• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

7

BAB II

LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka

1) Preeklampsia a. Definisi

Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal dan merupakan penyebab kematian 10% - 15%

ibu hamil di dunia terutama di negara berkembang (Ngowa et al., 2015). Diagnosis ditegakkan jika tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang baru terjadi saat kehamilan, diukur dalam dua waktu yang berbeda dengan jarak empat jam, dan proteinuria > 0.3 g per 24 jam atau proteinuria ≥ 1+

dengan pemeriksaan dipstick setelah umur kehamilan 20 minggu (Gathiram dan Moodley, 2016).

Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampisa, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multisistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuria. Gangguan multisistem lain yang dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis preeklampsia yaitu trombositopenia (trombosit <100.000/mikroliter), gangguan ginjal dengan kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal

commit to user commit to user

(2)

lainnya, gangguan liver dengan peningkatan konsentrasi tranaminase 2 kali normal atau adanya nyeri di daerah epigastrik atau regio kanan atas abdomen, edema paru, didapatkan adanya gejala neurologis (stroke, nyeri kepala, gangguan visual), dan gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta seperti oligohidroamnion, fetal growth restriction (FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV) (PNPK, 2016).

Gejala klinis pada preeklampsia dapat muncul pada beberapa organ seperti hepar, ginjal, jantung, paru – paru, otak dan pankreas.

Komplikasi tersebut dapat mempengaruhi ibu dan janin yang dapat menimbulkan intra uterine growth restriction, hipoperfusi plasenta, premature placental disruption,atau pada keadaan yang lebih berat dapat menyebabkan berakhirnya kehamilan dan kematian ibu dan bayi (Peres, Mariana dan Cairrão, 2018).

b. Epidemiologi

Penyebab kematian tertinggi menurut Dinkes Jateng tahun 2016 adalah perdarahan, preeklampsia dan lain-lain.

commit to user commit to user

(3)

Gambar 2.1

Sumber: Dinkes Jateng 2016

Angka kejadian preeklampsia di RSUD Wonogiri pada tahun 2017 adalah 141 kasus, dan pada tahun 2018 terdapat 175 kasus c. Patofisiologi

Walaupun preeklampsia merupakan penyakit yang sudah banyak dipelajari, namun patofisiologi dari preeklampisa masih belum jelas (Peres, Mariana dan Cairrão, 2018). Menurut Phipps et al. (2016) plasenta merupakan penyebab utama dalam etiologi preeklampsia karena dengan dihilangkannya plasenta dapat mengurangi gejala yang timbul.

Preeklampsia terjadi karena terganggunya diferensiasi dan invasi trofoblas pada awal kehamilan, yang memicu stress oksidative yang berkelanjutan dan respon inflamasi sistemik. Patofisiologi dari preeklampsia dapat dilihat dari faktor intrinsik dan ekstrinsik.

Perkembangan plasenta yang tidak normal dikategorikan dalam faktor ekstrinsik karena memicu preeklampsia onset cepat. Sedangkan, pada

commit to user commit to user

(4)

oleh faktor intrinsik yang berbeda-beda termasuk microvillus overcrowding. Hal ini diperkirakan terjadi saat plasenta telah mencapai pertumbuhan maksimum, dengan berkurangnya ukuran pori menyebabkan terhambatnya perfusi dan meningkatkan stres oksidatif.

Ini menunjukkan bahwa protein stres oksidatif memodulasi respon ibu untuk meningkatkan preeklampsia melalui regulasi dari beberapa growth factors (Kenny, English dan McCarthy, 2015).

Pada perkembangan plasenta normal, arteri spiralis pada uterin ibu terbentang dari myometrium sampai endometrium dimana saat kehamilan akan digantikan oleh desidua. Trofoblas janin menginvasi arteri spiralis tersebut dan menyebabkan hilangnya elastisitas dan tonus otot polos vaskular. Oleh karena itu, arteri spiralis berubah menjadi pembuluh darah dengan kapasitas resistensi rendah yang menyediakan perfusi plasenta yang cukup untuk perkembangan janin.

Sedangkan pada preeklampsia, invasi trofoblas lebih rendah sehingga pada desidua hanya terdapat arteri spriralis. Bagian miometrium tetap kecil dan mengalami konstriksi, mengakibatkan sirkulasi uteroplasenta yang kurang baik dengan resistensi yang lebih tinggi, kemudian meningkatkan kejadian iskemia plasenta. Namun mengapa hal tersebut hanya terjadi pada beberapa ibu hamil masih belum diketahui penyebabnya, tetapi faktor genetik dan mekanisme imun dipercaya memiliki peran dalam keadaan tersebut (Stocks, 2014).

d. Faktor Risiko

commit to user commit to user

(5)

Terdapat beberapa kondisi dan perilaku kesehatan yang diyakini menjadi faktor predisposisi dari preeklampsia. Ibu yang memiliki risiko tinggi mengalami preeklampsia adalah mereka yang sebelumnya sudah memiliki hipertensi, penyakit ginjal kronis, diabetes melitus tipe 1, dan ibu dengan preeklampsia onset cepat sebelumnya (Kenny, English dan McCarthy, 2015).

Preeklampsia lebih sering terjadi pada ibu primigravida dan risiko terjadi preeklampsia meningkat jika jarak kehamilan semakin jauh. Usia lebih dari 40 tahun juga meningkatkan risiko seperti halnya riwayat preeklampsia sebelumnya, obesitas pada saat sebelum kehamilan dan ibu dengan kehamilan dengan menerima donor sel telur, donor embryo dan donor pembuahan. Faktor risiko lainnya yaitu riwayat hipertensi, riwayat keluarga dengan preeklampsia dan ibu dengan kondisi medis lain seperti antiphospholipid syndrome (Kenny, English dan McCarthy, 2015).

Menurut Bilano et al. (2014) riwayat hipertensi kronis sebelumnya, body mass index (BMI) ≥ 35 kg/m2, dan anemia berat secara signifikan meningkatkan faktor risiko preeklampsia/ eklampsia tiga kali lebih atau lebih. Faktor risiko lain adalah riwayat penyakit jantung atau ginjal, diabetes, nullipara dan usia ≥ 30 tahun saat hamil meningkatkan risiko sebanyak dua kali atau lebih. Ibu yang terdiagnosa memiliki preeklampsia/ eklampsia berisiko mengalami kematian empat kali lebih tinggi dibandingkan ibu yang tidak memiliki

(6)

preeklampsia/ eklampsia. Pemeriksaan selama kehamilan atau antenatal care (ANC) yang dilakukan > 8 dapat mencegah atau sebagai deteksi awal dari preeklampsia/ eklampsia jika dibandingkan dengan pemeriksaan yang hanya dilakukan 4-8 kali selama kehamilan.

Maternal mortality ratio (MMR) berhubungan dengan faktor risiko preeklampsia/ eklampsia. Kondisi tersebut juga memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap kematian perinatal, kelahiran preterm dan berat lahir rendah. Pada negara dengan pendapatan perkapita rendah, memiliki kemampuan diagnosis preeklampsia/ eklampsia yang lebih rendah juga. Rendahnya pendapatan perkapita juga dapat menggambarkan faktor sosio-ekonomi yang berhubungan dengan rendahnya akses ke tempat pelayanan kesehatan. Sehingga terjadi kegagalan identifikasi ibu hamil dengan risiko tinggi preeklampsia untuk mendapatkan penaganan yang baik, yang menyebabkan peningkatan risiko terjadinya kejadian tidak diinginkan.

e. Klasifikasi

Preeklampsia dibedakan menjadi ringan dan sedang dilihat dari derajat hipertensi, proteinuria, munculnya gejala yang disebabkan karena terlibatnya ginjal, otak, liver, dan sistem kardiovaskular.

Abruptio placenta, acute renal failure, cerebral hemorrhage, disseminated intravascular coagulation, hepatic failure dan circulatory collapse merupakan akibat dari preeklampsia berat dan dapat mengakibatkan kematian pada pasien. Intauterin fetal growth

commit to user commit to user

(7)

restriction (IUGR), intrauterine fetal death (IUFD) dan prematur juga dapat menjadi akibat dari preeklampsia berat (Ngowa et al., 2015).

Menurut Peres, Mariana dan Cairrão (2018) preeklampsia dapat dibagi menjadi tipe ringan dan berat, tergantung pada berat dan tipe gejala yang muncul. Pada preeklampsia ringan memiliki gejala tekanan sistolik ≥ 140 mmHg atau tekanan diastolik ≥ 90 mmHg, dan proteinuria >300 mg/ 24 jam. Sedangkan pada preeklampsia berat memiliki gejala hipertensi berat (tekanan sistol > 160 mmHg atau tekanan diastolik > 110 mmHg) atau proteinuria berat (> 2g/ 24 jam) atau tanda dan gejala kerusakan pada target organ. Ibu dengan preeklampsia berat dapat mengalami sakit kepala, gangguan visual (termasuk kebutaan), nyeri epigastrium, mual dan muntah, insufisien ginjal dan hepar, dan edema paru.

Sedangkan, menurut Gathiram dan Moodley (2016) preeklampsia memiliki subtipe yang dibedakan menjadi dua berdasarkan onset atau waktu munculnya preeklampsia, yaitu preeklampsia onset cepat dan onset lambat. Pada preeklampsia onset cepat, gejala klinis muncul sebelum usia kehamilan 33 minggu, sementara pada onset lambat gejala muncul setelah usia kehamilan lebih dari 34 minggu. Preeklampsia onset cepat lebih sering menyebabkan mortalitas dan morbiditas pada ibu dan bayi.

Ciri patologis utama pada preeklampsia onset cepat adalah perubahan arteri spiralis yang tidak sempurna, yang menyebabkan

(8)

hipoperfusi plasenta dan mengurangi suplai nutrisi ke janin. Hal ini menyebabkan munculnya tanda fetal growth restriction (FGR).

Sedangkan pada onset lambat hanya terjadi sedikit perubahan pada arteri spiralis dan tidak ditemukan adanya tanda FGR, pada beberapa kasus menyebabkan hiperperfusi plasenta.

f. Tatalaksana

Manajemen ekspektatif merupakan usaha menunda persalinan untuk memberikan kortikosteroid untuk pematangan paru, MgSO4, obat antihipertensi dan pemantauan ibu dan janin untuk mengidentifikasi indikasi persalinan.

Gambar 2.2. Manajemen ekspektatif preeklampsia tanpa gejala berat

Sumber: PNPK, 2016 commit to user

commit to user

(9)

Sedangkan manajemen ekspektatif preeklampsia berat adalah:

Gambar 2.3. Manajemen ekspektatif preeklampsia berat Sumber: PNPK, 2016

Pemberian magnesium sulfar (MgSO4) merupakan terapi lini pertama pada eklampsia, juga sebagai profilaksis terhadap eklampsia pada pasien preeklampsia berat. Dosis penuh baik intravena maupun intramuskuler direkomendasikan sebagai prevensi dan terapi eklampsia. Pemberian MgSO4 tidak direkomendasikan untuk

(10)

diberikan pada pasien preeklampsia tanpa gejala pemberatan (PNPK, 2016).

Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia berat, atau tekanan darah sistolik ≥160mmHg atau diastolik ≥110mmHg. Target penurunan tekanan darah sistolik adalah <160mmHg dan diastolik

<110 mmHg. Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting, hidralazine dan labetalol parenteral, atau alternatif lain adalah nitogliserin, metildopa dan labetalol.

Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan ≤ 34 minggu untuk menurunkan risiko respiratory distress syndrome dan mortalitas janin serta neonatal (PNPK, 2016).

g. Komplikasi

a) Komplikasi pada ibu

Kehamilan dengan preeklampsia berat memiliki risiko morbiditas dan mortalitas ibu yang tinggi. Komplikasi yang mengarah pada morbiditas ibu antara lain adalah perdarahan berat pada abruptio plasenta, sindroma HELLP, edema paru, gagal ginal akut, perdarahan cerebrovascular, dan ruptur liver.

Komplikasi tersebut biasanya terjadi pada ibu dengan preeklampsia berat yang muncul sebelum usia kehamilan 32 minggu. Tiga komplikasi pada ibu yang paling sering muncul dari preeklampsia adalaha eklampsia (12.14%), abruptio plasenta (11.21%) dan hypertensive retinophaty (7.47%). Pemeriksaan

commit to user commit to user

(11)

kehamilan atau ANC yang tidak teratur, terlambatnya datang ke fasilitas kesehatan dan profilaksis antikonvulsive yang tidak tepat pada fasilitas kesehatan primer menjadi penyebab terlambatnya diagnosis dan outcome yang buruk (Ngowa et al., 2015).

b) Komplikasi pada bayi

Komplikasi pada janin yang berhubungan dengan preeklampsia berat adalah kelahiran prematur, IUGR, oligoamnion, fetal distress dan APGAR skor rendah saat lahir.

IUGR dengan oligoamnion dan fetal distress dan kelahiran preterm tentu membawa risiko tinggi kematian neonatus akibat preeklampsia. Komplikasi yang paling sering muncul akibat preeklampsia berat adalah kelahiran prematur. Preeklampsia berat paling sering muncul pada usia kehamilan 32-34 minggu, dan harus segera dilahirkan. Interval waktu dari ibu terdiagnosis preeklampsia sampai penghentian kehamilan memiliki rata-rata 3.58 hari ± 1.5 pada usia kehamilan 32 dan 34 minggu. Interval ini memberikan waktu untuk dokter kandungan mempersiapkan kondisi klinis pasien sebelum melahirkan dan memberikan pertolongan kortikosteroid untuk pematangan paru janin.

Komplikasi yang terjadi pada bayi baru lahir akibat preeklampsia adalah APGAR skor <7, respiratory distress, infeksi pada bayi, perdarahan intraventricular, dan kematian bayi. Kematian bayi

(12)

pada kasus preeklampsia biasanya dikarenakan kelahiran prematur (Ngowa et al., 2015).

2) Asfiksia a. Definisi

Asfiksia merupakan kegagalan pernapasan spontan dan reguler yang terjadi saat bayi lahir atau sesaat setelah lahir. Transisi janin dari intrauterin menuju bayi ekstrauterin mengalami perubahan.

Kegagalan untuk menurunkan resistensi vaskuler paru menyebabkan tekanan tinggi pada paru yang presisten, aliran darah yang tidak adekuat pada paru, dan relative hipoxemia. Pengembangan paru yang tidak adekuat menyebabkan kegagalan pernapasan (Kusumaningrum, Murti dan Prasetya, 2019).

Asfiksia merupakan kondisi yang terjadi ketika terdapat penurunan pertukaran udara dalam darah, yang menyebabkan hipoksemia atau kekurangan oksigen dan hiperkapnia atau menumpuknya karbon dioksida. Kombinasi dari hipoksia dan hiperkapnia berakibat pada berubahnya kaskade biokimia dalam tubuh, dimana dapat menyebabkan kematian sel saraf dan kerusakan otak. Asfiksia yang terjadi terus-menerus berakibat pada disfungsi multipel organ sistem (Aslam et al., 2014).

b. Epidemiologi

Asfiksia dapat menyebabkan mortalitas dan morbiditas pada bayi. Infant mortality rate (IMR) di ASEAN merupakan tertinggi di

commit to user commit to user

(13)

dunia setelah Afrika dengan angka 142 per 1000. Indonesia merupakan negara dengan IMR tinggi, dimana menempati peringkat 5 di ASEAN (WHO, 2015 dalam Kusumaningrum, Murti dan Prasetya, 2019).

Menurut WHO, 4 juta kematian per tahun terjadi akibat asfiksia, 38% dari semua kematian anak di bawah 5 tahun. Di negara dengan pendapatan rendah, 23% kematian bayi terjadi akibat asfiksia lahir (Aslam et al., 2014). Angka kejadian asfiksia di Kabupaten Wonogiri pada tahun 2017 adalah 141 kasus, sedangkan pada tahun 2018 terdapat 23 kasus.

c. Patofisiologi

Ibu dengan preeklampsia cenderung melahirkan bayi dengan asfiksia. Disfungsi endotelial menyebabkan masalah keseimbangan pada kadar hormon vasokonstriktor dan vasodilator. Konstriksi vaskuler berakibat pada berkurangnya aliran darah pada plasenta yang dapat menyebabkan hipoksia pada janin. Akibat lebih lanjut dari hipoksia pada janin adalah gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida sehingga muncul terjadinya asfiksia pada bayi (Kusumaningrum, Murti dan Prasetya, 2019).

Asfiksia terjadi karena gangguan pertukaran gas serta transport O2 dari ibu kejanin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi atau kelainan pada ibu selama

(14)

kehamilan, atau secara mendadak karena hal-hal yang diderita ibu dalam persalinan.Sehingga saat persalinan O2 tidak cukup dalam darah disebut hipoksia dan CO2 tertimbun dalam darah disebut hiperapnea.

Akibatnya dapat menyebabkan asidosis tipe respiratorik atau campuran dengan asidosis metabolik karena mengalami metabolisme yang anaerob serta juga dapat terjadi hipoglikemia.

Pengembangan paru bayi terjadi pada menit- menit awal kelahiran yang disusul dengan pernapasann teratur dan tangisan bayi.

Proses perangsangan pernapasan ini dimulai dari tekanan mekanik dada pada persalinan, disusul dengan keadaan penurunan tekanan oksigen arterial dan peningkatan tekanan karbondioksia arterial, sehingga sinus bernapas. Bila bayi mengalami hipoksia akibat suplai oksigen ke plasenta menurun karena efek hipertensi dan proteinuria sejak intrauterine, maka saat persalinan dan pasca persalinan berisiko asfiksia (Marwiyah, 2016).

Pada saat bayi dilahirkan, alveoli bayi diisi dengan cairan paru- paru janin. Cairan paru-paru janin harus dibersihkan terlebih dahulu apabila udara harus masuk ke dalam paru-paru bayi baru lahir. Dalam kondisi demikian, paru-paru memerlukan tekanan yang cukup besar untuk mengeluarkan cairan tersebut agar alveoli dapat berkembang untuk pertama kalinya. Untuk mengembangkan paru-paru, upaya pernapasan pertama memerlukan tekanan 2 sampai 3 kali lebih tinggi dari pada tekanan untuk pernapasan berikutnya berhasil. Pada saat

commit to user commit to user

(15)

kelahiran, peredaran darah di paru-paru harus meningkat untuk memungkinkan proses oksigenasi yang cukup. Keadaan ini akan dicapai dengan terbukanya arterioli dan diisi darah yang sebelumnya dialirkan dari paru-paru melalui duktus arteriosus. Bayi dengan asfiksia, hipoksia dan asidosis akan mempertahankan pola sirkulasi janin dengan menurunnya peredaran darah paru-paru (Marwiyah, 2016).

d. Faktor Risiko

Penyebab dari asfiksia antara lain masalah pada plasenta seperti lepasnya plasenta sebelum waktunya atau kontraksi dari uterus, atau umbilikus seperti kompresi pada tali pusar. Selain itu, dapat disebabkan oleh hipo maupun hipertensi pada ibu, malpresentasi saat kelahiran, dan masalah lain yang berhubungan dengan partus disertai komplikasi (Helmy, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Marwiyah (2016), kejadian asfiksia neonatorum dapat terjadi pada bayi dari ibu yang mengalami penyakit anemia, hipertensi, preeklampsia ringan dan berat, maupun eklampsia.

Asfiksia dapat terjadi pada bayi yang lahir spontan maupun tidak spontan. Persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu, seksio sesarea, ekstraksi vakum dan ekstraksi forseps) merupakan faktor predisposisi asfiksia neonatorum. Persalinan dengan tindakan seksio sesarea mengakibatkan komplikasi berupa asfiksia karena penggunaan obat abalgesik maupun anestesi pada ibu sehingga

(16)

terjadi depresi pusat pernapasan pada janin. Selain penggunaan analgesik dan anestesi, tidak adanya kompresi pada persalinan kemungkinan menyebabkan asfiksia (Marwiyah, 2016).

Persalinan menggunakan forseps dapat berdampak buruk bagi bayi baru lahir, tekanan dari forseps dapat menyebabkan perdarahan intrakranial, edema intrakranial serta kerusakan medula oblongata sebagai pusat pernapasan, hal inilah yang menyebabkan bayi mengalami asfiksia. Pada persalinan dengan vakum asfiksia dapat terjadi akibat edema jaringan saraf pusat ataupun perdarahan (Marwiyah, 2016).

Kehamilan preterm berisiko menyebabkan terjadinya asfiksia.

Hal ini disebabkan sistem organ bayi yang belum matang, yang ditandai dengan masih lemahnya otot pernapasan sehingga bayi prematur sering mengalami asfiksia berat, penyakit membran hialin, dan apnu. Kehamilan posterm juga dapat menyebabkan asfiksia, sebagai akibat penurunan fungsi respirasi dan nutrisi pada plasenta yang bertambah umurnya (Marwiyah, 2016).

Partus lama berisiko menyebabkan asfiksia. Pada ibu yang mengalami partus lama, kontraksi uterus berlangsung lebih lama dari pada ibu yang bersalin normal. Hal ini mengakibatkan peredaran darah yang membawa oksigen ke janin terhenti lebih lama, proses ini membuat janin kekurangan suplai oksigen yang berakibat pada kejadian asfiksia (Marwiyah, 2016).

commit to user commit to user

(17)

Menurut Aslam et al tahun 2014, faktor risiko dari asfiksia dibagi menjadi:

a) Antepartum

Ibu usia 20-25 tahun lebih berisiko melahirkan bayi asfiksia dibandingkan dengan ibu usia < 20 atau > 25 tahun.Preeklampsia meningkatkan risiko asfiksia lahir secara signifikan, diabetes pada kehamilan, konsumsi obat adrenergik dan diuretik juga meningkatkan risiko terjadinya asfiksia. Ibu primipara lebih berisiko melahirkan bayi asfiksia. Ibu dengan tingkat sosial- ekonomi rendah juga lebih berisiko melahirkan bayi asfiksia.

b) Intrapartum

Kelahiran di rumah, bidan dan klinik meningkatkan risiko asfiksia jika dibandingkan dengan proses kelahiran yang dilakukan di rumah sakit. Presentasi janin, kelahiran memanjang, disproporsi cephalopelvic dan ketuban pecah dini juga meningkatkan risiko terjadinya asfiksia.

c) Fetal

Risiko terjadinya asfiksia meningkat pada bayi dengan berat 1-2 kg dibandingkan dengan bayi 2,5 sampai > 3,5 kg.

Risiko asfiksia meningkat pada umur kehamilan 34-37 minggu.

Oligohidroamnion, kelahiran prematur, dan fetal distress secara signifikan berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya asfiksia.

(18)

e. Klasifikasi

Berdasarkan nilai APGAR, asfiksia diklasifikasikan menjadi (Anik dan Eka, 2013):

a) Asfiksia berat dengan nilai APGAR 0-3

b) Asfiksia ringan sedang dengan nilai APGAR 4-6

c) Bayi normal atau sedikit asfiksia dengan nilai APGAR 7-9 d) Bayi normal dengan nilai APGAR 10

commit to user commit to user

(19)

Tabel 2.1 Skor APGAR

Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Appearance Seluruh badan biru atau pucat

Warna kulit tubuh normal merah muda, tetapi kebiruan pada kaki dan tangan

Warna kulit tubuh normal merah muda, tidak ada kebiruan

Pulse Tidak ada <100 x/menit >100 x/menit Grimace Tidak respon

terhadap stimulasi

Meringis atau menangis lemah saat di stimulasi

Meringis atau bersin atau batuk saat di stimulasi Activity Lemah atau

tidak ada

Sedikit gerakan Bergerak aktif Respiration Tidak ada Lemah atau tidak

teratur

Menangis kuat, pernapasan baik Sumber: Anik dan Eka, 2013

f. Tatalaksana

Menurut Vidia dan Pongki (2016), penatalaksanaan asfiksia adalah:

a) Tindakan Umum

1. Bersihkan jalan nafas : Kepala bayi diletakkan lebih rendah agar lendir mudah mengalir, bila perlu digunakan laringoskop untuk membantu penghisapan lendir dari saluran nafas yang lebih dalam.

2. Rangsang refleks pernafasan : dilakukan setelah 20 detik bayi tidak memperlihatkan bernafas dengan cara memukul kedua telapak kaki menekan tanda achilles.

3. Mempertahankan suhu tubuh.

b) Tindakan Khusus 1. Asfiksia Ringan

(20)

Berikan O2 dengan tekanan positif dan intermenten melalui pipa endotrakeal. Dapat dilakukan dengan tiupan udara yang telah diperkaya dengan O2. O2 yang diberikan tidak lebih 30 cm H 20. Bila pernafasan spontan tidak timbul lakukan massage jantung dengan ibu jari yang menekan pertengahan sternum 80-100 x/menit.

2. Asfiksia Berat

Pasang Relkiek pernafasan (hisap lendir, rangsang nyeri) selama 30-60 detik. Bila gagal lakukan pernafasan kodok (Frog Breathing) 1-2 menit yaitu kepala bayi ekstensi maksimal beri O2 1-21/menit melalui kateter dalam hidung, buka tutup mulut dan hidung serta gerakkan dagu ke atasbawah secara teratur 20 x/menit.

3. Penghisapan cairan lambung untuk mencegah regurgitasi.

commit to user commit to user

(21)

Gambar 2.4. Resusitasi bayi baru lahir Sumber: IDAI, 2016

g. Komplikasi

commit to user commit to user

(22)

a) Otak : Hipoksik iskemik ensefalopati, edema serebri, palsiserebralis

b) Jantung dan Paru : Hipertensi pulmonal persisten pada neonatus, perdarahan paru, edema paru

c) Grastrointestinal : Enterokolitis nekrotikan d) Ginjal : Tubular nekrosis akut, siadh e) Hematologi : Dic

3) Hubungan preeklampsia dan asfiksia

Ibu dengan preeklampsia cenderung melahirkan bayi dengan asfiksia. Disfungsi endotelial menyebabkan masalah keseimbangan pada kadar hormon vasokonstriktor dan vasodilator. Konstriksi vaskuler berakibat pada berkurangnya aliran darah pada plasenta yang dapat menyebabkan hipoksia pada janin. Akibat lebih lanjut dari hipoksia pada janin adalah gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida sehingga muncul terjadinya asfiksia pada bayi (Kusumaningrum, Murti dan Prasetya, 2019).

Pada ibu normo tensi akan mengalirkan oksigen dan nutrisi melalui plasenta bagi janin, namun pada ibu yang mengalami preeklampsia dengan kelainan metabolik, aliran plasenta tidak adekuat.

Dari penelitian Moyes et al, plasenta ibu yang mengalami preeklampsia menunjukkan hasil keseluruhan ibu mengalami hipoksia plasenta dan 67% bayi yang dilahirkan mengalami asfiksia neonatorum.

Preeklampsia akan meningkatkan risiko terjadinya asfiksia berat commit to user

commit to user

(23)

sebesar 5,15 kali dibandingkan kehamilan normotensi, sedangkan untuk asfiksia sedang meningkat 2,9 kali dibanding kehamilan normotensi (Johan, 2012).

Hipertensi pada kehamilan akan mempengaruhi janin karena meningkatnya tekanan darah yang disebabkan oleh meningkatnya hambatan pembuluh darah perifer sehingga mengakibatkan sirkulasi uteri plasenta kurang baik, keadaan ini menimbulkan gangguan lebih berat terhadap insufiensi plasenta dan berpengaruh pada gangguan pertumbuhan janin, gangguan pernapasan. Vasokonstriksi pembuluh darah mengakibatkan kurangnya suplai darah ke plasenta sehingga terjadi hipoksia janin. Akibat lanjut dari hipoksia janin adalah gangguan pertukaran gas antara oksigen dan karbondioksida sehingga terjadi asfiksia neonatorum (Marwiyah, 2016).

(24)

B. Kerangka Pemikiran

commit to user commit to user

(25)

C. Hipotesis

Terdapat hubungan preeklampsia dengan kejadian asfiksia pada bayi

Gambar

Gambar 2.2. Manajemen ekspektatif preeklampsia tanpa  gejala berat
Gambar 2.3. Manajemen ekspektatif preeklampsia berat  Sumber: PNPK, 2016
Tabel 2.1 Skor APGAR
Gambar 2.4. Resusitasi bayi baru lahir  Sumber: IDAI, 2016

Referensi

Dokumen terkait

Performa kelinci yang diberi pakan berupa pelet lebih baik dibandingkan dengan kelinci yang diberi pakan berupa butiran atau mash, hal ini dikarenakan ternak

M., (2013), menemukan bahwa konsep gender pada Kawasan Kajang Dalam berkaitan dengan proses kesepakatan tak tertulis bagaimana seharusnya laki-laki dan perempuan

pada penelitian ini diterapkan metode apriori association rule untuk melihat aturan asosiasi nilai dan matakuliah pada mahasiswa universitas gunadarma jenjang

Sistem tata air suplesi air sungai dengan pompa terdapat di daerah rawa lebak dengan kondisi di dekat rawa terdapat sungai dan ketinggian lahan lebih tinggi dari muka air

[r]

778 D20161074128 MUHAMAD ZAKI IMRAN BIN MUHAMAD ZAWAWI Sarjana Muda Pendidikan (Teknologi Maklumat) 779 D20161074129 KHAIRUNNISA NUR AFIFAH BINTI NASIL Sarjana Muda

• Kurangnya partisipasi nyata masyarakat dalam menjalankan pengkajian dan mengembangkan rencana pengelolaan untuk menjaga nilai-nilai konservasi Permasalahan juga muncul

Untuk mengetahui pengaruh kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional terhadap prestasi belajar pada siswa IPS kelas XI di SMA Negeri 01