10 1. Kemampuan Koneksi Matematis
a. Kemampuan
Donald mengungkapkan bahwa kemampuan adalah perubahan energi yang terjadi pada seorang individu ditandai dengan munculnya pikiran dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan (Sardiman, 2009).
Kemampuan merupakan kesanggupan, kecakapan maupun kekuatan individu dalam mengerjakan suatu pekerjaan yang mana pekerjaan tersebut membutuhkan mental berpikir untuk dapat menyelesaikan masalah (Lendi, 2016). Robbins (2003) berpendapat bahwa kemampuan (ability) merupakan kapasitias seorang individu untuk mengerjakan beragam tugas dalam suatu pekerjaan. Kemampuan setiap individu pada hakikatnya tersusun dari dua jenis, yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik:
1) Kemampuan intelektual adalah kemampuan yang diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Tujuh dimensi yang paling sering dikutip yang membentuk kemampuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman (comprehension) verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasai ruang, dan ingatan (memori).
2) Kemampuan Fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan serupa.
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan merupakan potensi atau kesanggupan individu untuk menguasai beragam tugas dalam suatu pekerjaan yang mana dibutuhkan kecakapan berpikir.
b. Matematika
Matematika berasal dari bahasa Latin mathematika yang diambil dari bahasa Yunani mathematike yang artinya mempelajari yang mana memiliki asal kata mathema yang artinya pengetahuan. Mathematike memiliki hubungan dengan kata mathein atau mathenein yang memiliki arti belajar (berpikir), sehingga dapat diambil makna bahwa matematika merupakan ilmu yang diperoleh dengan berpikir (Siagian, 2016). Matematika merupakan pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat, representasinya dengan simbol mengenai ide (Suherman dkk, 2003). James dan James menjelaskan matematika merupakan ilmu logika tentang bentuk, susunan, besaran, dan konsep-konsep yang saling berhubungan satu dengan lainnya dalam jumlah yang banyak yang terbagi dalam tiga bidang yaitu aljabar, analisis, dan geometri(Nitbani dkk, 2020).
Matematika adalah ilmu tentang kuantitas, bentuk, susunan, dan ukuran, yang utama adalah metode dan proses untuk menemukan dengan konsep yang tepat dan lambang yang konsisten, sifat dan hubungan antara jumlah dan ukuran, baik secara abstrak, matematika murni atau dalam keterkaitan manfaat pada matematika terapan (Wijayanti, 2011). Mkyklebust menjelaskan bahwa matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah memudahkan berpikir (Abdurrahman, 2009).
Matematika adalah mata pelajaran yang terstruktur, memiliki sifat yang berkelanjutan dari konsep sederhana hingga konsep yang lebih kompleks (Karlimah, 2017).
Matematika merupakan bidang studi yang dipelajari dan diajarkan kepada siswa dimulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pada jenjang perguruang tinggi karena dalam prakteknya matematika sangat diperlukan sebagai sarana dalam menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan pendapat Crackroft yang mengatakan bahwa matematika merupakan pelajaran yang sangat penting diajarkan kepada siswa karena (1)
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari; (2) semua bidang studi membutuhkan pengetahuan matematika; (3) merupakan ilmu yang kuat, singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5) meningkatkan kemampuan berpikir secara logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan penyelesaian dalam memecahkan masalah yang menantang (Abdurrahman, 2012).
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan ilmu tentang logika berpikir mengenai penggunaan konsep-konsep yang tersusun secara terstruktur, sistematis, dan saling berhubungan antar konsep yang lain dalam menyelesaikan masalah.
c. Koneksi Matematis
Koneksi berasal dari bahasa Inggris connect, yang memiliki arti hubungan. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), koneksi adalah hubungan yang dapat memudahkan (melancarkan) segala urusan (kegiatan). Koneksi matematika merupakan dua kata yang berasal dari mathematical connection yang termasuk ke dalam lima standar proses dalam pembelajaran matematika yang harus dicapai siswa dalam kegiatan belajar di sekolah menurut National Council of Teacher of Mathematics (NCTM). Oleh sebab itu, kemampuan koneksi matematis sangat dibutuhkan di dalam pembelajaran matematika karena menjadi salah satu kemampuan dasar dalam pembelajaran matematika.
National Council of Teacher of Mathematics atau NCTM (2000) menyatakan bahwa “Dengan tanpa adanya koneksi matematis, maka siswa harus belajar dan mengingat terlalu banyak konsep dan prosedur matematika”
karena dengan adanya koneksi, maka siswa dapat membangun pemahaman baru pada pengetahuan sebelumnya. Ungkapan tersebut diperkuat oleh Tasni
& Susanti (2017) yang mengungkapkan bahwa koneksi matematis merupakan penghubung antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan baru yang dimiliki untuk menumbuhkan atau meningkatkan pengetahuan tentang hubungan antara konsep-konsep matematika. Kenedi, dkk (2019) mengatakan bahwa kemampuan koneksi matematis adalah bagian
dari pengetahuan yang saling berhubungan dengan pengetahuan lain yang terdiri dari konsep-konsep penting, memahami, mengembangkan hubungan antara ide-ide, konsep, dan prosedur matematika.
Koneksi matematis merupakan salah satu aspek kemampuan matematika yang harus dicapai dalam kegiatan belajar matematika. Karena dengan mengetahui hubungan-hubungan secara matematis maka siswa akan lebih memahami matematika dan juga memberikan kekuatan matematika lebih besar. Kenedi dkk (2018) mengatakan bahwa kemampuan siswa untuk berkoneksi matematis menjadi salah satu poin penting yang harus dicapai dalam proses pembelajaran, karena dengan mengetahui keterkaitan antar konsep matematika maka siswa akan lebih mudah memahami matematika itu sendiri dan membuka peluang siswa untuk dapat mengembangkan kemampuan terhadap matematika. Albert dan Antor mengatakan bahwa ketika anak-anak melakukan koneksi antara dunia nyata dan konsep-konsep matematika, matematika menjadi saling berhubungan dengan merekat. Siswa akan termotivasi, menjadi ingin tahu dan lebih tertarik dalam pembelajaran karena matematika menjadi relevan bagi mereka dan siswa dapat memahami pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari sehingga siswa akan terlibat di dalam kelas (Walz & Lincoln, 2008).
Penekanan koneksi matematis membantu siswa memahami ide-ide matematika yang berbeda saling berhubungan. Melalui koneksi matematis, siswa belajar membuat perkiraan dan mengembangkan pemikiran menggunakan wawasan di dalam suatu konteks tertentu untuk menguji sebuah konjektur dalam konteks lain. Dewi mengungkapkan bahwa kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan mengaitkan konsep-konsep matematika baik antar konsep matematika itu sendiri maupun mengaitkan konsep matematika dengan bidang lainnya (luar matematika) (Nurainah, Maryanasari, & Nurfauziah, 2018). Susanti mengungkapkan bahwa koneksi matematis merupakan bagian dari jaringan yang saling berhubungan dari paket pengetahuan yang saling berhubungan dari paket pengetahuan yang
terdiri dari konsep-konsep untuk memahami dan mengembangkan hubungan antara ide-ide matematika, konsep, dan prosedur (Kenedi dkk, 2018) .
Siswa yang memiliki koneksi matematis yang tinggi tidak akan kesulitan dalam menyelesaikan beragam masalah matematika, karena koneksi matematis adalah menghubungkan berbagai masalah yang berkaitan dengan matematika (Siregar & Surya (2017). Sumarmo berpendapat bahwa kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan untuk mengetahui, memahami, mampu menghubungkan pokok bahasan yang berbeda pada matematika, mampu menggunakan serta menerapkan matematika dengan studi lain, dan mengaitkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (Maryanasari & Zanthy, 2019). Nurlissolihah, Lastriyani, & Rolina (2018) mengungkapkan bahwa kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan untuk menemukan dan menggunakan keterkaitan antar topik untuk menyelesaikan masalah dalam matematika atau dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian siswa tidak hanya belajar matematika melainkan siswa juga belajar tentang kegunaan matematika. Selain itu melalui koneksi matematis maka pemikiran, wawasan siswa menjadi lebih terbuka, semakin luas tentang matematika, tidak hanya fokus pada satu topik saja, sehingga dapat memberikan dampak positif terhadap matematika.
Terdapat dua tipe umum koneksi matematis menurut NCTM (2000), yaitu modeling connections dan mathematical connections. Modeling connections merupakan hubungan antara situasi masalah yang muncul didalam dunia nyata atau dalam disiplin ilmu lain dengan representasi matematikanya, tipe ini mengarah koneksi dalam dunia nyata yang mana siswa dapat menghubungkan ke dalam kehidupan sehari-hari sedangkan mathematical connections merupakan hubungan antara dua representasi yang ekuivalen, dan antara proses penyelesaian dari masing-masing representasi, tipe ini mengarah koneksi antar topik matematika yang mana siswa dapat menghubungkan antar konsep-konsep matematika.
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa kemampuan koneksi matematis adalah kemampuan dalam menghubungkan
konsep-konsep matematika dalam kehidupan sehar-hari, konsep matematika yang sama, maupun antar konsep matematika yang satu dengan konsep matematika lainnya.
2. Indikator Kemampuan Koneksi Matematis
NCTM (2000) mengklasifikasikan indikator koneksi matematis sebagai berikut:
1. Mengenali dan menggunakan keterhubungan diantara ide-ide matematika.
2. Memahami bagaimana ide-ide matematika dihubungkan dan dibangun satu sama lain sehingga bertalian secara lengkap.
3. Mengenali dan menggunakan matematika dalam konteks di luar matematika (menerapkan hubungan matematika dalam kehidupan sehari-hari atau menerapkan hubungan matematika dengan studi lain).
Hadin dkk (2018) mengatakan bahwa seseorang dikatakan memiliki kemampuan koneksi atau mengaitkan antara satu hal dengan yang lainnya apabila dapat melakukan hal-hal berikut:
1. Menghubungkan antara topik atau pokok bahasan matematika dengan topik atau pokok bahasan matematika yang lainnya.
2. Mengaitkan berbagai topik atau pokok bahasaan dalam matematika dengan bidang lain dan atau hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari.
Sarah dkk (2020) berpendapat bahwa terdapat indikator kemampuan koneksi matematika yaitu:
1. Menggunakan hubungan antar topik matematika.
2. Menggunakan matematika dalam mata pelajaran lain.
3. Menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
4. Memahami representasi ekuivalen konsep yang sama.
Jihad (2008) mengemukakan bahwa indikator kemampuan koneksi matematis, sebagai berikut:
1. Mencari hubungan berbagai representasi konsep dan prosedur.
2. Memahami hubungan antar topik matematika.
3. Menggunakan matematika dalam bidang studi lain atau dalam kehidupan sehari-hari.
4. Memahami representasi ekuivalen dari konsep yang sama.
5. Mencari koneksi satu prosedur ke prosedur lain dalam representasi yang ekuivalen.
6. Menggunakan koneksi antar topik matematika dengan topik lainnya.
Coxford (1995) menguraikan indikator kemampuan koneksi matematis, sebagai berikut (Kusaeri, 2019):
1. Mengkoneksikan pengetahuan konseptual dan prosedural.
2. Menggunakan matematika pada topik lain.
3. Menggunakan matematika dalam aktivitas kehidupan.
4. Melihat matematika sebagai satu kesatuan yang terintegrasi.
5. Menerapkan kemampuan berfikir matematika dan membuat model untuk menyelesaikan masalah dalam pelajaran lain.
6. Mengetahui koneksi antar topik-topik dalam matematika.
7. Mengenal berbagai representasi untuk konsep yang sama.
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat dirumuskan bahwa indikator kemampuan koneksi matematis yang akan digunakan dalam penelitian ini dijelaskan secara lebih detail pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Indikator Kemampuan Koneksi Matematis
Indikator Deskripsi
Menghubungkan konsep antar
topik matematika yang sama Siswa dapat memahami dan menerapkan ide-ide konsep, prosedur antar gagasan dalam matematika yang sedang dipelajari.
Menghubungkan antara topik
tertentu dengan topik lainnya Siswa dapat memahami dan menerapkan konsep matematika yang berbeda yang saling berhubungan menjadi satu kesatuan yang utuh.
Menghubungkan konsep mate- matika dalam kehidupan sehari-hari
Siswa dapat memahami dan mengaitkan antar permasalahan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan ide-ide konsep dalam matematika.
3. Gaya Kognitif
a. Pengertian Gaya Kognitif
Gaya kognitif kerap kali dikonotasikan sama dengan gaya belajar.
Morgan membedakan gaya kognitif dengan gaya belajar, gaya kognitif dibedakan dari strategi belajar. “Suatu gaya adalah karakteristik hampir tetap pada seorang individu, sedangkan strategi merupakan cara yang digunakan untuk mengatasi situasi atau masalah yang sulit” (Warli, 2009). Gaya kognitif adalah mengenai bagaimana seseorang memproses yaitu menganalisis, menalar informasi yang telah diperoleh, sedangkan gaya belajar adalah mengenai bagaimana seorang menggunakan atau memanfaatkan informasi yang diperoleh. Blackman & Goldstain mengungkapkan bahwa gaya kognitif berhubungan dengan bagaimana seseorang berpikir dan menunjukkan variasi antar individu dalam memecahkan suatu masalah (Warli, 2009). Gaya kognitif adalah cara yang dilakukan seseorang dalam menangkap stimulus atau informasi, mengingat, berpikir, memecahkan masalah, dan merespon suatu tugas atau berbagai jenis situasi (Agoestanto dkk, 2020). Gaya kognitif merupakan karakteristik individu dalam penggunaan fungsi kognitif (berpikir, mengingat, memecahkan masalah, mengambil keputusan, mengatur dan memproses informasi dan sebagainya) yang konsisten dan bertahan lama (Nur
& Yulianti, 2019).
Masing-masing individu memiliki karakteristik yang berbeda-beda ketika menangkap, merespon, maupun memahami suatu informasi. Hal yang memberikan pengaruh terhadap karakteristik individu dalam menangkap maupun merespon suatu informasi dinamakan gaya kognitif. Mulbar dkk (2017) mengatakan bahwa gaya kognitif merupakan karakteristik yang mengacu pada cara seseorang untuk mengelola suatu informasi dan menggunakan strategi untuk menanggapi suatu permasalahan. Susan &
Collinson berpendapat bahwa umumnya cara pengelolaan seseorang dalam menyelesaikan masalah banyak dipengaruhi oleh gaya kognitif (Ningsih, 2012). Saracho mendefinisikan gaya kognitif sebagai perilaku, pilihan, atau strategi siswa yang menunjukkan bagaimana siswa menerima, mengingat,
berpikir, dan menyelesaikan masalah (Silma dkk, 2019). Gaya kognitif adalah pola strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah belajar yang ditentukan oleh cara orang memperhatikan lingkungan atau subjek yang tertanam (Sara dkk, 2016).
Gaya (style) berbeda dengan kemampuan (ability), seperti intelegensi.
Kemampuan mengarah kepada isi kognisi yang menyatakan informasi apa saja yang telah diproses, sedangkan gaya lebih mengarah kepada proses kognisi yang menyatakan bagaimana isi informasi itu diproses. Gaya kognitif dianggap sebagai dimensi kepribadian yang mempengaruhi sikap, nilai dan interaksi sosial (Hooda & Devi, 2017). Gaya kognitif adalah karakter pembelajaran yang melekat pada diri seseorang sehingga berkaitan erat dengan bagaimana untuk menerima dan memproses semua informasi, terutama dalam belajar (Hidajat dkk, 2018).
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif adalah cara seseorang dalam berpikir, memahami, merespon, memproses, dan mengorganisir informasi dari suatu permasalahan untuk memberikan solusi jawaban.
Witkin dkk (1977) menguraikan empat karakteristik gaya kognitif sebagai berikut (Warli, 2009):
1) Lebih mengutamakan bentuk daripada isi aktivitas kognitif. Hal ini mengarah kepada perbedaan individu bagaimana, merasa, memiliki, menyelesaikan masalah, belajar dan berhubungan dengan orang lain.
2) Gaya kognitif merupakan dimensi yang menembus keseluruh tingkah laku, baik aspek kognitif maupun aspek afektif.
3) Gaya kognitif bersifat tetap, namun bukan berarti tidak dapat berubah.
Pada umumnya jika orang mempunyai gaya kognitif tertentu pada suatu hari, maka gaya kognitif tersebut pada hari yang akan datang relatif tetap.
4) Jika dengan mempertimbangkan nilai, maka gaya kognitif bersifat bipolar, yang mana gaya kognitif memiliki dua kutub yang tidak menunjukkan adanya keunggulan salah satu kutub terhadap kutub yang lain. Artinya, seseorang yang memiliki skor yang lebih tinggi pada tes gaya kognitif
tidak dapat dikatakan lebih baik dibandingkan yang memiliki skor rendah.
Begitupula sebaliknya bahwa seseorang yang memiliki skor rendah tidak dapat dikatakan lebih buruk dari skor yang lebih tinggi.
Rahman (2008) mengkalsifikasikan gaya kognitif menjadi dalam tiga kategori yang disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Klasifikasi Gaya Kognitif
Kategori Sub Kategori
Psikologis 1. Field dependent 2. Field independent Konseptual tempo 1. Reflektif
2. Impulsif
Cara berpikir 1. Intuitif induktif 2. Logika deduktif
Ketika seseorang sedang berpikir, memahami, merespon, memproses, dan mengorganisir informasi tertentu, maka seseorang memerlukan waktu untuk memproses atau mengolah pemahaman hingga menemukan solusi penyelesaian. Kecepatan waktu merespon akan mempengaruhi keakuratan maupun ketelitian siswa dalam menangkap informasi. Masing-maasing siswa memiliki kecepatan merespon yang berbeda-beda. Kecepatan merespon yang dimiliki masing-masing individu ini disebut gaya kognitif kategori konseptual tempo. Oleh karena gaya kognitif kategori konseptual tempo menjadi bagian penting untuk mengukur pemahaman siswa dalam merespon suatu permasalahan dan melihat keakuratan siswa dalam menyelesaikan permasalahan, maka gaya kognitif yang digunakan pada penelitan ini adalah gaya kognitif kategori konseptual tempo yaitu gaya kognitif reflektif dan impulsif.
b. Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif
Gaya kognitif reflektif dan impulsif merupakan gaya kognitif yang diklasifikasikan kedalam konseptual tempo atau kecepatan dalam berpikir.
Tempo atau kecepatan yang dimaksud merupakan waktu yang digunakan untuk merespon suatu informasi yang diterima. Gaya kognitif reflektif dan impulsif memiliki konstribusi penting dalam menyelesaikan masalah, hal ini
memungkinkan bahwa siswa dengan gaya kognitif reflektif dan impulsif yang berbeda akan memiliki penyelesaian masalah yang berbeda pula (Puspita, 2016). McEwan & Reynolds mengungkapkan bahwa siswa reflektif membutuhkan waktu untuk berpikir dan merenung sebelum mereka berkomitmen pada rencana tindakan apa pun (Silma dkk, 2019). Siswa yang memiliki karakteristik menggunakan waktu lama untuk menjawab masalah, tetapi hati-hati atau teliti sehingga jawabannya diberikan cenderung benar, disebut orang dengan gaya kognitif reflektif (Muhtarom dkk, 2018).
Campitelli berpendapat bahwa gaya kognitif reflektif adalah disposisi berpikir yang berinteraksi dengan pengetahuan, karakteristik, dan mungkin memainkan peran penting dalam adaptasi pengambilan keputusan dan situasi masalah yang berbeda (Qolfathiriyus dkk, 2019). Gaya kognitif reflektif perlu waktu yang lebih lama dalam mengambil keputusan, siswa cenderung memeriksa solusi secara sistematis (Volkova & Rusalov, 2016). Siswa reflektif diartikan sebagai siswa yang membutuhkan lebih banyak waktu dalam memecahkan masalah, tetapi solusi atau jawaban yang diberikan akurat, oleh karena itu jawaban yang diberikan cenderung benar (Satriawan dkk, 2018). Santrock menyatakan bahwa gaya kognitif reflektif mengacu pada gaya kognitif di mana individu berpikir sebelumnya mereka bertindak, biasanya memindai informasi dengan hati-hati dan perlahan (Satriawan dkk, 2018). Siswa yang membutuhkan waktu cukup lama tetapi mendapat jawaban dengan benar dianggap reflektif (Wulandari dkk, 2019).
McEwan & Reynolds berpendapat bahwa siswa impulsif lebih menyukai langsung yang mana siswa merespon secara langsung ketika memecahkan masalah dengan terlibat aktif (Silma dkk, 2019). Siswa yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang singkat untuk menyelesaikan masalah, tetapi kurang teliti sehingga jawaban cenderung salah disebut orang dengan gaya kognitif impulsif (Muhtarom dkk, 2018).
Impulsif menunjukkan tempo spontan dalam membuat keputusan, sehingga mereka dapat membuat hipotesis dengan cepat dan mereka dapat membuat banyak kesalahan dalam menyampaikan solusi (Volkova & Rusalov, 2016).
Siswa yang membutuhkan waktu yang singkat dalam memecahkan masalah tetapi memberi kurang tepat dan cenderung cerdik memiliki jawaban yang salah digolongkan sebagai siswa yang impulsif. Impulsivitas adalah gaya kognitif di mana individu bertindak sebelum mereka berpikir (Satriawan dkk, 2018). Gaya kognitif impulsif memeriksa jawaban dengan tergesa-gesa dan tidak dapat memberikan solusi untuk jawaban di akhir jawaban (Azhil dkk, 2017). Anak yang memiliki ciri-ciri cepat dalam menjawab masalah, tetapi kurang teliti, sehingga jawaban yang cenderung salah adalah anak yang memiliki gaya kognitif impulsif (Khairunnisa & Masrukan, 2020).
Terdapat dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengukur gaya kognitif reflektif dan impulsif. Aspek pertama dilihat dari variabel waktu yang digunakan kemudian aspek kedua dilihat dari ketidakpastian. Warli (2010) mengungkapkan aspek gaya kognitif reflektif dan impulsif terdiri dari bila aspek waktu (variabel waktu) dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu cepat dan lambat. Kemudian aspek ketidakpastian (variabel ketidakpastian) dikelompokkan menjadi cermat/akurat (frekuensi menjawab sedikit) dan tidak cermat/tidak akurat (frekuensi menjawab banyak), maka siswa dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok, yaitu: kelompok siswa cepat dan cermat (fast accurate), lambat dan cermat (reflektif), cepat dan tidak cermat (impulsif), dan lambat dan tidak cermat (slow inacurrate).
Rozencwajg dan Corroyer (2005) menjelaskan pengelompokkan tersebut, sebagai berikut:
1) Siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif merupakan siswa yang memiliki karakteristik membutuhkan waktu yang lama dalam menyelesaikan masalah, tetapi cermat/teliti sehingga jawaban yang diberikan siswa cenderung benar.
2) Siswa yang memiliki gaya kognitif impulsif merupakan siswa yang memiliki karakteristik membutuhkan waktu yang singkat dalam menyelesaikan masalah, tetapi tidak/kurang cermat sehingga jawaban yang diberikan cenderung salah.
3) Siswa yang tergolong fast accurate merupakan siswa yang memiliki karakteristik menggunakan waktu yang singkat dalam menyelesaikan masalah, tetapi cermat/teliti sehingga jawaban yang diberikan cenderung benar.
4) Siswa yang tergolong slow inacurrate merupakan siswa yang memiliki karakteristik yang menggunakan waktu yang lama dalam menyelesaikan masalah, tetapi tidak/kurang cermat sehingga jawaban cenderung salah.
Berdasarkan pendapat para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa gaya kognitif reflektif adalah cara siswa mengolah informasi suatu permasalahan yang membutuhkan waktu berpikir lebih lama dan lebih teliti sehingga memberikan jawaban yang lebih akurat. Sedangkan gaya kognitif impulsif adalah cara siswa merespon dengan cepat dalam menyelesaikan permasalahan namun kurang teliti sehingga cenderung salah dalam menjawab. Adapun komponen dan indikator gaya kognitif reflektif dan impulsif yang digunakan pada penenelitian ini, sebagai berikut:
Tabel 2.3 Indikator Gaya Kognitif Reflektif dan Impulsif
Indikator Deskripsi
Waktu Lama waktu yang dibutuhkan siswa dalam menyelesaikan masalah.
Frekuensi Banyaknya frekuensi jawaban siswa sampai menemukan jawaban yang benar dalam menyelesaikan masalah.
c. Matching Familiar Figures Test (MFFT)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur gaya kognitif reflektif dan impulsif disebut Matching Familiar Figures Test (MFFT). MFFT dicetuskan oleh Jerome Kagan pada tahun 1965. Keny (2007) mengatakan bahwa MFFT merupakan instrument yang digunakan untuk mengukur kecepatan kognitif, subjek dikategorikan menjadi empat kelompok, yaitu: impulsif, reflektif, cepat akurat/cermat, dan lambat tidak akurat. Menurut Kagan, Instrument MFFT terdiri dari satu gambar baku (standard) dan kedua adalah gambar variasi (stimulus), hanya salah satu dari gambar variasi yang sama dengan gambar baku, dan perbedaan antara gambar baku dengan gambar variasi tidak
terlalu mencolok. Variabel yang diamati adalah rata-rata banyaknya jawaban siswa sampai menemukan jawaban benar dan waktu tanggapan.
Penelitian ini menggunakann instrumen MFFT yang diadopsi dari Warli (2010). Instrumen terdiri dari 13 butir tes yang diawali dengan dua contoh soal. Masing-masing tes terdiri dari satu gambar baku dan 8 gambar variasi. Pengukuran gaya kognitif terdiri dari jarak waktu antara stimulus dan respon pertama yang diberikan siswa (t) dan frekuensi jawaban siswa sampai menemukan jawaban yang benar. Penentuan gaya kognitif dihitung berdasarkan median data jarak waktu (t) dan median data frekuensi jawaban siswa hingga memperoleh jawaban yang benar. Median jarak waktu dan median frekuensi jawaban siswa sebagai batas penentuan siswa yang memiliki karakteristik reflektif dan impulsif. Selanjutnya, data median dari (t) dan (f) ditarik garis sejajar terhadap sumbu t dan sumbu f, sehingga memperoleh empat kelompok siswa. Gambaran kelompok siswa reflektif dan impulsif disajikan pada Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Kelompok Gaya Kognitif
Untuk menentukan kelompok siswa gaya kognititf reflektif dan impulsif digunakan rata-rata waktu dan rata-rata frekuensi jawaban siswa dengan kriteria yang disajikan pada Tabel 2.4 dan Tabel 2.5 (Fitri dkk, 2019).
Tabel 2.4 Kriteria Pemilihan Gaya Kognitif Siswa Reflektif
Indikator Kriteria
Waktu Siswa yang terpilih yaitu memiliki rata-rata waktu lebih dari median rata-rata waktu
Frekuensi Siswa yang terpilih yaitu memiliki rata-rata frekuensi kurang dari atau sama dengan median rata-rata frekuensi.
Tabel 2.5 Kriteria Pemilihan Gaya Kognitif Siswa Impulsif
Indikator Kriteria
Waktu Siswa yang terpilih yaitu memiliki rata-rata waktu kurang dari atau sama dengan median rata-rata waktu Frekuensi Siswa yang terpilih yaitu rata-rata frekuensi lebih dari
median rata-rata frekuensi.
4. Materi Sistem Persaman Linear Dua Variabel (SPLDV)
Sistem Persaman Linear Dua Variabel (SPLDV) merupakan sistem persamaan linear yang terdiri dari dua persamaan dan memiliki dua variabel dari masing-masing persamaan dimana pangkat atau derajat pada setiap variabelnya sama dengan satu. Bentuk umum dari sistem persamaan linear dua variabel:
�� + �� = �
�� + �� = � Dimana:
�, �, �, � disebut koefisien
�, � disebut variabel
�, � disebut konstanta
Adapun metode-metode penyelesaian sistem persamaan linear dua variabel sebagai berikut:
a. Metode Grafik
Langkah-langkah awal yang dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan SPLDV dengan menggunakan metode grafik yaitu terlebih dahulu menentukan grafik garis dari masing-masing persamaan, kemudian menentukan titik potong dari kedua garis. Titik potong dari
kedua garis yang diperoleh adalah penyelesaian dari SPLDV. Berikut contoh dengan menggunakan metode grafik.
Contoh:
Tentukan himpunan penyelesaian dari SPLDV berikut
� + � = 5
� − � = 1 Jawab:
Langkah Pertama, menentukan titik potong masing-masing persamaan pada sumbu-X dan sumbu-Y. Titik potong dengan sumbu-X, syaratnya adalah y = 0. Titik potong dengan sumbu-Y, syaratnya adalah x = 0.
Untuk � + � = 5
x 0 5
y 5 0
Diperoleh titik potong sumbu-X dan sumbu-Y adalah (5,0) dan (0,5) Untuk � − � = 1
x 0 1
y -1 0
Diperoleh titik potong sumbu-X dan sumbu-Y adalah (1,0) dan (0,-1) Kemudian didapatkan letak garis dalam grafik sebagai berikut.
Gambar 2.2 Grafik dari Dua Persamaan yang Terbentuk
Kemudian menentukan titik potong dan menentukan koordinat dari titik potong tersebut.
Gambar 2.3 Titik Potong pada Grafik dari Dua Persamaan yang Terbentuk
Gambar 2.3 menunjukkan bahwa titik potong kedua grafik adalah di titik (3, 2), sehingga penyelesaian dari SPLDV adalah (3,2).
Untuk membuktikan kebenaran penyelesaian tersebut, titik potong (3,2) di substitusikan ke persamaan � + � = 5 dan � − � = 1
(3) + (2) = 5 (3) − (2) = 1
Ada beberapa jenis himpunan penyelesaian pada metode grafik berdasarkan grafik persamaan, yaitu:
1) Jika kedua garis berpotongan pada satu titik, maka himpunan penyelesaiannya tepat memiliki satu anggota.
2) Jika kedua garis sejajar, maka himpunan penyelesaiannya tidak memiliki anggota. Dikatakan himpunan penyelesaiannya adalah himpunan kosong.
3) Jika kedua garis saling berhimpit, maka himpunan penyelesaiannya memiliki anggota yang tak hingga banyaknya.
b. Metode eliminasi
Langkah penyelesaian SPLDV menggunakan metode eliminasi yaitu jika untuk menentukan variabel x maka dengan cara menghilangkan variabel y. Jika untuk menentukan variabel y, maka dengan cara menghilangkan variabel x. Berikut contoh dengan menggunakan metode substitusi.
Contoh:
Tentukan himpunan penyelesaian dari SPLDV berikut.
� + � = 5
� − � = 1 Jawab:
Langkah pertama menentukan variabel x.
Menyamakan koefisien persamaan terlebih dahulu, apabila telah sama, langkah selanjutnya menjumlahkan persamaan I dengan persamaan II agar variabel y hilang. Kemudian diperoleh persamaan akhir 2� = 6, bagi kedua ruas dengan 2, sehingga diperoleh penyelesaian � = 3.
Langkah kedua menentukan varibel y.
Mengurangkan persamaan I dengan persamaan II agar variabel x hilang.
Diperoleh 2� = 4 , bagi kedua ruas dengan 2, sehingga diperoleh penyelesaian � = 2.
Sehingga himpunan penyelesaian dari SPLDV adalah (3,2).
c. Metode substitusi
Langkah awal yang dilakukan dengan metode substitusi yaitu membentuk persamaan fungsi dari salah satu persamaan yang diketahui dengan x sebagai fungsi dari y atau y sebagai fungsi dari x. Selanjutnya setelah diperoleh x atau y, substitusikan ke persamaan lainnya.
Contoh:
Tentukan himpunan penyelesaian dari SPLDV berikut
� + � = 5
� − � = 1
Jawab:
Membentuk persamaan fungsi dari persamaan I
� + � = 5 menjadi � = 5 − �
Kemudian persamaan fungsi � = 5 − � disubstitusikan ke persamaan II menjadi � − (5 − �) = 1 sehingga diperoleh persamaan 2� − 5 = 1 , kemudian ruas kiri −5 dipindah ke ruas kanan menjadi 2� = 6, kemudian bagi masing-masing ruas dengan 2 menjadi � = 3 . Setelah variabel x diperoleh, substitusikan ke persamaan awal (persamaan I atau persamaan II), misal pada persamaan II menjadi 3 − � = 1 , jadi −� = 1 − 3 atau y = 2.
Sehingga himpunan penyelesaian dari SPLDV adalah (3,2).
d. Metode Gabungan (eliminasi-substitusi)
Metode ini terdiri dari metode eliminasi dan substitusi. Langkah awal, lakukan eliminasi terlebih dahulu untuk memperoleh salah satu variabel, kemudian variabel yang diperoleh di substitusikan pada salah satu persamaan. Berikut contoh dengan menggunakan metode gabungan.
Contoh:
Tentukan himpunan penyelesaian dari SPLDV berikut
� + � = 5
� − � = 1 Jawab:
Langkah pertama menentukan variabel x.
Menyamakan koefisien persamaan terlebih dahulu, apabila telah sama, langkah selanjutnya menjumlahkan persamaan I dengan persamaan II agar variabel y hilang. Kemudian diperoleh persamaan akhir 2� = 6, bagi kedua ruas dengan 2, sehingga diperoleh penyelesaian � = 3.
Kemudian � = 3 disubstitusikan ke persamaan � + � = 5 menjadi 3 +
� = 5, jadi � = 5 − 3 atau � = 2.
Sehingga himpunan penyelesaian dari SPLDV adalah (3,2).
B. Kerangka Berpikir
Matematika merupakan pembelajaran yang sangat penting karena dapat memberikan kemampuan yang logis, kritis, dan terstruktur dalam menyelesaikan permasalahan. Oleh sebab itu, perlu menerapkan tujuan pembelajaran matematika yang efektif agar memberikan hasil yang optimal dan tercapainya kemampuan matematika setiap siswa. Pembelajaran matematika tidak terlepas dari permasalahan-permasalahan matematika, sehingga siswa harus memiliki kemampuan dalam mengkoneksikan ide-ide atau gagasan yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan matematika. Kemampuan mengkoneksikan suatu gagasan merupakan kemampuan koneksi matematis.
Kemampuan koneksi matematis merupakan kemampuan mengaitkan konsep matematika yang ekuivalen, antar konsep matematika yang berbeda, dan pada aktivitas sehari-hari. Kemampuan koneksi matematis siswa sangat penting karena dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa sebagaimana siswa mengingat kembali, memahami penerapan suatu konsep terhadap lingkungan dan sebagainya (Nurul dkk, 2019). Sehingga dapat dikatakan bahwa jika siswa memiliki kemampuan koneksi matematis yang baik, maka pengetahuan siswa akan semakin luas. Kemampuan koneksi matematis dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu menghubungkan konsep antar topik matematika yang sama, menghubungkan antara topik tertentu dengan topik lainnya, dan menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari.
Perkembangan dan karakteristik siswa yang berbeda-beda sangat menentukan ketercapaian kemampuan siswa dalam menghubungkan ide-ide atau konsep matematika. Setiap individu secara psikologis mempunyai perbedaan dalam mengolah, menganalisis, suatu informasi untuk dapat mengaitkan konsep matematika. Cara siswa mengaitkan ide-ide matematika untuk mengatasi situasi masalah disebut gaya kognitif. Gaya kognitif merupakan cara seseorang dalam menerima dan pengelolaan sikap individu terhadap informasi, maupun kebiasaan yang berkaitan dengan dunia belajar.
Masing-masing individu ketika merespon, mengelola, mengatasi suatu permasalahan juga memiliki kebutuhan waktu yang berbeda-beda. Kebutuhan waktu siswa dalam merespon informasi dapat memberikan dampak pada keakuratan penyelesaian yang siswa berikan. Kecepatan waktu respon siswa ketika mengaitkan konsep matematika merupakan bagian dari gaya kognitif reflektif dan impulsif. Salah satu dimensi gaya kognitif yang memperoleh perhatian paling besar dalam permasalahan belajar anak yaitu gaya kognitif reflektif dan impulsif (Putri dkk, 2017). Siswa yang memiliki gaya kognitif reflektif memiliki kecenderungan cepat dalam menyelesaikan masalah matematika tetapi menghasilkan tingkat kekeliruan jawaban sangat tinggi. Sedangkan siswa yang bergaya kognitif impulsif cenderung lamban dalam menyelesaikan masalah matematika tetapi memperoleh tingkat kekeliruan jawaban yang sangat rendah.
Penelitian ini dimulai dengan menetapkan kelas untuk pemilihan subjek penelitian. Kemudian siswa diberikan tes gaya kognitif yaitu menggunakan tes MFFT untuk menggolongkan siswa menjadi gaya kognitif reflektif dan impulsif.
Kemudian terpilih tiga siswa dari masing-masing kategori gaya kognitif reflektif dan impulsif tes kemampuan koneksi matematis. Selanjutnya diberikan tes untuk mengukur kemampuan koneksi matematis. Siswa diberikan tiga permasalahan matematika materi sistem persamaan linier dua variabel. Seluruh siswa mengerjakan tes sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, kemudian melakukan wawancara secara semi terstruktur untuk mengetahui lebih mendalam pengerjaan dan pemahaman siswa. Setelah hasil tes kemampuan koneksi matematis diperoleh, langkah selanjutnya adalah menganalisis berdasarkan indikator yang telah ditetapkan.
Setelah melakukan analisis dari hasil tes kemampuan koneksi matematis siswa, kemudian menyimpulkan tentang kemampuan koneksi matematis yang dimiliki siswa. Siswa dengan gaya kognitif reflektif dapat menghubungkan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari, antara topik tertentu dengan topik lainnya, dan antar topik matematika yang sama. Siswa dengan gaya kognitif impulsif dapat menghubungkan konsep kehidupan sehari-hari, tetapi tidak dapat menghubungkan antara topik tertentu dengan topik lainnya, dan antar topik
matematika yang sama. Berikut diagram alur kerangka berpikir penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Diagram alur kerangka berpikir Gaya Kognitif
Gaya Kognitif
Reflektif Gaya Kognitif Impulsif
Tes Koneksi Matematis
Wawancara dan Hasil Tes Kemampuan Koneksi Matematis