• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS NASKAH KERETA KENCANA KARYA W.S. RENDRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS NASKAH KERETA KENCANA KARYA W.S. RENDRA"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS NASKAH “KERETA KENCANA”

KARYA W.S. RENDRA

Adinda Usin Muka

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Jalan Pulau Flores No.1 Samarinda, Kalimantan Timur

Email: adindausinmuka@gmail.com

ABSTRACT

The text of Kereta Kencana is a text from WS. Rendra work taken from the original text Les Chaises by Eugene Ionesco. Kereta Kencana is written by WS. Rendra. It had been choosen as the creative process analysis study. This research is aimed how the creative process analyzed a drama text done through the research to produce a show art exhibition. Through this text this creative process is hoped to explain the way of work before it is showed.

Keywords: theater text analysis, creative process

ABSTRAK

Naskah lakon Kereta Kencana merupakan naskah karya WS Rendra yang disadur dari naskah asli yaitu Les Chaises karya Eugene Ionesco. Naskah Karya Kereta Kencana ditulis oleh WS Rendra. Naskah drama “Kereta Kencana” telah dipilih sebagai kajian Analisis proses kreatif. Penelitian ini mengupas bagaimana proses kreatif menganalisis sebuah naskah drama dilakukan melalui penelitian untuk menghasilkan sebuah karya seni pertunjukkan. Melalui naskah ini, Proses kreatif ini diharapkan dapat menjelaskan cara pengupasan yang dibuat sebelum disajikan dalam sebuah pertunjukkan.

(2)

Adinda Usin Muka – Analisis Naskah “Kereta Kencana” Karya W.S. Rendra

PENDAHULUAN

Naskah lakon Kereta Kencana merupakan naskah karya WS Rendra yang disadur dari naskah asli yaitu Les Chaises karya Eugene Ionesco. Naskah Karya

Kereta Kencana ditulis oleh WS Rendra dan dipentaskan pertama kali oleh WS

Rendra pada tahun 1961 di Jogjakarta dengan pemain wanitanya Ken Zuraida6.

Naskah dengan judul Les Chaises karya Eugene Ionesco sangat berbeda dengan karya WS Rendra dengan judul Kereta Kencana. Perbedaan tersebut dapat dilihat jumlah halaman yang ada pada naskah Kereta Kencana yaitu berjumlah 16 halaman, sementara naskah karya Eugene Ionesco dengan judul Les Chaises berjumlah 89 halaman. Perbedaan juga terdapat dalam bentuk bahasa yang sudah di adaptasi oleh WS Renda ke dalam bentuk drama.

WS Rendra dalam Kereta Kencana menjelaskan “Bahwa hidup akan berpindah ke tempat yang akan dibawa oleh Kereta Kencana ke suatu tempat yang penuh “cahaya terang dan kebenaran yang antara lain menyediakan ruang bagi kenikmatan cinta yang tidak badaniah, sedangkan hidup di dunia ini pun tetap memberikan ruang kepada makna perjuangan menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan segala yang baik7.

Kereta Kencana mengisahkan tentang pasangan suami istri yang

digambarkan hanya hidup berdua saja. Pasangan suami istri ini membahas tentang sebuah kereta kencana yang semakin sering saja terdengar, “Wahai dengarlah kau orang tua yang selalu bergandengan dan bercinta dua abad lamanya, Kereta Kencana akan datang dan menjemput kalian berdua dengan sepuluh kuda dengan satu warna”.

Mereka berdua dikisahkan dalam naskah sudah memasuki lanjut usia yaitu dua ratus tahun. Kakek Hendry duduk sendiri di dalam kegelapan dan tak lama datanglah seorang wanita tua dengan membawa lilin masuk ke dalam ruangan untuk menanyakan kepada suaminya mengapa engkau duduk termenung sendiri di dalam kegelapan?. Sang istri menyuruh laki-laki tua itu untuk menyalakan lampu serta menutup jendela, karena udara dari luar sangat dingin dan dapat menyebabkan masuk angin. Sang istri menanyakan pada suaminya apakah dia tadi juga mendengar suara Kereta Kencana yang datang, dan menanyakan pula apakah malam ini pertanda mereka berdua akan mati bersama dijemput dengan Kereta Kencana.

Dua pasang suami istri yang telah renta itu terus berdialog untuk mengisi kekosongan dan kesepian hari-hari tua tanpa seorang buah hati pun, mereka saling menghibur diri. Mereka bisa saling tertawa bahagia sambil mengenang masa

6http://www.seputarindonesia.com/h/putu-wijaya.keretakencana.html.Minggu,08 November 2009 7 Kompas minggu, 15 November 2009, 16:20 WIB

(3)

muda yang telah berlalu. Tiba-tiba keceriaan mereka hilang, pasangan ini mulai menangis menyesali hidup. Walaupun telah dua abad menikah, mereka tidak di karuniai seorang anak. Dalam sepi masa tua, pasangan ini mulai mendongeng masa lalu. Mengenang kembali derita yang telah mereka lewati bersama. Diwaktu kejayaan masa muda dulu, mereka telah berkeliling dunia dan kini mereka mengatakan semuanya telah hancur.

Pasangan ini pun mengantuk dan mulai tertidur karena hari telah larut. Tiba tiba ada suara dari luar ketukan pintu yang membuat mereka kaget. Ternyata mereka kedatangan seorang tamu yang disebut paduka dan masih banyak lagi tamu yang datang tetapi tidak berwujud. Ternyata tamu-tamu tersebut adalah anak-anak mereka. Pasangan suami istri ini panik karena banyak sekali tamu yang datang dalam jumlah banyak Setelah mereka semua disambut masuk, tak lama sang suami mulai memberikan pidato. Dari luar terdengar kembali ketukkan pintu dan yang datang adalah penguasa cahaya yang mengatakan bahwa pasangan tua ini akan dijemput malam ini dengan Kereta Kencana dan meninggalkan anak-anak ini untuk selama - lamanya.

Berdasarkan cerita di atas, peneliti membayangkan tentang bentuk ruang-ruang yang ditempati dua tokoh selama 200 tahun seperti bentuk jendela dan pintu serta tamu yang datang, tetapi tidak berwujud. Dari dialog tersebut, peneliti kemudian mencoba membangun secara logika bentuk-bentuk yang ingin disampaikan ke dalam sebuah sketsa gambar yang berlatar kearifan lokal yang kemudian diwujudkan ke dalam bentuk maket dan diteruskan ke sebuah bentuk pementasan. Karena pada naskah Kereta Kencana tidak ada deskripsi secara detail mengenai bentuk ruang permainan, maka peneliti ingin merujuk pada peristiwa yang terjadi di dalam naskah Kereta Kencana dan merekonstruksi dari cerita, untuk mewujudkannya dari bentuk tulisan naskah menjadi bentuk visual, pada penelitian artistik panggung dalam sebuah pementasan.

TINJAUAN KARYA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan Karya

Naskah Kereta Kencana telah di sadur dalam berbagai versi. Naskah ini juga dipertunjukkan oleh kelompok-kelompok teater, di antaranya sebagai berikut: Pada Tanggal 02 November 1997 Bengkel Teater Rendra mempersembahkan pementasan Kereta Kencana dengan pemain Lelaki (W.S. Rendra), Pemain perempuan (Ken Zuraida). Pementasan ini berlangsung di Gedung Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marjuki Jakarta Selatan. Dalam pementasan ini yang di tampilkan secara visual hanya ada kursi malas, meja, dan kursi goyang yang di

(4)

tampilkan diatas panggung.8

Pada Tanggal 20-24 Oktober 1999 Bengkel Teater Rendra mempersembahkan Pementasan Kereta Kencana dengan Pemain Lelaki (W.S. Rendra), Pemain perempuan (Ken Zuraida), dengan Peneliti Cahaya ( Jose Rizal Manua) dan Peneliti Suara ( Kazuo Pontoh ). di Gedung Kesenian Jakarta. Dalam pementasan ini ditampilkan sebuah ruangan yang diilusikan berukuran besar dan hanya ada tiga kursi yang dapat dilihat bentuk visualnya.9

Pada Tanggal 6 November 2009 Teater Mandiri dengan sutradara Putu Wijaya, Pemain Lelaki (Ikranegara), Pemain Perempuan (Naniek L Karim). Pementasan berlangsung di Galeri Salihara Jakarta Selatan. Dan Pada Tanggal 26 Desember 2009 digelar di Gedung Ahmad Yani Kota Magelang, Jawa Tengah. Dalam pementasan ini yang dapat dilihat secara visual hanya ada sebuah kursi menggunakan roda yang dapat diputar-putar dan dibalut dengan kain putih bercorak.10

Landasan Teori

Landasan Teori memiliki fungsi sebagai acuan dalam proses penciptaan. Acuan yang dibutuhkan adalah prinsip-prinsip estetik dalam perancangan tata pentas. Samuel Selden dan Hunton D. Sellman memaparkan beberapa prinsip perancangan tata pentas. Menurut Samuel Selden dan Hunton D. Sellman tata pentas yang baik harus memenuhi beberapa hal, yaitu: 1) lokatif; 2) ekspresif; 3) atraktif; 4) jelas; 5) sederhana; 6) bermanfaat; 7) praktis; dan 8) organis.11

TUJUAN ANALISIS DAN PERANCANGAN

a. Mewujudkan tata pentas yang sesuai dengan analisis naskah Kereta Kencana dan sesuai dengan interpertasi yang direncanakan tanpa mengurangi nilai dari naskah tersebut.

b. Mewujudkan teknik perancangan dengan visualisasi dan tekhnik yang mampu memberikan interpretasi terhadap unsur ruang dan waktu pada naskah Kereta

Kencana.

8 Kompas, Rabu, 05-11-1997 Halaman: 10 9 Kompas, Jumat, 22-10-1999. Halaman: 9 10 Seputar Indonesia, Minggu, 08 November 2009

11Pramana Padmodarmaya, Tata dan Teknik Pentas, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan

(5)

METODE ANALISIS PERANCANGAN

Metode yang dipakai dalam proses analisis perancangan tata artistik kali ini ialah metode Reinterpretasi, dengan menginterpretasikan kembali bangunan tata artistik yang sudah pernah dicipta, dengan langkah-langkah proses analisis Naskah Kereta Kencana berikut:

a. Bentuk dan Teknik Tata Artistik Naskah Kereta Kencana b. Mendesain Tata Artistik

c. Membuat Alternatif d. Proses Penggarapan e. Visualisasi Rancangan f. Pemantapan Penggarapan g. Penyajian Karya ANALISIS NASKAH

Analisis naskah adalah upaya dalam memahami lakon untuk kemudian diwujudkan ke dalam bentuk tata artistik sebuah pementasan teater. Hal yang terpenting yang harus dilakukan oleh seorang peneliti dan perancang artistik adalah memahami secara utuh sebuah naskah. Setelah dapat menafsirkannya dari naskah, peneliti dan perancang artistik mendapat pemahaman secara logis apa yang dimaksudkan dalam bentuk-bentuk artistik. Lingkup kerja analisis lakon adalah mempelajari struktur lakon yang terdiri dari unsur tema, plot, penokohan, latar cerita, pemahaman gaya dan bentuk lakon.

Dalam hal ini, penafsiran merupakan cara agar aspek dramatiknya tercapai. Harapan peneliti dan perancang dapat memilih bentuk yang didapatkan dari menginterpretasi kembali naskah Kereta Kencana secara logika yang dihasilkan dari bentuk dialog yang tidak detail. Maka dibuatlah sebuah gambar kerja. Berdasarkan hal tersebut, peneliti dan perancang mengharapkan mendapatkan kemudahan untuk memilih bentuk yang nantinya akan direalisasikan beberapa benda yang mewakili secara terukur diatas panggung, sesuai dengan dramatika yang ingin ditampilkan. Dengan harapan proses analisa ini dapat dicapai yang tidak hanya berguna untuk setting, tetapi juga yang lain seperti kostum, make up, dan Lighting.

Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih jelas, maka latar belakang penulis naskah Kereta Kencana, yaitu WS. Rendra, harus diketahui. Hal ini berguna untuk membantu peneliti dan perancang memahami konteks yang dibawa oleh seorang penulis naskah seperti WS. Rendra. Singkatnya, kita bisa katakan

(6)

bahwa dengan melakukan pendekatan terhadap pola pikirnya, yang tentu saja, sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan zaman di mana ia hidup, kita bisa lebih memahami naskah Kereta Kencana dalam kerangka yang terarah.

WS. Rendra dan Naskah Lakon Kereta Kencana 1. Biografi Singkat

Gambar 1. Foto Rendra

(Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 08 November 2009)

WS Rendra, yang bernama asli Willibrordus Surendra Bawana Rendra, lahir di Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935. Keluarga WS Rendra adalah keluarga dramawan tradisional. Masa kecil hingga remaja, dihabiskannya di kota kelahirannya Solo. Raden Ayu Catharina Ismadillah, adalah penari serimpi di keraton Surakarta, sedangkan ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo. Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah.

Pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu diantara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda yang beragama lain selain Islam. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra ia menikah pada 12 Agustus 1970 dan memilih untuk mengucapkan dua kalimat Syahadat pada hari perkawinannya

(7)

dengan Sito yang disaksikan oleh Taufiq Ismail dan Ajib Rosidi. Pernikahannya bersama Sitoresmi ia mendapatkan empat anak, yakni : Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, Rachel Saraswati. “Sang Burung Merak” itulah julukan yang diperoleh dari teman-temannya. Ia kembali menikahi seorang wanita bernama Ken Zuraida istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba.

Rendra mengenyam pendidikan tinggi di American Academy of Dramatical Art, New York, Amerika Serikat (1964-1967). Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat ia mendirikan Bengkel Teater di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada Tahun 1985 Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra di atas lahan sekitar tiga hektar yang terdiri dari bangunan, tempat tinggal Rendra dan keluarga serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya. Namun, Rendra terus maju dalam dunia kesenian dan mendapatkan banyak penghargaan.

Pada Tahun 1954 di Yogyakarta, Rendra menerima penghargaan Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dan masih ada beberapa lagi penghargaan yang didapatkan antara lain: Penghargaan Sastra Nasional BMKN (1956), Penghargaan Akademi Jakarta (1975), Penghargaan Yayasan Buku Utama, Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976), Penghargaan Adam Malik (1989), Penghargaan Achmad Bakrie (2006), The S.E.A. Write Award (1996), Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970).

Sejak tahun 1975 WS. Rendra menyederhanakan namanya menjadi Rendra dan menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul “ Seni Drama Untuk Remaja”Tetapi pada tahun 1977, WS Rendra dicekal oleh pemerintahan Orde Baru pada saat sedang menyelesaikan garapan Sjumanjaya, “ Yang Muda Yang Bercinta” .

“Kemerdekaan Individual Sepenuhnya” menjadi prinsip utama Rendra. Namun seyakin apapun dirinya atas kebebasan manusia untuk menentukan pilihannya, Rendra tidak bisa menolak ajal yang menjemputnya pada tanggal 06 Agustus 2009 di Depok Jawa Barat. Sumbangan Rendra pada Indonesia tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri, banyak karyanya yang sudah di terjemahkan kedalam bahasa asing diantaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India. Hal ini dapat dilihat pada karya-karyanya yang cukup

(8)

banyak. Karya-karya Rendra dapat dikategorikan sebagai karya dibidang penulisan drama adalah:

Orang-orang di Tikungan Jalan (1954), Hamlet terjemahan dari karya

William Shakespeare; Oedipus Sang Raja terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex"; Bip Bop Rambate rate rata (Teater Mini Kata) (1967) SEKDA (1977), Mastodon dan Burung Kondor (1972); Panembahan Reso (1986), Perang Troya Tidak Akan Meletus terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: La Guerre de Troie n'aura pas lieu; Kasidah Barzanji;

2. Naskah Lakon Kereta Kencana

Kereta Kencana adalah naskah Karya WS. Rendra yang mendapat inspirasi

dari drama naskah Les Chaises Karya Eugene Ionesco yang berbicara bahwa kehidupan akan berpindah ke suatu tempat yang penuh cahaya terang dan kebenaran, juga ruang bagi kenikmatan cinta yang tidak badaniah serta perjuangan yang dapat menegakkan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan segalanya yang baik. Kehidupan yang akan datang sesudah kematian. Memandang dalam hidup yang kosong, sia-sia sekalipun bisa dimungkinkan ditemukan adanya kepercayaan dan keyakinan. Hendry, adalah gambaran dari seorang lelaki tua yang memiliki pandangan Absurdisme. Antara lain pernyataannya bahwa hidup ini sia-sia dan kosong, tetapi nenek berhasil membawa suaminya untuk yakin bahwa hidup ini bermakna.12

PENOKOHAN

Penokohan adalah gambaran watak tokoh cerita. Istilah penokohan sering digunakan dalam penggambaran perwatakan dan karakterisasi menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu. Dengan watak tertentu dalam sebuah cerita. Harymawan mengatakan bahwa tokoh atau karakter adalah penggerak jalan cerita.13 Penokohan adalah suatu proses penampilan tokoh sebagai si pembawa peran watak dalam karya naratif. Ia adalah bahan aktif yang mampu mengendalikan cerita. Tanpa adanya tokoh atau karakter suatu naskah drama hanya akan menjadi rangkaian deskripsi cerita. Tokoh yang satu akan bersinggungan dengan tokoh yang lainnya dan saling memiliki keterkaitan.

12 Wawancara dengan PW di Astya Puri 2 Ciputat Jakarta Selatan. 14 Maret 2010 13 RMA.Harymawan, Op.cit, hlm.25

(9)

LATAR CERITA

Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung.14 Menurut Rene Wellek dan Austin Warren latar adalah lingkungan, dan lingkungan dapat dianggap berfungsi sebagai metafora, metonimia, maupun ekspresi dari tokohnya.15 Sedangkan menurut Panuti Sudjiman latar merupakan segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya cerita, termasuk karya lakon.16

Latar cerita pada hakekatnya sama pengertiannya dengan struktur dunia atau objek-objek yang berada disekitar tokoh.17 Latar cerita adalah sebuah dunia yang terdegradasi, yakni sebuah dunia yang mengalami kemerosotan nilai-nilai sehingga tokoh mengalami konflik dan mencoba memecahkannya dengan mencari nilai-nilai otentik dalam dunia yang dihadapinya. Suminto A. Sayuti membagi latar menjadi tiga bagian, yaitu, latar tempat, latar waktu, latar sosial.18 Dalam

latar terdapat elemen-elemen unsur yang membentuknya, yaitu: 1) lokasi geografis yang sesungguhnya, termasuk di dalamnya topografi, sceneri “pemandangan” tertentu, bahkan detail interior dalam sebuah ruangan; 2) pekerjaan dan cara hidup tokoh sehari-hari; 3) waktu terjadinya action “tindakan” atau peristiwa, termasuk periode historis, musim, tahun, dan sebagainya; 4) lingkungan religius, moral, intelektual, sosial dan emosional dan tokoh-tokohnya.19

Latar tempat adalah tempat terjadinya peristiwa dalam sebuah naskah drama. Setiap akan menyuguhkan suatu bentuk pementasan pertunjukkan teater harus mempertimbangkan keutuhan dan kesatuan. Salah satu yang terpenting adalah dapat membentuk konsistensi suatu pementasan yang terjadi pada adegan-adegan yang terdapat dalam naskah. Latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita yang dapat berfungsi sebagai sugesti penonton sehingga cerita dapat tersampaikan pada penonton dan memberikan jalinan emosi dalam suasana pertunjukkan. Berdasarkan elemen-elemen unsur di atas maka latar cerita naskah drama Kereta Kencana dibagi oleh peneliti sebagai berikut.

a. Aspek Ruang

14 Robert Stanton, Op.cit, hlm. 35

15 Rene Wellek dan Austin Warren, Op.cit, hlm. 290

16 Panuti Sudjiman dalam Nur Sahid, Kritik Sosial Dalam Beberapa Drama Karya Arifin C. Noer:

Sebuah Tinjauan Semiotika dan Sosiologi Sastra, Yogyakarta, 2002, hlm. 33

17 Nur Sahid, Penelitian Drama-drama Rendra dan Pengaruhnya Pada Perkembangan Teater

Kontemporer : Tinjauan Strukturalisme Genetik, Yogyakarta, 2000, hlm. 19

18 Suminto A. Sayuti, Op.cit, hlm. 126 19 Ibid, hlm. 128

(10)

b. Aspek Waktu c. Aspek Suasana

PENUTUP Simpulan

Sebuah langkah awal untuk menjalani proses, peneliti dan perancang menentukan bentuk dan gaya yang akan digunakan. Naskah yang sudah ada dijadikan bahan patokan dalam pembuatan karya. Ada beberapa aspek yang terkait dalam proses ini antara lain aspek waktu, aspek tenaga dan aspek finansial yang wajib dipersiapkan sejak awal. Peneliti menitikberatkan pada analisis naskah secara detail dan penggarapan, sementara perancang tata artistik pada bidang tata pentas, dimana bentuk yang digunakan adalah bentuk realistik yang diciptakan secara harfiah.

Tata pentas yang berbentuk realistik akhirnya juga harus disesuaikan dengan tata busana dan rias. Untuk tata busana, peneliti dan perancang memberikan pola rancangan busana yang digunakan untuk patokan yang disesuaikan dengan sett. Gaya berpakaian setiap tokoh sama dengan pakaian yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, pola rancangan busana perancangan terjadi beberapa kali karena pemahaman dan keinginan perancang untuk mengganti-ganti sebelum yang terjadi dan dipakai pada saat pementasan. Sementara untuk tata rias, peneliti dan perancang mengambil bentuk realis sesuai dengan usia yang di harapkan dalam naskah. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesulitan dan secara tekhnis dapat diubah ulang jika tidak sesuai.

Saran

Pementasan Teater merupakan sebuah kerja tim dan hal tersebut tentunya tidak mudah. Peneliti dan perancang harus mempunyai konsep yang menjadi acuan sebuah bentuk pementasan. Seorang penulis dan perancang diharapkan dapat menjadi manajer dalam pementasan yang menguasai bentuk-bentuk tekhnis konstruksi dan konsep tekhnisnya. Penulis dan perancang harus dapat menempatkan diri untuk menjadi lebih baik dan tidak berubah-ubah. Rencana dan konsep teknis biasanya berkaitan dengan konsep desain. Kesalahan dalam hal teknis menjadikan kekayaan pengalaman dan menambah keterampilan perancang kedepannya.

Kemampuan manajerial juga harus dimiliki oleh sang sutradara, peneliti dan perancang. Hal ini berkaitan langsung dengan pementasan. Di sini diharuskan membagi menjadi beberapa bagian wilayah kerja. Yaitu konstruksi dasar, tim

(11)

pengerjaan revisi, lighting desain, penanggung jawab properti, unit kostum dan tata rias yang secara keseluruhan menggunakan konsep yang sudah dibuat dengan kerjasama dengan sutradara dan unit lighting, pemusik, make-up yang memberikan bantuan dalam terlaksananya pementasan di atas panggung.

Hal utama yang sangat penting dalam proses analisa dan tata pentas adalah memilih manajer yang dipercaya sebagai pilot yang memahami dengan baik konsep desain perancang dan dapat memilihkan tim tenaga yang dibutuhkan. Dalam hal finishing perancang mengajak rekan-rekan seni rupa untuk dapat membantu capaian yang diinginkan yang sesuai konsep. Seperti halnya pengecatan yang dilakukan bersama-sama dengan tim artistik.

Setelah semua hal teknis dikuasai, tentunya perihal koordinasi dan sarana komunikasi juga sangat penting dan harus dipersiapkan agar tidak terjadi permasalahan yang dapat mengganggu jalannya dan emosi tim secara keseluruhan. Sudah seharusnya perancang menghubungi unit keproduksian yang dapat bekerjasama dan memberikan kelancaran. Masalah waktu yang sedemikian sudah diatur dengan schedule dan berusaha dimaksimalkan ternyata dapat berubah dan walaupun dengan cepat dapat teratasi. Dalam pementasan yang tak kalah penting adalah seorang aktor dimana terjadi jalinan yang saling terkait antara pemain dan perancang serta tim lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Chaer. (1990). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.

Bakdi Soemanto. (2003). Rendra: Karya dan Dunianya. Yogyakarta: Grasindo. Dwi Klik Santosa, & W.S. Rendra. (2005). Tujuh Puluh Tahun Rendra. Jakarta:

Burungmerak Press.

Edi Haryono. (2005). Menonton Bengkel Teater Rendra. Yogyakarta: Kepel Press.

Ikranagara. (2009). Membandingkan “The Chairs” Ionesco dengan “Kereta Kencana” Rendra. Kompas. Jakarta.

Iswantara, N. (1988). Perkembangan teater tradisional dalam kebudayaan nasional. Programstudi Dramaturgi, Jurusan Teater, Fakultas Kesenian, Institut Seni Indonesia.

(12)

Konvensi. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli.Yudiono K.S. (2009). Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Semarang: Grasindo.

Gambar

Gambar 1. Foto Rendra

Referensi

Dokumen terkait