• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN ANTARA SUNDA DAN PORTUGIS TAHUN 1522

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERJANJIAN ANTARA SUNDA DAN PORTUGIS TAHUN 1522"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN ANTARA SUNDA DAN PORTUGIS TAHUN 1522

Makalah Non Seminar diajukan untuk melengkapi persyaratan mencapai gelar

Sarjana Humaniora

Oleh

ALFAHRI SANDI HILALLIATI

NPM 1006776681

Program Studi Prancis

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA

(2)
(3)
(4)

Abstrak

Perjanjian Sunda dan Portugis pada tahun 1522 adalah perjanjian mengenai pembangunan benteng oleh Portugis di daerah Sunda Kelapa yang ditandai dengan pembangunan padrão. Penelitian ini membahas pendapat Claude Guillot dan Heuken tentang perjanjian antara Sunda dan Portugis pada tahun 1522 Perbedaan pendapat kedua ahli sejarah ini terletak pada siapa yang melakukan perjanjian, tempat perjanjian, dan tempat pendirian padrão. Guillot pada tahun 1991 menyatakan bahwa yang melakukan perjanjian dengan Portugis adalah Banten, tempat perjanjian tersebut juga di Banten, dan padrão didirikan di muara sungai Cisadane. Sedangkan Heuken pada tahun 2002 menyatakan bahwa yang melakukan perjanjian dengan Portugis adalah Kerajaan Padjajaran, tempat perjanjian adalah Sunda Kelapa, dan padrão didirikan di muara sungai Ciliwung. Perbedaan pendapat ini akan dibahas dengan melihat beberapa sumber lain yang juga membahas mengenai perjanjian tersebut.

The Agreement Between Sunda and Portuguese in 1522 Abstract

The agreement between Sunda and Portuguese is about the construction planning of a portuguese fort near Sunda Kelapa which symbolized by a padrão . This research explain the opinion of Claude Guillot and Heuken about the agreement between Sunda and Portuguese in 1522,The different of their opinion are about who was doing the agreement, the place of agreement, and where the padrão was built. Guillot in 1991 said that the one who did the agreement with Portuguese is Banten, where the agreement is also in Banten, and the padrão was built at the mouth of Cisadane river. While Heuken in 2002 said that the one who did the agreement with Portuguese is Padjajaran, the agreement took place in Sunda Kelapa, and the padrão was built at the mouth of Ciliwung river. Differences of these opinions will be discussed by looking at some other sources that also discuss about the agreement.

Key words : Banten; Padjajaran Kingdom; padrão; Portuguese; Sunda Kelapa

Sunda Kelapa pada abad ke-16

Pada abad ke 16, Portugis merupakan bangsa yang besar. Negara Portugal terkenal dengan tradisi maritimnya. Hal ini didukung oleh letak Portugal yang berada diantara dua lautan, yaitu laut Mediterania dan laut Atlantik. Karena hal inilah orang-orang Portugis mulai melakukan penjelajahan untuk mencari belahan dunia baru. Kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan juga menjadi salah satu faktor diadakannya penjelajahan tersebut. Pada awal abad ke-16, penjelajahan Portugis mencapai wilayah Asia Tenggara, diawali dengan penaklukan Malaka oleh Alfonso d’Alberquerque pada tahun 1511. Sejak penaklukan tersebut, Portugis terus berusaha menambah wilayah kekuasaannya di Asia Tenggara, salah satunya adalah wilayah Sunda Kelapa.

(5)

Jejak Portugis di Sunda Kelapa dapat dilihat dari arsip-arsip dan peninggalan Portugis. Arsip-arsip dan peninggalan ini kemudian diintrepretasikan oleh beberapa ahli sejarah dan kemudian menimbulkan beberapa perbedaan pendapat mengenai keberadaan Portugis di Sunda Kelapa pada abad ke 16.

Ongkodharma dalam makalahnya yang berjudul Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kesultanan Banten (1995: 71) mengatakan bahwa Sunda kelapa merupakan sebuah pelabuhan utama milik Kerajaan Padjajaran. Sebenarnya Sunda Kelapa bukanlah satu-satunya pelabuhan utama yang dimiliki oleh Padjajaran, masih ada pelabuhan Banten yang juga pelabuhan utama Kerajaan Padjajaran. Namun karena letak pelabuhan Sunda Kelapa yang lebih dekat dengan Pakuan, ibu kota Padjajaran, maka Sunda Kelapa dijadikan sebagai pelabuhan inti. Kerajaan Padjajaran sendiri sebenarnya lebih mengandalkan kehidupannya pada hasil pertanian, namun untuk meningkatkan devisa dari sektor perdagangan, kerajaan ini membangun beberapa pelabuhan untuk menyalurkan hasil produksinya ke berbagai daerah.

Pelabuhan Sunda Kelapa dan Banten sangat berpotensi secara geografis karena berada di pesisir utara pulau Jawa. Selain Sunda Kelapa dan Banten, Kerajaan Padjajaran juga memiliki empat pelabuhan lain yaitu, Pontang, Cigede, Tamgara, dan Cimanuk. Melalui pelabuhan-pelabuhan tersebut, berbagai hasil sumber daya dari Kerajaan Padjajaran disalurkan ke penjuru dunia (Ongkodharma, 1995 : 71).

Pelabuhan Sunda Kelapa memiliki peranan yang sangat penting pada masa Kerajaan Padjajaran. Selain menyalurkan hasil produksi Kerajaan Padjajaran, Sunda Kelapa juga dijadikan sebagai tempat persinggahan, tempat memuat perbekalan untuk pelayaran, tempat dikumpulkannya komoditi dari daerah-daerah lain di Nusantara, dan sebagai tempat untuk membeli komoditi-komoditi yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari wilayah Asia seperti pedagang dari Gujarat, Malabar, Koromandel, dan Bengal. Para pedagang ini sejak awal sudah tertarik kepada wilayah Nusantara. Mereka menggunakan kapal dan modal sendiri. Meskipun komoditi di Sunda Kelapa tidak terlalu beragam, para pedagang ini tetap datang ke pelabuhan Sunda Kelapa untuk menunggu berputarnya angin demi meneruskan perlayaran. Hal inilah yang membuat Sunda Kelapa berkembang menjadi pelabuhan transito (Rahardjo, dkk, 1996 : 40).

(6)

Sebenarnya data-data mengenai kegiatan perdagangan di Sunda Kelapa baru banyak diketahui dari abad 16. Namun berdasarkan berita-berita Cina dapat dikatakan bahwa pelabuhan Sunda Kelapa sudah ada sejak berabad-abad sebelumnya. Pelabuhan-pelabuhan di Jawa Barat sudah berkembang lebih dulu sebelum Malaka. Hal ini disebabkan banyaknya pelayaran dari Asia Barat melalui Selat Sunda. Wilayah di sekitar Selat Sunda banyak menghasilkan lada yang merupakan komoditi yang sangat diminati (Rahardjo, dkk, 1996 : 41). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Meil ink-Roeloftsz dalam bukunya yag berjudul Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago Between 1500 and About 1630 (1976: 82) yang mengatakan bahwa kemakmuran pelabuhan-pelabuhan di Jawa Barat mungkin disebabkan oleh pedagang Asia Barat dan Cina yang berkunjung ke sana untuk mengambil lada. Menurut Tome Pires Sunda Kelapa menanam lada di sekitarnya karena permintaan lada yang meningkat. Setiap tahun Sunda Kelapa mampu menghasilkan sekitar 1000 bahar lada. Selain itu Sunda Kelapa juga medapatkan lada dari Sumatra Selatan.

Pelabuhan Sunda Kelapa juga merupakan sebuah pelabuhan yang diatur dengan sangat baik (Meilink, 1976 : 113). Selain lada, Sunda Kelapa juga mendatangkan budak-budak yang berasal dari Maladewa. Budak-budak ini kemudian diperdagangkan kembali. Selanjutnya Sunda Kelapa juga menghasilkan kain tenun kasar yang banyak diekspor ke Malaka. Kain tenun ini berasal dari Keling dan Gujarat. Selain itu di Sunda Kelapa juga terdapat komoditi lain seperti Areka, air mawar, akar wangi, dan biji-bijian dari Cambay dan Kashmir (Meilink, 1976 : 83).

Sunda Kelapa sejak dulu sudah mengenal negeri-negeri jauh dan barang-barang mewah. Selain dengan negeri-negeri jauh, Sunda Kelapa juga melakukan perdagangan dengan wilayah-wilayah di Nusantara seperti Tanjung Pura dan Lawe, Jawa, dan Malaka (Rahardjo, dkk, 1996: 43).

Berdasarkan bukti-bukti ini dapat dikatakan bahwa pada masa itu Sunda Kelapa merupakan sebuah pelabuhan yang memiliki potensi yang sangat tinggi. Melihat potensi tersebut, tidak mengherankan jika bangsa asing seperti Portugis saat itu sangat menaruh minat kepada Sunda Kelapa.

(7)

Kedatangan bangsa Portugis ke Sunda Kelapa diawali dengan melemahnya Kerajaan Padjajaran pada awal abad ke-16. Keadaan ini dilihat sebagai sebuah peluang bagi Kerajaan Demak untuk mengislamkan serta menaklukkan kerajaan ini. Menyadari kerajaannya yang semakin melemah dan adanya ancaman dari Kerajaan Demak, Kerajaan Padjajaran meminta bantuan pada Portugis yang berada di Malaka pada tahun 1521. Portugis menanggapi permintaan ini dengan baik. Pada tahun 1522, pihak Portugis mengirim utusannya, Henrique Lemé1, ke Sunda Kelapa. Kedatangan Henrique Lemé bertujuan untuk mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Padjajaran. Dalam perjanjian tersebut Portugis diberikan hak untuk membangun benteng di Sunda Kelapa dan mendapatkan 1000 karung lada setiap tahun terhitung sejak dimulainya pembangunan benteng tersebut. Sebelum meninggalkan Sunda Kelapa, Henrique Lemé mendirikan sebuah padrão di tempat yang dijanjikan untuk membangun benteng.

Setelah perjanjian tersebut, Henrique Lemé kembali ke Malaka untuk melaporkan perjanjian ini kepada Jorge de Albuquerque2 yang saat itu meminpin Malaka. Jorge de Albuquerque kemudian meneruskan laporan tersebut pada Dom João III yang saat itu memerintah Portugis. Dom João III kemudian mengutus Francisco de Sá3 untuk melaksanakan perjanjian tersebut. Francisco de Sá berangkat ke Sunda Kelapa bersama armada Vasco da Gama. Saat itu Vasco da Gama adalah wakil raja yang baru di India. Karena Vasco da Gama wafat, Francisco de Sá diberikan tugas lain dan menetap sementara di India. Setelah menyelesaikan tugasnya, Francisco de Sá kembali melanjutkan perjalanannya ke Sunda Kelapa.

Saat armada Francisco de Sá tiba di Malaka, Portugis sedang menyiapkan serangan ke pulau Bintan. Armada Francisco de Sá ikut bergabung dalam serangan ini. Setelah selesai, Francisco de Sá melanjutkan kembali perjalanannya ke Sunda Kelapa. Namun ditengah perjalanan armada Francisco de Sá terserang badai sehingga armadanya terpecah. Salah satu anggota armada Francisco de Sá, Duarte Coelho4, berhasil mencapai Sunda Kelapa lebih dulu.

1 Henrique Lemé adalah seorang kapten kapal Portugis yang memimpin pelayaran ke Sunda Kelapa pada tahun 1522

(Heuken 2002: 72).

2

Jorge de Albuquerque adalah seorang kapten atau komandan benteng Portugis di Malaka ( 1514-1516 dan 1521-1525 ). Dia adalah sepupu dari Afonso de Albuquerque yang berhasil menaklukkan Malaka pada tahun 1511 (Heuken, 2002: 79)

3 Francisco de Sá adalah bangsawan yang diutus oleh DomJoão III untuk melaksanakan pembangunan benteng di

Sunda Kelapa. Namun karena reputasinya yang buruk saat berada di Bintan, tentara Islam yang saat itu sudah menguasai Sunda Kelapa melarang Francisco de Sá untuk mendarat di Sunda Kelapa (Heuken, 2002: 148).

4 Duarte Coelho adalah seorang petualang Portugis terkenal di Asia (1509-1529) dan Brazil (1503; 1535-1554)

(8)

Namun saat mereka sampai, ternyata Sunda Kelapa sudah jatuh ke tangan Kerajaan Demak. Kapal Doarto Coelho diserang oleh tentara Islam yang menduduki Sunda Kelapa. Saat Francisco de Sá tiba di Sunda Kelapa, kedudukan Kerajaan Demak sudah sangat kuat sehingga mampu untuk menggagalkan rencana Portugis membangun benteng di Sunda Kelapa. Karena gagal melaksanakan perjanjian, Francisco de Sá kembali ke Malaka. Sebelum kembali ke Malaka Francisco de Sá mendirikan sebuah padrão di sebelah barat Pelabuhan Sunda Kelapa (Djajadiningrat, 1983 : 79 – 81).

Pendapat Guiilot dan Heuken

Keberadaan Portugis di Sunda Kelapa menuai beberapa perbedaan pendapat sejarawan. Perbedaan pendapat ini disebabkan oleh perbedaan interpretasi sumber-sumber sejarah. Dua ahli sejarah yang memiliki perbedaan pendapat tersebut adalah Jean Claude Guillot dan Adolf Heuken. Jean Claude Guillot adalah seorang ahli sejarah Banten sedangkan Adolf Heuken adalah seorang ahli Jakarta. Pendapat mereka bersinggungan pada bahasan mengenai perjanjian antara Sunda dan Portugis tahun 1522.

Pendapat Guiilot

Jean Claude Guillot adalah seorang peneliti asal Prancis. Beliau pernah menjadi dosen bahasa Prancis di berbagai Universitas di Mesir, Tanzania, dan Indonesia. Pada tahun 1981, Guillot membuat disertasi yang membahas perjuangan Kiai Sadrach dan masyarakat Kristen pertama di Desa Karangjoso (Saefullah, 2009). Claude Guillot banyak menulis buku mengenai Banten seperti The Sultanate of Banten, Banten Sebelum Zaman Islam: Kajian Arkeologi di Banten Girang 932 -1526, dan Banten : Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII.

Dalam bukunya yang berjudul Banten : Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII (2008 : 31) Guillot mengatakan bahwa pengetahuan mengenai perjanjian antara Portugis dan Sunda Kelapa sebagian besar berasal dari catatan dua penulis kronik asal Portugis, João de Barros5 dan Diogo do Coutu6. Peristiwa penting dalam tulisan kedua orang ini diakui oleh umum karena membantu dalam memahami dan menanggali dengan tepat perebutan kekuasaan daerah Sunda Kelapa oleh

5

João de Barros adalah salah satu sejarawan besar Portugis. Dia banyak membuat laporan mengenai Portugis di Asia (Heuken, 2002: 106).

6

Diogo do Coutu adalah seorang sejarawan Portugis yang melanjutkan pekerjaan Barros, membuat laporan mengenai Portugis di Asia (Heuken, 2002: 107)

(9)

orang-orang Muslim. Namun Guillot mencoba untuk memperlihatkan bahwa “perjanjian” tersebut perlu dibahas kembali dan dokumen-dokumen yang baru ditemukan atau yang sudah lama diketahui, yang semasa dengan peristiwa tersebut, jelas menunjukkan kekeliruan penafsiran tersebut.

Dalam penafsiran catatan João de Barros dan Diogo do Coutu, para ahli sejarah sepakat untuk menganggap bahwa Kerajaan Sunda yang disebut dalam kedua catatan tersebut adalah Padjajaran dan pelabuhan Sunda yang disebutkan dua kali oleh Barros adalah Kelapa-Jakarta. Intinya semua kejadian yang disebutkan dalam kedua catatan itu terjadi dalam wilayah Pakuan dan Kelapa. Henrique Lemé dianggap melakukan perundingan dengan para penguasa Pakuan kemudian mendirikan padrão di Kelapa. Dan di Kelapa pula para pelaut kapal Doarto Coelho dibunuh. Disana pula Francisco de Sá mencoba membangun benteng yang telah dijanjikan, tetapi hal tersebut gagal dilaksanakan (Guillot, 2008: 34).

Menurut Guillot, kedua catatan tersebut satu dengan yang lainnya tidak sesuai. Barros dan Couto tidak mengenal pulau Jawa, sehingga mereka kesulitan menafsirkan nama-nama tempat yang memang sangat tidak jelas bagi orang yang tidak mengenal situasi di bagian barat pulau Jawa (Guillot, 2008 : 35). Untuk memahami dengan jelas kekaburan nama-nama tempat tersebut, Guillot menggunakan teks yang sezaman dengan peristiwa tersebut, seperti teks surat Bras Bayão tahun 1540, pedoman pelayaran tahun 1528, surat Francisco de Sá tanggal 10 September 1527, dan lain sebagainya. Dari teks-teks tersebut Guillot menarik beberapa kesimpulan diantaranya :

Padrão yang didirikan oleh Henrique Lemé bukan berada di Jakarta.

Menurut Guillot “Pelabuhan Sunda yang disebutkan dalam perjanjian tahun

1522 bukanlah daerah Kelapa, tetapi disamakan dengan pelabuhan Jakarta. Guillot mengambil tiga buah sumber untuk membuktikan pendapatnya ini yaitu peta sekitar tahun 1540, pedoman pelayaran (roteiro) sekitar tahun 1528 dan akta notaris tahun 1527. Pertama peta yang dibuat sekitar tahun 1540 ini adalah peta pertama yang dilengkapi dengan sejumlah nama tempat di pantai utara bagian barat Jawa. Peta ini memuat tiga nama tempat di barat ke timur, yaitu Çumda, aguada do padrã, dan Calupu (Guillot, 2008: 37). Cortesão dalam Suma Oriental mengatakan bahwa Calupu adalah Kelapa, nama kuno Jakarta, dan juga mengatakan bahwa aguada do padrã

(10)

merujuk pada padrão yang didirikan oleh Lemé tahum 1522. Padahal pada peta tersebut daerah Sunda tempat Lemé mengadakan perundingan adalah daerah Banten. Peta ini dengan jelas menunjukkan bahwa tempat ini berada di sebelah barat Pelabuhan Kelapa. Jadi dapat dikatakan bahwa Lemé bukan mendirikan padrão di Kelapa-Jakarta.

Kemudian keterangan selajutnya didapatkan dari buku pedoman pelayaran tahun 1528. Buku ini menyebut dua kali nama pelabuhan Sunda-Banten (Sumdabãta dan Sumdabamta) dan satu kali menyebut Banten (Bamta), lalu menuju kearah timur terdapat sebuah tanjung, di tanjung tersebut terdapat sebuah sungai dan disanalah Francisco de Sá meletakkan sebuah padrão lain pada tanggal 30 Juni 1527. Sungai tersebut disebut sebagai sungai Cigidy, yang sekarang disebut sungai Cisadane. Kemudian disebut lagi bahwa di arah timur dari tempat tersebut terdapat pelabuhan Sumdacalapa. Keterangan berikutnya didapatkan dari akta notaris tahun 1527. Akta tersebut dibuat oleh notaris yang menyertai Francisco de Sá. Dalam akta tersebut dijelaskan bahwa Francisco de Sá mendirikan sebuah padrão di pantai Sunda. Dikatakan bahwa Francisco de Sá turun ke darat diikuti oleh sejumlah besar orang Portugis yang membawa bendera kerajaan, lalu mendirikan sebuah padrão sebagai tanda penguasaan daerah tersebut atas nama raja Portugal, sesuai dengan perjanjian yang dibuat Henrique Lemé dan raja Sunda tahun 1522 (Guillot,2008: 41). Berdasarkan keterangan ini Guillot berkesimpulan bahwa Francisco de Sá mendirikan sebuah padrão di tempat yang sama dengan padrão yang didirikan oleh Lemé, dan tempat itu bukan di Sunda Kelapa.

Hal yang diungkapkan oleh Guillot bertentangan dengan fakta bahwa sebuah padrão ditemukan di Jakarta, tepatnya di Sungai Ciliwung. Menanggapi hal ini Guillot mengatakan bahwa kemungkinan padrão ini dipindahkan ke sana. Menurutnya perpindahan ini bukanlah sesuatu yang aneh apalagi dengan melihat rentang waktu antara pendirian dan penemuan yang sangat jauh, yaitu 400 tahun (Guillot, 2008: 50).

Arti ganda kata “Sunda”.

Nama Sunda sejak dulu digunakan untuk menyebut daerah di bagian barat pulau Jawa. Namun orang-orang Portugis menggunakan kata Sunda (Çumda) untuk menunjukkan daerah dan wilayah tersebut, karena dengan pelabuhan itulah mereka

(11)

mempunyai hubungan yang erat, yaitu Banten. Guillot menduga bahwa kata “Banten” tidak digunakan karena khawatir akan tertukar dengan kata yang hampir sama bunyinya bagi mereka seperti Bintan dan Banda. Pelabuhan Sunda yang disebutkan bukanlah pelabuhan Sunda Kelapa melainkan pelabuhan Banten. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam peta tahun 1540 daerah Sunda lebih merujuk pada daerah Banten.

Yang dimaksud dengan raja Sunda.

Menurut Guillot, “raja Sunda” yang sering disebutkan dalam berbagai teks bukanlah raja Padjajaran, melainkan “penguasa Banten” (Guillot, 2008: 54). Hal ini dapat dikatakan karena semua kejadian tersebut terjadi di Banten. Saat itu “raja Sunda” memang menghendaki kedatangan bangsa Portugis untuk menghalau serangan dari Demak. Pembangunan sebuah benteng di muara sungai Cisadane tidak begitu berarti bagi raja di Pakuan, tetapi benteng ini akan sangat berarti bagi penguasa Banten. Benteng tersebut dapat memperkuat penjagaan batas timur Banten dari serangan Demak.

Padjajaran bukanlah kerajaan dengan sistem terpusat.

Terdapat kesalah pahaman orang Eropa dalam memahami sistem pemerintahan di Jawa. Mereka menganggap bahwa sistem pemerintahan kerajaan di Jawa sama seperti kerajaan di Eropa yaitu sistem kerajaan yang terpusat, padahal kerajaan – kerajaan di Jawa terdiri atas “negeri-negeri” kecil yang memiliki sistem otonomi sendiri namun tetap mengakui kedaulatan kerajaan utama (Guillot, 2008 : 55). Banten merupakan salah satu negeri kecil di bagian wilayah Kerajaan Padjajaran. Melihat kerajaan Padjajaran yang mulai melemah, Banten ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menguatkan internal banten itu sendiri,namun Banten juga khawatir akan kekuatan Demak yang semakin menguat. Oleh karena itu Banten meminta bantuan kepada Portugis di Malaka.

Inti dari pendapat Guillot adalah bahwa perjanjian tahun 1522 bukan terjadi di Sunda Kelapa melainkan di Banten. Yang meminta bantuan kepada Portugis di Malaka bukanlah Kerajaan Padjajaran melainkan Banten. Banten yang melihat Padjajaran mulai melemah ingin memperkuat kekuasaannya sekaligus mempertahankan diri dari serangan Demak yang terletak di timur Banten.

(12)

Pendapat Heuken

Adolf Heuken yang lahir pada 17 Juli 1929 di Coestfield, Jerman, adalah seorang pendeta Katholik yang sudah mengabdikan dirinya di Jakarta selama 50 tahun. Heuken menyelesaikan sekolah menengah di Gymnasium Johann-Conrad-Schule, Münster, NRW, pada 1950. Selanjutnya memasuki seminari untuk persiapan menjadi imam Katolik, kemudian mengabdikan diri di Keuskupan Agung Münster, dan tahun 1963 mulai bekerja di Indonesia. Nama Heuken mulai dikenal masyarakat melalui karyanya yaitu, Kamus Dwibahasa Indonesia-Jerman, Kamus Jerman-Indonesia, Deutsch-Indonesisch Wörterbuch, dan Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Bisa dikatakan bahwa beliau adalah ahli sejarah Jakarta (Ucan, 2013).

Heuken memiliki pendapat yang berbeda dengan Guillot mengenai perjanjian antara Sunda dan Portugis tahun 1522. Dalam bukunya yang berjudul The Earliest Portuguese Sources for the History of Jakarta (2002: 84-90, 122 ) Heuken mengungkapkan sanggahannya atas pendapat Guillot. Pertama mengenai tempat perjanjian tahun 1522. Menurut Heuken tempat perjanjian dan pendirian padrão tersebut bukanlah di Banten Girang dan muara sungai Cisadane. Tidak mungkin Portugis dan penguasa Sunda setelah melakukan perjanjian di Banten Girang pergi ke muara sungai Cisadane yang berjarak 60 km ke timur untuk mendirikan padrão. Lebih masuk akal jika perjanjian tersebut terjadi di Sunda Kelapa kemudian mereka pergi tidak jauh dari sana ke muara sungai Ciliwung untuk mendirikan padrão.

Peta tahun 1540 yang digunakan Guillot untuk mendukung argumennya menurut Heuken tidak tepat. Tempat yang seharusnya berdekatan satu sama lain diletakkan di tempat yang salah. Selain itu peta ini hanya menunjukkan tempat Francisco de Sá menempatkan padrão bukan berarti Lemé juga meletakkan padrão di tempat yang sama.

Heuken juga mengatakan bahwa lebih tepat jika benteng yang dijanjikan tersebut berada di Sunda Kelapa. Benteng tersebut dapat berfungsi sebagai pelindung untuk kota tersebut karena kota tersebut merupakan kota pelabuhan yang sangat penting. Sedangkan jika benteng tersebut dibangun di daerah Kelapa di Banten, maka benteng tersebut kurang berguna karena daerah Kelapa di Banten hanyalah sebuah perkampungan biasa dan tidak penting. Selain itu pendapat Guillot yang menyatakan bahwa Sunda yang disebutkan dalam teks-teks Portugis selalu mengacu pada Banten sangat lemah. Daerah Sunda berarti wilayah di bagian barat Jawa.

(13)

Menurut Heuken, Francisco de Sá memang mendirikan sebuah padrão hanya saja padrão tersebut tidak didirikan di tempat yang sama dengan tempat Lemé mendirikan padrão. Francisco de Sá berniat untuk membangun benteng ditempat yang telah dijanjikan sebelumnya. Namun de Sá dilarang untuk menginjakkan kakinya di Sunda Kelapa. Pasukan Islam saat itu sangat kuat sehingga de Sá tidak mampu menghadapi serangan tersebut. Akhirnya de Sá memilih untuk pergi dan mendirikan padrão di tempat lain. Akta notaris tahun 1527 yang digunakan oleh Guillot untuk memperkuat argumennya menurut Heuken tidak mengatakan bahwa de Sá mendirikan padrão di tempat yang sama dengan Lemé. Namun akta tersebut memang menyatakan bahwa pihak Sunda meminta de Sá memenuhi isi perjanjian dengan membangun sebuah benteng. Untuk itu de Sá mendirikan padrão dan kembali ke Malaka untuk meminta bantuan.

Heuken juga mempertanyakan pendapat Guillot yang mengatakan bahwa ada yang memindahkan padrão yang didirikan Lemé dari sungai Cisadane ke muara sungai Ciliwung, tempat padrão tersebut ditemukan pada awal abad 20. Menurutnya bagaimana mungkin ada yang secara sengaja memindahkan benda seberat itu dan jika memang padrão tersebut dipindahkan apa alasannya. Tidak mungkin benda seperti itu dipindahkan tanpa alasan yang jelas.

Pembahasan Pendapat Guillot dan Heuken

Berdasarkan penjelasan sebelumnya dapat dilihat bahwa Guillot dan Heuken memiliki pendapat yang sangat berbeda satu sama lain. Guillot menyatakan bahwa yang mengadakan perjanjian dengan Portugis adalah Banten dan seluruh kejadian tersebut terjadi di Banten. Sedangkan Heuken menyanggah pendapat Guillot tersebut.

Berdasarkan sumber-sumber yang diambil dari buku-buku mengenai sejarah Sunda Kelapa, kemungkinan besar perjanjian antara Sunda dan Portugis terjadi di daerah Sunda Kelapa. Ongkodharma dalam makalahnya yang berjudul Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kesultanan Banten (1995: 71) mengatakan bahwa hubungan dagang yang terjadi di Sunda Kelapa pada masa kerajaan Sunda agaknya lebih luas daripada bandar-bandar dagang lainnya. Perdagangan di Sunda Kelapa mencapai Palembang, Lawe, Tanjung Pura, Malaka, Makassar, Jawa, dan Madura, sedangkan para saudagar berdatangan dari Malaka, India, Cina, Arab, dan Portugis. Dari pernyataan ini kita dapat melihat bahwa pada masa Kerajaan Sunda, terlepas dari fakta apakah

(14)

Sunda yang dimaksud disini adalah Banten atau Padjajaran, Sunda Kelapa merupakan tempat yang sangat penting sebagai Bandar perdagangan dibandingkan Bandar dagang lainnya di Sunda. Berdasarkan pernyataan tersebut kita dapat menganggap bahwa perjanjian tahun 1522 lebih mungkin terjadi di Sunda Kelapa. Dari pernyataan itu pula kita dapat melihat bahwa ada saudagar dari Malaka dan Portugis yang datang ke Sunda Kelapa. Hal ini menandakan bahwa Portugis sudah mengetahui betapa pentingnya Sunda Kelapa sehingga rasanya lebih mungkin jika Portugis ingin membangun sebuah benteng disana. Ongkodharma juga menyatakan Banten hanyalah Bandar kedua terbesar setelah Sunda Kelapa (1995 : 72). Pernyataan ini memperkuat dugaan bahwa benteng yang akan dibangun oleh Portugis memang berada di Sunda Kelapa.

Kemudian Rahardjo dalam bukunya Sunda Kelapa sebagai Bandar di jalur Sutra ( 1996, 47-48) mengatakan bahwa dalam usaha menghadapi kekuatan kerajaan Islam dari Demak dan Cirebon yang terus menerus berupaya mengembangkan wilayahnya ke arah Kerajaan Sunda, menyebabkan secara politis berusaha untuk membina hubungan baik dengan Portugis yang telah menguasai Malaka sejak 1511. Untuk itu Raja Jayadewata mengirim utusan yang dipimpin oleh Sang Hyang, salah seorang puteranya yang menguasai daerah Sangiang (sekitar Jatinegara sekarang). Sang Hyang berhubungan pertama kali dengan d’Alboquerque untuk meminta bantuan Portugis dalam menghadapi perluasan wilayah Islam. Bahkan sebagai tindak lanjut d’Alboquerque mengirim sebuah kapal dibawah pimpinan Henrique Lemé ke Bandar Sunda Kelapa dengan membawa hadiah untuk Raja Sunda dan surat pernyataan persahabatan. Henrique Lemé diterima dengan gembira dalam suasana persahabatan. Kemudian pada tanggal 21 Agustus 1522 perjanjian tersebut ditandatangani.

Dari pernyataan tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa Rahardjo juga berpendapat bahwa perjanjian antara Sunda dengan Portugis pada tahun 1522 dilaksanakan di Sunda Kelapa. Kerajaan Sunda yang disebutkan oleh Rahardjo kemungkinan besar adalah Kerajaan Padjajaran. Dikatakan bahwa Raja Jayadewata mengutus puteranya Sang Hyang untuk menemui pihak Portugis. Pernyataan ini mempertegas bahwa Kerajaan Padjajaranlah yang mengadakan perjanjian dengan Portugis bukan Banten. Pernyataan yang mengatakan bahwa Sang Hyang adalah seorang penguasa yang berkuasa di daerah Sangiang yang sekarang berada di sekitar Jatinegara juga mempertegas bahwa perjanjian tersebut diadakan di Sunda Kelapa. Letak

(15)

daerah Sangiang yang dekat dengan pelabuhan Sunda Kelapa membuat perjanjian antara Kerajaan Pajajaran dan Portugis lebih tepat dilaksanakan di Sunda Kelapa.

Guillot sendiri juga meyetujui bahwa gelar Sangyang atau Sang Hyang adalah sebuah gelar untuk bangsawan. Guillot juga mengatakan bahwa Sang Hyang yang dimaksud adalah seorang penguasa di daerah Banten (Guillot, 2008 : 54). Dapat dilihat bahwa terdapat sedikit hal yang berbeda antara Guillor dan Rahardjo. Hal itu adalah letak kekuasaan Sang Hyang yang merupakan utusan dari Kerajaan Pajajaran. Rahardjo mengatakan bahwa tempat Sang Hyang berkuasa adalah Sangiang yang sekarang adalah daerah sekitar Jatinegara yang berarti dekat dengan pelabuhan Sunda Kelapa. Sedangkan Guillot mengatakan bahwa Sang Hyang adalah penguasa di daerah Banten. Hal ini membuat Guillot mengatakan bahwa kemungkinan besar perjanjian dengan Portugis diadakan di daerah Banten.

Banyak sumber yang mengatakan jika perjanjian tersebut dilaksanakan di sebuah tempat bernama Calapa. Jika Sang Hyang yang disebutkan berasal dari daerah sekitar Jatinegara maka kemungkinan besar daerah Calapa tersebut adalah pelabuhan Sunda Kelapa. Hal ini sangat mungkin mengingat pelabuhan Sunda Kelapa merupakan sebuah pelabuhan besar dan letaknya juga cukup dekat dengan pusat Kerajaan Padjajaran. Pembangunan benteng yang akan dilakukan oleh pihak Portugis juga akan lebih menguntungkan jika dilakukan di sebuah pelabuhan besar. Namun jika Sang Hyang yang dimaksud merupakan penguasa di daerah Banten, maka kemungkinan daerah Calapa yang dimaksud bukanlah pelabuhan Sunda Kelapa. Nama Calapa atau Kelapa memang banyak digunakan di daerah Jawa bagian Barat. Daerah yang bernama Kelapa juga ada di daerah Banten. Daerah inilah yang dicurigai oleh Guillot sebagai tempat perjanjian Sunda dengan Portugis berlangsung.

Jatuhnya Bandar Sunda Kelapa sebagai pintu keluar bagi Kerajaan Sunda akan lebih memudahkan pula untuk menghancurkan Kerajaan Hindu demi kemajuan dan kebebasan penyebaran agama Islam di Indonesia (Rahardjo, dkk, 1996 : 49). Berdasarkan pernyataan ini terlihat bahwa Bandar Sunda Kelapa sangat penting bagi Kerajaan Padjajaran. Jadi sangatlah wajar jika mereka mengizinkan Portugis untuk membangun sebuah benteng disana. Namun sayang pembangunan benteng tersebut tidak sempat terlaksana karena Bandar Sunda Kelapa diserang oleh tentara muslim yang dipimpin oleh Fatahillah sebelum perjanjian antara Kerajaan Padjajaran dan Portugis terlaksana. Hal ini justru disebabkan oleh perjanjian itu sendiri. Kerajaan

(16)

Sunda dan Portugis tidak menyadari bahwa dengan adanya perjanjian itu mengundang gerakan Islam untuk lebih cepat dan giat berjuang, mendorong orang-orang muslim lebih cepat menduduki wilayah-wilayah strategis Kerajaan Padjajaran sebelum Portugis melaksanakan niatnya (Rahardjo, dkk, 1996 : 48).

Kemudian perbedaan pendapat antara Heuken dan Guillot juga terletak pada penempatan padrão yang dibangun oleh Portugis untuk menandai tempat yang akan dibangun benteng. Guillot mengatakan bahwa padrão tersebut diletakkan di muara sungai Cidigy atau sungai Cisadane (Guillot. 2008 : 43). Sedangkan Heuken berpendapat bahwa padrão tersebut diletakkan di muara sungai Ciliwung dekat dengan pelabuhan Sunda Kelapa (Heuken, 2002 : 84). Padrão ini sendiri ditemukan 400 tahun kemudian pada tahun 1918 di dekat muara sungai Ciliwung.

Guillot menggunakan tiga buah sumber untuk membuktikan pendapatnya. Sumber-sumber tersebut adalah peta sekitar tahun 1540, pedoman pelayaran (roteiro) sekitar tahun 1528, dan akta notaris tahun 1527. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya pada pembahasan mengenai Guillot, menurutnya ketiga sumber ini menyebutkan bahwa tempat perjanjian antara Sunda dan Portugis pada tahun 1522 adalah Banten. Kemudian berdasarkan sumber yang ditulis oleh Barros dan Coeto bahwa sebuah padrão didirikan di tempat yang tidak jauh dari tempat perjanjian untuk memberi tanda tempat akan dibangun sebuah benteng.

Jika kita telusuri maka akar masalah dari perbedaan pendapat mengenai letak padrão yang diletakkan oleh Henrique Lemé pada tahun 1522 adalah kembali pada masalah tempat perjanjian. Tempat perjanjian menurut Guillot adalah Banten dekat muara sungai Cigidy atau yang sekarang bernama sungai Cisadane sehingga padrão tersebut diletakkan di muara sungai Cisadane. Sedangkan menurut Heuken tempat perjanjian tersebut adalah Sunda Kelapa dan padrão tersebut diletakkan di muara sungai Ciliwung.

Hosein Djajadiningrat dalam bukunya Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (1983: 79) mengatakan bahwa Henrique Lemé tiba di pelabuhan Sunda Kelapa dan diterima dengan baik oleh raja yang mempunyai kepentingan untuk bersahabat dengan orang-orang Portugis. Dari pernyataan tersebut kita dapat melihat bahwa Portugis datang ke pelabuhan Sunda Kelapa dan kemungkinan besar perjanjian antara Kerajaan Padjajaran atau yang sering juga disebut Kerajaan Sunda dengan Portugis bertempat tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa. Hosein

(17)

Djajadiningrat (1983: 80) juga mengatakan bahwa sebuah tugu batu dibangun pada muara sungai sebelah kanan di sebuah tempat yang disebut Calapa. Pernyataan ini menyatakan dengan jelas bahwa tugu batu atau padrão tersebut diletakkan di sebuah muara sungai. Masalahnya adalah sungai apakah yang dimaksudkan, sungai Cisadane atau sungai Ciliwung. Namun berdasarkan fakta bahwa padrão tersebut ditemukan pada tahun 1918 di muara sungai Ciliwung maka kemungkinan besar padrão tersebut memang diletakkan di muara sungai Ciliwung dan daerah Calapa atau Kelapa yang dimaksud berada tidak jauh dari pelabuhan Sunda Kelapa bukan di daerah Banten.

Guillot mengatakan bahwa kemungkinan padrão yang didirikan oleh Lemé yang seharusnya berada di sungai Cisadane dipindahkan ke muara sungai Ciliwung sehingga padrão tersebut ditemukan disana. Heuken kemudian mempertanyakan pernyataan tersebut. Tidak mungkin padrão tersebut dipindahkan tanpa alasan. Seandainya benar padrão tersebut dipindahkan, atas dasar apa padrão tersebut dipindahkan. Memang jarak pendirian dan penemuan padrão sangat jauh, 400 tahun, tapi untuk berpindah tempat sejauh itu sangat kecil. Batu padrão tersebut juga tidak mungkin terbawa arus air sampai ke muara Ciliwung karena berat padrão tersebut kurang lebih 100 kg (Heuken, 2002: 90).

Guillot juga menyebutkan bahwa lima tahun kemudian yaitu pada tahun 1527 saat Francisco de Sá datang ke Sunda untuk melaksanakan perjanjian, karena gagal menjalankann perjanjian tersebut Francisco de Sá meletakkan lagi sebuah padrão di tempat yang sama dengan padrão yang diletakkan oleh Henrique Lemé sebelumnya (2008: 41-42). Kegagalan tersebut disebabkan oleh Sunda yang sudah dikuasai oleh tentara Islam yang dipimpin oleh Falatehan atau Fatahillah. Tentara Islam yang sudah menguasai Sunda Kelapa tidak mengizinkan Portugis untuk mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa dan menyerang mereka (Heuken, 2002 : 91). Berdasarkan pernyataan Heuken tersebut tidak mungkin Francisco de Sá dapar meletakkan sebuah padrão di tempat yang sama dengan padrão yang diletakkan oleh Henrique Lemé. Jika memang Francisco de Sá meletakkan sebuah padrão maka padrão tersebut pasti diletakkan di tempat yang berbeda.

Kerajaan Padjajaran merupakan sebuah kerajaan besar. Walaupun kerajaan ini sudah mulai melemah sejak awal abad ke-16, Kerajaan Padjajaran masih tetap bertahan hingga lewat pertengahan abad ke-16. Sejak awal sudah banyak diketahui bahwa kerajaan Padjajaran memiliki hubungan yang kurang baik dengan kerajaan di Jawa. Melemahnya kerajaan Padjajaran tentu

(18)

menjadi kesempatan yang sangat bagus bagi kerajaan di Jawa, Demak, untuk menyerang Padjajaran. Tentu sangat mungkin jika Padjajaran meminta bantuan dari luar, dalam hal ini Portugis, untuk membantu mempertahankan wilayahnya. Karena kemungkinan besar perjanjian tahun 1522 dan rencana pembangunan benteng diadakan di Sunda Kelapa, tentu ini sangat menguntungkan bagi Padjajaran. Hal ini dikarenakan letak Sunda Kelapa yang tidak jauh dari Pakuan, ibu kota Padjajaran. Jika yang meminta bantuan pada Portugis adalah Banten, maka hal itu tentu kurang menguntungkan bagi Banten karena letak Sunda Kelapa yang jauh dari pusat kota Banten.

Kesimpulan

Berdasarkan penjabaran sebelumnya, dapat dikatakan bahwa perbedaan interpretasi dapat terjadi saat menafsirkan sebuah arsip. Perbedaan interpretasi tersebut bukan berarti sesuatu yang buruk. Perbedaan tersebut justru menambah pengetahuan dan menimbulkan berbagai macam dugaan peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dugaan-dugaan tersebut juga sangat menarik untuk didalami lebih lanjut.

Dengan mendalami lebih lanjut, kejadian yang terjadi di masa lampau, khususnya kejadian yang terjadi antara Portugis dan Sunda Kelapa, kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi akan terungkap. Selain itu masih banyak arsip-arsip mengenai hal ini yang belum dibaca. Merupakan sebuah kewajiban untuk membaca dan menafsirkan arsip-arsip tersebut agar kebenaran akan keberadaan bangsa Portugis di Sunda Kelapa menjadi lebih jelas.

Berdasarkan sumber-sumber yang ditulis oleh penulis lain, dapat dilihat bahwa kemungkinan besar perjanjian antara Sunda dan Portugis pada tahun 1522 memang dilaksanakan di daerah Sunda Kelapa. Kemudian sumber-sumber tersebut juga lebih condong mengatakan bahwa yang mengadakan perjanjian dengan Portugis adalah Kerajaan Padjajaran yang sedang menghadapi ancaman dari Kerajaan Demak.

Walaupun demikian, hal tersebut tidak menutup kemungkian bahwa perjanjian tersebut benar dilaksanakan di daerah Banten dan Banten pula yang mengadakan perjanjian tersebut. Oleh karena itu penelitian yang lebih mendalam mengenai perjanjian antara Sunda dan Portugis perlu dilakukan kembali dengan menelusuri arsip-arsip lain yang berhubungan dengan periode ini.

(19)

Daftar Referensi

Djajadiningrat, Hosein. (1983). Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Guillot, Claude. (2008). Banten : Sejarah dan Peradaban Abad X – XVII. Jakarta : KPG, EFEO, Forum Jakarta-Paris, Pusat Penelitian dan Perkembangan Arkeologi Nasional Jakarta.

Heuken SJ, A. (2002). The Eaerliest Portuguese Sources for the History of Jakarta. Jakarta: Yayasan Cipta Loka.

Ongkodharma, Heryanti. (1995). “Pelabuhan Sunda Kelapa dan Kesultanan Banten” Sunda Kelapa Sebagai Bandar Jalur Sutra Kumpulan Makalah Diskusi. Ed. R.Z. Leirissa. Jakarta : Proyek Inventarisasi dan dokumentasi sejarah nasional.

Rahardjo, supratikno dkk. (1996). Sunda Kelapa sebagai Bandar di jalur Sutra. Depdikbud: Jakarta.

Roelofsz, Meilink. (1976). Asian Trade and European Influence in the Indonesia Archipelago Between 1300 and about 1630. The Haque : Martinus Nijhoff.

Sumber Online

Saefullah, Asep. (2009). Membaca Sejarah Banten dari Sumber Asing. Diakses pada 26 September 2014 dari lektur.kemenag.go.id.

Ucan, Indonesia. (2013). Romo Heuken SJ, Ahli Sejarah Kota Jakarta. Diakses pada 18

(20)

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil perhitungan dan pengujian terhadap generator tipe aksial fluks 3 fasa kecepatan rendah yang digunakan sebagai pembangkit listrik tenaga angin yang telah di uji,

Dengan mengikuti metode analisis deskriptif, hasilnya disajikan dan didiskusikan, telah menunjukkan bahwa pembelajaran Mobile teknik (MLT) melalui penyediaan layanan

JUDUL : GAME EDUKASI PENGENALAN NAMA HEWAN DAN BUAH SEBAGAI ALAT BANTU AJAR BAHASA ARAB UNTUK ANAK- ANAK BERBASIS MACROMEDIA FLASH.. NAMA

Metode bercocok tanam dalam meningkatkan kecerdasan naturalis anak ini juga sebagi proses pembelajaran yang menyenangkan karena anak dapat mengeksplorasi diri dan

Walaupun hukum Islam tetap mengakomodir status isteri dan anak dalam perkawinan siri serta hak-hak mereka, namun bagaimana dengan status Negara dari

Mengingat pentingnya pertumbuhan tunas pada pembentukan umbi mikro, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi sitokinin

 Peserta didik diminta memperagakan berbagai gerak dasar kejar-kejaran di kolam renang, menyelam melewati rintangan, masuk ke dalam air dengan mata terbuka, dan melewati

(2) Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah,