• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sahabat Senandika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sahabat Senandika"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Sahabat Senandika

Newsletter Bulanan tentang Dukungan untuk Odha

Yayasan Spiritia

No. 17, April 2004

Daftar Isi

Laporan Kegiatan 1

Workshop on HIV Treatment Access: Building Policy & Advocacy Capacity in

Southeast Asia 1

Kunjungan ke Maluku April 2004 2

Pengetahuan adalah Kekuatan 3

TB, Kesehatan Masyarakat dan

Kebutuhan akan ARV 3

Tips 5

Tips… 5

Konsultasi 6

Tanya – jawab 6

Positif Fund 6

Laporan Keuangan Positif Fund 6

Laporan Kegiatan

Workshop on HIV Treatment

Access: Building Policy &

Advocacy Capacity in

Southeast Asia

Bangkok, 17 – 19 Maret 2004

Oleh: D. Ginanjar. K – Koordinator Bandung

Plus Support

Workshop on HIV Treatment Access: Building Policy & Advocacy Capacity in Southeast Asia dilaksanakan oleh Australia Federation of AIDS Organization (AFAO) dengan melibatkan 40 orang termasuk pembicara dan fasilitator dari 5 negara termasuk 9 orang dari Indonesia.

Pada hari pertama sebelum workshop dimulai peserta diberikan semacam ‘pre-workshop’ oleh Kevin Frost wakil direktur di lembaga AIDS Amerika yang berada di New York. Isi pre-workshop tersebut pengenalan secara ilmiah tentang obat ARV. Sesi ini sangat menarik karena ternyata obat yang beredar di Indonesia masih banyak kelemahannya, maksudnya kombinasi yang ada itu sangat kurang sehingga kalau terjadi resistansi atau efek samping yang hebat berarti sudah tidak ada cadangan regimen. Selain itu juga pengenalan tentang PPP (Profilaksis Pasca Pajanan) yang dapat digunakan untuk para petugas medis yang merawat Odha jika tertusuk jarum suntik secara tidak sengaja.

Hari pertama workshop diawali dengan ucapan selamat datang dari Don Baxter Direktur AFAO. Materi yang dibahas di hari pertama mencakup peninjauan program. Lalu setiap negara mempresentasikan bagaimana akses obat di negara masing-masing; Pokdiksus AIDS RSCM/FKUI mewakili Indonesia untuk mempresentasikannya. Namun ada perselisihan antara Pokdiksus dengan komunitas lain di Indonesia yang menunjukkan bahwa hubungan belum memadai. Hal ini berbeda dengan negara lain dimana biasanya lsm dan lembaga

pemerintah itu kompak. Tetapi kalau dilihat dari cara mendapatkan obat, Indonesia kedua setelah Thailand. Ada hal yang menarik dari presentasi Thailand yaitu sudah ada 800 rumah sakit yang dapat menangani Odha dan alat untuk tes CD4 dan Viral Load, yang sudah ada di lebih 12 tempat. Lalu saya berfikir Indonesia ini negara yang lebih besar daripada Thailand tapi baru beberapa rumah sakit saja yang mau menerima Odha, dan akses obat pun sangat “monopoli” hanya ada di Jakarta. Setelah presentasi para peserta, dibagi kelompok untuk menbahas “apa atau siapa saja yang harus dilibatkan dalam pembuatan rencana nasional dalam akses obat ARV ini. Setelah itu para peserta dari tiap negara berbagi apa yang telah mereka bahas dalam kelompoknya masing-masing sehingga memperkaya pengalaman karena setiap negara mempunyai latar belakang dan rencana nasional yang berbeda.

(2)

kelompok berdasarkan negara dan pembahasan rencana tindakan berhubungan dengan masalah ini. Selain itu juga pada hari kedua ada presentasi dari pihak GPO (Government Pharmaeutical Organization) Thailand. Saya pribadi dapat belajar sesuatu yaitu mereka pun berproses untuk mendapatkan kemajuan seperti ini namun disamping itu perlu ada usaha untuk menekan pihak terkait. Setelah GPO lalu ada presentasi dari Alycia Draper dari perusahaan obat Merck (produsen Efavirenz). Presentasinya kurang menarik karena sudut pandangnya terlalu berbeda. Merck menganggap ini “bisnis”. Tetapi ada juga hal yang penting yang didapat yaitu bagaimana untuk mengadakan negoisasi dengan perusahan obat swasta agar obat ini mudah di akses. Hari ketiga diawali dengan penjelasan tentang advokasi yang dibawakan oleh Heng Sokrity dari Thailand. Beliau menjelaskan sejarah bagaimana komunitas HIV/AIDS yang ada di Thailand berhasil mengadvokasi pemerintah agar ketersediaan akses obat dan layanan medis buat Odha disediakan dan menjadi prioritas. Ternyata itu terwujud selama kurang lebih lima tahun. Setelah presentasi dari Heng Sokrity diteruskan dengan brainstorming oleh Don Baxter tentang “Mengembangkan dan Menerapkan Strategi Advokasi”. Ada beberapa hal yang penting ketika kita ingin membangun dan menerapkan strategi dalam advokasi, yaitu:

1. Tujuan dan Pesan

2. Mempersiapkan ‘kasus’-nya secara detail 3. Menganalisis proses pembuatan keputusan 4. Mengenal teman-teman yang akan diikutsertakan 5. Mengenal pihak yang benar-benar akan di advokasi 6. Menyiapkan teman-teman untuk pergerakan menuju

sasaran

7. Peran serta media massa sebagai salah satu strategi 8. Tindakan dan strategi demonstrasi

9. Melakukan lobi terhadap pihak yang akan diadvokasi Setelah itu peserta dibagi menjadi kelompok lagi per negara untuk brainstorming tentang masalah advokasi tersebut. Lalu siangnya ada studi kasus dari Departemen Kesehatan Masyarakat Thailand membicarakan tentang bagaimana pemerintah bekerja sama dengan organisasi masyarakat dalam akses pengobatan, intinya pemerintah Thailand dalam presentasi tersebut menyebutkan bahwa lsm, komunitas dan Odha selalu dilibatkan dalam menyusun strategi nasional dalam akses pengobatan. Setelah presentasi tersebut acara terakhir adalah rangkuman yang isinya semacam rencana tindakan yang akan dibuat setelah acara workshop tersebut berakhir.

Kunjungan ke Maluku April

2004

Oleh Babe

Sebuah tim Spiritia, yang terdiri dari Hertin, Marlina dari Manokwari, Deva dari Ambon dan saya, melakukan kunjungan ke Provinsi Maluku (Ambon dan Tual) dan Maluku Utara (Ternate) dari 13–25 April kemarin. Untung kami sudah

tinggalkan daerah itu sebelum kerusuhan terjadi lagi, tetapi kami sangat prihatin terhadap teman baru yang kami temui di Ambon, khususnya teman-teman dari LPPM yang mengkoordinasi kunjungan kami.

Jumlah kasus HIV yang dilaporkan di Maluku meningkat terus, walaupun sebagian besar diketahui melalui surveilans. Semua faktor risiko ada,

termasuk ledakan pada penggunaan narkoba suntikan, dan walaupun provinsi tersebut terdiri dari banyak pulau, mobilitas penduduk dan pendatang sangat tinggi. Jadi salah satu peranan kami adalah untuk merangsang tindakan di daerah itu.

Di Ambon, kami diberi kesempatan untuk bertemu dengan Bapak Gubernur Provinsi Maluku. Di antara yang lain, kami mendesak beliau untuk menyediakan dana agar beberapa Odha di Maluku dapat diberikan terapi antiretroviral (ART) secara gratis. Seperti kita mengetahui, Bapak Menteri Kesehatan sudah janji akan memberi subsidi Rp200.000 per bulan, dan kami minta agar pemerintah daerah Maluku menutupi sisa untuk lima atau sepuluh Odha. Bapak Gubernur berjanji untuk mempertimbangkan hal tersebut, dan minta Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi untuk membuat proposal dengan menggunakan dana dari subsidi BBM.

Dengan harapan itu kami menghadapi direktur rumah sakit umum dengan tujuan untuk mendesak agar mulai menyiapkan semua sarana yang

dibutuhkan untuk menatalaksanakan ART di Ambon. Sedikitnya kami bertemu dengan satu Odha di sana yang tampaknya membutuhkan terapi tersebut saat ini, dan jelas dia tidak bisa menunggu sehingga semuanya ‘beres’.

(3)

Pengetahuan

adalah Kekuatan

dampak buruk sama sekali.

Di Tual, jadwal kami dibuat oleh Dr. Flora, mantan manajer proyek ASA, dan selalu dikenalkan sebagai ‘istri Kapolres Tual’. Jadwal sangat padat, hampir tidak ada waktu untuk ambil napas! Kami bertemu dengan DPRD setengah jam setelah kita sampai ke Tual, dan kemudian bertemu dengan Bapak Bupati Maluku Tenggara, Kepala Dinkes, Direktur rumah sakit beserta staf, tiga kelompok agama, dua umat Protestan pada ibadah hari Minggu, sekelompok PNS dan sekelompok remaja Muslim dan pada pagi terakhir sebelum kami ke bandara, dengan semua anggota polisi Tual. Kami juga ikut dua talk-show radio—pertama di radio swasta, diikuti oleh RRI Tual. Walaupun kami tidak bisa bertemu dengan Odha—sarana VCT belum tersedia di Tual, kami mendesak semua pihak agar menyiapkan sarana untuk menerima Odha di sarana kesehatan dan dalam komunitas.

Waktu kami di Ternate agak singkat,tetapi kami ada kesempatan untuk bertemu dengan Kepala Dinkes Provinsi Maluku Utara dan Kota Ternate. Kami dengar bahwa ada kasus HIV yang diketahui baru-baru ini melalui surveilans, tetapi hal ini belum diumumkan; ada rencana untuk Bapak Walikota memberitakan ini dalam waktu yang dekat. Kami juga dengar bahwa unit transfusi darah (UTD-PMI) sudah menemukan satu kantong darah yang terinfeksi HIV, tetapi ini belum

dikonfirmasikan.

Kami bertemu dengan direktur rumah sakit umum dan juga dengan perawat dan dokter di satu rumah sakit swasta. Seperti di kota lain, kami mendesak agar mereka mulai bertindak agar siap menerima pasien dengan AIDS.

Di Ternate kami juga diminta ikut talk-show pada radio swasta. Walaupun partisipasi oleh masyarakat tidak begitu luas, tampaknya ada manfaat dari kegiatan ini.

Kadang kala sulit meyakinkan hasil dari kunjugan seperti ini, yang hampir tidak ketemu dengan Odha di tempat—walaupun jelas kami tidak bermaksud untuk ‘mencari-cari’ Odha. Namun kami

mengharapkan, bila ada yang didiagnosis HIV di daerah itu, atau muncul yang diketahui terinfeksi, sedikitnya ada beberapa teman yang dapat menghubungkannya dengan kami agar proses dukungan sebaya dapat dimulai.

TB, Kesehatan Masyarakat

dan Kebutuhan akan ARV

Oleh Julian Meldrum, 16 Juli 2003

Tuberkulosis (TB) tetap menjadi tantangan kesehatan masyarakat terbesar terkait HIV di seluruh dunia. Walaupun hal ini disadari secara luas, dan uji klinis menunjukkan bahwa intervensi dapat membantu, misalnya dengan pemberian profilaksis isoniazid (INH), hanya sedikit program berada untuk melakukan tindakan macam ini.

Pandangan ahli, seperti dikajikan pada Konferensi IAS di Paris oleh Dr. Kevin De Cock dari CDC AS di Kenya, mengubah sikapnya bahwa hanya obat antiretroviral (ARV) mempunyai harapan untuk membuat perbedaan dasar pada gambaran ini. Hal serupa juga disampaikan oleh Dr. Peter Mugyenyi dari Joint Clinical Research Centre di Kampala, Uganda, waktu dia meninjau kembali pengetahuan mutakhir tentang infeksi oportunistik (IO), yang menjadi epidemi semakin besar di seluruh Afrika akibat HIV. De Cock mendefinisikan “TB baru” sebagai epidemi yang didorong oleh HIV, dan membedakannya dari “TB lama” yang dilihat di rangkaian sumber daya terbatas dengan prevalensi HIV masih rendah, TB yang dilihat di negara industri (sebagian besar populasi warga berasal dari negara lain yang semakin tua), dan epidemi primer TB yang resistan terhadap beberapa obat (MDR) yang dilihat di bekas Uni Soviet.

TB baru didorong oleh peningkatan risiko kelanjutan TB pada setiap tahap penyakit HIV, presentasi lebih parah, sering kambuh, dan morbiditas bersama (TB yang dialami bersama dengan IO). Tanggapan global WHO yaitu DOTS, kata De Cock, gagal di daerah prevalensi tinggi HIV. Namun kegagalan ini dibatasi pada orang HIV-positif; program DOTS yang baik masih mampu menanggulangi TB pada orang HIV-negatif dalam populasi yang sama.

(4)

selama masa yang sama (setelah usia dan silikosis, keduanya faktor risiko untuk TB tidak menghiraukan status HIV, dihitung).

Di Abidjan, Pantai Gading, TB di antara orang HIV-negatif sebenarnya sudah menurun, tetapi risiko yang meningkat di antara orang HIV-positif berarti angka TB secara keseluruhan tidak menurun sama sekali. Hal semua ini menunjukkan bahwa masih ada kebutuhan akan program nasional penanggulangan TB untuk memantau keberhasilannya secara terpisah untuk orang HIV-positif dan HIV-negatif. Hanya angka untuk orang HIV-negatif dalam memberi informasi yang berguna tentang keberhasilan program DOTS TB.

Paradoksal, pada kasus Afrika Selatan, walaupun kejadian di antara pekerja tambang HIV-positif jauh lebih tinggi dibandingkan yang HIV-negatif, pada suatu waktu, lebih sedikit orang HIV-positif mempunyai TB smear-positif (yang berarti mereka dapat menularkan orang lain). Alasan untuk hal ini adalah karena orang HIV-positif lebih cepat meninggal atau diobati dibanding mereka yang negatif. Sebagian besar penularan pada orang HIV-positif terjadi dari orang yang HIV-negatif walaupun sebagian besar penyakit dialami oleh orang HIV-positif. Jadi, walaupun sangat buruk, ‘masalahnya dapat lebih buruk’ bila HIV juga meningkatkan daya menular TB selain hanya memperparah pada orang yang menderitanya.

Pengobatan yang efektif untuk kasus aktif masih penting, tetapi begitu juga terapi pencegahan. Terapi INH sangat jarang dipakai dan dengan hasil yang mengecewakan akibat kurangnya komitmen, penggunaan dan penyelesaian. Kemungkinan hal ini akan berubah, dengan adanya desakan untuk mencoba melakukan program ARV, adalah rendah.

Terapi antiretroviral (ART) berhasil mengurangi angka kematian akibat TB, tetapi dengan banyak persoalan akibat interaksi obat waktu HIV dan TB harus diobati bersama. Para peneliti di AS, Itali, Brasil dan Afrika Selatan semuanya menemukan penurunan yang bermakna pada risiko TB dengan pengobatan ARV, sebesar 80 persen kendati risiko ini tetap lebih tinggi dibandingkan pada populasi HIV-negatif.

Ada potensi untuk program TB dan ART yang kurang baik menjadikan beban TB lebih besar daripada lebih rendah pada jangka waktu panjang, dengan menahan hidup lebih lama orang dengan TB yang diobati secara tidak cocok, dan dengan memberikan lebih banyak kesempatan untuk penyebaran penyakit pada populasi orang yang terus meningkat yang mempunyai kerusakan tingkat sedang pada sistem kekebalan tubuh. Namun, pada jangka

waktu singkat, dia menyimpulkan bahwa kami tidak akan mengurangi dampak TB di Afrika tanpa penggunaan ART secara luas.

Sayangnya, layanan TB saat ini sering kurang staf dan kewalahan. Misalnya, pimpinan progam TB nasional Kenya mengatakan dari pandangan dia, tidak ada kemungkinan yang nyata layanan TB di Kenya dapat melaksanakan ART. Mengawasi infeksi silang juga menjadi masalah jelas, bila pasien TB dan orang dengan HIV dikumpulkan dengan tingkat yang lebih tinggi daripada saat ini. Tanggung jawab akan pengobatan harus didesentralisasi dan diperluaskan, dengan tujuannya diperbesar dari penanggulangan TB smear-positif (yaitu tujuan strategi DOTS) menjadi pengurangan penyakit dan kematian, serta memadukan dengan layanan HIV.

Walaupun begitu, banyak layanan pengobatan TB sudah menjadi layanan pengobatan AIDS ‘virtual’. Perluasan tes HIV adalah masalah yang sangat penting. Pada 2003, semua orang yang dites positif untuk TB harus dites untuk HIV dan sebaliknya. Intervensi tradisional untuk penanggulangan TB tidak berubah selama 50 tahun: intervensi ini sudah tidak cukup. Tes HIV secara luas, surveilans berdasarkan status HIV (hanya kecenderungan pada populasi HIV-negatif dapat menjelaskan apakah program efektif), perluasan DOTS, pencarian kasus secara aktif (hubungan rumah tangga, orang HIV-positif), dan terapi pencegahan pada orang HIV-positif semuanya dibenarkan dan dibutuhkan.

Seperti dicatat oleh Dr. Mugyenyi, tidak masuk akal untuk menciptakan layanan terpisah dan sejajar untuk mengobati HIV, dan akhirnya pengobatan HIV dan TB harus dipadukan menjadi sistem perawatan primer yang sesuai.

Pada akhir, menurut De Cock, “TB dengan HIV adalah AIDS”, dan hanya akan dikurangi waktu AIDS dikendalikan. Tetap ada banyak tantangan—tetapi “apa yang dibutuhkan pada awal adalah definisi jelas tentang misi dan tujuan kami.”

Penyakit pemulihan kekebalan adalah tantangan dengan ART

(5)

Tips

Tips…

Jika kita bertemu dengan dokter dan diberi resep obat oleh dokter, hal yang harus kita lakukan adalah bertanya tentang:

1. Obat apakah yang dokter resepkan ke kita? Minta penjelasan satu per satu karena biasanya dokter meresepkan obat lebih dari satu.

2. Adakah efek sampingnya? Jika ada, bagaimana kita tahu efek samping yang gawat agar segera kontak dengan dokter? apa yang harus kita lakukan?

3. bagaimana cara minumnya? Dengan perut kosong atau sesudah makan atau sebelum tidur?

4. Adakah efeknya jika kita lupa atau telat untuk minumnya?

5. Dosis: Apakah kita harus menghabiskan semua dosis yang diresepkan ke kita meski kita sudah sembuh? Kalau lupa dosis, apakah seharusnya menggadakan dosis berikut?

6. Adakah generiknya? Karena kualitas obat generik juga tidak kalah dengan obat paten.

Jika perlu catat dalam note kecil satu per satu bila kita tidak jelas atau lupa dan tanya no. telpon dokter yang bisa dihubungi sewaktu-waktu apabila dalam dengan memulai terapi dengan jumlah CD4 yang

rendah, dan populasi ini juga sering gagal tes kulit TB karena anergi.

Pola yang serupa dilihat di Brasil (Seroo), yang membenarkan dan menambahkan pada laporan dari Afrika bagian selatan. Di Brasil, pola umumnya adalah bahwa pasien dengan tes kulit TB yang negatif sebelum mulai ART kemudian mengalami gejala termasuk pembengkakan kelenjar getah bening yang parah, yang ternyata terkait dengan TB. Penatalaksanaan dengan prednisolone berhasil, biasanya dengan membutuhkan satu bulan untuk menjadi pulih.

Keamanan vaksin BCG pada anak HIV-positif

Sebuah penelitian Afrika Selatan tentang anak HIV-positif yang dirawat di rumah sakit melaporkan tentang infeksi dengan BCG dan penyakit diseminasi terkait dengannya. Dari 49 anak yang dites, lima menunjukkan bukti adanya infeksi BCG dan dua mempunyai penyakit, yang secara klinis tidak dapat dibedakan dengan TB. Kelima anak mempunyai kekebalan yang sangat rusak waktu lahir, tetapi tidak bergejala (Hesseling).

BCG adalah vaksin hidup yang dilemahkan berdasarkan M. bovis, yang menyebabkan TB pada lembu. Pada Juli 2000 ada perubahan pada jenis BCG yang dipakai di Afrika Selatan dari jenis Tokyo diganti dengan vaksin di bawah kulit jenis Denmark. Namun, tidak diketahui apakah ini dapat berdampak pada anak HIV-positif.

Pada lima kasus, hanya jenis Denmark BCG ditemukan: tiga kasus BCG sendiri, dua kombinasi BCG dan TB. Semua terinfeksi HIV pada waktu lahir. Hanya satu dari lima dapat memperoleh ART (dan masih hidup), tiga lain meninggal atau hilang pada pemantauan. Pada lima kasus ini, dilihat adenitis aksilary kanan—dengan kata lain kelenjar getah bening di ketiak menjadi bengkak. (Suntikan BCG di Afrika Selatan diberi pada lengan kanan.) Pada bayi yang diberikan ART, gejala muncul sebagai sindroma pemulihan kekebalan, dengan ulkus pada lengan kanannya.

Membedakan antara BCG dan TB mungkin sulit, dan BCG tidak menanggapi pada pengobatan baku TB secara baik. Walaupun diobati secara agresif, pasien tidak membaik. Jenis Denmark mungkin lebih reaktogenik dibandingkan jenis Tokyo.

Suatu batasan penelitian ini adalah tidak dilakukan biopsi dalam pada jaringan jadi tidak dapat dibenarkan penyakit diseminasi pada beberapa kasus.

Sementara ini memperkuat laporan lain sebelumnya, dari Brasil, bahwa penyakit BCG diseminasi dapat

ini tidak memberi dasar untuk mengubah kebijakan imunisasi universal untuk bayi baru lahir. Sebuah penelitian berdasarkan populasi sedang dilakukan di Afrika Selatan untuk menilai luasnya risiko, dan diusulkan bahwa semua vaksin hidup yang dilemahkan yang dipakai di negara dengan prevalensi HIV yang tinggi sebaiknya dinilai untuk risiko pada anak HIV-positif.

Referensi:

Hesseling AC et al. BCG-induced disease in HIV-infected children. Antiviral Therapy 8 (Suppl. 1):S189 [abstract 19], 2003.

Pujari S et al. Safety and immunological effectiveness of simplified fixed-dose combination of nevirapine-based HAART amongst Indian patients: extended follow-up data. Antiviral Therapy 8 (Suppl. 1):S210 [abstract 110], 2003.

Serro F et al. Paradoxical reaction in patients co-infected with HIV and tuberculosis. Antiviral Therapy 8 (Suppl. 1):S432 [abstract 881], 2003.

(6)

Sahabat Senandika

Diterbitkan sekali sebulan oleh

Yayasan Spiritia

dengan dukungan T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD T H E FORD FOU N D FOU N D FOU N D FOU N D

FOU N DAAAAAT I ONT I ONT I ONT I ONT I ON Kantor Redaksi:

Jl Radio IV/10 Kebayoran Baru Jakarta 12130

Telp: (021) 7279 7007 Fax: (021) 726-9521

E-mail: yayasan_spiritia@yahoo.com Editor:

Hertin Setyowati

Copyright 2002 Yayasan Spiritia. Izin dikeluarkan bukan untuk diperdagangkan, sehingga bila mengutip isinya Anda harus mencantumkan sumber (termasuk alamat dan nomor telepon). Semua informasi di dalam Sahabat Senandika sekadar

untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebelum melaksanakan suatu pengobatan sebaiknya Anda berkonsultasi

Konsultasi

Tanya – jawab

T: Saya sudah melakukan tes HIV dan hasilnya nonreaktif. Apakah artinya dan apa yang harus saya lakukan?

J: Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, akan lebih baik jika saya sedikit membahas mengenai tes yang digunakan dalam mendiagnosa penyakit HIV. Ada 2 cara dalam mendiagnosa HIV yaitu dengan memeriksa antigen (melihat apakah didapat bagian dari virus itu sendiri) dan yang kedua adalah dengan memeriksa antibodi. Antibodi yang terbentuk merupakan reaksi dari badan kita setiap kali kita mendapat serangan dari penyakit infeksi.

Hasil yang di dapat jika kita memeriksakan antibody adalah reaktif atau non reaktif.

Reaktif (dahulu disebut positif) artinya badan kita terserang penyakit infeksi (dalam hal ini yang dimaksud adalah infeksi HIV) dan badan kita membentuk antibody.

Non reaktif (dahulu disebut negative) artinya kita tidak terserang oleh infeksi HIV dan oleh karenanya badan kita tidak membentuk antibody.

Kita harus hati-hati dengan hasil yang non reaktif pada HIV karena ada suatu kondisi yang disebut dengan periode jendela, dimana pada periode tersebut virus sudah ada dalam tubuh tetapi tubuh kita belum memberikan reaksi, sehingga tidak dijumpai adanya antibody.

Disarankan 3 bulan setelah hasil non reaktif

dilakukan pemeriksaan ulang untuk memastikan bahwa hal ini tidak dalam masa periode jendela, dengan catatan kita berperilaku yang aman (memakai kondom untuk setiap hubungan sex, misalnya)

Positif Fund

Laporan Keuangan Positive Fund Yayasan Spiritia

Periode A pril 2004

Saldo aw al 1 A pril 2004 8,976,625

Penerimaan di bulan A pril 2004 300,000 _________+

Total penerimaan 9,276,625

Pengeluaran selama bulan April :

Item Jumlah Pengobatan 2,229,250 Transportasi 191,000

Komunikasi 0

Peralatan / Pemeliharaan 0

Modal Usaha 0

__________+ Total pengeluaran 2,420,250

Saldo akhir Positive Fund

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi Model Regresi Logistik untuk Menganalisis Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Terjangkitnya Malaria.. Program Studi Matematika, Jurusan Matematika, Fakultas

Langkah desain harus mampu menjawab pertanyaan apakah program pembelajaran yang didesain dapat digunakan untuk mengatasi masalah kesenjangan performa ( performance

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut penulis tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan Antara Riwayat Penyakit Anggota Keluarga Dan Kondisi Rumah

Hasil penelitian menunjukan bahwa kandungan minyak jelantah dengan dosis yang berbeda- beda memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan, efisiensi pemanfaatan pakan, dan

Terdapat sistem semiotik multimodal pada iklan Kuroneko seperti, Linguistik yang dapat dibuktikan dengan keterkaitan bahasa dalam penentu target dalam iklan kuroneko,

Jika kedua ruas suatu persamaan ditambah dengan bilangan yang sama, maka diperoleh persamaan lain yang ekuivalen dengan persamaan semula..

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak buah de lima terstandart 40% ellagic acid terhadap gambaran darah tikus putih yang mengalami

Pada lahan sulfat m asam dalam budi day a padi saw ah sudah dikenalkan penyiapan lahan yang inovatif, yakni (I) tanpa olah tanah (TO T) m eng- gunakan herbisida, (2) olah tanah m