• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kinerja Guru

2.1.1 Pengertian kinerja guru

Kinerja guru adalah kemampuan guru dalam mengajar, kemampuan manajemen, memiliki kedisiplinan tinggi dan kemampuan interpersonal yaitu menjalin hubungan dengan anak didik, teman sejawat, pimpinan dan orang tua siswa. Kinerja guru sangat menentukan kualitas hasil pendidikan, karena guru merupakan pihak yang paling banyak bersentuhan langsung dengan siswa dalam proses pendidikan atau pembelajaran di lembaga pendi-dikan Sekolah (Hanif, 2004).

Ukuran kinerja guru dapat terlihat dari rasa tanggung jawabnya melaksanakan tugas, amanah, profesi yang diembannya, serta rasa tanggung jawab moral dipundaknya. Semua itu dapat terlihat dari kepatuhan dan loyalitasnya di dalam menjalankan tugas profesinya di dalam maupun di luar kelas. Sikap ini seiring dengan rasa tanggung jawabnya dalam mempersiapkan segala perlengkapan penga-jaran sebelum melaksanakan proses pembelapenga-jaran.

(2)

Selain itu dalam menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran guru harus mempersiapkan dan mempertimbangkan metode, teknik atau strategi yang akan dilakukan dalam menyampaikan salah satu materi.

Berdasarkan uraian tersebut dapat penulis rumuskan bahwa kinerja guru adalah kemampuan guru dalam mengajar, kemampuan manajemen, memiliki kedisiplinan tinggi dan kemampuan interpersonal yaitu menjalin hubungan dengan anak didik, teman sejawat, pimpinan dan orang tua siswa dan dalam menjalankan tugas dengan rasa tanggung jawab, amanah, serta rasa tanggung jawab moral dipundaknya.

2.1.2 Faktor yang mempengaruhi kinerja guru

Hanif (2004) mengadakan penelitian menemu-kan bahwa kinerja mengajar guru secara signifimenemu-kan dipengaruhi oleh 7 faktor yaitu: (1) stres guru; (2) self-efficacy; (3) status; (4) jumlah siswa dalam kelas; (5) pendapatan; (6) pengalaman kerja; (7) sistem sekolah .

Hanif (2004) juga mengemukakan bahwa kinerja guru secara signifikan dipengaruhi faktor status. Guru yang sudah menikah ditemukan

(3)

memiliki kinerja lebih rendah dibandingkan dengan guru yang belum menikah. Kinerja guru di dalam kelas dengan jumlah siswa yang sangat banyak juga ditemukan sangat rendah. Faktor pendapatan juga dapat mempengaruhi kinerja guru, karena terbukti semakin tinggi pendapatan guru maka akan semakin baik kinerjanya. Pengalaman kerja guru yang semakin banyak juga akan semakin meningkatkan kinerja guru menjadi semakin baik. Sistem suatu sekolah ternyata juga dapat mempengaruhi kinerja guru. Terbukti dari penelitian Hanif (2004) menerangkan kinerja guru di Sekolah Negeri dengan Sekolah swasta di Pakistan ditemukan bahwa kinerja guru di Sekolah Negeri lebih buruk, dibandingkan dengan kinerja guru di Sekolah Swasta.

Sari (2011) menemukan bahwa kinerja guru dipengaruhi oleh faktor motivasi kerja dan profesionalisme. Semakin tinggi motivasi kerja dan profesionalisme guru maka kinerja guru akan semakin tinggi pula. Penelitian Alviah (2012) menemukan bahwa motivasi dan supervisi berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kinerja guru. Artinya semakin rendah motivasi dan intensitas supervisi maka semakin rendah pula

(4)

kinerja guru. Sedangkan penelitian dari Prapta (2013), menemukan bahwa kinerja guru dipengaruhi oleh faktor supervisi akademik kepala sekolah dan iklim kerja, yaitu apabila semakin baik supervisi akademik kepala sekolah dan makin efektif iklim kerja maka semakin tinggi tingkat kinerja guru.

Dari hasil penelitian Hanif (2004) dan temuan beberapa penelitian lainnya menunjukkan bahwa kinerja mengajar dipengaruhi banyak faktor yang memberikan gambaran bahwa dalam upaya meningkatkan kinerja guru merupakan hal yang kompleks dan perlu dilakukan identifikasi yang tepat agar dapat mengatasi masalah kinerja guru.

2.1.3 Pengukuran kinerja guru

Sistem penilaian kinerja guru adalah sebuah sistem pengelolaan kinerja berbasis guru yang didesain untuk mengevaluasi tingkat kinerja guru secara individual dalam rangka mencapai kinerja sekolah secara maksimal yang berdampak pada peningkatan prestasi peserta didik. Pengukuran kinerja guru dirancang untuk mengetahui kinerja guru di tempat kerjanya. Hal ini dilakukan untuk membantu mengetahui kelemahan dan keunggulan kinerja guru secara individual maupun tingkat

(5)

organisasi dan membantu meningkatkan kualitas dan efektivitas kinerja guru.

Kinerja guru menurut Rubina dan Perves (2004) ditekankan kepada 4 dimensi yang meliputi keterampilan mengajar (teaching skill), keterampilan manajemen (management skill), disiplin dan kete-raturan (discipline and regularity) serta keterampilan interpersonal (interersonal skill).

Penelitian ini mempergunakan alat ukur Teacher Job Performance Scale yang disusun oleh Hanif (2004) yang diadaptasi untuk mengukur kinerja guru. TJPS telah terbukti valid dan reliabel. Hanif [2004] melakukan uji validitas dan reliabilitas dengan 25 item pada skala kinerja mengajar guru dan hasilnya adalah r (corrected item-total correlation) sebesar 0,27 – 0,46 dan alpha sebesar 0,71 pada tingkat signifikansi sebesar 0,01. TJPS dibuat untuk mengukur kinerja guru di tempat kerja dan dapat membantu untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan kinerja guru pada tingkat individual dan organisasional serta membantu guru untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas dalam mengajar.

Skala Kinerja Guru terdiri dari 25 item yang mengukur 4 aspek yaitu: (1) Teaching Skill (TS)

(6)

adalah guru memiliki keterampilan mengajar yang baik yaitu mengajar secara efektif di kelas dan memuaskan dalam gaya dan kualitas mengajarnya; (2) Management skill (MS) adalah keterampilan guru untuk mengatur waktu mengajar dan tugas-tugasnya yang lain yang ditugaskan oleh kepala Sekolah; (3) Discipline and regularity (DR) terkait dengan keteraturan dan ketepatan waktu guru di sekolah. (4) interpersonal skill (IP) adalah kemampuan guru dalam menjalin hubungan yang baik antara guru dengan siswa, guru dengan orang tua dan guru dengan rekan kerja.

2.2 Kepemimpinan transformasional

Kepala Sekolah

2.2.1 Konsep kepemimpinan transformasional kepala sekolah

Teori kepemimpinan transformasional, pertama kali dikembangkan oleh Bass dan Riggio (2006) yang mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai suatu proses untuk mencapai tujuan bersama dimana pemimpin dan bawahan saling mengangkat satu sama lain ke tingkat motivasi dan moralitas yang lebih tinggi.

Pemimpin dikatakan transformasional, Bass dan Riggio (2006) mengemukakan bahwa hal

(7)

terse-but dapat diukur melalui sejauh mana pemimpin tersebut dapat berhubungan dan mempengaruhi anak buah. Oleh karena itu, Bass mengemukakan ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi bawahannya, yaitu dengan: 1) mendo-rong bawahan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha; 2) mendorong bawahan untuk menda-hulukan kepentingan kelompok; dan 3) mening-katkan kebutuhan bawahan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri.

Hal yang penting dan terutama dalam kepemimpinan transformasional adalah bagaimana pemimpin mengubah persepsi, sikap dan perilaku bawahan terlepas dari meningkat tidaknya perubahan yang terjadi sesuai dengan teori Maslow. Secara konseptual, kepemimpinan transformasional didefinisikan Bass dan Riggio (2006) sebagai kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Berarti sebuah proses transfor-masional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas

(8)

dan meningkatkan kebutuhan melampaui minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi. Dengan cara demikian, antara pemimpin dan bawahan ada persepsi yang sama untuk mengoptimalkan usaha mereka ke arah tujuan organisaasi yang ingin dicapai. Akibatnya, tumbuh kepercayaan, kebanggaan, komitmen, rasa hormat dan loyal kepada atasan sehingga mereka mampu mengoptimalkan usaha dan kinerja mereka ke arah yang lebih baik dari sebelumnya.

Berdasarkan uraian tentang kepemimpinan transformasional dapat disimpulkan bahwa kepe-mimpinan transformasional adalah kepekepe-mimpinan yang mampu membangun lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja dan nilai-nilai kerja yang mampu memberikan dorongan terhadap tenaga kependidikan sebagai bawahan untuk menyadari arti penting hasil usaha, mendahulukan kepentingan kelompok dan meningkatkan kebutuhan bawahan yang lebih tinggi, sehingga mereka mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu maka pemimpin transformasional akan mampu menjadikan para bawahan merasakan adanya

(9)

kepercayaan, kebanggaan, loyalitas dan rasa hormat kepada atasan, dan mereka termotivasi untuk melakukan pekerjaan melebihi dari apa yang diharapkan.

Kepemimpinan transformasional kepala seko-lah adaseko-lah hasil pandangan guru terhadap gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh kepala sekolah dalam bentuk transformasional yaitu membangun lingkungan kerja, motivasi kerja, pola kerja dan nilai-nilai kerja yang mampu memberikan dorongan terhadap tenaga guru sebagai bawahan dengan membangun adanya kepercayaan, kebang-gaan, loyalitas dan rasa hormat sehingga mampu melakukan pekerjaan melebihi dari apa yang diharapkan.

2.2.2 Ciri-ciri kepemimpinan transformasional

Kepemimpinan transformasional harus dapat mengartikan dengan jelas mengenai sebuah visi untuk organisasi, sehinggga para pengikutnya akan menerima kredibilitas pemimpin tersebut. Menurut Bass dan Riggio (2006) ada empat aspek yang mendasari kepemimpinan transformasional, yaitu : 1. Pengaruh ideal (idealized influence)

(10)

Pemimpin transformasional berperilaku dengan cara memberikan contoh atau tauladan sehingga dapat sebagai model bagi bawahannya. Para pemimpin yang dikagumi, dihormati dan dipercaya akan didentifikasi dengan baik oleh bawahan sehingga bawahan ingin mencontoh perilaku tersebut. Pemimpin dianggap baik oleh bawahan adalah mereka yang memiliki kemam-puan yang luar biasa, ketekunan, dan tekad, dengan demikian, pemimpin mempunyai kebu-tuhan akan kekuasaan yang tinggi, pendirian yang kuat, rasa percaya diri yang tinggi dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang dianut, kesemuanya ini akhirnya berdampak pada peningkatan kepercayaan para pengikut terhadap apa yang dikemukakan oleh pemimpin tersebut (Bass dan Riggio (2006).

2. Rangsangan intelektual (intellectual stimulation) Rangsangan intelektual, berarti menge-nalkan cara pemecahan masalah secara cerdik, rasional dan hati-hati sehingga anggota mampu berpikir tentang masalah dengan cara baru dan menghasilkan pemecahan yang kreatif. Rang-sangan intelektual berarti menghargai kecerdasan

(11)

mengembangkan rasionalitas dan pengambilan keputusan secara hati-hati.

Kemampuan sang pemimpin untuk menstimuli pemikiran atau ide-ide bawahannya (intellectual stimulation), pemimpin transfor-masional dalam bahasa sederhana adalah seorang pemimpin yang cerdas sehingga ide-idenya atau analisanya mampu membuat pencerahan intelektual pada mitra usahanya (Bass dan Riggio (2006).

3. Inspirasi (Inspiration)

Pemimpin inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi dari bawahannya, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan pada kerja keras, mengekspresikan tujuan dengan cara sederhana. Pemimpin inspirasional mampu mendorong bawahan untuk menetapkan suatu tujuan yang menantang dengan standard yang tinggi. Adanya tujuan yang menantang ini diharapkan akan mampu mendorong bawahan untuk memfo-kuskan pada usaha yang keras dalam mencapai target

(12)

tersebut. Pemimpin inspirasional mengem-bangkan suatu pemecahan masalah dengan menggunakan simbol-simbol untuk lebih memper-mudah pemecahannya. Selain itu dalam upaya pemecahan masalah, seorang pemimpin harus menunjukkan kesan sebagai pemimpin yang pan-dai. Pemimpin inspirasional mampu memberikan arti yang jelas terhadap tindakan yang diren-canakan, bersikap tenang dalam menghadapi krisis, memberi penghargaan terhadap tindakan bawahan yang berprestasi, menekankan pada persaingan yang sehat, memberikan gambaran mengenai masa depan yang menarik dan dapat dicapai dengan menjelaskan mengenai langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut (Bass dan Riggio (2006).

4. Perhatian Individual (Individualized consideration) Perhatian secara individual merupakan cara yang digunakan oleh pemimpin untuk memperoleh kekuasaan dengan bertindak sebagai pembimbing, memberi perhatian secara individual dan dukungan secara pribadi kepada bawa-hannya. Perhatian seorang atasan kepada bawahannya merupakan kewajiban, karena

(13)

sebagai figur pemimpin dituntut untuk senantiasa bisa memberikan bimbingan dan saran yang diperlukan bagi perkembangan bawahannya. Pemimpin transformasional membangkitkan rasa hormat dan pengabdian dari dalam diri tiap-tiap orang dengan menyediakan waktu untuk menyatakan bahwa mereka itu penting (Bass dan Riggio (2006).

2.3 Motivasi Kerja guru

2.3.1 Konsep motivasi kerja

Motivasi kerja adalah dorongan untuk bergerak yang mengarahkan perilaku seseorang dalam melakukan pekerjaan. Motivasi kerja sebagai suatu kekuatan energetik yang dimiliki seseorang untuk menunjukkan perilaku terkait pekerjaan dan menentukan bentuk, arah dan intensitas. Keterkaitan motivasi kerja dengan kinerja mengajar dapat dilihat dari peran guru dalam menjalankan perannya secara optimal [Owens, 1995).

Owen [1995) lebih lanjut menyatakan bahwa motivasi kerja ini sangat berhubungan dengan kepuasan atau ketidakpuasan kerja. Seseorang yang mempunyai harapan mendapatkan kepuasan kerja yang baik maka akan termotivasi meningkatkan kinerjanya. Motivasi kerja akan muncul dari

(14)

beberapa aspek yang mempengaruhi kepuasan kerja seperti peningkatan kemampuan kerja, kenyamanan, tantangan kerja, rasa tanggung jawab, keuntungan dan promosi. Faktor-faktor motivasi kerja akan menjadi motivator bagi seseorang.

Menurut Owen [1995) ada dua faktor yang mempengaruhi kondisi pekerjaan seseorang, yaitu faktor pemuas (motivation factor) yang disebut juga dengan satisfier atau intrinsic motivation dan faktor kesehatan (hygienes) yang juga disebut disatisfier atau ekstrinsic motivation.

Jadi guru yang terdorong secara intrinsik akan menyenangi pekerjaan yang memungkinkannya meng-gunakan kreativitas dan inovasinya, bekerja dengan tingkat otonomi yang tinggi dan tidak perlu diawasi dengan ketat. Kepuasan di sini tidak terutama di-kaitkan dengan perolehan hal-hal yang bersifat materi. Sebaliknya mereka yang lebih terdorong oleh faktor-faktor ekstrinsik cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka, dan kiner-janya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang di-inginkannya dari organisasi (Sondang, 2004).

(15)

Owen, [1995] menyatakan bahwa faktor yang mendorong aspek motivasi adalah faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik antara lain: mengetahui visi dan misi kerja, ingin mendapatkan penghargaan, ingin berprestasi, ingin mendapatkan gaji/upah, ingin meningkatkan karier, dan ingin bersosialisasi dengan mitra kerja. Sedangkan faktor ekstrinsiknya yaitu: suasana di tempat kerja, upah yang layak, adanya penghargaan atas hasil pekerjaan, adanya pengakuan atas hasil pekerjaan, dan adanya kode etik dalam bekerja.

2.3.3 Pengukuran motivasi kerja

Pengukuran motivasi kerja dalam penelitian ini menggunakan skala yang bertujuan untuk memperoleh informasi secara tertulis kepada responden tentang motivasi kerja. Skala adalah seperangkat pengetahuan yang disusun untuk diajukan kepada responden untuk memperoleh informasi secara tertulis dari responden sebagai objek penelitian, berkaitan dengan tujuan pengujian instrumen penilaian motivasi kerja guru dari Owen [1995]. Instrumen ini disusun berdasarkan dua faktor yaitu: (1) faktor instrinsik/motivasi internal;

(16)

dan 2) faktor ekstrinsik/motivasi eksternal, yang kemudian dijabarkan dalam 18 item.

2.4 Kajian yang relevan

Kepemimpinan transformasional kepala seko-lah merupakan bentuk bantuan kepala sekoseko-lah kepada guru untuk meningkatkan kemampuan mengajar atau mendidik siswa-siswanya. Kepemim-pinan kepala sekolah yang dilakukan secara reguler atau kontinyu akan membawa dampak positif bagi peningkatan teknik mengajar guru. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa penerapan kepemimpinan transformasional dengan mengedepankan pende-katan emosional antara kepala sekolah dengan guru akan diharapkan mampu meningkatkan kinerja guru.

Penelitian yang dilakukan oleh Soni (2010) di Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Tanjung Morawa dengan judul pengaruh kepemimpinan transfor-masional kepala sekolah dan self monitoring terhadap kepuasan kerja guru dan kinerja guru kelas Sekolah Dasar Negeri Kecamatan Tanjung Morawa. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kepemimpinan transformasional kepala sekolah

(17)

berhubungan signifikan dengan kinerja guru. Besarnya hubungan kepemimpinan transformasional kepala sekolah dengan kinerja guru kelas SD Negeri rxy sebesar 0,849. Oleh karena

itu, untuk mengoptimalkan efektifitas kinerja guru kelas SD Negeri, maka guru harus mampu membuat program pembelajaran, pengembangan pembelajaran dan pengevaluasi pembelajaran di sekolah. Terdapat penilaian bahwa kepala sekolah menunjukkan rasa percaya terhadap penilaian yang diberikan oleh guru dan keyakinan umum bahwa kepala sekolah mendatangkan antusiasme, loyalitas, dan menciptakan anak buah siap mengorbankan kepentingan pribadi untuk kepentingan umum yang memerlukannya, meskipun demikian guru berada satu angka di bawah penilaian dari kepala sekolah.

Penelitian yang dilakukan oleh Albekob (2012) yang melakukan penelitian di SD Swasta di Distrik Sentani Kota Kabupaten Jayapura dengan judul penelitian faktor-faktor yang berkorelasi dengan kinerja guru SD swasta di Distrik Sentani Kota Kabupaten Jayapura. Hasil penelitian ini menyi-mpulkan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru (r x3y = 0.267, p>0,05). Hubungan yang tidak

(18)

signifikan antara kepemimpinan kepala sekolah dengan kinerja guru ini disebabkan karena kurangnya peran aktif kepala sekolah dalam menjalankan supervisi dan membangun hubungan yang harmonis dengan guru sebagai bawahannya.

Motivasi kerja merupakan daya dorong dalam diri individu untuk mengerahkan kemampuan guna mencapai tujuan yang ingin dicapai. Guru sebagai profesi akan mencapai pekerjaan semaksimal mungkin jika didalam dirinya ada dorongan yang kuat untuk menjalankan pekerjaannya. Pekerjaan mengajar merupakan pekerjaan yang sangat bermnfaat bagi dirinya maupun bagi masa depan siswa, sehingga dengan adanya manfaat da tugas menjadi guru ini dapat menjadi pendorong pada diri seorang guru untuk menunjukkan hasil pekerjaannya yang berasal dri kreasi dan inovasi yang dimiliki. Seorang guru harus mempunyai motivasi kerja yang tinggi untuk meningkatkan kinerjanya.

Penelitian Fathimah (2011) yang dilakukan di Madrasah Ibtidaiyah Munawariyah Palembang dengan judul Pengaruh komunikasi dan motivasi kerja terhadap kinerja guru dalam perspektif Islam pada Madrasah Ibtidaiyah Munawariyah Palembang. Hasil penelitian menemukan bahwa ada hubungan

(19)

yang signifikan antara motivasi kerja dengan kinerja guru Madrasah Ibtidaiyah Munawariyah Palembang dan secara statistik menunjukkan signifikan pada taraf 5%. Artinya, semakin baik motivasi kerja, kinerja guru Madrasah Ibtidaiyah Munawariyah Palembang juga akan meningkat.

Penelitian yang dilakukan oleh Bahri (2011) yang dilakukan di Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan dengan judul faktor yang mempengaruhi kinerja guru SD di dataran Tinggi Moncong Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. Hasil penelitian menemukan bahwa motivasi kerja tidak berhubungan signifikan dengan kinerja guru. Hasil analisis korelasi untuk hubungan motivasi kerja dengan kinerja guru memiliki koefisien korelasi yang paling rendah yaitu 0,271 (p=0,084>0,05). Hal ini disebabkan karena lokasi kerja yang cukup sulit dijangkau dan kondisi yang terpencil sehingga menyebabkan motivasi kerja yang cukup rendah.

2.5 Hipotesis

H1 : Ada hubungan yang signifikan antara kepe-mimpinan transformasional dengan kinerja guru SD N di Kecamatan Mranggen Kabupeten Demak.

(20)

H2 : Ada hubungan yang signifikan antara moti-vasi kerja dengan kinerja guru SD N di Kecamatan Mranggen Kabupeten Demak.

2.6 Model Penelitian

Kerangka pemikiran yang diajukan dalam penelitian ini berdasarkan hasil telaah teoritis seperti yang telah diuraikan di atas, selanjutnya guna memudahkan pemahaman maka perlu dibuat kerangka pemikiran sebagai berikut:

Gambar 3.1

Model Penelitian yang Dibangun Kepemimpinan

transfromasional (X1)

Motivasi kerja (X2)

Kinerja guru (Y)

Referensi

Dokumen terkait

Referen legalitas produk bukan menjadi acuan konsumen dalam membeli buah lokal dengan nilai -0,705 dikarenakan keyakinan normatif konsumen terhadap legalitas produk buah

Producing Fungi from Plants Associated with Anticancer Properties, Journal of Advanced Research, 6: 869–876. Egler R.A., Ahuja SP, Matloub Y., 2016, L-Asparaginase in the Treatment of

Dilihat dari prinsip kesantunan, dalam tuturan ini Arsene Wenger mematuhi maksim kebijaksanaan, karena dengan mengatakan bahwa dia tidak melihat insiden

Variabel utama pada penelitian ini adalah seluruh hal yang menyangkut aspek visual yang dapat menjadi daya tarik yakni air, vegetasi, bentuk muka tanah, peruntukan

Hasil pengujian diperoleh Naïve Bayes Classifier mengklasifikasikan beberapa judul dan ketegori yang terdapat pada database perpustakaan kemudian pencarian akan dilanjutkan

Menurut peneliti, bahwa sebelum dilakukan intervensi, intensitas nyeri pasien masih sangat dirasakan nyeri hebat ataupun sangat nyeri dan setelah dilakukan

Untuk memperoleh Visa tinggal terbatas saat kedatangan bagi Orang Asing yang akan bergabung untuk bekerja di atas kapal, alat apung, atau instalasi yang beroperasi di wilayah

Minat dan prestasi belajar anak tingkat sekolah dasar di pemukiman rehabilitasi penyakit kusta Jl Dangko Kecamatan Tamalate Kota Makassar, dari penelitian yang