SEJARAH GEREJA KRISTEN INJILI INDONESIA DI BENGKO,
REJANG LEBONG, BENGKULU (1983-2008)
“MENGGEMBALA DI TENGAH LEBATNYA RIMBA SUMATRA”
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Disusun oleh :
Yoel Febriantoro
081314005
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
SEJARAH GEREJA KRISTEN INJILI INDONESIA DI BENGKO,
REJANG LEBONG, BENGKULU (1983-2008)
“MENGGEMBALA DI TENGAH LEBATNYA RIMBA SUMATRA”
S K R I P S I
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Sejarah
Disusun oleh :
Yoel Febriantoro
081314005
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
Persembahan
Dengan
rasa
syukur
yang
mendalam,
rasa
hormat,
dan
terimakasih
yang
sebesar
‐
besarnya
Skripsi
ini
saya
persembahkan
kepada:
1.
Tuhan Yesus Kristus yang selalu menemaniku dengan tulus dan selalu
membimbingku biarpun aku sering meninggalkanNya.
2.
Gereja Kristen Injili Indonesia (G.K.I.I.), khususnya jemaat G.K.I.I. cabang
Bengko.
3.
Kedua orang tuaku, seseorang yang kukasihi, dan saudariku.
4.
Seluruh pendidik yang pernah memberiku ilmu di Universitas Sanata Dharma
dan teman-teman Pendidikan Sejarah’08.
Motto
“Kecerdasan otak tanpa disertai dengan keinginan untuk bekerja keras, sikap rajin,
disiplin, dan sikap rendah hati akan menjadi sia-sia disaat mengerjakan sesuatu”
“Pendidikan merupakan perlengkapan paling baik untuk di hari tua”. (Aristoteles)
“Ketergesaan dalam setiap usaha membawa kegagalan”. (Herodotus)
ABSTRAK
Sejarah Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko, Rejang Lebong, Bengkulu (1983-2008) : “Menggembala di Tengah Lebatnya Rimba
Sumatra”
Yoel Febriantoro Universitas Sanata Dharma
2013
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis tiga permasalahan pokok, yaitu: 1). Latar belakang berdirinya Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko, 2). Gereja Kristen Injili Indonesia cabang Bengko “hidup” sebagai kelompok minoritas dari tahun 1983-2008, 3). Dampak yang muncul dari berdirinya Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko dari tahun 1983-2008.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan multidimensional. Metode penulisan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.
ABSTRACT
THE HISTORY OF INDONESIAN CHRISTIAN EVANGELICAL CHURCH IN BENGKO, REJANG LEBONG, BENGKULU (1983-2008)
“BEING A SHEPHERD IN THE WILDERNESS OF SUMATRANESE JUNGLE”
Yoel Febriantoro Universitas Sanata Dharma
2013
This research aims to describe and analyze three research problems, namely : 1). The background of the establishment of Indonesian Christian Evangelical Church in Bengko, 2). The way how the Indonesian Christian Evangelical Church in Bengko lived as minority groups from 1983 to 2008, 3). The impact caused by the establishment of Indonesian Christian Evangelical Church in Bengko from 1983 to 2008.
The method used in this research is a historical research. While the approaches are multidimensional approaches. The descriptive analysis is used as a methodnof writing.
x
Kata Pengantar
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan berkat dan rahmat-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Sejarah Gereja Kristen Injili Indonesia Bengko (1983-2008): Menggembala
di Tengah Lebatnya Rimba Sumatra”.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak mungkin selesai tanpa
bantuan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih kepada :
1.
Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang telah memberi ijin
untuk melakukan penelitian.
2.
Ketua Program Studi Pendidikan sejarah yang telah memberikan saran dan
dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini.
3.
Drs. B. Musidi, M. Pd. Selaku pembimbing tunggal yang telah banyak
memberi masukan dalam menyelesaikan skripsi ini.
4.
Para Dosen Pendidikan Sejarah, yang telah memberikan bekal pengetahuan
dan bimbingan bagi penulis selama menyelesaikan tugas belajar di Universitas
Sanata Dharma.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...
HALAMAN PENGESAHAN...
HALAMAN PERSEMBAHAN...
HALAMAN MOTTO...
HALAMAN KEASLIAN KARYA...
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...
ABSTRAK...
ABSTRACT...
KATA PENGANTAR...
DAFTAR ISI...
DAFTAR TABEL...
DAFTAR GAMBAR... I ii iii iv v vi vii viii ix x xii xv xvi
BAB I PENDAHULUAN...
A. Latar Belakang...
B. Rumusan Masalah...
C. Tujuan Penulisan...
D. Manfaat Penulisan...
E. Tinjauan Pustaka...
F. Landasan Teori...
G. Metodologi Penelitian...
BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA GEREJA KRISTEN
INJILI INDONESIA di BENGKO...
A. Sekilas Mengenai Bengko...
1. Letak Geografis dan Kondisi Alam Bengko...
2. Suku-suku Asli Rejang Lebong di Bangko...
3. Keadaan Sosial Bengko dan sekitarnya...
4. Mata Pencaharian Masyarakat Bengko...
B. Alasan Didirikannya G.K.I.I. di Bengko (Perintisan Pelayanan di
Bengko)...
C. Hambatan-hambatan Dalam Usaha Pendirian Gereja di Bengko...
D. Tokoh-tokoh yang Berjasa Dalam Cabang Bengko...
BAB III GEREJA KRISTEN INJILI INDONESIA CABANG BENGKO
“HIDUP” SEBAGAI KELOMPOK MINORITAS DARI TAHUN
1983-2008...
A. Sejarah Singkat Gereja Kristen Injili Indonesia di Sumatra...
B. Pertumbuhan Gereja Kristen Injili Indonesia cabang Bengko
(1983-2008)...
C. Hubungan Antara Umat Gereja Kristen Injili Indonesia Cabang
Bengko dengan Masyarakat Bengko...
D. Hal-hal yang Menguatkan Iman Umat Gereja Kristen Injili
Indonesia di Bengko...
E. Gereja Kristen Injili Indonesia dalam Usahanya Menghadapi
Masalah Sosial di Bengko...
F. Posisi Umat Gereja Kristen Injili Indonesia Bengko di Tengah
Mayoritas Penduduk Muslim dari Tahun 1983-2008...
BAB IV DAMPAK DARI BERDIRINYA G.K.I.I. DI BENGKO...
A. Karya-karya Gereja Kristen Injili Indonesia Cabang Bengko Dalam
B. Kegiatan-kegiatan Gereja Kristen Injili Indonesia Cabang Bengko...
C. Alasan Jemaat Yang Dulu Non-Kristen Memilih Menjadi Bagian
Dari Gereja...
BAB V PENUTUP...
DAFTAR PUSTAKA...
LAMPIRAN... 80
83
87
90
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 : Para Penginjil di G.K.I.I. cabang Bengko dari tahun1983-2008...
Tabel 4.1 : Jadwal Ibadah di G.K.I.I. cabang Bengko... 66
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.I : Diagram tingkat pendidikan penduduk Kecamatan Sindang
Dataran tahun 2008... 74
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara heterogen. Di dalamnya terdapat berbagai macam
suku bangsa dengan keberagaman adat, tradisi, kepercayaan. Untuk itu Indonesia
menjamin kehidupan dan kegiatan beragama warga negaranya. Jadi, negara
harusdapat memberikan kebebasan kepada semua agama (kepercayaan) untuk
berkembang dan sekaligus melindunginya.1 Masalah agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa diakui negara melalui Undang-Undang Dasar
1945. Dalam bab IX pasal 29 dirumuskan 2 ayat yang berkaitan dengan hal ini,
yaitu: “1). Negara berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, dan 2). Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing-masing-masing dan kepercayaan
itu”.2
Kristen Protestan merupakan agama yang diakui oleh pemerintah Republik
Indonesia. Agama ini berkembang di Indonesia sejak kedatangan bangsa Belanda,
dan pada umumnya yang berkembang di Indonesia termasuk ke dalam Gereja
1
Hal ini sangat berbalik dengan kenyataan di lapangan.Dalam UUD pasal 29 ayat 2 jelas tertulis bahwa setiap warga negara berhak memeluk agamanya masing-masing dengan MERDEKA. Akan tetapi pada kenyataannya ‘kekuatan’ yang dimiliki pasal 29 ayat 2 kalah dengan kekuatan lain, kekuatan yang berbasis massa dengan sikap anarkis. Kita lihat saja betapa sulitnya umat Kristen mendirikan rumah ibadah (sulit di ijin pembangunan) dan juga masih ada ormas-ormas yang mengatasnamakan agama tertentu berusaha “membasmi” kepercayaan yang dianggap oleh mereka keluar dari jalur aman (meskipun kepercayaan yang dimaksud memiliki akar yang sama; contohnya baru-baru ini Ahmadiyah yang menjadi korban). Negara seaakan-akan tidak mampu melindungi kebebasan beragama warga negaranya. Negara kalah dengan ‘otot’ ormas-ormas yang memang memiliki nyali untuk bertindak di luar hukum yang berlaku.
2
Calvinis. Gereja Calvinis merupakan Gereja yang menganut Calvinisme.
Calvinisme adalah sebuah sistem teologis dan pendekatan kepada kehidupan
Kristen yang menekankan kedaulatan pemerintahan Allah atas segala sesuatu.
Calvinisme merupakan kumpulan-kumpulan ajaran dari Yohanes Calvin, seorang
pengungsi Perancis di Jenewa. Yohanes Calvin memiliki pengaruh besar dalam
perkembangan doktrin-doktrin Reformasi Protestan, doktrinnya tidak bersifat
Lutheran, melainkan lebih mengikuti Ulrich Zwingli (pendiri Gereja Reformasi
Swiss). Gereja Calvinis (Ajarannya juga mempengaruhi Gereja Hervormd)
merupakan Gereja Injili tahap kedua dari Reformasi Protestan setelah Gereja
Lutheran.3
Agama Kristen Protestan masuk ke Indonesia bersamaan dengan
imperialisme bangsa Belanda. Pada masa kolonialisme, kebijakan pemerintah
kolonial Hindia-Belanda pada masa itu kurang mengena pada misi penyebaran
agama, pemerintah lebih sibuk mengurusi eksploitasi sumber daya alam dan
sumber daya manusia daerah jajahan. Penyebaran agama Kristen Protestan di
Nusatara pada masa itu dilakukan oleh para Zendeling (orang yang mewartakan
Injil pada masyarakat pribumi).
Di masa VOC, kegiatan zending dibatasi untuk melindungi monopoli
perdagangan rempah-rempah di Nusantara.VOC pada saat itu berusaha mendekati
kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara. Agar rencana menjadikan kerajaan-kerajaan
Islam sebagai mitra dagang (dan dikemudian hari ditaklukkan), kegiatan zending
perlu dibatasi. Dengan pembatasan kegiatan zending terutama di wilayah kerajaan
3
Islam yang menjadi mitra VOC, maka segala bentuk kepentingan VOC (monopoli
perdagangan rempah) akan berjalan tanpa ada gangguan berarti. Keyakinan yang
tumbuh di kerajaan-kerajaan Nusantara pada masa itu sangat kuat, VOC
menghindari timbulnya gesekan dengan kerajaan Islam yang diakibatkan oleh
masalah keyakinan.
Setelah VOC berhasil mengusir Portugis dari Maluku (1605-1677), umat
Katolik yang ada dinyatakan Protestan.4Tujuan VOC menjadikan umat Katolik di
Maluku menjadi pemeluk agama Protestan, adalah untuk meminimalisir pengaruh
Portugis dan Spanyol di daerah tersebut. Pada dasarnya VOC dan Pemerintah
Kolonial Hindia-Belanda kurang memperhatikan masalah pewartaan Injil.
Kepentingan niaga (monopoli perdagangan) bagi VOC dan eksploitasi sumber
daya alam serta sumber daya manusia bagi Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda
yang menjadi prioritas utama eksistensi mereka di Nusantara.
Gereja Kristen Injili Indonesia (G.K.I.I.) merupakan lembaga Gereja yang
awalnya dirintis oleh Christian Missionary Alliance (CMA). Dalam
perkembangannya, G.K.I.I. lahir dan besar di Sumatera, khususnya di Sumatera
Selatan, Jambi, dan Bengkulu. Pada tahun 1936,Rev. Hubert Micthell beserta
istrinya memberitakan Injil kepada suku Anak Dalam (atau sering juga disebut
dengan suku Kubu). Beliau datang ke Sumatera dibawah pimpinan Missi Go Ye
Yelowship dari Los Angeles – Amerika Serikat. Mitchell bekerja dalam pewartaan
4
Injil di Sumatra di bawah naungan CMA. Pada perkembangannya CMA menjadi
induk dari gereja KINGMI atau Gereja Kemah Injili Indonesia.5
Mitchell pertama kali membaptis Suku Anak Dalam di Sungai Ketuan,
Dusun Karudung Papan. Ketua sukunya, Depati Muit, ikut pula dibaptis. Dalam
perkabaran Injil di Sumatera, Mitchell dibantu oleh hamba Tuhan yang berasal
dari luar negeri dan dari dalam negeri. Tenaga tambahan ini sangat membantu
pekerjaan Mitchell dalam perkabaran Injil di Sumatera.6
Pada tahun 1949, perkabaran Injil di Sumatera dialihkan atau setidaknya
dapat dikatakan diteruskanoleh Worldwide Evangelization Crusade (WEC) dari
Christian Missionary Alliance (CMA). Hal ini dilakukan agar perkabaran Injil di
Sumatera tidak “mati”, sebab setelah Jepang menginvasi Hindia Belanda sampai
Indonesia merdeka, CMA dan Kemah Injil sudah tidak berkarya di Sumatera lagi.7
Dari sinilah G.K.I.I. mulai dibentuk, yang semula dalam kerjanya diberi nama
Gereja Persekutuan Injil (Lembaga gereja hasil kerja dari WEC). Usaha Mitchell
dari CMA dilanjutkan hamba-hamba Tuhan dari WEC (F.L. Hill dan K.G.
Williams) begitulah kira-kira.
Pada tanggal 17 Juni 1967, diputuskan bahwa semua Gereja Persekutuan
Injil dilebur menjadi gereja nasional yang bernama Gereja Kristen Injili Indonesia
yang masing-masing gereja bersifat otonom. Hal ini dilakukan seiring situasi
politik saat itu, diperlukan satu badan yang kuat guna mempertahankan pekerjaan
5
Gereja Kristen Injili Indonesia, Website resmi Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Jakarta, Link 59. (21/04/2012)
6
David Susilo Pranoto,Sejarah Gereja Kristen Indonesia, (Bengkulu: Majelis Sinode, 2008), hal. 46.
7
Tuhan di Sumatera. Mulai dari sini G.K.I.I. melanjutkan karya perkabaran Injil
yang telah dimulai Mitchell, F.L Hill dan Williams.8
Penulis memilih rentang waktu antara tahun 1983-2008 dengan alasan
perintisan G.K.I.I. di Bengko dimulai pada tahun 1983 ditandai dengan
didirikannya Pos Perkabaran Injil. Pada tahun 1983, Evanjelis Charles (lulusan
Institut Injili Batu Malang) dikirim G.K.I.I. untuk melayani umat di desa Bengko,
Kec. Padang Ulak Tanding, Kab. Rejang Lebong, Bengkulu (Pelayanan Charles di
Bengko dibuka jalannya oleh Pdt. Ishak Wasimin). Jemaat mula-mula hanya
terdiri dari tiga keluarga, yaitu keluarga Sarto, Tambang dan Warno.9 Dari tahun
1984-1985 jemaat G.K.I.I. Bengko bertambah dengan datangnya pindahan
penduduk dari Lampung yang semula beragama Islam, namun mereka sudah
dibaptis di Lampung. Datang juga transmigran yang berasal dari Jawa Timur yang
memang sudah beragama Kristen Protestan, sebanyak 11 keluarga. Dengan
bertambahnya jemaat, didirikanlah gereja semi permanen pada tahun 1984 yang
sifatnya masih menginduk pada pos PI (Perkabaran Injil).
Sebagai kelompok minoritas di desa Bengko, jemaat harus dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar agar kegiatan-kegiatan yang
dijalankan G.K.I.I. dapat berlanjut. Adat-istiadat kurang berpengaruhpada
bangunan gereja maupun tata ibadatnya, kemungkinan disebabkan oleh karena
daerah ini ditempati banyak suku-suku yang berbeda (suku Rejang, suku Lebong,
suku Jawa, suku Serawai, masyarakat Bengkulu Selatan dan suku Batak). Dalam
8
Ibid.,hal. 51
9
tata ibadat, G.K.I.I. Bengko meniru tata ibadat gereja-gereja prostestan Barat
(Eropa).
Suku Rejang dan suku Lebong merupakan suku asli Bengkulu. Mayoritas
masyarakat dari dua suku ini menganut agama Islam dan hidup dengan kebiasaan
keras.10 Tradisi dari suku asli sangat bertolak belakang dengan suku Jawa. Apabila
suku Jawa lebih mengedepankan kelemah-lembutan, suku asli terkesan
memperlihatkan kehidupan yang dijalani memang harus keras.11Sementara itu
jemaat G.K.I.I. kebanyakan berlatar belakang Jawa, sebagian lagi Batak, mereka
harus dapat hidup sesuai dengan daerah yang mereka diami. Perbedaan latar
belakang budaya dan agama antara Jemaat G.K.I.I. dengan penduduk asli Bengko
menjadikan perlu adanya penyesuaian jemaat pada lingkungan. Tentunya
kelompok pendatang harus menyesuaikan diri pada lingkungan yang telah
terbentuk sebelum mereka tiba di Bengko, Kecamatan Sindang Dataran.
Perkembangan umat Bengko dipengaruhi juga oleh tingginya tingkat
kriminalitas di kecamatan Sindang Dataran. Tingginya tingkat kriminalitas di
Bengko kurang lebih mempengaruhi perkembangan umat, khususnya tugas para
penginjil G.K.I.I., sebab hal ini turut juga mempengaruhi semangat penginjil
untuk mengembangkan Gereja di Bengko dan sekitarnya. Kaum muda di daerah
10
Yang dimaksud dengan kebiasaan keras disini adalah cara hidup yang bila dibandingkan dengan kehidupan suku lain lebih ekstrim, penulis tidak menganggap ini hal yang buruk karena penulis sendiri berasumsi bila mereka tidak hidup dengan cara ini, keberadaan mereka akan tergusur oleh kaum pendatang.
11 Kemungkinan kebiasaan ini disebabkan oleh faktor alam, desa-desa yang di tempati oleh suku
ini lebih memilih bertindak kriminal, termasuk beberapa pemuda Kristen sehingga
iman mereka “macet” di tengah jalan.12 Tindakan kriminal ini dipandang biasa
saat masyarakat kurang mempedulikan pendidikan dan adanya sugesti yang dianut
pemuda bahwa dengan melakukan hal-hal kriminal mereka akan menjadi “kuat”
di antara teman sebayanya. Penyakit ini semakin parah dan sering kambuh
disebabkan juga dengan lemahnya kontrol aparatur negara (polisi). Akses masuk
ke daerah ini cukup menyulitkan (meski jalanannya sudah beraspal, jalan
berkelok, dengan kanan kiri jurang dan perkebunan kopi) ikut mendukung
terjadinya tindak kejahatan.Tingginya tingkat tindak kejahatan di daerah ini
membuat “orang luar” enggan berkunjung, sehingga menjadikan Bengko menjadi
kota kecamatan yang kurang berkembang.
Masalah sosial di atas membutuhkan peran lembaga-lembaga di luar
lembaga pemerintahan.13 Lembaga kemasyarakatan seperti Karang Taruna, Gereja
Remaja (di G.K.I.I. disebut dengan camp remaja), Pemuda Masjid, seharusnya
dapat bertindak disaat lembaga pemerintahan diam saja. Masalah ini akan menjadi
sangat serius bila tidak segera ditangani. Sebenarnya lembaga kemasyarakatan
dapat juga mengajak pemerintah untuk bersama-sama mengatasi masalah sosial
ini. Lembaga kemasyarakatan tentunya lebih dekat dengan warga terutama kaum
muda yang memiliki cap “sumber masalah”. Bengko dan daerah sekitarnya tidak
akan berkembang jika tidak “dibuka” dari dalam. Apabila kriminalitas di daerah
12
“macet” artinya saat pemuda Kristen terlibat dalam hal-hal yang berbau kriminalitas, kegiatan rohani mereka ikut mandeg. Penjelasannya iman Kristen tentunya tidak mengajarkan hal-hal yang berbau kriminal, kriminal sangat bertentangan dengan ajaran Kristen.
13
ini tetap tumbuh dan menjadi semacam kebudayaan maka daerah ini hanya akan
menjadi daerah orang bar-bar; daerah primitif dengan kebiasaan masyarakatnya
yang dapat mengancam atau merugikan orang lain.
Kesan buruk yang menempel pada Bengko dan sekitarnya tentu
menyebabkan beberapa masyarakat Bengko mengalami kesulitan. Jangankan
berbicara tentang hubungan ekonomi dengan daerah luar atau investasi di daerah
Bengko, hubungan silahturahmi dengan saudara di luar daerah juga menjadi sulit.
Penyebabnya hanya karena ulah sekelompok remaja yang masih dalam masa
pencaharian jati diri. Karena ulah mereka ini, Bengko dan daerah sekitarnya
menjadi zona berbahaya untuk dikunjungi.
Peneliti memilih judul “Sejarah Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko,
Rejang Lebong, Bengkulu (1983-2008) : “Menggembala di Tengah Lebatnya
Rimba Sumatra””, alasannya adalah selain untuk menceritakan sejarah G.K.I.I
Bengko juga untuk mengungkap realitas sosial yang ada di Bengko. Sebagai
lembaga kemasyarakatan, G.K.I.I. tentunya berada ditengah masyarakat dan
berinteraksi dengan masyarakat lainnya. Selain mengkaji sejarah G.K.I.I. Bengko,
melalui penelitian ini, peneliti juga mencari tahu apakah G.K.I.I. selama ini
berusaha untuk mengatasi masalah sosial di Bengko. Bengko bukan lagi hutan
rimba yang penuh dengan tanaman dan binatang berbahaya seperti dulu lagi, akan
tetapi Bengko saat ini masih memiliki kesamaaan dengan hutan rimba, sebab
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makadapat dirumuskan masalah-masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang melatarbelakangi Gereja Kristen Injili Indonesia didirikan di
Bengko?
2. Bagaimana Gereja Kristen Injili Indonesia cabang Bengko “hidup” sebagai
kelompok minoritas dari tahun 1983-2008?
3. Apa saja dampak yang muncul dari berdirinya Gereja Kristen Injili
Indonesia di Bengko dari tahun 1983-2008?
Pada persoalan pertama dibahas mengenai uraian singkat mengenaiBengko,
Kec. Sindang Dataran, Kab. Rejang Lebong. Selanjutnyadibicarakan mengenai
alasan pendirian Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko (perintisan mula-mula),
hambatan-hambatan yang dialami dalam pendirian Gereja Kristen Injili Indonesia
di Bengko, dan uraian mengenai tokoh-tokoh yang berjasa dalam pendirian Gereja
Kristen Injili Indonesia di Bengko.
Pada persoalan kedua, pembahasan meliputi sejarah singkat dirintisnya
Gereja Kristen Injili Indonesia di Sumatra, perkembangan Gereja Kristen Injili
Indonesia Bengko dari tahun 1983-2008, hubungan antara umat Gereja Kristen
Injili Indonesia cabang Bengko dengan masyarakat Bengko, hal-hal yang
menguatkan iman umat Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko, Gereja Kristen
Injili Indonesia Bengko dalam usahanya menghadapi masalah sosial di desa
Bengko dan posisi umat Gereja Kristen Injili Indonesia cabang Bengko di tengah
Sementara itu, pada persoalan ketiga pembahasan meliputi karya-karya
Gereja Kristen Injili Indonesia cabang Bengko dalam pewartaan Injil,
kegiatan-kegiatan di Gereja Kristen Injili Indonesia cabang Bengko dan alasan beberapa
jemaat Bengko yang dulu non-Kristen memilih menjadi bagian dari Gereja.
C.Tujuan Penulisan
Tujuan dari diadakannya penulisan Sejarah Gereja ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk memaparkan latar belakang Gereja Kristen Injili Indonesia didirikan
di Bengko.
2. Untuk meninjau hal-hal yang membuat Gereja Kristen Injili Indonesia
cabang sebagai kelompok minoritas bertahan dari tahun 1983-2008.
3. Untuk memaparkan dampak dari eksistensi Gereja Kristen Injili Indonesia
cabang Bengko dari tahun 1983-2008.
D.Manfaat Penulisan
Manfaat dari diadakannya penulisan Sejarah Gereja dengan judul “Sejarah
Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko, Rejang Lebong, Bengkulu (1983-2008)
: “Menggembala di Tengah Lebatnya Rimba Sumatra”” ini adalah sebagai
berikut:
1. Bagi Universitas Sanata Dharma
Penulisan sejarah Gereja ini diharapkan dapat menjadi referensi
pengetahuan sejarah Gereja (khususnya mengenai Gereja Kristen Injili
Indonesia) yang teruji dan dapat dipercaya oleh peminat sejarah di
2. Bagi Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Penelitian dan penulisan sejarah Gereja ini diharapkan dapat
menyumbangkan sesuatu dalam pengembangan ilmu pengetahuan, yakni
pengetahuan tentang agama Kristen Protestan serta masalah-masalah sosial
yang menyertai perkembangannya. Penulisan sejarah Gereja ini diharapkan
mampu menjadi referensi yang dipercaya dan dapat digunakan oleh
masyarakat luas yang ingin mengetahui sejarah Gereja Kristen Injili
Indonesia di Bengko.
3. Bagi Gereja Kristen Injili Indonesia
Penulisan sejarah Gereja ini dapat menjadi sarana untuk mengenal
G.K.I.I. lebih dalam, khususnya G.K.I.I. Bengko. Selain itu dengan
penulisan sejarah Gereja ini, jemaat G.K.I.I. pada umumnya dapat
mengetahui mengenai masalah sosial yang terjadi di Bengko dan sekitarnya.
4. Bagi Pengembangan Diri Penulis
Penelitian dan penulisan Sejarah Gereja ini diharapkan dapat menjadi
semacam “alat” bagi penulis yang dapat meningkatkan kemampuan penulis
menganalisa suatu permasalahan. Selain itu dengan ini penulis berusaha
mengenal lebih dalam daerah asalnya dan juga Gerejanya. Penulis juga
belajar menulis sejarah dengan baik dan benar melalui penelitian ini.
E.Tinjauan Pustaka
Ketika akan menulis sejarah, seorang sejarawan perlu memperoleh
sejarah dapat dibagi menjadi dua yakni sumber tertulis dan tidak tertulis, atau
dokumen atau artefak (artifact).14
Sumber tertulis dan lisan masih dibagi menjadi dua yaitu sumber primer dan
sumber sekunder. Sumber primer memiliki pengertian yaitu segala data yang
diperoleh atau yang disampaikan oleh saksi mata. Sumber primer dapat berbentuk
dokumen, artefak, atau informasi langsung dari orang-orang yang terlibat dalam
peristiwa yang dimaksud. Sedangkan sumber sekunder dapat diartikan sebagai
sumber yang disampaikan oleh orang yang tidak menjadi saksi mata. Biasanya
sumber ini sudah ada pada buku, penulis buku yang dimaksud tidak mengalami
secara langsung peristiwa sejarah. Mereka dapat menulis karena sudah melakukan
penelitian sebelumnya, dan sumber ini dapat dipercaya apabila kebenaran yang
diungkapkan bersifat obyektif.
Dalam penulisan Sejarah Gereja ini, peneliti menggunakan beberapa buku
sebagai acuan untuk menganalisis masalah-masalah yang akan dipecahkan, di
antaranya adalah:
Pengantar Teori-Teori Sosial —Dari Teori Fungsionalisme hingga
Post-modernisme.15Dalam buku ini dijelaskan teori-teori sosial dari berbagai ahli ilmu
sosial, seperti Emile Durkheim, Max Weber, dan Marx. Dalam beberapa bab, Pip
Jones mengulas mengenai hubungan-hubungan yang ada dalam masyarakat
termasuk hubungan antara agama dan masyarakat. Pip Jones menganalisisnya
berdasarkan teori-teori dari Durkheim. Selain itu teori-teori sosial di dalam buku
14
Kuntowijoyo; Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Banteng Budaya, 1995), hal. 94.
15
ini (seperti teori perubahansosial, teori tindakan sosial, teori labeling) dapat juga
digunakan sebagai dasar dalam menganalisa perilaku-perilaku sosial.
Gereja dan Masyarakat.16Buku ini menguraikan bagaimana seharusnya
Gereja (jemaat) memposisikan diri dalam masyarakat. Jemaat Gereja di Indonesia
(bahkan diseluruh dunia) menempati posisi sebagai warga negara. Sudah
seharusnya Gereja bersama dengan warga negara lain berusaha memecahkan
masalah yang erat kaitannya dengan masyarakat, baik itu masalah sosial maupun
masalah ekonomi. Moralitas dan iman juga menjadi pokok bahasan buku ini,
sebab menurut salah satu penulis buku ini perbuatan moral adalah perwujudan
iman.
Orang Kristen dalam Masyarakat.17Dalam buku ini dijabarkan mengenai
bagaimana seharusnya orang Kristen hidup dalam masyarakat. Donald Stuckless
dapat mengantarkan orang yang membaca buku ini untuk menjadi orang Kristen
yang mampu hidup, berkarya, dan tetap memiliki iman pada Kristus di berbagai
macam bentuk kehidupan bermasyarakat. Masyarakat memiliki banyak bentuk
dengan sistem yang berbeda, ada masyarakat Gereja, masyarakat pekerja,
masyarakat buruh, masyarakat sebuah negara, dan sebagainya. Dalam buku ini
Stuckless berusaha menggambarkan bagaimana caranya orang Kristen agar bisa
hidupdi dalam masyarakat yang berbeda itu. Menurutnya orang Kristen harus
mampu menyesuaikan diri dalam berbagai macam bentuk masyarakat, dengan
16
Buku ini diangkat dari bahan Kursus Teologi untuk cendikiawan pada Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan IKIP Sanata Dharma, dieditor oleh JB. Banawiratma, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1986.
17
begitu orang Kristen yang dimaksud akan tetap “hidup” di dalam masyarakat dan
mampu bersosialisasi dengan baik.
Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga/Peraturan, Doktrin, Ketentuan,
Ketenagaan dan Pembiayaan Hidup Hamba Tuhan di Lingkungan Sinode GKII.18
Buku ini berisikan mengenai peraturan, undang-undang, visi dan misi, dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan sistem-sistem yang berlaku di dalam tubuh Gereja
Kristen Injili Indonesia. Buku terbitan Dewan Sinode G.K.I.I ini sangat membantu
dalam penelitian dan penulisan, karena dengan buku ini penulis dapat lebih
memahami G.K.I.I. secara lebih dalam.
Sejarah Gereja Kristen Injili Indonesia.19Di dalamnya memuat tulisan
mengenai penyebaran agama Kristen di Sumatra (khususnya di daerah yang
didiami Suku Anak Dalam) oleh Hubert Mitchell dari missi Go Ye Fellowship,
Los Angeles – Amerika Serikat. Pekerjaan Mitchell ini dilanjutkan oleh Harold
Wiliams, nantinya di masa hasil pekerjaan Williams dan Mitchell di Sumatra ini
akan berkembang menjadi Gereja Kristen Injili Indonesia. Melalui buku ini
diperoleh gambaran mengenai sejarah perkembangan G.K.I.I. di Sumatra.
F. Landasan Teori
Sebelum membahas secara mendalam permasalahan dalam penelitian ini,
penulis membutuhkan beberapa langkah yang saling terkait guna menciptakan
suatu alur berpikir. Dalam penulisan sejarah, penyusunan dan penetapan suatu
18
Buku ini disusun oleh Dewan Sinode G.K.I.I., diterbitkan oleh Majelis Sinode G.K.I.I., Bengkulu, 2007.
19
landasan teori menjadi landasan utama.20 Teori atau alat-alat analisis lainnya dapat
memberikan makna yang jelas dalam penulisan sejarah.21 Oleh karenanya
landasan teori dibutuhkan dalam penulisan ini, gunanya untuk mengkaji data-data
yang didapat di lapangan.
Beberapa konsep yang akan digunakan dalam penulisan Sejarah Gereja ini
antara lain konsep mengenai Sejarah, Gereja, Gereja Kristen, serta teori-teori
sosial untuk menganalisis masalah-masalah yang muncul di sekitar Gereja Kristen
Injili Indonesia Bengko. Konsep-konsep ini digunakan sebagai landasan berpikir
dan untuk membatasi permasalahan yang akan diuraikan dalam penulisan Sejarah
Gereja ini.
Sejarah dalam bahasa Arab disebut juga dengan Syajaratun yang berarti
pohon, keturunan, asal-usul. Dalam bahasa Inggris kata sejarah sama dengan
history, dan didalam bahasa Latin dan Yunani disebut dengan historia. Asal
katanya dari bahasa Yunani yakni history atau istor yang berarti orang pandai.
Sejarah juga dapat berarti rekontruksi masa lalu.22 Sebagai perbandingan bisa
dilihat kata geschichte (bahasa Jerman) yang berarti sesuatu yang telah terjadi.23
Pada dasarnya sejarah membicarakan masa lalu yang dianggap penting (unik), dan
kejadian itu hanya berlangsung satu kali.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sejarah dapat diartikan sebagai
berikut:
20
Taufik Abdulah, dkk.,Ilmu Sejarah dan Historiografi; Arah dan Prespektif, (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1985).
21
Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,1992), hal. 2-3.
22
Kuntowijoyo, op. cit., hal. 17.
23
”a. Kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau.
b. Pengetahuan atau uraian tentang kejadian yang benar-benar terjadi pada
masa lampau.”24
Gereja merupakan kata yang berasal dari bahasa Portugis yaitu Igreja, yang
berasal dari kata Yunani Eklesia: (mereka yang dipanggil kaum, golongan)
Kyriake (yang dimiliki Tuhan). Oleh karenanya kata Gereja sama asal usulnya
dengan kata Kerk (Belanda) dan Kirche (Jerman)”.25 Gereja adalah umat Allah. Ia
adalah sakramen, yaitu keselamatan, tanda dan penghasil persatuan dan
persaudaraan, cinta kasih dan sarana kesatuan mesra umat manusia dengan Allah.
Allah memanggil mereka agar berhimpun dengan kepercayaan penuh kepada
Yesus Kristus pencipta keselamatan, dasar kesatuan dan perdamaian, dan mereka
yang dimaksud membentuk menjadi Gereja. Dengan begitu Gereja dapat diartikan
sebagai himpunan dari orang-orang yang percaya akan Yesus Kristus sebagai
pencipta keselamatan, dasar persatuan dan keselamatan. Th. van den End
mendefiniskan Gereja sebagai berikut:
Gereja merupakan persekutuan orang yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam ziarah mereka menuju kerajaan Bapa dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan ke semua orang. Semua dan setiap anggota dipanggil untuk memberi kesaksian tentang Yesus Kristus dan Injilnya sesuai dengan kemampuan kedudukan masing-masing.26
Gereja memiliki hubungan dengan kesatuan dunia, bahwa kesatuan iman
akan cinta kasih yang merupakan dasar kokoh kesatuan Gereja sendiri di dalam
24
W.J.S. Poerwadarminta,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1966), hal. 208-209.
25
Adolf Heuken,Ensiklopedia Populer Tentang Gereja, (Yogyakarta: Kanisius, 1976), hal. 60.
26
Roh Kudus.27gereja dengan huruf awal “g” dan bukan “G” dapat dimengerti
sebagai suatu gedung (rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama
(Kristen).28
Gereja Kristen Protestan merupakan hasil dari pembaruan keagamaan pada
akhir abad XVI di Jerman dan Perancis. Ada dua hal utama yang diperlihatkan
oleh gerakan ini, yaitu “1). Pengetahuan langsung dan tanpa pengantara tentang
sabda Allah, tanpa pengantara insani, 2). Penghiburan lantaran mendengar dan
mengetahui pengampunan yang berasal dari Allah.”29 Dapat dimaklumi jika
akhirnya Gereja Kristen Prostestan berarti himpunan orang yang percaya kepada
Yesus Kristus sebagai pencipta keselamatan, dasar persatuan dan keselamatan.
Yesus kristus di sinimerupakan Tuhan yang dapat menjadi tempat manusia (umat
Kristen khususnya) mengaku dosa, dan manusia percaya pengampunan akan
dosa-dosa yang dilakukannya hanya datang dari Yesus Kristus. Menurut jemaat Kristen
Protestan, pengakuan dosa pada imam tidak menjamin apapun, karena pengakuan
semacam ini menyebabkan keraguan pada keabsahannya.30 Pernyataan yang
menyatakan apabila seseorang yang mati mendadak dan di masa hidupnya ia
melakukan pengakuan dosa yang baik, maka ia diselamatkan oleh Allah, juga
ditolak Kristen Protestan. Pembenaran atau pernyataan semacam ini dianggap
27J.B. Banawiratma,
Gereja dan Masyarakat, (Yogyakarta: Kanisius, 1986), hal. 25.
28
W.J.S Poerwadarminta, op.cit., hal. 318.
29
Eddy Kristiyanto, Reformasi dari Dalam: Sejarah Gereja Zaman Modern. (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hal. 51.
30
sebagai hal yang dijamin oleh tindakan manusia (jaminan tidak datang dari Allah),
inilah yang ditolak Gereja Protestan.
Gereja Kristen Protestan di Indonesia adalah hasil dari pekerjaan badan atau
lembaga Zending yang berkarya pada masa kolonial Hindia-Belanda. Zending
Protestan tidak diusahakan oleh suatu negara, ataupun oleh suatu Gereja. Zending
diawali dan didukung terus oleh berbagai badan, yang dibentuk atas usaha orang
beriman, yang menyadari panggilan dan tugas mereka sebagai orang Kristen.
Salah satu ciri khas dari zending adalah adanya kaitan dengan lembaga-lembaga,
yang (semula) berlatar belakang ‘Gerakan Kebangkitan’ (revivalisme).31
Konsep Gereja Kristen yang ditanamkan di Indonesia meniru konsep yang
dipakai di negara asal Gereja atau lembaga zending. Setiap Gereja Kristen di
Indonesia berkiblat pada Gereja di Eropa. Gereja Kristen di Indonesia ada yang
menganut ajaran Calvin (kelompok reformed atau gereformed), ajaran Luther
(Lutheran), dan ajaran Wesley (Metodist) dan sebagainya. Biasanya Gereja-gereja
Kristen di Indonesia mengambil nama berdasarkan suku bangsa anggota Gereja,
tempat berdiri Gereja, atau dengan mengambil nama dari Gereja Induknya.
Sebagai contoh di Jawa ada Gereja Kristen Jawa (GKJ), dan di Sumatra ada Huria
Kristen Batak Protestan (HKBP) yaitu Gereja Kristen yang dimulai di Sumatra
Utara, dan masih banyak lainnya. Hal ini menggambarkan adanya Inkulturasi
dalam karya zendeling di Indonesia.
Inkulturasi dalam pengertian zending merupakan suatu proses di mana
Gereja masuk dan berkembang dalam lingkungan masyarakat yang beraneka
31
ragam.Inkulturasi juga merupakan proses di mana persekutuan Gereja menghidupi
iman dan pengalaman Kristennya dalam konteks budaya tertentu, sehingga
penghayatan ini tidak hanya dapat diungkapkan lewat elemen-elemen kebudayaan
setempat,melainkan menjadi satu kekuatan yang menjiwai, membentuk, dan
secara mendalam memperbaharui kebudayaan itu. Oleh karenanya terciptalah
pola-pola baru persekutuan dan komunikasi dalam kebudayaan dan di luar
kebudayaan itu.32
Gereja Kristen Injili Indonesia sangat dekat dengan istilah Evangelisasi,
makna dari evangelisasi berbeda-beda tergantung pada daerah misi.Evangelical
berasal dari kata Yunani kuno Euaggelion yang berarti “Kabar Baik”. Dalam
Alkitab bahasa Indonesia kata ini diterjemahkan menjadi “Injil”.33
Evangelisasiberasal dari kata Evangelium atau Warta Gembira Keselamatan,
kata ini memiliki artikekuatan Allah yang menjiwai amanat-Nya dan sabda Allah
yang mengungkapkankuasapenyelamat-Nya.“Beravengelisasi berarti
meluasratakan serta merasukkan Warta Gembira itu secara menyeluruh; demi
terlaksananya Rencana Ilahi atas dunia ini menyumbangkan seluruh eksistensi
Kristiani kita: perikehidupan sehari-hari, kegiatan perseorangan, keterlibatan
kolektif, kesaksian berupa dialog”.34Evangelisasi adalah proses dinamis, yang
32
Hubertus Muda,Inkulturasi, (Flores: Percetakan Offset Arnoldus, 1992), hal. 34.
33
Paulus Daun, Apakah Evangelicalisme Itu?, (Yogyakarta: Penerbit Andi Offset, 1986), hal. 1.
34
selaku kelangsungan proses perwahyuan ilahi didukung oleh umat Kristen, oleh
segenap umat Allah.35
Menurut Mgr. D. Sango, relator untuk Afrika, evangelisasi dibedakan
menjadi dua. Pertama evangelisasi yang ditujukan kepada masyarakat
bukan-Kristen dan karena itu dianggap tidak percaya, dan yang kedua evangelisasi yang
diarahkan kepada umat Kristen sendiri dan ini dilakukan oleh Pastor atau
Pendeta.36 Evangelisasi merupakan usaha orang Kristen sebagai umat Allah untuk
menyalurkan pengalaman imannya kepada masyarakat setempat, sementara itu
umat Kristen sendiri ikut serta menghayati segala aspek kehidupan masyarakat itu.
Gereja Kristen Protestan di Indonesia dapat dikatakan hasil dari misi yang
dilaksanakan oleh para zending dari Belanda pada masa kolonial. Misi ini masuk
ke dalam misi Gereja, yang disebut misiologi. Misiologi berasal dari bahasa Latin,
yaitu missio (suatu penyampaian pesan dengan tugas khusus untuk dilaksanakan)
dan logos (ilmu atau studi), jadi misiologi adalah ilmu misi. Misiologi pada
hakikatnya adalah sebuah studi atau refleksi tentang amanat atau mandat Allah
kepada Gereja yang meliputi dan mencakup seluruh dunia untuk siap dan bersedia
melayani dunia dan Allah. Jadi Gereja dengan bimbingan Roh Kudus harus
mampu mewartakan Injil dan hukum Allah secara total kepada seluruh umat
manusia.37
Hidup menggereja.Yohanes Rasul mengatakan bahwa hidup yang
sesungguhnya, dalam arti sempurna adalah Tuhan sendiri (dalam Tuhan ada hidup
35
R. Hardawiryana, Evangelisasi Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius, 1975), hal. 11-13.
36
Ibid., hal. 10.
37
yang menerangi manusia), maka segala bentuk hidup berasal dari-Nya. (Yoh
1:1-4). Jadi, Gereja di sini tidak dimengerti sebagai lembaga atau organisasi,
melainkan sebagai umat yang dipersatukan dalam kesatuan Bapa dan Putera dan
Roh Kudus, dengan tugas dan fungsi tertentu dalam karya penyelamatan Allah.
Dengan demikian hidup menggereja adalah selalu berkarya dalam kehidupan
sehari-hari yang berdasarkan aturan-aturan Gereja, yang berlandaskan
ajaran-ajaran Yesus Kristus.
Agama dan masyarakat pada dasarnya memiliki hubungan penting. Fungsi
agama dalam masyarakat adalah mengintegrasikan sistem sosial yang ada
(mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah bersama-sama dan menjadikannya
suatu kesatuan). Durkheim beranggapan bahwa agama harus selalu eksis, karena
seluruh sistem sosial membutuhkan integrasi. Bagi Durkheim dan pendukungnya,
yang menarik adalah bukan apa yang menjadi berbedamengenai karakteristik dari
keyakian dan ritual dari, contohnya, totemisme, Buddisme, Hinduisme, Judaisme,
Protestanisme, Islamisme, dan Katolikisme. Bagi mereka, yang menarik
adalahapa yang sama dalam hal kerjanya, yaitu mengenai fungsi-fungsi integratif
yang dijalankan semua agama bagi sistem sosialnya.38
Ajaran Sosial Gereja merupakan suatu fungsi atau hasil dari kuasa mengajar
Gereja. Meskipun merupakan ajaran iman, namun tidak membicarakan soal iman.
Ajaran ini dipakai Gereja untuk membicarakan realitas sosial secara konkret dan
kompleks.39 Gereja harus bertindak ketika muncul masalah sosial di dalam dan di
luar tubuh Gereja. Ajaran ini harus selalu berubah sebab yang dibicarakan, realitas
38
Pip Jones,Pengantar Teori-Teori Sosial — Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), hal. 57.
39
sosial, juga selalu berubah sesuai dengan keadaan masyarakatnya. Cinta kasih
merupakan hal utama yang perlu diterapkan dalam Ajaran Sosial Gereja. Cinta
kasih bersifat netral, pemecahan masalah sosial oleh Gereja mendapat tanggapan
positif dari masyarakat sekitar bila memakai hukum cinta kasih. G.K.I.I. Bengko
juga menganut ajaran cinta kasih ini, pada kenyataannya jemaat G.K.I.I. Bengko
sudah menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat hanya saja masyarakat
sekitar kurang menyadarinya.
G. Metodologi Penelitian
Setiap ilmu memiliki cara kerja atau metode sendiri untuk menggali serta
mencari kebenaran yang hakiki. Metode merupakan sebuah cara yang digunakan
untuk memecahkan permasalahan.Jawaban dari pemecahan masalah yang
diperoleh harus mendekati atau mencapai kebenaran obyektif. Suhartono W.
Pranoto dalam bukunya mendefinisikan metode sebagai cara atau prosedur untuk
mendapatkan objek, juga diartikan cara untuk berbuat atau mengerjakan sesuatu
dalam suatu sistem yang terencana dan teratur.40Dalam ilmu sejarah, metode
penelitian disebut dengan metode sejarah. Umumnya metode sejarah harus
melalui proses pengujian fakta serta penganalisaan secara kritis peristiwa masa
lalu.
Kuntowijoyo mengatakan bahwa dalam penelitian sejarah ada 5 tahap yang
harus dilalui, yaitu 1). Pemilihan topik, 2). Heuristik, 3). Verifikasi, 4).
40
Interpretasi, dan 5). Historiografi.41 Selanjutnya Nugroho Noto Susanto,
menyatakan dalam penelitian sejarah metode yang digunakan harus melalui 4
tahap, yaitu:
1) Heuristik yaitu proses pengumpulan data yang relevan untuk keperluan
subyek yang diteliti.
2) Kritik Sejarah, yaitu menyelidiki apakah data yang diperoleh benar atau tidak.
3) Interprestasi, yaitu menetapkan makna dan saling berhubungan dari
berbagai fakta yang diperoleh.
4) Penulisan sejarah (Historiografi) merupakan gambaran atau pengisahan
kembali suatu runtutan peristiwa, berdasarkan data yang diperoleh dan diuji kebenarannya.42
Secara lebih rinci, langkah-langkah yang digunakan penulis dalam
penelitian ini dijabarkan sebagai berikut:
1) Pemilihan Topik
Menurut Kuntowijoyo ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
pemilihan topik, yaitu 1) kedekatan emosional, 2) kedekatan intelektual, 3)
rencana penelitian. Dalam proses penelitian, peneliti dapat memakai acuan
pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan a) where, menunjuk pada daerah
mana yang menjadi obyek penelitian, b) when, menunjuk pada batasan waktu
yang dipilih, c) who, menunjuk pada siapa saja yang terlibat di dalamnya, d)
what, menunjuk pada apa yang dilakukan oleh pelaku, e) why, menunjuk pada
pertanyaan mengapa pelaku melakukan perbuatan itu, dan f) how, menunjuk pada
pertanyaan bagaimana terjadinya peristiwa itu43
41
Dudung Abdurahman, Metodologi Penelitian Sejarah, (Yogyakarta: Ar-Russ Media, 2007), hal. 90.
42
Nugroho Noto Susanto, Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah, (Jakarta: Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, 1964), hal. 22-23.
43
Penulisan Sejarah Gereja ini dilakukan oleh peneliti karena adanya
kedekatan emosional dan kedekatan intelektual peneliti dengan topik Sejarah
Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko, Rejang Lebong, Bengkulu
(1983-2008) : “Menggembala di Tengah Lebatnya Rimba Sumatra”.
a. Kedekatan Emosional
Ketertarikan penulis pada Sejarah Gereja Kristen Injili Indonesia di
Bengko beserta masalah-masalah sosial yang muncul di sekitarnya
dikarenakanpenulis pernah hidup di dalam G.K.I.I, terutama G.K.I.I cabang
Bengko (sebagai jemaat G.K.I.I).
Dari lahir sampai lulus SMP, penulis hidup di tengah-tengah
lingkungan Gereja. Orang tua penulis pernah menjadi penginjil di Gereja
Kristen Injili Indonesia. Kenangan akan Gereja Kristen Injili Indonesia
masih terikat kuat dalam benak penulis. Penulis juga cukup akrab dengan
situasi dan kondisi di sekitar Gereja. Banyak pengalaman negatif yang
penulis dapatkan di lingkungan ini.
Melalui penelitian ini penulis ingin mengungkapkan hal-hal yang
berpengaruh negatif pada kaum muda di Bengko dan kecamatan Sindang
Dataran. Dengan begitu besar harapan penulis daerah ini nantinya menjadi
daerah maju dalam hal positif dan Gereja mampu menjadi pelopor
perbaikan sosial-masyarakat desa Bengko dan Kecamatan Sindang Dataran.
b. Kedekatan Intelektual
Dengan mengambil topik ini, penulis menambah wawasannya akan
mengenai perkembangan agama Kristen Protestan dan Katolik telah penulis
baca, sehingga melahirkan semacam sikap tertentu dalam pengkajian sejarah
Gereja Kristen Injili Indonesia. Sejarah Gereja juga merupakan mata kuliah
yang pernah penulis dapatkan di Universitas Sanata Dharma. Dengan begitu
pengetahuan yang penulis dapat ini kurang lebih dapat digunakan untuk
mengulas sejarah Gereja Kristen Injili Indonesia cabang Bengko.
2) Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penulisan Sejarah Gereja ini haruslah benar
adanya, maksudnya tidak direkayasa. Oleh karenanya penulis mengumpulkan data
dengan melakukan:
a) Studi Pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data-data dari dokumen milik
Gereja Kristen Injili Indonesia yang berhubungan dengan penelitian. Selain
itu, penulis juga menggunakan buku yang relevan dengan topik yang
diajukan.
b) Wawancara, yaitu pengumpulan data secara lisan dengan cara melakukan
tanya jawab dengan orang-orang yang terkait dengan topik penelitian.
Dalam wawancara penulis menentukan terlebih dahulu target wawancara.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan oleh
peneliti.
3) Verifikasi (Kritik Sumber)
Setelah sumber-sumber yang diperlukan dikumpulkan, langkah berikutnya
adalah melakukan kritik atas sumber atau verifikasi. Tujuan dari kritik sumber
otentisitas dan juga kredibilitasnya. Hal tersebut sangat diperlukan karena tidak
setiap sumber terbebas dari unsur kekeliruan dalam hal pencatatan ataupun unsur
lain.
Kritik sumber terdiri dari dua macam, yaitu kritik ekstren yang berguna
untuk menguji keaslian sumber dan kritik intern yang digunakan untuk
mendapatkan keabsahan dari sebuah sumber.44 Kritik intern digunakan untuk
memperoleh nilai kebenaran dari suatu data agar data tersebut dapat dipercaya.
Kritik intern dilakukan dengan cara membandingkan berbagai sumber untuk
mendapatkan data yang jelas dan lengkap.Sedangkan pada kritik ekstern
pengujian dilakukan dengan meneliti data dalam dokumen yang akan digunakan,
melalui pemakaian bahasa, corak penulisannya, dan lain sebagainya.
Kesamaan informasi yang diberikan informan atau dokumen tertentu dapat
dipandang memiliki tingkat kebenaran obyektif. Pengujian sumber ini disebut
juga dengan metode perbandingan, yaitu dengan membandingkan satu informasi
dengan informasi lainnya. Apabila informasi yang didapat berbeda, dapat
dipecahkan dengan mengikuti informasi yang sama; maksudnya dengan
mengikuti informasi yang cenderung sama dari pemberi informasi yang berbeda.
4) Interpretasi (Penafsiran)
Interpretasi dapat diasumsikan sebagai penetapan makna dan saling
keterkaitan berbagai fakta yang diperoleh. Interpretasi merupakan suatu langkah
yang ditempuh oleh penulis dalam menafsirkan fakta-fakta yang telah diuji dan
untuk menganalisis sumber supaya dapat menghasilkan suatu fakta yang
44
kebenarannya dapat dipercaya. Dalam interpretasi terdapat dua kegiatan pokok
yang harus dilalui, yaitu analisis (menguraikan) dan sintesis (menyatukan) data
atau fakta-fakta yang telah dikumpulkan.45
Dalam tahap interpretasi ini, analisis sumber yang dilakukan juga untuk
mengurangi subyektifitas dalam penulisan sejarah. Penulisan sejarah tentunya
tidak dapat lepasdari unsur subyektifitas, seperti adanya pengaruh dari jiwa,
kebudayaan, pendidikan, lingkungan sosial, dan agama yang melingkupi
penulisnya.46 Pengaruh tersebut akan tampak pada tulisan sejarah yang dihasilkan.
Sebagai contoh apabila seseorang sejarawan yang tertarik pada sastra, maka
dengan mudah kita akan dapat menemukan hal-hal yang berbau sastra dalam
tulisan sejarahnya. Hal semacam ini terkadang tidak disadari oleh penulisnya, oleh
karenanya diperlukan analisis sumber agar data yang diperoleh dinyatakan secara
murni (senyatanya tanpa ditambah-tambah).
5) Pendekatan
Langkah yang terakhir dalam penulisan ini adalah penentuan pendekatan.
Pengertian pendekatan dalam penelitian sejarah adalah pola pikir atau cara
pandang dari penulis terhadap suatu kejadian atau peristiwa sejarah dari sudut
tertentu. Sartono Kartodirdjo menyatakan bahwa pendekatan diperlukan sebagai
cara pandang penulis atau sejarawan untuk memandang suatu peristiwa atau
kejadian. Pendekatan yang dimaksud akan membantu sejarawan dalam
menentukan berbagai ilmu sosial mana yang perlu digunakan dan
dimensi-
45
Nugroho Noto Susanto, op. cit., hal. 22-23.
46
dimensi mana yang tepat diungkapkan dalam penulisan.47 Pendekatan menjadi
suatu hal yang sangat penting bagi penulisan sejarah, karena hasil penulisan
sejarah yang baik sangat ditentukan oleh jenis pendekatan yang dipakai.
Pendekatan yang dipakai penulis adalah pendekatan sosial, pendekatan
budaya, dan pendekatan psikologi. Secara kronologis penulis akan menguraikan
hal-hal yang melatarbelakangi berdirinya Gereja Kristen Injili Indonesia di
Bengko dan perkembangan yang menyertainya. Melalui pendekatan sosial penulis
menganalisa hubungan sosial dalam Gereja baik keluar maupun ke dalam, serta
masalah-masalah sosial yang muncul disekitar Gereja. Sedangkan melalui
pendekatan budaya penulis berusaha mendapatkan gambaran yang tepat mengenai
kebudayaan suku-suku yang ada di Bengko, karena hal ini akan mempengaruhi
hasil penulisan. Melalui pendekatan psikologi, peneliti menggunakan ilmu
psikolog untuk memahami perilaku masyrakat di Bengko terutama perilaku kaum
mudanya.
F.Sistematika Penulisan
Skripsi yang berjudul Sejarah Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko,
Rejang Lebong, Bengkulu (1983-2008) : “Menggembala di Tengah Lebatnya
Rimba Sumatra” ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan, yang terdiri dari: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan pendekatan serta
sistematika penulisan.
47
Bab II menguaraikan latar belakangberdirinya G.K.I.I. di Bengko, yang
terdiri dari ulasan tentang desa Bengko, berdirinya Gereja Kristen
Injili Indonesia. Di sini dibahas mengenai alasan pendirian Gereja
Kristen Injili Indonesia di Bengko, hambatan-hambatan yang
dialami dalam pendirian Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko,
dan uraian mengenai tokoh-tokoh yang berjasa dalam pendirian
Gereja Kristen Injili Indonesia di Bengko.
BabIII Bab ini terdiri dari pembahasan posisi Gereja Kristen Injili
Indonesia sebagai minoritas di dalam masyarakat Bengko. Di
dalamnya diuraikan mengenai hubungan antara umat Gereja
Kristen Injili Indonesia cabang Bengko dengan masyarakat
Bengko, hal-hal yang menguatkan iman umat Gereja Kristen Injili
Indonesia di Bengko, Gereja Kristen Injili Indonesia cabang
Bengko dalam usahanya menghadapi masalah sosial di desa
Bengko dan posisi umat Gereja Kristen Injili Indonesia cabang
Bengko di tengah mayoritas penduduk muslim dari tahun
1983-2008.
Bab IV Bab ini membahas dampak dari berdirinya Gereja Kristen
Indonesia di Bengko. Pembahasan dimulai dari karya-karyaG.K.I.I.
cabang Bengko,kegiatan-kegiatan yang ada di G.K.I.I. cabang
Bengko, dan alasan-alasan jemaat yang semula berlatar belakang
Bab V Bab ini adalah penutup. Dalam babini disajikan kesimpulan dari
BAB II
LATAR BELAKANG BERDIRINYA GEREJA KRISTEN INJILI
INDONESIA DI BENGKO
Bengkulu memiliki sejarah panjang berkaitan dengan eksistensi
pemerintah kolonial Inggris dan Belanda di Indonesia. Inggris menyebut daerah
yang terletak di bagian barat daya Pulau Sumatra ini dengan nama Bencoolen,
sementara itu Belanda menyebutnya dengan Benkoelen atau Bengkulen. Eksistensi
Inggris di Bengkulu dimulai pada tahun 1685. Di Bencoolen, EIC (British East
India Company) mendirikan pusat perdagangan lada. Bencoolen/Coolen berasal
kata dari “Cut Land” yang berarti tanah patah. Daerah ini memang terletak di
wilayah patahan lempeng bumi, oleh karenanya di Bengkulu sering terjadi gempa.
Inggris di Bengkulu berhasil mendirikan dua benteng pertahanan, yaitu
Benteng York (1685) dan Benteng Marlborought (1713). Pembangunan dua
benteng ini berdasarkan traktat antara Inggris dan Kerajaan Selebar pada tanggal
22 Juli 1685. 1 Seiring berjalannya waktu, EIC mulai menyadari bahwa daerah
Bengkulu kurang cocok untuk dijadikan pusat penghasil lada dan Inggris mulai
mengincar Tumasik/Singapura sebagai pengganti Bengkulu.
Berdasarkan Perjanjian London (1824), Bengkulu diserahkan ke Belanda
dengan konpensasi Inggris mendapatkan Malaka dan penegasan atas kepemilikan
Tumasik dan Pulau Belitung. Dengan begini Inggris mulai membangun bandar
dagang (pusat perdagangan laut) di Tumasik/Singapura untuk mengambil-alih
1
keterpusatan perdagangan rempah yang saat itu masih terpusat di Batavia.
Perjanjian London ini juga yang menandai berakhirnya eksistensi Inggris di
Bengkulu dan Indonesia.
A.Sekilas Mengenai Bengko
Pada masa kolonial, daerah Sindang Dataran merupakan perkebunan kopi
yang diusahakan oleh Belanda; eksistensi Belanda di daerah ini tidak diragukan
lagi.2 Perkebunan kopi di Bengkulu (di daerah Kabupaten Rejang Lebong) mulai
digalakkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setelah ditemukan jenis
tanaman kopi baru, yaitu kopi robusta pada tahun 1925. Tanaman kopi dianggap
lebih menguntungkan dan cocok ditanam dibandingkan tanaman lada yang telah
lebih dulu gagal diusahakan oleh EIC (Inggris) di Bengkulu.
Ada dua kemungkinan alasan Belanda membuka perkebunan kopi di
Kecamatan Sindang Dataran dan daerah lain di Kabupaten Rejang Lebong.
Pertama, Bengkulu (terutama di daerah Rejang Lebong) memiliki daerah yang
bergunung-gunung sehingga memberikan perlindungan alami bagi tanaman kopi
dari kerusakan akibat tiupan angin yang kuat. Kedua, daerah di sekitar Bukit Kaba
sangat subur dan baru dibuka (sebelumnya pernah ditanami tanaman komoditi)
sehingga sangat baik bagi tanaman kopi.3
2
Belum ada tulisan sejarah mengenai eksistensi Pemerintah Kolonial Belanda di daerah Sindang Dataran, akan tetapi untuk membuktikan hal ini sampai sekarang kita masih bisa melihat artefak peninggalan Belanda. Contoh artefak yang dimaksud adalah penggilingan kopi, rumah Belanda (Loji), jalan beraspal, pemandian air hangat yang dibangun Belanda, dan pembangkit listrik tenaga air yang dibangun Belanda. Kesemuanya itu dapat ditemukan di desa Sindang Jati, Sindang Kelingi. Bengko dan Sindang Jati letaknya berdekatan, dapat dikatakan jika Sindang Jati merupakan desa tetangga Bengko. Sebelum terjadi pemekaran daerah yang ada di Kecamatan Sindang Dataran masuk ke dalam Kecamatan Sindang Kelingi.
3
Sampai saat ini penduduk setempat masih menjadikan kopi sebagai tanaman
komoditi utama. Ada beberapa kisah mengenai asal muasal nama Bengko.
Menurut cerita yang beredar, nama Bengko sendiri berasal dari Bank Company.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, Bengko merupakan pusat dari perkebunan
kopi (khususnya untuk daerah Rejang Lebong, Bengkulu) sehingga di daerah
yang sekarang dinamakan Bengko dulunya merupakan pusat ekonomi perkebunan
(oleh karenanya disebut dengan istilah bank). Kisah lainnya menjelaskan bahwa
nama Bengko bisa juga berasal dari kata Bank Coffe (Bank Kopi), sebab dilihat
dari banyaknya tanaman kopi di daerah ini. Artinya kisah kedua ini
menggambarkan bahwa Bengko merupakan bank-nya (pusat) kopi di masa
kolonial.
Perkebunan kopi di Bengko pada waktu itu dijalankan oleh perusahaan
perkebunan swasta. Apabila melihat kondisi geografis Bengko, peran perkebunan
swasta di Bengko menjadi mungkin. Undang-Undang Agraria 1870 menetapkan
bahwa tanah yang bisa disewa oleh perusahaan perkebunan adalah woeste
gronden dalam bahasa Indonesia berarti tanah “liar”.4 Tanah liar merupakan tanah
yang tidak digarap oleh penduduk bagi usaha taninya. Ketetapan dalam
Undang-Undang Agraria ini yang menjadi sumber analisis. Bengko terletak di kaki Bukit
Kaba dan terpencil; pada masa itu tentunya merupakan tanah liar, oleh karenanya
perusahaan perkebunan swasta dapat menjadikan Bengko dan daerah sekitarnya
sebagai perkebunan kopi.
4
Perkebunan kopi yang diusahakan perusahan perkebunan ini melahirkan
pemukiman-pemukiman baru. Perkebunan kopi milik Belanda ini tidak bisa hidup
tanpa adanya pekerja, sehingga perusahaan mendatangkan pekerja dari daerah
lain, seperti dari pulau Jawa, Sumatra Utara, dan daerah lain. Pada
perkembangannya Kecamatan Sindang Dataran pada umumnya dan Bengko pada
khususnya menjadi ramai oleh karena pembukaan pemukiman baru ini. Populasi
penduduk di daerah ini makin bertambah sejak Pemerintah Republik Indonesia
(pada masa Orde Baru) menggalakkan program transmigrasi.
Setelah Indonesia merdeka, perusahaan Belanda tidak lagi mengurus
perkebunan di daerah ini. Tanaman kopi yang tidak terpelihara setelah ditinggal
Belanda, diambil alih oleh rakyat setempat.
Menurut kisah tetua desa, pembagian lahan pada waktu itu berdasarkan
seberapa luas seseorang mampu nebas ladang atau membersihkan lahan dari
gulma. Semakin luas seseorang dan keluarganya nebas ladang, seluas itu pula
tanah yang menjadi haknya. Pada saat itu sertifikat tanah belum menyentuh
daerah pedalaman seperti Bengko. Untuk menjaga agar tidak terjadi
kesalahpahaman mengenai hak akan lahan, masyarakat menyetujui untuk
menjadikan beberapa jenis tanaman sebagai penanda batas dan mematenkan
kepemilikan tanah berdasarkan musyawarah bersama. Masyarakat yang berlatar
belakang Jawa lebih banyak memiliki kebun kopi dibandingkan penduduk asli,
hal ini disebabkan karena keuletan mereka dalam usaha nebas ladang.
Seperti yang biasa terjadi di daerah lainnya, kata Bank Company/Bank Coffe
sulit mengucapkan bahasa asing (biasanya Inggris) yang menyebabkan hal ini,
selain itu orang Indonesia tidak mau repot-repot menyebutkan kata-kata yang sulit
diucapkan dan dimengerti. Untuk memudahkan dalam penyebutan, nama Bengko
dipilih untuk menamai ibukota Kecamatan Sindang Dataran ini.
Untuk mengetahui lebih luas mengenai Bengko, penulis akan
menjabarkannya sebagi berikut:
1. Letak Geografis dan Kondisi Alam Bengko
Bengko merupakan sebuah kota kecil yang terletak di Kecamatan Sindang
Dataran, Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu. Kecamatan Sindang Dataran
berdiri tahun 2007 dan merupakan hasil pemekaran berdasarkan peraturan daerah
no. 5 tahun 2005. Sebelum terjadi pemekaran, daerah di Kecamatan Sindang
Dataran masuk ke dalam Kecamatan Sindang Kelingi yang beribukota di Beringin
Tiga.
Bengko merupakan ibukota dari Kecamatan Sindang Dataran. Bengko
merupakan daerah yang memiliki populasi penduduk terbanyak di Kecamatan
Sindang Dataran. Oleh karena keterbatasan data mengenai letak geografis Bengko
dan sekitarnya, penulis akan menggambarkan keadaan geografis Kabupaten
Rejang Lebong terlebih dahulu. Maksudnya diharapkan gambaran keadaan
geografis Rejang Lebong dapat mewakili secara umum keadaan geografis
Bengko.
Kabupaten Rejang Lebong merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi
Bengkulu. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 151.576 Ha dengan jumlah
Rejang Lebong adalah kota Curup. Secara topografi, Kabupaten Rejang Lebong
merupakan daerah yang berbukit-bukit. Hal ini menjadi wajar karena Rejang
Lebong terletak pada dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dengan ketinggian
antara 100 s/d 1000 m di atas permukaan laut, kemiringan tanahnya antara 2% s/d
40%. Letak Geografis pada posisi 102 derajat 19 menit – 102 derajat 57 menit
Bujur Timur dan 2 derajat 22 menit 07 detik – 3 derajat 31 menit Lintas Selatan.
Rejang Lebong secara umum memiliki curah hujan rata-rata 233,75 mm per
bulan, dengan jumlah hari hujan rata-rata 14,6 hari/bulan pada musim kemarau
dan 23,2 hari/bulan pada musim penghujan. Menurut perhitungan yang dilakukan
pada tahun 2003, jumlah curah hujan di Rejang Lebong sebesar 2.805 mm dengan
rata-rata curah hujan 233,8 mm. Jumlah curah hujan di Rejang Lebong pada tahun
2002 sebesar 2.557 mm dengan rata-rata curah hujan per bulan sebesar 213,1 mm
dan rata-rata hari hujan sebanyak 22 hari/bulan. Sedangkan pada Tahun 2009
jumlah curah hujan yang tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 418
mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 27 hari sedangkan jumlah curah hujan
terendah terjadi bulan Juni sebesar 32 mm dengan jumlah hari hujan sebanyak 6
hari.5
Sementara itu suhu normal rata-rata di Rejang Lebong berkisar antara
17,730C – 30,940C dengan kelembaban nisbi rata-rata 85,5 %. Suhu udara
maksimum pada tahun 2003 terjadi pada bulan Juni dan Oktober yaitu 32 derajad
Celcius dan suhu udara minimum terjadi pada bulan Juli yaitu 16,2 derajad
5
Wahyuni Amelia Wulandari, dkk., Laporan Akhir Tahun Pendampingan Program PSDSK di
Celcius. Secara umum kondisi fisik tanah di Kabupaten Rejang Lebong dapat
digambarkan sebagai berikut :
a. Tanah di Rejang Lebong memiliki kelerengan datar sampai bergelombang,
b. Jenis tanah di Rejang Lebong yaitu : Andosol, Regosol, Podsolik, Latasol
dan Alluvial,
c. Tekstur tanahnya : sedang, lempung dan sedikit berpasir dengan pH tanah
4,5 –7,5,
d. Kedalaman efektif tanah (untuk bercocok tanam) : sebagian besar terdiri
atas kedalaman 60 cm hingga lebih dari 90 cm, sebagian terdapat erosi
ringan dengan tingkat pengikisan 0 – 10 %.6
Setelah melihat gambaran keadaan geografis Kabupaten Rejang Lebong
secara umum di atas, dapat disimpulkan bahwa Kecamatan Sindang Dataran
(Bengko) juga memiliki topografi yang berbukit-bukit dengan curah hujan cukup
tinggi. Kecamatan Sindang Dataran memiliki wilayah seluas 6.218 Ha, dengan
batas wilayah yaitu : sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sindang Kelingi
(Kabupaten Rejang Lebong), sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan
Muara Kemumu (Kabupaten Kepahiang), sebelah Barat berbatasan dengan
Kecamatan Kabawetan (Kabupaten Kepahiang), dan di sebelah timur berbatasan
dengan Kecamatan Binduriang (Kabupaten Rejang Lebong).
Kecamatan Sindang Dataran terdiri dari enam kelurahan, yaitu: Kelurahan
Air Rusa, Kelurahan Bengko, Keluarga IV (empat) Suku Menanti, Kelurahan
Sinar Gunung, Kelurahan Talang Belitar, dan Kelurahan Warung Pojok.
6
Kecamatan Sindang Dataran memiliki dua titik akses masuk. Akses masuk
yang pertama merupakan jalan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda dan sampai sekarang masih dipergunakan walaupun keadaannya tidak
bisa dibilang baik (kurang perawatan). Kualitas jalan yang dibangun Belanda
cukup baik dibanding jalan beraspal yang dibangun oleh pemerintah Indonesia.7
Akses masuk kedua menuju Sindang Dataran dapat ditempuh dari Kecamatan
Kabawetan, Kabupaten Kepahiang, Bengkulu.
2. Suku-suku Asli Rejang Lebong di Bengko.
Masyarakat Bengko terdiri dari berbagai suku. Bila dilihat dalam skala yang
lebih luas, Kabupaten Rejang Lebong didominasi oleh suku asli yaitu suku Rejang
(43%), disusul suku Jawa yang merupakan pendatang (35,2%), dan sebagian
penduduk Rejang Lebong lainnya adalah suku Lembak, Kaur, Musi, Pasemah,
Kerinci, Sunda, Minang, Palembang, India, Tionghoa, Pagar Alam dan Batak.8
Selain suku Rejang, suku Lembak adalah suku asli Rejang Lebong.
Di daerah Kecamatan Sindang Dataran, mayoritas penduduknya berasal dari
Jawa Timur (Malang), posisi keduanya ditempati oleh suku asli yaitu suku
Lembak, suku Jawa menyusul kemudian suku Rejang. Selain suku Jawa, Lembak,
dan Rejang masih ada suku lain yang bertempat tinggal di Bengko, yaitu suku
Batak (Medan), Padang, dan masyarakat yang berasal dari Bengkulu Selatan
(biasa dipanggil dengan wang Selatan).
7
Jalan beraspal yang dimaksud adalah jalan yang menghubungkan Kecamatan Sindang Dataran dengan jalan raya Curup-Lubuk Linggau. Jalan ini dibangun dari desa Beringin Tiga sampai Sindang Jati, Kecamatan Sindang Kelingi. Masyarakat sekitar mengakui kalau jalan ini lebih baik dari jalan yang dikembangkan kontraktor nasional akhir-akhir ini.
8
Mengingat Bengko terletak di Kabupaten Rejang Lebong, penulis
berkesimpulan bahwa perlu juga dijabarkan mengenai suku asli daerah ini.
G.K.I.I. dalam karyanya berusaha dengan sangat untuk dapat “memeluk