• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelayakan Fisik dan Teknis Prosedure Pemotongan di RPH Pemerintah Jawa Barat ( Physical and Technical Feasibility Procedure slaughter at the Government Abattoir in West Java ).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelayakan Fisik dan Teknis Prosedure Pemotongan di RPH Pemerintah Jawa Barat ( Physical and Technical Feasibility Procedure slaughter at the Government Abattoir in West Java )."

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Seminar nasional peternakan berkelanjutan ke 5 fapet unpad, 12 nopember 2013

Kelayakan Fisik dan Teknis Prosedure Pemotongan

di RPH Pemerintah Jawa Barat

Oleh :

Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Andre Rivanda Daud Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memetakan dan mengkuantifikasi standarisasi kelayakan kondisi teknis dan prosedure teknis pemotongan ternak sapi di RPH pemerintah, di Jawa Barat.

Obyek Penelitian ini adalah manajemen RPH milik pemerintah di Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey di 13 RPH milik pemerintah di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

(1) Berdasarkan kondisi fisik RPH Pemerintah di Jawa Barat yang termasuk kategori layak adalah RPH F dan RPH L, RPH yang masuk kategori kurang layak adalah RPH A, RPH C, dan RPH E, RPH yang masuk kategori tidak layak adalah RPH B, RPH D, RPH G, RPH H, RPH I, dan RPH J, dan RPH yang masuk kategori sangat tidak layak adalah RPH K dan RPH M.

(2) Berdasarkan prosedur pemotongan ternak sapi diperoleh RPH yang masuk kategori layak yaitu RPH F dan RPH L, RPH yang masuk kategori kurang layak yaitu RPH B, RPH C, RPH D, dan RPH M, RPH yang masuk kategori tidak layak adalah RPH A, RPH G, RPH H, dan RPH I, dan RPH yang masuk kategori sangat tidak layak RPH E, RPH G, dan RPH K.

(3) RPH yang masuk dalam kategori layak dan memiliki daya saing produk, yaitu RPH F yang mempunyai skor gabungan 83,62. Namun, RPH F masih perlu dilakukan rehabilitasi jika dilihat dari nilai skor yang belum mencapai maksimal pada beberapa variabel.

(2)

Abstract

Physical and Technical Feasibility Procedure slaughter

at the Government Abattoir in West Java

By :

Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Andre Rivanda Daud Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

This study aims to determine, mapping and quantify the feasibility of standardizing the technical conditions and slaughter technical procedures at government abbatoir in West Java.

The object of this study is the management of government-owned abattoir in West Java. The method used in this study is a survey in 13 government-owned abattoir in several districts/cities in West Java. Based on the analysis and discussion can be concluded as follows:

(1) Based on the physical condition of abattoir Government in West Java which is a viable category abattoir F and L, abattoir are categorized as less worthy is abattoir A, abattoir C, and abattoir E, abattoir in the category is not feasible abattoir B, abattoir D, abattoir G, H abattoir, abattoir I, and J abattoir, and abattoir are categorized as very improper is abattoir K and M.

(2) According to the procedure gained abattoir cattle slaughter in the category that is worth abattoir F and L, abattoir are categorized as less worthy that abattoir B, abattoir C, D abattoir, and abattoir M, abattoir in the category is not feasible abattoir A , abattoir G, H abattoir, and abattoir I, and abattoir are categorized as very improper abattoir E, abattoir G, and abattoir K.

(3) Abattoir in the category viable and competitive products, the abattoir F which has a combined score of 83.62. However, abattoir F rehabilitation still needs to be done if seen from the scores that have not reached the maximum on several variables.

(3)

Kelayakan Fisik dan Teknis Prosedure Pemotongan

di RPH Pemerintah Jawa Barat

Oleh :

Rochadi Tawaf, Obin Rachmawan dan Andre Rivanda Daud Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran

PENDAHULUAN

Pada saat ini industri daging sapi nasional telah dihadapkan pada lingkungan pasar global yang sangat kompetitif. sementara teknologi pasca panen, terutama pada aktivitas pemotongan (pre and post mortem), telah berhasil meningkatkan kualitas akhir produk daging sapi di pasar internasional. Selain itu, keunggulan rantai pasok daging sapi global juga bersumber dari pemuasan kebutuhan konsumen pada atribut-atribut non ekonomi, seperti keamanan pangan (food safety), kemamputelusuran

(traceability), kesejahteraan hewan (animal welfare) dan pola pengelolaan yang ramah

lingkungan.

Sumber-sumber keunggulan tersebut pada umumnya belum dimiliki oleh industri daging di Indonesia khususnya Jawa Barat hingga saat ini. Jawa Barat sebagai wilayah konsumen daging sapi, sangat strategis bila mampu memberdayakan RPH yang ada sebagai pusat produksi daging sapi domestik.

Masalah yang diidentifikasi pada penelitian ini adalah : Sejauhmana kondisi fisik dan standarisasi prosedur pemotongan ternak di RPH milik Pemerintah di Jawa Barat. Secara umum, penelitian ini bermaksud untuk untuk memetakan dan mengkuantifikasi standarisasi kelayakan kondisi teknis dan prosedure pemotongan ternak sapi di RPH pemerintah, di Jawa Barat.

METODE PENELITIAN

Obyek Penelitian ini adalah RPH milik pemerintah dan pelaku bisnis sapi/daging di RPH contoh di Jawa Barat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah survey di 13 RPH milik pemerintah di beberapa kabupaten/kota di Jawa Barat.

Variabel kondisi teknis dan prosedure pemotongan mengacu kepada SNI 01-6159-1999, dan SK mentan 413/1992 yang kemudian dilakukan pembobotan.

(4)

��= ��� dimana ��� = ����� � ��, sehingga nilai akhir untuk total nilai skor untuk persyaratan dan prosedur pemotongan merupakan penjumlahan dari

masing-masing variabelnya, atau � � = ��� dan atau � �= ��� Keterangan:

�� = total nilai skor yang sudah dibobot untuk masing-masing variabel ��� = Nilai hasil pembobotan untuk sub variabel ke-i

��� = Nilai skor sub variabel ke-i, dimana nilai skor untuk masing-masing variabel adalah 1 (satu) � = jumlah nilai skor untuk variabel ke-i

�� = Bobot Nilai skor untuk variabel ke-i

� � = Nilai akhir hasil pembobotan seluruh variabel persyaratan RPH � � = Nilai akhir hasil pembobotan seluruh variabel prosedur pemotongan

Memberi keputusan terhadap nilai akhir untuk masing-masing RPH menurut kaidah pengambilan keputusan.

100 Sangat Layak Persyaratan RPH terpenuhi 100%

Prose terpenuhi lebih dari 0 % sampai Z x – stdev = y Kurang Layak Prosedur pemotongan RPH terpenuhi

lebih dari dari X sampai Y

99.00 – stdev = x Layak Prosedur pemotongan RPH terpenuhi lebih dari X sampai 99.00%

100 Sangat

Layak

Prosedur pemotongan RPH terpenuhi 100%

(5)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemotongan ternak sapi di RPH Jabar

Berdasarkan hasil pengamatan terhadap jumlah pemotongan di 13 sampel RPH Pemerintah dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Pemotongan sapi di RPH Contoh

Keterangan :

LXB = Lokal x Brahman; L(PO) = Lokal (PO); SO= Sumba Ongole;

Limpo = Limmousin x PO; SIMPO = Simental x PO; PFH = peranakan FH

Berdasarkan Tabel 2, dapat dijelaskan bahwa bangsa sapi lokal yang paling banyak dipotong selama periode penelitian di RPH contoh, didominasi oleh bangsa sapi PO 1.960 ekor (49,21%), disusul sapi silangan Simpo sebanyak 847 ekor (21,27%), dan sapi bali 781 ekor (19,61%). Kontribusi sapi impor pada RPH Penelitian masih besar yaitu 2.112 ekor (34,65%) dari total pemotongan.

(6)

Tabel .3 Nilai skor Rekapitulasi RPH Pemerintah di Jawa Barat

Berdasarkan Tabel 3, tampak jelas bahwa hanya ada dua RPH yang layak secara teknis dan tidak ada yang masuk katagori sangat layak. Kedua RPH tersebut adalah RPH F dan L. Sementara sisanya tidak layak (4 RPH), kurang layak (4 RPH) dan sangat tidak layak (3 RPH). Namun semuanya rata-rata masih di bawah standar kelaykan teknis, sehingga perlu dilakukan revitalisasi secara fisik dengan cara melakukan rehabilitasi sesuai variabel yang ditetapkan.

Prosedure Pemotongan di RPH

(7)

Tabel.4. Jumlah Nilai skor Prosedur Pemotongan RPH Pemerintah di Jawa Barat

Berdasarkan Tabel 4. dapat dilihat bahwa terdapat 2 RPH yang layak yaitu RPH F dan RPH L, 4 RPH yang kurang layak yaitu RPH B, RPH C, RPH D, dan RPH M, 4 RPH yang tidak layak yaitu RPH A, RPH G, RPH H, dan RPH I, Semakin besar nilai skor yang diperoleh, semakin lengkap prosedur yang dilakukan RPH tersebut. Namun demikian, keseluruhan RPH sebagaian besar berada pada kondisi di bawah standar yang ditetapkan pemerintah. Oleh karenanya, dalam prosedure pemotongan sapi di RPH harus dilakukan revitalisasi secara khusus pada varibel-variabel yang memilki kriteria rendah.

Standarisasi RPH berdaya saing

(8)

Tabel 5. Nilai Skor Gabungan Persyaratan Teknis dan Prosedure Pemotongan sapi

Dari Tabel 5 dapat dijelaskan bahwa hanya satu RPH yang masuk dalam kategori layak, yaitu RPH F yang mempunyai skor gabungan 83,62. Walaupun sudah masuk dalam kategori layak, RPH F masih memiliki kekurangan dan belum mencapai nilai skor sempurna (100) maka RPH F masih perlu dilakukan rehabilitasi jika dilihat dari nilai skor yang belum mencapai maksimal pada beberapa variabel (lihat Tabel 5.2 dan Tabel 5.3). Selanjutnya, RPH yang masuk dalam kategori kurang layak adalah RPH C (skor 76,99) dan RPH L (skor 82,34). RPH tersebut direkomendasikan untuk direhabilitasi tahap sedang dilihat dari kelemahan fisik dan prosedur yang tidak ada atau belum dilakukan (Dilihat pada Tabel 5.2 dan Tabel 5.3). Untuk RPH L (nilai skor 82,34) apabila dilakukan sedikit pembenahan akan masuk dalam kategori RPH layak karena rentang nilai skor untuk kategori layak adalah 83-100. RPH berikutnya adalah RPH yang masuk dalam kategori tidak layak yaitu RPH A (nilai skor 63,93), RPH B (nilai skor 65,40), RPH D (skor nilai 59,21), RPH E (nilai skor 56,36), RPH G (nilai skor 62,38), RPH H (nilai skor 63,01), dan RPH I (nilai skor 50,76). RPH tersebut direkomendasikan untuk dilakukan rehabilitasi dilihat dari kondisi fisik yang masih banyak kekurangan dan prosedur pemotongan yang belum dilakukan (Dilihat pada Tabel 5.2 dan Tabel 5.3), sedangkan RPH yang masuk dalam kategori sangat tidak layak yaitu RPH J dan RPH K direkomendasikan untuk direlokasi karena kondisi fisik yang sudah tidak layak dipakai dan prosedur yang tidak dilakukan .

(9)

Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Berdasarkan kondisi fisik RPH Pemerintah di Jawa Barat yang termasuk kategori layak adalah RPH F dan RPH L, RPH yang masuk kategori kurang layak adalah RPH A, RPH C, dan RPH E, RPH yang masuk kategori tidak layak adalah RPH B, RPH D, RPH G, RPH H, RPH I, dan RPH J, dan RPH yang masuk kategori sangat tidak layak adalah RPH K dan RPH M.

2. Berdasarkan prosedur pemotongan ternak sapi diperoleh RPH yang masuk kategori layak yaitu RPH F dan RPH L, RPH yang masuk kategori kurang layak yaitu RPH B, RPH C, RPH D, dan RPH M, RPH yang masuk kategori tidak layak adalah RPH A, RPH G, RPH H, dan RPH I, dan RPH yang masuk kategori sangat tidak layak RPH E, RPH G, dan RPH K.

3. RPH yang masuk dalam kategori layak dan memiliki daya saing produk, yaitu RPH F yang mempunyai skor gabungan 83,62. Namun, RPH F masih perlu dilakukan rehabilitasi jika dilihat dari nilai skor yang belum mencapai maksimal pada beberapa variabel.

Rekomendasi

Berdasarkan total nilai skor kondisi fisik RPH dan prosedur pemotongan ternak sapi di RPH Pemerintah Jawa Barat dapat direkomendasikan :

1. RPH yang masuk kategori layak perlu dilakukan relatif sedikit rehabilitasi 2. RPH yang masuk kategori kurang layak perlu dilakukan relatif sedang

rehabilitasi.

3. RPH yang masuk kategori tidak layak perlu dilakukan relatif “banyak” rehabilitasi

4. RPH yang masuk kategori sangat tidak layak perlu dilakukan relokasi. 5. Seluruh RPH direkomendasikan untuk memiliki ruang pendingin, ruang

pembekuan, dan kendaraan box pengangkut daging yang bersuhu dingin. 6. Seluruh RPH direkomendasikan untuk memiliki timbangan elektrik untuk sapi

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Dinas Peternakan Jawa Barat (2009). Supply-Demand Sapi Potong Jawa Barat. Dinas Peternakan Jawa Barat.

Hadi, P.U., N. Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent, and D. Quirke. (2002). Improving

Indonesia’s Beef Industry. ACIAR, Canberra

Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 381/Kpts/OT.140/10/2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner atau biasa di sebut dengan Nomor Kontrol Veteriner (NKV),

Peraturan Menteri Pertanian Nomor13/Permentan/OT.140/1/2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Daging

Rusastra, I.W, Wahyuning K.S., Sri Wahyuni, Yana Supriyatna, (2006). Analisis Kelembagaan Kemitraan Rantai Pasok Komoditas Peternakan. Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Peertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.

SK Menteri Pertanian Nomor: 413/Kpts/TN.310/7/1992 Tentang Prosedure Pemotongan Ternak.

SK Menteri Pertanian Nomor: 431/Kpts/TN.310/7/1992 Tentang Pemeriksaan post mortem

SNI RPH No. 6159 Tahun.1999

Sullivan, G. M. and K. Diwyanto. 2007. A Value Chain Assessment of the Livestock Sector in Indonesia. United States Agency for International Development.

Tawaf, R (2004) Identifikasi Rumah Potong Hewan (MBC). Dinas Peternakan Perikanan Kabupaten Bandung – Fapet Unpad.

Tawaf, R. (2006) Detail Engenering Design Meat Business Center; Kerjasama Dinas Peternakan Perikanan Kab. Bandung dengan Fakultas Peternakan Unpad

Tawaf, R. Dadi Suryadi (2009) Response Of Feedlot Business To The Beef Market Mechanism Changed West Java Indonesia: Simposium Modern Animal Science Food Safety and Socio Economic Development, Romania.

Tawaf, R. (2009) Dampak Impor daging Sapi dari Australia Terhadap Bisnis Feedlot di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Sistem Produksi dan Pemanfaatan Sumberdaya Lokal; Fapet Unpad.

Tawaf, R, Rachmat Setiadi, Robi Agustiar (2010) Eksistensi Feedlot dalam Supply Demand daging Sapi di Jawa Barat ; Lembaga Studi Pembangunan Peternakan Indonesia.

Tawaf, R dan Rachmat Setiadi (2010) Kajian sejuta ekor sapi di Jawa Barat; Dinas Peternakan Propinsi Jawa Barat.

Tawaf, R. Rachmat Setiadi dan Andre Daud (2011) Kajian Pengembangan Sapi Potong di Jawa Barat; Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat Jawa Barat.

Tawaf R. dan Hasni Arief (2011) Strategi Pendekatan Ketersediaan Daging Sapi Nasional Di Indonesia; Prosiding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan III Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, 2 Nopember 2011.

(11)

Tawaf, R (2012) Kontribusi Usaha Penggemukan Sapi Potong Dalam Penyediaan Daging Sapi Di Jawa Barat; Seminar Pembangunan Jawa Barat diselenggarakan oleh Jaringan Peneliti Jawa Barat bekerjasama dengan LPPM Unpad, Jatinangor tangal 12-13 Juni 2012.

Tawaf, R (2012) Mewujudkan Pengelolaan RPH Indonesia yang Berprinsip Kesrawan, seminar diselenggarakan oleh PB ISPI-PDHI pada Pameran Indolivestock, Jakarta 5 Juli 2012.

Tawaf, R (2012) Dampak Penerapan Kesrawan Terhadap Peningkatan Produktivitas Sapi Potong, Traveling Seminar di Bandung, Jakarta, Lampung dan Medan, kerjasama PB ISPI – PB PDHI - Meat Livestock Australia. Februari – Maret 2012.

Gambar

Tabel 1. Kaidah Pengambilan Keputusan
Tabel 5. Nilai Skor Gabungan Persyaratan Teknis dan Prosedure Pemotongan sapi

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana evaluasi akan akibat dari perilaku perawat pada tahap orientasi terkait kepatuhan dalam melaksanakan standar prosedur operasional pemasangan infus pada anak di

Berdasarkan data yang diperoleh dapat diketahui bahwa hasil belajar operasi hitung bilangan bulat pada kondisi awal sebelum tindakan dari seluruh siswa kelas IV

Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar dengan konsentrasi 2,5%, 5%, 7,5%, 10% v/v dalam pelarut DMSO terhadap bakteri Bacillus cereus,

de organisatie en d e dienst der deurw aarders en verdere rechtsb ed ien den.. vinden wij voo rschrif- ten, het pro cesrecht

December 26, 2005, one year since the tsunami roared ashore, 4,708 sur- vivors in West Aceh, in- cluding Meulaboh, are still living in tents.. The tents, meant as emergency aid for

JRS together with Transparan and Puspa Indah, local NGOs, visited the GTZ office in Lhokseumawe and Banda Aceh to discuss the return of IDPs from Kuala Simpang Ulim.

NILAI PEKERJAAN LOKASI

Sipilis atau sifilis dapat muncul pada satu di antara empat fase yang berbeda; primer, sekunder, laten, dan tersier, dan bisa juga terjadi secara congenital.. Fase ini disebut