• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kearifan Lokal Masyarakat Melayu dalam Naskah Drama Senandung Semenanjung Karya Wisrasn Hadi. Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Kearifan Lokal Masyarakat Melayu dalam Naskah Drama Senandung Semenanjung Karya Wisrasn Hadi. Abstract"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Kearifan Lokal Masyarakat Melayu dalam Naskah Drama “Senandung Semenanjung” Karya Wisrasn Hadi

Azwar

Program Studi Ilmu Komunikasi, FISIP, UPN “Veteran” Jakarta Email: azwarstmalaka@upnvj.ac.id

Abstrak

Tulisan ini merupakan analisis terhadap naskah drama “Senandung Semenajung”

karya Wisran Hadi. Kajian ini dilakukan karena naskah drama “Senandung Semenanjung”

adalah salah satu karya sastra yang sudah mendapat banyak penghargaan. Penghargaan tersebut merupakan pengakuan atas kebesaran sebuah karya sastra. Kajian ini merupakan analisis struktural yang mengkaji struktur instrinsik dan ekstrinsik sebuah karya. Dengan menggunakan metode kualitatif, peneliti menjelaskan bahwa karya sastra dalam hal ini

“Senandung Semenanjung” merupakan cerminan dari masyarakatnya. Naskah drama ini merupakan perwujudan dari pandangan dunia pengarangnya.

Kata Kunci: Wisran Hadi, Naskah Drama, Senandung Semenanjung, Strukturalisme.

Abstract

This paper is an analysis of the script drama "Senandung Semenajung" by Wisran Hadi. This study was conducted because the drama script "Senandung Semenajung" is one of the works of literature that has received many awards. The award is a recognition of the greatness of a literary work. This study is a structural analysis that examines the intrinsic and extrinsic structures of a work. Using a qualitative methodology, the researcher explains that literary works in this case "Senandung Semenanjung" are a reflection of their society. This drama script is a manifestation of the author's world view.

Key Words: Wisran Hadi, Drama, Senandung Semenanjung, Structuralism.

1.Pendahuluan

Karya sastra memang lahir dari imajinasi manusia. Namun, bukan berarti karya sastra tidak memiliki arti apa-apa untuk kehidupan. Sastra memiliki energi untuk menggerakkan manusia pada khususnya dan kehidupan pada umumnya. Oleh sebab itu, banyak hal yang dapat dipetik dari karya sastra. Dalam buku Membaca Sastra Membaca Dunia (Basa Basi, 2016) saya menuliskan walaupun karya sastra adalah karya fiksi, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra adalah cerminan masyarakatnya. Karya sastra memang tidak dapat membangun fisik dunia secara langsung, akan tetapi sastra mampu menggerakkan manusia untuk membangun dunia.

Sastra adalah cermin dari beradab atau tidaknya sebuah bangsa. Semakin tinggi peradaban yang digambarkan sebuah karya sastra tentang kehidupan manusianya, maka semakin tinggi pulalah peradaban bangsa tersebut dalam kehidupan sesungguhnya. Tak

(2)

heran jika peradaban-peradaban besar di dunia, juga mewariskan karya sastra sebagai dokumentasi atas peradaban tersebut.

Sejalan dengan hal di atas, Hippolyte Taine (dalam Fananie, 2000) menyatakan bahwa karya sastra tidak sekadar fakta imajinatif dan pribadi, tetapi merupakan cerminan imajinatif dan budaya, suatu perwujudan pikiran tertentu pada saat karya dilahirkan.

Sementara itu Goldmann (dalam Endraswara, 2003) mempertegas, bahwa fakta kemanusiaan merupakan struktur yang bermakna. Semua aktivitas manusia merupakan respon dari subyek tertentu, merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya.

Salah satu karya sastra yang merupakan cerminan masyarakat nusantara adalah naskah drama “Senandung Semenanjung” karya Wisran Hadi. Naskah drama “Senandung Semenanjung” ini merupakan Pemenang Lomba Penulisan Naskah Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 1985. Naskah drama ini kemudian dihimpun dalam buku Empat Lakon Orang Melayu yang diterbitkan Penerbit Angkasa Raya, Bandung pada tahun 2000. Wisran Hadi bersama grup teater yang dipimpinnya yaitu Teater Bumi mementaskan naskah drama ini dalam beberapa kali kesempatan.

Wisran Hadi, dalam dunia sastra Indonesia dikenal sebagai sastrawan yang kritis terhadap berbagai hal seperti politik, budaya, dan kehidupan sosial masyarakat. Melalui karya-karyanya, Wisran Hadi mengkritik kesewenangan pemerintah pusat terhadap kebudayaan di daerah. Melalui karya-karyanya juga Wisran Hadi mengkritik seniman- seniman yang dianggap tidak memperjuangkan kepentingan masyarakat, tetapi menjilat kekuasaan, seperti yang dikisahkannya dalam naskah drama “Senandung Semenanjung”.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, maka pantaslah untuk membahas naskah drama “Senandung Semenanjung” dan pandangan dunia Wisran Hadi sendiri dalam karya sastra. Berdasarkan hal tersebut maka tulisan singkat ini akan melihat pertama bagaimana struktur cerita naskah drama “Senandung Semenanjung” karya Wisran Hadi?

Kedua bagaimanakah kearifan lokal yang ada dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” dalam membangun karakter bangsa?

Seiring dengan masalah yang telah diungkapkan tersebut di atas, kajian ini bertujuan untuk pertama secara khusus menjelaskan struktur cerita naskah drama

“Senandung Semenanjung” karya Wisran Hadi. Kedua menjelaskan kearifan lokal yang ada dalam naskah drama “Senandung Semenanjung”. Secara umum kajian ini diharapkan menghasilkan sebuah tulisan yang berguna bagi ilmu sastra khususnya dan masyarakat umumnya.

Landasan Teori

Kajian terhadap naskah drama “Senandung Semenanjung” dilandasi oleh teori strukturalisme genetik. Penelitian beranjak dari syarat yang diajukan Goldmann tentang penelitian strukturalisme genetik, yaitu penelitian dibatasi pada novel/karya yang mempunyai tokoh bermasalah (problematik hero) yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang shahih (authentic value) (Junus, 1986). Walaupun Goldmann hanya menyampaikan syarat terhadap novel, hal tersebut juga dapat diterapkan dalam cerpen dan naskah drama karena pada dasarnya cerpen, novel, dan naskah drama merupakan karya sastra.

Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik sebenarnya tidak mutlak terhadap karya besar, sesuai dengan yang disampaikan oleh Suwardi Endraswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra (2003). Menurutnya, syarat subjek penelitian strukturalisme genetik adalah karya besar, yang harus memenuhi konsep unity (kesatuan) dan complexity (keragaman), sebenarnya dapat diabaikan. Istilah sastra besar, sebenarnya, sangat relatif. Sastra besar hanya mampu menjadi besar ketika telah diteliti banyak ahli.

(3)

Itulah sebabnya untuk sementara sastra besar dapat dimodifikasi ke arah karya sastra yang berbobot saja.

“Karya sastra berbobot lebih netral dan tidak mengesampingkan karya-karya sastra hiburan” (Endraswara, 2003). Masih dalam buku yang sama, Endraswara mengungkapkan, bahwa yang penting strukturalisme genetik mampu mengungkapkan fakta kemanusian.

Berdasarkan hal di atas pulalah, naskah drama “Senandung Semenanjung” dapat dijadikan sebagai objek penelitian strukturalisme genetik. Dengan teori strukturalisme genetik, pandangan dunia yang ada dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” dapat diungkapkan. Pendekatan strukturalisme genetik lahir dari reaksi atas strukturalisme murni/ pendekatan objektif/ strukturalisme ahistoris. Pendekatan objektif memusatkan perhatian pada karya sastra itu sendiri dengan mengabaikan unsur yang ada di luar sastra, seperti pengarang dan kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi karya sastra.

Beberapa ahli melihat hal di atas sebagai usaha untuk melepaskan karya sastra dari konteks sosialnya. Analisis dengan pendekatan strukturalisme mengorbankan ciri khas, kepribadian, cita-cita, dan norma yang dipegang pengarang dalam kondisi sosial tertentu.

Orang-orang yang tidak sepakat dengan strukturalisme murni ini mencoba menghubungkan struktur karya dengan masyarakat. Artinya, mereka mengusahakan penggabungan antara pendekatan strukturalisme dan pendekatan sosiologi sastra. Gabungan kedua pendekatan inilah yang kemudian melahirkan pendekatan strukturalisme genetik.

Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Hippolyte Taine (1766-1817), kritikus dan sejarawan Prancis (Damono, dalam Fananie, 2003). Strukturalisme genetik dikembangkan oleh Lucian Goldmann, seorang ahli sastra Perancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang.

Endraswara (2003) menuliskan bahwa penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasar. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur instrinsik karya sastra.

Dalam strukturalisme genetik, Goldmann memiliki dasar hipotesis sebagai berikut (a) Semua prilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas, maksudnmya, prilaku manusia selalu berupa respon terhadap lingkungannya. (b) Bahwa kelompok sosial mempunyai tendensi atau kecenderungan untuk menciptakan pola tertentu yang berbeda dari pola yang sudah ada. (c) Bahwa prilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju transedensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dari semua aksi sosial dan sejarah (Burns and Burns, dalam Fananie, 2000).

Suwardi Endraswara (2003) menyampaikan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikan. Pandangan dunia, bagi Goldmann, selalu terbayang sastra agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif).

Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang kongkret dalam sastra. Oleh karena pandangan dunia ini suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, pandangan dunia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann, merupakan hubungan genetik, karenanya disebut strukturaklisme genetik.

(4)

Faruk dalam bukunya Pengantar Sosiologi Sastra (1994) mengutip pendapat Goldmann menyampaikan bahwa: Pertama, pada umumnya, karya sastra itu merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan tokoh-tokoh semesta, objek-objek, dan relasi secara imajiner.

Goldmann juga mengembangkan konsep tentang pandangan dunia (vision du monde, world vision) yang terwujud dalam semua karya sastra dan filsafat yang besar.

Pandangan dunia ini diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya dengan segala kerumitan dan keutuhannya. Sebagai contoh pandangan dunia ini ditunjukkan, antara lain empirisme, rasionalisme, dan pandangan tragik, himpunan-himpunan pikiran yang total yang mencoba menangkap kenyataan sebagai suatu yang utuh.

Fananie (2000) sebagaimana yang ia kutip dari Laurenson mengungkapkan bahwa untuk sampai kepada pandangan dunia yang merupakan pandangan dunia pengarang tidaklah mudah. Goldmann mengisyaratkan bahwa analisis yang dilakukan bukanlah terletak pada isi (contens), melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita itulah, kemudian, dicari jaringan–jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan terhadap struktur dengan mengabaikan masalah isi, sebenarnya, merupakan suatu permasalahan tersendiri, karena hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang mempunyai tradisinya sendiri.

2. Metode

Penulisan makalah ini dilandasi metode kualitatif. Metode kualitatif dalam pengkajian karya sastra lebih banyak ditekankan pada kajian deskriptif. Dalam pengkajian terhadap naskah drama ini penulis menganalisis karya sastra untuk memahami, menjelaskan, dan menafsirkan objek kajian.

Adi Triyono (dalam Jabrohim, ed. : 2003) menyampaikan bahwa komponen metode dalam penelitian karya sastra mencakup beberapa hal: pertama data dan variabelnya. Data harus dijelaskan jenisnya. Data yang diperlukan dapat berwujud data kepustakaan ataupun data lapangan. Dalam kajian ini, penulis menggunakan data kepustakaan untuk mengkaji struktur drama “Senandung Semenanjung” dan melihat nilai- nilai kearifan lokal dalam naskah drama tersebut.

Kedua populasi, artinya keseluruhan objek yang dijadikan bahan penelitian. Ketiga sampel, artinya keseluruhan objek yang memiliki ciri-ciri yang terkandung pada keseluruhan. Karena penelitian ini adalah penelitian kualitatif, maka populasi dan sampel dalam kajian ini menjadi objek kajian, yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah naskah drama “Senandung Semenanjung” karya Wisran Hadi.

Sementara itu untuk memahami lebih mendalam naskah drama “Senandung Semenanjung” ini, penulis merujuk pada Wellek dan Warren (2014) yang menyatakan bahwa pada dasarnya karya sastra terdiri atas beberapa strata norma lapis unsur, yaitu (1) lapis bunyi, misalnya bunyi suara suku kata, frase, kalimat (2) lapis arti, misalnya arti-arti dalam fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat, (3) lapis objek, misalnya objek-objek yang dikemukakan seperti pelaku dan dunia pengarang.

Teknik Analisis

Teknik adalah alat untuk menjabarkan metode secara langsung kepada objek yang dilakukan. Adapun teknik yang digunakan dalam kajian ini adalah sebagai berikut:

1. Teknik pengumpulan data

(5)

Teknik pengumpulan data dikumpulkan dengan menggunakan data kepustakaan.

Pengumpulan data dilakukan dari literatur-literatur yang berkaitan atau relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas. Data diambil dari naskah drama “Senandung Semenanjung” karya Wisran Hadi yang merupakan objek penelitian.

2. Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan menganalisis objek yang dikaji berdasarkan unsur-unsur yang membangunnya dan masing-masing unsur tersebut dianalisis satu persatu. Kemudian melihat hubungan antar unsur-unsur tersebut. Objek dianalisis dari unsur-unsur pembangun dengan menganalisa tokoh dan penokohan, alur, latar, konflik, gaya bahasa, dan tema.

3. Penyajian Hasil Analisis

Penyajian hasil analisis data disusun dalam bentuk laporan naratif dan kemudian memberikan kesimpulan analisis yang telah dilakukan.

Lebih jauh dalam kajian ini, penulis memakai cara kerja dengan langkah-langkah sebagai berikut: pertama membaca naskah drama “Senandung Semenanjung” secara teliti.

Kedua melakukan kajian unsur intrinsik, dengan mengkaji tema, penokohan, latar, sudut pandang, dan alur atau plot. Ketiga mengkaji latar belakang sosial pengarang, karena ia merupakan bagian komunitas tertentu. Keempat mengkaji latar belakang sosial dan sejarah yang turut mengkondisikan karya sastra saat diciptakan oleh pengarang. Kelima merumuskan pandangan dunia “Senandung Semenanjung” dan membuat kesimpulan.

3. Hasil dan Pembahasan

Kajian terhadap naskah drama “Senandung Semenanjung” dilandasi oleh teori strukturalisme genetik. Penelitian beranjak dari syarat yang diajukan Goldmann tentang penelitian strukturalisme genetik, yaitu penelitian dibatasi pada novel/karya yang mempunyai tokoh bermasalah (problematik hero) yang berhadapan dengan kondisi sosial yang memburuk (degraded) dan berusaha mendapatkan nilai yang shahih (authentic value) (Junus, 1986). Walaupun Goldmann hanya menyampaikan syarat terhadap novel, hal tersebut juga dapat diterapkan dalam cerpen dan naskah drama karena pada dasarnya cerpen, novel, dan naskah drama merupakan karya sastra.

Penelitian dengan pendekatan strukturalisme genetik sebenarnya tidak mutlak terhadap karya besar, sesuai dengan yang disampaikan oleh Suwardi Endraswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Sastra (2003). Menurutnya, syarat subjek penelitian strukturalisme genetik adalah karya besar, yang harus memenuhi konsep unity (kesatuan) dan complexity (keragaman), sebenarnya dapat diabaikan. Istilah sastra besar, sebenarnya, sangat relatif. Sastra besar hanya mampu menjadi besar ketika telah diteliti banyak ahli.

Itulah sebabnya untuk sementara sastra besar dapat dimodifikasi ke arah karya sastra yang berbobot saja.

“Karya sastra berbobot lebih netral dan tidak mengesampingkan karya-karya sastra hiburan” (Endraswara, 2003). Masih dalam buku yang sama, Endraswara mengungkapkan, bahwa yang penting strukturalisme genetik mampu mengungkapkan fakta kemanusian.

Berdasarkan hal di atas pulalah, naskah drama “Senandung Semenanjung” dapat dijadikan sebagai objek penelitian strukturalisme genetik. Dengan teori strukturalisme genetik, pandangan dunia yang ada dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” dapat diungkapkan. Pendekatan strukturalisme genetik lahir dari reaksi atas strukturalisme murni/ pendekatan objektif/ strukturalisme ahistoris. Pendekatan objektif memusatkan perhatian pada karya sastra itu sendiri dengan mengabaikan unsur yang ada di luar sastra, seperti pengarang dan kondisi sosial budaya yang melatarbelakangi karya sastra.

Beberapa ahli melihat hal di atas sebagai usaha untuk melepaskan karya sastra dari konteks sosialnya. Analisis dengan pendekatan strukturalisme mengorbankan ciri khas,

(6)

kepribadian, cita-cita, dan norma yang dipegang pengarang dalam kondisi sosial tertentu.

Orang-orang yang tidak sepakat dengan strukturalisme murni ini mencoba menghubungkan struktur karya dengan masyarakat. Artinya, mereka mengusahakan penggabungan antara pendekatan strukturalisme dan pendekatan sosiologi sastra. Gabungan kedua pendekatan inilah yang kemudian melahirkan pendekatan strukturalisme genetik.

Pencetus pendekatan strukturalisme genetik adalah Hippolyte Taine (1766-1817), kritikus dan sejarawan Prancis (Damono, dalam Fananie, 2003). Strukturalisme genetik dikembangkan oleh Lucian Goldmann, seorang ahli sastra Perancis. Pendekatan ini merupakan satu-satunya pendekatan yang mampu merekonstruksikan pandangan dunia pengarang.

Endraswara (2003) menuliskan bahwa penelitian strukturalisme genetik memandang karya sastra dari dua sudut, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Studi diawali dari kajian unsur intrinsik (kesatuan dan koherensinya) sebagai data dasar. Selanjutnya, penelitian akan menghubungkan berbagai unsur dengan realitas masyarakatnya. Karya dipandang sebagai sebuah refleksi zaman, yang dapat mengungkapkan aspek sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dari zamannya akan dihubungkan langsung dengan unsur-unsur instrinsik karya sastra.

Dalam strukturalisme genetik, Goldmann memiliki dasar hipotesis sebagai berikut (a) Semua prilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas, maksudnmya, prilaku manusia selalu berupa respon terhadap lingkungannya. (b) Bahwa kelompok sosial mempunyai tendensi atau kecenderungan untuk menciptakan pola tertentu yang berbeda dari pola yang sudah ada. (c) Bahwa prilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju transedensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dari semua aksi sosial dan sejarah (Burns and Burns, dalam Fananie, 2000).

Suwardi Endraswara (2003) menyampaikan bahwa strukturalisme genetik merupakan penelitian sastra yang menghubungkan antara struktur sastra dan struktur masyarakat melalui pandangan dunia atau ideologi yang diekspresikan. Pandangan dunia, bagi Goldmann, selalu terbayang sastra agung, adalah abstraksi (bukan fakta empiris yang memiliki eksistensi objektif).

Abstraksi itu akan mencapai bentuknya yang kongkret dalam sastra. Oleh karena pandangan dunia ini suatu bentuk kesadaran kolektif yang mewakili identitas kolektifnya, pandangan dunia secara sahih dapat mewakili kelas sosialnya. Pandangan inilah yang menentukan struktur karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra dapat dipahami asalnya dan terjadinya (unsur genetiknya) dari latar belakang sosial tertentu. Keterikatan pandangan dunia penulis dengan ruang dan waktu tertentu tersebut, bagi Goldmann, merupakan hubungan genetik, karenanya disebut strukturaklisme genetik.

Faruk dalam bukunya Pengantar Sosiologi Sastra (1994) mengutip pendapat Goldmann menyampaikan bahwa: Pertama, pada umumnya, karya sastra itu merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Kedua, bahwa dalam usahanya mengekspresikan pandangan dunia itu pengarang menciptakan tokoh-tokoh semesta, objek-objek, dan relasi secara imajiner.

Goldmann juga mengembangkan konsep tentang pandangan dunia (vision du monde, world vision) yang terwujud dalam semua karya sastra dan filsafat yang besar.

Pandangan dunia ini diartikan suatu struktur global yang bermakna, suatu pemahaman total terhadap dunia yang mencoba menangkap maknanya dengan segala kerumitan dan keutuhannya. Sebagai contoh pandangan dunia ini ditunjukkan, antara lain empirisme, rasionalisme, dan pandangan tragik, himpunan-himpunan pikiran yang total yang mencoba menangkap kenyataan sebagai suatu yang utuh.

Fananie (2000) sebagaimana yang ia kutip dari Laurenson mengungkapkan bahwa untuk sampai kepada pandangan dunia yang merupakan pandangan dunia pengarang

(7)

tidaklah mudah. Goldmann mengisyaratkan bahwa analisis yang dilakukan bukanlah terletak pada isi (contens), melainkan lebih pada struktur cerita. Dari struktur cerita itulah, kemudian, dicari jaringan–jaringan yang membentuk kesatuannya. Penekanan terhadap struktur dengan mengabaikan masalah isi, sebenarnya, merupakan suatu permasalahan tersendiri, karena hal tersebut dapat mengabaikan hakikat sastra yang mempunyai tradisinya sendiri.

Untuk mengoperasikan strukturalisme genetik ke dalam karya Wisran Hadi ini, penelitian naskah drama “Senandung Semenanjung” dipandang dari dua sudut yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Kajian akan dimulai dengan analisis intrinsik karya sebagai data dasar. Selanjutnya, kajian akan menghubungkan unsur-unsur tersebut dengan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Naskah drama “Senandung Semenanjung” dilihat sebagai sebuah refleksi zamannya, yang dapat mengungkap aspek sosial, budaya politik, ekonomi, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa penting dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” itu akan dihubungkan dengan unsur intrinsik karya.

1. Tinjauan Struktural

Struktur naskah drama “Senandung Semenanjung” yang dibahas, meliputi alur atau plot cerita, tokoh dan penokohan, latar, dan gaya bahasa karena unsur-unsur itu dianggap telah dapat mewakili untuk melakukan analisis strukturalisme genetik. Artinya, struktur yang disebutkan di atas telah cukup membantu untuk merumuskan pandangan dunia dalam naskah drama “Senandung Semenanjung”.

a. Alur/ Plot

Alur adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu.

Pautannya dapat diwujudkan oleh hubungan kausal (sebab akibat). Alur juga disebut rangkaian peristiwa yang direka dan dijalin dengan seksama, yang menggerakkan jalan cerita melalui rumitan ke arah klimaks dan selesaian.

Pembuatan alur dalam drama biasanya dinalarkan dengan watak tokoh temanya yang mewarnai cerita. Pengembangan cerita bergerak sejalan dengan kerangka struktur tersebut. Aristoteles membagi struktur cerita atas lima bagian yaitu: pemaparan (eksposisi), penggawatan (komplikasi masalah), klimaks, peleraian (anti klimaks), dan penyelesaian (katastrope).

Beranjak dari penjabaran itu dapat diawali pembicaraan alur drama Senandung Semenanjung ini. Wisran Hadi memulai dramanya dengan pemaparan yang diungkapkannya dengan nyanyian-nyanyian. Pada bagian awal drama ini menceritakan semua cerita yang akan terjadi pada babak berikutnya. Hal yang menarik dari nyanyian ini adalah dilagukan oleh tokoh yang akan memerankan tokoh dalam drama ini nantinya.

Setelah pemaparan atau eksposisi persoalan, maka naskah drama ini dilanjutkan dengan komplikasi masalah. Dimana semua masalah yang diungkapkan terjadi pada bagian ini. Pada bagian ini masing-masing tokoh penting dalam cerita membawakan masalahnya masing-masing. Hang Jebat berteriak –teriak dalam mimpinya tentang ular-ular yang menggerayangi kerajaannya, sehingga menyebabkan tokoh ini melakukan kudeta terhadap raja yang berkuasa. Dengan alasan ingin menyelamatkan raja dari segala pengaruh pengkhianatan yang dibahasakannya dengan ular. Melalui tokoh Hang Jebat penulis berusaha menyampaikan bahwa perbuatannya semata-mata demi keselamatan kerajaan.

Datuk Bendahara dalam bagian ini juga membawa masalahnya, yaitu kekhawatirannya tentang petaka yang akan menimpa negeri. Adat yang telah berkiblat ke barat. Artinya masyarakat tidak lagi memakai adat Melayu yang menjadi setting cerita.

Agama telah beralih pedoman ke utara. Di sini Datuk Bendahara mengaku sebagai orang-

(8)

orang tua kerajaan yang ingin menyelamatkan kerajaan. Sementara itu Dang Merdu dengan pengabdiannya pada Hang Jebat yang telah dicap sebagai pemberontak.

Tokoh Patih dalam cerita ini juga merasa bertanggung jawab untuk mempertahankan kerajaan. Tun Dikungsa dengan pengabdiannya ingin mengusir pengkhiat Hang Jebat sehingga mereka ingin menjatuhkannya. Komplikasi masalah ini diakhiri dengan terkaparnya semua tokoh di atas pentas.

Klimaks cerita terjadi pada bagian kesebelas cerita yaitu ketika Patih membakar amarah rakyat sehingga rakyat hendak membunuhnya. Tapi Hang Jebat lah yang terkena tusukan . Disitu rakyat baru menyadari bahwa Hang Jebat sebenarnya harus dibela.

Penyelesaian cerita pada bagian terakhir saat Hang Jebat yang telah sekarat mengungkapkan segala harapannya terhadap negeri yang dicintainya.

b. Tokoh dan Penokohan

Penokohan adalah pencitraan tokoh di dalam karya sastra. Penokohan tersebut adalah perwatakan dalam suatu fiksi, biasanya, dapat dipandang dari segi minat, keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu yang bermain dalam suatu cerita. Pada umumnya, fiksi mempunyai tokoh utama (central character), yaitu orang yang ambil bagian dalam sebagian besar peristiwa dalam cerita. Biasanya, peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian itu menyebabkan terjadinya perubahan sikap terhadap diri tokoh atau perubahan pandangan kita sebagai pembaca terhadap tokoh tersebut, misalnya menjadi benci, menjadi senang, atau menjadi simpati padanya.

Tokoh dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” ini terdiri dari 19 orang pemain yang semuanya memiliki peran masing-masing dalam keberlanjutan cerita. Tokoh sentral dalam drama Senandung Semenanjung ini adalah Hang Jebat dan Hang Tuah, sementara itu yang lain adalah tokoh bawahan dalam cerita. Tokoh bawahan ini seperti Datuk Bendahara, Dang Merdu, Tun Dikungsa, Patih, dan lain sebagainya.

Dari drama ini dapat dilihat bahwa tokoh-tokohnya memiliki penokohan yang kompleks. Ada yang memiliki watak yang keras, teguh pendirian seperti diwakili oleh tokoh Hang Jebat. Sementara itu ada juga tokoh yang berwatak tenang, rendah hati dan patuh pada atasan serta tidak emosional seperti tokoh Hang Tuah.

c. Latar/ Setting

Cerita dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” ini berkisar pada sebuah kerajaan Melayu yang disebut oleh pengarang dengan Kerajaan Semenanjung. Seting waktu dalam cerita ini tidak dijelaskan kapan waktunya, dari cerita terlihat pada zaman Melayu masih di bawah kekuasaan kerajaan. Dalam cerita sebenarnya tidak dijelaskan juga seting waktu dalam cerita ini apakah terjadi siang hari atau malam hari. Sementara itu latarbelakang panggung dituntut oleh naskah untuk dihiasi dengan properti-properti yang menarik dan unik didominasi warna kuning, sebagai lambang kerajaan Melayu.

Barangkali inilah kelebihan Wisran Hadi yang selalu memanfaatkan properti yang ada dengan simbol-simbol yang turut membangun cerita. Seperti keberanian Wisran Hadi menampilkan buaiyan kaliang pada naskah drama Mandi Angin dan pohon pinang pada pementasan Jalan Lurus. Dalam Senandung Semenanjung ditampilkan talam yang digunakan sebagai alat untuk menghidangkan makanan raja. Selain talam digunakan sebagai properti sebagai pertahanan raja saat diserang oleh rakyatnya, dengan menaiki talam itu juga. Bahkan talam juga menjadi tempat pertarungan tokoh yang tentu saja jika dipentaskan menimbulkan kesan tersendiri bagi penonton.

d. Gaya Bahasa

(9)

Gaya bahasa seorang pengarang menjadi penanda untuk mengukur kelebihan pengarang dalam menyusun karya fiksi seperti novel, bahkan naskah drama ini. Dalam drama “Senandung Semenanjung,” Wisran Hadi menggunakan bahasa-bahasa yang penuh simbol. Drama tidak menggunakan bahasa sehari-hari yang polos menggunakan bahasa denotasi. Tapi bahasa yang digunakan adalah bahasa yang disusun untuk tunjaun estetika dan mengandung makna yang dalam. Kata-kata dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” menyimpan kritikan kepada pemerintah pada masa sekarang.

Selain itu, Wisran Hadi juga menggunakan permainan kata-kata dalam naskah dramanya. Hal ini dapat dilihat pada salah satu bagian cerita penulis menuliskan bahwa tarian masa kini adalah Tarian Serampangan yang merujuk pada Tari Serampang Dua Belas. Permainan kata-kata ini terkesan mencemooh tradisi masa lalu, gaya bahasa seperti ini merupakan gaya bahasa khas yang dimiliki Wisran Hadi dan jarang digunakan penulis- penulis lain.

Terakhir Wisran Hadi menunggangi tokoh-tokoh dalam karyanya untuk menyampaikan pemikiran-pemikirannya. Hal ini tentu bukan hal baru, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa kata-kata yang dituliskan seorang penulis dalam karyanya lahir berdasarkan latarbelakang pemikirannya.

2. Kearifan Lokal dalam Naskah Drama “Senandung Semenanjung”

Setiap karya fiksi, apapun itu, termasuk naskah drama memiliki nilai-nilai kearifan lokal kearifan lokal yang mencerminkan sebuah bangsa. Nilai-nilai yang terkandung dalam naskah drama “Senandung Semenanjung,” selain mengajarkan untuk menjadi manusia yang jujur dan tidak melakukan tindakan korupsi naskah ini juga mengajarkan secara arif bagaimana mengkritik pemimpin dengan elegan dan bijaksana.

“Senandung Semenanjung” merupakan sebuah naskah drama karya Wisran Hadi yang mengungkapkan keresahannya pada suatu kondisi. Kondisi yang sebenarnya sangat merugikan masyarakat. Dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” ini Wisran Hadi mengkritik berbagai kondisi sosial yang dianggap “sakit”, seperti pemerintah yang tidak memihak rakyat, agama yang dijadikan alat legitimasi, seni sastra yang dikomodifikasi, militer yang menjadi alat kekuasaan, dan adat yang diperalat.

Dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” ini Wisran Hadi menggambarkan sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh raja yang lembek. Raja yang dalam mengambil keputusan atau kebijakan pemerintahan selalu dicampuri oleh orang-orang yang ingin memperoleh keuntungan dari keadaan tersebut. Wisran Hadi dalam naskah drama ini mengadakan tindakan-tindakan radikal dalam memperbaiki keadaan yang telah “sakit”

tersebut.

Sungguh pun demikian Wisran Hadi menegaskan bahwa tindakannya itu adalah bagian dari kepeduliannya terhadap bangsanya sendiri. Kritik yang digunakan Wisrah Hadi dalam naskahnya ini terkadang terdengar keras, namun penting untuk mempertegas pendirian terhadap pemimpin. Pernyataan ini dapat dilihat dalam dialog tokoh Hang Jebat dalam naskah drama ini: “Aku hanya ingin memakai istana ini sesaat guna menyelamatkan raja dari lilitan ular berbisa. Aku tidak ingin menghancurkan kerajaan apalagi bangsa kita sendiri,” (Hadi, 2000).

Tentang agama, Wisran Hadi mencoba mengungkapkan bahwa segala persoalan yang tengah dihadapi ini tidak dapat diselesaikan hanya dengan berdoa saja, meratap mengadu nasib pada Tuhan tanpa melakukan tindakan apa-apa. Menurut Wisran Hadi, yang diharapkan adalah doa-doa yang dimunajatkan itu diiringi dengan usaha sekuat tenaga (ikhtiar). Di balik itu juga tersirat bahwa segala tindakan yang dilakukan jangan menghalalkan segala cara. Tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai sesuatu yang

(10)

diinginkan -seperti jabatan- merupakan kearifan dalam karya sastra yang bisa memupuk nilai-nilai bangsa ini pada pembaca.

Dalam naskah drama “Senandung Semenanjung” ini penulis menceritakan bahwa Hang Jebat memiliki keinginan untuk mengubah keadaan di kerajaan. Semua orang, termasuk pembaca tahu bahwa realitas yang terjadi di istana sudah melanggar adat istiadat dan hukum, namun tindakan yang dilakukan Hang Jebat untuk memperbaiki keadaan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang telah disepakati. Cara yang dilakukannya untuk mencapai tujuan mulia adalah dengan cara yang salah.

Berdasarkan teks naskah drama “Senandung Semenanjung” dapat ditangkap bahwa Hang Jebat berselingkuh dengan Inang Istana, bermewah-mewah dengan apa yang telah didapatkannya. Berdasarkan naskah itu pula pembaca/penonton dapat melihat kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini dalam pemerintahan. Banyak orang yang sebenarnya ingin berbuat baik untuk rakyat, tapi maksud itu tidak sejalan dengan cara yang dilakukan.

Menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita mulianya; bermuka dua, menjilat penguasa dan cara-cara kotor lainnya, termasuk perselingkuhan-perselingkuhan ketika sudah mencapai posisi yang sudah menguntungkan.

Tentang seni sastra, naskah drama “Senandung Semenanjung” ini mempertegas bahwa seni tercipta untuk masyarakat luas. Sastra sebagai bagian tak terpisahkan dari seni secara jelas dan tegas diungkapkan dalam naskah drama ini sebagai berikut:

Kau sia-siakan seni sastramu. Kau rusak hakekatnya kau ingin mendapatkan upah yang banyak, Dikungsa. Lewat sastramulah orang lain akan dapat memahami diri sendiri. Sebagai sastrawan kita tidak boleh rendah diri. Memuji orang silahkan saja, tetapi jangan merendahkan diri sendiri. Kau tahu, itulah sebabnya kurebut istana ini agar para sastrawan tidak hanya memuji-muji, tetapi berani mencabik-cabik dirinya, kemudian dimaknainya, lalu dihidangkannya kepada orang ramai. Sastra kau adalah cerminan hidupmu. Sastrawan Melayu jangan menjadi sastarwan lilin!

Kau terangi orang lain, tapi dirimu sendiri hancur. Ajaran lilin bukanlah anutan sastrawan Melayu. (Hadi, 2000).

Setelah dialog tersebut di atas, ada lagi dialog yang sangat menekankan tentang esensi sastra itu sendiri. “Ingat Dikungsa, bila sastra tidak ada isi masa depan suatu bangsa tak kan ada artinya, kalau sastrawan diam, peradaban akan tenggelam,” (Hadi, 2000).

Banyak hal yang disampaikan Wisran Hadi tentang sastra. Ternyata pernyataan- pernyataan itu lahir akibat kekhawatirannya sebagai seorang sastrawan terhadap karya sastra yang telah banyak disalahgunakan. Bahkan sastrawan-sastrawan kaliber dunia juga pernah mengungkapkan kekhawatiran mereka. Thomas Stearn Eliot, sastrawan Inggris peraih nobel sastra menyatakan bahwa kebudayaan tidak akan mengalami masa cerah tanpa dilandasi nilai-nilai agama atau nilai moral. Budi Darma juga pernah menggungkapkan bahwa sastra lahir dari kekayaan batin dan sastra lahir untuk memperkaya batin. Sinkishi Takashi seorang penyair Jepang juga menyerukan agar penyair-penyair modern kembali pada nilai-nilai spiritual dan keagamaan. Eugene Ionesco, dramawan asal Perancis menyatakan lebih keras lagi bahwa menurutnya karya seni (juga karya sastra) modern telah kehilangan nilai-nilai religiusnya karena terlalu humanistik, psikologis, dan sekuler.

Penikmatnya hanya diberi atas pandangan sempit yakni dunia semata.

Bicara mengenai militer dalam “Senandung Semenanjung”, Wisran Hadi menekankan bahwa militer memiliki peran penting dalam suatu pemerintahan. Hal ini tercermin dalam penggunaan keris sebagai lambang dari kekuatan pertahanan raja. Hal ini tidak dapat dipungkiri lagi karena militer itu sendiri memiliki peran besar dalam mengawal jalannya pemerintahan. Naskah drama “Senandung Semenanjung” ini menjelaskan seringkali seorang penguasa bertahan dengan kekuasaan yang dimilikinya. Terlihat dalam

(11)

naskah drama “Senandung Semenanjung” ini bagaimana Hang Jebat mengusir para pemberontak dengan payung kuning yang secara simbolik juga menjelaskan tentang kekuasaan.

Kearifan lokal yang terkandung dalam naskah drama “Senandung Semenanjung”

ini selain hal-hal yang diungkapkan di atas, juga menyampaikan bagaimana adat Melayu telah terjajah oleh kebudayaan lain. Sistem militer yang meniru kepada Benua Rum, segala kebutuhan didominasi oleh produk-produk Cina dan Jepang, bahkan dapat juga dilihat gadis-gadis Melayu telah meniru habis-habisan budaya luar tanpa menfilternya terlebih dahulu. Padahal dalam prakteknya sehari-hari budaya luar itu cendrung bertentangan dengan budaya leluhur mereka sendiri. Mulai dari berbagai hal seperti penampilan, pakaian, tata cara bergaul dan lain sebagainya. Naskah drama ini mengajarkan agar setiap bangsa memiliki jati diri sendiri, sebagai “pakaian” bagi masyarakatnya.

Secara umum, Wisran Hadi ingin pembaca/penonton mencintai budaya sendiri.

Karena dari budaya-budaya itulah orang lain menghargai sebuah bangsa yang bermartabat tinggi. Orang tak akan berani melecehkan sebuah bangsa jika masyarakatnya tetap memegang teguh tradisi. Mengapa harus malu untuk menampilkan budaya yang dimiliki, karena sesungguhnya orang luar pun kagum akan budaya tersebut. Selain itu naskah drama

“Senandung Semenanjung” ini merupakan cara sastra membangun bangsa, bentuk kepedulian sastrawan kepada bangsanya. Bukan hanya kepedulian terhadap dunia sastra sendiri. Ini membuktikan bahwa sesungguhnya sastra mencakup dunia yang luas dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.

4. Kesimpulan

Naskah drama “Senandung Semenanjung” karya Wisran Hadi ini memiliki struktur yang saling berhubungan erat. Peristiwa dalam naskah drama tersebut merupakan rangkaian sebab akibat yang saling berhubungan. Jika salah satu diantaranya dihilangkan maka akan merusak jalinan cerita dalam naskah drama. Tema pemberontakan seniman terhadap kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepada masyarakat didukung oleh karakter tokoh yang kuat, pemberani, dan kritis dalam memandang persoalan.

Karakter tokoh menjadi media untuk menyampaikan tema cerita. Karakter tokoh membantu pembaca untuk memahami tema yang tersirat dalam cerita. Latar cerita yang mengambil beberapa tempat di dunia Melayu Nusantara, mampu membawa pembaca kesuasana yang sesuai dengan realitasnya dan menimbulkan kesan yang baik, hal ini mendukung tema cerita sebelumnya.

Secara genetik hadirnya naskah drama “Senandung Semenajung”, dilandasi pandangan dunia humanisme, cerita mampu mencerminkan perasaan masyarakat Melayu yang merasa perlu memperjuangkan hak-hak mereka yang tertindas oleh pemerintah.

Walau dalam naskah drama “Senandung Semenanjung”, perjuangan itu hanya terlihat pada tokoh Hang Jebat dan Hang Tuah, namun pada hakekatnya tokoh tersebut merupakan simbol perjuangan masyarakat Melayu.

Naskah drama ini juga menyimpan banyak kearifan lokal sebagai karakter masyarakat Melayu khususnya, bangsa Indonesia pada umumnya. Dalam naskah ini diungkapkan bahwa seorang anak bangsa haruslah tegas terhadap pemimpinnya. Pemimpin yang baik juga merupakan pemimpin yang bijaksana dalam bertindak, ia jernih dalam berfikir. Pemimpin sejati adalah pemimpin yang tidak mudah diatur orang-orang jahat.

Nilai lainnya adalah larangan mengambil keuntungan dari negara untuk kepentingan pribadi, walau seseorang tersebut memiliki kekuasaan untuk melakukannya.

Kearifan bangsa yang juga terkandung dalam naskah drama ini adalah larangan bermewah-mewah dengan memanfaatkan kekuasaan. Tidak melakukan hubungan

(12)

terlarang dengan tameng kekuasaan. Melakukan kritik atas kesalahan orang lain dengan bijaksana. Tidak melakukan kejahatan walaupun tujuannya adalah untuk sesuatu yang baik.

DAFTAR PUSTAKA

Azwar. 2016. Membaca Sastra Membaca Dunia. Yogyakarta: BasaBasi Diva Press.

Endraswara, S. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Fananie, Z. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Hadi, W. 2000. Empat Sandiwara Orang Melayu. Bandung: Penerbit Angkasa Raya.

Hasanuddin. 1991. “Intergrasi Adat dan Syarak Suatu Dilema Tinjauan Strukturalisme Genetik Drama Wisran Hadi ”Tuanku Nan Renceh”. Skripsi Sarjana Sastra Universitas Andalas Padang.

Junus, U.1986. Sosiologi Sastra Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.

Jabrohim, Drs. Ed.1991.Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT.Hanindita Graha Widia.

Nurgiyantoro, B. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada Universty Press.

Semi, A. 1988. Anatomi Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa Raya.

Wellek, R. dan Austin W. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Referensi

Dokumen terkait

KEMNAKER • One target of Development in Labor 2015 – 2019 is • Improved business compliance through applying core labor standards;.4. Labor Norms

Surplus atau defisit APB Desa adalah selisih antara anggaran pendapatan Desa dengan anggaran belanja Desa. a) Dalam hal APB Desa diperkirakan surplus, dapat digunakan

PLN (Persero) Kota Semarang selaku pemberi jasa dengan konsumen selaku penerima jasa terdapat suatu hubungan hukum yaitu adanya kewajiban dari penerima jasa untuk

Terkait dengan persebarannya, persebaran PMDN baik menurut nilai investasi maupun jumlah proyeknya cenderung sangat timpang. Lima Kabupaten kota dengan nilai investasi

Berdasarkan latar belakang dan fokus masalah yang telah disampaikan di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tindakan kelas dengan judul

Salah satu contoh relasi data antar tabel adalah pada saat program akan menampilkan data nama siswa pada data nilai maka pada tabel nilai tidak perlu lagi membaut field

(6) Pada setiap kendaraan baik bermotor beroda tiga atau lebih, harus disediakan tempat sampah dalam kendaraannya dan untuk kendaraan tidak bermotor (delman/pedati)

[r]