• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak

Pengertian pajak menurut Abunyamin (2010) adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

(Pasal 1 angka 1 KUP).

Selain itu terdapat beberapa macam pendapat terhadap definisi pajak yang dikemukakan oleh beberapa ahli dalam Rahman (2010) yaitu:

1. Menurut Prof. Dr. P. J. A. Adriani, pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapatdipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

2. Menurut Prof. Dr. H. RochmatSoemitro, S.H., pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Setelah itu pengertian tersebut telah dikoreksi; Pajak adalah peralihan

(2)

kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.

3. Menurut Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., & Brock Horace R., pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintahan, bukan akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

Dari definisi tersebut diatas secara garis besar dapat kita simpulkan bahwa pajak memiliki ciri yaitu;

1. Kontribusi wajib 2. Bersifat memaksa

3. Terdapat aturan yang mengaturnya 4. Untuk kepentingan umum/Negara 5. Diwajibkan kepada orang atau badan

2.1.1 Hukum Pajak

Menurut Mardiasmo (2003) Hukum pajak mengatur hubungan antara pemerintah (fiskus-pegawai pajak) selaku pemungut pajak dengan wajib pajak.

Hukum pajak dapat dibedakan menjadi:

a. Hukum pajak formal, memuat bentuk/tata cara untuk mewujudkan hukum material menjadi kenyataan. Hukum pajak formal ini memuat, antara lain:

(3)

1. Tata cara penetapan utang pajak.

2. Hak-hak fiskus untuk mengawasi wajib pajak mengenai keadaan, perbuatan, dan peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak.

3. Kewajiban wajib pajak, misalnya penyelenggaraan pembukuan/pencatatan, dan hak-hak wajib pajak mengajukan keberatandan banding.

Contoh: Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

b. Hukum pajak material, memuat norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan (objek pajak), siapa yang dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul dan hapusnya pajak, dan hubungan hokum antara pemerintahan dan wajib pajak.

Contoh: Undang-undang Pajak Penghasilan

2.1.2 FungsiPajak

Fungsi pajak menurut Abunyamin (2010) adalah:

1. Fungsi Budgetair

Fungsi budgetair dari pajak adalah fungsi untuk mengisi kas negara yang merupakan salah satu sumber yang utama bagi penerimaan anggaran negara (di Indonesia salah satu sumber yang utama bagi APBN).

(4)

2. Fungsi Regulerend

Fungsi regulerend adalah fungsi mengatur di bidang sosial dan perekonomian pada umumnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu yang diharapkan oleh negara/pemerintah. Misalnya, dalam rangka meningkatkan daya saing produksi dalam negeri.

2.1.3 Pengertian WP

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan unruk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungut pajak atau pemotong pajak tertentu (Mardiasmo, 2003). Wajib pajak adalah setiap orang pribadi yang memiliki penghasilan di atas pendapatan tidak kena pajak. Di Indonesia, setiap orang wajib mendaftarkan diri dan mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP), kecuali ditentukan dalam undang-undang.

2.1.4 Syarat Pemungutan Pajak

Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, menurut Mardiasmo (2003) pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan)

Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang- undang, dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam

(5)

perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Sedangkan adil dalam pelaksanaannya adalah dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.

b. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis) Di Indonesia, pajak di atur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya.

c. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis)

Pemungutan pajak tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat.

d. Pemungutan pajak harus efisiensi (Syarat Finansial)

Sesuai dengan fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.

e. Sistem pemungutan pajak harus sederhana

Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Syarat ini telah dipenuhi oleh Undang-undang Perpajakan yang baru.

(6)

2.1.5 Pengelompokan Pajak

Menurut Mardiasmo (2003) pajak dapat digolongkan sebagai berikut:

a. Menurut sifatnya

1. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berdasarkan atau berpangkal pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contoh : PPh.

2. Pajak objektif, yaitu pajak yang berdasarkan atau berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak, contoh : PPN.

b. Menurut golongannya

1. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain, contoh : PPh.

2. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang dipungut karena perbuatan atau peristiwa tertentu dan pada akhirnya pembayar pajak dapat membebankan atau dilimpahkan kepada orang lain, contoh : PPN.

c. Menurut lembaga pemungutannya

1. Pajak pusat, pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat untuk membiayai rumah tangga negara, contoh :PPh, PPN/PPN BM.

2. Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.

(7)

Pajak daerah terdiri dari :

 Pajak propinsi, contoh : Pajak Kendaraan Bermotor, dan Pajak Kendaraan di Atas Air.

 Pajak kabupaten/kota, contoh : Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, dan Pajak Penerangan Jalan.

2.2 Pajak Bumi dan Bangunan

Dasar hukum pajak bumi dan bangunan adalah Undang-Undang No.12 tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.12 tahun 1994.

Sedangkan asas pajak bumi dan bangunan adalah sebagai berikut:

a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan b. Adanya kepastian hukum

c. Mudah dimengerti dan adil d. Menghindari pajak berganda

2.2.1 Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta tak bergerak, sehingga objek sangatlah penting dalam PBB dan subjek tidaklah begitu penting atau tidak mempengaruhi besarnya pajak. Itu sebabnya pajak ini disebut juga pajak yang objektif (Pudyatmoko, 2002). Pajak Bumi dan Bangunan ini sangat membantu dalam pembangunan daerah. Untuk itu karena masih kurangnya kesadaran mengenai Pajak Bumi dan Bangunan ini banyak hal yang harus kita lakukan. Keberhasilan penerimaan pajak ini dapat kita lihat dari sisi Wajib Pajak

(8)

karena meski Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang objektif tapi tidak akan lepas dari unsur subjeknya yaitu Wajib Pajak.

Pengertian yang terkandung dalam pajak bumi dan bangunan (Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985) :

Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya, permukaan bumi dan meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa- rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha dan tempat yang diusahakan.

2.2.2 Objek Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut Abunyamin (2010) objek pajak adalah sebagai berikut:

1. Objek (Pasal 2(1) UU PBB) yang menjadi objek pajak adalah bumi dan/atau bangunan.

2. Bumi dan/atau bangunan

Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.

Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :

1. Jalan tol.

2. Kolam renang.

(9)

3. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemen lainnya yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut.

4. Pagar mewah.

5. Tempat olahraga.

6. Galangan kapal, dermaga.

7. Taman mewah.

8. Tempat penampungan/ kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, dan fasilitas lain yang memberikan manfaat.

3. Klasifikasi Objek Pajak

Klasifikasi bumi dan bangunan dinyatakan dalam Pasal 2 (2) UU PBB dan penjelasannya yaitu:

a. Pengertian klasifikasi, yang dimaksud klasifikasi pajak bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan perhitungan pajak yang terutang.

b. Klasifikasi bumi/tanah, dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor :

1. Letak 2. Peruntukan 3. Pemanfaatan

4. Kondisi lingkungan dan lain-lain

(10)

c. Klasifikasi bangunan, dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor:

1. Bahan yang digunakan 2. Rekayasa

3. Letak

4. Kondisi lingkungan dan lain-lain 4. Objek pajak yang tidak dikenakan PBB

Objek yang tidak dikenakan PBB berdasarkan Pasal 3 UU PBB dan penjelasannya adalah sebagai berikut:

a. Objek Pajak tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang ;

(1) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.

(2) Digunakan untuk kuburan, peninggalan berkala, atau yang sejenis dengan itu.

(3) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembangan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.

(4) Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.

(5) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

(11)

5. Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

6. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 8.000.000 untuk setiap Wajib Pajak.

Perubahan NJOPTKP: Berdasarkan KMK.201/KMK.04/2000, Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan setinggi-tingginya Rp.12.000.000 untuk setiap Wajib Pajak, yang mulai berlaku untuk tahun pajak 2001.

2.2.3 Subjek Pajak

Berdasarkan UU No.12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 4 UU PBB dan penjelasannya yang menjadi subjek pajak adalah:

a. Orang atau badan. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan merupakan bukti pemilikan hak.

b. WP PBB. Subjek pajak yaitu orang atau badan yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak menurut UU PBB.

c. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui wajib pajaknya, Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak.

(12)

d. Keterangan tertulis yang menyatakan bukan WP PBB. Subjek pajak yang ditetapkan sebagai WP PBB oleh Dirjen Pajak dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Dirjen Pajak bahwa ia bukan WP terhadap objek pajak dimaksud.

e. Pembatalan sebagai WP PBB. Bila keterangan yang diajukan oleh WP bahwa ia bukan WP PBB disetujui maka Dirjen Pajak membatalkam penetapan sebagai WP dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud.

f. Penolakan atas keterangan WP PBB. Jika keterangan yang diajukan itu tidak disetujui maka Dirjen Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.

2.2.4 Tarif Pajak

Berdasarkan UU No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pasal 5 UU PBB, tarif yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen) .

2.2.5 Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Hasil Penerimaan pajak bumi dan bangunan merupakan penerimaan Negara (dalam hal ini pemerintah pusat) dan disetor sepenuhnya ke rekening kas Negara. Namun demikian penerimaan pajak bumi dan bangunan akan dibagi untuk pemerintah pusat dan daerah dengan imbangan (Mardiasmo, 2003) sebagai berikut:

(13)

1. 10% untuk pemerintah pusat 2. 90% untuk daerah

Jumlah 10% bagian pemerintah pusat dibagikan ke seluruh seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai berikut:

1. 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota.

2. 35% dibagikan secara intensif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu.

Jumlah 90% bagian daerah dibagi dengan rincian sebagai berikut:

1. 16,2% untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah Provinsi.

2. 64,8% untuk daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum daerah Kabupaten/Kota.

3. 9% untuk biaya pemungutan yang dibagikan kepada Direktorat Jendral Pajak dan daerah.

2.2.6 Dasar Pengenaan Pajak

Abunyamin (2010) menjelaskan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) diatur dalam Pasal 6 UU PBB dan penjelasannya yang menyatakan:

a. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

(14)

Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.

b. NJOP Ditetapkan Menteri Keuangan

Besarnya NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.

c. Nilai Jual Kena Pajak

Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari nilai jual objek pajak.

2.2.7 Cara Menghitung Pajak

Menurut Abunyamin (2010) dalam menghitung PBB diperlukan faktor- faktor :

a. Tarif PBB

b. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) c. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)

d. Nilai Jual Objek Tidak Kena Pajak (NJOTKP)

Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengkalikan tarif dengan Nilai Jual Kena Pajak (pasal 7 UU PBB).

(15)

PBB = TARIF X NJKP

0,5 X 20% X NJOP 0,5% X 40% X NJOP

NJOP = (NJOP BUMI + NJOP BANGUNAN)- NJOPTKP

2.3 Efektivitas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Menurut Mardiasmo (2004) Efektivitas adalah ukuran berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya. Kegiatan operasional dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan (spending wisely). Semakin besar kontribusi output yang dihasilkan terhadap pencapaian

tujuan atau sasaran yang ditentukan, maka semakin efektif proses kerja suatu unit organisasi. Hal ini dapat dihitung dengan rumus :

Sumber : (Halim, 2004)

Efektivitas hanya melihat apakah suatu program atau kegiatan telah mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Indikator efektivitas menggambarkan jangkauan akibat dan dampak (outcome) dari keluaran (output) program dalam mencapai tujuan program. Semakin besar kontribusi output yang dihasilkan terhadap pencapaian tujuan atau sasaran yang ditentukan, maka semakin efektif proses kerja suatu unit organisasi.

Efektivitas Penerimaan

=

Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

x 100%

Pajak Bumi dan Bangunan

Target Penerimaaan Pajak Bumi dan Bangunan

(16)

Indikator efektivitas adalah rasio antara hasil pemungutan suatu pajak dengan potensi hasil pajak. Dalam perhitungan efektivitas menurut Halim (2008), kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila rasio yang dicapai mencapai minimal satu atau seratus persen. Maka semakin tinggi rasio efektivitas, semakin baik pula kemampuan daerah. Untuk mengukur nilai efektivitas secara lebih rinci digunakan kriteria berdasarkan Kepmendagri No.

690.900.327 Tahun 1994 tentang pedoman penilaian dan kinerja keuangan yang disusun dalam tabel berikut:

Tabel 2.1

Kriteria Kinerja Keuangan Persentase

Efektivitas Kriteria

> 100% Sangat Efektif

90 - 100% Efektif

80 - 90% Cukup Efektif 60 - 80% Kurang Efektif

< 60% Tidak Efektif

Sumber : Depdagri, Kepmendagri No. 690.900.327

2.3.1 Faktor-faktor Efektivitas Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi optimalnya penerimaan pajak bumi dan bangunan adalah sebagai berikut:

1. Kurangnya kemampuan SDM 2. Sarana dan Prasarana

(17)

3. Kepemimpinan

4. Koordinasi dan Pegawasan 5. Kondisi tempat tinggal 6. Kondisi sosial ekonomi

2.4 Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Kontribusi atau sumbangan adalah anggaran yang bersumber dari pemerintah atau instansi yang lebih tinggi. Untuk mengetahui proporsi anggaran, sumber anggaran tersebut perlu diketahui, karena disadari bahwa semakin besar alokasi anggaran pusat ke daerah memungkinkan terjadinya campur tangan yang lebih besar pula terhadap berbagai aktivitas di daerah (Halim, 2004).

Indikator kontribusi adalah rasio antara realisai penerimaan pajak dengan realisasi pendapatan daerah. Untuk mengetahui bagaimana dan seberapa besar kontribusi pajak bumi dan bangunan, maka untuk mengklasifikasikan kriteria kontribusi pajak bumi dan bangunan terhadap Pemdapatan Daerah digunakan rumus sebagai berikut :

Sumber : (Halim,2004)

Dengan asumsi sebagai berikut : Kontribusi Penerimaan

=

Realisasi Penerimaan PajakBumi dan Bangunan

x 100%

Pajak Bumi dan

Bangunan RealisasiPendapatan Daerah

(18)

Tabel 2.2

Klasifikasi Kriteria Kontribusi Persentase

Efektivitas Kriteria 0,0% - 10% Sangat Kurang

10,10% - 20% Kurang

20,10% - 30% Sedang 30,10% - 40% Cukup Baik

40,10% - 50% Baik

> 50% Sangat Baik

Sumber : Tim Litbang Depdagri-Fisipol UGM 1991

2.5 Pendapatan Daerah

Menurut ketentuan umum Undang-undang No.32 Tahun 2004 pasal 1 poin 15 tentang pemerintahan daerah, Pendapatan Daerah adalah semua hak daerah yang diakui sebagai penambahan nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangsukan.

Struktur pendapatan daerah terdiri dari : a. Pendapatan Asli Daerah

b. Dana perimbangan

c. Lain-lain Pendapatan yang sah

(19)

2.5.1 Pendapatan Asli Daerah

Pengertian pendapatan asli daerah menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah pusat dan Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut:

“ Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan”

PAD terdiri dari : a) Pajak daerah

Menurut pasal 1 ayat 6 Undang-undang No.28 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatakan bahwa pajak daerah yaitu:

“Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah”.

Jenis-jenis pajak daerah adalah : 1. Pajak hotel

2. Pajak restoran dan rumah makan 3. Pajak hiburan

4. Pajak reklame

5. Pajak penerangan jalan

(20)

6. Pajak bahan galian golongan C b) Retribusi daerah

Pasal 1 ayat 26 Undang-Undang No.28 Tahun 2009 yaitu Perubahan Undang-Undang No.18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah menyatakan retribusi daerah yang selanjutnya disebut retribusi, yaitu:

“Retribusi adalah pemungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau badan”

c) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan.

Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:

1. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah atau BUMD.

2. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah atau BUMN.

3. Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.

d) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah

Pendapatan ini merupakan penerimaan daerah yang berasal dari penerimaan lain-lain milik pemerintah daerah. Jenis pendapatan ini meliputi objek pendapatan berikut:

(21)

1. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan 2. Jasa giro

3. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah

4. Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing

5. Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah

6. Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan 7. Pendapatan denda pajak

8. Pendapatan denda retribusi

9. Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau potongan barang dan/atau jasa oleh daerah 10. Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan

11. Pendapatan dari pengembalian 12. Fasilitas sosial dan fasilitas umum

13. Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan 14. Penetapatan dari anggaran atau cicilan penjualan

2.5.2 Dana Perimbangan

Dana perimbangan merupakan sumber dana yang bersumber dari dana penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah. Menurut PERMENDAGRI No.13 Tahun 2006 tentang kelompok pendapatan dana perimbangan dibagi menurut jenis pendapatannya yang terdiri atas:

(22)

a. Dana bagi hasil

Bagi hasil pajak terdiri dari :

1. Bagi hasil pajak, terdiri dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTP), dan Pajak Penghasilan pasal 21.

2. Bagi hasil bukan pajak, terdiri atas Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) pemberian hak atas Negara, land rent, dan penerimaan dari iuran eksplorasi.

b. Dana Alokasi Umum

Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

c. Dana Alokasi Khusus

Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu. Berdasarkan pasal 19 ayat 1 PP No.104 Tahun 2000 tentang dana perimbangan, disebutkan bahwa DAK dapat dialokasikan dari APBN kepada daerah tertentu untuk membantu membiayai kebutuhan khusus, dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN.

(23)

2.5.3 Lain-lain Pendapatan yang Sah

Menurut PERMENDAGRI No.13 Tahun 2006 mengenai kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup:

a. Hibah, berasal dari pemerintah , pemerintah daerah lainnya, lembaga/organisasi swasta dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat baik dalam bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.

b. Dana darurat, dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban atau kerusakan akibat bencana alam.

c. Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota.

d. Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.

e. Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.

2.6 Kerangka Pemikiran

Dengan ditetapkannya UU No.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk meningkatkan kemampuan dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan sumber-sumber keuangan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki keuangan

(24)

daerahnya. Hal ini disebabkan pemerintah daerah harus mengelola keuangan daerahnya sendiri dengan meningkatkan penerimaan daerahnya untuk dapat membiayai pengeluaran atau belanja daerah secara efektif dan efisien.

Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat di daerahnya. Untuk mewujudkan tugasnya tersebut maka pemerintah daerah harus memiliki sumber keuangan yang cukup dan memadai kerena untuk pelaksanaan pembangunan daerah itu diperlukan biaya yang tidak sedikit. Salah satu sumber keuangan untuk penyelenggaraan pembangunan daerah tersebut adalah dari dana perimbangan yang mana salah satunya merupakan dana bagi hasil pajak yang bersumber dari pajak bumi dan bangunan (PBB).

PBB merupakan pajak pusat karena dalam APBN termasuk dalam dana perimbangan. PBB juga merupakan azas pembantuan karena dana bagi hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% untuk daerah dengan rincian sebagai berikut 16,2%

untuk daerah provinsi yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah provinsi, 64,8% untuk daerah kabupaten; kota yang bersangkutan dan disalurkan ke rekening kas umum daerah kabupaten kota,9% untuk biaya pemungutan. Sedangkan sisa 10% bagian pemerintah yang dibagikan kepada seluruh kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB tahun anggaran berjalan dengan imbangan sebagai berikut: 6,5% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten kota, dan 3,5% dibagikan secara intensif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. (Sari, 2010)

(25)

Pada penelitian ini penulis juga mengambil referensi dari beberapa penelitian terdahulu sebagai gambaran untuk mempermudah proses penelitian.

Penelitian yang penulis lakukan mengacu pada beberapa penelitian sebelumnya, yaitu :

1. Yulia Anggara Sari dengan judul “Analisis dan Kontribusi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap Pendapatan Daerah di Kota Bandung.” Lokasi penelitian di Dinas Pendapatan Kota Bandung dengan pendekatan studi kasus. Hasil penelitiannya adalah:

a. Efektivitas penerimaan pajak bumi dan bangunan pada pemerintah daerah kota Bandung telah dilaksanakan secara memadai, dan menunjukan keadaan perekonomian dan pembangunan daerah kota Bandung mengalami perkembangan.

b. Laju pertumbuhan pendapatan daerahyang berasal dari PAD, Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan yang sah mengalami peningkatan.

Hal ini menunjukan bahwa menunjukan bahwa keadaan daerah kota Bandung mengalami perkembangan.

c. Tingkat kontribusi pajak bumi dan bangunan masih berada dalam kreteria sangat kurang. Dengan kata lain sumbangan atau manfaat yang diberikan oleh pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah kota Bandung masih sangat kurang/rendah.

(26)

Gambar 2.1

Bagan Kerangka Pemikiran

2.7 Hipotesis Penelitian

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiono,2008).

Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Target Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan

Realisasi Pendapatan Daerah

Efektivitas (X1)

Kontribusi (X2)

Realisasi Pendapatan Daerah (Y)

(27)

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini berkaitan dengan ada atau tidaknya pengaruh antara variabel X terhadap variabel Y, dimana hipotesis nol (Ho) yaitu suatu hipotesis tentang tidak adanya hubungan, umumnya diformulasikan untuk ditolak. Sedangkan hipotesis alternatif (Ha) merupakan hipotesis yang diajukan peneliti dalam penelitian ini, masing-masing hipotesis tersebut dijabarkan sebagai berikut:

Ho : Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antarapajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah.

Ha : Terdapat pengaruh yang signifikan antarapajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan daerah.

Referensi

Dokumen terkait

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan

Selain memperbaiki kaedah pengajaran guru LINUS-Literasi Bahasa Malaysia juga perlu melengkapkan diri dengan aspek-aspek persediaan lain dalam meningkatkan mutu

• Kultur darah ulang perlu diambil dari 2 tempat : kateter sentral dan perifer sebelum pemberian antibiotik atau pencabutan kateter. • Bila infeksi CONS persisten, investigasi ke arah

NAMA PARTAI, NOMOR DAN NAMA CALON ANGGOTA DPRD

Pengertian pajak menurut Undang-Undang No 16 tahun 2009 adalah “kostribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan

Beneish M-Score dari aspek Days Sales in Receivables Index (DSRI), Gross Margin Index (GMI), Asset Quality Index (AQI), Sales Growth Index (SGI), Depreciation

Analisis Pengaruh Budaya Organisasi Dan Gaya Kepemimpinan Terhadap Kepuasan Kerja Untuk Meningkatkan Kinerja Karyawan. Jurnal Ekonomi

kebun sendiri dan dapat dipisahkan dari usaha pertaniannya, atau bahan bakunya berasal dari pembelian... Usaha pemerahan susu hewan besar maupun