• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Keberadaan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Keberadaan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

Oleh :

dr. I Ketut Tangking Widarsa, MPH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

2017

(2)

i DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

LATAR BELAKANG ... 1

KETERSEDIAAN FASILITAS KESEHATAN ... 2

DISTRIBUSI FKTP ... 5

CAKUPAN PELAYANAN FKTP ... 10

DAFTAR PUSTAKA ... 15

(3)

ii Kata Pengantar

Puji syukur dipanjatkan keharidat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya maka tulisan Keberadaan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat diselesaikan.

Pertumbuhan kepesertaan BPJS Kesehatan setiap tahunnya terus meningkat, baik secara mandiri, penerima upah maupun penerima bantuan iur. Khususnya di Pulau Bali, Kabupaten Badung telah mengimplementasikan universal coverage dengan mengikut-sertakan seluruh masyarakat yang ber KTP Badung yang belum memiliki jaminan kesehatan kedalam BPJS Kesehatan. Peningkatan peserta ini harus diimbangi dengan ketersediaan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang menjadi layanan pertama bagi peserta BPJS Kesehatan. Selain jumlah yang memadai/berimbang juga diperlukan persebaran FKTP secara merata sehingga memudahkan peserta dalam mengakses FKTP apabila diperlukan.

Tulisan ini bertujuan untuk membahas bagaimanakah persebaran FKTP yang ada di Bali mengingat sebagian besar FKTP merupakan fasilitas kesehatan yang sebelumnya menjadi provider bagi Askes dan Jamsostek. Demikian tulisan ini disusun dengan harapan dapat

memiliki manfaat bagi diri sendiri maupun pihak lain yang memiliki ketertarikan pada topik ini.

Denpasar, April 2017 Penulis

(4)

1 LATAR BELAKANG

Pemerintah dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia mencanangkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang mewajibkan seluruh masyarakat Indonesia mengikuti asuransi kesehatan sosial. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) selaku badan yang menyelenggarakan JKN mencanangkan bahwa 1 Januari 2019 seluruh penduduk Indonesia memiliki jaminan kesehatan nasional guna menjamin akses terhadap pelayanan kesehatan bagi seluruh masyarakat Indonesia (Cakupan Semesta/Universal Coverage).

Selain kepesertaan, ketersediaan fasilitas kesehatan juga menjadi faktor penting dalam menciptakan jaminan kesehatan bagi seluruh masyarakat dengan menjamin akses ke pelayanan kesehatan. BPJS merangkul fasilitas kesehatan baik dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) hingga Tingkat Sekunder. Ketersediaan fasilitas kesehatan dapat menarik minat masyarakat dalam mengikuti JKN apabila akses terhadap fasilitas kesehatan dirasa mudah oleh pasien, dalam artian akses secara finansial (financial accessibility), geografis (Geographical accessibility), ketersediaan (availability) berbagai jenis fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan

pasien dan akseptabilitas (acceptability) terhadap fasilitas pelayanan (peter et al., 2008).

Ketersediaan fasilitas kesehatan dalam hal jumlah merupakan isu penting namun seperti yang disampaikan oleh peter et al., yang perlu menjadi pertimbangan dalam menetapkan keberadaan fasilitas kesehatan adalah lokasi dimana fasilitas tersebut berada, khususnya bagi FKTP karena hal ini akan berpengaruh terhadap jarak dan waktu tempuh yang diperlukan oleh pasien menuju ke fasilitas kesehatan. Distribusi FKTP yang tidak merata pada suatu wilayah meskipun dengan jumlah yang memadai akan menurunkan partisipasi masyarakat terhadap program JKN.

(5)

2 Tingkat partisipasi fasilitas kesehatan dalam program JKN cukup tinggi, khususnya bagi FKTP. Denpasar dengan 43 desa di 4 kecamatan hingga akhir 2014 memiliki 101 FKTP terdaftar dan jumlah ini akan terus bertambah. Keberadaan FKTP ini perlu di rencanakan dengan baik selain dalam hal kualitas juga sebarannya sehingga keberadaannya tidak mengumpul pada suatu lokasi dan kosong pada lokasi – lokasi yang lain.

Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan solusi ideal dalam memetakan keberadaan fasilitas kesehatan baik tingkat pertama maupun sekunder. Bila BPJS mengetahui dengan jelas keberadaan dan pola sebaran dari fasilitas kesehatan yang bekerja sama dengan mereka, maka BPJS akan dapat mengarahkan sebaran fasilitas kesehatan yang akan bekerja sama dengan mereka secara lebih baik. Hal ini tidak dapat dilakukan dengan hanya mengetahui alamat dari fasilitas kesehatan dalam sebuah tabel, diperlukan sebuah peta yang dapat memberikan informasi secara kewilayahan sehingga dapat memberikan informasi yang lebih mudah dipahami. Peneliti memiliki kompetensi dalam hal sistem informasi dan lebih mendalami pada bidang kesehatan masyarakat. Perkembangan sistem informasi geografis tidak terlepas dari mudahnya akses terhadap setiap orang terhadap peta maupun citra satelit terutama yang dimotori oleh google dan bing. Peneliti dalam melakukan penelitian ini akan memanfaatkan aplikasi berlisensi publik yang memanfaatkan akses terhadap peta bing yang disediakan micrososft.

KETERSEDIAAN FASILITAS KESEHATAN

Akses terhadap fasilitas kesehatan merupakan permasalahan komplek yang meliputi berbagai aspek yaitu akses finansial (financial accessibility), ketersediaan (availability) berbagai jenis fasilitas kesehatan sesuai kebutuhan pasien, akses secara geografis (geographical accessibility) dan akseptabilitas (acceptability) pasien terhadap fasilitas kesehatan (Peter et al., 2008). dalam penelitian tersebut mencatat bahwa pada negara-negara dengan income rendah

(6)

3 dan menengah masyarakat miskin selalu mengalami kerugian pada setiap aspek. Indonesia berusaha memberikan akses terhadap pelayanan kesehatan dengan menetapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) khususnya dalam akses finansial.

Ketersediaan fasilitas kesehatan merupakan hal penting dalam rangka peningkatan dan menjaga kesehatan pada masyarakat. Ketersediaan fasilitas kesehatan khususnya yang dapat diakses oleh masyarakat akan mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Dalam hal ketersediaan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) berusaha memberikan fasilitas kesehatan yang mencukupi dengan terus mengembangkan kerja sama dengan pihak swasta dalam melayani peserta JKN.

Ketersediaan fasilitas kesehatan memiliki efek secara langsung dalam keberhasilan program-program kesehatan. Blandford et al., (2012) dalam penelitiannya menemukan area kritis dalam hal ketersediaan fasilitas kesehatan di Nigeria. Akses terhadap pelayanan kesehatan berdampak pada program vaksinasi bagi anak-anak, dimana anak – anak yang tinggal pada wilayah yang berada pada cakupan 1 Jam dari fasilitas kesehatan memiliki peluang divaksinasi secara lengkap pada umur 1 tahun 1,8 kali lebih besar daripada anak-anak yang tinggal diluar wilayah tersebut.

(7)

4 Ketersediaan fasilitas kesehatan akan sangat berpengaruh terhadap derajat kesehatan khususnya pada kondisi-kondisi kegawat-daruratan. Ketersediaan fasilitas kesehatan menjadi kunci penting dalam hal penanganan penyebaran penyakit menular, bencana alam maupun kegawat-daruratan lain. Leveratt (2006) menyebutkan angka kematian bagi penduduk dipedalaman Australia dua kali dari penduduk perkotaan disebabkan cedera, tiga kali akibat kecelakaan lalu-lintas dan dua kali karena jatuh di usia tua, hal ini diantaranya disebabkan jarak yang harus mereka tempuh untuk menuju fasilitas kesehatan sangat jauh yang berujung pada biaya yang harus mereka keluarkan juga lebih besar selain itu biaya pelayanan dipedalaman tercatat lebih besar dari diperkotaan. Hal ini diperparah dengan ketidak-tersediaan dokter (General Practitioner), dari data yang diperoleh dari Australian Medical Association (AMA) pada tahun 2002 menyebutkan dari 21,000 hanya 22,4% (4,700) yang melakukan praktek kedokterannya pada wilayah pedesaan/pedalaman. Keadaan ini menyebabkan penolakan untuk dirawat di rumah sakit oleh mereka yang tinggal pada kawasan terpencil.

Gambar 1. Penolakan rawat inap berdasarkan wilayah tahun 2001/2002

(8)

5 DISTRIBUSI FKTP

Peran Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) bagi merupakan ujung tombak bagi pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bagi usaha peningkatan derajat kesehatan, peran FKTP menjadi penting kerena FKTP relative lebih murah dan apabila terdistribusikan dengan baik maka akan dapat mencegah penyebaran penyakit pada level yang lebih luas.

Keberhasilan program JKN sedikit banyak dipengaruhi oleh ketersediaan pelayanan kesehatan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Ketersediaan FKTP dalam jarak yang dekat dari pemukiman/rumah peserta atau calon peserta akan meningkatkan minat masyarakat dalam mengikuti JKN, terlepas dari peraturan pemerintah yang mewajibkan seluruh masyarakat menjadi peserta JKN.

Distribusi FKTP merupakan kata kunci dalam mendekatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, berbagai metode tersedia untuk mendistribusikan fasilitas kesehatan, rasio penduduk-fasilitas kesehatan per batas administrasi merupakan salah satu metode yang dapat digunakan. Metode ini apabila diaplikasikan dengan pemetaan akan dapat memberikan gambaran ketersediaan/kebutuhan fasilitas kesehatan dalam suatu wilayah.

Pemetaan dengan menggunakan provider-to-population ratios dapat memberikan gambaran yang dapat dengan mudah dipahami mengenai ketersediaan fasilitas kesehatan apabila dilihat berdasarkan jumlah penduduk pada suatu batas administrasi tertentu (Guagliardo, 2004). Pada gambar 2 dapat dilihat wilayah – wilayah yang sangat membutuhkan ketersediaan provider dan wilayah yang telah memiliki provider yang mencukupi.

Informasi yang diberikan oleh peta pada gambar 2 dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengoptimalan alolkasi/re-alokasi sumber daya, penetapan prioritas khususnya dalam menambah/mendistribusikan sumber daya dan menentukan intervensi pada area yang paling membutuhkan. Selain hal tadi peta/gambar 2 dapat menjadi alat bantu dalam mendeteksi dini

(9)

6 permasalahan yang ada, misalkan pada gambar 2 dapat dilihat terdapat dengan intensitas merah pada wilayah yang mayoritas berwarna hijau, atau bisa diartikan bahwa terdapat wilayah yang kekurangan fasilitas kesehatan pada wilayah yang mayoritas telah tercukupi jumlah fasilitas kesehatannya.

Gambar 2. Provider-to-population ratios overlaid by cencus tract border

Boulos (2004) dalam penelitiannya menggambarkan secara jelas distribusi dokter gigi yang bekerja sama dengan jaminan kesehatan yang ada di Ingris per 1000 penduduk pada setiap wilayah kerja jaminan kesehatan tersebut.

Pada gambar 3 dapat dilihat bahwa rasio provider-to-population dapat digambarkan dengan jelas per batas administrasi tertentu yang diinginkan oleh peneliti. Permasalahan juga dapat dideteksi dengan mudah, seperti yang ditegaskan pada gambar 3 dimana suatu wilayah (South Cambridgeshire City) memiliki jumlah dokter gigi yang sangat sedikit (0,16) sedangkan pada wilayah yang berdampingan (Cambridge City dan Royston, Buntingford dan Bishop’s Stortford) sama-sama memiliki jumlah dokter gigi yang memadai (0,61). Dari data ini dapat

(10)

7 dilihat telah terjadi “sesuatu” pada South Cambridgeshire City sehingga memiliki dokter gigi yang tidak memadai.

Gambar 3. “Traffic light” map of dentist distribution per 1,000 people by PCT in four classes

Informasi mengenai “permasalahan” yang terlihat dari peta diatas dapat menjadi pertimbangan untuk mengalokasikan dokter gigi pada wilayah tersebut dan juga sebaliknya membatasi kerjasama pada wilayah-wilayah yang sudah memiliki jumlah dokter gigi yang cukup, dalam peta diatas diwakili oleh warna hijau. Atau apabila memungkinkan dapat mere- alokasikan dokter gigi yang ada pada daerah “hijau” ke daerah “merah”.

(11)

8 Pada penelitian ini pemanfaatan peta “traffic light” juga dapat digunakan untuk membuat analisis kebutuhan FKTP per desa dengan cara memetakan ketersediaan FKTP pada sebuah desa sehingga dapat terlihat desa dengan kebutuhan yang tinggi dan desa yang sudah terpenuhi kebutuhan akan FKTP. Informasi ini akan menjadi informasi yang sangat penting bagi BPJS selaku badan penyelenggara JKN agar dapat mendistribusikan FKTP yang bekerjasama secara merata sehingga para peserta JKN dapat memperoleh akses terhadap fasilitas kesehatan yang adil dimanapun mereka tinggal. BPJS dapat memutuskan untuk tidak mengadakan kerjasama baru pada wilayah yang sudah “memenuhi quota” dan menyarankan FKTP untuk dapat berlokasi pada desa-desa yang masih membutuhkan.

Selain menggunakan peta tematik atau “traffic light” distribusi juga dapat dilakukan dengan memetakan lokasi tempat praktek FKTP yang ada, hal ini akan dapat melihat bagaimana distribusi didalam sebuah desa, khususnya bagi desa dengan luas wilayah yang luas.

Distribusi dalam wilayah juga diperlukan untuk meminimalisir lokasi praktik yang terlalu berdekatan dan lebih mendistribusikan pada wilayah-wilayah yang lebih tepat.

Service Availability Mapping (SAM) merupakan perangkat yang dikembangkan oleh World Health Organization (WHO) untuk mengumpulkan dan menampilkan informasi mendasar tentang pelayanan kesehatan. Uganda merupakan salah satu negara yang menggunakan SAM yang menghasilkan data dasar yang akan digunakan untuk meningkatkan pelayanan dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS seperti AntiRetroviral Theraphy (ART), Pencegahan penularan ibu-ke-anak (PMTCT), konseling dan HIV test .

Laporan SAM yang dihasilkan oleh Uganda menunjukkan dengan memetakan kepadatan penduduk dan keberadaan fasilitas kesehatan dengan pelayanan ART dapat memberikan gambaran secara jelas mengenai ketidak merataan sebaran fasilitas kesehatan dengan pelayanan ART. Laporan menunjukkan perbaikan distribusi dari data dasar yang

(12)

9 dihasilkan oleh SAM pada awal tahun 2014 dan penambahan fasilitas kesehatan dengan pelayanan ART baik yang diadakan oleh program khusus presiden (segitiga merah) maupun penambahan fasilitas dari alokasi dana departemen kesehatan (segitiga biru). Penambahan fasilitas dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kepadatan penduduk yang diseluruh wilayah Uganda, sehingga pada akhir tahun 2004 fasilitas telah dirasa terdistribusi dengan baik khususnya pada wilayah-wilayah padat penduduk.

Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis dalam pemetaan dengan menggunakan beberapa data (data penduduk dan ketersediaan fasilitas kesehatan) dapat memberikan informasi yang jelas dan mudah dipahami sehingga pengambilan keputusan dapat dilakukan secara tepat. Tanpa informasi yang benar, pengembangan intervensi dapat menjadi salah sasaran misalkan mendistribusikan fasilitas kesehatan secara merata diseluruh wilayah tanpa mempertimbangkan kebutuhan (demand) dalam hal ini kepadatan penduduk.

(13)

10

Gambar 3. Distribusi fasilitas kesehatan dengan pelayanan ART di Uganda

CAKUPAN PELAYANAN FKTP

Selain melihat keberadaan FKTP, hal yang perlu diperhatikan dalam mendistribusikan FKTP adalah cakupan pelayanan FKTP tersebut. Peta cakupan pelayanan dari masing – masing FKTP akan dapat membantu BPJS dalam mendistribusikan FKTP secara lebih baik dan terarah.

Setiap jenis FKTP memiliki cakupan yang berbeda misalkan, cakupan dokter praktik mandiri akan berbeda dengan cakupan klinik maupun Puskesmas.

Ada berbagai metode dalam memetakan cakupan pelayana kesehatan antara lain, dengan memperhitungkan jarak tempuh dengan memperhitungkan jaringan jalan raya, waktu tempuh ke fasilitas kesehatan maupun dengan menggunakan Euclidean buffer. Metode ketiga dengan menggunakan Euclidean buffer merupakan metode paling mudah meskipun cakupan

(14)

11 yang dihasilkan masih sangat kasar, karena cakupan hanya akan dihitung berdasarkan garis lurus/diameter pada sebuah lingkaran yang diasumsikan sebagai cakupan pelayanan.

Mengingat data yang tersedia maka Euclidean buffer merupakan metode paling rasional saat ini, kecuali diperlukan penelitian yang dapat menghasilkan informasi mengenai kecepatan per ruas jalan dan informasi lain yang dibutuhkan.

Ismaila (2013) dalam penelitiannya menganalisa ketersediaan fasilitas kesehatan dengan menggambarkan cakupan pelayanan fasilitas kesehatan sejauh radius 1 Km. Hasil dari pemetaan menunjukkan beberapa area pada wilayah penelitian tidak berada pada cakupan pelayanan kesehatan, hal ini menunjukkan ketidak-merataan pendistribusian fasilitas kesehatan sehingga ada beberapa fasilitas kesehatan yang cakupannya mengalami overlapping sedangkan pada wilayah tertentu terdapat wilayah yang tidak berada dalam cakupan pelayanan.

Seperti yang dapat dilihat pada gambar 5, keberadaan fasilitas kesehatan terkonsentrasi pada dua wilayah dimana kedua wilayah itu memiliki cakupan yang saling tumpang-tindih.

Sedangkan pada wilayah lainnya meskipun memiliki jalur jalan utama tidak memiliki fasilitas kesehatan yang mencukupi. Seperti pada umumnya keberadaan fasilitas kesehatan cenderung berada pada wilyah pusat kota/komunitas, sebagaimana terlihat pada gambar diatas pada dua wilayah dengan cakupan yang saling tumpang-tindih tampaknya berada pada wilayah perkotaan, hal ini terlihat dari jaringan jalan yang lebih pada pada kedua wilayah tersebut dibandingkan dengan wilayah lainnya, apalagi yang berada diseberang sungai.

(15)

12

Gambar 5. Cakupan pelayanan kesehatan di Yola, Nigeria menggunakan Euclidean Buffer Analysis

Analisis serupa dapat digunakan untuk memetakan cakupan FKTP yang telah ada/bekerjasama dengan BPJS selaku penyelenggara JKN dan menggunakannya sebagai salah satu pertimbangan dalam menerima/menolak permohonan kerjasama baru dari calon FKTP.

Diharapkan dengan memetakan cakupan pelayanan BPJS akan dapat memiliki gambaran yang lebih detail mengenai wilayah yang masih membutuhkan pelayanan kesehtan maupun wilayah yang sudah tidak membutuhkan lagi.

(16)

13 Pengukuran area cakupan pelayanan kesehatan khususnya pada wilayah perkotaan dilakukan oleh Masoodi (2015) yang mencoba menggunakan beberapa metode salah satunya menggunakan Euclidean buffer yang dipetakan dalam beberapa ukuran radius cakupan. Hasil penelitian menggambarakan variasi cakupan pelayanan, hal ini penting bagi pengambil keputusan untuk dapat melihat beberapa scenario yang tersedia sehingga dapat mengambil kebijakan berdasarkan berbagai pertimbangan.

Gambar 6. Cakupan pelayanan kesehatan dengan menggunakan beberapa radius pelayanan

Menggunakan metode seperti diatas, BPJS dapat memperoleh informasi yang dapat digunakan untuk membuat beberapa alternative scenario pendistribusian FKTP khususnya dengan pertimbangan kepadatan penduduk dan luas wilayah. Misalkan pada wilayah dengan

(17)

14 kepadatan penduduk yang rendah BPJS dapat mempertimbangkan distribusi FKTP menggunakan buffer dengan radius yang lebih luas dari radius yang digunakan untuk wilayah dengan kepadatan penduduk yang tinggi.

Penggunaan buffer berlapis seperti gambar 6 akan memberikan informasi mengenai wilayah yang tidak tercakup dalam berbagai luas buffer, hal ini berarti wilayah tersebut termasuk dalam kategori yang paling membutuhkan fasilitas kesehatan disbanding daerah – daerah lainnya. Wilayah-wilayan ini merupakan wilayah dengan prioritas tinggi sehingga BPJS dapat mengatur strategi untuk memperioritaskan pengalokasian fasilitas kesehatan pada wilayah ini.

(18)

15 DAFTAR PUSTAKA

Guagliardo MF (2004) Spatial accessibility of primary care: concepts, methods and challenges. International Journal of Health Geographics 2004, 3:3

Boulos MNK, Phillipps GP (2004) Is NHS dentistry in crisis? 'Traffic light' maps of dentists distribution in England and Wales. International Journal of Health Geographics 2004, 3:10

World Health Organization (2006) Service Availability Mapping (SAM). Geneva: WHO Document Production Services.

Ismaila AB, Usul N (2013) A GIS-based Spatial Analysis of Health care Facilities in Yola, Nigeria. [Presented at] GEOProcessing 2013 : The Fifth International Conference on Advanced Geographic Information Systems, Applications, and Services.

Masoodi M, Rahimzadeh M (2015) Measuring access to urban health services using Geographical Information System (GIS): a case study of health service management in Bandar Abbas, Iran. International Journal of Health Policy and Management 2015, 4(x): 1-7

Peter DH, Garg A, Bloom G, Walker DG, Brieger WR, Rahman MH (2012) Poverty and access to health care in developing countries. Ann N Y Acad Sci 2008 1136:161 –171

Blandford JI, Kumar S, Luo W, MacEachren AM (2012) It’s a long, long walk:

accessibility to hospitals, maternity and integrated health centers in Niger. International Journal of Health Geographics 2012, 11:24

Leveratt M (2006) Rural and Remote Australia - Equity of access to health care services. The Australian Health Consumer 2006, 2. [internet] www.chf.org.au/pdfs/ahc/ahc- 2006-2-access-health-care-services.pdf

Gambar

Gambar 1. Penolakan rawat inap berdasarkan wilayah tahun 2001/2002
Gambar 2. Provider-to-population ratios overlaid by cencus tract border
Gambar 3. “Traffic light” map of dentist distribution per 1,000 people by PCT in four classes
Gambar 3. Distribusi fasilitas kesehatan dengan pelayanan ART di Uganda
+3

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan air pada proses penggilingan kedelai menjadi bubur kedelai sebagai bahan baku tahu dapat mempercepat proses penghancuran kedelai dan juga mempercepat aliran bubur

MG811 dapat ditelemetrikan melalui jaringan Wifi yang dapat diakses menggunakan pemrograman komputer dan dapat menampilkan secara real-time data konsentrasi gas CO 2 dan

Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penyebaraan nilai-nilai kebudayaan Korea Selatan seperti bahasa, makanan, baju tradisional, rumah tradisional, kertas

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menghasilkan alat pemanggang kemplang kontinyu dengan infrared burner berbahan bakar LPG, mempermudah proses pemanggangan kemplang

Sama halnya dengan buku teks pegangan siswa pada matapelajaran lain, di dalam buku teks pegangan siswa matapelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan Kurikulum 2013, terdiri

Jenis sampah yang terakhir yaitu jenis sampah yang beracun dan berbahaya, pada dasarnya sampah yang termasuk jenis kategori sampah beracun dan berbahaya sangat jarang dijumpai

Eishert (1990) mengelompokkan empat kategori limbah yang dapat mencemari wilayah pesisir, yaitu: pencemaran limbah industri, limbah sampah domestik (swage pollutin)

(2) Tanda pangkat harian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, untuk Camat terbuat dari bahan dasar kain warna khaki dengan lambang Kementerian Dalam Negeri