• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menggagas Perilaku Seksual yang Bertanggungjawab Guna Mengurangi Penyebaran Penyakit HIV/AIDS pada Masyarakat Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Menggagas Perilaku Seksual yang Bertanggungjawab Guna Mengurangi Penyebaran Penyakit HIV/AIDS pada Masyarakat Papua"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Menggagas Perilaku Seksual

yang Bertanggungjawab Guna Mengurangi Penyebaran Penyakit HIV/AIDS pada

Masyarakat Papua

Prihatini

Widyaiswara Muda BBPPKS Jayapura prihatini.jayapura@gmail.com

Abstrak

Penyebaran penyakit HIV AIDS terus meluas di Papua. Tulisan ingin membahas apa dampak, penyebab serta perlunya memasyaratkan perilaku seks yang bertanggung jawab di masyarakat Papua. Ketiga fokus pertanyaan di atas, akan dikaji menggunakan studi literatur, dengan data yang diperoleh dari buku­buku ilmiah, laporan penelitian, karangan­ karangan ilmiah, peraturan­peraturan, ketetapan­ketetapan, dan atau sumber­sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan pemikiran tentang cara­cara terbaik untuk mengurangi penyebaran penyakit yang mematikan ini dalam kehidupan keluarga. Hasil kajian menemukan bahwa dampak penyakit ini telah membawa korban jiwa manusia, serta kesensaraan bagi ODHA, keluarganya. Penyebabnya adalah perilaku seksual yang menyimpang. Maka diperlukan pemberian informasi yang tepat tentang perilaku seksual yang bertanggungjawab kepada masyarakat sebagai salah satu cara untuk mengurangi penyebaran penyakit dalam kehidupan keluarga.

Kata kunci: dampak, penyebab serta perilaku seksual yang bertanggung jawab.

Abstrak

HIV AIDS continues to spread in Papua. This paper wants to discuss what the impact, causes and necessity of making responsible sexual behavior are conditional on Papuan society. The three focus questions above will be studied using literature studies, with data obtained from scientific books, research reports, scientific essays, regulations, regulations, and / or other written sources, both printed and electronic. This paper is expected to

(2)

provide additional knowledge and thought about the best ways to reduce the spread of this deadly disease in family life. The results of the study found that the impact of this disease has brought human casualties, as well as suffering for AIDS survivors and their families. One of the causes is deviant sexual behavior. So, it is needed to educate people about responsible sexual behavior to reduce the spread of disease in family life.

Keyword: impacts, causes and responsible sexual behavior A. Latar Belakang Permasalahan

Para ilmuwan umumnya berpendapat bahwa AIDS berasal dari Afrika gurun Sahara. Kini wabah penyakit yang mematikan ini telah menyebar dan ditemukan di berbagai tempat, termasuk di wilayah Provinsi Papua. Semula kasus HIV AIDS hanya ditemukan di kabupaten Merauke serta Timika. Penularan awalnya ditengarai berasal dari warga Thailand yang bekerja di kapal nelayan penangkap ikan di Merauke serta banyaknya pekerja seks komersial yang beroperasi di wilayah Timika. Kini seiring dengan meningkatkan aktivitas ekonomi serta lancarnya akses transportasi dan komunikasi, serta tingginya mobilitas warga antardaerah untuk berbagai keperluan, telah mendorong perluasan penyebaran wabah virus penyakit yang mematikan tersebut hingga ke wilayah perkampungan masyarakat. Data yang dirilis Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Papua tahun 2018 menunjukkan bahwa wabah penyakit ini telah menyebar pada hampir semua kabupaten kota di wilayah ini (seperti tabel dibawah ini). Walaupun dengan jumlah kasus yang berbeda, namun hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak.

Tabel Data Jumlah Kasus HIV-AIDS Provinsi Papua Tahun 2018

No Kabupaten/Kota HIV AIDS JUMLAH MENINGGAL

1. Asmat 41 41 41 0 2. Biak 505 1366 1870 143 3. Boven Digoel 49 50 99 15 4. Deiyai 33 30 63 12 5. Dogiyai 0 35 35 0 6. Intan Jaya 4 9 13 0 7. Jayapura 1019 1262 2281 233 8. Jayawijaya 1484 3809 5293 400

(3)

9. Keerom 43 52 95 21 10. Kepulauan Yapen 122 341 463 109 11. Kota Jayapura 422 3384 3826 181 12. Lanny Jaya 139 198 337 18 13. Mamberamo Raya 0 16 16 6 14. Mamberamo Tengah 30 13 43 4 15. Mappi 25 118 143 31 16. Merauke 1003 961 1964 124 17. Mimika 2703 2326 5029 170 18. Nabire 2207 3716 5923 316 19. Nduga 0 1 1 0 20. Paniai 101 95 196 12 21. Peg Bintang 84 219 303 11 22. Puncak 23 7 30 1 23. Puncak Jaya 44 367 411 52 24. Sarmi 0 4 4 0 25. Supiori 14 67 81 2 26. Tolikara 33 84 117 7 27. Waropen 10 17 27 7 28. Yahukimo 18 4 22 4 29. Yalimo 0 45 45 4

Sumber Data: Dinkes Papua Per 30 Juni 2017

Tabel di atas memperlihatkan bahwa penyebaran HIV AIDS terbanyak terdapat di kabupaten Nabire, Jayawijaya, Mimika, Kota Jayapura, Merauke, Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Pegunungan Bintang serta disusul kabupaten lainnya. Namun kasus penyebaran terbanyak terdapat pada kabupaten induk yang juga sekaligus menjadi wilayah transit warga ke wilayah pemekaran daerah baru, seperti Wamena, Nabire, Merauke, Biak serta Kota Jayapura. Tabel di atas juga menunjukkan bahwa penyebaran penyakit yang mematikan ini telah menyebar hampir di semua kabupaten kota di provinsi Papua, meskipun dengan jumlah yang bervariasi. Pada wilayah kabupaten pemekaran, secara perlahan jumlah kasus mengalami peningkatan secara signifikan. Tampilan data pada tabel di atas, ibaratnya seperti fenomena gunung es, dimana data hanya

(4)

menampakkan bagian permukaan saja. Sementara bagian bawahnya tidak terlihat. Bila melihat sikap atau perilaku manusia yang tertutup dengan penyakit yang dialaminya dan baru memeriksakan dirinya ke dokter setelah mendapati kondisi tubuhnya makin mengalami kesulitan atau keterpayaan, maka dapat diduga bahwa populasi penyakit ini sesungguhnya telah menjangkiti lebih banyak orang.

Kondisi ini melahirkan pertanyaan bagaimana dampak terinfeksi penyakit HIV AIDS, perilaku penyimpangan seksual, pentingnya pembentukan perilaku seksual yang bertanggungjawab serta manfaat pendidikan seks bagi anak dan remaja.

Acquired Immunodeficiency Syndrome atau AcquiredImmune Deficiency Syndrome atau AIDS menurut Cannon (2010: 13) adalah sekumpulan gejala dan infeksi atau sindrom yang timbul karena rusaknya sistem kekebalan tubuh manusia akibat infeksi virus HIV atau infeksi virus-virus lain yang mirip lalu menyerang spesies lainnya. Virusnya disebut Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang memperlemah kekebalan tubuh manusia. Orang yang terkena virus ini akan menjadi rentan ataupun mudah terkena tumor. Meskipun penanganan yang telah ada dapat memperlambat laju perkembangan virus, namun penyakit ini belum benar-benar bisa disembuhkan. HIV dan virus-virus sejenisnya umumnya ditularkan melalui kontak langsung antara lapisan kulit dalam (membran mukosa) atau aliran darah, dengan cairan tubuh yang mengandung HIV, seperti darah, air mani, cairan vagina, cairan preseminal, dan air susu ibu. Penularan dapat terjadi melalui hubungan intim (vaginal, anal, ataupun oral), transfusi darah, jarum suntik yang terkontaminasi, antara ibu dan bayi selama kehamilan, bersalin, atau menyusui, serta bentuk kontak lainnya dengan cairan-cairan tubuh tersebut.

Menurut Ramdani Sirait, Executive Director Indonesian Business Coalition On AIDS bahwa penyebab tingginya kasus HIV AIDS di Papua disebabkan perilaku seks menyimpang dari masyarakat, kurangnya edukasi pendidikan seks, banyaknya pekerja seks komersial (PSK) asal daerah lain yang berdomisili di Papua. Ketiga penyebab di atas mengakibatkan tingginya angka penyebaran HIV AIDS. Banyak risiko laki-laki yang tertular HIV/AIDS dan sering kali melakukan hubungan seksual dengan kondisi tidak memakai kondom dengan perempuan yang sering ganti-ganti pasangan yaitu pekerja seks komersial (PSK). Celakanya, kecenderungan di Papua ada sebagian orang yang menyangkal perilaku seksual dengan menyalahkan PSK dan menyebutnya sebagai genosida. Inilah pangkal

(5)

epidemi HIV karena tidak melihat kesalahan pada diri sendiri tapi menyalahkah orang atau pihak lain. Demikian juga adanya perilaku berkeluarga yang tidak bertanggung jawab atau hanya mementingkan kepuasaan kebutuhan biologis semata dari pasangannya, telah menjadi faktor pemicu kehadiran wabah penyakit kepasangan suami istri bahkan menularkan anggota keluarga mereka, terutama anak sebagai orang terdekat. Maka kondisi ini telah merusak kehidupan beribu keluarga penyidap penyakit ini tanpa memandang latar belakang daerah, agama, budaya, status seseorang dan tanpa bisa dicegah hingga sekarang. Selanjutnya, secara perlahan dampak yang ditimbulkan akan memisahkan dan menghilangkan keberlangsungan hidup sebuah keluarga, bahkan sebuah komunitas dalam jangka panjang. Ujung dari kondisi di atas adalah adanya perilaku menyimpang seksual.

Oleh karena itu, untuk mengungkap fokus pertanyaan di atas, akan dikaji menggunakan studi literatur, dengan data yang diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, dan/atau sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lain. Melalui tulisan ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan dan memikirkan cara-cara terbaik untuk menangani masalah penyebaran kasus HIV AIDS di propinsi Papua.

B. HASIL TEMUAN DAN PEMBAHASAN

1. Dampak Terinfeksi HIV AIDS

Permasalahan yang dihadapi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) bukan hanya masalah medis atau kesehatan, tetapi juga menyangkut permasalahan sosial, politik, dan ekonomi (Baba, 2005; Nurul Arifin, 2005). Banyak perubahan yang terjadi dalam diri individu setelah terinfeksi HIV/AIDS. Perubahan fisik akibat gejala-gejala penyakit yang disebabkan menurunnya sistem kekebalan tubuh pada diri ODHA mempengaruhi kehidupan pribadi, sosial, belajar, karir dan bahkan kehidupan keluarga. Selain itu juga isu-isu stigma dan diskriminasi yang dialami ODHA, baik dari keluarga, tetangga, dunia kerja, sekolah, dan anggota masyarakat lainnya, semakin memperparah kondisi dirinya dan bahkan lebih sakit daripada dampak penyakit yang dideritanya.

Perubahan yang terjadi di dalam diri dan di luar diri ODHA membuat mereka memiliki persepsi yang negatif tentang dirinya dan mempengaruhi perkembangan konsep dirinya. ODHA cenderung menunjukkan bentuk-bentuk reaksi sikap dan tingkah laku yang salah. Hal ini disebabkan ketidakmampuan

(6)

ODHA menerima kenyataan dengan kondisi yang dialami. Keadaan ini diperburuk dengan anggapan bahwa HIV merupakan penyakit yang belum ada obatnya. Beberapa masalah yang dialami ODHA baik secara fisik maupun psikologis, antara lain: muncul stress, penurunan berat badan, kecemasan, gangguan kulit, frustasi, bingung, kehilangan ingatan, penurunan gairah kerja, perasaan takut, perasaan bersalah, penolakan, depresi bahkan kecenderungan untuk bunuh diri. Kondisi ini menghambat aktivitas dan perkembangan ODHA sehingga kehidupan efektif sehari-harinya terganggu.

Kurangnya pemahaman keluarga dan masyarakat mengenai HIV/AIDS menambah buruk situasi yang dialami penderita. HIV/AIDS masih dianggap sebagai momok menyeramkan, karena saat divonis sebagai ODHA, yang terbayang adalah kematian. Di masyarakat penderita sering menerima perlakuan yang tidak adil atau bahkan mendapatkan diskriminasi dari lingkungan keluarga dan masyarakat. Diskriminasi yang dialami ODHA membuat mereka menarik diri dari lingkungan sekitar, serta stigmatisasi yang berkembang dalam masyarakat mengenai HIV/AIDS merupakan suatu vonis mati bagi mereka sehingga membatasi ruang gerak dalam menjalankan aktivitas mereka sebelumnya.

Keterlantaran ODHA pada umumnya selain karena penolakan dari keluarga juga disebabkan kondisi keluarga yang cenderung tidak memiliki kemampuan untuk merawat anggota keluarganya. Ketidakmampuan keluarga selain karena faktor ekonomi sehingga tidak mampu membiayai perawatan kesehatan penderita HIV dan AIDS. Penderita memerlukan perawatan kesehatan yang memadai karena Infeksi HIV juga memerlukan penggunaan obat-obatan untuk meningkatkan CD 4 sehingga penderita tidak drop kondisinya. Ketidakmampuan keluarga lainnya karena keluarga tidak memiliki pengetahuan yang memadai tentang penyakit HIV dan AIDS, sehingga keluarga menolak merawat dengan cara mengisolasi, atau membatasi interaksi dengan penderita.

Fleishman (1998) mengemukakan bahwa orang yang terjangkit HIV/AIDS akan berhadapan dengan situasi dimana dia harus berhadapan dengan hasil tes HIV yang positif, berhadapan dengan stigma dan diskriminasi, menghadapi rasa sakit akut yang terus menerus, dan berhadapan dengan berbagai sistem pelayanan medis. Tekanan sosial dan hukum yang kompleks yang menghasilkan kecemasan dan hambatan secara berlebihan diluar kemampuan mereka. Oleh karena itu, individu, pasangan atau keluarga yang menghadapi penyakit dan masalah HIV seringkali membutuhkan seorang manajer kasus dan pembela untuk dapat

(7)

membimbing mereka dalam menghadapi lingkaran masalah kehidupan yang menyulitkan tersebut.

Untuk mencegah penyebaran penyakit yang mematikan tersebut, maka perlu dibudayakan perilaku seksual yang bertanggung jawab. Pola atau cara tersebut diharapkan dapat mencegah penyebaran penyakit HIV AIDS yang terus meningkat penularannya dari tahun ke tahun.

2. Perilaku penyimpangan sekssual menjadi penyebab meningkatnya pengidap HIV AIDS

Seksual secara umum adalah sesuatu yang berkaitan dengan alat kelamin atau hal-hal yang berhubungan dengan perkara-perkara hubungan intim antara laki-laki dengan perempuan. Karakter seksual masing-masing jenis kelamin memiliki spesifikasi yang berbeda, antara laki-laki dan perempuan. Menurut Hurlock (1997: 210-211), pada remaja putra: tumbuh rambut kemaluan, kulit menjadi kasar, otot bertambah besar dan kuat, suara membesar dan lain,lain. Sedangkan pada remaja putri: pinggul melebar, payudara mulai tumbuh, tumbuh rambut kemaluan, mulai mengalami haid, dan lain-lain. Seiring dengan pertumbuhan primer dan sekunder pada remaja ke arah kematangan yang sempurna, muncul juga hasrat dan dorongan untuk menyalurkan keinginan seksualnya. Hal tersebut merupakan suatu yang wajar karena secara alamiah dorongan seksual ini memang harus terjadi untuk menyalurkan kasih sayang antara dua insan, sebagai fungsi pengembangbiakan dan mempertahankan keturunan.

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat beraneka ragam, mulai dari perasaan tertarik hingga tingkah laku berkencan, dan senggama. Obyek seksual dapat berupa orang, baik sejenis maupun lawan jenis, orang dalam khayalan atau diri sendiri. Sebagian tingkah laku ini memang tidak memiliki dampak, terutama bila tidak menimbulkan dampak fisik bagi orang yang bersangkutan atau lingkungan sosial. Tetapi sebagian perilaku seksual (yang dilakukan sebelum waktunya) justru dapat memiliki dampak psikologis yang sangat serius, seperti rasa bersalah, depresi, marah, dan agresi.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan seksual pada manusia dapat disamakan dengan kebutuhan manusia akan makan, manusia akan meninggal kalau mereka tidak makan, begitu juga kebutuhan manusia akan seksual, karena kehadiran manusia kemuka bumi ini juga tidak lepas dari hubungan seksual.

(8)

Dan yang menjadi permasalahannya yaitu, dalam pemenuhan kebetuhan seksual tidak semua orang melakukannya dengan cara yang wajar, akan tetapi ada beberapa orang yang memenuhi kebutuhan seksualnya dengan cara yang tidak wajar. hal tersebut bisa disebabkan oleh ganguan-ganguan psikoseksual yang disebut Parafilia. Parafilia adalah suatu ganguan psikoseksual dimana orang yang mengalami hal ini lebih memilih kegiatan seksual yang tidak lazim. Penyimpangan seksual adalah aktivitas seksual yang ditempuh seseorang untuk mendapatkan kenikmatan seksual dengan cara tidak sewajarnya. Menurut Sigmund Freud dalam Zaviera (2008: 15) penyimpangan seksual terbatagi atas dua. Pertama, menurut obyek seksual yakni pribadi yang menjadi sumber daya tarik seksual, yang kedua, tujuan seksual yaitu tujuan yang hendak dicapai insting seksual. Biasanya, cara yang digunakan oleh orang tersebut adalah menggunakan obyek seks yang tidak wajar atau tujuan seksual yang tidak wajar. Penyebab terjadinya kelainan ini bersifat psikologis atau kejiwaan, seperti pengalaman sewaktu kecil, dari lingkungan pergaulan, dan faktor genetik. Penyebab lainnya yang diduga dapat menyebabkan perilaku seks menyimpang ialah penyalahgunaan obat dan alkohol. Obat-obatan tertentu memungkinkan seseorang yang memiliki potensi perilaku seks menyimpang melepaskan fantasi tanpa hambatan kesadaran.

Beberapa perilaku seksual menyimpang. Pertama, homoseksual merupakan kelainan seksual berupa disorientasi pasangan seksualnya. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan lesbi untuk penderita perempuan. Istilah lain dari homoseksual adalah seksual inversion, contrary seksual feeling, atau urning istilah ini untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan selain lesbian juga bisa disebut urnigin. Menurut Fachri (1986: 31-32) bahwa lesbianisme berasal dari nama lesbos, nama sebuah pulau diluar Aegea tempat Sappho pada zaman Yunani tua ( 550 M ) yang dikenal sebagai seoarang pecinta wanita. Jumlah pria yang homoseksual itu diperkirakan 3-4 kali lebih banyak daripada jumlah wanita homoseksual. Menurut Kartono (1989: 248) bahwa ekspresi homo seksualitas ada tiga. Pertama, aktif, bertindak sebagai pria yang agresif. Kedua, pasif, bertingkah laku dan berperan pasif-feminin seperti wanita. Ketiga, bergantian peranan, terkadang memerankan fungsi wanita, dan terkadang menjadi laki-laki.

Banyak teori yang menjelaskan sebab-sebab homoseksualitas, antara lain: 1). Faktor herediter berupa ketidak imbangan hormon-hormon seks. 2). Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual normal. 3). Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseks,

(9)

karena ia pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja. 4). Seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman trumatis dengan ibunya, sehingga timbul kebencian atau antipati terhadap ibunya dan semua wanita. Lalu muncul dorongan homoseks. Sedangakan peristiwa perversi heteroseksual (perversi: salah bentuk) berupa lesbianisme itu akan mengarah pada bentuk yang patologis. Gejala perversi tadi diantara lain disebabkan karena wanita yang bersangkutan atau yang mengalami perversi terlalu mudah menjadi jenuh dalam relasi heteroseksual dengan suaminya atau seorang pria. Dan tidak merasakan orgasme. Kegiatan seksual yang biasa dilakukan dalam hubungan homoseksual yaitu hubungan dengan saling mastrubasi, pria yang satunya memasukkan alat kelaminya ke dalam mulut pria yang menjadi pasangan gay-nya. Selain itu pasangan gay juga memasukkan alat kelaminnya pada ketiak dan dubur dan terkadang juga digunakan suatu alat kelamin wanita buatan. Sedangkan bagi pasangan lesbian biasanya memasukan dildo (alat kelamin pria buatan) atau dengan pisang, lilin, dan benda-benda lain yang menyerupai kelamin laki-laki ke dalam vagina patnernya dan mengadakan gerakan seperti persetubuhan. Menurut Kartono (1989: 23) dalam memilih patner seksual pada homoseksual pria ada yang menyukai pria remaja disebut ephobophilic atau peadophilic, sedangkan homoseksual wanita yang menyukai gadis disebut parthenophilic, yang menyukai wanita dewasa disebut gynaecophilic, yang menyukai wanita yang lebih tua disebut graophilic.

Kedua, sadomasokisme atau masokisme seksual. Menurut Freud (2003: 28-29) sadisme seksual termasuk kelainan seksual yang mana kepuasan seksual diperoleh bila mereka melakukan hubungan seksual dengan terlebih dahulu menyakiti atau menyiksa pasangannya. Sadisme dengan mudah dapat dibuktikan keberadaanya dalam diri pribadi normal, seksualitas kebanyakan pria menunjukan suatu persenyawaan tindak agresif suatu hasrat untuk mengendalikan atau menaklukan, signifikansi biologis yang terletak pada kebutuhan untuk mengatasi resistensi objek seksual melalui tindakan-tindakan yang bukan sekedar hanya untuk mengendalikan, hingga akhirnya sadisme menjadi komponen agresif insting seksual yang telah independen dan memperbesar diri dan diangkat kepermukaan melalui proses displacement (pemindahan suatu efeksi atau peletakan emosional dari satu ojek kepada objek lain). Menurut Kartono (1989: 260-262) bahwa sebab-sebab sadisme: 1). Oleh pendidikan yang salah, timbullah anggapan bahwa perbuatan seks itu adalah kotor, sehingga perlu ditindak dengan

(10)

kekejaman dan kekerasan, dengan melakukan perbuatan sadistis. Didorong oleh nafsu berkuasa yang ekstrim, sehingga seseorang perlu menampilkan perbuatan kekejaman dan penyiksaan terhadap patner seksnya. 2). Atau disebabkan oleh pengalaman traumatis dengan ibunya atau dengan seorang wanita, sehingga oleh rasa dendam yang membara, seorang laki-laki melakukan sadistis dalam bersenggama baik secara sadar maupun tidak sadar. Sedangkan masokisme seksual merupakan kebalikan dari sadisme seksual. Seseorang dengan sengaja membiarkan dirinya disakiti atau disiksa untuk memperoleh kepuasan seksual. Hal ini karena yang bersangkutan membutuhkan derita yang lebih besar untuk mencapai kepuasan seksual atau orgasme. Masokisme seringkali dapat dikenali sebagi suatu kelanjutan dari sadisme yang diarahkan kepada diri sendiri setelah mengambil alih kedudukan objek seksual.

Analisis klinis dari kasus-kasus masokistik ekstrem menunjukan adanya jalinan faktor-faktor besar yang diperlukan dan menentukan perilaku seksual yang semula pasif (kompleks, pengebirian, dan rasa bersalah Individu dengan gangguan ini secara konsisten memiliki gangguan fantasi seksual dengan cara menyakiti pasangannya dengan teror baik secara fisik ataupun psikologis. 1). Pemaksaan atau pemerkosaan, penolakan korban menjadi gairah seksual pelaku dalam melakukan aksinya. Semakin korban meronta, melawan, menangis maka pelaku semakin bersemangat. 2). Pelaku melakukan penyiksaan yang sebenarnya, pemukulan sampai menimbulkan luka memar. Melukai bagian tubuh tertentu dari pasangannya sampai mengeluarkan darah. 3). Beberapa individu gangguan juga disertai simtom masokis. 4). Melakukan penyiksaan seksual dengan pemaksaan atau sampai luka (melukai alat genital). Melakukan penyiksaan berat dengan menggunakan cambuk, kejutan listrik, dan sebagainya. Pada dasarnya tujuan dasar dari hubungan seksul antara suami dan istri ialah yang pertama untuk mendapatkan keturunan atau anak dan yang kedua adalah untuk mendapatkan kepuasan jiwa dan raga. Oleh karena itu hendaklah dalam melakukan hubungan seksual menghindari hal-hal yang dapat menyakiti pasangan, baik secara fisik maupun batin, terutama terhadap istri karena wanita adalah mahluk yang lembut, maka hendaklah diperlakukan secara lembut pula.

Ketiga, ekshibisionisme. Penderita ekshibisionisme akan memperoleh kepuasan seksualnya dengan memperlihatkan alat kelamin mereka kepada orang lain yang sesuai dengan kehendaknya. Bila korban terkejut, jijik dan menjerit ketakutan, ia akan semakin terangsang. Menurut Kartini (1989: 264-265) kondisi

(11)

begini sering diderita pria, dengan memperlihatkan penisnya yang dilanjutkan dengan masturbasi hingga ejakulasi. Penyebab terjadinya ekshibisonitis, yaitu perasaan tidak mapan, rasa tidak aman, merasa dipojokan atau dilupakan, rasa rendah diri. Dari sebab-sebab tersebut timbul kompulsi-kompulsi dan dambaaan diperhatikan, untuk diakui kejantanannya sebagai laki-laki yang potent, dengan jalan memperlihatkan alat kelaminnya di depan umum.

Keempat, hiperseks atau hypersexuality. Secara normal, seorang pria akan berpasangan dan melakukan hubungan seksual dengan satu wanita, yaitu istrinya. Tapi pada pria yang mengalami hiperseks, satu wanita tak cukup untuk dapat memuaskannya. Hiperseks atau hypersexuality merupakan penyimpangan seksual yang ditandai dengan tingginya keinginan untuk melakukan hubungan seksual dan sulitnya mengontrol keinginan seks tersebut. Orang yang mengalami hiperseks memang susah disembuhkan, tetapi bukan berarti tak mungkin. Terlebih banyak kasus itu lebih berkaitan dengan masalah kejiwaan, ketimbang masalah fisik. Seorang yang tergolong pecandu seks adalah orang yang memiliki kelainan dorongan seksual, dan tidak bisa mengendalikan hasrat tersebut.

Dari segi kejiwaan, ada beberapa sebab yang bisa menimbulkan kecanduan seks, yaitu: 1). seks sebagai satu-satunya cara berkomunikasi. Biasanya terjadi pada orang yang tidak mampu membuka diri dan berkomunikasi dengan baik. Jadi, kalau dia mau berkomunikasi, ujung-ujungnya lewat hubungan intim. 2). Pelepas ketegangan. Pada pekerjaan dengan tingkat stres tinggi, seringkali melampiaskan ketegangan dengan cara berhubungan seksual. 3). terobsesi segala hal berbau seks, meski sebenarnya dalam dirinya timbul konflik karena sadar terobsesi oleh seks itu tidak baik. 4). Gangguan jiwa, yang menganggap dirinya yang paling hebat, termasuk dalam hal seks. Perasaan rendah diri (inferiority). Misalnya, seseorang tak kunjung memberikan kontribusi bagus untuk kehidupan rumah tangga, atau memiliki latar belakang keluarga, status sosial, atau pendidikan yang lebih rendah dari orang disekitarnya, dia bisa melampiaskan rasa rendah diri ini dengan “kegagahan” di tempat tidur.

Kelima, Voyeurisme. Istilah voyeurisme (disebut juga scoptophilia) berasal dari bahasa Prancis yakni vayeur yang artinya mengintip. Penderita kelainan ini akan memperoleh kepuasan seksual dengan cara mengintip atau melihat orang lain yang sedang telanjang, mandi atau bahkan berhubungan seksual. Setelah melakukan kegiatan mengintipnya, penderita tidak melakukan tindakan lebih lanjut terhadap korban yang diintip. Dia hanya mengintip atau melihat, tidak lebih. Ejakuasinya

(12)

dilakukan dengan cara bermasturbasi setelah atau selama mengintip atau melihat korbannya. Dengan kata lain, kegiatan mengintip atau melihat tadi merupakan rangsangan seksual bagi penderita untuk memperoleh kepuasan seksual. Menurut Kartini (1989: 264) perbandingan voyeurisme di kalangan pria dan wanita sangat besar, yaitu 9:1 sebab, biasanya wanita tidak senang melihat kegiatan seksual dan gambar atau film-film porno, menurut psikoanalisa, fiksi terhadap pengalaman di masa kanak-kanak melihat orang tuanya bersenggama, merupakan dasar yang kuat bagi kebiasaan voyeuristis.

Keenam, Fatishi berarti sesuatu yang dipuja, Jadi pada penderita fetishisme, aktivitas seksualnya disalurkan melalui bermasturbasi dengan BH (breast holder), celana dalam, kaos kaki, atau benda lain yang dapat meningkatkan hasrat atau dorongan seksual. Ia melakukan masturbasi dengan mengunakan kutang atau celana dalam yang ditempelkan dan digosok-gosokan pada alat kelaminnya, sehingga orang tersebut mengalami ejakulasi dan mendapatkan kepuasan. Namun, ada juga penderita yang meminta pasangannya untuk mengenakan benda-benda. favoritnya, kemudian melakukan hubungan seksual yang sebenarnya dengan pasangannya tersebut. Fetishisme merupakan bentuk regresi seksual, karena obyek cintanya ada berkaitan dengan benda-benda yang disayangi pada masa kanak-kanaknya. Dan dengan memanipulasikan benda-benda tersebut dia akan mendapatkan kepuasan seks. Orang-orang yang melakukan praktek fetishisme itu pada umumnya infatil sifatnya, serta dibarengi rasa agresif, akan tetapi juga sering bersifat asosial dan selalu dibayangi oleh kecemasan menjadi impoten.

Ketujuh, pedophilia / pedophil / pedofilia / pedofil. Yakni orang dewasa yang yang suka melakukan hubungan seks / kontak fisik yang merangsang dengan anak di bawah umur. Menurut Fachri (1986: 11) biasanya pedofil memilih anak perempuan yang berumur antara 8 tahun sampai dengan umur 10 tahun, sedangkan untuk anak laki-laki berkisar antara umur 10 tahun sampai dengan umur 12 tahun. Perilaku ini disebabkan oleh perkawinan yang tidak bahagia, tidak mempunyai anak bahkan sampai mengalami perceraian. Selain itu kebengisan istri dan lebih berkuasanya istri dalam rumah tangga juga bisa menjadi faktor munculnya seksual pedophilia.Selain itu, praktek pedophilia biasanya juga dilakukan oleh laki-laki yang bersifat psikopatis, psikopat, alkhoholik atau asusila. Umur rata-rata dari orang yang melakukan praktek pedhopilia ini kurang lebih dari umur 35-45. Praktek pedhopila ini bisa berupa: a. Perbuatan ekshibisionistis dengan memperlihatkan alat kelamin sendiri pada anak-anak. b. Memanipulasi

(13)

tubuh anak-anak (membelai-belai, mencium, mengeloni, menimang, dan lain-lain). c. Sampai melakukan coitus dengan anak-anak.

Kedelapan, Incest. Adalah hubungan seks dengan sesama anggota keluarga sendiri non suami istri seperti antara ayah dan anak perempuan dan ibu dengan anak cowok, atau pertalian keluarga angkat atau pertalian keluarga karena perkawinan menjadi penghalang atau terlarang untuk hubungan seksual. Menurut Kartini (1989: 253) incest berarti persetubuhan antara orang-orang yang karena ikatan darah atau ikatan perkawinan tidak dapat menikah secara sah atau tidak diperbolehkannya adanya sebuah ikatan pernikahan. Misalnya persetubuhan antara anak tiri dengan ayah tiri atau ibu tiri, antara menantu dan mertuanya, atau antara adik ipar dan kakak ipar. Terhadap perbuatan-perbuatan persetubuhan tersebut, hukum, agama dan tradisi adat melarangnya dan mengancamnya dengan hukuman, karena alasan-alasan sosial dan biologis serta resiko yang timbul akibat perbuatan tersebut. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya insces (perzinahan antara keluarga) ialah faktor sosial, kebudayaan, fisologik, alkohol, ekonomi sehingga keterbatasan tempat tinggal, sehingga harus betempat tinggal dengan anggota keluarga yang lainnya, serta faktor kejiwaan dan intelegensia (pendidikan) yang kurang.

Kesembilan, necrophilia/necrofil. Menurut Fachri (1986: 25) necrophilia adalah orang yang suka melakukan hubungan seks dengan orang yang sudah menjadi mayat atau orang mati. Kejadian yang amat jarang terjadi ini diakibatkan karena pengalaman masa kecil yang pahit, masa perkembangan yang terluka hingga anak menanamkan rasa bersalah pada perasaannya dan merasa rendah diri, sehingga tidak ada keberanian untuk menghadapi seksual yang nyata dan yang hidup. Praktek nekrofilia itu disebabkan antara lain oleh, pelakunya dihinggapi rasa inferior yang begitu hebat karena mengalami trauma serius, sehingga dia tidak berani mengadakan relasi seks dengan seseorang wanita (yang masih hidup). Coitus dengan mayat itu kadang-kadang dibarengi dengan pengrusakan atau mutilasi terhadap mayat tersebut. Selain itu seorang nekrofilia bisa membunuh seseorang untuk dijadikan atau mendapatkan mayat, guna dipakai sebagai patner ber-coitus.

Kesepuluh, zoophilia menurut Fachri: 1986: 26) adalah orang yang senang dan terangsang melihat hewan melakukan hubungan seks dengan hewan. Hewan tersebut disetubuhi atau dilatih untuk merangsang secara seksual oarang yang besangkutan. Dasar penyebabnya karena merasa kekurangan untuk melakukan

(14)

hubungan sek dengan manusia. Hewan dipandang lebih rendah, lebih mudah dikuasai dan dikendalikan sehingga kepuasaan seksual terasa sempurna.

Kesebelas, Sodomi, yaitu pria yang suka berhubungan seks melalui dubur pasangan seks baik pasangan sesama jenis (homo) maupun dengan pasangan perempuan. Dengan cara begitu ia akan menjadi lebih terangsang dan menjadi sangat bergairah. Padahal hal tersebut merupakan salah satu hal yang diharamkan dalam agama Islam.

Keduabelas, frotteurisme/frotteuris, yaitu suatu bentuk kelainan seksual di mana seseorang laki-laki mendapatkan kepuasan seks dengan jalan menggesek-gesek atau menggosok- gosok alat kelaminnya ke tubuh perempuan di tempat publik atau di tempat umum seperti di kereta, pesawat, bis, dan lain sebagainya.

Ketigabelas, gerontopilia. Adalah suatu perilaku penyimpangan seksual dimana sang pelaku jatuh cinta dan mencari kepuasan seksual kepada orang yang sudah berusia lanjut (nenek-nenek atau kakek-kakek). Gerontopilia termasuk dalam salah satu diagnosis gangguan seksual, dari sekian banyak gangguan seksual seperti voyurisme, exhibisionisme, sadisme, masochisme, pedopilia, brestilia, homoseksual, fetisisme, frotteurisme, dan lain sebagainya. Keluhan awalnya adalah merasa impoten bila menghadapi istri atau suami sebagai pasangan hidupnya, karena merasa tidak tertarik lagi. Semakin ia didesak oleh pasangannya maka ia semakin tidak berkutik, bahkan menjadi cemas. Gairah seksualnya kepada pasangan yang sebenarnya justru bisa bangkit lagi jika ia telah bertemu dengan idamannya (kakek/nenek).

Kasus Gerontopilia mungkin jarang terdapat dalam masyarakat karena umumnya si pelaku malu untuk berkonsultasi ke ahli, dan tidak jarang mereka adalah anggota masyarakat biasa yang juga memiliki keluarga (anak dan istri/ suami) serta dapat menjalankan tugas-tugas hidupnya secara normal bahkan kadang-kadang mereka dikenal sebagai orang-orang yang berhasil/sukses dalam karirnya. Meski jarang ditemukan, tidaklah berarti bahwa kasus tersebut tidak ada dalam masyarakat Indonesia.

Manusia itu diciptakan Tuhan sebagai makhkluk sempurna, sehingga mampu mencintai dirinya (autoerotik), mencintai orang lain beda jenis (heteroseksual) namun juga yang sejenis (homoseksual) bahkan dapat jatuh cinta makhluk lain ataupun benda, sehingga kemungkinan terjadi perilaku menyimpang dalam perilaku seksual amat banyak. Manusia walaupun diciptakan-Nya sempurna namun ada keterbatasan, misalnya manusia itu satu-satunya makhluk yang

(15)

mulut dan hidungnya tidak mampu menyentuh genetalianya; seandainya dapat dilakukan mungkin manusia sangat mencintai dirinya secara menyimpang pula. Hal itu sangat berbeda dengan hewan, hampir semua hewan mampu mencium dan menjilat genetalianya, kecuali Barnobus (sejenis Gorilla) yang sulit mencium genetalianya. Barnobus satu-satunya jenis apes (monyet) yang bila bercinta menatap muka pasangannya, sama dengan manusia. Hewanpun juga banyak yang memiliki penyimpangan perilaku seksual seperti pada manusia, hanya saja mungkin variasinya lebih sedikit, misalnya ada hewan yang homoseksual, sadisme, dan sebagainya.

3. Pembentukan Perilaku Seksual yang bertanggungjawab

Pengertian perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan arti yang sangat luas, seperti: berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian tersebut, bisa disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh makhluk hidup.

Pengertian perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa untuk berpendapat, berfikir, bersikap, dan lain sebagainya yang merupakan refleksi dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun non fisik. Perilaku juga diartikan sebagai suatu reaksi psikis seseorang terhadap lingkungannya, reaksi yang dimaksud digolongkan menjadi dua, yakni: bentuk pasif (tanpa tindakan nyata atau konkrit), dalam bentuk aktif (dengan tindakan konkrit). Maka perilaku warga sebuah kelompok komunitas biasanya terkait dengan nilai dan norma yang dianutnya. Nilai adalah sesuai yang dianggap penting atau tinggi dalam kehidupan bersama dan dijadikan pegangan oleh pemilik nilai dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, nilai dijadikan dasar atau landasan bertingkah laku bagi manusia. Sementara itu, norma adalah implementasi perilaku untuk mewujudkan nilai tersebut. Jadi norma atau kaidah adalah ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat. Ketentuan tersebut mengikat bagi setiap warga yang hidup dalam lingkungan norma tersebut, mereka harus menaatinya. Oleh karena itu, norma merupakan unsur luar dari suatu ketentuan yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat, sedangkan nilai merupakan unsur dalamnya atau unsur kejiwaan di balik ketentuan yang mengatur tingkah laku tersebut. Termasuk yang berkaitan dengan pendidikan seks yang bertanggung jawab.

(16)

Pendidikan seks di Indonesia masih dianggap menjadi satu hal yang tabu untuk diberikan kepada anak-anak dan remaja. Orangtua dan orang dewasa merasa risih dan enggan saat anak-anak dan remaja menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan seks dan memilih untuk mengalihkan pembicaraan atau mengatakan pada mereka jika mereka akan tahu dengan sendirinya saat dewasa. Dengan tidak memberikan jawaban tentang seks secara baik, benar dan jelas kepada anak-anak dan remaja, hal ini akan menimbulkan masalah baru di masyarakat. Perubahan fisik dan hormonal pada remaja saat peralihan dari anak-anak menjadi remaja, membuat mereka merasa ingin tahu dengan apa yang sebenarnya terjadi dengan tubuh mereka. Remaja yang dipenuhi dengan rasa ingin tahu, akhirnya akan mencari tahu sendiri atau bertanya ke teman yang tidak sedikit mem berikan pengetahuan yang salah kepada mereka mengenai seks. Sebenarnya apa definisi dari pendidikan seks itu sendiri dan mengapa orangtua enggan untuk mengenalkannya kepada anak-anak dan remaja. Seks itu sendiri menurut KBBI adalah jenis kelamin, yang berhubungan dengan alat kelamin. Selama ini yang menjadi stigma masyarakat, pendidikan seks adalah pendidikan yang mengajarkan tentang kegiatan seksual yang ditakutkan hanya akan membuat anak-anak dan remaja malah melakukan seks bebas.

Secara umum, pendidikan seksual untuk anak dapat terbagi menjadi empat tahap. Pertama, tahap paling awal dalam pendidikan seksual adalah melakukan pengenalan tubuh kepada anak. Pengenalan tubuh pada bayi. Misalnya, bisa dilakukan dengan cara bermain dengan bayi sambil menyebutkan nama anggota tubuh yang ditunjuk. Tahap ini dapat dilakukan hingga anak mencapai usia balita. Ketika bayi sudah mulai beranjak besar, orang tua juga perlu mengajarkan bagaimana cara merawat tiap-tiap anggota tubuh yang diperkenalkan kepada anak. Misalnya, mengajarkan bahwa rambut harus dibersihkan secara berkala melalui keramas atau membiasakan anak mencuci tangan setelah memegang mainan. Tahap ini mengenalkan bagian tubuh dan bagaimana cara merawatnya, termasuk juga organ reproduksi. Kedua, memberikan pengetahuan kepada anak mengenai perbedaan tubuh laki-laki dan perempuan. Selain itu, pada tahap ini juga penting bagi orang tua untuk memberi pemahaman mengenai kebersihan tubuh, bagian tubuh pribadi, serta norma agama dan sosial. Perbedaan mengenai tubuh laki-laki dan perempuan dapat mulai diajarkan ketika anak mencapai usia balita. Ketika anak sudah memasuki usia sekolah orang tua perlu memberikan pemahaman yang baik mengenai bagian tubuh pribadi yang harus dilindungi.

(17)

Bagian tubuh pribadi yang dimaksud adalah leher sampai lutut, bagian depan dan belakang. Anak perlu memahami bahwa bagian tubuh pribadi ini tidak boleh diperlihatkan dan tidak boleh disentuh oleh orang lain. Kecuali oleh ibu, atau oleh peran pengganti ibu. Kalau oleh dokter pun harus dalam ruang praktik (ditemani ibu). Selain itu, penting bagi orang tua untuk memberikan pelajaran mengenai norma agama dan sosial terkait pendidikan seksual. Dengan begitu, anak akan terdorong untuk mulai menjaga diri sendiri.

Ketiga, berfokus pada memberi pemahaman mengenai batasan dalam pergaulan dan tanda-tanda pubertas. Pemahaman ini boleh dilakukan sejak anak mencapai masa akhir anak- anak menuju pubertas, yaitu sekitar usia 10 tahun ke atas. Terkait hal ini, orang tua perlu memperbanyak wawasan terkait masalah pubertas dan batasan-batasan dalam pergaulan. Dengan begitu, orang tua dapat memberikan penjelasan yang baik dan tepat kepada anak. Mereka sudah harus ada komunikasi pembicaraan dalam batasan pergaulan dan tanda pubertas. Keempat, pendidikan seksual lebih berkutat pada batasan dalam pergaulan, tanggung jawab seksual, dan pengendalian diri terkait aktivitas seksual. Tahap ini dapat dilakukan ketika anak sudah mencapai pubertas dan mulai memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis. Orang tua perlu memberitahu apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam pergaulan.

Menurut WHO di buku International Guidance Sexuality Education Volume 2 yang dilansir dari TheAsian Parent, pendidikan seks pada anak dibagi menjadi 4 level:

1. Level untuk usia 5-8 tahun

a) Kenalkan dengan hal-hal yang paling dasar di keluarga. Berikan penjelasan pada anak tentang fungsi dan peran seluruh anggota keluarga. Dimana orang tua bertanggungjawab terhadap anak-anak dan semua anggota keluarga harus saling menjaga. b) Berikan pengertian ke anak anak tidak pilih-pilih dalam berteman. Tumbuhkan rasa percaya, peduli, empati dan solidaritas anak dalam berteman tanpa memilih-milih teman. c) Bahasa ekspresi cinta dan kasih. Ajarkan anak untuk mengucapkan kata maaf, tolong dan terima kasih. Juga ungkapan rasa cinta dengan mengucapkan kata sayang kepada orang tua dan orang terkasih. d) Mengenalkan kepada anak bahwa setiap orang memiliki keunikan masing-masing. Jelaskan bahwa setiap orang dilahirkan unik dan berbeda. Seluruh perbedaan seperti bentuk fisik, kepercayaan dan keadaan keluarga bukanlah suatu halangan untuk

(18)

anak berteman. Ajarkan bahwa semua orang memiliki hak yang sama dan harus saling menghargai. e). Mengenalkan konsep pernikahan kepada anak. Ceritakan bagaimana proses orangtua menikah. Hal ini akan membuat anak paham bahwa setelah ayah dan ibu menikah, barulah anak dilahirkan.

2. Level anak usia 9-12 tahun

a) Jelaskan setiap anggota keluarga memiliki peran dan tanggungjawab masing-masing. Anak mulai diajarkan tentang tanggung jawab sebagai anggota keluarga. Misalnya, posisi sebagai kakak beradik, bertanggung jawab untuk saling menjaga selama bermain. b.) Mengikutsertakan anak dalam mengambil keputusan. Dalam usia ini anak sudah mulai harus dilibatkan dalam mengambil keputusan dalam musyawarah keluarga. Hal ini akan membuat anak merasa dihargai dan akan lebih percaya diri dalam mengambil keputusan di masa depan. c.) Jelaskan perbedaan berteman yang sehat dan tidak sehat. Pertemanan jika sudah melibatkan kekerasan seperti memukul, mencaci atau membully, maka dapat dikatakan itu sudah tidak sehat. Ajarkan anak bahwa melecehkan, mengucilkan dan memukul itu melukai hati orang lain dan setiap orang bertanggungjawab untuk membela orang yg dilecehkan tersebut. Jika melihat kejadian seperti itu, anak harus segera memberi tahu orang tua atau guru di sekolah. d.) Jelaskan tentang bagaimana menjadi orang tua dan tanggungjawab orangtua. Hal ini yang menjadi dasar pendidikan seksual untuk anak. Orang tua bisa mengenalkan bagaimana proses hadirnya anak di dalam keluarga. Setelah menjadi orang tua, orang dewasa harus bertanggungjawab kepada anak mereka dengan memberi makan, pakaian, uang jajan, pendidikan dan kasih sayang.

3. Level anak usia 12-15 tahun

Di Usia ini, anak mengalami masa pubertas dan mulai mengerti dengan rasa suka kepada lawan jenis. Pada usia ini, anak pun rentan mengalami konflik dengan orang tua dan teman sebaya yang sangat berpengaruh pada usia di level 3. Yang dapat dijelaskan pada anak di usia ini adalah:

a) Dampak positif dan negatif dalam berteman. Di usia ini, anak bisa mulai diajarkan untuk menjaga diri dari pertemanan yang terlalu dekat dengan lawan jenis. Hubungan yang terlalu dekat dan anak yang tidak bisa menjaga diri bisa berakhir dengan hubungan seksual yang dapat berakibat dengan kehamilan di usia muda. b.) Pelecehan dan kekerasan

(19)

oleh lawan jenis atau teman sesama dapat terjadi dalam proses berteman. Berikan pemahaman ke anak bahwa melawan kekerasan dan pelecehan dalam berteman atau di masyarakat adalah kewajiban setiap orang. Anak bertanggungjawab untuk melaporkan ke pihak yang berwenang jika melihat kejadian kekerasan dan pelecehan. c.) Rasa cinta, saling menghargai dan tanggungjawab merupakan kunci pernikahan yang bahagia. Jelaskan ke anak bahwa pernikahan di usia dini memiliki resiko yang buruk untuk kesehatan karena organ reproduksi yang belum berkembang secara sempurna. Orangtua tetap menggunakan kata vagina dan penis untuk menyebut alat vital manusia karena ini merupakan bagian dari pendidikan seks. Di usia ini, orangtua dapat menjelaskan tentang anatomi tubuh dan organ reproduksi manusia. Orangtua juga bisa menjelaskan tentang proses peralihan dari remaja menuju dewasa yang biasanya ditandai dengan perubahan fisik dan hormonal pada tubuh anak. Berikan gambaran ringkas mengenai proses pembuahan yang dapat menyebabkan seorang perempuan hamil dan jelaskan resiko kesehatan akibat hubungan seksual yang tidak sehat, misalnya karena hubungan seksual yang dilakukan terlalu dini. Terangkan juga mengenai proses penularan-penularan penyakit seksual akibat berganti-ganti pasangan.

4. Level IV, anak usia 15-18 tahun ke atas

a) Berikan gambaran kepada anak mengenai anggota keluarga yang mungkin saja hamil di luar nikah atau menolak menikah. Jika orangtua khawatir, jelaskan kekhawatiran tersebut kepada anak dan harapan-harapan orangtua pada anak. Hindari pemberian stigma pada anak, jelaskan mengapa sebagai orangtua khawatir. Lakukan pendekatan secara agama dan secara norma-norma sosial yang berlaku di masyarakat. Biarkan anak memahaminya dan menyadari kekhawatiran orangtua dengan bijak. Dengan begitu anak akan mengambil sikap sesuai dengan pemahaman dan kesadaran mereka tanpa paksaan jika menemukan hal tersebut terjadi di kehidupan mereka. Orangtua akan lebih tenang. Jangan memberikan contoh yang dapat mendiskriminasi, menyudutkan atau membenci kelompok tertentu yang berbeda cara pandangnya karena setiap orang berhak untuk hidup dengan baik sesuai pola pandang mereka. Hindari juga menakuti anak karena hanya akan membuat jiwa dan pikiran anak menjadi kerdil atau bahkan malah memancing rasa ingin tahu yang lebih besar dan membuat

(20)

anak mencari informasi sendiri. b.) Jelaskan tentang aturan dan hukum mengenai pelecehan dan kekerasan seksual. Jelaskan pada anak bahwa bagi orang yang melakukan pelecehan ada hukum yang berlaku dan setiap orang bertanggungjawab atas pelecehan dan kekerasan yang mereka lakukan. Hukum pada pelaku kejahatan tidak mengenal usia, jenis kelamin dan orientasi seksual. c.) Pernikahan merupakan hal yang suci dan berharga. Berikan gambaran kepada anak mengenai bagaimana pernikahan itu dan apa saja yang harus dipersiapkan sebelum memutuskan untuk menikah seperti kesiapan mental dan tubuh mereka karena menikah itu adalah hal yang sangat suci dan sangat berharga dalam proses kehidupan manusia. Selain itu, orangtua harus mengajarkan anak untuk menolak kekerasan dan pelecehan dalam kehidupan berumahtangga. Tambahan, bagaimana dengan hubungan seksual yang sehat dalam berumahtangga.

4. Manfaat pendidikan seks bagi anak dan remaja

Pertama, dapat memberikan informasi yang benar dan jelas tentang perkembangan tubuh di masa peralihan anak ke remaja. Pada masa ini ini ada beberapa perubahan fisik pada remaja, seperti bertambahnya tinggi atau berat badan, perubahan suara atau tumbuhnya jakun pada laki-laki atau bertambah besarnya payudara atau menstruasi pada perempuan. Hal ini kadang membuat remaja merasa tidak nyaman dan kurang percaya diri, disinilah peran orangtua untuk menjelaskan bahwa semua perubahan tersebut normal terjadi pada masa peralihan dari anak-anak ke dewasa dan mereka tidak perlu merasa khawatir dan tidak percaya diri dengan perubahan tersebut.

Kedua, dapat mencegah remaja melakukan seks bebas. Dengan diajarkan nilai-nilai tentang kegiatan seksual yang seharusnya dilakukan oleh orang yang sudah sah sebagai suami istri menurut agama dan negara, hal ini akan membuat remaja memilih untuk tidak melakukan seks di luar nikah karena alat reproduksi yang belum tumbuh sempurna di usia remaja dan belum siapnya mental mereka.

Ketiga, dapat mencegah kekerasan dan pelecehan seksual dengan menyadari bahwa mereka harus menghargai dan menjaga tubuh mereka. Dengan diberikannya pengetahuan seks yang disertai dengan nilai-nilai agama dan moral, remaja dapat mengerti dengan konsep menghargai tubuh mereka dan tubuh orang lain dengan tidak menyentuh atau melecehkan orang lain. Anak dan remaja diajarkan tentang konsep “consent”, dimana mereka berhak menolak orang lain untuk menyentuh tubuh tanpa persetujuan mereka. Misalnya, orang lain tidak

(21)

berhak menyentuh bagian dada mereka dan jika tetap memaksa, mereka dapat berteriak dan lari untuk meminta tolong kepada orang lain. Hal ini berlaku juga untuk orangtua atau keluarga mereka, karena saat ini tidak jarang pelaku kekerasan dan pelecehan seksual adalah orangtua atau keluarga terdekat mereka.

Keempat, dapat mencegah aborsi akibat kehamilan di luar nikah. Menurut data Dinas Kesehatan DKI 2008, nilai rata-rata angka kematian ibu melahirkan mencapai 228 per 100 ribu kelahiran hidup dan dari angka tersebut, kematian akibat aborsi mencapai 30%. Aborsi tersebut dilakukan oleh perempuan yang kebanyakan remaja berusia 15-19 tahun dengan angka sebesar 78% di perkotaan dan di pedesaan sebesar 40%. SDKI menambahkan, jika 48% dari total pernikahan nasional dilakukan oleh anak di bawah usia 18 tahun. Peningkatan angka aborsi disebabkan dengan meningkatnya angka pernikahan di usia dini terutama di Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang dan Bekasi. Penyebab pernikahan usia dini di kota-kota besar di Indonesia adalah perilaku seks bebas akibat minimnya pengetahuan seksual oleh anak-anak dan remaja di Indonesia.

Kelima, dapat mencegah pernikahan di usia dini. Pernikahan usia dini banyak ditemukan di Papua. Banyak anak-anak usia 10 sampai 16 tahun sudah menikah dan memiliki anak 5 hingga 8 orang. Padahal secara fisik mereka belum siap untuk berproduksi. Dalam Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pekawinan disebutkan bahwa pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai 16 tahun. Pada pasal 26 ayat 1 huruf c Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan usia anak. Dari Undang-Undang tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan yang dianjurkan minimal usia 18 tahun. Pernikahan anak dibawah umur pada dasarnya terjadi karena berbagai macam alasan, di antaranya kepercayaan dan budaya yang menyatakan bahwa wanita sudah layak menikah ketika telah mengalami menstruasi, agama, pendidikan yang rendah, budaya dan status ekonomi. Padahal apabila pernikahan terjadi pada usia dini, cukup berbahaya baik dari segi wanita maupun pria dan juga dari berbagai aspek mulai dari kesehatan, psikologi dan juga mental. Meski ada beberapa dampak positif, namun tidak seimbang dengan lebih banyaknya dampak pernikahan dini yang negatif. Sebab pernikahan dini sendiri bisa terjadi karena berbagai alasan seperti tidak disengaja atau tidak direncanakan. Maka

(22)

banyaknya perkawinan anak dibawa umur juga telah berdampak pada populasi banyak anak balita terlantar yang tidak memiliki bapak dan ibu kandung.

Keenam, dapat mencegah penularan penyakit kelamin. Seperti yang dilansir di hellosehat.com, ada 4 jenis penyakit kelamin yang dapat ditularkan melalui hubungan seks: klamidia (secara global tercatat 131 juta orang terkena penyakit ini setiap tahunnya), gonore (kencing nanah), sipilis atau raja singa dan herpes genital. Selain 4 penyakit tersebut, ada juga HIV/AIDS yang dapat ditularkan melalui hubungan seks yang tidak sehat.

Ketujuh, dapat membuat remaja mampu menghadapi tekanan dari teman-teman mereka. Anak dan remaja bisa menolak saat teman-teman-teman-teman mengajak mereka untuk melakukan kegiatan yang menyimpang seperti menonton film porno, seks bebas atau melecehkan orang lain bersama. Dengan memberikan pendidikan seks, anak akan menjadi lebih dekat dengan orangtua dan orangtua bisa lebih mudah memonitor pertemanan anak-anak.

Kedelapan, dapat memelihara tegaknya nilai-nilai moral. Dengan memberikan nilai-nilai agama dan moral saat memberikan pendidikan seks, hal ini akan membuat para anak remaja akan menjaga tegaknya nilai-nilai agama dan moral di diri mereka dan dapat menjaga diri mereka dari penyimpangan-penyimpangan seksual.

C. Penutup

Dari pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan beberapa hal. Pertama, penyebab tingginya kasus HIV AIDS di Papua dikarenakan kurangnya edukasi serta adanya perilaku seks yang menyimpang. Oleh karena itu, untuk mencegah atau mengurangi dampak yang membahayakan tersebut, maka disarankan untuk dilakukan pendidikan seks dalam keluarga guna menumbuhkan pemenuhan kebutuhan seks yang bertanggungjawab. Pendidikan seks dapat dilakukan orang tua terhadap anak serta dapat diberikan sesuai usia anak. Dengan pendidikan seks yang benar diharapkan dapat mencegah perilaku seksual yang menyimpang sehingga dapat membantu mencegah penularan penyakit HIV AIDS dalam kehidupan keluarga serta masyarakat.

(23)

Daftar Kepustakaan

Cannon, Cynthia. 2010. Handbook of HIV and Social Work. New Jersey: John Wiley & Sons Inc.

Hurlock, Elizabet. 1997. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Penerbit Erlangga Fachri, A. Perkawinan Sek dan Hukum. 1986. Pekalongan: Bahagia.

Fleishman, J.A. 1998. Research Design Issues in Evaluating the Outcomes of Case Managemen for Persons with HIV. Evaluating Have Case Managemen: Invited Research & Evaluation Paper.

Freud, Sigmund. 2003. Teori Seks. Jogjakarta: Jendela.

Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan Abnormalitas Seksual. Bandung: Mandar Maju.

Pemerintah Daerah Papua. 2018. Data Kasus Perkembangan HIV AIDS Kabupaten Kota di Propinsi Papua. Jayapura: Komisi Perlindungan Anak Propinsi Papua. Zaviera, Ferdinand. 2008. Teori Kepribadian Sigmund Freud. Jogjakarta:

Primasophi.

Gambar

Tabel Data Jumlah Kasus HIV-AIDS Provinsi Papua Tahun 2018
Tabel di atas memperlihatkan bahwa penyebaran HIV AIDS terbanyak  terdapat di kabupaten Nabire, Jayawijaya, Mimika, Kota Jayapura, Merauke,  Biak Numfor, Kepulauan Yapen, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Pegunungan Bintang  serta disusul kabupaten lainnya

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “ Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Minat dalam Menggunakan Kontrasepsi

Investasi dalam bidang teknologi informasi menjadi salah satu aspek penting dalam strategi organisasi saat ini.Organisasi harus mampu mengambil keputusan investasi

Objektif utama kajian ini adalah untuk menentukan kesan komitmen afektif dalam hubungan antara rangkaian sosial, norma sosial, kepercayaan dan motivasi dengan tingkah laku

Jika pada suatu saat fundamental analyst mengetahui bahwa sekuritas A ada dalam posisi under- atau over-valued sebelum investor lain mengetahuinya, analyst tersebut

Efektifitas pengaruh pemberian ekstrak bawang putih untuk pengobatan ikan patin (Clarias sp.) yang terinfeksi bakteri Aeromonas hydrophila.. PKM Penulisan Ilmiah,

* Kelas Paralel A dan B akan diadakan hanya jika jumlah peserta kuliah diatas 70 mhs.. Jika peserta kuliah < 70 mhs, kuliah akan digabung menjadi