• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKNA TOPO WUDO RATU KALINYAMAT DALAM TRADISI LISAN MASYARAKAT JEPARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKNA TOPO WUDO RATU KALINYAMAT DALAM TRADISI LISAN MASYARAKAT JEPARA"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

MAKNA TOPO WUDO RATU KALINYAMAT DALAM

TRADISI LISAN MASYARAKAT JEPARA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Guna Memperolah Gelar Sarjana S–1

Dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh :

M KHANDIK ASROR

NIM : 4104054

Semarang, 4 Januari 2008 Disetujui oleh : Pembimbing I Pembimbing II

Dr. H. M. Darori Amin, MA Drs. H. Sudarto, M.Hum

(3)

PENGESAHAN

Skipsi saudara M Khandik Asror. NO Induk: 4104054 dengan judul Makna Topo Wudo Ratu Kalinyamat Dalam Tradisi Lisan Mayarakat Jepara telah dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Skripsi Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal:

24 Juni 2011

Telah diterima serta disyahkan sebagai satu syarat guna memperolah Gelar Sarjana (S.1) dalam Ilmu Ushuluddin jurusan Aqidah Filsafat (AF)

Ketua Sidang

DR. H.A. Hasan Asy’ari Ulama’i, M.Ag NIP : 19710402 199503 1 001

Pembimbing I, Penguji I,

Dr. H. M. Darori Amin, MA Drs. H. Ridin Sofyan, M.Pd

NIP : 19530112 198203 1 001 NIP : 19490406 197703 1 002

Pembimbing II, Penguji II,

Drs. H. Sudarto, M.Hum Rokhmah Ulfah, M.Ag N I P : 19501025 197603 1 003 NIP : 19700513 199803 1 002

Sekretaris Sidang

Bahroon Anshori M.Ag NIP: 197503 200604 1 001

(4)

M O T T O



Sejarah bukan hanya rangkaian cerita,

ada banyak pelajaran, kebanggaan dan harta

di dalamnya

(5)

ABSTRAKSI

Keberadaan Islam telah membawa satu perubahan begitu dominan di masyarakat, dalam bidang teologi maupun bidang sosial dan kebudayaan. Penyebaran agama Islam tidak serta merta berkembang dengan sendirinya tanpa di dukung oleh tokoh-tokoh Islam yang begitu gigih dalam menyiarkan Islam. Sehingga Islam dikenal oleh masyarakat baik di perkotaan, pesisir, maupun di pedesaan. Kota Jepara adalah salah satu kerajaan yang mempunyai pelabuhan dengan teluk yang aman sehingga kota ini di jadikan jalan alternatif para penyiar agama Islam seperti para Walisongo untuk menyebarluaskan ajaran Islam di pulau jawa termasuk kota jepara.

Banyak masalah yang muncul meliputi asal usul dan perkembangan awal Islam di kawasan ini. Masalah-masalah itu muncul tidak hanya karena perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan “Islam‟ itu sendiri, tetapi yang lebih penting karena sedikitnya data yang memungkinkan kita merekonstruksi suatu sejarah yang bisa dipercaya. Islamisasi nusantara merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner manakala Islam segera memperoleh konversi banyak penguasa pribumi, Islam kemudian berkembang ditingkat rakyat bawah, Islamisasi pelbagai kelompok etnis yang hidup di pelbagai wilayah yang berbeda benar-benar bukan merupakan bentuk konversi tunggal dan seragam, melainkan suatu proses panjang menuju kompromi yang lebih besar terhadap ekslusivitas Islam.

Pemerintahan Ratu Kalinyamat adalah sejarah kepahlawanan seorang putri sebagai tokoh wanita abad ke-16 yang pernah memiliki armada laut yang luar biasa besarnya maka tak heran jika masa pemerintahannya daerah pesisir utara berada dalam kekuasaannya. Dalam konteks Topo Wudo merupakan bentuk ikhtiar untuk mewujudkan dendam Ratu Kalinyamat. Namun disisi lain dalam konteks sebagai seorang Ratu, tentu setiap perbuatan dalam kehidupannya memiliki makna yang tidak biasa.

Topo wudo Ratu Kalinyamat merupakan kejujuran seorang hamba kepada

Tuhannya tentang harapan dan permohonan. Telanjang berarti menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Kuasa. Tentunya kalau wudo atau telanjang kita artikan secara wujud dhohir tanpa ada pakaian yang menempel di badan sedikitpun, tapi kalau dalam arti hakiki bisa saja seperti di atas adalah sebuah kejujuran sebagai manusia yang tidak ada daya apa-apa kecuali pemberian Sang Pencipta. Jadi penyerahan diri yang dilakukan Ratu Kalinyamat adalah sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan.

(6)

PEDOMAN TRASLITERASI ARAB-LATIN

ا

= a

ط

= th

ب

= b

ظ

= zh

ت

= t

ع

=

ث

= ts

غ

= gh

ج

= j

ف

= f

ح

= h

ق

= q

خ

= kh

ك

= k

د

= d

ل

= l

ذ

= dz

م

= m

ر

= r

ن

= n

ز

= z

و

= w

س

= s

ه

= h

ش

= sy

ء

= ...

ص

= sh

ي

= y

ض

= dl

(7)

PERSEMBAHAN



Seiring waktu berlalu, telah jauh langkah

yang kutempuh, rasa syukur yang dalam tercurah kehadirat Ilahi Robbi yang telah memberikan kebahagiaan kepada

hamba-Nya, telah banyak do’a, harapan, kasih sayang dan dorongan yang mengenang dikalbu, dengan segenap rasa dan asa,

kupersembahkan skripsi ini sebagai wujud kasih sayang untuk orang-orang tercinta

Ayah dan bunda beserta istri dan anak saya tercinta yang selalu mengisi relung hati dan derai darahku

dengan cinta dan kasih sayang, yang telah mengajariku tentang arti hidup, bagian dari darah dagingku, yang tak akan pernah dapat tergantikan dengan apapun atas segala pengorbanan

harta,

jiwa dan dorongan semangatnya terima kasih atas do’a dan pengorbanan yang tak terhingga selama ini

Semoga karya ini menjadi wujud baktiku kepadamu

Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan perubahan besar dalam hidup

(8)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Penyayang, berkat limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penelitian penyusunan naskah skripsi ini.

Skripsi “Makna Topo Wudo Ratu Kalinyamat ” disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S. 1) Fakultas Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.

Dalam proses penelitian penyusunan naskah skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bimbingan, saran-saran dan arahan dari berbagai pihak, sehingga penelitian penyusunan naskah skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada :

1. Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, Dr. Nasihun Amin, M.Ag, yang telah menyetujui pembahasan penelitian penyusunan naskah skripsi ini.

2. Dosen pembimbing serta asisten pembimbing, Dr. H. M. Darori Amin, MA. dan Drs. H. Sudarto, M. Hum, yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, ditengah-tengah kesibukannya, untuk memberikan, masukan, saran, bimbingan dan pengarahan, sehingga penelitian penyusunan naskah skripsi ini dapat terselesaikan.

3. Dosen pengajar dilingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang, yang telah membekali berbagai pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penelitian penyusunan naskah skripsi ini.

4. Pimpinan serta seluruh staf perpustakan Fakultas Ushuluddin dan perpustakaan IAIN Walisongo Semarang, yang telah memberi ijin dan pelayanan perpustakaan yang diperlukan dalam penelitian penyusunan naskah skripsi ini.

(9)

5. Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan, terima kasih telah membantu dalam proses penelitian penyusunan naskah skripsi ini.

Selanjutnya, atas semua kebaikan dan jasa beliau, penulis hanya dapat memanjatkan do‟a, semoga Allah SWT, berkenan melipat gandakan pahala yang setimpal dan menjadikan amal saleh disisi-Nya.

Akhirnya penulis berharap kekurangan dan kesalahan dalam penelitian penyusunan naskah skripsi ini, dapat kiranya ada perbaiakan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat menghadirkan manfa‟at bagi penulis sendiri khususnya, dan memberi kontribusi ilmiyah bagi dunia intelektual pemikiran filsafat pada umumnya

(10)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……… i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING………..… ii

HALAMAN PENGESAHAN……….… iii

HALAMAN MOTTO……….…..……… iv

HALAMAN ABSTRAK………...……… .. v

HALAMAN TRANSLITERASI.………... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN……….…... vii

KATA PENGANTAR………..……..viii

HALAMAN DAFTAR ISI………... x

BAB I :PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………. 1

B. Rumusan Masalah………... 6

C. Tujuan Penulisan Skripsi.. ... ... ... ..………….. .. .. .. .. .. .. .. .. 6

D. Tinjauan Kepustaka……… 7

E. Metodologi Penelitian... ..……….. 8

F. Sistematika Penulisan ... ... ... ……… 11

BAB II : RITUAL BERTAPA DALAM ISLAM JAWA A. Sejarah Masuknya Islam di Jawa... ... ... ... ... .. .. .. .. .. .. .. .. 13

B. Interelasi Islam Dengan Kepercayaan Dan Ritual Jawa………. 17

C. Ritual Bertapa Dalam Tinjaun islam.. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. .. 20

D. Perilaku Manusia Berdasarkan Ajaran Keagamaan.. ... .. .. .. ... 24

BAB III : RIWAYAT HIDUP RATU KALINYAMAT A. Keluarga Ratu Kalinyamat Dan Lingkungannya… … … 28

1. Biografi Ratu Kalinyamat… …. … … … .. 28

2. Kepribadian Ratu Kalinyamat… … … …... 31

3. Kerajaan / Pemerintahan Ratu Kalinyamat… … … … ... 32

(11)

C. Ratu Kalinyamat Melakukan Topo Wudo… … … … …. .. ….. 37 D. Tempat Atau Lokasi Pertapaan Ratu Kalinyamat… … … 39 E. Letak Geografis Jepara Dan Potensi Ekonominya… … … … ... 41

BAB IV : MAKNA TOPO WUDO RATU KALINYAMAT DALAM

TRADISI LISAN MASYARAKAT JEPARA... … … … .. 45 A. Ratu Kalinyamat dan Ratu-Ratu Nusantara Lainnya.... ...…. 47 B. Persepsi Masyarakat Jepara Mengenai Topo Wudo

Ratu Kalinyamat Di Desa Tulakan Kecamatan

Donorojo Kabupaten Japara... .... .... ... ...……… … … . 51 1. Juru Kunci Makam dan Pertapaan Ratu Kalinyamat… … ... 51 2. Masyarakat Kalangan Ulama… … … .... 53 3. Masyarakat Jepara Pada Umumnya… … … …. 57 C. Nilai-nilai Yang Terkandung Dalam Konteks Topo Wudo

Ratu Kalinyamat.. .. .. .. ... ... ... ... ... .... ... ... .... ... .... ... ... 64 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan………... 65 B. Saran-saran………... 66 C. Penutup………... 66 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(12)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Proses masuknya agama Islam ke Indonesia menurut para sarjana dan peneliti sepakat bahwa Islam itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa Indonesia untuk menguasai rakyat atau masyarakat. Secara umum mereka menerima Islam tanpa meninggalkan kepercayaan dan praktek keagamaan yang lama. Hal ini yang sering dilakukan oleh juru dakwah di Jawa adalah Walisongo.1 Mereka mengajarkan Islam dalam bentuk kompromi dengan kepercayaan-kepercayaan setempat.

Mengenai asal, tokoh, pembawa, waktu dan tempat Islamisasi pertama kali di Indonesia masih merupakan masalah yang kontroversial. Hal ini disebabkan kurangnya data yang dapat digunakan untuk merekonstruksi sejarah yang valid, juga adanya pembedaan-pembedaan tentang apa yang dimaksud dengan “Islam”. Sebagian sarjana dan peneliti memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat sederhana seperti mengucapkan kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam secara sosiologis.2

Islam masuk di pulau Jawa dilatar belakangi dengan jatuhnya kerajaan Malaka ke tangan penguasa Islam yang sudah dimasuki oleh ajaran Islam dan melalui perjuangan politik inilah pemerintahan Islam mampu merebut Malaka. Berawal jatuhnya Malaka ini Islam semakin berkembang sampai di Jawa, hal ini dimulai dengan jalan perdagangan yang menghubungkan antara selat Malaka dan Selat Jawa. Hubungan bilateral inilah menjadi kesempatan tersendiri para saudagar muslim untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa yang dimulai sebelum tahun 1511 M. Disamping itu juga karena banyak

1 Muadzirin Yusuf, dkk., Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 33

2

Yakni masyarakat itu dikatakan telah Islam jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara actual dalam lembaga sosial, budaya, dan politik. Lih. Mudzirin Yusuf, dkk., Sejarah

(13)

orang-orang Jawa yang merantau di Malaka baik sebagai prajurit maupun sebagai pedagang, dan disana memiliki kawasan tersendiri yang disebut kampong Jawa. Di wilayah ini para dai masuk dan mengajarkan ajaran Islam. Ketika penduduk Jawa disana kembali ke daerah asalnya secara otomatis dia akan menyebarkan Islam di daerahnya masing-masing, seperti di Gresik dan Tuban.3

Sekitar permulaan abad ke-15 M, daerah-daerah pesisir Jawa atau saat ini dikenal dengan wilayah Pantura (pantai utara), merupakan daerah-daerah pelabuhan yang ramai dan padat lalu lintas perdagangan, yang menghubungkan antara Jawa dengan selat Malaka dan Manca Negara baik masuk maupun yang keluar. Hal inilah yang memberikan pengaruh besar terhadap sosial budaya penduduk Jawa pada saat itu sebagaimana di daerah-daerah urban, seperti Surabaya, Gresik, Tuban, Jepara, Pekalongan, Cirebon dan Banten, lebih dikenal sosok masyarakat yag memiliki cirri-ciri sosial yang unik, urban, keras, terbuka, dan plural. Yang membedakan dengan daerah-daerah Jawa sebagian pedalaman, cenderung tertutup, ramah, feodal, dan homogen. Sebagaimana yang dikemukan oleh Cristian Snouck Hurgronje, seperti dikutip oleh Werthein, bahwa agama Islam pada saat itu bagi orang-orang Jawa membawa pengaruh positif, karena Islam mampu memberikan rasa aman dan mampu mengangkat harkat dan martabat Kawulo Cilik (komunitas kecil).4 Di sini Islam sebagai agama telah menempatkan fungsi sosialnya yang berorientasi kelapisan bawah. Agama yang secara tidak sengaja terlihat intensif dengan kehidupan masyarakat kecil Jawa lewat mekanisme tradisional ekonomi pasar, ia hadir menawarkan pilihan kehidupan sosial yang memberi rasa persamaan (egalitarianisme) bagi setiap orang.

Proses Islamisasi sebagai gambaran di atas, itupun berlaku juga di Jawa. Karena pada prinsipnya Islam mengangkat harkat dan martabat manusia, dengan tidak meninggalkan budaya setempat. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Walisongo, yang memiliki peran besar dalam proses

3 Abu Su’ud, Islamologi : Sejarah, Ajaran dan Perannya dalam Peradaban Umat

Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hlm. 122.

(14)

3

penyebaran Islam khususnya di Jawa, yaitu Jawa barat yang berpusat di Cirebon dengan tokohnya sunan Syarif Hidayatullah, di Jawa Tengah dengan pusatnya di Demak, tokohnya dengan panggilan Sunan Kalijaga, kemudian di Kudus, tokohya dikenal dengan sebutan Sunan Kudus, dan di Muria, tokohnya dikenal dengan sebutan sunan Muria. Sedangkan di Jawa Timur berpusat di Gresik dengan tokohnya yang populer dengan panggilan sunan Maulana Malik Ibrahim. Tugas para sunan (wali) tidak hanya terfokus pada daerah-daerah tersebut, melainkan di daerah-daerah yang melingkupi kawasan tersebut. Seperti kalau di Jawa Tengah yang diwakili tiga kawasan itu memiliki peran menyebarkan di daerah Jepara. Di Jawa Tengah mengapa ada tiga wali yang bertugas menyebarkan Islam, oleh sebagian cerita, konon di Jawa Tengah dan sekitarnya adalah daerah rawan konflik dan pengaruh agama Hindu-Buda yang sangat kental sekali. Melihat kondisi semacam inilah para wali mendirikan kerajaan sendiri yang berpusat di Demak dengan dipimpin oleh seorang raja yang bernama Raden Patah, yang dikenal sampai saat ini, bahwa kerajaan Islam pertama kali di Jawa yaitu di Demak. Dengan mendirikan pemerintahan Islam, akan dirasa lebih mudah untuk menyebarkan Islam di Jawa, De Graf menyebutnya, pengislaman dengan cara atau melalui jalur politik, cenderung pada kekerasan itu hanya terjadi di Demak dan Jepara.5

Ajaran Islam yang diturunkan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. Kondisi ini tidak hanya dialamatkan kepada umat Islam saja, melainkan seluruh isi alam. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah di dalam Al-Qur’an surat Al Ambiya’ ayat 107 :      

Artinya: dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam. (QS.Al-Ambiya: 107)6

5

H. J. De Graf dan TH Pegiaut, Kerajaan Islam Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah

Politik Abad XV dan XVI, (Jakarta: PT Pustaka Utama Graffiti, 2003), hlm. 38.

6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2004) hlm. 264

(15)

Tercapainya risalah Nabi dan tujuan pembangunan nasional diatas ditemukan pada nilai-nilai filosofi yang terkandung dalam Topo Wudo Ratu Kalinyamat, yang tentunya menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat Indonesia, dan juga merupakan pemeluk dan pengamal ajaran Islam.

Aktualisasi sosial dan individual ini merupakan realisasi dari ajaran Islam, dimana keimanan itu merupakan aqidah dan pokok yang di atasnya berdiri syariat Islam. Perbuatan itu merupakan syariat dan cabang-cabang yang dianggap sebagai buah yang keluar dari keimanan serta aqidah itu. Maka dari itu keduanya tak dapat dipisahkan, Sayid Sabiq berkata bagaikan buah dengan pohonnya.7

Akhirnya pengaktualisasian itulah yang dapat memberi manfaat bagi manusia, sebagaimana yang dijelaskan oleh Nasrudin Rozaq bahwa selain manusia harus memiliki kepercayaan yang benar, kepercayaan itu sangat perlu bagi manusia dalam hidupnya karena iman merupakan pelita hidup, tanah tempat berpijak dan tali tempat bergantung. Banyak manusia yang kehilangan tujuan hidup karena ketiadaaan iman, 1001 macam problema dan persoalan hidup yang meliputi kehidupan manusia tidak ada yang terkecuali, persoalan hidup disela-sela kehidupan manusia.8

Oleh karena iman itu keyakinan yang tanpa ragu maka kebenarannya dapat dijadikan etos dan nilai dasariyah yang memotivasi membentuk perilaku baik dan tata pikir, tata tutur maupun tingkah laku. Namun di dalam sejarah telah membuktikan bahwa pengaktualisasian iman sangatlah beragam. Hal ini karena adanya pengaruh-pengaruh yang sengaja mencampuri keimanan Islami yang tinggi dan luhur itu dengan pemikiran manusia yang diada-adakan bahkan dinodai oleh sekumpulan pendapat yang tidak mencerminkan keyakinan yang hak. Hal diatas memang pernah disinyalir oleh Nabi SAW, bahwa praktek pelaksanaan aqidah ini beragam yaitu menjadi tujuh puluh tiga aliran dan yang selamat hanya satu aliran

7 Sayid Sabiq, Aqidah Islam, (Bandung: Diponegoro, 1990), hlm. 15. 8 Nasruddin Rozak, Dienul Islam, (Bandung: PT. Al Ma’arif, t.th.), hal.122.

(16)

5

Karena peran iman sebagai suatu kondisi mental yang mewujudkan sikap dan perilaku. Menurut Imam Al-Asy’ari, iman berarti pemenuhan tiga unsur yang terdiri dari tasdiq dalam hati, ikrar atau pengakuan dengan lisan dan mengaktualiasikan dalam wujud perilaku konkrit dalam kehidupan pribadi maupun sosial, karena sosok perilaku konkrit dalam kehidupan sosial ini meliputi dua dimensi yaitu aqidah dan syari’ah.9 Dimensi aqidah diperlukan untuk menopang dan menyadari perilaku lahiriyah sehari-hari karena ajaran Islam meliputi seluruh bidang kehidupan manusia.

Dalam konteks Topo Wudo yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat merupakan wujud kecintaan beliau kepada Pangerang Hadirin. Pada satu sisi

Topo Wudho merupakan bentuk ikhtiar untuk mewujudkan dendam Ratu

Kalinyamat. Namun disisi lain dalam konteks sebagai seorang Ratu, tentu setiap perbuatan dalam kehidupannya memiliki makna yang tidak biasa.

Menurut cerita dari buku Babat Tanah Jawa, Ratu Kalinyamat bertapa telanjang di gunung Donorojo yang dijadikan kain adalah rambutnya yang terurai. Ratu Kalinyamat bersumpah selama hidupnya tidak mau memakai kain jika Ariyo Penangsang belum mati.10

Dalam buku Serat Babat Demak juga dilukiskan dalam bentuk tembang pangkur yang diartikan dalam bahasa Indonesia. “Ratu Kalinyamat meninggalkan gerbang istana pergi bertapa diatas gunung tapa telanjang berkain rambut diatas gunung Donorojo, “saya bersumpah tak akan berkain jika belum menerima keadilan Tuhan atas kematian saudara saya”.11

Kedua sumber tersebut diatas disebutkan bahwa Ratu Kalinyamat bertapa dengan telanjang. Benarkah demikian? Dalam bahasa Jawa Wudo (telanjang) bisa berarti tidak mengenakan pakaian tapi juga bisa berarti tidak memakai barang-barang perhiasan dan pakaian yang bagus-bagus. Jika demikian maka “Wudo” artinya kiasan.

9 Syahrastani, Al-Milal Wa Al Nihal, (Al-Misriyyah: Maktabah Al-Nahdoh, 1952), hlm. 11.

10 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Babat Tanah Jawa, (Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia Dan Daerah, 1980), hlm. 519.

(17)

Interpretasi ini sesuai dengan pendapat Drs. Uka Sasmita yang pernah mengemukakan pendapatnya bahwa untuk menebus jiwa suaminya yang dicintai itu ia (Ratu Kalinyamat) bertekat melakukan tapa dengan tidak menghiraukan pakaian dan makanan apapun.12 Dengan mengemukakan pendapat tadi maka Topo Wudo Ratu kalinyamat harus diartikan secara kias bukan secara harfiyah.

Adapun pertapaan Ratu Kalinyamat berada di desa Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara. Ratu Kalinyamat adalah putri dari Sultan Trenggono, Raja Islam ke-tiga di Demak dan cucu dari Raden Fatah Raja Islam pertama di Jawa. Ratu Kalinyamat memimpin dibagian utara pulau Jawa yang terkenal bijaksana, kuat dan strateginya yang matang, walaupun beliau adalah seorang putri.

Bertolak dari kenyataan diatas, penulis berupaya untuk mengupas persepsi masyarakat mengeni makna-makna yang terkandung dalam topo wudho Ratu Kalinyamat, bukan sekedar sebagai nilai-nilai semu yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

B. Rumusan Masalah

Atas dasar latar belakang masalah diatas maka timbul permasalahan yang tentunya menjadikan kontroversi dikalangan masyarakat, dan penulis berupaya untuk membahas lebih lanjut dalam skripsi ini.

1. Bagaimanakah bentuk Cerita Rakyat Pertapaan Ratu Kalinyamat ?

2. Bagaimanakah persepsi masyarakat terhadap konteks Topo Wudo Ratu Kalinyamat di desa Tulakan Kec. Donorojo Kab. Jepara

3. Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam konteks Topo Wudo Ratu Kalinyamat ?

C. Tujuan Penulisan Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini penulis mempunyai beberapa tujuan yaitu :

(18)

7

1. Untuk mengetahui sejauh mana pandangan masyarakat tentang konteks

Topo Wudo Ratu Kalinyamat

2. Berusaha ingin mengetahui mitos-mitos yang terdapat dalam Cerita Rakyat Pertapaan Ratu Kalinyamat

3. Memberikan kontribusi kepada pihak yang berkompeten berupa sumbangan pemikiran mengenai konteks pertapaan Ratu Kalinyamat. 4. Untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana strata 1

di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

D. Tinjauan Pustaka

Untuk dapat memecahkan persoalan dan mencapai tujuan sebagaimana di atas, maka perlu dilakukan tinjauan pustaka guna mendapatkan kerangka berfikir yang dapat mewarnai kerangka kerja serta memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan.

Terdapat beberapa buku yang membahas tema tersebut. Diantaranya buku karya Hartoyo Amin Budiman, yang berjudul Komplek Makam Ratu

Kali Nyamat, dan buku ini merupakan hasil dari proyek Pengembangan

Musium Jateng. Buku tersebut menjelaskan tentang sejarah Ratu Kalinyamat dengan kerajaannya di pantai Utara Jawa Tengah Abad XVI: Jepara Kalinyamatan. Dalam sub bab ini dijelaskan bahwa Jepara sebagai tempat tinggal para pedagang dan pelaut baik yang datang dari selat Malaka maupun dari manca negara, karena pelabuhan Jepara dikenal dengan teluk yang aman.

Proyek penerbitan buku sastra Indonesia dan daerah, yang berjudul

Babat Tanah Jawa, juga menjadi rujukan penulis untuk memperkaya

pembahasan lebih lanjut. Dalam buku tersebut menerangkan biografi beserta konsep Topo Wudo Ratu Kalinyamat yang terletak di desa Tulakan kecamatan Donorojo Jepara, dan juga menceritakan tentang kepemimpinan Ratu Kalinyamat yang pernah mewujudkan kejayaan di wilayah pantai utara Jepara. Terdapat juga skripsi sebelumnya karya Mohammad Nur Arifin mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, fakultas Ushuluddin jurusan Tasawuf Psikoterapi yang berjudul “SULUK RATU KALINYAMAT (Studi Analisis

(19)

Tentang Laku Topo Wudo Sinjang Rambut)”. Dalam skripsi tersebut mengurai banyak tentang Ratu Kalinyamat dari sudut pandang tasawuf sebagai suluk Ratu Kalinyamat yang berkaitan dengan laku spiritualnya. Maka penulis meneliti dari sudut pandang yang berbeda, yaitu tentang persepsi masyarakat tentang laku Topo Wudo Ratu Kalinyamat yang selama ini masih menjadi sosok yang kontroversial.

E. Metodologi Penelitian

Metodologi merupakan salah satu faktor yang terpenting dan menentukan keberhasilan dalam penelitian. Hal ini dapat disebabkan berhasil atau tidaknya penelitian akan banyak ditentukan oleh tepat atau tidaknya metode dan yang digunakan.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif Studi lapangan yaitu penelitian yang dilakukan secara intensif dan mendalam terhadap obyek yang di teliti. Dengan demikian penulis menggunakan metode yang disesuaikan dengan jenis penelitiannya, yaitu:

1. Lokasi dan waktu penelitian a. Lokasi Penelitian

Lokasi yang kami pilih dari penelitian ini adalah seluruh penjuru wilayah kabupaten Jepara.

b. Waktu Penelitian

Penelitian ini kami laksanakan pada tanggal 20 Februari 2011 sampai tanggal 16 april 2011

2. Sumber Data a. Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti. Teknik pengambilan sampel penulis menggunakan purposive sampling, yaitu pengambilan sampel yang sesuai dengan tujuan dan kebutuhan tertentu. Dalam penelitian ini penulis akan mengambil beberapa sampel diantaranya yaitu masyarakat Jepara yang dimana masyarakat

(20)

9

tersebut mengetahui sedikit banyaknya pengetahuan tentang Pertapaan Ratu Kalinyamat, sebanyak 10 (sepuluh) orang.

b. Responden

Responden adalah jumlah orang yang akan diteliti atau diberi pertanyan. Disini penulis akan mengambil 10 responden yang diantaranya dari kalangan ulama’, juru kunci pertapaan Ratu Kalinyamat, pemuka agama, dan masyarakat pada umumnya

3. Metode Pengumpulan Data

a. Observasi langsung ke lokasi penelitian

Metode ini dimaksudkan bagi penulis untuk melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang terjadi pada keadaan yang sebenarnya.13

b. Interview, proses wawancara secara langsung kepada obyek yang menjadi tujuan penelitian yaitu kalangan ulama’, juru kunci pertapaan Ratu Kalinyamat, pemuka agama, dan masyarakat pada umumnya. Interview merupakan proses interaksi antara pewawancara dengan respoden. Adapun situasi wawancara dan isi pertanyaan yang ditanyakan merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pewawancara, responden, dan situasi wawancara.14 Metode ini bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang persepsi masyarakat mengenai Pertapaan Ratu Kalinyamat, serta pendirian mereka itu, merupakan suatu pembentuk utama dari metode observasi.15

Melalui teknik wawancara, peneliti bisa merangsang responden agar memiliki wawasan pengalaman yang lebih luas. Dengan

13 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Tjun Surjana (ed), (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999), hlm. 125-126.

14 Moh. Nazir, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hlm. 235. 15 Koentjoroningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), hlm. 129.

(21)

wawancara juga, peneliti dapat menggali soal-soal penting yang belum terfikirkan dalam rencana penelitiannya.16

4. Analisis Data

Analisis data merupakan suatu langkah yang sangat kritis dalam penelitian. Penilitian harus memastikan pola analis mana yang akan digunakannya, apakah analisis statistik ataukah analisis non statistik. Penilaian ini tergantung pada jenis data yang dipergunakan.17

Analisis merupakan faktor penting dalam penelitian. Maksud analisis adalah proses menghubung-hubungkan, memisahkan, dan mengelompokkan antara fakta yang satu dengan fakta yang lain, sehingga dapat ditarik kesimpulan sebagai akhir pembahasan

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Yaitu data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data yang lainnya untuk mendapatkan kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknnya, sehingga memperoleh gambaran baru atau menguatkan suatu gambaran yang sudah ada dan sebaliknya. Jadi bentuk penelitian berupa penjelasan bukan angka-angka statistik atau bentuk angka-angka lainya.18

Selanjutnya penggunaan analisis dalam teknis penyajian laporan penulis menggunakan metode :

a. Analisis Deskriptif

Data yang terkumpul diolah dan analisis secara diskriptif. Analisis deskriptif adalah analisis yang bermaksud untuk membuat deskripsi mengenai situasi-situasi atau kejadian-kejadian. Tujuannya adalah

16 Sanafiah Faisal, Guntur Waseso, Metodologi Penelitian Kualiatif, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 213.

17

Sumadi Surya Grata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 85

18 P. Djoko Sobagyo, Metodologi Pemimpin Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1997), hlm. 106.

(22)

11

untuk membuat pencandraan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah.19

b. Analisis Fenomenologi

Adalah analisis data berdasarkan pada gejala-gejala tradisi budaya yang tidak lepas dari peninggalan Ratu Kalinyamat yang tampak dalam suasana pada masyarakat di wilayah desa Tulakan kecamatan Donorojo kabupaten Jepara.

c. Metode Induktif

Metode ini penulis gunakan untuk mengambil kesimpulan dari uraian-uraian yang bersifat khusus kepada pengertian yang bersifat umum. d. Metode Deduktif

Metode ini penulis gunakan untuk mengambil kesimpulan dari uraian-uraian yang bersifat umum, kepada kasus-kasus yang bersifat khusus.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dan bersifat utuh, menyeluruh serta adanya keterkaitan antara bab I dengan bab yang lain, serta untuk mempermudah proses penelitian ini. Maka penulis akan memaparkan sistematika penelitian sebagai berikut :

BAB I : Merupakan pendahuluan dari skripsi ini memuat latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.

BAB II : Pada bab ini memuat landasan teori dari kegiatan penelitian yang antara lain membahas tentang :

a. Sejarah Masuknya Islam di Jawa

b. Interelasi Islam Dengan Kepercayaan Dan Ritual Jawa c. Ritual Bertapa Dalam Tinjauan Islam

d. Perilaku Manusia Berdasarkan Ajaran Keagamaan

(23)

BAB III : Bab ini merupakan penyajian data penelitian, oleh karenanya disini akan membahas mengenai biografi Ratu Kalinyamat, Pertapaan Ratu Kalinyamat, serta mengenal masyarakat dan kondisi geografis Jepara pada umumnya

BAB IV : Yaitu analisa dari hasil penelitian yang berisi tentang persepsi masyarakat mengenai Makna Topo Wudo Ratu Kalinyamat di Desa Tulakan Kecamatan Donorojo Kabupaten Jepara

BAB V : Adalah penutup sebagai akhir dari seluruh proses kegiatan penelitian yang berisi kesimpulan (menerangkan hasil penelitian), saran-saran dari penulis yang terkait dengan pembahasan serta kata penutup sebagai akhir kata.

(24)

13

BAB II

RITUAL BERTAPA DALAM ISLAM JAWA

A. Sejarah Masuknya Islam di Jawa

Agama Islam masuk ke Jawa sebagaimana Islam datang ke Malaka, Sumatera dan Kalimantan. Hal ini diyakini terjadi pada abad 1 Hijriyah. Setelah Timur Tengah mengalami zaman kenabian yakni sekitar abad ke-7 Masehi. Sebagai bukti adalah adanya berita Cina yang mengkisahkan kedatangan utusan Raja Tacheh kepada Ratu Sima. Peristiwa itu terjadi pada saat Muawiyah melaksanakan pembangunan kembali armada Islam. Tentu armada kapal ini berfungsi untuk melindungi armada niaganya, oleh karena itu tidaklah mustahil pada tahun 674 Masehi Muawiyah dapat mengirimkan dutanya ke kerajaan Kalingga di Jepara. Dalam bentuk artefak kita dapatkan bukti-bukti itu dalam bentuk batu nisan, masjid, ragam hias, dan tata kota.

Agama tauhid ini terus berkembang di Jawa kaum pedagang dan nelayan di pesisir banyak terpikat oleh ajaran yang mengajarkan Tuhan Allah. Salah satu benda yang baru bagi orang Jawa adalah nisan berukir kaligrafi seperti pada batu nisan di Leran, Gresik. Pada batu nisan tersebut tertulis nama Fatimah binti Maemun (W.1082). Orang Jawa sendiri pada zaman itu masih jarang yang memberi petanda batu nisan bagi orang yang meninggal, apalagi batu nisan mewah pada awal abad ke-13. Bukti-bukti adanya jejak Islam telah ada di Trengganu dan Jawa. Pada akhir abad ke-13 pantai utara Jawa telah memiliki raja-raja Islam, pada abad ke-16 agama Islam sudah lebih maju keadaannya. Pedagang semakin luas hingga barang-barang seperti kain sutera, keramik, dan kurma bisa masuk ke Jawa.1

1

M. Hari Wijaya, Islam Kejawen (Yogyakarta: PT Gelombang Pasang, 2006), hlm. 166-167.

(25)

Awal sejarah Islam di kepulauan Melayu-Indonesia tampak sangat problematik dan rumit. Banyak masalah yang muncul meliputi asal usul dan perkembangan awal Islam di kawasan ini. Masalah-masalah itu muncul tidak hanya karena perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan “Islam’ itu sendiri, tetapi yang lebih penting karena sedikitnya data yang memungkinkan kita merekonstruksi suatu sejarah yang bisa dipercaya (realiable)2. Menurut Bernhard dalam salah satu bukunya menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui dua gelombang, pertama berlangsung dalam abad ke-13 dan ke-14, sedangkan gelombang kedua dalam abad ke-19. Dalam gelombang pertama Islam dengan cepat diterima oleh penduduk di daerah pesisir, tetapi memerlukan waktu yang cukup lama untuk menembus daerah pedalaman. Di beberapa daerah di Jawa, misalnya, Islam muncul dalam bentuk kompromistis dan sinkretis dengan unsur-unsur kepercayaan dan tradisi setempat, kemudian sekitar abad ke -15 dan ke-16 muncullah para penyiar Islam di Jawa yang dikenal sebagai walisongo.3

Islamisasi nusantara merupakan suatu proses yang bersifat evolusioner manakala Islam segera memperoleh konversi banyak penguasa pribumi, Islam kemudian berkembang di tingkat rakyat bawah, Islamisasi pelbagai kelompok etnis yang hidup di pelbagai wilayah yang berbeda benar-benar bukan merupakan bentuk konversi tunggal dan seragam, melainkan suatu proses panjang menuju kompromi yang lebih besar terhadap ekslusivitas Islam. Pelbagai faktor memberikan sumbangan terhadap proses menuju kompromi ini. Perkembangan keilmuan dan pembelajaran Islam secara lokal kontak keagamaan dan intelektual dengan pusat-pusat Islam di Timur Tengah dan

2 Azyumadi Azra, Islam Nusantara: Jaringan Global dan Lokal, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 17

3

Darul Aqsha, K.H. Mansur (1896-1946); Perjuangan dan Pemikiran, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 2

(26)

15

perubahan sosial, ekonomi dan politik memberikan konstribusi penting dalam pencapaian kompromi lebih besar dengan Islam.4

PengIslaman di seluruh kawasan tidak seragam. Tingkat penerimaan Islam pada satu bagian yang lainnya bergantung tidak hanya pada waktu pengenalannya tetapi tak kurang pentingnya bergantung pada watak budaya lokal yang dihadapi Islam. Sebagai contoh di daerah pesisir yang umumnya memiliki budaya maritime dan sangat terbuka terhadap kehidupan

cosmopolitan, Islam masuk dengan cara yang lebih mudah pada daerah

pedalaman yang memiliki budaya agraris, yang lebih tertutup.

Untuk mengolaborasi lebih jauh. Penduduk daerah pesisir yang secara ekonomi bergantung pada perdagangan internasional dalam suatu atau lain hal cenderung menerima Islam dalam rangka mempertahankan para pedagang muslim yang sudah berada di nusantara sejak paling kurang pada abad ke-7 untuk tetap mengunjungi dan berdagang di pelabuhan-pelabuhan mereka. Dengan masuk Islam penguasa lokal pada batas tertentu mengadopsi aturan-aturan perdagangan Islam untuk digunakan dalam masyarakat pelabuhan sehingga pada gilirannya akan menciptakan suasana yang lebih mendukung bagi perdagangan.5

Tidak dapat dipungkiri bahwa masuknya Islam ke tanah Jawa berkaitan dengan jatuhnya Malaka ke tangan pedagang maupun penguasa beragama Islam di sana. Agama itu berkembang dari pantai Malaka hingga di berbagai kota di Pesisir Jawa bahkan sampai ke kepulauan Timur, yang berkembang sejak sebelum tahun 1511 M. Kawasan seluas itu dijelajah oleh para pedagang muslim. Demikian juga orang Jawa memainkan peranan aktif dalam persebaran Islam di kawasan tersebut.

Sejak lama banyak orang Jawa mendiami kota-kota dagang di Malaka sebagai pedagang. Tempat-tempat pemukiman orang Jawa itu yang tersebar di

4

Azyumadi Azra, op. cit., hlm. 21 5 Ibid. Hm. 19

(27)

berbagai kota kemudian dikenal sebagai kampong Jawa. Orang-orang Jawa tersebut cepat menyesuaikan diri dengan budaya setempat, namun banyak juga di antara mereka yang masih suka berkunjung ke tempat asal, lewat kunjungan itulah mereka memperkenalkan agama baru, yakni agama Islam di kampung halaman mereka.6

Islam merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran dan kebudayaan Islam mengalir sangat deras dari Arab dan Timur Tengah sehingga memberi warna yang sangat kental terhadap kebudayaan Jawa. Pulau Jawa selalu terbuka bagi siapapun yang masuk, orang Jawa terkenal ramah sejak dulu dan siap menjalin kerjasama dengan siapapun termasuk ketika pedagang dan alim ulama yang berbeda etnis. Mereka adalah para pedagang dan ulama dari Timur Tengah, kedatangan mereka membawa sejarah baru yang hampir merubah wajah Jawa secara keseluruhan.

Tempat di Jawa yang pertama mendapatkan pengaruh agama Islam ialah Gresik dan Tuban, kenyataan itu tidak mengherankan, mengingat Gresik ketika itu merupakan sebuah pelabuhan yang ramai sebagai salah satu pintu Majapahit. Berita tentang persebaran Islam di sana berasal dari berita-berita Tiongkok pada awal abad XV antara lain diberikan bahwa keadaan penduduk di daerah Tuban, Surabaya dan daerah sekitarnya. Di daerah itu ada tiga macam penduduk.7 Jadi penduduk beragama Islam hanya berupa pedagang Asing, selanjutnya diberitakan pula tentang adanya makam Islam di Gresik Jawa Timur yaitu makam Malaik Ibrahim yang berasal dari Persia, yang meninggal pada tahun 1419 M.

Bagi orang Jawa memang tidak sulit untuk berpindah agama, dari Hindu ke Islam seperti yang terdapat di daerah Gujarat, para penyiar agama

6

Abu Su’ud, Islamologi: Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat

Manusia. (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), hlm. 123

7

Pertama orang Arab, yang dimaksud adalah kaum Muslimin yang datang dari Gujarat, kedua adalah orang Tionghoa yang kebanyakan sudah menjadi Muslim, yang ketiga orang Jawa yang masih beragama Hindu. Lih. Abu Su’ud, ibid., hlm. 122

(28)

17

tampaknya menggunakan cara membiarkan sisa-sisa praktek agama lama, asal sudah mengucapkan syahadat sebagai tanda masuk Islam. Itu sebabnya tidak mengherankan kalau nisan yang dipakai adalah bekas nisan yang dipakai orang Hindu.8

Perkembangan kemudian menunjukkan bahwa Islam memang berhasil menembus ke daerah pedalaman, dan malah menjadi milik masyarakat. Hanya saja meluasnya Islam dikalangan masyarakat tidak diimbangi dengan penghayatan agama yang mendalam sehingga dalam jangka waktu yang lama mengalami kemunduran, demikian tulis Harry J. Benda Islam hanyalah merupakan “kulit ari bagi agama Indonesia, terutama di Jawa” dan kehidupan umat Islam lebih banyak di dominasi oleh kelompok-kelompok tarekat.9

B. Interelasi Islam Dengan Kepercayaan Dan Ritual Jawa

Dalam konteks kebatinan dikenal pula ajaran penghayatan dan pengalaman mistik mengenai hadirnya Tuhan, bukan saja sembarangan pertemuan dengan Tuhan dalam suara hati nurani melainkan kesatuan dengan Tuhan ditujukan “pamoring kawula Gusti (kesatuan manusia dengan Tuhan). Dalam teori kebatinan, tujuan itu dilukiskan sebagai kesadaran diri manusia tenggelam dalam ketuhanan dan hilangnya kepribadian sendiri.

Misalnya dalam Wirid Hidayat Jati, mengajarkan tentang paham kesatuan antara manusia dengan Tuhan. Paham ini mengajarkan bahwa manusia berasal dari Tuhan, oleh karena itu, ia harus berusaha untuk dapat bersatu kembali dengan Tuhan. Kesatuan kembali antara manusia dengan Tuhan di dunia bisa dicapai melalui penghayatan mistik, seperti pada umumnya dalam setiap ajaran mistik. Akan tetapi kesatuan yang sempurna

8 Dua sifat tersebut yaitu, pertama, karena sifatnya yang demokratis, tidak mengenal kasta, kedua, mudahnya proses masuk Islam, yakni tanpa harus menggunakan seremoni yang rumit, ibid., hlm. 123.

(29)

antara manusia dengan Tuhan menurut Wirid Hidayat Jati adalah sesudah datangnya masa ajal atau mati.

Manusia yang sanggup mencapai penghayatan kesatuan dengan Tuhan, akan menjadi orang yang waskitha dan menjadi manusia yang sempurna hidupnya, yaitu orang yang tingkah lakunya mencerminkan perbuatan-perbuatan Tuhan. Lantaran Tuhan bersabda, mendengar, melihat, merasakan segala rasa serta berbuat mempergunakan tubuh manusia. Maka dalam Wirid

Hidayat Jati, penjelasan tentang Tuhan tidak dipisahkan dengan uraian

tentang manusia. Dalam arti manusia yang telah mencapai tingkat kesatuan dengan Tuhan.10

Pokok pikiran yang menjadi inti ajaran Wirid Hidayat Jati adalah konsep manuggaling kawula Gusti (kesatuan manusia dengan Tuhan). Artinya kita hidup yang harus dicapai oleh manusia untuk mencapai kesatuan antara manusia dengan Tuhan adalah melakukan manekung amuntu samadi.11

Manunggaling kawula Gusti juga tercermin dalam ajaran Bima

sewaktu berguru dengan Dewa Ruci seperti termaktub dalam Serat Bima Suci karya Yasadipura. Pada waktu Bima berhadapan dengan Dewa Ruci, dia menyembah, duduk bersila dan berbahasa krama. Bima merasa kecil bila berhadapan dengan Dewa Ruci. Hal ini memberi lambang bahwa manusia itu kecil sekali bila berhadapan dengan kekuasaan kebijaksanaan dan keberadaan Tuhan yang kekal transcendental, sehingga manusia harus sadar untuk menyembah, menyerahkan diri kepada Sang Pencipta.

Sewaktu Werkudara menyelam mengarungi samudera, dia membunuh Naga Nemburnyawa. Werkudara melambangkan manusia bertapa dan bermeditasi, maka seseorang harus mnenghilangkan nafsu rendah dan

10

Simuh, Mistik Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, (Jakarta: UII-Pres,, 1988), hlm. 282.

(30)

19

memurnikan tekad batinnya. Dia mati sajroning urip dengan tujuan urip

sajroning mati, suatu sikap sempurna dalam filsafat Jawa.

Ketika berada dalam pribadinya, Werkudara menemukan apa yang dicarinya, yaitu air hidup, asal-usul dirinya, sangkang paraning dumadi di dalam batinnya sendiri. Werkudara bersatu dengan Tuhannya di dasar sukmanya sendiri. Dia telah mencapai tingkat manunggaling kawula Gusti. Dia sudah menjadi manusia sempurna, insan kamil.12

Syeikh Siti Jenar yang memberikan pandangan tentang hidup sejati, yakni hidup yang telah berhasil membuka pintu pertemuan dengan sang kekasih, Allah SWT. Pintu inilah yang di dalam tasawuf disebut “makrifat”. Makrifat kepada Allah bisa tercapai bila diri kita mampu mengungkapkan selubung eksistensi diri, berlatih meninggalkan dunia sebelum meninggal dunia dan selalu mengaktualkan nama-nama Allah ke dalam setiap aktivitas hidup. Hidup sejati baginya hanya bisa diraih apabila telah melepaskan nyawanya dan menyatu dengan Dzat Tuhan secara sempurna, maka hidup di dunia ini dianggapnya sebagai mati karena membawa sifat-sifat ketidaklanggengan.13

Menurut Syeik Siti Jenar, hidup itu tempatnya ada dalam uni nong ana

nung. Inilah kehidupan sejati. Seseorang yang tidak bisa memposisikan diri

dalam uni nong ana nung ini berarti ia belum tahu akan hidup, sama saja seperti bangkai yang berjalan.

Uni nong ana nung ini adalah Dzat Tuhan, yakni Aku. Dalam ajaran

martabat tujuh, keadaan ini sama saja dengan martabat ahadiyah, yakni tingkat pertama penampakan Tuhan. Tuhan dalam keadaan ini digambarkan sebagai Dzat semata. Dia tidak memiliki nama untuk menyebut Diri-nya, maka Siti Jenar

12

Ibid., hlm. 234-235. 13

Agus Wahyudi, Makrifat Jawa; Makna Hidup Sejati Syeikh Siti Jenar dan Walisongo, (Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2007), hlm. 121.

(31)

berani mengatakan bahwa nama Allah ada karena dzikir yang dilakukan manusia.

Seseorang yang hendak mencapai kehidupan yang sejati, maka ia harus mengetahui hakikat dirinya. Para ahli makrifat memberikan ungkapan

man ’arafa nafsahu faqad ‘arafa Rabbahu ; barang siapa sudah mengetahui

dirinya maka dia sudah mengetahui Tuhannya.

Ungkapan di atas mengandung pesan bahwa tidak mungkin seseorang akan mengenal Tuhannya jika ia tidak mengenal hakikat dirinya. Untuk dapat mengenal hakikat diri, seseorang bisa memulainya dari bawah ke atas. Istilahnya taraqi (mendaki), yakni dari tingkatan paling bawah dalam martabat tujuh, lalu terus naik hingga sampai pada tingkatan tertinggi.

Mula-mula, ia mengenal dirinya sebagai manusia secara jasmani. Kemudian naik mengenal dirinya sabagai bangunan sebuah jiwa dengan segala pernak-pernik di dalamnya. Selanjutnya naik lagi, mengenal dirinya sebagai roh, lalu ia mengenal dirinya sebagai satu kesatuan alam semesta yakni Nur Muhammad. Hingga akhirnya ia mengenal diri sesungguhnya, ia lebur jasmani dan rohaninya, lenyap dalam Dzat Tuhan yang nyata. Maka hilanglah semua yang ia rasakan, oleh karena tampaknya Dzat Tuhan yang satu itulah hakikat kehidupan hidup sejati yang dicapai melalui pelenyapan diri dan penyatuan dalam Dzat Tuhan yang maha Mulia, manuggaling kawula Gusti.14

C. Ritual Bertapa Dalam Tinjauan Islam

Pada dasarnya manusia selalu dihadapkan pada dua problema kehidupan yang harus dipilih salah satu olehnya, yakni selalu dihadapkan oleh masalah baik dan buruk. Di sinilah manusia ditantang untuk memberikan putusan yang tepat karena salah dalam memberi keputusan akan berakibat fatal. Oleh karena itu manusia perlu alat kontrol bagi dirinya yaitu agama. Jika

(32)

21

kita berbicara agama maka obyeknya adalah manusia hingga mendapat sebutan manusia yang beragama. Sebutan ini bermakna banyak, karena rajin beribadat, keyakinannya terhadap doktrin agama. Sebutan ini bermakna banyak, karena rajin beribadat, keyakinannya terhadap doktrin agama, etika hidup, pandangan-pandangan yang kesemuanya dapat menunjuk kepada agama.

Di dunia ini dalam kenyataannya banyak agama, yang sudah barang tentu seperangkat dengan tata hidup dan kehidupan yang menunjukkan orang itu beragama. Namun dalam prakteknya mereka berbeda-beda, dan ini memang maklum. Misalnya kita dapat melihat orang hindu pantang makan daging sapi, sedangkan penganut Islam mengharamkan daging babi, protestan berpantang alkohol. Nampak bahwa fariasi-fariasi ini bersifat mendasar. Namun pada dasarnya semua agama itu mempunyai tujuan yang sama, sebagaiman yang dikemukakan oleh R. Sark dan C.Y. Glock membagi dimensi-dimensi keberagamaan itu menjadi lima poin, dintaranya:

1. Dimensi Keyakinan

Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan doktrin-doktrinnya.

2. Dimensi Praktek Agama

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek keagamaan ini terdiri dari dua tingkat. Pertama, ritual yaitu yang mengacu pada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua agama mengharapkan semua pengikutnya melaksanakannya (wajib). Kedua, ketaatan yaitu mengacu kepada ketaatan seseorang religius, namun tindakan keagamaannya tidak bersifat formal. Didalam Islam diwujudkan dalam bentuk ibadah-ibadah sunnah.

(33)

3. Dimensi Pengalaman

Bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu yang pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan subyektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir (bahwa ia akan mencapai suatu keadaan kontak dengan perantara supranatural). Kendati hal ini memang memerlukan ketaatan yang tinggi, biasanya tidak semua orang beragama bisa sampai pada kenyataan ini. Dalam Islam kenyataan ini bisa dilakukan para sufi, para wali, para nabi dan semua yang dikehendaki olah Allah. 4. Dimensi Pengetahuan Agama

Bahwa orang yang beragama paling tidak mengetahui sejumlah pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi.

5. Dimensi Konsekwensi

Dimensi ini mengacu identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang. Agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berfikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari.15

Dapat dikatakan bahwa teologi adalah jantungnya agama, sehingga aspek-aspek yang lain menjadikan koheren. Aspek praktek keagamaan adalah yang paling bernilai dari komitmen keagamaan. Ritual dan kegiatan-kegiatan yang menunjukkan ketaatan seperti dalam ibadah sunnah dan amal-amal seolah tidak dapat difahami kecuali jika kegiatan-kegiatan itu berada dalam kerangka kepercayaan yang mengandung dalil bahwa ada kekuatan besar yang harus disembah.

Bertapa adalah salah satu dari sekian ketaatan yang ada dalam praktek agama Islam yang sudah barang tentu berdasarkan atas dalil-dalil. Bertapa sendiri dalam Islam sering diidentikkan dengan kholwat dalam istilah

15

Rolan Robinson, Agama Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologi, (Jakarta: Rajawali Press, 1988), hlm. 295-297.

(34)

23

thorikoh, yang mempunyai pengertian menyendiri pada suatu tempat tertentu, Selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah melalui sholat dan amaliyah tertentu lainnya.16 Pengertian ini sejalan dengan apa yang disampaikan Abu Bakar Aceh yaitu melatih jiwa dan hati berkekalan ingat kepada Allah dengan tetap memperhambakan diri kepadaNya.17 Martin Van Bruinessen memberi pengertian Kholwat dengan penekanan dari jumlah hari yaitu empat puluh hari. Jadi kegiatan menyepi dari kesibukan dunia itu dilaksanakan selama empat puluh hari.18 Kelompok tasawuf di Indonesia sering menyebut dengan istilah suluk. Kegiatan atau amalan ini biasanya dilakukan ditempat-tempat khusus sehingga mereka tidak terganggu, tetapi seseorang dapat pula menjalankan di tempat-tempat lain seperti di goa-goa (biasanya terletak dilereng-lereng gunung) dan di makam para Waliyullah.19

Adapun dasar pelaksanaan kholwat adalah mengikuti apa yang dilakukan nabi Muhammad SAW, yaitu tatkala beliau belum menjadi nabi, beliau sering berkholwat ke gua Hiro’ sehingga dia mendapat wahyu sebagai bukti kenabian. Juga pada waktu beliau ditahan wahyunya oleh Allah beberapa lama sehingga Dia berkholwat ke gua Hiro’. Dan juga menjadi dasar kholwat adalah cerita nabi Musa AS di dalam Al-qur’an yang menerangkan bahwa Allah menjanjikan kepada nabi Musa 30 malam lamanya kemudian disempurnakan dengan sepuluh malam lagi hingga cukuplah 40 malam lamanya. Surat Al-A’rof ayat 142

             16

Ensiklopedi Islam, Jilid III, hlm. 36 17

Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf, (Jakarta: Romadoni, 1992), hlm. 332.

18

Marti Van Brunaissen, Thorikot Naksabandiyah di Indonesia, (Jakarta: Mizan, 1992), hlm. 88.

(35)

Artinya:

Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan taurot) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam dan Kami sempurnakan jumlah malam dengan 10 (malam lagi) maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam. (QS. Al-A’rof: 142) 20

D. Perilaku Manusia Berdasarkan Ajaran Keagamaan

Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap) tidak saja badan atau ucapan. Menurut ahli psikologi perilaku merupakan segala tindakan yang dilakukan oleh suatu organisme berbagai respon terhadapstimulasi motorik atau glanduer dipandang sebagai jenis perilaku.21 Ahli sosiologi memberi pengertian perilaku sudah dalam konteks kebudayaan yang pengertiannya yaitu keseluruhan pola kelakuan lahir dan batin. Artinya pola kelakuan lahir adalah cara bertindak yang ditiru orang banyak. Adapun pengertian pola kelakuan batin adalah cara berfikir berkemauan dan merasa yang diikuti orang banyak dan terulang-ulang.22

Dari pengertian di atas dapat penulis kemukakan seperti contoh: ketika kita sedang membalik sebuah buku. Contoh ini tampak sederhana tetapi sebenarnya kita sedang membaca buku, tidak hanya sekedar membalik buku. Membaca juga termasuk perilaku, cara duduk sambil membaca, gerakan mata yang kita lakukan, semua itu adalah perilaku yang berlainan.

Perilaku manusia ini terjadi melalui proses panjang sebagaimana diuraikan Sutan Takdir Ali Sahbana dalam bukunya antropologi baru. Manusia memiliki kedudukan istimewa dalam hidup sebagai makhluk yang berkelakuan. Kelakuan merupakan bagian Dari perubahan-perubahan. Perubahan itu ada anorganik (perubahan terjadi menurut hukum-hukum fisika

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2004) hlm. 133

21

Frank Bruno, Kamus Istilah Kunci Psikologi, hlm. 41.

(36)

25

dan kimia) dan perubahan organik (perubahan yang sudah tampak dalam susunan tertentu yang disebut hidup). Kehidupan itu ada dua yaitu kehidupan hewan dan manusia. Hewan hidup dengan instingnya untuk bisa saling melengkapi dengan alam sekitarnya. Sedangkan manusia pada dasarnya instingnya sangat terbatas, oleh karenanya manusia putus hubungan dengan alam dan penyesuaian dengan sekitarnya. Maka proses perlengkapan atau penyesuaiannya dengan menggunakan apa yang disebut budi. Dengan budinya itu manusia berubah, apa yang terjadi secara individu itu terjadi pula dalam masyarakat luas, maka terjadilah pengaruh mempengaruhi dan inilah yang disebut kebudayaan, hasil penjelmaan budi manusia menggambarkan adanya kebebasan.

Jadi kehidupan budi yang terjelma dalam penilaian itu merupakan ciri manusia yang terpenting dalam kehidupan individu, masyarakat dan kebudayaan yang memperoleh suatu segi kebebasan tertentu dalam pertumbuhannya.23

Manusia dengan budinya melakukan segala perbuatan, dan itu terwujud dalam bentuk nyata karena adanya faktor-faktor ini satu dengan yang lainnya selalu terkait, seperti yang diterangkn oleh Nico Sukur Dister sebagai berikut:

1. Sebuah gerakan yang secara sepontan atau alamiyah terjadi pada manusia. 2. Ke Akuan manusia sebagai pusat inti kepribadian.

3. Situasi manusia akan lingkungan hidupnya.24

Tindakan seseorang dan perbuatanya tidak bisa terlepas dari dunia sekitarnya tentu akulah yang melakukan rencanaku (faktor ke akuan) tetapi rencana itu kuterima tidak hanya dorongan-dorongan sepontan yang ada pada

23

Sutan Takdir Ali Sahbana, Antropologi Baru, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), hlm. 4. 24

Nico Syukur Dister, Pengalaman Dan Motivasi Beragama, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), hlm. 72-73.

(37)

diriku (faktor naluri) tetapi juga dari perangsang-perangsang yang berasal dari dunia sekitar (faktor lingkungan).

Keterangan ini adalah faktor yang timbul dari gejala psikologi, oleh karena itu penulis singgung faktor pembentuk perilaku menurut Edward Spranger yang mengemukakan enam nilai: Nilai-nilai Ekonomi, nilai-nilai sosial, nilai-nilai teori, nilai-nilai etika, nilai-nilai politik, dan nilai-nilai agama.25

Dalam kenyataannya faktor-faktor ini memang memiliki sifat dinamika tersendiri didalam mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia. Namun demikian pada kondisi tertentu dapat ditemukan salah satu faktor yang paling dominan yang sudah barang tentu yang sesuai dengan etos yang dimiliki dan pada pandangan hidupnya sendiri. Etos dan pandangn hidup inilah yang pada akhirnya berperan sebagai nilai yang mempunyai kekuatan untuk membentuk sikap dan perilaku manusia. Jika etos ekonomi yang dominan, maka sikap dan perilaku ekonomi, jika iman yang merupakan motivasi utama sikap dan perilakunya adalah imani.

Menurut ajaran Islam umat Islam harus senantiasa memiliki sikap dan perilaku Islami dan imani didalam segala bentuk perilaku dan keimanannya sehari-hari. Pernyataan ini didasarkan pada firman Allah dalam Al-Qur’an surat Dzariyat ayat 56.

       Artinya:

Dan Aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembahku. (QS. Dzariyat: 56) 26

25

Sutan Takdir Ali Sahbana, op.cit., hlm. 6. 26

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro, 2004) hlm. 417

(38)

27

Jadi ta’abut adalah tujuan utama penciptaan Jin dan Manusia, sikap dan perilaku seperti inilah yang disebut berperilaku teologis atau berperilaku agama.

Dalam perilaku ini mungkin dapat ditemukan sikap dan perilaku yang sesuai dengan norma-norma ajaran iman ataupun yang menyeleweng. Yang menjadi acuan utama adalah bahwa pemunculan dan pembentukan sikap dan perilaku tersebut didominasi oleh dorongan iman didalam dirinya

(39)

28

A. Keluarga Ratu Kalinyamat Dan Lingkungannya 1. Biografi Ratu Kalinyamat

Menurut buku Babat Tanah Jawa, Ratu Kalinyamat adalah putri pangeran Trenggono dan cucu Raden Patah (sultan Demak yang pertama). Dari perkawinannya dengan Putri Cina Raden Patah mempunyai enam orang putra, yang paling tua seorang putri Ratu Mas, menikah dengan Pangeran Cirebon. Adik-adiknya berjumlah lima orang, semuanya laki-laki, masing-masing Pangeran Sabrang Ler (lor), Pangeran Sedo Lepen, pangeran Trenggono , Raden Kunduran dan Raden Pamekas.1

Setelah Raden Patah meninggal, maka tahta kerajaan digantikan oleh anaknya yaitu Pangeran Sabrang Lor. Waktu Pangeran Sabrang Lor di belakang hari juga meninggal, yang menggantikannya Pangeran Trenggono. Menurut hukum yang sebenarnya yang berhak menggantikan Pangeran Sabrang Lor tidak lain adalah Pangeran Sido Lepen, adiknya yang paling tua. Akan tetapi oleh karena Pangeran Sedo Lepen telah meninggal, sebagai penggantinya ditunjuk Pangeran Trenggono2 dari Pangeran Trenggono ini sejarah asal-usul Ratu Kalinyamat diketahui. Menurut naskah yang dikumpulkan oleh panitia penyusun hari jadi Jepara mengenai keturunan Sultan Trenggono sebagai berikut:

a. Menurut R. Panji Jaya Subrata.

Sultan Trenggono mempunyai enam anak yang terdiri dari anak perempuan dan empat laki-laki. Putri pertama menikah dengan Pangeran Langgar, Putri kedua menikah dengan Pangeran Hadirin, Putri Ratu

1

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Babad Tanah Jawa, (Jakarta: 1980), hlm. 54. 2

Hartoyo Amin Budiman, Komplek Makam Ratu Kali Nyamat, (Jateng: Proyek Pengembangan Musium Jateng, 1982), hlm. 13.

(40)

29

Kembang tidak diketahui menikah dengan siapa, putri yang keempat menikah dengan penguasa Pajang, sedang anak laki-lakinya yang bernama Arya Bagus dan Raden Mas Timur tidak diketahui menikah dengan siapa.

b. Menurut Serat Kandaning Ringgit Purwa KBG 7.

Sultan Trenggono mempunyai lima orang anak, yang terdiri dari empat perempuan dan satu laki-laki. Putri Retna Kenya kawin dengan Pangeran Sampang, Retna Kencana menikah dengan Kiyai Wintang, Retna Merah menikah dengan Pangeran Riye, Putri keempat tidak diketahui menikah dengan siapa.

c. Menurut Babat Tanah Jawi.

Sultan Trenggono mempunyai enam orang anak. Putri yang pertama menikah dengan Pangeran Sampang, Putri yang kedua menikah dengan Pangeran Hadirin, Putri yang ketiga menikah dengan Pangeran Jaka Tingkir dan Pangeran Timur tidak diketahui menikah dengan siapa.3

Menurut beberapa fersi tersebut di atas penulis berkesimpulan bahwa Ratu Kalinyamat adalah Putri dari Sultan Trenggono (Raja Demak ketiga) sebagai cucu dari raja Demak I (Raden Patah) yang nama aslinya adalah Ratna Kencana dan menikah dengan Pangeran Hadirin.4 Sedang nama kalinyamat itu sebenarnya merupakan sebuah nama julukan pada suatu tempat, yaitu ibu kota Jepara pada waktu itu berada di daerah Kalinyamatan. Baik nama Kalinyamat maupun kedudukannya sebagai ibu kota kerajaan Jepara, tersebut dengan tegas dalam sumber sejarah Portugis dalam bukunya yang terkenal “De Asia” Penulis Portugis Deige De Couto telah menyebut kerajaan-kerajaan di pulau Jawa termasuk Jepara “Cuja

3

Panitia Hari Jadi Jepara, Sejarah Dan Hari Jadi Jepara, (Jepara: 1988), hlm. 18. 4 ibid, hlm. 19.

(41)

Cidede Principal Se Chama Cerinhama” yang ibukotanya bernama Kalinyamat5

Adapun mengenai kapan Ratu Kalinyamat lahir sampai sekarang belum dapat dipastikan oleh ahli sejarah. Namun di sini penulis akan mencoba mengira-ngira. Sebagaimana yang tertulis dalam buku Hari Jadi Jepara bahwa Sultan Trenggono lahir pada tahun 1483 dan wafat pada tahun 1546 dan dia naik tahta tahun 1524.6 Dari tahun ini dapat penulis ambil kesimpulan kira-kira kelahiran Ratu Kalinyamat tahun 1508 karena tahun 1550 dia sudah mengadakan pertempuran dengan Portugis ke Malaka.7

Kiranya kuranglah lengkap apabila sejarah Ratu Kalinyamat ini tidak disertakan pula asal-usul perkawinannya dengan Pangeran Hadirin. Siapakah sebenarnya Sultan Hadirin ini? Karena dari sini akan menelurkan legenda-legenda yang patut disimak oleh sejarah. Perihal ini ada beberapa fersi:

a. Menurut keterangan Prof. Veth, Pangeran Hadirin adalah putera Bupati Jepara. Setelah sepeninggalan Sultan Trenggono dia diberi wilayah Pati, Juana, Jepara dan Rembang

b. Menurut laporan komisi di Hindia Belanda untuk kepentingan kepurbakalaan di Jawa dan Madura tahun 1910 J. Knebel memberi keterangan bahwa Pangeran Hadirin adalah putera Cirebon, nama aslinya Raden Mu’min. dia berkelana dan tiba di Demak dan dia ingin mengabdi pada Raja Demak III (Trenggono). Permohonannya diterima dan akhirnya diterima sebagai menantu dan lama kelamaan diangkat menjadi Raja Kalinyamat.

5

Hartoyo Amin Budiman, op.cit., hlm. 14. 6

. Panitia Hari Jadi Jepara, op.cit., hlm. 32. 7 . Hartoyo Amin Budiman, op.cit., hlm. 18

(42)

31

c. Menurut serat kandaning ringgit purwa, nakah KBG. NR 7 menyebutkan pangeran Hadirin adalah pedagang Tionghoa yang nama aslinya adalah Juragan Wintang. Dia beserta kapalnya tenggelam dan terdampar di Juang Mara (Jepara). Karena sudah tidak punya apa-apa akhirya dia bertirakat dan mendapat ilham untuk pergi ke kasunanan Kudus dan masuk Islam, kemudian di tempatkan di sebuah tempat tepi sungai Kalinyamat dan akhirnya tempat itu menjadi ramai kemudian menjadi sebuah desa yang sangat ramai dan akhirnya sunan Kudus menamakan tempat itu dengan nama Kalinyamat dengan dikuasai oleh Juragan Wintang.8

2. Kepribadian Ratu Kalinyamat

Masyarakat Jawa Tengah khususnya adalah mengakui sosok Ratu Kalinyamat adalah Raja yang besar karena nilai-nilai keluhurannya yang memungkinkan menjadi tokoh panutan masyarakat:

a. Cinta tanah air, bahwa Ratu Kalinyamat telah berhasil mengantarkan Jepara kepada puncak kejayaan.

b. Patriotik dan solidaritas, keberaniannya menyerang Portugis di Malaka, dan kerjasamanya denga Raja Johor dan Aceh. Bentuk seperti ini jelas bentuk kerja sama yang patriotik dan solidaritas yang di milikinya. c. Muslimat yang setia kepada suami, dengan kematian suaminya dia

menjanda, padahal belum punya anak, dan di pusaran suaminya didirikan masjid yang sekarang dikenal dengan masjid kuno Mantingan. d. Tabah hati menghadapi musibah, dengan kematian saudara dan

suaminya dia dengan gigih menghadapi masalah yang tengah di hadapi dan dalam waktu yang sama dia mendapat ancaman dari Ario Penangsang, namun akhirnya dapat teratasi.

(43)

e. Wanita pengusaha, Ratu kalinyamat terkenal dengan Ratu yang kaya raya dan berkuasa, hartanya diperoleh lewat perdagangan Internasional yang dilakukannya terutama dengan malaka yang merupakan pasar utama bagi beras yang dihasilkan dari wilayah Jepara.9

3. Kerajaan / Pemerintahan Ratu Kalinyamat

Sebagaimana yang telah penulis sebutkan di depan bahwa Sultan Trenggono wafat tahun 1946. Di masa ini Sultan Hadirin telah memerintah di wilayah Jepara, Pati, Juana, dan Rembang, namun pusat kerajaan tetap di Demak yang dipimpin oleh Sultan Prawata, namun dia tewas tahun 1949 demikian pula Sultan Hadirin yang wafat dalam tahun yang sama dan demikian juga Ario Penangsang tewas pada tahun itu pula. Dari situlah Ratu Kalinyamat tidak membuang kesempatan pada tahun itu pula tampil sebagai Ratu Jepara dan tahun 1550 dia telah mengirim ekspedisi ke Malaka.10

Pemerintahan Ratu Kalinyamat adalah simbol kepahlawanan seorang putri sebagai tokoh wanita abad ke-16. DR HJ DE Graff sejarawan Belanda yang banyak menggeluti sejarah Jawa dalam bukunya awal kebangkitan Mataram menulis bahwa Ratu Kalinyamat telah dua kali menyerang Portugis dan Malaka yakni pada tahun 1550 dan tahun 1574.11 Namun mengalami kegagalan dan Ratu masih tetap berkuasa dan terus berusaha mengadakan serangan lagi. Serangan yang kedua itu berkekuatan 300 kapal layar yang 80 buah diantaranya berukuran besar masing-masing berbobot 400 ton, serta sekitar 15.000 prajurit pilihan yang dibekali meriam dan mesiu.12

9

Panitia Hari Jadi Jepara, op.cit., hlm. 69. 10 Ibid, hlm. 45.

11

DR. H.J. Dee Graff, Awal Kebangkitan Mataram, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hlm. 32.

Referensi

Dokumen terkait