INDONESIA NOMOR 110 TAHUN 2016 TENTANG BADAN PERMUSYAWARATAN DESA DI DESA BATUSASAK
KECAMATAN KAMPAR KIRI HULU KABUPATEN KAMPAR
Oleh :
GANDI ALFAJRI 11627104262
JURUSAN ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
-
PEKANBARU1442/2020 M
i ABSTRAK
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) adalah lembaga yang membuat Peraturan Desa bersama Kepala Desa, lembaga penampung dan penyalur aspirasi masyarakat Desa, serta lembaga yang melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa. Fenomena yang terjadi bahwa Badan Permusyawaratan Desa Batu Sasak tanggal 14 september 2019 tidak mengindahkan usulan masyarakat untuk membuat musyawarah atas permasalahan Desa. Pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa di Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar belum berjalan dengan baik diantaranya dalam (i) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa dan Pearturan Kepala Desa bersama Kepala Desa; (ii) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; (iii) melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa sehingga berdampak terhadap; (i) tidak adanya transparansi terhadap alokasi Dana Desa, dan; (ii) aspirasi-aspirasi masyarakat kepada Pemerintahan Desa tidak tersalurkan.
Adapun tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar serta bagaimana hambatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan fungsinya. Secara teoritis manfaat dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat terhadap pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar.
Penelitian terhadap pelaksanaan efektifitas hukum ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris atau sosiologi hukum, melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat atau sinkronisasi antara hukum dengan masyarakat. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sumber data dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder.
Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan penarikan kesimpulan secara induktif.
Pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa di Desa Batu Sasak tidak terlaksana diantaranya; (i) Badan Permusyawaratan Desa tidak ikut menyepakati Peraturan Desa bersama kepala Desa; (ii) Badan Permusyawaratan Desa tidak menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; (iii) Badan Permusyawaratan Desa tidak mengawasi kinerja Kepala Desa. Faktor penghambatnya adalah (i) pola komunikasi yang tidak berjalan, (ii) kurangnya pemahaman anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menjalankan fungsinya, (iii) kurang sarana dan prasarana, serta (iv) masyarakat kurang memahami fungsi Badan Permusyawaratan Desa.
ii
KATA PENGANTAR
ِنَمحَرلا ِالله َمْسِب ميِحرلا
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Segala puji bagi Allah Yang Maha Kuasa, karena berkat limpahan rahmad dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa Di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar” untuk memenuhi salah satu syarat memproleh gelar sarjana pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dari semua pihak dengan berbagai bentuk konstribusi yang diberikan, baik secara moril ataupun materil. Dengan kerendahan dan ketulusan hati penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Keluarga penulis yaitu, Ayahanda Jayusman dan Ibunda Jasnawati serta ke-tiga saudara penulis yang telah memberikan seluruh dukungan, cinta dan kasih sayangnya, mengikhlaskan cucuran keringat dan ketulusan untaian doa, serta pengorbanan tiada hentinya demi keberhasilan penulis.
2. Seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan doa serta dukungan sehingga penulis sampai pada titik keberhasilan ini.
3. Bapak Prof. Dr. H. Akhmad Mujahidin, S.Ag., M.Ag Selaku Rektor UIN SUSKA RIAU.
iii
4. Bapak Dr. H. Hajar, M.Ag. Selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN SUSKA RIAU.
5. Bapak Firdaus, S.H.,M.H. Selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukun, dan Bapak Muslim, S.Ag., S.H., M.Hum Selaku Sekertaris Jurusan Ilmu Hukum UIN SUSKA RIAU.
6. Bapak Nurhidayat, S.H., M.H. Selaku pembimbing penulis yang selama ini membimbing, mengarahkan serta memberikan ilmu dalam penyelesaian skripsi ini.
7. Bapak Asril, SHI., M.H selaku pembimbing akademik (PA) yang telah banyak memberi nasehat dalam menjalani proses perkuliahan.
8. Seluruh Dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sultan Syarif Kasim Riau yang telah berkenan memberikan kesempatan, membina, serta memberikan kemudahan kepada penulis dalam menimba ilmu pengetahuan sejak awal kuliah sampai dengan penyelesaian skripsi ini.
9. Seluruh Staf Tata Usaha Fakultas Syari’ah dan Hukum atas kesabarannya dalam memberikan pelayanan selama ini.
10. Teman-teman seperjuangan Ilmu Hukum (HTN) angkatan 2016, terkhusus Kelas Ilmu Hukum C, yang telah bersedia menjadi teman selama empat tahun dalam menimba ilmu bersama-sama.
11. Teman-teman Lembaga Kajian Hukum Indonesia (LKHI) UIN SUKSA RIAU yang telah berjuang bersama dalam kepengurusan saya menyelesaikan amanah, memberikan dukungan, nasehat-nasehat serta mau bertukuran pikiran dalam menyelesaikan skripsi ini.
iv
12. Teman-teman Forum Mahasiswa Kampar Kiri Hulu, terutama Akmal Fadhil selaku wakil saya yang telah berjuang bersama dalam mengemban amanah dan menyelesaikan kewajiban sebagai mahasiswa baik dikampus maupun di Daerah.
13. Kepada Rajul Andrami, M. Safar Afandi, M. Nasri, Yozi Herizon Putra, Fikri Afriono yang telah berjuang bersama dari awal kuliah hingga menyelesaikan amanah sebagai mahasiswa.
14. Tak lupa pula terimakasih banyak kepada Aurelia Sulistiayu, selaku junior yang telah mewakafkan printernya selama penyelesaian skripsi ini.
Segala usaha dan upaya telah dilakukan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik mungkin. Namun penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan sebagai akibat keterbatasan kemampuan. Oleh karena itu, saran dan kritik serta koreksi dari berbagai pihak demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi ini akan penulis terima dengan baik.
Semoga karya yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin, Ya Rabbal Alamin.
Wasalamu’alaikun Wr.Wb.
Pekanbaru, Desember 2019 Penulis,
GANDI ALFAJRI NIM : 116267104262
v DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
DAFTAR TABEL... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Batasan Masalah... 8
C. Rumusan Masalah ... 8
D. Tujuan Penelitian ... 9
E. Manfaat Penelitian ... 9
F. Metode Penelitian... 10
G. Sistematika Penulisan... 16
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Batu Sasak ... 18
B. Organisasi Pemerintahan Desa Batu Sasak ... 19
C. Struktur Organisasi Badan Permusyawaratan Desa Batu Sasak ... 20
D. Lembaga Kemasyarakatan ... 21
E. Sarana dan Prasarana Umum Desa Batu Sasak... 22
BAB III TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Pemerintahan Desa ... 25
1. Badan Permusyawaratan Desa ... 33
2. Kelembagaan Badan Permusyawaratan Desa ... 34
3. Fungsi dan Tugas Badan Permusyawaratan Desa ... 35
vi
4. Hak, Kewajiban dan Wewenang Badan Permusyawaratan
Desa ... 36
B. Teori Kekuasaan... 39
C. Teori Legislasi ... 46
D. Teori Demokrasi... 56
BAB IV PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa Di Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar ... 61
B. Faktor Penghambat Badan Permusyawaratan Desa Dalam Menjalankan Fungsinya Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa Di Desa Batu Sasask Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar... 76
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 82 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
vii DAFTAR TABEL
Table I.1 Populasi dan Sampel ... 12
Table II.1 Prasarana Pendidikan ... 22
Table II.2 Prasarana Peribadatan... 23
Table IV.1 Prasarana Kesehatan ... 24
Table IV.2 Prasarana Olahraga ... 24
viii DAFTAR GAMBAR
Gambar I.1 Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Batu Sasak
Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar 20 Gambar I.1 Struktur Organisasi Badan Permusyawaratan Desa Batu
Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar 21
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan yang daerahnya dibagi menjadi beberapa provinsi dan kabupaten dengan bentuk dan susunan tingkatan pemerintahan terendah adalah desa atau kelurahan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dalam undang-undang.”1
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengartikan bahwa “Pemerintahan Desa sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”2
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa meliputi Penyelenggaraan Urusan Bidang Eksekutif yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah desa melalui Kepala
1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7
Desa dan perangkat desa sebagai kepala pemerintahan dan pelaksana pemerintahan.3
Sedangkan penyelenggaraan urusan bidang legislatif dibentuk suatu Badan Perwakilan Desa yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta keputusan Kepala Desa sebagai wujud demokrasi. Sehingga adanya checks and balances antara Pemerintah Desa dengan Badan Permusyawaratan Desa .4
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menempatkan Desa di bawah kabupaten/kota. Penempatan desa di bawah kabupaten/kota berarti desa menjadi subordinat kabupaten/kota dalam hubungan wilayah administrasi dan/atau dekonsentrasi. Dengan demikian, Desa tidak berbeda dengan kelurahan yang sama-sama di bawah kabupaten/kota.5
Pemerintahan Desa merupakan sub sistem dari sistem penyelenggaraan pemerintahan nasional yang langsung berada di bawah pemerintah kabupaten. Urusan Pemerintah diselenggarakan oleh pemerintah sendiri atau dapat melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada
3 Bambang Trisantono Sumantri, Pedoman Penyelenggaran Pemerintahan Desa, (Bandung : Fokusmedia, 2011) h. 3-4
4 H.A.W. Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, (Jakarta : PT. Raja Grafindo persada,2007) h. 93.
5 H.A. Tabrani Rusyan, Membangun Desa Berprestasi, (Jakarta: Bumi Aksara, 2018) h.13
perangkat pemerintah atau wakil pemerintah di daerah atau dapat menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau Pemerintahan Desa.6
Indonesia menganut sistem hukum Eropa Kontinental, salah satu ciri dari sistem hukum ini adanya Trias Politika (pemisahan kekuasaan). Ciri negara hukum yang dalam bahasa inggris disebut legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa Belanda dan Jerman disebut rechsstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechtsstaat dan rule of law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan ini dilakukan dengan hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusionalisme modern. Oleh karena itu, konsep negara hukum yang disebut sebagai negara konstitusional atau constitutional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan istilah constitutional democraty yang dihubungkan dengan pengertian negara demokrasi yang berdasarkan atas hukum.7
Menurut Montesquieu, dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang mengikuti jalan pikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam dalam tiga cabang yaitu; (i) kekuasaan legislatif sebagai pembuat undang- undang; (ii) kekuasaan eksekutif yang yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan
6 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers 2013) h. 363
7 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara . (Jakarta: Rajawali Pres, 2017).h.281
untuk menghakimi atau yudikatif. Dari klasifikasi Montesquieu inilah dikenal pembagian kekuasaan negara modern dalam tiga fungsi, yaitu legislatif (the legislative function), eksekutif (the executive or administrative function), dan yudisial (the judicial function).8
Pemerintahan Desa sangat berperan penting dalam pembangunan Desa dalam hal ini kepala Desa beserta jajarannya diberikan wewenang untuk mengurus wilayahnya. Dalam pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014, dijelaskan bahwa “Pemerintah Desa adalah kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.9
Berdasarkan pasal 31 Peraturan Menteri dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa lembaga ini berfungsi; (i) membahas dan menyepakati rancangan peraturan Desa bersama kepala Desa; (ii) menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan (iii) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.10
Selanjutnya berdasarkan pasal 4 Peraturan Daerah Kabupaten Kampar No 9 Tahun 2007 tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD) bahwa fungsi Badan Permusyawaratan Desa adalah sebagai berikut: (i) membahas
8 Ibid .h. 283
9 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelakasana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
10 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa
rancangan peraturan Desa bersama Kepala Desa; (ii) melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa;
(iii) mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa; (iv) membentuk panitia pemilihan kepala Desa; (v) menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat; (vi) menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa (BPD); (vii) dalam hal anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak mengusulkan pemberhentian kepala Desa yang disebabkan pelanggaran tugas dan fungsinya. Maka Bupati dapat memberhentikan tanpa usulan dari Badan Permusyawaratan Desa (BPD).11
Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) memiliki peran yang sangat penting karena merupakan wadah menampung serta menyalurkan aspirasi masyarakat sehingga dapat dikatakan bahwa keberhasilan Desa dapat dilihat dari seberapa efektifnya peran serta Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam menjalankan fungsinya.
Sebagaimana fungsi Badan Pusmusyawaratan Desa (BPD) yang terdapat pada pasal 31 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa; (i) membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa; (ii)
11 Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 9 Tahun 2007 Tentang Badan Permusyawaratan Desa
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa; dan (iii) melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.
Namun pada kenyataannya pada tanggal 14 september 2019 Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Batusasak (HPPMB) melakukan musyawarah di kantor Kepala Desa Batusasak dengan Pemerintahan Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) serta tokoh masyarakat (ninik mamak) terkait dengan adanya laporan dari masyarakat terhadap tidak adanya checks and balances antara Pemerintahan Desa Batusasak dengan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) .12
Masyarakat Desa Batusasak menyampaikan loporan kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD) namun Badan Permusyawaratan Desa (BPD) tidak menggali, menampung, menghimpun, merumuskan serta tidak menyalurkan aspirasi-aspirasi masyarakat.13 Sehingga masyarakat meminta kepada mahasiswa dalam hal ini Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Batussak (HPPMB) untuk membuat musyawarah dengan menghadirkan Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), serta tokoh masyarakat (ninik mamak) untuk membahas permasalahan di Desa Batusasak diantaranya tidak adanya transparansi alokasi Dana Desa dilihat dari tidak ada papan informasi atas kegiatan (proyek) yang dilakukan oleh Desa serta
12 Berita Acara Musyawarah Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Batusasak (HPPMB) dengan Pemerintahan Desa Batusasak (14 September 2019).
13 Riyandi Wispinaldi, wawancara dengan Ketua Umum Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Batusasak (10 Oktober 2019).
membahas fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang tidak dijalankannya.
Dalam hal ini seyogyanya merupakan tugas dan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) untuk melaksanakan musyawarah Desa dan difasilitasi oleh Pemerintahan Desa. Namun pada kenyataannya Badan Permusyawaatan Desa (BPD) di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar belum menjalankan fungsinya secara optimal dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintahan Desa, merangkul, menghimpun, merumuskan, serta menyalurkan aspirasi masyarakat.
Kurangnya melibatkan unsur-unsur masyarakat seperti tokoh adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, dalam musyawarah Desa.
Berdasarkan fenomen-fenomena tersebut, penulis tertarik mengkaji lebih lanjut untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar serta bagaimana hambatan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan fungsinya.
Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi kepada masyarakat terhadap pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar. Dengan menggunakan metode pendekatan yuridis empiris atau sosiologi hukum yaitu pendekatan yang melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat. Maka dari itu penulis mengangkat suatu judul penelitian
“Pelaksanaan Fungsi Badan Permusyawaratan Desa Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar”.
B. Batasan Masalah
Agar pembahasan penelitian ini lebih terfokus, tersusun sistematis dan terarah maka penulis membatasi ruang lingkup penelitian ini terhadap bagaimana pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016, serta faktor-faktor yang menghambat dalam pelaksaan fungsinya.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) terhadap Pemerintah Desa Batusasak berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa?
2. Apa faktor penghambat pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa terhadap pemerintahan Desa Batusasak?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan fungsinya di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar.
2. Manfaat Penelitian 1. Secara Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran mengenai pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) berdasarkan berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar
2. Secara Praktis
a. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
b. Sebagai salah satu untuk memperoleh gelar sarjana
3. Secara Akademis
a. Bagi peneliti dapat menambah wawasan dengan mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh secara teori di lapangan.
b. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, dapat memberikan sutu karya peneliti baru yang dapat mendukung dalam pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
E. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu berdasarkan pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris, dan sistematis.
Rasional berarti kegiatan penelitian dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal. Empiris berarti cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh indra manusia, sehingga orang lain dapat mengetahui cara-cara yang digunakan.
Sistematis artinya proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.14
1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Research).
Penelitian lapangan yaitu penelitian yang mempelajari secara intensif tentang latar belakang keadaan sekarang, dan interaksi suatu sosial, individu, kelompok, lembaga, dan masyarakat.15
14 HB Satopo, Metode Penelusuran Kualitatif, (UN Press Surakarta 2016), h.89
15 Husaini Usman dkk, Metodologi Penelitian Sosial. (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2006) h. 5
Adapun metode pendekatan yang di gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris atau sosiologi hukum yaitu pendekatan yang melihat sesuatu kenyataan hukum di dalam masyarakat.16Pendekatan sosiologi hukum merupakan pendekatan yang di gunakan untuk melihat aspe-aspek hukum dalam interaksi sosial dan bagaimana hukum beroperasi di dalam masyarakat. Penelitian ini di lakukan terhadap Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batu Sasak, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar dalam menjalankan fungsinya, dengan maksud dan tujuan untuk menemukan fakta, kemudian di lanjutkan dengan menemukan masalah, kemudian menuju kepada identifikasi masalah dan pada akhirnya menuju pada penyelesaian masalah.
2. Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang akan penulis lakukan terletak di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar.
3. Subjek dan Objek Penelitian
Sebagai subjek penelitian adalah Kepala Desa, seluruh anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan 4 orang tokoh masyarakat (ninik mamak) yang berada di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar. Sedangkan yang menjadi Objek dari penelitian ini adalah Pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar.
16 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:sinar Grafika,2011), h.175
4. Populasi dan Sampel a. Populasi
Populasi penelitian adalah keseluruhan sampel penelitian atau objek yang akan diteliti.17
b. Sampel
Sampel adalah sebagian yang diambil dari seluruh objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi.18 Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan khusus sehingga layak dijadikan sampel.
Tabel 1.1
Tabel populasi dan sampel
No Responden Populasi Sampel Persentase
1 Kepala Desa 1 orang 1 orang 100%
2 Anggota BPD 5 orang 5 orang 100%
3 4.
Ninik Mamak Kepala Dusun
4 orang 4 orang
4 orang 4 orang
100%
100%
Jumlah 14 orang 14 orang 100%
17 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta;Raja Grafindo,2011), h.122
18 Juliansyah Noor, Metode Peenelitian Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Karya Ilmiah, (Jakarta : Kencana Prenada Media Grub,2011), h,155
c. Sumber Data
Sumber data adalah tempat di perolehnya data.19 Adapun yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah :
a. Data Primer
Data primer adalah data yang di peroleh langsung dari sumbernya, baik melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen tidak resmi yang kemudian di olah oleh peneliti.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang di peroleh dari dokumen- dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, peraturan perundang-undangan.
Data sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi : 1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian yang di bahas. Bahan hukum yang berkaitan dengan pokok permasalahan, antara lain :
19 Zainuddin Ali Op Cit. h.176
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
b. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
c. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan .
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa.
e. Peraturan Daerah Kabupaten Kampar Nomor 9 Tahun 2007 tentang Badan Permusyawaratan Desa
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah hukum yang terkait dengan objek penelitian
3. Bahan Hukun Tersier
Bahan hukum tersier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ensiklopedia, majalah, surat kabar dan sebagainya.
d. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data perlu dilakukan oleh peneliti bertujuan untuk mendapatkan data-data yang valid dalam penelitian. Peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Observasi
Peneliti mengumpulkan data melalui pengamatan langsung di tempat penelitian, Hasil dari pengamatan tersebut peneliti gunakan sebagai tambahan data informasi dalam penelitian.
2. Wawancara
Peneliti melakukan percakapan kepada narasumber untuk memperoleh informasi dengan cara memberikan pertanyaan untuk memperoleh data-data yang ingin diteliti.
3. Teknik Analisa Data
Analisa data yang dilakukan dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini adalah terlebih dahulu diuraikan beberapa permasalahan yang dimunculkan guna memberikan arah terhadap penelitian yang dilakukan. Data yang dikumpulkan secara keseluruhan selanjutnya akan dibahas atau dianalisa.
Untuk menggambarkan apa yang telah dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan maupun prilaku yang nyata, peneliti menggunakan metode kualitatif.
Kemudian pada akhirnya ditarik suatu kesimpulan yang meliputi keseluruhan hasil pembahasan atau analisa data yang telah dilakukan. Dalam penarikan kesimpulan penulis menggunakan metode induktif. Metode induktif adalah suatu yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti dari
peraturan-peraturan atau prinsip-prinsip khusus menuju penulisan umum.
5. Sistematika Penulisan
Dalam melakukan pembahasan, akan dibagi dalam lima bagian penulisan dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini peneliti memaparkan tentang latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,, metode penulisan, serta sistematika penulisan.
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Dalam bab ini peneliti memaparkan tentang gambaran umum lokasi penelitian, organisasi Pemerintahan Desa, lembaga kemasyarakatan serta sarana dan prasarana Desa Batusasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar.
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisikan teori-teori yang berhubungan dengan pembahasan dalam penelitian ini yaitu tentang Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini penulis akan membahas mengenai pelaksanaan fungsi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di Desa Batusasak berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016,
diantaranya membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa dan Melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa dan faktor-faktor yang menghambat Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan fungsinya.
BAB V PENUTUP
Bab ini menyajikan tentang kesimpulan dan saran.
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Desa Batu Sasak
Desa Batu Sasak merupakan salah satu Desa yang terletak di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar tersebut berada pada jarak 90 KM dari ibu kota Kecamatan, dan 135 Km dari ibu kota Kabupaten.
Sedangkan jarak ke ibu kota Provinsi lebih kurang 150 km. Desa Batu Sasak mempunyai luas wilayah lebih kurang 8.001 hektar, yang meliputi areal pemukiman, perkebunan, persawahan/ladang, pemakaman, perkarangan dan prasana umum.20
Adapun batas-batas wilayah Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar adalah sebagai berikut :
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Balung
2. Sebelah Selatan berbtasan dengan Pangkalan Kapas 3. Sebelah Timur berbtasan dengan Tanjung Karang 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Manggilang
20 Data diperoleh dari Profil Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar
Penduduk Desa Batu Sasak berjumlah 1.268. jiwa yang terdiri dari 632 jiwa penduduk laki-laki dan 636 jiwa penduduk perempuan. Jumlah kepala keluarga mencapai 337 KK dan dengan kepadatan penduduk 71 jiwa per km.
Penduduk Desa Batu Sasak mayoritas adalah penganut agama islam.
Sedangkan kelompok etnis penduduk yang terdapat di Desa ini adalah suku Melayu. Mata pencaharian penduduk Desa Batu Sasak pada umumnya adalah pada bidang pertanian. Potensi hasil pertanian Desa setempat meliputi tanaman pangan, komoditas buah-buahan, dan perkebunan. Disamping itu juga terdapat usaha peternakan masyarakat dan budi daya ikan tawar. Jenis mata pencaharian penduduk Desa lainnya meliputi berbagai profesi antara lain yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS), pedagang dan sebagainya.21
B. Organisasi Pemerintahan Desa Batu Sasak
Pemerintahan Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang dibantu sejumlah perngkat Desa, yaitu :
1. Kepala Desa 2. Sekretaris Desa
3. Kepala Kepala Urusan Umum dan Perencanaan 4. Kepala Urusan Keuangan
5. Kepala Seksi Pemerintahan
6. Kepala Seksi Kesajahteraan dan Pelayanan
21 Ibid
Gambar I.1
Struktur Organisai Pemerintahan Desa Batu Sasak Kecamtan Kampar Kiri hulu Kabupaten Kampar
C. Struktur Organisasi Badan Permusyawaratan Desa Batu Sasask Kepala Desa
RIYUMITA
Kepala Dusun 01 ALEXANDER
Kepala Dusun 02 ALFIAN FURKANI
Kepala Dusun 03 ISKANDAR
Kepala Dusun 04 ABDUL GANI Kepala Seksi
Kesajahteraan dan Pelayanan
ARIZAL
Sekretaris Desa MARDI
Kepala Urusan Umum dan Perencanaan PELDAYANTO
Kepala Urusan Keuangan JENRIJAF Kepala Seksi
Pemerintahan JHOSERIZAL
Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar dipimpin oleh seorang Ketua yang dibantu oleh Wakil Ketua, Sekretaris dan dua orang anggota :
Gambar I.2
Struktur Organisai Badan Permusyawaratan Desa Batu Sasak Kecamtan Kampar Kiri hulu Kabupaten Kampar
Sumber : Kantor Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu D. Lembaga Kemasyarakatan
Lembaga kemasyarakatan yang terdapat di Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar :
1. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa; jumlah pengurus 4 orang
Ketua BPD SUARDI
Anggota PENDRI
Anggota
BENNI ALRISANDI
Wakil Ketua RIKO CANDRA
Sekretaris
VIVIN TRISKASONI
2. PKK; jumlah pengurus 20 orang
3. Rukun Warga (RW); jumlah pengurus 8 orang 4. Rukun Tetangga (RT ; jumlah pengurus 16 orang 5. Organisasi Pemuda ; jumlah pengurus 4 orang 6. Organisasi keagamaan; jumlah pengurus 3 orang E. Sarana dan Prasarana Umum Desa Batu Sasak
1. Prasarana Pendidikan
Desa Batu Sasak merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar dengan jumlah penduduk usia sekolah relatif banyak dibandingkan Desa lainnya yang ada di Kecamatan Kampat Kiri Hulu. Oleh sebab itu di Desa ini diperlukan tersedianya prasarana pendidikan yang memadai dan mampu memenuhi kebutuhan pendidikan bagi penduduk Desa setempat. Adapaun prasarana pendidikan di Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar yaitu seperti terdapat pada tabel berikut :
Tabel II.1 Prasaran Pendidikan
NO Prasaran Pendidikan Jumlah (Unit)
1. Taman Kanak-kanak (TK) 1
2. Sekolah Dasar (SD) 1
3. Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1 Sumber : Kantor Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu
Berdasarkan data prasarana pendidikan pada tabel diatas, maka di Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar terdapat 1 unit Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar (SD) dan 1 unit Sekolah Menengah Atas (SMP).
2. Prasarana Peribadatan
Prasaran peribadatan di Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar yaitu seperti dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel II.2
Prasarana Peribadatan
No Prasarana Peribadatan Jumlah (Unit)
1. Musholla 6
2. Masjid 3
Sumber : Kantor Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu
Berdasarkan data pada tabel diatas, maka prasarana peribadatan yang ada di Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar yaitu sebanyak 3 unit masjid, dan 6 unit mushalla. Tersedianya prasarana peribadatan di pedesaan akan mendukung upaya peningkatan pengamalan kehidupan beragama bagi masyarakat Desa setempat.22 3. Prasarana dan Sarana Kesehatan
Prasarana dan sarana kesehatan di pedesaan sangat berperan dalam memilahara kesehatan dan meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat
22 Ibid
Desa. Prasaran dan sarana kesehatan yang terdapat di Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar yaitu seperti dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel II.3
Prasarana dan Sarana Kesehatan
No Prasarana dan Sarana Kesehatan Jumlah (Unit)
1. Puskesmas 1
2. Posyandu 1
3. Bidan 5
4. Perawat 1
5. Dokter 1
6. Pengobatan Alternatif 2
Sumber : Kantor Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu 4. Prasarana Olahraga
Prasarana olahraga yang ada di desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar yaitu seperti yang dijelaskan pada tabel berikut :
Tabel II.4 Prasarana Olahraga
No Prasaran Olahraga Jumlah (Unit)
1. Lapangan sepak bola 1
2. Lapangan bola voli 2
3. Bulu tangkis 1
Sumber : Kantor Desa Batu Sasak Kecamatan Kampar Kiri Hulu
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA A. Sistem Pemerintahan Desa
Dalam teori Hukum Tata Negara, pembagian tugas dan atau wewenang dapat dilakukan dengan dua cara yaitu secara horizontal dan secara vertikal. Pembagian secara horizontal adalah pembagian tugas dan atau wewenang menurut fungsinya yang mana petugas dalam melaksanakan tugasnya mempunyai kedudukan sama dengan petugas lain yang ruang lingkupnya berbeda.23
Pembagian secara vertikal adalah pembagian tugas dan wewenang menurut tingkatannya yang mana petugas dalam melaksanakan tugas dan atau wewenangnya mempunyai kedudukan yang berbeda tingkatannya dengan petugas lain, petugas yang lebih tinggi kedudukannya dapat melimpahkan tugas dan atau wewenang kepada petugas yang lebih rendah kedudukannya.
Dalam hal ini penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan program otonomi dan desentralisasi dalam konsep Negara kesatuan, merupakan salah satu bentuk pembagian tugas dan wewenang dengan cara vertikal.24
Penyelenggaraan pemerintahan desa di bumi nusantara ini bukan adopsi dari sistem negara penjajah melainkan asli dari masyarakat Indonesia.
23 R. Abdoel Djamil, pengantar hukum Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2005)h. 89
24 Ibid
Keaslian itu diakui oleh van vollenhovan dalam bukunya Staatsrecht overze bahwa pada tahun 1996 ketika kapal berbendera Belanda yang pertama memasuki perairan kepulauan Indonesia wilayah ini secara hukum ketatanegaraan bukanlah wilayah yang “liar dan kosong". Di sana terdapat setumpuk lembaga-lembaga pengaturan dan kewibawaan, meliputi pemerintahan oleh atau terhadap suku-suku, desa-desa, persekutuan- persekutuan republik dan kerajaan-kerajaan.25
Untuk Pemerintahan Desa sebenarnya tidak ada ketentuan Perundangan Undangan yang secara tegas menyatakan bahwa Desa merupakan Daerah Otonom, namun dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, kesatuan masyarakat adalah hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.26
Ketentuan serupa juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dari ketentuan ini dapat kita menyimpulkan bahwa kalimat "Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang
25 Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2005) h. 144
26Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
memiliki batas-batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat". ini dapat diartikan Desa adalah daerah otonom karena adanya kewenangan yang diberikan perundangan- undangan kepada desa untuk mengurus sendiri kepentingan masyarakat desa setempat, yang mana kewenangan untuk mengatur dan rnengurus kepentingan sendiri merupakan inti makna dari istilah otonomi.27
Secara umum desa sebagai tempat dimana bermukim penduduk dengan 'peradaban' yang lebih terbelakang ketimbang kota. Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata pencarian yang umumnya dari sektor pertanian.28 Penyebutan desa lebih akraB ditelingga orang Jawa, Madura dan Bali, Dusun dan Marga (Sumatra Selatan), Dusundati (Maluku), Kuta atau Huta (Batak), Nagari (Minangkabau), Aceh menyebutnya Garnpong.
Sedangkan sebutan Kepala Desa juga menggunakan istilah yang berbeda pada tiap-tiap bagian daerah seperti di daerah Tapanuli Kepal Desa disebut Kepala Nagari, di Sumatra Selatan disebut dengan nama Pesirah, di daerah Jawa disebut dengan Lurah, di daerah Bali disebut Tembukung, di daerah Sulawesi Utara disebut Hukum Tua, di daerah Maluku disebut Kepala Nagari dan di berbagai daerah di papua disebut Kurano. Masih banyak lagi
27 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
28 Suhartono, dkk, Parlemen Desa Awal Kemerdekaan Sampai Jaman Otonoi Daerah,(Jokyakarta : Lapera Pustaka Utama,2001) h. 9
sebutan yang bercorak ragam menurut istilah-istilah daerah setempat yang sebenarnya mempunyai pengertian yang sama.29
Susunan desa-desa membentuk persekutuan masyarakat hukum dikatagorikan atas 3 (tiga) tipe yaitu:30
1. Tipe kesatuaan masyarakat hukum berdasarkan kepada teritorial wilayah tempat bersama sebagai dasar utama.
2. Tipe kesatuan masyarakat umum bedasarkan persamaan keturunan/genetik (suku, warga atau calon) sebagai dasar utama untuk dapat bertempat tinggal dalam suatu wilayah tersebut.
3. Tipe kesaturan hukum berdasarkan atas campuran (teritorial dan keturunan).
Selain dari pada itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan tentang unsur-unsur yang harus ada dalarn suatu desa yaitu:
1. Daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak produktif berserta penggunaanya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografis setempat.
2. Penduduk adalah hal yang meliputi jumlah pertambahan kepadatan, persebaran dan mata pencarian penduduk desa setempat.
29 Wasistiono Sadu dan Irwan Tahir, Prospek Perkembangan Desa, (Bandung : CV Fokus Media,2007) h. 9
30 Ibid.
3. Tata kehidupan, dalam hal ini pola tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk beluk kehidupan masyarakat desa (rural society).31
Dalam pengertian sosiologis, desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak bergantung kepada alam.32
Dari sudut pandang politik dan administrasi pemerintahan, desa dipahami sebagai suatu daerah kesatuan hukum dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri. Pengertian ini sanat menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Pengertian tersebut termuat dalam undang-undang secara jelas menempatkan desa sebagai suatu organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan, yang secara politis memiliki wewenang tertentu untuk mengatur warga atau anggota komunitasnya yaitu dalam Undang- Undang Nomor 5 Tahun l979 Tentang Pemerintahan Desa, dan kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian dalam
31 Ibid, h.10
32 Suhartono, dkk, Op. Cit, h.10
pengertian ini, masih belum tergambarkan sacara jelas mengenai kualitas otoriter yang dimiliki oleh desa.33
Keberadaan Desa secara yuridis formal diakui dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah junto PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Menurut ketentuan ini Desa adalah suatu masyarakat umum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal- usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihorrnati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Munculnya otoritas politik di dalam suatu komunitas yang disebut dengan desa secara internal mudah dipahami, dengan melihat sejarah perkembangannya. Secara faktual jumlah penduduk bertarnbah dan masalah- masalah berkaitan dengan kepentingan masyarakat bertambah. Kenyataan tersebut sudah barang tentu mendorong munculnya suatu otoritas yang diharapkan dapat mengatasi berbagai persoalan yang merealisasikan aspirasi yang berkembang. Dari berbagai pengertian desa tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan ada beberapa ciri desa secara umum34 :
1. Desa umumnya terletak sangat dekat dengan pusat wilayah usaha tani (sudut pandang ekonomi).
2. Dalam wilayah itu, pertanian merupakan kegiatan ekonomi dominan.
33 Ibid, h. 14
34 Ibid, h. 16
3. Faktor-faktor penguasaan tanah menentukan corak kehidupan masyarakat 4. Tidak seperti di kota besar yang penduduknya sebagian besar merupakan
pendatang populasi penduduk desa lebih bersifat “terganti oleh dirinya sendiri”.
5. Kontrol sosial lebih bersifat informal, dan interaksi antara warga desa lebih bersifat personal dalam bentuk tatap muka.
6. Mempunyai tingkat homogenitas yang relatif tinggi dan ikatan sosial yang relatif ketat dari pada kota.
Berdasarkan pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa di jelaskan bahwa “Desa adalah desa dan desa adat atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.35
Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa mengartikan bahwa “Pemerintahan Desa sebagai penyelenggaraan urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Penyelenggaraan
35 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Lembaran Negera Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7
Pemerintahan Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa meliputi Penyelenggaraan Urusan Bidang Eksekutif yaitu penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah desa melalui Kepala Desa dan perangkat desa sebagai kepala pemerintahan dan pelaksana pemerintahan.36
Pemerintahan Desa sangat berperan penting dalam pembangunan Desa dalam hal ini kepala Desa beserta jajarannya diberikan wewenang untuk mengurus wilayahnya. Dalam pasal 1 ayat (3) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014, dijelaskan bahwa “Pemerintah Desa adalah Kepala Desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat Desa sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Desa.37
Sedangkan penyelenggaraan urusan bidang legislatif dibentuk suatu Badan Perwakilan Desa yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta keputusan Kepala Desa sebagai wujud demokrasi.38
Berdasarkan Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa bahwa Badan Permusyawaran Desa yang selanjutnya disingkat BPD atau yang disebut
36 Bambang Trisantono Sumantri, Op.Cit. h. 3-4
37 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelakasana Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
38 H.A.W. Widjaja, Op.Cit .h. 93
dengan nama lain adalah lembaga yang melaksanakan fungsi Pemerintahan yang anggotanya merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan ditetapkan secara demokratis.39
Undang-Undang no 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur, bahwa pada Pemerintahan Desa terdapat dua unsur penyelenggaraan pemerintahan, yaitu Pemerintah Desa yang dipimpin Kepala Desa sebagai unsur eksekutif dan Badan Permusyawaratan Desa sebagai unsur legislatif. Undang-Undang ini memberikan penegasan terhadap adanya pembagian kekuasaan pada Pemerintahan Desa.40
1. Badan Permusyawaratan Desa
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa anggota Badan Permusyawaratan Desa :
1) Anggota BPD merupakan wakil dari penduduk Desa berdasarkan keterwakilan wilayah dan keterwakilan perempuan yang pengisiannya dilakukan secara demokratis melalui proses pemilihan secara langsung atau musyawarah perwakilan.
2) Jumlah anggota BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang.
39 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa
40 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
3) Penetapan Jumlah anggota BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memperhatikan jumlah penduduk dan kemampuan Keuangan Desa.
4) Wilayah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah dalam desa seperti wilayah dusun, RW atau RT.
Kemudian pada Pasal 6 pengisian keanggotaan BPD dilakukan melalui:
1) Pengisian anggota BPD berdasarkan keterwakilan wilayah; dan 2) Pengisian anggota BPD berdasarkan keterwakilan perempuan.
2. Kelembagaan Badan Permusyawaratan Desa
Kelembagaan Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan Pasal 27 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa disebutkan :
1) Kelembagaan BPD terdiri atas:
a. pimpinan; dan b. bidang.
2) Pimpinan BPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua;
b. 1 (satu) orang wakil ketua; dan c. 1 (satu) orang sekretaris.
3) Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas :
a. bidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembinaan kemasyarakatan; dan
b. bidang pembangunan Desa dan pemberdayaan masyarakat Desa.
4) Bidang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipimpin oleh ketua bidang;
5) Pimpinan BPD dan ketua bidang merangkap sebagai anggota BPD.
3. Fungsi dan Tugas Badan Permusyawaran Desa
Berdasarkan pasal 31 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa fungsi Badan Permusyawaratan Desa sebagai berikut :
1. Membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa dan Peraturan Kepala Desa bersama Kepala Desa
2. Menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat Desa 3. Melakukan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa
Sedangkan tugas Badan Permusyawarata Desa sebagaimana yang terdapat pada Pasal 32 sebagai berikut :
a. Menggali aspirasi masyarakat;
b. menampung aspirasi masyarakat;
c. mengelola aspirasi masyarakat;
d. menyalurkan aspirasi masyarakat;
e. menyelenggarakan musyawarah BPD;
f. menyelenggarakan musyawarah Desa;
g. membentuk panitia pemilihan Kepala Desa;
h. menyelenggarakan musyawarah Desa khusus untuk pemilihan Kepala Desa antarwaktu;
i. membahas dan menyepakati rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa;
j. melaksanakan pengawasan terhadap kinerja Kepala Desa;
k. melakukan evaluasi laporan keterangan penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
l. menciptakan hubungan kerja yang harmonis dengan Pemerintah Desa dan lembaga Desa lainnya; dan
m. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam ketentuan
4. Hak, Kewajiban dan wewenang Badan Permusyawaratan Desa
Berdasarkan pasal 51 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 110 Tahun 2016 tentang Badan Permusyawaratan Desa disebutkan Hak Badan Permusyawaratan Desa antara lain :
1. Mengawasi dan meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa.
2. Menyatakan pendapatan atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa
3. Mendapatkan biaya operasional pelaksanaan tugas dan fungsinya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa.
Kemudian pada pasal 55 Anggota Badan Permusyawaratan Desa berhak :
1. Mengajukan usul rancangan Peraturan Desa
2. Mengajukan pertanyaan
3. Menyampaikan usul dan/atau pendapatMemili dan dipilih
4. Mendapatkan tunjangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Kemudian kewajiban anggota Badan Permusyawaratan Desa pada pasal 60 adalah :
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika;
b. melaksanakan kehidupan demokrasi yang berkeadilan gender dalam penyelenggaraan Pemerintahan Desa;
c. mendahulukan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan/atau golongan;
d. menghormati nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat Desa;
e. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga Pemerintah Desa dan lembaga desa lainnya; dan
f. mengawal aspirasi masyarakat, menjaga kewibawaan dan kestabilan penyelenggaraan Pemerintahan Desa serta mempelopori penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik. Sedangkan yang menjadi kewenangan Badan Permusyawaratan Desa pada pasal 63 adalah :
a. mengadakan pertemuan dengan mayarakat untuk mendapatkan aspirasi;
b. menyampaikan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah Desa secara lisan dan tertulis;
c. mengajukan rancangan Peraturan Desa yang menjadi kewenangannya;
d. melaksanakan monitoring dan evaluasi kinerja Kepala Desa;
e. meminta keterangan tentang penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Pemerintah Desa;
f. menyatakan pendapat atas penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa;
g. mengawal aspirasi masyarakat, menjaga kewibawaan dan kestabilan penyelenggaraan Pemerintahan Desa serta mempelopori penyelenggaraan Pemerintahan Desa berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik;
h. menyusun peraturan tata tertib BPD;
i. menyampaikan laporan hasil pengawasan yang bersifat insidentil kepada Bupati/Wali kota melalui Camat;
j. Menyusun dan menyampaikan usulan rencana biaya operasional BPD secara tertulis kepada Kepala Desa untuk dialokasikan dalam Rancangan Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa;
k. mengelola biaya operasional BPD;
l. mengusulkan pembentukan Forum Komunikasi Antar Kelembagaan Desa kepada Kepala Desa; dan
Melakukan kunjungan kepada masyarakat dalam rangka monitoring dan evaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Desa.41
B. Teori Kekuasaan
Banyak teori yang mencoba menjelaskan dari mana kekuasaan berasal.
Menurut teori teokrasi, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan, yaitu dari abad V sampai pada abad XV. Penganut teori ini adalah Augustinus, Thomas Aquinas, dan Marsilius. Sementara menurut teori hukum alam, kekuasaan itu berasal dari rakyat. Pendapat seperti ini dimulai dari aliran atau kaum monarkomaken yang dipelopori oleh Janonnes Althusius yang mengatakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat dan asal kekuasaan yang ada pada rakyat tersebut tidak lagi di anggap dari Tuhan, melainkan dari alam kodrat. Kemudian kekuasaan yang ada pada rakyat ini diserahkan pada seseorang, yang disebut raja, untuk menyelenggarakan kepentingan masyarakat.42
Berkaitan dengan penyerahan kekuasaan dari rakyat kepada Raja tersebut, dalam teori hukum alam terdapat perbedaan pendapat. Menurut J.J.
Rousseau yang mengatakan bahwa kekuasaan itu ada pada masyarakat, kemudian melalui perjanjian, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja.
Mekanisme penyerahan tersebut dimulai dari penyerahan masing-masing
41 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2016 Tentang Badan Permusyawaratan Desa
42 Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta : Prenada Media Grub, 2009), h. 9
orang kepada masyarakat sebagai suatu kesatuan, kemudian melalui perjanjian masyarakat, kekuasaan tersebut diserahkan kepada raja. Penyerahan kekuasaan di sisni bersifat bertingkat.43
Sedangkan menurut Thomas Hobbes, yang juga dari aliran teori hukum alam, penyerahan kekuasaan tersebut dari masing-masing orang langsung diserahkan kepada raja dengan melalui perjanjian masyarakat. Tidak seperti pendapatnya Rousseau yang melalui masyarakat dahulu baru diserahkan kepada raja
Kekuasaan Negara sudah diperbincangkan sejak zaman Yunani Kuno.
Misalnya, Plato dan Aristoteles dua pemikir besar di zaman itu menyatakan bahwa Negara memerlukan kekuasaan yang mutlak. Kekuasaan itu diperlukan untuk mendidik warganya dengan nilai-nilai moral yang rasional.
Pada zaman pertengahan, dalam bentuk yang sedikit berlainan, pemikiran ini muncul kembali. Para pemikir pada saat itu meyatakan bahwa negara harus tunduk kepada raja (Khatolik). Untuk menegakkan kehidupan moral di dunia. Karena itu, sudah sepatutnya negara memperoleh kekuasaan yang mutlak.44
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjelaskan bahwa kedaulatan tertinggi bangsa Indonesia berada di tangan
43 Ibid, h.10
44 Ibid
rakyat Indonesia.45 Rakyat yang memiliki kedaulatan atas unsur kekuasaan negara, yang kemudian oleh konstitusi, legitimasi kewenagannya diberikan pada lembaga negara selaku pemegang kekuasaan, yang anggotanya dipilih melalui cara yang demokratis oleh rakyat.
Suatu negara membutuhkan kekuasaan sebagai alat untuk meraih tujuan dari negara tersebut. Menurut Miriam Budiarjo kekuasaan adalah kemampuan seorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok manusia menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Dilihat dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat biasanya diorganisasikan melalui dua cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (seperation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power). Pemisahan adalah; (i) proses, cara, perbuatan memisahkan, pemecahan (pembelahan dan sebagainya), (ii) Pembedaan. Sedangkan makna dari kata pembagian berarti:
(i) Proses, cara, pembuatan membagi atau membagikan; (ii) Hitungan membagi.
Teori pemisahan kekuasaan adalah teori yang bertujuan membatasi kekuasaan negara agar tidak hanya berada dalam satu tangan saja. Pakar- pakar hukum maupun politik dari seluruh dunia telah banyak menguraikan tentang teori yang awalnya dicetuskan oleh John Locke kemudian diuraikan secara terperinci oleh Montesquieu dan diberi nama sebagai Trias Politica
45 Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
oleh Imanuel Kant.46 Trias Politica adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri atas tiga macam kekuasaan: Pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (dalam peristilahan baru sering disebut rule making function); Kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (rule application function); Ketiga kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Trias politica adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan (function ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa).47
Dalam rangka pembatasan kekuasaan, dikembangkan teori pemisahan kekuasaan yang pertama sekali dikenalkan oleh John Locke. Menurut Jhon Locke, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter dapat dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke dalam satu orang atau satu lembaga. Hal ini dilakukan dengan (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power) dan kekuasaan federatif (federative power). Pemikiran Jhon Locke ini didasari oleh konsepnya tentang liberalisme yang memandang kebebasan invidu sebagai hal paling utama harus dibatasi hukum yang dibuat oleh negara. Akan tetapi, negara tidak
46 C.S.T. Kansil, Christine S.T. Kansil, Ilmu Negara, (Jakarta : Pradnya Paramita, 2007), h.
140-141
47 Ibid, h. 143.