• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. rangkaian ketentuan hukum yang mengatur lajunya perekonomian. Faillissements

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. rangkaian ketentuan hukum yang mengatur lajunya perekonomian. Faillissements"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kegiatan ekonomi sangat erat kaitannya dengan peraturan hukum. Dalam lalu lintas ekonomi yang semakin maju, meluas dan rumit maka dibutuhkan suatu rangkaian ketentuan hukum yang mengatur lajunya perekonomian. Faillissements Verordening (Staatsblad tahun 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad Tahun 1906

Nomor 348 adalah suatu peraturan hukum ekonomi yang mengalami perubahan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998.

Perpu Nomor 1 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang kepailitan dikeluarkan pada tanggal 22 April 1998 dan berlaku efektif tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya Perpu No. 1 tahun 1998 tersebut dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 tersebut dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang direncanakan akan direvisi kembali setahun kemudian sejak disahkan oleh DPR.1

Perpu kepailitan tersebut kemudian telah diterima oleh DPR menjadi undang- undang berdasarkan undang-undang Nomor 4 tahun 1998 yang mulai berlaku sejak tanggal 9 September 1998. Konsideran Perpu Nomor 1 Tahun 1998 menyebutkan antara lain “bahwa untuk mengatasi gejala moneter beserta akibatnya yang berat terhadap perekonomian saat ini, salah satu persoalan yang mendesak dan memerlukan

1 Amanademen UU No. 4 Tahun 1998 ini kemudian dilakukan pada 18 Oktober 2004 dengan dikeluarkan UU No. 37 Tahun 2004.

(2)

pemecahan adalah penyelesaian utang piutang perusahaan”. Dengan demikian sebaiknya ada peraturan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran yang dapat digunakan oleh para kreditor dan debitor secara adil, cepat, terbuka dan efektif.

Selanjutnya Perpu No.1 tahun 1998 pada tanggal 22 April 1998 dikuatkan oleh DPR menjadi UU No. 4 Tahun 1998 yang kemudian disempurnakan menjadi UU No. 37 Tahun 2004.2

Salah satu dampak krisis moneter di negara kita adalah kesulitan yang dialami dunia usaha untuk memenuhi kewajiban pembayaan utang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Dunia usaha mengalami kesulitan untuk mengembangkan usaha bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya. “krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia dipertengahan tahun 1997 telah memporak porandakan sendi-sendi perekonomian”.3

Faillissements Verordening tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan bagi

penyelesaian masalah kepailitan termasuk penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Oleh karena itu peranan pemerintah sangat dibutuhkan untuk menangani persoalan kepailitan dan undang-undang kepailitan merupakan bagian dari hukum ekonomi yang menyangkut kepentingan individu di satu pihak dan kepentingan masyarakat publik dilain pihak.

Dalam praktik hukum bahwa pada dasarnya hanya subjek hukum yang berhak menjadi penyandang hak dan kewajiban, termasuk menjadi pemilik dari suatu benda

2 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 4

3 Gunawan widjaja, Seri hukum Bisnis Kepailitan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999 ), hal.1

(3)

atau harta kekayaan tertentu. Subjek hukum tersebut adalah individu orang perorangan yang dinilai mampu untuk memiliki dan memiliki kecakapan untuk bertindak dalam hukum dan mempertahankan haknya didalam hukum, dan badan hukum yang merupakan artificial person, yaitu sesuatu yang diciptakan oleh hukum guna memenuhi kebutuhan perkembangan kehidupan masyarakat.

Dalam Pasal 519 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diketahui bahwa selain negara yang dapat menjadi pemilik4 sebagai suatu subjek hukum adalah orang perorangan biasa, baik dalam perseorangan atau lebih 5, atau badan kesatuan sebagai suatu badan hukum6.

Kepemilikan badan hukum atas harta kekayaan tertentu bersumber dari harta yang dipisahkan oleh orang perorangan secara khusus, yang diperuntukan bagi penggunaan yang sesuai dengan maksud dan tujuan badan hukum tersebut. Maksud dari pemisahan harta kekayaan dalam perseroan adalah untuk keperluan perseroan terbatas berbeda dengan maksud dan tujuan pemisahan harta kekayaan pada pendirian yayasan, dan juga pemisahan harta kekayaan untuk keperluan dana pensiun.

Dalam kedudukan sebagai badan hukum, Perseroan Terbatas mempunyai sifat yang mandiri, yang artinya perseroan terbatas dalam hukum dipandang sebgai Badan Usaha yang berdiri sendiri terlepas dari orang perorangan yang berada dalam perseroan tersebut. Disatu pihak PT merupakan perkumpulan atau himpunan orang- orang yang mengadakan kerja sama, tetapi dilain pihak segala perbuatan yang

4 Pasal 520 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

5 Pasal 527 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

6 Pasal 526 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

(4)

dilakukan dalam rangka kerjasama tersebut oleh hukum dipandang sebagi perbuatan badan itu sendiri.

Dengan demikian sebagai konsekuensi maka ketentuan yang diperoleh dipandang sebagai hak dan harta kekayaan badan itu sendiri. Sebaliknya jika terjadi utang yang mengakibatkan goyahnya kedudukan perseroan tersebut adalah menjadi tanggung jawab perseroan tersebut. Bentuk tanggung jawabnya adalah PT harus menanggulangi seluruh kerugian dan utangnya dengan menggunakan seluruh harta kekayaan yang dimiliki.

Dalam hal perseroan terbatas sebagai badan hukum dibubarkan, maka perseroan yang memberlakukan pemisahan harta kekayaan tersebut tidaklah menerima kembali harta kekayaan perseroan terbatas yang dibubarkan tersebut sebagaimana pertama kali pemisahan dilakukan.

Tujuan dilakukan pemisahan harta kekayaan oleh seseorang yang melakukan pemisahan harta kekayaan adalah agar harta kekayaan yang dipisahkan tersebut berada diluar harta kekayaan orang perorangan tersebut dengan demikian harta kekayaan tersebut tidak lagi dijadikan sebagai jaminan pemenuhan kewajiban orang tersebut, bahkan dalam hal kepailitan harta kekayaan yang dipisahkan tersebut berada diluar harta pailit.

Saham-saham dalam perseroan terbatas sudah menjadi dan merupakan benda tersediri yang diakui dalam hukum dan karena itu maka saham-saham dalam perseroan terbatas dapat dijadikan sebagai jaminan pemenuhan kewajiaban dari orang

(5)

perorangan pemilik saham kepada kreditornya, dan bukan harta kekayaan yang telah dipisahkan kedalam perseroan terbatas.

Sifat pertanggungjawaban terbatas dari badan hukum, termasuk perseroan terbatas tidak dapat dipergunakan untuk merugikan kepentingan pihak ketiga yang beretikad baik. Hukum selalu melindungi pihak yang tidak bersalah dari tindakan para pihak yang dapat merugikan kepentingan pihak lain.

Hukum harta kekayaan menjamin bahwa setiap piutang pasti ada jaminannya, dan untuk itu pulalah mekanisme Actio Pauliana diberlakukan agar harta kekayaan debitor tetap cukup untuk membayar kewajibannya. Bagi suatu perseroan yang berbadan hukum, maka harta kekayaan perseroan harus dapat dilindungi dari tindakan orang perorangan ini, termasuk kreditor perseroan dalam kepailitan. Untuk itulah kemudian berkembang teori yang dikenal dengan nama piercing the corporate veil, yang berupaya menembus pertanggungjawaban terbatas perseroan terbatas.

B. Perumusan Masalah

1. Apakah syarat-syarat suatu Perseroan Terbatas bertindak sebagai penanggung utang?

2. Bagaimana Tanggung jawab Direksi yang bertindak sebagai penanggung utang dalam Perseroan jika perseroan dinyatakan pailit yang telah berbadan hukum?

3. Bagaimanakah status harta pailit setalah putusan pernyataan Pailit Perseroan Terbatas pada Peradilan?

(6)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui syarat-syarat suatu Perseroan Terbatas yang bertindak sebagai penanggung utang.

2. Untuk mengetahui Tanggung jawab Direksi dalam Perseroan yang bertindak sebagai penanggung hutang jika perseroan dinyatakan pailit yang telah berbadan hukum.

3. Untuk mengetahui status harta pailit setelah putusan pernyataan Pailit Perseroan Terbatas pada Peradilan.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan khususnya dibidang tanggung jawab perseroan terbatas dalam upaya melahirkan konsep hukum perbankan serta ilmu hukum yang bermanfaat bagi pembangunan nasional.

(7)

Secara Praktis

Diharapkan penelitian ini kelak dipergunakan manfaat untuk dapat diterapkan oleh debitur serta masyarakat pada umumnya, agar mengetahui atau menyadari akibat dari resiko sebagai penanggung utang jika perseoroan dinyatakan pailit.

E. Keaslian Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan, karena berdasarkan informasi yang telah disediakan oleh Penyelengara Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara dan penulusuran di Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, telah pernah dilakukan beberapa penelitian mengenai tanggung jawan Direksi Perseroan Terbatas, antara lain:

1. Penelitian oleh Jujur Hutabarat, pada tahun 2007, dengan judul “Analisis yuridis terhadap tanggung jawab Direksi Badan Usaha Milik Negara dalam pengurusan perseroan”

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimanakah kedudukan dan peran Direksi BUMN dalam pengurusan BUMN?

b. Bagaimanakah pertanggung jawaban Direksi BUMN dalam pengurusan dan pengelolaan BUMN?

c. Apakah pengaturan internal BUMN yang dibuat oleh Direksi dapat dianggap sebagai suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku atau merupakan bagian dari hukum administrasi negara?

(8)

2. Penelitian oleh Bustanul Arifin, pada tahun 2009, dengan judul “ Tanggung Jawab Direksi Perseroan Terhadap Perseroan Yang dinyatakan Pailit”

Adapun pemasalahan yang akan dibahas dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban Direksi Perseroan jika Perseroan yang diurusnya mengalami pailit?

b. Bagaimanakah Kedudukan Perseroan dan organ-organ Perseroan sehubungan dengan kepailitan Perseroan?

c. Bagaimanakah Prinsip business judment rule diterapkan kepada Direksi terkait pertanggungjawban Direksi pada Perseroan yang dinyatakan Pailit?

3. Penelitian oleh Teddy Taufik, pada tahun 2004, dengan judul “ Tanggung Jawab Penanggung Hutang (Borgtocht) Terhadap Debitur Yang Ingkar Janji (Wanprestasi) Kepada PT. Bank Danamon Tbk.”

Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah:

a. Bagaimanakah Persyaratan seorang penanggung hutang yang disetujui oleh Bank Danamon Tbk?

b. Apakah Hak Istimewa dari penanggung hutang masih dapat diterapkan atau berlaku dalam perjanjian penanggungan hutang pribadi?

c. Apakah setelah penanggung hutang membayar hutang Debitur dengan dieksekusi hartanya oleh Pengadilan Negeri/dilelang dapat meminta pengembalian pembayaran hutang terhadap hartanya yang sudah dilelang kepada Debitur?

(9)

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

“Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian dan hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas.”7 “Sedangkan kerangka teori pada penelitian hukum sosiologis atau empiris yaitu kerangka teoritis yang berdasarkan pada kerangka acuan hukum, tanpa acuan hukumnya maka penelitian tersebut hanya berguna bagi sosialogi dan kurang relevan bagi ilmu hukum.”8

“Suatu konsep atau kerangka konsepsionil pada hakekatnya merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit daripada kerangka teoritis yang sering kali masih bersifat absrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan dapat pegangan konkrit didalam proses penelitian.”9

Dalam tesis ini dicantumkan teori dan konsep pertanggung jawaban Direksi yang relevan dengan UUPT Nomor 40 Tahun 2007, antara lain teori konsep Perseroan sebagai badan hukum dan teori tentang pertanggung jawaban Direksi dalam pengelolaan Perseroan.

Konsep pertanggung jawaban Direksi yang dimaksud adalah pertanggung jawaban yang sesuai dengan UUPT Momor 40 Tahun 2007. Dimana konsep ini akan dikaitkan dengan teori fiduciary duty, teori ini masih berkembang di Indonesia sehingga diperlukan pengembangan dan aplikasi yang tepat dalam sistem hukum Indonesia. Prinsip Direksi sebagai pemegang amanah karena sumber kewenangan

7 Soejono Soekanto, Pengantar Peneltian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986, hal 126.

8 Ibid., hal. 127

9 Ibid., hal. 133

(10)

Direksi berasal dari trust atau fiducia, tetapi amanah yang diemban Direksi Perseroan adalah amanah Perseroan dan bukan amanah dari pemegang saham yang hendak menciptakan Direksi boneka 10 dan teori hukum murni yang menyatakan” jika seorang individu secara hukum diwajibkan untuk berperilaku dengan cara tertentu, jika perilakunya yang sebaliknya merupakan syarat diberlakukannya tindakan paksa.11

Menurut teori Organ dari Otto Van Gierke, menyatakan bahwa badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia ada didalam pergaulan hukum. Dimana badan hukum itu mempunyai kehendak dan kemauan sendiri yang dibentuk melalui alat-alat perlengkapannya yaitu pengurus dan anggota-anggotanya.

Menurut UUPT Nomor 40 Tahun 2007 anggota Direksi diwajibkan untuk berperilaku sebagai pemegang amanah (fiduciary duty), berperilaku dengan kehati- hatian dan dengan ketekunan serta dengan loyalitas (duty of skill, duty of care, dan duty of loyalty). Jika perilaku anggota direksi adalah sebaliknya maka anggota direksi

akan dikenakan sanksi sebagai bentuk pertanggung jawaban hukumnya.

Pertanggungan jawaban tersebut dapat berupa pertanggung jawaban secara pidana maupun pertanggung jawaban secara perdata. Hal ini tergantung dari perilaku yang dilakukan oleh anggota direksi.

10 Tri Widiyono, Direksi Perseroan Terbatas, Keberadaan, Tugas, Wewenang dan Tanggung Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hal.40

11 Hans Kelsen, Pure Theory of Law, terjemahan oleh Raisul Muttaqien, Teori Hukum Murni: Dasar-dasar Hukum Normatif, (Bandung: Nusamedia & Nuansa, 2006), hlm.136

(11)

Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, arti Pailit sebagaimana diatur dalam lampiran Undang-undang kepailitan Pasal 1 ayat (1) adalah

“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, baik atas permohonannya sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih krediturnya”.12

Pengertian Kepailitan menurut Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 dalam Pasal 2 ayat (1) adalah “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pembesarannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

Dalam mengajukan permohonan kepailitan tidaklah sedemikian mudahnya, harus ada persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Bila tidak, maka semua orang dapat dengan mudahnya mengajukan permohonan pailit.

Kepailitan merupakan suatu lembaga hukum perdata sebagai realisasi dari dua asas pokok yang terdapat dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata. Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

12 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan.

(12)

Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik yaitu keinginan subyek hukum untuk berbuat sesuatu, kemudian mereka mengadakan negosiasi dengan pihak lain, dan sudah barang tentu keinginan itu sesuatu yang baik. Itikad baik yang sudah mendapat kesepakatan terdapat dalam isi perjanjian untuk ditaati oleh kedua belah pihak sebagai suatu peraturan bersama. Isi perjanjian ini disebut prestasi yang berupa penyerahan suatu barang, melakukan suatu perbuatan, dan tidak melakukan suatu perbuatan.

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat:13 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.

3. Suatu pokok persoalan tertentu.

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Dua syarat pertama disebut juga dengan syarat subyektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut syarat obyektif. Dalam hal tidak terpenuhinya unsur pertama (kesepakatan) dan unsur kedua (kecakapan) maka kontrak tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak terpenuhinya unsur ketiga (suatu hal tertentu) dan unsur keempat (suatu sebab yang halal) maka kontrak tersebut adalah batal demi hukum.

Setiap orang dapat dinyatakan pailit sepanjang memenuhi ketentuan dalam Pasal 2 Undang-undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004. Debitur yang terbukti

13 Pasal 1320 KUHPerdata

(13)

memenuhi syarat diatas dinyatakan pailit, baik debitor perorangan maupun badan hukum. Bahwa pihak-pihak yang dapat dinyatakan pailit antara lain:

a. Orang Perorangan.

Baik laki-laki mapun perempuan, yang dalam menjalankan perusahaan maupun tidak, yang telah menikah maupun yang belum menikah, permohonan tersebut hanya dapat diajukan atas persetujuan suami atau isterinya, kecuali antara istri maupun suami tidak terjadi persekutuan harta.

b. Harta Peninggalan (Warisan).

Harta warisan dari seseorang yang meninggal dunia dapat dinyatakan pailit apabila orang yang meninggal dunia itu semasa hidupnya berada dalam keadaan berenti membayar utangnya, atau harta warisannya pada saat meninggal dunia si pewaris tidak mencukupi untuk membayar hutangnya. Dengan demikian, debitor yang telah meninggal dunia masih saja dinyatakan pailit atas harta kekayaanya apabila ada kreditor yang mengajukan permohonan tersebut.

Akan tetapi permohonan tidak ditujukan bagi para ahli waris. Pernyataan pailit harta peninggalan berakibat demi hukum dipisahkan harta kekayaan pihak yang meninggal dari harta kekayaan para ahli waris dengan cara yang dijelaskan dalam Pasal 1107 KUHPerdata. Permohonan pailit terhadap harta peninggalan, harus memperhatikan ketentuan pasal 210 Undang-undang Kepailitan, yang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan paling lambat 90 hari setelah debitor meninggal.

(14)

c. Perkumpulan Perseroan (Holding Company).

Undang-undang kepailitan tidak mensyaratkan bahwa permohonan kepailitan terhadap Holding Company dan anak-anak perusahaanya harus diajukan dalam satu dokumen yang sama. Permohonan-permohonan selain dapat diajukan dalam satu permohonan, juga dapat diajukan terpisah sebagai permohonan.

d. Penjamin (Guarantor).

Penanggung utang atau Borgtocht adalah suatu persetujuan dimana pihak ketiga guna kepentinggan kreditor mengkatkan dirinya untuk memenuhi kewajiban debitor apabila debitor yang bersangkutan tidak dapat memenuhi kewajibannya.

e. Badan Hukum

Badan hukum bukanlah mahluk hidup sebagaimana halnya manusia. Badan hukum kehilangan daya pikir,dan kehendaknya. Oleh karena itu, ia tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri. Ia harus bertindak dengan perantara orang (natuurlijke personen), tetapi orang yang bertindak itu tidak bertindak untuk dirinya sendiri melainkan untuk dan atas nama pertanggungan gugat badan hukum. Pada badan hukum selalu diwakili oleh organ dan perbuatan organ tersebut adalah perbuatan badan hukum itu sendiri. Organ hanya dapat mengikatkan badan hukum, jika tindakannya masih dalam batas dan wewenang yang telah ditentukan dalam anggaran dasar.

f. Perkumpulan Badan Hukum

Perkumpulan yang bukan berbadan hukum ini menjalankan suatu usaha berdasarkan perjanjian antar anggotanya, tetapi perkumpulan ini bukan

(15)

merupakan badan hukum artinya tidak ada pemisahan harta perusahaan dan harta kekayaan pribadi, yang termasuk dalam perkumpulan ini adalah:

1. Maatscappen (persekutuan perdata);

2. Persekutuan Firma;

3. Persekutuan Komanditer;

Oleh karena bukan badan hukum, maka hanya para anggotanya saja yang dapat dinyatakan pailit. Permohonan pailit terhadap Firma dan Persekutuan Komanditer harus memuat nama dan tempat kediaman masing-masing persero yang secara tanggung renteng terikat untuk seluruh utang firma.

g. Bank

Undang-undang kepailitan dan PKPU membedakan antara debitur bank dan bukan bank. Pembedaan tersebut dilakukan dalam hal siapa yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Apabila debitur adalah Bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia, karena Bank dan uang masyarakat harus dilindungi.

h. Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjamin, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.

Sebagaimana bank, Undang-undang kepailtan dan PKPU juga membedakan perusahaan efek dengan debitur lainnya. Jika menyangkut debitur yang merupakan perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan,

(16)

lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.14

Masalah Kepailitan dapat terjadi pada siapapun, baik perseorangan maupun bandan usaha. Dalam hal ini saya akan membahas kepalitian yang terjadi pada peseroan terbatas. Bahwa terdapat implikasi yuridis atas kepailitan perseroan terbatas yang berbeda dengan kepailitan orang manusia kendatipun rezim hukum yang berlaku sama. Sehingga perlu dikaji terlebih lanjut mengenai implikasi yuridis kepailitan terhadap perseroan terbatas.

Pentingnya pengkajian terhadap kepailitan perseroan terbatas, disamping untuk kepentingan para pelaku bisnis itu sendiri, juga ada kaitannya dengan pengaruh ekonomi secara luas. Secara khusus badan usaha Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yang secara efektif berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2007.15 Sebelum UUPT 2007, berlaku UUPT No. 1 Th 1995 yang diberlakukan sejak 7 Maret 1996 (satu tahun setelah diundangkan) s.d. 15 Agustus 2007, UUPT tahun 1995 tersebut sebagai pengganti ketentuan tentang perseroan terbatas yang diatur dalam KUHD

Istilah Perseroan Terbatas (PT) dulunya dikenal dengan istilah Naamloze Vennootschap (NV). Istilah lainnya Corporate Limited (Co. Ltd.), Serikat Dagang

Benhard (SDN BHD). Pengertian Perseroan Terbatas terdiri dari dua kata, yakni

“perseroan” dan “terbatas”. Perseroan merujuk kepada modal PT yang terdiri dari

14 Hukum Kepailitan di Indonesia, 15 Maret 2010, http:/click-gtg-blogspots.com

15 Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor 106

(17)

sero-sero atau saham-saham. Adapun kata terbatas merujuk kepada pemegang yang luasnya hanya sebatas pada nilai nominal semua saham yang dimilikinya.

Berdasarkan Pasal 1 UUPT No. 40 Tahun 2007 pengertian Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Sebagai badan hukum yang mandiri berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Undang- undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas (UUPT) menentukan bahwa pertanggung jawaban pemegang saham PT hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki dalam perseroan terbatas. Secara ekonomis, unsur pertanggungjawaban terbatas dari pemegang saham perseroan terbatas tersebut merupakan faktor yang penting sebagai umpan pendorong bagi kesediaan para calon penanam modal untuk menanamkan modalnya dalam PT. Berdasarkan uraian tersebut bahwa status badan hukum PT itu Sangat penting.

Karakteristik yang mendasar dari statu perseroan terbatas sebagai corporation adalah sifat badan hukum dan pertanggungjawaban terbatas dari Perseroan terbatas.16 PT merupakan perusahaan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai perusahaan yang berbadan hukum. Dengan status yang demikian itu, PT menjadi subyek hukum yang menjadi pendukung hak dan kewajiban, sebagai badan hukum, PT memiliki kedudukan mandiri (persona standi in judicio) yang tidak tergantung pada pemegang

16 Gunawan widjaja, Seri hukum Bisnis Kepailitan op.cit., hal. 12

(18)

sahamnya. Dalam PT hanya organ yang dapat mewakili PT atau perseroan yang menjalankan perusahaan.

Menurut Subekti, badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan tersendiri, dapat digugat atau menggugat didepan hakim.17

Walaupun suatu badan hukum itu bukanlah seorang manusia yang mempunyai pikiran/kehendak, akan tetapi menurut hukum ia dapat dianggap mempunyai kehendak. Menurut teori yang lazim dianut, kehendak dari persero pengurus dianggap sebagai kehendak PT. Akan tetapi, perbuatan-perbuatan pengurus yang bertindak atas nama PT, pertanggungjawabannya terletak pada PT dengan semua harta bendanya.

Berdasarkan Pasal 1 UUPT No. 40 Tahun 2007 pengertian Perseroan Terbatas (Perseroan) adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

Unsur-unsur PT berdasarkan pengertian tersebut maka untuk dapat disebut sebagai perusahaan PT menurut UUPT harus memenuhi unsur-unsur:

1. Berbentuk badan hukum, yang merupakan persekutuan modal;

2. Didirikan atas dasar perjanjian;

3. Melakukan kegiatan usaha;

4. Modalnya terbagi saham-saham;

17 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:PT. Inter masa, 1987), hlm 182.

(19)

5. Memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UUPT serta peraturan Pelaksanaannya.

Bahwa terdapat dua macam implikasi sifat badan hukum (legal personality).

Pertama adalah hak mendahulu dari kreditor badan hukum atas harta kekayaan badan hukum atas harta kekayaan badan hukum pada saat pembubaran badan hukum yang dilakukan. Kedua menunjukan bahwa harta kekayaan badan hukum tersebut tidak dapat diambil begitu saja oleh para pendirinya atau dalam hal perseroan adalah para pemegang sahamnya termasuk kreditor dari para pendirinya atau pemegang sahamnya tersebut.

Tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa pun yang berkepentingan, seperti orang yang turut berutang atau penanggung utang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan, asal pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang debitur, atau asal ia tidak mengambil alih hak- hak kreditur sebagai pengganti jika ia bertindak atas namanya sendiri.

Jika kreditur menolak pembayaran, maka debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas apa yang harus dibayarnya, dan jika kreditur juga menolaknya, maka debitur dapat menitipkan uang atau barangnya kepada pengadilan. Penawaran demikian, yang diikuti dengan penitipan, membebaskan debitur dan berlaku baginya sebagai pembayaran, asal penawaran itu dilakukan menurut undang-undang;

sedangkan apa yang dititipkan secara demikian adalah atas tanggungan kreditur.

(20)

Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan utang: 18

1. bila seorang debitur membuat suatu perikatan utang baru untuk kepentingan kreditur yang menggantikan utang lama.

2. bila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama.

3. bila sebagai akibat suatu persetujuan baru seorang kreditur baru ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama.

Pembaharuan utang hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang cakap untuk mengadakan perikatan. Jika dua orang saling berutang, maka terjadilah antara mereka suatu perjumpaan utang, yang menghapuskan utang-utang kedua orang tersebut. Perjumpaan terjadi demi hukum, bahkan tanpa setahu debitur, dan kedua utang itu saling menghapuskan pada saat utang itu bersama-sama ada, bertimbal-balik untuk jumlah yang sama.

Bila kedudukan sebagai kreditur dan debitur berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum suatu percampuran utang, dan oleh sebab itu piutang dihapuskan. Percampuran utang yang terjadi pada debitur utama berlaku juga untuk keuntungan para penanggung utangnya. Percampuran yang terjadi pada diri si penanggung utang, sekali-kali tidak.

Pembebasan suatu utang tidak dapat hanya diduga-duga, melainkan harus dibuktikan. Pengembalian sepucuk surat piutang di bawah tangan yang asli secara sukarela oleh kreditur kepada debitur, merupakan suatu bukti tentang pembebasan

18 Pembaharuan dalam utang (12 Maret 2010) http:/irmadevita.com

(21)

utangnya, bahkan juga terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung.

Jika barang tertentu yang menjadi pokok suatu persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum ia lalai menyerahkannya. 19

Banyak syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk mendirikan suatu perseroan terbatas. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menyatakan yang dapat diangkat menjadi anggota direksi adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum. Dalam lima tahun terakhir, calon direksi tidak sedang dinyatakan pailit, menjadi anggota perseroan yang dinyatakan pailit, atau dihukum karena merugikan keuangan negara. Instansi teknis pun dapat menentukan syarat tambahan bagi jabatan direksi berdasarkan peraturan perundang-undangan (lihat pasal 93)20. Intinya, syarat menjadi direktur perseroan tidak gampang.

Dalam melakukan pengurusan, direksi harus dapat mengambil keputusan dalam waktu cepat dan tepat. Mengingat bahwa suasana dan kondisi bisnis cenderung dapat berubah dengan cepat. Sehingga, acapkali direksi harus dapat mengambil keputusan dengan cepat berdasarkan pertimbangan yang menurutnya cermat pula.

Akan tetapi apabila dalam menjalankan tugasnya direksi selalu dibayangi ketakutan akan dituntut secara pribadi seandainya perseroan yang dia pimpin merugi akibat

19 Ibid.

20 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007.

(22)

keputusan yang salah, atau harus meminta persetujuan RUPS, hampir dapat dipastikan perseroan berjalan pincang .

Apabila direksi pada saat mengambil keputusan telah melakukannya dengan pertimbangan matang, maka mengingat suasana bisnis yang penuh ketidakpastian, seandainya keputusan tersebut salah, seharusnya direksi tidak dituntut secara pribadi.

Sebab, perseroan juga harus ikut menanggung kerugian tersebut. Inilah konsep dasar business judgement rule, disingkat BJR.

Business judgemeny rule (BJR) berasal dari case law hukum Amerika atau Common Law. Konsep BJR sebenarnya berisi pembagian tanggung jawab di antara

perseroan dan orang yang mengurusnya terutama direksi, dan pemegang saham manakala terjadi kerugian perseroan akibat human error. BJR timbul sebagai akibat telah dilaksanakannya fiduciary duty oleh seorang direksi, yaitu prinsip duty of skill and care. Semua kesalahan yang timbul setelah prinsip ini dilaksanakan, membawa

konsekuensi direksi bebas dari tanggung jawab secara pribadi akibat keputusan yang diambil. 21

Dalam hal perseroan terbatas, pendiri atau pemegang saham seringkali menjadi pengurus atau pengelola dari perseroan terbatas yang didirikan, maka pendiri atau pemegang saham memerlukan jaminan dan kepastian bahwa harta kekayaan mereka pribadi tidak akan diganggu gugat sehubungan dengan kegiatan usaha yang diselengarakan atau dilaksanakan oleh perseroan terbatas tersebut.

21 Larry E Ribstein dan Kelli A Alces, The Business Judgment Rule in Good and Bad Times, hal. 6

(23)

Oleh karena itu diperlukan pertanggungjawaban terbatas pendiri atau pemegang saham hanya akan menanggung kerugian yang tidak lebih dari penyertaan yang telah disetujuinya untuk diambil bagian, guna penyelenggaraan dan pengelolaan jalannya perseroan dengan baik.

Keperluan adanya tanggung jawab terbatas bagi harta kekayaan pribadi pendiri atau pemegang saham, memberikan manfaat kepada pemegang saham, memberikan manfaat kepada pemegang saham bahwa setiap kegiatan dari pengurus perseroan terbatas memerlukan pengetahuan atau bahkan persetujuan dari pendiri atau pemegang saham.

Dengan memberikan perlindungan bagi setiap keputusan usaha atau bisnis yang diambil oleh direksi yang telah diberlakukan dengan kehati-hatian, dengan etikad baik sesuai dengan maksud dan tujuan serta untuk kepentingan perseroan maka lahirlah “business judgment rule principle”.22

Bahwa direksi suatu perseroan bisa lolos dari tanggung jawab pribadi bilamana bisa membuktikan: (i) sudah bertindak berdasarkan iktikad baik (good faith); (ii) telah memperoleh informasi yang cukup (well-informed); (iii) secara

masuk akal dapat dipercaya bahwa tindakan yang diambil adalah yang terbaik untuk kepentingan perseroan (the best interest of the corporation).

Konsep Business judgement rule (BJR) sudah diadopsi ke dalam UUPT di Indonesia. Konsep ini dalam UUPT lama tak bisa kasat mata, melainkan harus dilihat dalam konteks prinsip fiduciary duty. Walaupun tidak ada rumusan yang secara

22 Gunawan widjaja, Seri hukum Bisnis Kepailitan, op. Cit, hal 22.

(24)

eksplisit dan tegas mengakuinya. Oleh karena berdasarkan UUPT lama juga tunduk pada KUH Perdata, maka UUPT lama juga mengakui business judgemnet rule (BJR) Fiduciary duty merupakan prinsip kepercayaan yang diberikan perseroan kepadanya,

dan prinsip yang merujuk pada kemampuan dan kehati-hatian direksi bertindak.23 Keputusan yang diambil haruslah keputusan yang menurut direksi ada lah yang terbaik bagi perusahaan. Dan baginya keputusan tersebut juga akan diambil oleh orang lain yang berada pada posisi yang sama.

Bahwa pada dasarnya perseroan didirikan untuk melaksanakan kegiatan usaha dengan tujuan agar pendiri tersebut (yang kemudian berubah menjadi pemegang saham) tidak lagi dimintakan pertanggungjawaban pribadi selain dari harta kekayaan yang telah dipisahkan olehnya dalam perseroan.

Dalam konteks pemegang saham yang melakukan piercing the corporate veil, maka pemegang saham bertanggung jawab terhadap kepada kreditor perseroan, sebagai akibat tindakan pemegang saham tersebut yang menyebabkan harta perseroan mengalami kerugian dan tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada kreditor perseroan. Sedangkan bagi direksi atau dewan komisaris perseroan, mereka ini bertanggungjawab kepada perseroan atas setiap kerugian yang diterbitkan sebagai akibat tindakan mereka. Anggota direksi dan dewan komisaris hanya bertanggung jawab terhadap kreditor, jika perseroan berada didalam kepailitan.

23 Anonym, Fiduciary Duties and Potensial Liabilities of Directors and Officers Of Financially Distrss Corporation hlm. 2

(25)

Organg-organ yang terdapat dalam perseroan terdiri atas Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi, dan Komisaris.

1. Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)

RUPS diatur dalam Pasal 1 butir 4 dan Pasal 75 sampai dengan Pasal 91 UUPT. Dalam Pasal 1 butir 4 UUPT, dikatakan:

Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi atau dewan komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang- undang ini dan/atau anggaran dasar.

Defenisi RUPS yang diberikan dalam UUPT baru telah memperkuat pendapat Agus Budiarto24, yang menyatakan bahwa kekuasaan RUPS menurut Pasal 1 butir 3 UUPT lama adalah tidak mutlak dalam arti kekuasaan tertinggi yang diberikan oleh undang-undang kepada RUPS tidak berarti RUPS dapat melakukan lingkup tugas dan wewenang yang telah diberikan undang-undang dan Anggaran Dasar kepada Direksi dan Komisaris. Kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh RUPS hanya mengenai wewenang yang tidak diserahkan kepada Direksi atau Komisaris.

Dalam RUPS, pemegang saham berhak memperoleh keterangan yang berkaitan dengan perseroan dari direksi dan/atau dewan komisaris, sepanjang berhubungan dengan mata acara rapat dan tidak bertentangan dengan

24 Agus Budiarto, Kedudukan Hukum dan Tanggung Jawab pendiri Perseroan, (Jakarta:Ghalia Indonesia, 2002), hlm. 57.

(26)

kepentingan perseroan (Pasal 75 ayat (2) UUPT). Pasal 75 ayat (1) UUPT berbunyi RUPS mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar. Wewenang eksklusif yang ditetapkan dalam UUPT tidak dapat ditiadakan selama tidak ada perubahan undang-undang. Adapun wewenang eksklusif dalam anggaran dasar semata-mata berdasarkan kehendak RUPS yang disahkan atau disetujui oleh Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) yang dapat diubah melalui perubahan Anggaran Dasar sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang25

2. Direksi

Bahwa anggota Direksi diangkat oleh RUPS. Pengangkatan anggota Direksi dilakukan untuk jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Pengangkatan anggota Direksi dilakukan oleh pendiri dalam akta pendirian perseroan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota Direksi. Dalam Pasal 93 ayat (1) UUPT, ditentukan syarat-syarat untuk menjadi anggota Direksi, antara lain:

a. orang perseorangan;

b. mampu/ cakap melaksanakan perbuatan hukum;

c. tidak pernah dinyatakan pailit atau menjadi anggota direksi atau anggota dewan komisaris yang dinyatakan bersalah menyebabkan

25 Abdulkahir Muhammad, Hukum Perseroan Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996), hlm.65-66

(27)

suatu perseroan dinyatakan pailit, atau orang yang pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara dan/atau yang berkaitan dengan sektor keuangan dalam waktu 5 tahun sebelum pengangkatan.

Apabila pengangkatan anggota direksi yang tidak memenuhi persyaratan diatas, pengangkatan anggota direksi tersebut batal karena hukum sejak saat anggota direksi lainnya/dewan komisaris mengetahui tidak terpenuhinya persyaratan tersebut. Perbuatan hukum yang telah dilakukan untuk dan atas nama perseroan oleh anggota direksi tersebut sebelum penggangkatannya batal, tetap mengikat dan menjadi tanggung jawab perseroan tanpa mengurangi tanggung jawab perseroan tanpa mengurangi tanggung direksi yang bersangkutan terhadap kerugian perseroan.26

Adapun perbuatan hukum yang dilakukan untuk dan atas nama perseroan oleh anggota direksi tersebut setelah pengangkatannya batal, adalah tidak sah dan menjadi tanggung jawab pribadi anggota direksi yang bersangkutan. Anggota direksi dapat diberhentikan baik secara permanen mapun sementara. Pemberhentian anggota Direksi secara permanen hanya dapat dilakukan melalui RUPS. RUPS dapat sewaktu- waktu memberhentikan anggota Direksi dengan menyebutkan alasan pemberhentiannya. Sebelun keputusan RUPS mengenai pemberhentian anggota

26 M.Yahya Harahap, Sarjana Hukum, Hukum Perseroam Terbatas, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009), hal. 368

(28)

Direksi, maka Direksi wajib diberu kesempatan untuk membela diri di dalam RUPS.27

Pemberhentian ini dilakukan secara tertulis kepada anggota Direksi yang bersangkutan dan anggota direksi tersebut menjadi tidak berwenang melakukan tugasnya, dalam waktu paling lambat 30 hari setelah tanggal pemberhentian sementara harus diadakan RUPS dan dalam RUPS anggota direksi yang bersangkutann harus diberi kesempatan untuk membela diri.

Apabila dalam 30 hari tidak diadakan RUPS, maka demi hukum pemberhentian sementara anggota Direksi tersebut menjadi batal dan akibatnya naggota direksi tersebut kembali berwenang untuk melakukan tugasnya. Dalam keputusan RUPS dapat berisi berupa mencabut keputusan pemberhentian sementara anggota Direksi tersebut ataupun memberhentikan secara permanen anggota Direksi yang bersangkutan.

Kedudukan Hukum Direksi

Beberapa pakar dan ilmuwan hukum merumuskan kedudukan Direksi dalam perseroan sebagai gabungan dari 2 (dua) macam persetujuan atau perjanjian, yaitu28:

a). Perjanjian pemberian kuasa, disatu sisi dan b). Perjanjian kerja atau pemburuan, disisi yang lain.

Tugas dan Kewajiban Direksi.

27 Ibid.. hal. 369

28 Ahmad Yani dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas, (Jakarta: Rajawali Pers, 1999), hlm.97

(29)

Tugas Direksi dapat dilihat dari Pasal 92 ayat (1), pasal 97 ayat (1) dan pasal 98 ayat (1) UUPT, antara lain:

Pasal 92 ayat (1)

Direksi menjalankan pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan.

Pasal 97 ayat (1)

Direksi bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sebagaimana maksud dalam Pasal 92 ayat (1)

Pasal 98 ayat (1)

Direksi mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan.

Wewenang dan Tanggung jawab Direksi

Direksi merupakan salah satu organ perseroan yang vital. Yang bertanggung jawab penuh atas penggurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik didalam maupun diluar pengadilan (Pasal 98 ayat (1) UUPT). Dalam hal ini, ada dua wewenang direksi, yaitu pengurusan dan perwakilan. Pengurusan berbicara soal hubungan internal antara pengurus dan orang yang hartanya berada dalam pengurusan pengurus, maka perwakilan berbicara soal hubungan eksternal, yaitu hubungan antara pengurus dan harta kekayaan yang diurus oleh pengurus tersebut, dengan

(30)

pihak ketiga dengan siapa suatu perbuatan hukum dilakukan oleh pengurus dalam kapasitasnya sebagai pengurus harta kekayaan milik orang lain.29

3. Komisaris

Komisaris diangkat oleh RUPS dalam jangka waktu tertentu dengan kemungkinan diangkat kembali. Untuk pertama kalinya, pengangkatan anggota Dewan Komisaris dilakukan dengan mencantumkan susunan dan nama anggota Dewa komisaris dalam akta pendirian perserioan.

Syarat-syarat pengangkatan Komisaris sama dengan syarat-syarat pengangkatan anggota Direksi.

Tugas dan Kewajiban Dewan Komisaris

Tugas Komisaris dapat dilihat dalam Pasal 1 butir 6 dan pasal 108 ayat (1) UUPT, antara lain:

Pasal 1 butir 6

Dewan Komisaris adalah organ perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberikan nasihat kepada Direksi.

Pasal 108 ayat (1)

Dewan Komisaris melakukan pengawasan atas kebijakan pengurusan, jalannya pengurusan pada umumnya, baik mengenai perseroan maupun usaha perseroan, dan memberi nasihat kepada Direksi.

29 Widjaja, Seri Aspek Hukum dalam Bisnis: pemilikan, Pengurusan, Perwakilan, &

Pemberian Kuasa Dalam Sudut Pandang KUHPerdata. Hlm. 149-150

(31)

Ada beberapa jenis peradilan yang dijelaskan dalam Pasal 15 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Maka peradilan di Indonesia meliputi 4 peradilan, yaitu Penadilan Agama, Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Untuk menyelesaikan masalah kepailiatan dalam perseroan maka dibentuklah Pengadilan Niaga. Keistimewaan dalam pembentukan pengadilan niaga adalah tidal lepas dari upaya perbaikan terhadap peraturan mengenai kepailitan yang ada sebelum 1988, yaitu faillissement verordering Staatblaad 1905 No.217 jo tahun 1906 No.348.

upaya perbaikan tersebut diangap merupakan salah satu solusi utama yang perlu mendapat prioritas karena Indonesia mengalami krisis perekonomian pada tahun 1998, sehingga lahirlah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (PERPU) No. 1 tahun 1998, yang kemudian oleh dewan perwakilan-perwakilan rakyat menjadi UU No. 4 Tahun 1998 (UU Kepailitan) Dalam UU ini diatur pendirian Pengadilan Niaga, yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (1), pasal 280 ayat (2) dan pasal 281.

penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU Kepailitan menyebutkan30: “ yang dimaksud dengan pengadilan adalah Pengadilan Niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan dibidang perniagaan yang dibentuk dalam lingkup peradilan umum.... “

Pembentukan Pengadilan Niaga dipisahkan secara yuridiksi untuk memeriksa permohonan pailit dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Niaga. Undang-undang mengatur bahwa dengan dibentuknya Pengadilan Niaga, maka permohonan pilit dan penundaan kewajiban membayar utang hanya dapat diperiksa oleh pengadilan Niaga.

30 Indonesia, Undang-undang Kepailitan, UU Nomor 4 Tahun 1998

(32)

2. Konsepsi

Konsepsi berasal dari bahasa Latin, conceptus yang memiliki arti sebagai suatu kegiatan atau proses berfikir, daya berfikir khususnya penalaran dan pertimbangan.31

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas.32 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digenerealisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.33

Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Agar tidak terjasi perbedaan penggertian tentang konsep-konsep yang digunakan dala penelitian ini, maka perlu diuraikan pengertian-pengertian konsep yang dipakai, yaitu antara lain:

a. Tanggung Jawab Direksi adalah semua kewajiban yang harus dijalankan Direksi sebagai wakil Perseroan yang dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab34, baik kepada Perseroan, pemegang saham perseroan, maupun kepada Pihak ketiga yang berhubungan hukum langsung maupun tidak langsung dengan Perseroan.35

31 Komaruddin dan Yooke Tjuparmah Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hal.122.

32 Masri Singarimbun dan Sifian Effendi, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta, 1989, hal. 34.

33 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian,, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 3.

34 Lihat penjelasan Pasal 97 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, yang dimaksud dengan penuh tanggung jawab adalah memperhatikan perseroan dengan seksama dan tekun.

35 Ahmad Yani & Gunawan Widjaja, Perseroan Terbatas, op.cit., hal 13.

(33)

b. Direksi adalah pengurus perseroan yang bertindak untuk kepentingan perseroan, dan bukan kepentingan satu atau lebih pemegang saham tertentu.36 c. Penanggung Hutang adalah badan atau orang yang berhutang menurut

paraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang.37

d. Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukankegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan lainnya.38

e. Pailit adalah pemogokan atau kemacetan dalam melakukan pembayaran f. Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang

pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.39

g. Badan Hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat didepan hakim.40

36 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum Sebagai Direksi, Komisaris 7 Pemilik PT, Jakarta, 2008, hal. 30.

37 Keputusan Menteri Keuangan : 300/KMK.01/2002

38 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007

39 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

40 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta. PT.Inter Masa, 1989, hal 182

(34)

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian

Suatu karya ilmiah yang memenuhi nilai-nilai ilmiah, maka penelitian yang dilaksanakan ini dikategorikan sebagi penelitian yang bersifat deskriftif-analitis.

”Penelitian deskriftif-analitif adalah penelitian yang mengambarkan dan menganilsa permasalahan yang dikemukakan.”41

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan yuridis normatif yang didukung oleh data primer dan data sekunder. Pendekatan yuridis normatif terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanggung jawab Direksi dalam Undang- Undang Nomor 40 Tahun 2007.

2. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan tesis ini, maka menggunakan:

Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakan ini dilakukan dengan mempelajari dan menganilsa secara sistematis buku-buku, majalah, makalah, artikel, peraturan-peraturan lainnya yang berhubungan dengan materi yang dibahas dengan tesis ini.

41 Penelitian ini umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat-sifat karakteristik atau factor tertentu, lihat Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, cet.III.PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal.36

(35)

3. Analisa Data

Analis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesa, dan satuan uraia dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumusakn hipotesa kerja seperti yang disarankan oleh data.42

Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif yang artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus untuk melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan cara yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar.43

Melalui penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai pertanggungjawaban Direksi Perseroan yang bertindak sebagai penanggung utang perseroan jika perseroan mengalami pailit.

42 Joko P. Subagio, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Rineke Cipta, Jakarta, 1996, hal.26

43 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.106.

Referensi

Dokumen terkait

Secara umum perdagangan ubikayu dunia adalah dalam bentuk pellet dan chip untuk kebutuhan pakan (70 persen) dan sisanya dalam bentuk pati dan tepung yang

BAHARUDDIN Pokja I Unit Layanan Pengadaan Koordinat or Pengadilan Tinggi Kendari Pokja I Unit Layanan Pengadaan Koordinat or Pengadilan Tinggi Kendari m enet apkan Pem enang

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui: (1) model pembelajaran mana yang memberikan prestasi belajar matematika yang lebih baik antara NHT-S , TPS-S, atau K-S pada

Jurusan/prodi Pendidikan Kepelatihan Olahraga. Fakultas Ilmu Keolahragaan. Universitas negeri semarang. Suratman S.Pd, M.Pd, Arif Setiawan S.Pd, M.Pd. Latar belakang penelitian

Selain itu, dirumuskan juga simpulan secara khusus sebagai berikut: (1) Nilai rata-rata hasil belajar siswa pada pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial kelasV

Potensi Hasil Penelitian sebagai Rancangan Modul Pembelajaran Biologi SMA Berdasarkan analisis Silabus Mata Pelajaran Biologi di SMA yang dilakukan, hasil penelitian

Menurut Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (2013), kelembagaan ekonomi petani belum berfungsi sesuai dengan harapan, antara lain disebabkan karena: 1)

Sistem pendukung keputusan sistem yang menentukan sebuah keputusan untuk memanajemen dan menganalisa pekerjaan secara jelas.Ada beberapa hal yang melemahkan daya