuan mental yang sama dengan anak
normal, ternyata tidak memiliki keterampilan kognitif yang sama. Dalam
hal memecahkan masalah, anak tunagrahita melakukannya bersifat
coba-coba dan salah (trial and error), sedangkan anak normal menggunakan
kaidah dan strategi. Kecepatan belajar anak tunagrahita jauh tertinggal
oleh anak normal, demikian juga ketepatan atau keakuratan responya
kurang. Tetapi apabila diberi tugas yang bersifat diskriminasi visual,
ternyata ia hampir sama dengan anak normal. Memori anak tunagrahita
pada ingatan jangka pendek berbeda dengan anak normal, tetapi pada
ingatan jangka panjang sama halnya yang lain adalah karena fleksibitas
mental yang kurang, maka anak tunagrahita mengalami kesulitan dalam
mengkoordinasikan bahan yang akan dipelajari. (T Sutjihati
33
c. Perkembangan bahasa anak tunagrahita umumnya tidak bisa
menggunakan kalimat majemuk, dalam percakapan sehari-hari ia banyak
menggunakan kalimat tunggal. Anak tungrahita banyak mengalami
gangguan artikulasi, kualitas suara, dan ritme serta keterlambatan dalam
perkembangan bicara. Anak tunagrahita yang memiliki kemampuan
mental yang sama dengan anak normal, menujukan perkembangan
morfologi dalam level yang sama dengan anak normal. Akan tetapi anak
tunagrahita yang mempunyai kemampuan mental yang lebih,
perkembangan morfologinya ada di bawah anak normal.
Dalam hal perkembangan kemampuam bahasa (semantik) anak tungrahita
menujukkan keterlambatan, ia lebih banyak menggunakan kata-kata
positif, kata-kata yang lebih umum, hampir tidak pernah menggunakan
kata-kata khusus dan kata ganti, serta lebih sering mengunakan kata-kata
tunggal. (T Sutjihati Somantri,2006:114-115).
d. Kehidupan emosi anak tunagrahita ringan tidak begitu jauh berbeda
dengan anak normal, hanya tidak sekaya anak normal, sedangkan anak
tunagrahita sedang dan berat kehidupan emosinya jauh di bawah anak
normal; apalagi anak tunagrahita berat, ia tidak dapat merasakan rasa lapar,
haus dan lain-lainya. Anak tunagrahita pria memiliki kekurangan ketidak
matangan emosi, depresi, bersikap dingin, menyendiri, tidak dapat
dipercaya, impulsif, lancang dan merusak, sedangkan anak tunagrahita
wanita mudah dipengaruhi, kurang tabah, ceroboh, kurang dapat menahan
34
sama dengan kehidupan emosi anak normal. (Mc.Iver, dalam T Sutjihati
Somantri,2006:116). Dalam kehidupan sosial, anak tunagrahita lebih
banyak bergantung kepada orang lain, kurang terpengaruh oleh bantuan
sosial, sering ditolak oleh kelompoknya, dan jarang menyadari posisi diri
dalam kelompok.
2. Kedudukan dan Peran Guru dalam Pembelajaran Seni Tari pada Anak Tunagrahita
Guru yang kreatif, profesional, dan menyenangkan, menurut pendapat
E Mulyasana (2008:36) sebaiknya memposisikan diri sebagai berikut :
a. Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya.
b. Teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi peserta didik
c. Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik sesuai minat, kemampuan, dan bakatnya.
d. Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.
e. Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.
f. Membiasakan peserta didik untuk saling berhubungan (bersilaturahmi) dengan orang lain secara wajar.
g. Mengembangkan proses sosialisasi secara wajar antar peserta didik, orang lain, dan lingkungannya.
h. Mengembangkan kreativitas. i. Menjadi pembantu jika diperlukan.
Selanjutnya E Mulyasana (2008:37) mengemukakan bahwa untuk
memenuhi tutuntutan di atas, harus mampu memaknai pembelajaran, serta
menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan
perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Untuk kepentingan tersebut dapat
didefinisikan sedikitnya ada 19 peran guru, yakni guru sebagai: (1) pendidik,
35
(inovator), (7) model dan teladan, (8) pribadi, (9) peneliti, (10) pendorong
kreativitas, (11) pembangkit pandangan, (12) pekerja rutin, (13) pemindah
kemah, (14) pembawa cerita, (15) aktor, (6) emansipator, (17) evaluator, (18)
pengawet, dan (19) sebagai kulminator
Berdasarkan posisi dan peran guru secara umum tersebut di atas, maka guru
SLB C khususnya guru seni tari dalam melaksanakan pembelajaran seni tari,
hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Pahami dan sadari bahwa anak tunagrahita memiliki berbagai keterbatasan
kemapuan. Oleh karena itu dalam menentukan strategi pembelajaran seni
tari, harus benar-benar terfokus kepada ketunagrahitaannya, seperti
memperhatikan keterbatasan kemampuan inteligesinya, maka bahan
pembelajaran harus yang sederhana, bersifat konkrit, dan keterkaitan
dengan kehidupan nyata yang ada di lingkungan kehidupannya. Metode
dan pendekatan yang digunakan hendaknya yang dapat mendorong dan
membangkitkan kreativitas belajar. Karena ketergantungan kepada orang
lain besar sekali, maka peran guru sebagai pembimbing dengan penuh rasa
kasih sayang, hendaknya dapat dirasakan oleh anak tunagrahita.
Pengadaan dan penggunaan media pembelajaran harus ada dan digunakan
sesuai dengan tuntutan program pembelajaran.
b. Dalam kegiatan berkomunikasi dengan anak tunagrahita, gunakanlah
kata dan kalimat tunggal, sederhana, yang bersifat positif dan hindari
36
informasi, instruksi, dan pertanyaan atau jawaban disampaikan dengan
tempo bicara yang tidak terlalu cepat
c. Posisi atau peranan sebagai fasilitator dan pemberi pertolongan, sangat
menunjang dalam meningkatkan aktivitas, kreativitas, dan keberhasilan
pembelajaran. Peran guru sebagai model dan teladan serta aktor yang
disenangi anak tunagrahita, akan berpengaruh besar pada peningkatan
aktivitas dan kreativitas belajar mereka.
d. Peran guru sebagai pembimbing lebih diperhatikan, dari pada peran
sebagai pengajar dan pelatih, karena kemampuan intelektualitas dan
kreativitas anak tunagrahita jauh di bawah kemampuan anak normal.
Memupuk rasa percaya diri dan mengembangkan proses sosialisasi
dilakukan secara terus-menerus dan berkesinambungan.
e. Anak tunagrahita yang dapat diberikan pembelajaran yang bersifat
akademis adalah anak tunagrahita yang termasuk katagori tunagrahita
ringan. Oleh karena itu guru tari harus mengetahui dan mengelompokkan
terlebih dahulu anak tugrahita ringan dan anak tunagrahita lainnya
(sedang dan berat).
37
B. Pendidikan Seni Tari
1. Dasar Pemikiran Pendidikan di Sekolah
Widia Pekerti dkk (2005,1.19-1.20) mengemukakan bahwa
dasar-dasar pemikiran dimasukkannya seni, seperti seni tari dalam kurikulum
pendidikan nasional bertumpu pada pokok-pokok pikiran sebagai berikut:
a. Seni dalam pendidikan di sekolah-sekolah umum seyogiyanya
menggunakan multidisiplin, multidimensional, dan multicultural.
b. Pendekatan multidisiplin dalam pendidikan seni bertujuan
mengembangkan kemampuan mengekspresikan diri, dengan berbagai
medium: rupa, bunyi, gerak, bahasa, tulisan, atau perpaduannya.
c. Sedangkan multidimensional mengembangkan pemahaman dan
kesadaran bahwa kesenian tidak berdiri sendiri melainkan terkait dengan
banyak aspek kehidupan, seperti: sejarah, sosial-budaya, ekonomi,
lingkungan dan sebagainya. Pendekatan multicultural menumbuhkan
pemahaman, kesadaran, dan kemampuan mengapresiasi keragaman
budaya lokal, bahkan juga global sebagai sarana pembentukan sikap
saling menghargai, toleransi, dan demokrasi dalam masyarakat yang
pluralistik (majemuk).
d. Pendidikan seni berperan dalam pembentukan pribadi yang harmonis
dengan memperhatikan kebutuhan perkembangan dasar anak didik
meliputi kemampuan: fisik, pikir, emosional, persepsi, kreativitas, sosial,
dan estetika melalui pendekatan ‘belajar dengan seni’, melalui seni’ dan
38
intelektual, keterampilan, dan kreativitas berkesenian sesuai minat dan
potensi anak didik.
e. Pendidikan seni berperan mengaktifkan kemampuan dan fungsi otak kiri
dan otak kanan secara seimbang agar anak didik mampu mengembangkan
berbagai tipe kecerdasan: kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan
emosional (EQ), kecerdasan kreativitas (CQ), kecerdasan spiritual (SQ),
dan kecerdasan inteligensi (MI).
Pokok-pokok pikiran inilah yang mendasari pentingnya seni, seperti
seni tari dalam pendidikan, khususnya pendidikan formal sekolah umum dan
sekolah luar biasa kuhususnya Sekolah Luar Biasa Tunagrahita (SLB C), yang
kini mengacu pada Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan kemudian
disempurnakan lagi dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
2. Tujuan dan Fungsi Pembelajaran Seni Tari
Untuk dapat lebih memahami hakikat seni tari dalam pendidikan,
khususnya dalam pendidikan formal diperlukan memahami tujuan dan fungsi
pembelajaran seni secara umum maupun secara khusus.
a.Tujuan pembelajaran seni tari
Untuk mengetahui tujuan pembelajaran seni tari pada pendidikan formal,
kita dapat melihat dari tujuan pembelajaran seni secara umum, yakni bahwa
tujuan pembelajaran seni, bukan untuk melatih anak didik menjadi seorang
39
bagi perkembangan kepribadiannya. Tujuan pembelajaran seni selajutnya
dapat dikembangkan sebagai berikut:
- Mengembangkan sensivitas persepsi inderawi melalui berbagai
pengalaman kreatif berkesenian sesuai karakter dan tahap
perkembangan kemampuan seni di tiap jenjang pendidikan.
- Menstimulus pertumbuhan ide-ide imajinatif dan kemampuan
menemukan berbagai gagasan kreatif dalam memecahkan masalah
artistik atau estetik melalui proses eksplorasi, kreasi, presentasi dan
apresiasi sesuai minat dan potensi anak didik di tiap jenjang pendidikan
- Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan berkesenian dengan
disiplin ilmu lain yang serumpun atau tak serumpun melalui berbagai
pendekatan keterpaduan yang sesuai dengan karakter keilmuannya.
- Mengembangkan kemampuan apresiasi seni dalam konteks sejarah dan
budaya untuk menumbuhkan pemahaman, kesadaran dan kemampuan
menghargai keanekaragaman budaya lokal, juga global sebagai sarana
pembentukan sikap saling toleran dan demokratis dalam masyarakat
yang pluralistik (majemuk). (Widia Pekerti dkk,2005:1.20-1.21)
Dengan demikian tujuan pembelajaran seni tari di sekolah umum dalam
arti yang luas tidak hanya memberikan bekal keterampilan yang
spesifik kepada anak didik, tetapi lebih dari itu adalah mengembangkan
segala potensi yang dimliki olehnya mencakup kepekaan estetik yang
40
(alam, sosial dan budaya), rasa kemanusiaan (toleran dan apresiatif),
konsep perseptual dan kemampuan dalam penilaian estetik.
- (Widi Pekerti dkk.,2005:1.21)
b. Fungsi pembelajaran seni tari
Fungsi pembelajaran seni tari, dapat dilihat dari fungsi pembelajaran
seni secara umum yakni, bahwa pembelajaran seni memiliki manfaat
kepada anak didik yang dapat dirasakan secara langsung maupun tak
langsung. Fungsi pembelajaran seni yang dapat dirasakan secara
langsung adalah sebagai media ekspresi diri, media komunikasi, media
bermain dan menyatakan minat serta bakat yang dimilikinya. Sedang
fungsi pembelajaran seni secara tidak langsung dapat ditemukan pada
aspek edukatif/pedagogik dari seni dalam mengembangkan berbagai
kemampuan dasar, yaitu kemampuan dasar fisik, pikir, sosial, persepsi,
kreativitas dan estetika. (Lowenfeld, Britain, 1985 dalam Widia
Pekerti dkk.,2005:1.21). Selain dari itu , melalui seni seorang anak
akan dilatih kehalusan budi karena seni mengolah kepekaan anak
terhadap alam sekitar dan hal-hal yang berkaitan dengan keindahan
(K.H. Dewantoro dalam Kamaril W.S. 1998, dikutip dari Widia
Pekerti dkk., 2005:1.21)
c. Pendidikan Seni Tari
Ditinjau dari klasifikasinya, seni tari termasuk seni pertunjukan, yaitu
suatu konsep atau bentuk seni yang diciptakan oleh seiorang seniman/
41
panggung atau daerah pertunjukan oleh seorang atau sekumpulan
orang sebagai seniman/seniwati pelaku yang didukung oleh wahana
eksternal dan internal. Yang dimaksudkan dengan wahana eksternal
berupa: busana, make up, property dan instrument musik pengiring;
sedang yang dimaksudkan dengan wahana internal berupa: bakat dan
kerampilan. (Widia Pekerti dkk.,2005:i.13).
Seni tari merupakan salah satu cabang seni yang menggunakan gerak
tubuh manusia sebagai alat ekspresi (Tim Estetika, 2000:90). Dalam tari ada
gerak tubuh yang ritmis. Gerak tubuh manusia dalam tari dipakai sebagai
sarana mengungkapkan gagasan, perasaan, dan pengalaman seniman kepada
orang lain (Curt Sachs dalam Widia Pekerti dkk.,2005:5.3).
Semua gerak di sekitar kita dapat menjadi sumber gagasan gerak tari,
misalnya: gerak manusia ketika bekerja atau bermain, gerak
tumbuh-tumbuhan, gerak hewan, gerak benda-benda buatan manusia (seperti mobil,
mesin, robot). Agar menjadi gerak tari, gerak tersebut harus diolah baik dari
aspek tenaga, ruang maupun waktunya, sehingga hasilnya bukan semata-mata
menirukan gerak yang nyata. Menurut Widia Pekerti dkk.(2005:5.3) proses ini
disebut proses penghalusan ( menstiril/stirilisasi) dan proses perombakan
(distorsi) gerak.
Indonesia kaya akan berbagai jenis tarian, yang dklasifikasikan ke
dalam tari tradisional dan non tradisional (Widia Pkerti dkk.,2005:5-7). Seni
42
\mempunyai fungsi sebagai kegiatan upacara dan hiburan, sedangkan tari
rakyat dan klasik selain mempunyai kedua fungsi tersebut juga sebagai
tontonan. Adapun tari non terdisional mempunyai fungsi sebagai tontonan.
3. Pembelajaran Seni Budaya Tari bagi Anak Tunagrhita
Pendidikan seni dan budaya, termasuk di dalamnya seni tari bagi anak
tunagrahita, menurut kurikulum SLB C (Depdiknas, 2006:108) bertujuan agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut :
a. Memililiki konsep dan pentingnya seni dan budaya.
b. Menampilkan sikap apresiasi terhadap seni dan budaya.
c. Menampilkan kreativitas melalui seni dan budaya.
d. Menampilkan peran serta dalam seni budaya dalam tingkat lokal, regional
maupun global.
Standar kompetensi lulusan satuan pendidikan jenjang SLB C, bidang
seni budaya adalah agar anak memiliki dan mengembang sikap menghargai
karya seni dan budaya nasional (Wina Sanjaya, 2006:74)
Dengan memahami tujuan pembelajaran serta standar kompetensi
lulusan seni dan budaya tersebut, maka anak tunagrahita mempunyai hak
yang sama dengan anak normal, khususnya anak tugrahita ringan pada
jenjang SLB C.
Mata pelajaran seni budaya bagi anak tunagrahita di SLB C (Depdiknas,
43
a. Seni rupa, mencakup keterampilan tangan dalam menghasilkan karya seni
rupa lukisan, patung, ukiran, cetak mencetak, dan sebagainya.
b. Seni musik, mencakup kemampuan untuk menguasai olah vokal,
memainkan alat musik dan apresiasi karya musik.
c. Seni tari, mencakup keterampilan berdasarkan olah tubuh dengan dan
tanpa rangsangan bunyi dan apresiasi terhadap gerak tari.
d. Seni drama, mencakup keterampilan pementasan dengan memadukan seni
musik, seni tari dan peran.
Sekolah berkewajiban memilih satu dari keempat bidang seni itu
sebagai salah satu dari mata pelajaran di SLB C yang diprogramkan sesuai
dengan petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan kurikulum. Penentuan
pilihan seni itu disesuaikan dengan minat anak didik, ketersediaan tenaga
pengajar dan kemamapuan sekolah untuk mengadakan kelengkapan fasilitas
yang diperlukan pembelajaran seni yang dipilih itu.
Berdasarkan kurikulum SLB C (Depdiknas, 2006:115-116) alokasi
waktu pembelajaran keempat bidang seni di SLB C itu diprogram sebagai
berikut:
Kelas VII semester 1: Seni Musik dan Seni Rupa, semester 2 : Seni Rupa
Kelas VIII semester 1: Seni Musik dan Seni Rupa, semester 2 : Seni Rupa dan
44
Kelas IX semester 1 : Seni Musik dan Seni Rupa, semester 2 : Seni Rupa dan
Seni Tari
Dari pengalokasian waktu itu, ternyata di SLB C, ada tiga dari empat
bidang kesenian yang ditawarkan , yaitu Seni Rupa, Seni Musik dan Seni Tari.
1. Seni Rupa diberikan di kelas VII semester 1 dan 2, kelas VIII semester 2,
dan kelas IX semester 1 dan 2 (5 semester)
2. Seni Musik diberikan di kelas VII semester 1, kelas VIII semester 1, dan
kelas IX semester 1 (3 semester)
3. Seni tari diberikan di kelas VIII semester 2 dan kelas IX semester 2
(2 semester)
Dengan demikian mata pelajaran seni tari diprogramkan/diberikan di
kelas VIII dan IX masing-masing dalam semester 2. Materi pembelajaran
Seni Tari dalam kurikulum SLB C dikembangkan dari Standar Kompetensi
45
Table 2.1
Standar Kompetensi dan kompetensi Dasar Seni Tari SLB C
Kelas Semester Standar Kompetensi Kompetensi Dasar
VIII 2 Memahami berbagai
46
Berdasarkan kompetensi dasar seni tari kelas VIII yang tercantum
dalam kurikulum tersebut tujuan pemebelajaran pendidikan seni tari bagi anak
tunagrahita menitikberatkan pada kecerdasan psikomotor. Hal ini sesuai
dengan kondisi anak tunagrahita yang memiliki banyak keterbatasan dalam
kecerdasan kognitif dan afektif. Atas dasar pemikiran itulah maka peneliti
mencoba menggunakan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran seni tari
untuk meningkatkan kreativitas belajara seni tari anak tunagrahita.
Kreativitas merupakan factor yang sangat penting untuk dihayati
perkembangannya. Gordon dalam Joic and Weill 1966 (E
Mulyasana,2008:163-164), mengemkakan empat prinsip dasar kreativitas,
sebagai berikut :
Pertama, “…kreativitas merupakan sesuatu yang penting dalam kehidupan
sehari-hari. Hampir semua manusia berhubungan dengan proses kreativitas,
yang dikembangkan melalui seni atau penemuan-penemuan baru... Bahwa
kreativitas merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari dan berlangsung
seumur hidup...”
Kedua, “…proses kreativitas bukanlah sesuatu yang misterius. Kreativitas
didorong oleh kesadaran yang memberi petunjuk untuk mendeskripsikan dan
menciptakan prosedur latihan yang dapat diterapka di sekolah dan lingkungan
lain…”
Ketiga, “…penemuan kreatif sama dalam semua bidang, baik dalam bidang
47
terbatas pada bidang seni, padahal ilmu dan rekayasa juga merupakan
penemuan manusia”.
Keempat, “…berpikir kreatif baik secara individu maupun kelompok, adalah
sama. Individu dan kelompok menurunkan ide-ide dan produk dalam berbagai
hal”
Apa yang dikemukakan di atas nampaknya sulit untuk dilaksanakan,
apalagi bagi guru SLB C. Meskipun demikian sebaiknya guru harus dapat
menciptakan suasan belajar yang kondusif, yang mengarah pada situasi di atas,
misalnya dengan menggunakan pendekatan kontektual dalam pembelajaran,
seperti dalam pembelajaran seni tari yang menjadi obyek penelitian penulis.
Langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan kontekstual untuk
meningkatkan kreativitas pembelajaran seni tari bagi anak tunagrahita di SLB
C Sukapura Bandung, secara garis besarnya sebagai berikut:
1. Analisis materi/bahan ajar dalam silabus
2. Menyusun rencana pelakasanaan pembelajan
3. Menyiapkan media dan alat pendukung pembelajaran
4. Menentukan lingkungan belajar yang menjadi konteks materi
pembelajaran
5. Melaksanakan rencana pembelajaran dengan mengikuti langkah-langkah
48
6. Pelaksanaan secara bertahap dari siklus pertama ke siklus berikutnya
mengikuti langkah-langkah penelitian tindakan kelas.
Pemaparan lebih lanjut tentang penggunaan pendekatan kontekstual
dalam pembelajaran seni tari untuk meningkatkan kreativitas pembelajaran
seni tari anak tunagrahita, dapat dilihat dalam paparan berikutnya.
C. Pendekatan Kontekstual
Pendekatan kontekstual adalah salah satu pendekatan pembelajaran, yang dapat digunakan oleh guru untuk melaksanakan kegiatan proses
pembelajaran. Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh
oleh guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan instruksional untuk suatu
satuan instruksional tertentu (Syaiful Sagala, 2007:68). Selain dari pendekatan
kontekstual, para guru dapat memilih dan menggunakan pendekatan
pembelajaran lainnya; yaitu pendekatan konsep, pendekatan proses,
pendekatan deduktif, pendekatan induktif, pendekatan ekspositori, pendekatan
heuristik, dan pendekatan kecerdasan (Syaiful Sagala,2007:71-87). Dalam
tulisan ini, penulis tidak akan menguraikan semua pendekatan pembelajaran
tersebut, tetapi hanya akan menguraikan pendekatan kontekstual saja, sesuai
dengan judul sub bab ini, yang akan memaparkan pengertian pembelajaran
kontekstual, prinsip-penerapan pembelajaran kontekstual dan penerapan
49
1. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Dewasa ini pembelajaran kontekstual telah berkembang di
negara-negara maju dengan berbagai nama. Di negeri Belanda disebut Realistics
Mathematics Education (RME), di Amerika disebut Contextual Teaching and
Learning (CTL), di Michigan disebut Connected Mathematics Project (CMP).
(Nurhadi dkk., 2004 : 11). Selanjutnya Nurhadi dkk (2004:12)
mengemukakan beberapa definisi pembelajaran kontektekstual yang dikutif
dari beberapa sumber yang menyatakan sebagai berikut:
a. Jonson (2002:25 ) merumuskan CTL sebagai berikut :
“... sistem CTL merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan
membantu siswa melihat dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari
dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka
sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan
budayanya…”
b. The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning
(2001:3-4) merumuskan definisi CTL sebagai berikut:
“... pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa
memperkuat, memperluas dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan
akademisinya dalam berbagai latar sekolah dan luar sekolah untuk
memecahkan seluruh persoalan yang ada dalam dunia nyata ...”
c. Menurut para penulis NWREL (Johnson,2002:38),
“... ada tujuh atribut yang mencirikan konsep CTL, yajtu kebermaknaan,