• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal T1 802009081 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepuasan Pernikahan pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal T1 802009081 BAB I"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. LATAR BELAKANG

Menikah merupakan salah satu peristiwa bersejarah dalam kehidupan seorang manusia. Dalam sebuah ikatan pernikahan, pria dan wanita dengan latar belakang kehidupan yang berbeda mencoba menyatukan hati dan pikiran mereka untuk mencapai tujuan yang sama yaitu hidup bahagia bersama pasangan hingga maut memisahkan. Tujuan hidup bahagia dalam ikatan pernikahan juga tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 pasal 1 tentang perkawinan yang menyebutkan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, 1989).

Dalam Undang-Undang tersebut, pemerintah juga telah mengatur batasan usia bagi individu yang akan melangsungkan pernikahan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Berdasarkan undang-undang tersebut, maka pria dan wanita yang sudah berusia 19 dan 16 tahun sudah dapat melangsungkan pernikahan secara sah menurut hukum. Di sisi lain, pada tahun 2001 organisasi dunia yang menangani masalah anak, UNICEF (United Nations Children’s Fund) mengungkapkan bahwa pernikahan yang

(2)

Menikah di usia muda akan membawa dampak tersendiri bagi individu yang bersangkutan. Ditinjau dari segi psikososial, pernikahan di usia remaja menyebabkan individu kehilangan masa remajanya (UNICEF, 2001). Berk (2012) berpendapat bahwa pada pasangan yang menikah di usia remaja dan sudah memiliki anak, kehidupannya kerap kali memburuk dalam beberapa hal seperti jenjang pendidikan, pola pernikahan serta ekonomi. Dampak dari pernikahan ini akan lebih terasa bagi pihak perempuan dibanding pihak laki-laki (International Center for Research on Women, 2012).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh WHO (dalam Svanemyr, Chandra-Mouli, Christiansen & Mbizvo, 2012), pernikahan di usia remaja seringkali menyebabkan perempuan meninggalkan bangku sekolah, mengurangi kesempatan untuk belajar dan memperoleh keterampilan yang memampukan mereka untuk mendapatkan pekerjaan. Putus sekolah merupakan konsekuensi langsung dari pernikahan di usia remaja (United Nations Population Fund, 2012). Pendapat senada juga diungkapkan oleh Berk (2012),

pernikahan di usia remaja merupakan penyebab berkurangnya peluang remaja perempuan untuk menyelesaikan pendidikan SMA ketika mereka sudah hamil sebelum berusia 18 tahun. Oleh karena jenjang pendidikan yang rendah, banyak ibu remaja pada akhirnya terjebak kemiskinan.

(3)

berpikiran bahwa menyekolahkan anak perempuan adalah hal yang sia-sia karena pada akhirnya akan menikah dan meninggalkan rumah untuk bekerja di rumah lain.

Malhotra (2010) mengungkapkan konsekuensi lain bagi perempuan yang menikah di usia remaja yaitu terjadinya peningkatan resiko kematian ibu saat melahirkan, kematian bayi sebelum usia satu tahun, rentan tertular AIDS dan menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga. Bagi ibu muda yang sudah menikah, terjadi peningkatan peluang mengalami perceraian dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang menunda kelahiran anak (Moore dan Brooks-Gunn dalam Berk, 2012).

Selain itu, DeLissovoy (dalam Boykin, 2004) mengungkapkan bahwa remaja yang sudah menikah mengalami penurunan pada hubungan persahabatan dan dukungan sosial dari teman sebaya. Pada remaja perempuan, mereka merasa tidak memiliki banyak waktu bersama teman-teman dan berharap agar memiliki lebih banyak teman yang sudah menikah sedangkan pada remaja laki-laki, mereka tetap dapat bertemu dengan teman sebayanya secara teratur dan meninggalkan istri mereka di rumah.

Adapun dampak positif dari pernikahan di usia remaja juga diungkapkan oleh Boykin (2004) yakni mengajarkan para remaja untuk belajar bersama pasangan mengenai kehidupan rumah tangga. Melalui pernikahan, para remaja belajar bersabar dalam proses menuju kehidupan rumah tangga yang bahagia.

(4)

sepanjang tahun 2012 kantor urusan agama (KUA) Majene, Sulawesi Barat mencatat sudah menerima surat permohonan nikah dari 155 pasangan, 62 pasangan tersebut masih duduk di bangku sekolah (Indra, 2012). Artikel lain menyebutkan bahwa selama bulan Januari hingga Februari 2012 KUA di Jatiyoso, Karanganyar mencatat 50 pasangan menikah dan sebanyak 33 pasangan adalah mempelai perempuan berusia dibawah 22 tahun (Kurniawan, 2012).

Keluarga yang bahagia merupakan dambaan setiap individu yang memutuskan menikah. Konsekuensi dari adanya harapan bahwa pernikahan dapat membawa kebahagiaan yakni munculnya perasaan puas dan tidak puas terhadap pernikahan yang dijalani. Individu dikatakan puas terhadap pernikahannya bila harapannya mengenai pernikahan sesuai dengan apa yang dialami ketika sudah menikah (Bahr, Chappell & Leigh, 1983). Fatima dan Ajmal (2012) menyatakan bahwa perasaan tidak puas terhadap pernikahan, baik dirasakan suami maupun istri, dapat memicu timbulnya perasaan tidak bahagia serta ketidakmampuan menikmati hidup.

Mencapai kepuasan pernikahan bukanlah hal yang mudah. Pernikahan akan berpotensi mencapai kepuasan jika setiap pasangan memiliki kemandirian dan kedewasaan, tidak hanya mencintai pasangan namun juga mencintai diri sendiri, menikmati waktu sendiri seperti saat bersama pasangan, mapan dalam pekerjaan, mengenal diri sendiri, mampu mengekspresikan diri secara asertif, serta kedua individu juga mampu untuk mengembangkan hubungan persahabatan (Olson & DeFrain, 2006).

(5)

pernikahan, intensitas timbulnya berbagai masalah yang harus dihadapi juga mengalami peningkatan. Newby (2010) mengungkapkan bahwa selama tiga tahun pertama pernikahan, pasangan akan melakukan berbagai penyesuaian agar tidak terjadi perpisahan. Newby menambahkan, selama itu pula pasangan mulai membiasakan diri dengan kehidupan pernikahan.

Untuk menikah, idealnya individu harus memiliki pemahaman mengenai lawan jenis, kemampuan untuk memberi dan menerima cinta, kemampuan untuk mengembangkan dan menjaga keintiman hubungan interpersonal serta kemampuan dalam berkomunikasi, berkonsultasi dan memecahkan masalah (Duvall & Hill, 1960). Individu yang memutuskan untuk menikah perlu memperhatikan beberapa faktor yang dapat berpengaruh dalam tercapainya kepuasan pernikahan, seperti keadaan psikologis dan sosial ekonomi individu yang bersangkutan.

Pernikahan bagi seorang pria dan wanita yang berusia dibawah 20 tahun, secara fisiologis tidak menjadi masalah karena pada usia tersebut, keadaan fisik individu sudah tergolong cukup matang dan sehat untuk melakukan kewajiban dalam pernikahan (Walgito, 2004). Sebuah pernikahan akan menimbulkan masalah bila pasangan yang menikah belum memiliki kematangan psikologis. Di usia yang sangat muda, individu seringkali tidak cukup mengenal diri sendiri serta masih ragu dengan prospek masa depannya dan cenderung mudah salah menilai karakteristik dan kebiasaan pasangan (Lehrer, 2006).

(6)

ketidakstabilan pernikahan karena kurangnya pengalaman mengenai peran individu dalam pernikahan. Hal inilah yang dapat memicu ketidakpuasan pernikahan. Ketidakpuasan yang dirasakan lebih memungkinkan pasangan memutuskan berpisah atau bercerai (Levenson, Carstensen & Gottman, 1993). Dibandingkan dengan individu yang menikah di atas usia 20 tahun, 60% pernikahan yang dilakukan ketika individu berusia kurang dari 20 tahun akan berakhir dengan perpisahan (Raley & Bumpass, 2003). Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa semakin muda usia individu ketika menikah akan meningkatkan kemungkinan mengalami perceraian.

Menurut Lehrer (2006), usia individu ketika menikah merupakan salah satu faktor penting yang dapat memicu perceraian, selain latar belakang keluarga yang berbeda serta perubahan perilaku pasangan sebelum dan setelah menikah. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Weinstein, Powers dan Laverghetta (2010) menunjukkan bahwa usia ketika menikah pertama kali berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan yang dirasakan oleh individu.

(7)

Individu berusia diatas 20 tahun dianggap lebih kompeten untuk membina rumah tangga karena pada rentang usia tersebut, mereka sudah memasuki masa dewasa. Menurut Walgito (2004), pada umumnya wanita dengan usia 23 tahun dan pria berusia 27 tahun sudah mencapai kematangan psikologis, khususnya kematangan emosi. Kematangan emosi berkaitan dengan kematangan dalam proses berpikir sehingga individu akan lebih mampu melihat kenyataan secara lebih objektif.

Berbeda dengan individu dewasa, remaja dikhawatirkan belum mampu membina rumah tangga lantaran psikologis yang belum stabil. Sebuah penelitian memprediksi bahwa individu yang menikah diatas usia 20 tahun atau minimal berusia 20 tahun memiliki tingkat kepuasan dan stabilitas pernikahan yang lebih baik dibandingkan dengan individu yang menikah dibawah usia 20 tahun (Tzeng dalam Faulkner, 2002). Hal tersebut terjadi karena pasangan yang menikah diatas usia 20 tahun atau minimal 20 tahun memiliki kematangan psikologis sehingga mampu mengontrol emosi dengan baik ketika menyelesaikan permasalahan dalam rumah tangga.

(8)

sesuai dengan jenis kelamin, mencapai kemandirian emosional, mempersiapkan kemandirian ekonomi, mempersiapkan untuk kehidupan pernikahan, mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial, belajar berbagai pengetahuan mengenai nilai dan etika yang ada di masyarakat sebagai pedoman untuk berperilaku. Berdasarkan tugas perkembangan tersebut, menikah bukan merupakan tugas perkembangan remaja.

Menurut Hall (dalam Santrock, 2007), masa remaja merupakan masa pergolakan yang dipenuhi oleh konflik dan perubahan suasana hati. Pergolakan yang terjadi selama masa remaja dapat mempengaruhi interaksi remaja dengan orang lain. Bagi remaja yang sudah menikah, pergolakan dapat mempengaruhi interaksi dengan pasangan. Gottman (1999) menyatakan dasar untuk mencapai pernikahan yang bahagia adalah persahabatan. Melalui rasa bersahabat, akan tercipta hubungan harmonis yang mampu mengurangi konflik dalam rumah tangga.

Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah keadaan sosial ekonomi individu yang bersangkutan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Archuleta, Britt, Tonn dan Grable (2011), faktor ekonomi dapat berpengaruh terhadap kepuasan pernikahan. Stres yang diakibatkan karena masalah ekonomi atau yang berhubungan dengan dunia kerja berpengaruh terhadap penurunan kepuasan pernikahan (Stone & Shackelford, 2007).

(9)

(Freeman, Carlson & Sperry, 1993). Tekanan ekonomi dapat meningkatkan kekerasan terhadap pasangan dan menurunkan kehangatan dalam hubungan. Kondisi seperti ini dapat memicu ketidakstabilan dalam pernikahan dan menurunkan kepuasan terhadap pernikahan (Kerkmann, Lee, Lown & Allgood, 2000).

Pria atau wanita yang berusia dibawah 20 tahun masih belum mapan secara ekonomi. Pada rentang usia tersebut, mereka masih bergantung kepada orang tua masing-masing. Masalah akan timbul ketika individu memutuskan menikah. Walgito (2004) mengungkapkan bahwa individu yang berani memutuskan untuk membentuk keluarga maka segala tanggung jawab dalam hal menghidupi keluarga terletak pada pasangan tersebut, bukan pada orang lain termasuk orang tua. Bila usia pasangan yang masih muda dengan kehidupan ekonomi yang masih bergantung pada orang tua memutuskan untuk menikah, dikhawatirkan pasangan tersebut tidak mampu menghidupi keluarga dengan layak.

(10)

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Vinokur, Price dan Caplan (1996), diketahui bahwa pasangan yang tidak bekerja menyebabkan timbulnya gejala depresi, baik pada pria maupun wanita. Gejala depresi yang ditimbulkan karena tekanan ekonomi dapat mengurangi dukungan pada pasangan dan penurunan kepuasan terhadap hubungan.

Kepuasan pernikahan merupakan sesuatu yang dipandang berbeda oleh setiap individu karena bersifat partisipantif. Ini disebabkan karena kepuasan pernikahan lebih berfokus pada persepsi setiap individu daripada persepsi pasangan terhadap pernikahan mereka (Anderson, Russell & Schumm, 1983). Umumnya, kepuasan pernikahan berbentuk seperti kurva U (Papalia, Sterns, Feldman & Camp, 2002). Pada empat tahun pertama pernikahan, baik suami maupun istri akan mengalami penurunan kepuasan dan memicu timbulnya depresi terutama pada wanita (Kurdek dalam Olson & DeFrain, 2006). Kepuasan pernikahan kembali meningkat setelah anak mulai beranjak dewasa dan meninggalkan rumah hingga masa pensiun tiba (DeGenova & Rice, 2005).

Penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kepuasan yang tidak sebanding antara pria dan wanita yang sudah menikah. Sanders (2010) mengungkapkan bahwa kepuasan pernikahan pada wanita lebih rendah bila dibandingkan dengan pria. Hasil penelitian serupa juga dikemukakan oleh Mathews (n.d.), sebesar 77.1% responden pria merasa puas dengan pernikahannya sedangkan pada wanita hanya sebesar 60.7%.

(11)

tangga antara suami dan istri serta menurunnya waktu bersama pasangan setelah lahirnya anak pertama (Dew & Wilcox, 2011). Selain ketidakadilan dalam pembagian tugas rumah tangga, dibandingkan dengan pria, peran wanita sebagai care taker utama pada anak juga memicu ketidakpuasan dalam pernikahan (Twenge, Campbell & Foster, 2003).

Adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh istri dapat menimbulkan masalah dengan pasangan mengenai persamaan gender dalam hubungan pernikahan (Faulkner, 2002). Selain itu, kepuasan pernikahan kaum wanita terbukti berpengaruh terhadap kesehatan emosional anak-anak mereka, sementara tidak demikian dengan kepuasan pernikahan kaum pria (Belsky & Fish dalam Prasetya, 2007). Kepuasan pernikahan yang dirasa oleh wanita juga berpengaruh terhadap kedekatan orang tua dengan anak, hal ini tidak berlaku bagi kepuasan pernikahan yang dirasa pria (Fishman & Meyers, 2000).

Berdasarkan uraian tersebut, penulis tertarik untuk meneliti mengenai kepuasan pernikahan yang dialami oleh wanita yang memutuskan untuk menikah di usia remaja awal. Maka penulis mengajukan judul “Kepuasan Pernikahan Pada Wanita yang Menikah di Usia Remaja Awal”.

B. RUMUSAN MASALAH

(12)

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah di usia remaja awal.

D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan sumbangan teori dalam bidang Psikologi Perkembangan. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya mengenai kepuasan pernikahan pada wanita yang menikah di usia remaja awal.

2. Manfaat praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah:

a. Bagi para wanita yang menikah di usia remaja awal, penelitian ini diharapkan mampu memberi masukan mengenai kehidupan pernikahan termasuk tentang permasalahan dalam rumah tangga serta pemecahannya. Dari penelitian ini pasangan dapat belajar bagaimana cara mengatasi masalah serta menjalin komunikasi dengan pasangan sehingga dapat tercapai kepuasan terhadap pernikahannya.

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Penentuan nilai reflektansi (R) untuk setiap sampel bahan penelitian dilakukan dengan melakukan pengukuran nilai intensitas refleksi (Ir) dari cahaya datang yang

Apabila Saudara tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan tersebut di atas dan tidak membawa dokumen yang disyaratkan, akan dinyatakan gugur/tidak memenuhi

(3) Rekapitulasi Daftar Kekurangan Pembayaran Tunjangan Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang memuat kebutuhan pembayaran untuk seluruh pegawai yang berhak

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, implementasi pembiayaan mudharabah di PT Bank BNI Syariah Kantor Cabang Jember telah sesuai dengan Fatwa Dewan Syariah Nasional

Apabila Saudara tidak hadir pada waktu yang telah ditentukan tersebut di atas dan tidak membawa dokumen yang disyaratkan, akan dinyatakan gugur/tidak memenuhi

Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Jember, terima kasih atas semua. bimbingan

[r]

The yield of resulting liquid products from the fast pyrolysis of glycerol were studied under the effect of pyrolysis temperature and carrier gas flow rate.. The