• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PASAL 504 AYAT 1 DAN 2 KUHP TENTANG MENGEMIS DIMUKA UMUM ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PASAL 504 AYAT 1 DAN 2 KUHP TENTANG MENGEMIS DIMUKA UMUM ABSTRAK"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

EFEKTIVITAS PASAL 504 AYAT 1 DAN 2 KUHP TENTANG MENGEMIS DIMUKA UMUM

REZA DZ. GOBEL1, DIAN EKAWATI ISMAIL2, SH, MH. LISNAWATY BADU, SH., MH3.

ABSTRAK

Pengemis adalah orang-orang yang mendapatkan penghasilan dengan meminta-minta di muka umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain. Perilaku mengemis di muka umum merupakan pelanggaran atas pasal 504 ayat 1 dan 2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Mengemis di muka umum juga berdampak pada terganggunya ketertiban umum di masyarakat, namun penanggulangan para pengemis menjadi sulit diwujudkan di sebabkan oleh pengaruh kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat Indonesia, dan hal yang paling mendasar ialah mental yang terbangun di masyarakat yang tidak membudayakan penghormatan dan rasa malu terhadap diri.Dengan masifnya perilaku mengemis di muka umum tersebut bagiamana efektifitas larangan mengemis di muka umum di kota Gorontalo?

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum empiris dengan cara meneliti atau observasi langsung di lapangan. Seluruh data dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemerintah Kota Gorontalo telah melaksanakan kebijakan-kebijakan untuk penanggulangan pengemis di Kota Gorontalo seperti razia, penyediaan rumah singgah akan tetapi perilaku mengemis di muka umum di kota gorontalo setiap tahunnya mengalami peningkatan. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa penanggulangan pengemis di kota gorontalo belum optimal karena dengan berbagai kebijakan penanggulangan tidak dapat membebaskan Kota Gorontalo dari pengemis.

Kata Kunci : Efektivitas, Pengemis, KUHP

1

Reza Dz. Gobel, Mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo

2 Dian Ekawaty Ismail, SH.,MH, Dosen Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas

Negeri Gorontalo

3

Lisnawaty Badu, SH.,MH, Dosen Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Gorontalo

(3)

Indonesia merupakan Negara berkembang yang identik dengan kemiskinan baik di kota maupun di desa. Di setiap kota, pasti ada daerah yang perumahannya berhimpitan satu dengan yang lain, banyaknya pengamen, pengemis, anak jalanan dan masih banyak lagi keadaan yang dapat menggambarkan masyarakat miskin perkotaan, bahkan di malam hari banyak orang-orang yang tidur di pinggir jalan. Kondisi demikian sangat memprihatinkan dan harus segera diatasi. Kemiskinan di negeri ini tak pernah selesai penanganannya. Seiring perjalanan dari waktu ke waktu, nasib orang miskin masih tetap miskin, meski nasibnya selalu menjadi perbincangan di gedung-gedung mewah, mulai dari istana negara hingga hotel mewah. Mereka yang selama ini menjadi miskin dan melakukan aktivitas mengemis dan menggelandang tentunya bukanlah kehendaknya. Jika ada pilihan, mereka yang rata-rata menjadi pengemis atau menggelandang tentunya memilih pekerjaan yang tetap, dan penghasilan yang mencukupi.

Pengemis atau peminta-minta memang sudah menjadi istilah yang akrab di kota-kota besar seluruh Indonesia, kehadiran mereka kerap dianggap mengganggu ketertiban sosial, namun sebenarnya kehadiran pengemis adalah bentuk gagal dari pemerintah baik itu pusat atau daerah dalam mensejahterakan rakyatnya. Jika diukur dalam kacamata sosial, pengemis memang bukan sebuah hal yang istimewa, perlu dihilangkan malah pemerintah harus mensejahterakan rakyatnya agar tidak ada lagi dari mereka yang berprofesi sebagai pengemis atau peminta-minta.

(4)

Dalam pasal 504 ayat 1 dan 2 KUHP dinyatakan bahwa : Ayat 1 : Barang

siapa mengemis di muka umum, diancam karena melakukan pengemisan dengan pidana kurungan paling lama enam minggu. Ayat 2 : Pengemisan yang dilakukan oleh tiga orang atau lebih, yang berumur diatas enambelas tahun, diancam dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan.

Pengemis yang ada di Kota Gorontalo dalam melaksanakan aksinya dengan berbagai macam cara yakni ada melakukannnya dengan cara perorangan (individual) yang biasanya mereka ini mangkal di depan pertokoan yang ramai pengunjung. Ada juga yang cara mengemisnya dilakukan dengan cara duduk di pinggir jalan yang banyak dilalui oleh pengguna jalan dan tidak sedikit yang memanfaatkan lampu merah di persimpangan jalan sebagai tempat mengemis. Di samping itu, ada pula yang mengemis dengan cara berkelompok yakni mereka yang terdiri mulai anak-anak sampai orang dewasa berjalan secara berkelompok masuk lorong keluar lorong mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengemis dengan tidak mengenal waktu.

A. Pengertian Efektivitas

Dalam realita kehidupan bermasyarakat, seringkali penerapan hukum tidak efektif sehingga wacana ini menjadi perbincangan menarik untuk di bahas dalam perspektif efektifitas hukum. Berbicara efektifitas hukum, Soerjono Soekanto berpendapat tentang pengaruh hukum “Salah satu fungsi hukum baik sebagai kaidah maupun sebagai sikap tindak atau perilaku teratur adalah membimbing perilaku manusia. Masalah pengaruh hukum tidak hanya terbatas pada timbulnya

(5)

ketaatan atau kepatuhan pada hukum tapi mencakup efek total dari hukum terhadap sikap tindak atau perilaku baik yang bersifat positif maupun negatif”.

C. Pengertian Kemiskinan

Hall dan Midgley menyatakan kemiskinan dapat didefenisikan sebagai kondisi deprivasi materi dan sosial yang menyebabkan individu hidup di bawah standar kehidupan yang layak, atau kondisi di mana individu mengalami deprivasi relatif dibandingkan dengan individu yang lainnya dalam masyarakat. Juga, kemiskinan didefenisikan sebagai ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan social.

Chambers mengemukakan bahwa sebenarnya orang-orang miskin tidaklah malas, fatalistik, boros, dungu dan bodoh, tetapi mereka sebenarnya adalah pekerja keras, cerdik dan ulet. Argumennya dilandasi bahwa mereka memiliki sifat-sifat tersebut karena untuk dapat mempertahankan hidupnya dan melepaskan diri dari belenggu rantai kemiskinan.

D. Pengertian Hukum Pidana dan Tindak Pidana

Prof. Van Hamel dalam Lamintang mengatakan bahwa pidana berarti sutau penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bgai seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.

(6)

I. Metode Penulisan

Penelitian ini bersifat deskriptif yakni penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa, kejadian yang terjadi saat sekarang dengan tujuan untuk membuat deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta dan sifat populasi atau daerah tertentu. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka, melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, dokumen pribadi, catatan, memo, dan dokumen resmi lainnya. Tujuan penelitian ini adalah ingin memberikan gambaran secara realita empirik dibalik fenomena mendalam, rinci dan tuntas.

II. Hasil Dan Pembahasan

Untuk wilayah Kota Gorontalo, larangan mengemis juga diatur di dalam Perda Kota Gorontalo No. 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum (“Perda Kota Gorontalo No.8 Tahun 2007”). Di dalam Pasal 40 Perda Kota Gorontalo No. 8 Tahun 2007 diatur mengenai larangan untuk mengemis, tetapi juga melarang orang memberi uang atau barang kepada pengemis.

Pasal 40 Perda Kota Gorontalo No. 8 Tahun 2007 Setiap orang atau badan dilarang:

(1) menyuruh orang lain untuk menjadi pengemis, pengamen, dan pedagang asongan;

(2) menjadi pengemis, pengamen, dan pedagang asongan;

(3) membeli kepada pedagang asongan atau memberikan sejumlah uang atau barang kepada pengemis, dan pengamen.

(7)

Pada dasarnya Penal Policy menitik-beratkan pada tindakan refresif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif setelah terjadinya tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik criminal secara makro, non penal policy merupaan kebijakan penangulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non

penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak

pidana. Sasaran utama non penal Policy adalah menangani dan menghapuskan factor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana (Emil, SH). Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (Penal Policy) dikenal dengan istilah “kebijakan Hukum Pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel berpendapat, kebijakan hukum pidana (Penal Policy) merupakan suat ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan pratis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menerapkan undang-undang.

Upaya Negara dalam menanggulangi pengemis dan gelandangan jika dilihat dari kebijakan yang ada dapatlah dikatakan bahwa Negara sebenarnya sudah mengambil strategi penanggulangan pengemis dan gelandangan dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana), hal ini dapat ditunjukkan dengan munculnya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1980 tentang Penanggulangan Gelandangan dan Pengemis(Nahrawi Kelo).

Dalam mengatasi masalah pengemis, Pemerintah Kota Gorontalo (Dinas Sosial) melakukan tiga kebijakan yaitu (Waskito Hulukati, SE):

(8)

1. Preventif

Tindakan preventif dilakukan dengan cara menghimbau kepada masyarakat, terutama pengendara kendaraan yang yang sering lewat di perempatan jalan/traffic light yang biasanya digunakan sebagai tempat mangkal para pengemis.

2. Represif

Tindakan represif dilakukan dengan jalan “Operasi Simpatik”, yang dilakukan oleh Dinas Sosial bekerjasama dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbanglinmas), Polwiltabes, dan Dinas Polisi Pamong Praja (Dispol PP). Kegiatan operasi terhadap pengemis ini dilakukan bersamaan dengan kegiatan operasi terhadap gelandangan dan pengemis (gepeng).

Dalam penerapan kebijakan terhadap pengemis, yang diberi nama “Operasi Simpatik”, ada beberapa tahap yang dilaksanakan yaitu (Waskito Hulukati, SE): a. Penertiban

Penertiban dilaksanakan setiap bulan yang pelaksanaannya melibatkan berbagai instansi terkait yaitu Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Bakesbanglinmas), Polresta, dan Dinas Polisi Pamong Praja (Dispol PP). Penertiban pengemis ini dilakukan bersamaan dengan penertiban terhadap gelandangan dan pengemis (gepeng) dengan alasan untuk efisiensi waktu. Setelah para pengemis tersebut terjaring, maka akan dilakukan seleksi apakah mereka berasal dari luar Gorontalo ataukah mereka berasal dari Gorontalo.

(9)

Sebelum dilakukan pembinaan, para pengemis ini akan diberi stimulus dengan memberikan mereka sejumlah uang bila mereka mau mengikuti pembinaan.

c. Pembinaan

Untuk kegiatan pembinaan ini, Dinas Sosial akan bekerjasama dengan lembaga pembinaan yang ada, misalnya kursus montir, mengemudi, menjahit, memasak dan lainnya. Hal ini terpaksa dilakukan karena Dinas Sosial tidak memiliki tenaga ahli di bidang tersebut.

Gepeng dan Pengemis juga merupakan manusia yang kurang beruntung. Akibat pemerintah tidak menjalankan amanat UUD 1945 dengan sungguh - sungguh, banyak sekali dari gepeng dan pengemis yang menjadi korban kejahatan, lihat saja kasus mutilasi pengemis di daerah pulogadung, tragis memang tapi itulah yang terjadi , selain itu gepeng dan pengemis juga dimanfaatkan oleh pihak - pihak yang tidak bertanggung jawab, demi kepentingan pihak tersebut dengan membisniskan mereka untuk meningkatkan kesejahteraan pihak tersebut dan pelecehan seksual, acapkali terjadi terhadap gepeng dan pengemis. Andai saja pemerintah mau memperhatikan dan memberdayakan secara sungguh - sungguh mungkin hal yang buruk itu tidak terjadi bahkan angka kemiskinan akan berkurang. Gepeng dan pengemis tidak akan bertambah bahkan tidak akan ada jikalau di daerah perdesaan atau tempat mereka berasal memiliki lapangan pekerjaan dan tidak tersentralisasinya pembangunan di perkotaan saja.

(10)

Hambatan yang dapat mempengaruhi upaya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan pengemis diantaranya:

a) Lingkungan sosial

Lingkungan sosial merupakan salah satu aspek yang dapat mendorong seorang anak untuk menjadi pengemis. Hal-hal yang terkait dengan lingkungan sosial masyarakat tersebut adalah :

a. Pengemis yang turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga sehingga justru orang tua yang menyuruh anaknya untuk turun ke jalan guna mencari tambahan ekonomi keluarga.

b. Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di rumah sehingga perumahan yang kumuh menjadi salah satu faktor pendorong untuk anak turun ke jalan.

c. Rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui peran dan fungsi sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak. Sehingga eksploitasi anak bisa saja muncul kapan saja termasuk dengan mengarahkan anak untuk menjadi pengemis.

d. Peran lembaga sosial kemasyarakatan belum maksimal berperan dalam mendorong partisipasi masyarakat untuk menangani masalah pengemis. Upaya Pemerintah Kota Gorontalo dalam menanggulangi permasalahan pengemis di Kota Gorontalo harus berbenturan dengan suatu kebiasaan masyarakat yang telah membudaya yakni kerelaan memberikan sejumlah uang kepada anak yang ada di jalanan. Hal yang membedakan Kota Gorontalo dengan daerah-daerah lainnya tidak terletak pada sekedar kerelaan tersebut, akan tetapi

(11)

jumlah nominal uang yang diberikan kepada pengemis yang relatif lebih besar jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya. Kondisi ini kemudian menjadi alasan mengapa anak betah untuk tinggal dan mencari nafkah di jalanan.

Hambatan yang ditemukan petugas Dinas Sosial ketika melakukan penanggulangan pengemis tersebut adalah ketika pengemis tersebut menghindar untuk ditangkap dan jika sudah ditangkap dan diberi pelatihan sesudah selesai menjalani hukuman pengemis tersebut kembali kejalan untuk meminta-minta dan mengemis kembali, mengelabuhi petugas di lapangan dengan cara bersembunyi di kolong-kolong jembatan serta tidak adanya rumah panti khusus Dinas Sosial Kota Gorontalo, melainkan hanya punya Dinas Sosial Provinsi yaitu Kesejahteraan Sosial.

Menurut Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA), hambatan yang ditemukan ketika melakukan penanggulangan pengemis tersebut adalah:

a. Kuantitas dari PKPA yang sangat kurang

b. Kualitas teman-teman PKPA yang masih kurang dan terutama yang masih baru dan baru mengenal, letak daerah tempat, waktu, tenaga, tidak mengetahui pengemis dan orang tua pindah.

Peran dan fungsi PKPA dalam menanggulangi pengemis adalah melakukan pendampingan dan advokasi khususnya bagi anak-anak yang mengalami masalah baik hukum atau sosial dan menjembatani masyarakat dengan pemerintah tidak sebagai lembaga yang merekrut mereka dan melakukan penampungan dan mengedepankan kepentingan anak. Fungsinya adalah lembaga independen yang

(12)

bisa memantau mengawasi upaya-upaya pemerintah atau ada pelanggaran yang dilakukan pemerintah atau dengan controlling.

Wawancara dari beberapa masyarakat di Kecamatan Kota Selatan dimana masyarakat rata-rata mengatakan bahwa pengemis sangat mengganggu dan merugikan masyarakat. Pengemis juga melakukan mabuk-mabukan di sembarang tempat tanpa mengenal waktu, meminta-minta secara paksa dan pengemis juga mengajari hal yang kurang baik terhadap anak sekolah di daerah rumah mereka.

III. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Efektivitas pasal 504 ayat 1 dan 2 KUHP dalam implementasinya sangat membutuhkan peran pemerintah untuk menyatukan dan menggerakan seluruh elemen di setiap level. Baik di tingkat pengambil kebijakan maupun pada level pelaksana, di dalam pemerintahan maupun di luar pemerintahan, di lembaga legislatif dan level masyarakat. Adapun hambatan dari penanggulanagan gelandanagan dan pengemis di Kota Gorontalo ialah :

a. Pengemis yang turun ke jalan karena adanya desakan ekonomi keluarga b. Rumah tinggal yang kumuh membuat ketidakbetahan anak berada di

rumah

c. Rendahnya pendidikan orang tua menyebabkan mereka tidak mengetahui peran dan fungsi sebagai orang tua dan juga tidak mengetahui hak-hak anak.

(13)

SARAN

Di harapkan bahwa hukum di Indonesia seyogyanya secara tegas mengatur persoalan pengemis dengan mempertimbangkan nilai-nilai sosial, yuridis maupun filosofis serta dari sisi HAM dan pemerintah semestinya bisa mencari solusi agar para pengemis tidak lagi mencari nafkah dengan cara meminta minta.

DAFTAR RUJUKAN

Agus Sunar, Pengertian Tentang Negara Hukum, (Bandung: Alumni, 2006) Ali, Ahmad. 2001. Menguak Tabir Hukum, Bandung, Alumni.

Anonymous. 1980. Fishing Post Of Japan. Fishing Port Departement, Fisheries Agency

Artidjo Alkostar. 2000 Negara Tanpa Hukum : Catatan Pengacara Jalanan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dimas. 2013. Pengemis Undercover. Titik Media Publisher. Jakarta. Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Gorontalo 2013

Friedman, 1993. W. Teori dan Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Friedman, John. 1987. Planing in the public Domain: From Knowledge to action.

Princeton: Princeton Univ. Press.

Friedman, Lawrence M. 2001. Total Justice, Russel: Sage Foundation.

HAL.A.F. Lamintang. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru : Bandung.

Hall, Anthony dan James Midgley. 2004.Social Policy for Development. London : Sage Publications Ltd.

Hart, K.1973. Informal Income Opportunities and The Structure of Urban

Employment in Ghana. Journal of Modern African Studies. Vol.11,

(14)

Iqbali, Saptono. 2005. Gelandangan-Pengemis (GEPENG) di Kecamatan Kubu,

Kabupaten Karangasem. Denpasar: Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian,

Universitas Udayana.

Lamintang, HAL.A.F. dan Theo Lamintang. 2012. Hukum Penitensier Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Lawrence M. Friedman, 2001. American Law Introduction, Jakarta, Tatanusa. Lewis, Oscar. 1984. Kebudayaan Kemiskinan. dalam Parsudi Suparlan (ed.)

Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta, Sinar Harapan.,On

Marpuji Ali, dkk. 1990. Gelandangan di Kertasura. Dalam Monografi 3 Lembaga Penelian Universitas Muhammadiyah. Surakarta.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori Teori Kebijakan Pidana. Alumni, Bandung

Prakoso, Djoko. 1999. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses

Pidana. Yogyakarta: Libert.

Raharjo, Sardjito. 2002. Sosiologi Hukum : Perkembangan, Metode dan Pilihan

Masalah Jakarta, Gramedia.

Rajab, Budi, 1996. “Persoalan Kemiskinan dalam orientasi Kebijaksanaan Pembangunan”, Bandung: Majalah Ilmiah PDP Unpad Prakarsa

Soekanto, Soerjono 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Soekanto, Soerjono. 1983. Hukum dan Masyarakat, Jakarta, UI Press.

Sukanto, Soerjono. 2011. Nafsiologi Suatu Pendekatan Alternatif atas Psikologi,. Jakarta: Integritas Press.

Sunar, Agus. 2006 Pengertian Tentang Negara Hukum, Bandung: Alumni. Suparlan, Parsudi. 1993. Kemiskinan di perkotaan. Yayasan Obor Indonesia.

Jakarta.

Tongat. 2009. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan. UMM Malang.

Warasih, Esmi. 2005. Pranata Hukum ; Sebuah Telaah Sosiologis.Semarang, Suryandaru Utama.

(15)

Perundang – Undangan

Soerodibroto, Soenarto, R. 1979. KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi Mahkamah Agung dan Hoge Raad. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia (Yang telah di amandemen).

Terbit Terang. Surabaya.

Sumber Internet http://gedesedana.wordpress.com/2009/07/28/faktor-penyebab-terjadinya-gelandangan-dan-pengemis/ http://gedesedana.wordpress.com/2009/07/28/faktor-penyebab-terjadinya-gelandangan-dan-pengemis/ http://sudarianto.wordpress.com/2008/02/08/apa-itu-pengemis/ https://www.kemsos.go.id/modules.php?name=Database&opsi=pmks2008-1

Referensi

Dokumen terkait