• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI

Disusun Oleh : Kelompok 8 MAYA PERMATA SARI MELINDA WULANDARI

RIZKY AMELIA

Tingkat 2 A

Dosen Pembimbing : Ns. Sumitro Adi Putra , S.Kep., M.Kep.

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES RI PALEMBANG JURUSAN DIPLOMA III KEPERAWATAN

TAHUN AJARAN 2015/2016

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang merupakan tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah II dengan judul “Asuhan Keperawatan Inkontinensia Alvi”

Penulis juga sangat menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak akan sangat membantu demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Penulis juga sangat berharap semoga makalah ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagai suatu acuan untuk pembuatan makalah berikutnya yang lebih baik.

Palembang, April 2016

Penulis

(3)

DAFTAR ISI

halaman Halaman Judul

Kata Pengantar ...i

Daftar Isi ...ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...1

1.2. Rumusan Masalah...2

1.3. Tujuan Penulisan...3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian...4

2.2. Etiologi...5

2.3. Gejala...6

2.4. Patofisiologi...7

2.5. Faktor Resiko...10

2.6. Pemeriksaan Penunjang...11

2.7. Penatalaksanaan...11

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA ALVI 3.1 .Pengkajian...16

3.2 .Diagnosa...18

3.3 .Intervensi...18

BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan...23

4.2. Saran...23 DAFTAR PUSTAKA

(4)

BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Manusia mempunyai kebutuhan tertentu yang harus dipenuhi secara memuaskan melalui proses homeostasis, baik fisiologis maupun psikologis. Adapun kebutuhan merupakan suatu hal yang sangat penting, bermanfaat, atau diperlukan untuk menjaga homeostasis dan kehidupan itu sendiri. Banyak ahli filsafat, psikologis, dan fisiologis menguraikan kebutuhan manusia dan membahasnya dari berbagai segi. Orang pertama yang menguraikan kebutuhan manusia adalah Aristoteles. Sekitar tahun 1950, Abraham Maslow seorang psikolog dari Amerika mengembangkan teori tentang kebutuhan dasar manusia yang lebih dikenal dengan istilah Hierarki Kebutuhan Dasar Manusia Maslow (Wolf, Lu Verne,dkk , 1984).

Suatu hal yang sangat diperlukan tubuh dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan dan perkembangan adalah nutrisi yang adekuat.

Pemenuhan kebutuhan nutrisi akan sangat membantu seseorang untuk mempertahankan kondisi tubuh dalam mencegah terjadinya suatu penyakit, mempertahankan suhu tubuh dalam kondisi yang normal serta menghindari proses infeksi.

Eliminasi fecal atau defekasi merupakan proses pembuangan metabolisme tubuh yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur dari sisa- sisa produksi usus penting untuk fungsi tubuh normal. Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada gastrointestinal dan bagian tubuh lain, karena sisa-sisa produk usus adalah racun. Pola defekasi bersifat individual, bervariasi dari beberapa kali sehari sampai beberapa kali seminggu. Jumlah feses yang dikeluarkan pun berfariasi jumlahnya tiap individu. Feses normal mengandung 75% air dan 25% materi padat.

Feses normal berwarna coklat karena adanya sterkobilin dan uriobilin yang berasal dari bilirubin. Warna feses dapat dipengaruhi oleh kerja bakteri Escherecia coli. Flatus yang dikelurkan orang dewasa selama 24 jam yaitu 7-10 liter flatus dalam usus besar. Kerja mikroorganisme

(5)

mempengaruhi bau feses. Fungsi usus tergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola eliminasi dan kebiasaan (Berman, et.al., 2009).

Inkontinensia alvi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup serius pada pasien geriatri. Angka kejadian inkontinensia alvi ini lebih sedikit dibandingkan pada kejadian inkontinensia urin. Namun demikian, data di luar negeri menyebutkan bahwa 30-50% pasien geriatri yang mengalami inkontinensia urin juga mengalami inkontinensia alvi.

Inkontinensia alvi merupakan hal yang sangat mengganggu bagi penderitannya, sehingga harus diupayakan mencari penyebabnya dan penatalaksanaannya dengan baik. Seiring dengan meningkatnya angka kejadian inkontinensia urin, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi pula peningkatan angka kejadian inkontinensia alvi. Untuk itu diperlukan penanganan yang sesuai baik untuk inkontinensia urin maupun inkontinensia alvi, agar tidak menimbulkan masalah yang lebih sulit lagi sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas mengenai inkontinensia alvi dan penanganannya.

1.2. Rumusan Masalah

I.2.1. Apa pengertian inkontinensia alvi ? I.2.2. Bagaimana etiologi inkontinensia alvi ? I.2.3. Bagaimana gejala inkontinensia alvi ? I.2.4. Bagiamana patofisiologi inkontinensia alvi ? I.2.5. Bagiamana faktor resiko inkontinensia alvi ?

I.2.6. Bagaimana pemeriksaan penunjang inkontinensia alvi ? I.2.7. Bagaimana penatalaksanaan inkontinensia alvi ?

I.2.8. Bagaimana asuhan keperawatan pasien dengan inkontinensia alvi ?

(6)

I.3. Tujuan Penulisan I.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui dan memahami lebih dalam lagi yang dimaksud dengan inkontinensia alvi dan untuk mendapatkan gambaran umum secara teoritis konsep dasar, asuhan keperawatan pada klien dengan inkontinensia alvi.

I.3.2. Tujuan Khusus

I.3.2.1. Untuk mengetahui pengertian inkontinensia alvi.

I.3.2.2. Untuk mengetahui etiologi inkontinensia alvi.

I.3.2.3. Untuk mengetahui gejala inkontinensia alvi.

I.3.2.4. Untuk mengetahui patofisiologi inkontinensia alvi.

I.3.2.5. Untuk mengetahui faktor resiko inkontinensia alvi.

I.3.2.6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang inkontinensia alvi.

I.3.2.7. Untuk mengetahui penatalaksanaan inkontinensia alvi.

I.3.2.8. asuhan keperawatan pasien dengan inkontinensia alvi.

(7)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Pengertian Inkontinensia Alvi

Menurut Bharucha A.E., Blandon R.E. (2007), kontinensia adalah kemampuan untuk menahan keluarnya luaran tubuh (bodily discharge) secara sadar/volunter. Kata kontinensia berasal dari kata latin continere atau tenere yang berarti “menahan”. Anorektal adalah akhir kaudal dari traktus gastrointestinal, yang bertanggung jawab pada kontinensia fekal dan proses defekasi.

Rao S.S.C. (2007) menyatakan bahwa inkontinensia fekal adalah keluarnya feces atau gas secara involunter atau ketidakmampuan mengendalikan keluarnya feces atau gas melalui anus.

Sedangkan menurut U.S. Departement of Health and Human Services (2009) dan Junizaf (2011), inkontinensia fekal adalah ketidakmampuan dalam menahan keinginan buang air besar sampai mencapai toilet, juga diartikan sebagai ketidakmampuan menahan gas, feces cair, maupun feces padat.

Inkontinensia fecal lebih jarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Defekasi, seperti halnya berkemih, adalah proses fisiologik yang melibatkan koordinasi sistem saraf, respon refleks, kontraksi otot polos, kesadaran cukup serta kemampuan mencapai tempat buang air besar. Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat menyebabkan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia fecal bukan merupakan sesuatu yang normal pada lanjut usia.

Inkontinensia alvi (inkontinensia feses) adalah ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar, menyebabkan tinja (feses) bocor tak terduga dari dubur/rektum. Inkontinensia tinja juga disebut inkontinensia usus. Inkontinensia tinja berkisar dari terjadi sesekali saat duduk hingga sampai benar-benar kehilangan kendali.

(8)

II.2. Etiologi Inkontinensia Alvi

Penyebab utama timbulnya inkontinensia alvi adalah masalah sembelit, penggunaan pencahar yang berlebihan, gangguan saraf seperti dimensia dan stroke, serta gangguan kolorektum seperti diare, neuropati diabetik, dan kerusakan sfingter rektum.

Penyebab inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi empat kelompok (Brock Lehurst dkk, 1987; Kane dkk,1989):

1. Inkontinensia alvi akibat konstipasi

a) Obstipasi yang berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan atau impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari besarnya sudut ano-rektal.

Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar (broklehurst dkk, 1987).

b) Skibala yang terjadi juga akan menyebabkan iritasi pada mukosa rektum dan terjadi produksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela – sela dari feses yang impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi (kane dkk, 1989).

2. Inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar. Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari macam – macam kelainan patologik yang dapat menyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair, dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair (broklehurst dkk, 1987)

Penyebab yang paling umum dari diare pada lanjut usia adalah obat – obatan, antara lain yang mengandung unsur besi, atau memang akibat pencahar (broklehurst dkk, 1987: Robert – Thomson)

3. Inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persyarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik).

inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat gangguann fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan atau distensi

(9)

rektum. Proses normal dari defekasi melalui reflek gastro-kolon.

Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rekum.

Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inbisi atau hambatan dari pusat di korteks serebri (broklehurst dkk, 1987).

4. Inkontinensia alvi karena hilangnya reflek anal

Inkontinensia alvi ini terjadi akibat karena hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot seran lintang.

Parks, Henry dan Swash dalam penelitiannya (seperti dikutip oleh broklehurst dkk, 1987), menunjukkan berkurangnya unit – unit yang berfungsi motorik pada otot – otot daerah sfingter dan pubo-rektal, keadaan ini menyebabkan hilangnya reflek anal, berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra abdomen dan prolaps dari rektum. Pengelolaan inkontinensia ini sebaiknya diserahkan pada ahli progtologi untuk pengobatannya (broklehurst dkk, 1987).

II.3. Gejala Inkontinensia Alvi

Gejala bisa berupa merembesnya feses cair yang disertai dengan buang gas dari dubur atau penderita sama sekali tidak dapat mengendalikan keluarnya feses. Umumnya ,orang dewasa tidak mengalami “kecelakaan buang air besar” ini kecuali mungkin sesekali ketika terserang diare parah. Tapi itu tidak berlaku bagi orang yang mengalami inkontinensia tinja,kejadian BAB di celana itu berulang-ulang dan kronis.

Gejalanya antara lain :

 Tidak dapat mengendalikan gas atau feses yang mungkin cair atau padat dari perut

 Mungkin tidak sempat ke toilet untuk BAB

(10)

Bagi beberapa orang termasuk anak-anak inkontinensia tinja adalah masalah yang relative kecil,terbatas pada sesekali mengotori pakaian mereka.bagi yang lain,kondisi bisa menghancurkan lengkap karena kurangnya control usus.

Secara klinis, inkontinensia alvi dapat tampak sebagai feses yang cair atau belum berbentuk dan feses keluar yang sudah berbentuk, sekali atau dua kali sehari dipakaian atau tempat tidur. Perbedaan penampilan klinis ini dapat menunjukkan penyebab yang berbeda-beda, antara lain inkontinensia alvi akibat konstipasi (sulit buang air besar), simtomatik (berkaitan dengan penyakit usus besar), akibat gangguan saraf pada proses defekasi (neurogenik), dan akibat hilangnya refleks pada anus.

II.4. Patofisiologi

Integritas neuromuskular dari rektum, anus, dan otot-otot dasar panggul membantu mempertahankan kontinensia fekal normal. Rektum adalah tabung muskuler terdiri dari lapisan otot longitudinal kontinyu yang menyatu dengan otot sirkuler yang mendasarinya. Komposisi otot yang unik tersebut memungkinkan rektum berperan baik sebagai reservoir bagi feces maupun sebagai pompa untuk mengosongkan feces. Anus adalah tabung muskuler dengan panjang 2-4 cm, yang saat istirahat membentuk sudut dengan sumbu rektum. Pada saat istirahat, sudut anorektal adalah sekitar 90 derajat, saat berkontraksi secara volunter sudut tersebut menjadi lebih kecil, sekitar 70 derajat, dan saat defekasi menjadi lebih tumpul, sekitar 110-130 derajat.

Secara anatomi, sfingter ani terdiri dari dua komponen, yaitu sfingter ani interna, yang terdiri otot polos dan sfingter ani eksterna yang berasal dari otot lurik. Sfingter ani interna, memiliki ketebalan 0,3-0,5 cm yang merupakan ekspansi lapisan otot polos sirkuler rektum, dan sfingter ani eksterna dengan ketebalan 0,6-1 cm yang merupakan ekspansi dari otot levator ani lurik. Secara morfologis, kedua sfingter tersebut terpisah dan heterogen.

Kontraksi otot sfingter ani interna yang dapat bertahan lama, dapat

(11)

membantu penutupan liang anus sampai 85% dan ini cukup membuat terjadi kontinensia, selama 24 jam termasuk waktu tidur. Sfingter ani eksterna akan membantu sfingter ani interna pada saat-saat tertentu yang mendadak; dimana tekanan abdominal meningkat seperti pada batuk, berbangkis dan sebagainya. Akan tetapi bantuan sfingter ani eksterna ini sangat terbatas, karena otot ini akan menjadi lelah dalam waktu 60 menit kemudian. Kerja sama sfingter ani interna dan eksterna akan membentuk daerah yang secara fisiologi mempunyai daerah dengan tekanan tinggi, sepanjang 4 cm.

Otot puborektalis membentuk sudut anorektal dengan sling sekeliling pada posterior dari hubungan antara anus dengan rektum adalah hal yang mungkin berperan penting untuk mengontrol feces yang padat.

Kontraksi yang terus menerus dari sfingter ani interna, berperan penting untuk mengontrol feces yang cair.

Bantalan anus yang dapat memberikan sejumlah faktor yang tetap pada tekanan anus menurut aliran darah yang mengalir pada arteriovenusus, berperan penting dalam mengontrol flatus. Kerjasama antara sfingter anal yang komplek dengan fungsi rektal yang normal dibutuhkan untuk mempertahankan kontinen yang wajar. Dinding rektum mengembung untuk menampung feces selama feces masuk rektum dan ini mengurangi peningkatan tekanan. Pekerjaan ini bersamaan dengan tekanan tinggi daerah sfingter ani berfungsi untuk menampung feces yang padat dan menunda pengeluaran sampai waktu yang tepat.

Suatu kenyataan kontinensia tergantung atas koordinasi dari aktifitas saluran gastrointestinal, dasar panggul dan sfingter ani serta kontrol dari susunan saraf pusat. Kebanyakan waktu kontinensia dipertahankan oleh keadaan dibawah sadar (sub consious), tetapi kontrol volunter juga mempunyai peranan penting dalam penundaan pengeluran feces selama keadaan tak menyenangkan.

Gambar 1. Anatomi Anal Kanal dan Rektum

(12)

Gambar 1. Anatomi dari anal kanal dan rektum menunjukkan mekanisme fisiologis penting bagi kontinensia serta defekasi.

Anus normalnya tertutup karena aktivitas tonik dari sfingter ani interna dan barier tersebut diperkuat oleh sfingter ani eksterna saat berkontraksi secara volunter. Lipatan mukosa anal bersama dengan bantalan vaskular anal (anal cushions) memperkuat penutupan dari anus. Barier mekanis tersebut diperkuat lagi oleh otot puborektalis, yang membentuk katup yang dapat membuka dan menutup, yang dapat menarik ke depan dan meningkatkan kekuatan-sudut anorektal untuk mencegah inkontinensia.

Anorektum diinervasi oleh saraf sensorik, motorik, dan otonom parasimpatis maupun oleh sistem saraf enterik. Saraf utama adalah saraf pudendus, yang berasal dari saraf sakral kedua, ketiga, dan keempat dan menginervasi sfingter ani eksterna, mukosa ani, dan dinding anorektal. Ini adalah saraf campuran yang berfungsi sebagai saraf sensorik dan motorik.

Perjalanan saraf tersebut yang melalui dasar panggul membuatnya rentan untuk mengalami cidera regangan, terutama pada saat melahirkan

(13)

pervaginam. Tampaknya isi rektum secara periodik dirasakan oleh proses

"ano rectal sampling " Proses ini dapat difasilitasi oleh relaksasi transien dari sfingter ani interna yang memungkinkan pergerakan feces atau flatus dari rektum ke dalam anal kanal bagian atas di mana feces kemudian kontak dengan banyak end organ end organ sensorik khusus seperti Krause end-bulbs, Golgi–Mazzoni bodies dan genital corpuscles, serta the relatively sparse Meissner’s corpuscles dan Pacinian corpuscles.

Saraf aferen khusus untuk sentuhan, dingin, regangan, dan gesekan melayani ujung saraf terorganisir tersebut. Sebuah "sampling refleks"

yang intak memungkinkan individu untuk memilih apakah akan mengeluarkan atau mempertahankan isi rektum tersebut, sedangkan bila

"sampling refleks" tersebut terganggu, mungkin merupakan predisposisi untuk terjadinya inkontinensia.

Sebaliknya, epitelium rektum tidak menunjukkan ujung saraf yang terorganisir. Serabut saraf dengan selubung mielin dan yang tidak berselubung mielin berada berdekatan dengan mukosa rektum, submukosa dan pleksus myenterikus. Saraf- saraf tersebut berperan dalam sensasi distensi dan regangan dan memediasi respon untuk relaksasi serta kontraksi visero-viseral dan ano-rektal. Sensasi dari distensi rektum berjalan sepanjang sistem parasimpatis menuju S2, S3, dan S4. Dengan demikian, saraf sakralis sangat besar peranannya dalam fungsi motorik, sensorik dan otonom anorektum, serta dalam mempertahankan kontinensia.

II.5. Faktor Risiko

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya inlontinensia fekal antara lain:

1. Usia dan perkembangan : mempengaruhi karakter feses, kontrol diet 2. Pemasukan cairan. Normalnya : 2000 – 3000 ml/hari

3. Aktifitas fisik : Merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat.

4. Faktor psikologik 5. Kebiasaan

(14)

6. Posisi 7. Nyeri

8. Kehamilan : menekan rectum 9. Operasi & anestesi

10. Obat-obatan

11. Test diagnostik : Barium enema dapat menyebabkan konstipasi 12. Kondisi patologis

13. Iritan

II.6. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan peninjang untuk menegakkan diagnosis inkontinensia fekal antara lain:

1. Fluoroscopy hanya memberikan informasi terhadap anatomi serta fungsi dari jaringan lunak dan otot pelvis.

2. Ultrasound, yakni anal endosonography Merupakan metode pemeriksaan terhadap morfologi dari internal anal sphicter (IAS), extrenal anal sphicter (EAS), puborektalis dan septum rektovaginal.

3. MRI, yakni endoanal MRI Hampir sama dengan pemeriksaan menggunakan anal endosonography namun memiliki kelebihan dalam mendeteksi dan mengklasifikasikan fistula anal.

II.7. Penatalaksanaan Penderita dengan Inkontinensia Fekal

Tujuan terapi untuk penderita-penderita dengan inkontinensia fekal adalah untuk mengembalikan kontinensia dan untuk memperbaiki kualitas hidup.

1. Upaya-Upaya Suportif

Upaya-upaya suportif seperti menghindari makanan yang iritatif, membiasakan buang air besar pada waktu tertentu, memperbaiki higiene kulit, dan melakukan perubahan gaya hidup dapat bermanfaat dalam penatalaksanaan inkontinensia fekal.

Pada manajemen lansia atau penderita-penderita yang dirawat dengan inkontinensia fekal, ketersediaan tenaga yang berpengalaman pada terapi inkontinensia fekal, pengenalan yang tepat waktu untuk defekasi, dan pembersihan segera kulit perianal merupakan hal yang

(15)

penting. Upaya-upaya kebersihan seperti mengganti baju bagian bawah, membersihkan kulit perianal segera setelah episode inkontinensia, penggunaan kertas tisu basah (tisu bayi), dan bukannya tisu toilet yang kering, dan krim penghalang misalnya zinc oxide dan calamine lotion (Calmoseptine®, Calmoseptine Inc: Huntington Beach, CA) berguna untuk mencegah ekskoriasi kulit.

Upaya-upaya suportif lainnya meliputi modifikasi diet, misalnya mengurangi asupan kafein atau serat. Kopi yang mengandung kafein meningkatkan respons gastro-kolonik dan meningkatkan motilitas kolon, dan menginduksi sekresi cairan pada usus halus. Karenanya, mengurangi konsumsi kafein, terutama setelah makan dapat membantu mengurangi urgensi postprandial dan diare.

2. Terapi Spesifik

Beberapa terapi dapat dipertimbangkan, antara lain beberapa kategori sebagai berikut:

a. Terapi farmakologis b. Terapi biofeedback

c. Sumbat anus, pemadat masa sfingter (sphincter bulkers), d. Bedah

a. Terapi Farmakologis:

Loperamide atau diphenoxylate/atropine dapat memberikan perbaikan sedang pada gejala-gejala inkontinensia fekal.

Beberapa obat, masing-masing dengan mekanisme kerja yang berbeda, telah diajukan untuk memperbaiki inkontinensia fekal.

Agen-agen antidiare misalnya loperamide hydrochloride (Imodium®—Janssen Pharmaceuticals: Titusville, NJ) atau diphenoxylate/atropine sulphate (Lomotil®, Searle, Chicago, IL) tetap menjadi obat pilihan yang utama.

Suatu studi dengan kontrol plasebo untuk penggunaan loperamide 4 mg tiga kali sehari telah terbukti mengurangi frekuensi inkontinensia, memperbaiki urgensi feces dan meningkatkan waktu transit feces di kolon, juga meningkatkan tekanan sfingter ani istirahat dan mengurangi berat feces.

b. Terapi Biofeedback .

(16)

Terapi biofeedback merupakan terapi yang aman dan efektif.

Terapi ini memperbaiki gejala-gejala inkontinensia fekal, mengembalikan kualitas hidup, dan memperbaiki parameter- parameter obyektif fungsi anorektal. Terapi ini berguna pada penderita-penderita dengan sfingter yang lemah dan/atau sensasi rektal yang terganggu.

Tujuan terapi biofeedback pada penderita dengan inkontinensia fekal adalah:

1. Untuk memperbaiki kekuatan otot sfingter ani;

2. Untuk memperbaiki koordinasi antara otot abdomen, gluteal, dan sfingter ani selama berkontraksi secara volunter dan setelah persepsi rektum;

3. Untuk meningkatkan persepsi sensorik anorektal.

c. Sumbatan, Pemadatan Massa Sfingter, Stimulasi Listrik Alat sumbat anus, terapi pemadatan massa sfingter, atau stimulasi listrik harus bersifat eksperimental dan memerlukan studi-studi klinis terkontrol.

Sumbat anus sekali pakai yang inovatif telah dirancang untuk oklusi sementara anal kanal. Alat ini ditempelkan pada perineum menggunakan perekat dan dapat dengan mudah diambil.

Sayangnya, karena berbagai faktor, banyak penderita tidak mampu mentolerir penggunaan jangka panjang dari alat ini. Alat ini berguna bagi penderita-penderita dengan gangguan sensasi anal kanal, mereka yang memiliki penyakit neurologis, dan mereka yang di menjalani perawatan atau mengalami imobilisasi.

Pada beberapa penderita dengan rembesan feces, insersi sumbat anus yang terbuat dari wol kapas terbukti bermanfaat.

Stimulasi Listrik

Arus listrik dialirkan pada anal kanal untuk stimulasi kontraksi otot. Pada satu studi, terapi diberikan setiap hari selama 10 hari. Terdapat sejumlah peningkatan pada 10 dari 15 penderita dan ini berhubungan dengan peningkatan tekanan kontraksi volunter. Pada studi lainnya, sesi terapi selama 30-menit diberikan dua kali sehari selama 12 minggu, tetapi perbaikan hanya diamati

(17)

pada 2 dari 10 penderita dan tidak ada perubahan pada tekanan sfingter. Kedua studi tersebut tidak terkontrol dan metode yang dilakukan pada terapi ini tidak jelas. Pada suatu meta analisis, dilaporkan bahwa tidak terdapat cukup data untuk menarik kesimpulan yang bermakna terkait efikasi terapi ini.

d. Tindakan Bedah

Pembedahan harus dipertimbangkan pada penderita-penderita tertentu yang gagal ditangani dengan upaya-upaya konservatif atau terapi biofeedback.

Pada sebagian besar penderita dengan inkontinensia fekal, misalnya setelah trauma obstetrik, repair sfingter secara overlapping seringkali sudah cukup memadai. Bagian tunggul otot sfingter yang robek ditautkan. Repair sfingter secara overlapping sebagaimana dijelaskan oleh Parks dilakukan dengan membuat incisi melengkung di anterior anal kanal dengan mobilisasi sfingter ani eksterna, membebaskannya dari jaringan parut, preservasi jaringan parut untuk menautkan jahitan, dan overlapping repair menggunakan dua baris jahitan. Jika defek sfingter ani interna diidentifikasi, maka imbrikasi terpisah dari sfingter ani interna juga dilakukan. Dilaporkan terjadi perbaikan gejala pada 70–80%

penderita, meskipun satu studi melaporkan tingkat perbaikan yang lebih rendah. Pada penderita-penderita dengan inkontinensia akibat sfingter ani yang lemah tetapi utuh, repair postanal telah dicoba.

Keberhasilan jangka panjang dari pendekatan ini memiliki rentang antara 20% dan 58%.

Tabel: Tatalaksana Inkontinensia Fekal

(18)

BAB III

ASUHAN KEPERWATAN

III.1. Pengkajian

a. Data identitas pasien

Meliputi nama,tempat tanggal lahir, pendidikan, agama,status perkawinan,TB/BB, penampilan, alamat.

b. Riwayat keluarga

Terdiri atas susunan anggota keluarga, genogram, tipe keluarga.

c. Riwayat pekerjaan

(19)

Meliputi pekerjaan saat ini, pekerjaan masa lalu, alat transportasi yang digunakan,jarak dengan tempat tinggal, serta sumber pendapatan saat ini.

d. Riwayat lingkungan hidup

Meliputi tipe rumah, jumlah tongkat di kamar, kondisi tempat tinggal, jumlah orang yang tinggal dalam 1 rumah, tetangga terdekat dan bagaimana pola interaksi dengan tetangga.

e. Riwayat rekreasi

Hobi/minat yang dimiliki, keanggotaan dan kegiatan liburan yang biasa dilakukan, hal ini dikaji untuk mengetahui aktivitas yang dapat dilakukan untuk menguragi kebosanan.

f. Sistem pendukung

Sistem pendukung yang dimiliki keluarga yang memiliki pengaruh terhadap kesehatan seperti dokter, bidan, klinik, dan dukungan dari keluarga untuk merawat anggota keluarga yang mengalami inkontinensia alvi, termasuk kebutuhan personal hygiene.

g. Status kesehatan

Status kesehatan yang pernah diderita selama 5 tahun yang lalu, keluhan utama yag dirasakan sekarang yaitu ketidakmampuan menahan bab, dan diuraiaka secara PQRST, obat,obatan yang pernah diminum,status imunisasi dan riwayat alergi.

h. Aktivitas hidup sehari hari

Dikaji melalui indeks katz,khususnya pengkajian eliminasi Termasuk pola eliminasi,keadan feses : warna bau konsistensi ,bentuk.

1) Kegiatan yang mampu dilakukan

2) Kekuatan fisik (otot, sendi, pendengaran, penglihatan,) 3) Kebiasaan merawat diri sendiri

4) Kebiasaan makan,

5) minum, istirahat/tidur,BAB / BAK.

6) Kebiasaan gerak badan / olah raga.

7) Perubahan-perubahan fungsi tubuh yang sangat bermakna dirasakan.

(20)

Pola komunikasi dan interaksi dengan orang lain,perlu dikaji untuk mengetahui sebagai respon terhadap keterbatan fisik dan psikis yang terjadi, meliputi persepsi diri,bagaimana penilaian dia terhadap kondisinya yang mengalami inkontinensia, konsep diri ,apakah dia merasa malu dengan kondisinya yang mengalami inkontinensia,dan meknisme koping yang dilakukan.

i. Pemeriksaan fisik

Keadaan umum, tingkat kesadaran, GCS, TTV, dan pemeriksaan persistem

1) khususnya pemeriksaan gastrointestinal, termasuk bising usus,peristaltik dan sistem integumen sekitar anus

2) Sistem integumen / kulit 3) Muskuluskletal

4) Respirasi 5) Kardiovaskuler 6) Perkemihan 7) Persyarafan

8) Fungsi sensorik (penglihatan, pendengaran, pengecapan dan penciuman)

III.2 Diagnosa Keperawatan 1. Diare

2. Defisit perawatan diri eliminasi III.3 Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil

Intervensi 1. Diare

Definisi : Pasase feses yang lunak dan tidak

NOC

Bowel Elemination

NIC Diarhea Management - Evaluasi efek

(21)

berbentuk.

Batasan karakteristik :

 Nyeri abdomen sedikitnya tiga kali defekasi per hari

 Kram

 Bising usus hiperaktif

 Ada dorongan Factor berhubungan :

 Psikologis - Ansietas - Tingkat stress

tinggi

 Situasional

- Efek smaping obat - Penyalahgunaan

alcohol - Kontaminan - Penyalahgunaan

laksatif

- Radiasi, toksin - Melakukan

perjalanan - Slang makan

 Fisiologis

- Proses infeksi dan parasit

- Inflamasi dan iritasi

 Ansietas berat - Kelemahan

Fluid Balance

Hydration

Electrolyte and Acid base Balance

Kriteria Hasil :

 Feses berbentuk, BAB sehari sekali 3hari.

 Menjaga daerah sekitar rektal dari iritasi

 Tidak mengalami diare

 Menjelaskan penyebab diare dan rasional tindakan

 Mempertahankan turgor kulit.

 Mampu duduk turun dari kloset

 Membersihkan diri setelah eliminasi

 Mengenali dan mengetahui

kebutuhan bantuan untuk elimina

samping pengobatan terhadap gastrointestinal - Ajarkan pasien

untuk

menggunakan obat antidiare

- Instruksikan pasien/keluarga untuk mencatat warna, jumlah, frekuensi, dan konsistensi dari feses.

- Evaluasi intake makanan yang masuk

- Identifikasi faktor penyebab dan diare.

- Monitor tanda dan gejala diare.

- Observasi turgor kulit secara rutin.

- Ukur

diare/keluaran BAB.

- Hubungi dokter jika ada kenaikan bising usus.

- Instruksikan pasien

(22)

untuk makan rendah serat, tinggi protein dan tinggi kalori jika

memungkinkan.

- Instruksikan untuk menghindari laksative - Ajarkan tehnik

menurunkan stress.

- Monitor persiapan makanan yang aman.

2. Defisit perawatan diri eliminasi

Definisi: hambatan kemampuan untuk melakukan atau

menyelesaikan aktivitas eliminasi sendiri

Batasan Karakteristik

 Ketidakmampuan melakukan hygiene eliminasi yang tepat

 Ketidakmampuan menyiram toilet atau korsi buang air (commode)

 Ketidakmampuan memanipulasi pakaian untuk eliminasi

 Ketidakmampuan untuk duduk di toilet.

Faktor yang

NOC

 Activity intolerance

 Mobility: physical impaired

 Fatique level

 Anxiety self control

 Ambulation

 Self care deficit toileting

 Self care deficit hygiene

 Urinary incontinence:

functional Kriteria hasil:

 Pengetahuan perawatan ostomy:

tingkat pemahaman yang ditunjukkan tentang

NIC Self-Care Assistance:

Toileting

- Pertimbangkan budaya pasien ketika

mempromosikan aktivitas

perawatan diri - Pertimbangkan

usia pasien ketika mempromosikan aktivitas

perawatan diri - Lepaskan pakaian

yang penting untuk

memungkinkan penghapusan

(23)

berhubungan

 Gangguan kognitif

 Penurunan motivasi

 Kendala lingkungan

 Keletihan

 Hambatan mobilitas

 Hambatan kemampuan berpindah

 Ganguan muskuloskletal

 Gangguan neuromuskular

 Nyeri

 Gangguan persepsi

 Ansietas berat

 kelemahan

pemeliharaan ostomi untuk eiminasi

 Perawatan diri ostomi: tindakan pribadi untuk mempertahankan ostomi untuk eliminasi

 Perawatan diri:

aktifitas kehidupan sehari- hari (ADL) mampu untuk melakukan aktifitas perawatan fisik dan pribadi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu

 Perawatan diri hygine: mampu untuk

mempertahankan kebersihan dan penampilan yang rapi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu

 Perawatan diri eliminasi: mampu untuk melakukan aktifitas eliminasi secara mandiri atau

- Membantu pasien ke toilet/

commode/

bedpan/ fraktur pan urinoir/ pada selang waktu tertentu

- Pertimbangkan respo pasien terhadap

kurangnya privasi - Menyediakan

privasi selama eliminasi - Memfasilitasi

kebersihan toilet setelah selesai eliminasi - Ganti pakaian

pasien setelah eliminasi

- Menyiram toilet/

membersihkan penghapusan alat (commode, pispot)

- Memulai jadwal ketoilet, sesuai - Memulai pasien/

tepat lain dalam tolet rutin - Memulai

(24)

tanpa alat bantu.

 Mampu duduk dan turun dari kloset

 Membersihkan diri setelah eliminasi

 Mengenali dan mengetahui

kebutuhan bantuan untuk eliminasi

mengelilingi kamar mandi, sesuai dan dibutuhkan - Menyediakan alat

bantu (misalnya, kateter eksternal tau urinal), sesuai memantau integritas kulit pasien.

BAB IV PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

Inkontinensia alvi merupakan hilangnya kemampuan otot dalam mengontrol pengeluaran feses yang melalui sfinkter anus akibat kerusakan sfinkter. Berbagai penyebab inkontinensia feses kebanyakan dipicu karena kerusakan sfinkter dan obat-obatan yang mengandung unsur besi.

Gejala yang dihasilkan umumnya berupa merembesnya feses cair disertai dengan buang gas dari dubur. Pemeriksaan dapat dilihat pada kelainan struktur dan kelainan saraf. Pengobatan tergantung penyebab inkontinensia, dapat mencakup perubahan pola makan, obat-obatan &

(25)

latihan khusus yang membantu untuk lebih mengontrol perut atau pembedahan.

IV.2. Saran

Agar supaya terhindar dari masalah defekasi seperti inkontinensia feses, sebaiknya mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung serat seperti buah-buahan dan sayuran. Selain itu tingkatkan pula pola hidup sehat dan olahraga yang teratur serta hindari penggunaan obat – obat pencahar.

LAMPIRAN

Pathway

22 Anorektum

inervansi sfingter ani eksterna, mukosa ani, dan dinding anorektal

Cidera regangan

Organ Ke organ atau saraf sensorik

Saraf sensorik, motorik, otonom parasimpatis, dan

enterik.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/251783206/INKONTINENSIA-FEKAL (di akses tanggal 10 april 2016)

http://qiikaaa.blogspot.co.id/2013/10/inkontinensia-fecal.html (diakses tanggal 8 april 2016)

http://lizanurviana.blog.com/2011/05/20/askep-lansia-dengan-inkontinensia-alvi/

(diakses tanggal 8 april 2016)

Gambar

Gambar 1. Anatomi dari anal kanal dan rektum menunjukkan mekanisme  fisiologis penting bagi kontinensia serta defekasi.

Referensi

Dokumen terkait

tidak boleh menimbulkan kedzaliman baik bagi individu yang bersangkutan maupun bagi orang lain. Dalam soal makanan dan minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang

Pengaruh Jumlah Asam Sitrat dan Ukuran Partikel Terhadap Karakteristik Papan Partikel dari Bambu Petung.. Fakultas

Implementasi ke dalam bahasa pemrograman C dari kedua macam algoritma diatas, menunjukkan bahwa waktu komputasi algoritma midpoint lebih cepat sebesar 8 kali pada pembuatan garis

Pada penelitian ini dilakukan peningkatan kinerja terhadap teknik ACM dengan menggunakan kode rangkap Reed-Solomon (RS) dan Convolotional Code (CC) dengan SD yang

Dan Apakah pembiayaan di BPRS Dana Amanah ini benar-benar termasuk pembiayaan murni Murabahah atau termasuk Hutang Piutang dalam jual beli ditinjau dari hukum Islam dan Fatwa

Perancangan buku kumpulan infografis resep aneka hidangan pembuka dan penutup ala Barat ini dibuat dengan tujuan untuk menciptakan sebuah buku resep aneka

Kabupaten Polewali Mandar memiliki sumberdaya alam hutan topis yang sangat penting peranannya dalam pertumbuhan pembangunan dan fungsi ekologis secara lokal,

Berdasarkan data yang telah dianalisis pada bab IV, dapat disimpulkan strategi pendidikan karakter religius di SMP Negeri 1 Sambi Boyolali tahun pelajaran