• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pemberian Asi Ekslusif dengan Kejadian Dermatitis Atopik pada Anak Playgroup dan TK Happy Holy Kids

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pemberian Asi Ekslusif dengan Kejadian Dermatitis Atopik pada Anak Playgroup dan TK Happy Holy Kids"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dermatitis Atopik

2.1.1 Definisi Dermatitis Atopik

Dermatitis atopik adalah penyakit kulit inflamasi yang khas, bersifat kronis dan sering terjadi kekambuhan (eksaserbasi) terutama mengenai bayi dan anak, dapat pula dewasa. Penyakit ini biasanya disertai dengan peningkatan kadar IgE dalam serum serta adanya riwayat rinitis alergika atau asma pada keluarga maupun penderita (Kariosentono,2007). Dermatitis atopik merupakan suatu penyakit kulit yang sering dijumpai pada masa bayi, ditandai dengan pruritus hebat dan memiliki kecenderungan untuk menjadi kronik (Williams, 2006).

Istilah dermatitis banyak digunakan oleh para dermatologist yang berorientasi pada sumber ilmu di Amerika, digunakan untuk mengganti kata

“eksema” yang banyak dipakai di benua Eropa. Kata eksema sendiri telah lama dikenal sejak dahulu yaitu pada zaman sebelum masehi, berasal dari

bahasa Yunani “ekzein” yang berarti mendidih atau berbuih. Konsep atopi diperkenalkan pertama kali oleh Coca dan Cooke pada tahun 1923, sebagai suatu istilah yang dipakai secara spontan pada individu yang mempunyai riwayat keluarga terhadap kepekaan tersebut . Kata atopi diambil dari bahasa Yunani atopia yang berarti sesuatu yang tidak lazim, different atau out of place, dan istilah ini untuk menggambarkan suatu reaksi yang tidak

biasanya, berlebihan (hipersensitivitas) dan disebabkan oleh paparan benda asing yang terdapat di dalam kehidupan lingkungan kehidupan manusia. (Kariosentono,2007)

2.1.2 Epidemiologi

(2)

semakin meningkat selama 30 tahun terakhir. Prevalensi dermatitis atopik pada anak di beberapa negara diperkirakan 10-20% sedangkan pada dewasa diperkirakan 1-3% (Watson, 2011).

Prevalensi dermatitis atopik meningkat dua kali lipat atau tiga kali lipat di negara industri selama tiga dekade terakhir; 15-30% anak dan 2-10% orang dewasa yang menderita dermatitis atopik. Gangguan ini seringkali merupakan awal dari diatesis atopik yang meliputi asma dan penyakit alergi lainnya. Dermatitis atopik sering dimulai pada masa bayi awal. Sebanyak 45% dari semua kasus dermatitis atopik dimulai dalam 6 bulan pertama kehidupan, 60% dimulai pada tahun pertama, dan 85% dimulai sebelum usia 5 tahun. Lebih dari 50% anak yang menderita dermatitis atopik dalam 2 tahun pertama kehidupan tidak memiliki tanda sensitisasi IgE, tetapi sensitisasi IgE tetap akan terjadi selama selama menderita dermatitis atopik. Sampai dengan 70% dari anak-anak ini memiliki remisi spontan sebelum masa remaja. Penyakit ini juga dapat terjadi pertama kali pada orang dewasa (akhir-onset dermatitis atopik), dan dalam sejumlah besar pasien ini tidak ada tanda IgE-mediated sensitisasi. Prevalensi dermatitis atopik lebih rendah di pedesaan dibandingkan dengan daerah perkotaan menunjukkan adanya hubungan ke "hygene hypothesis", yang menyatakan bahwa tidak adanya paparan anak usia dini terhadap agen infeksi meningkatkan kerentanan terhadap penyakit alergi. Konsep ini baru-baru ini dipertanyakan berkaitan dengan dermatitis atopik (Bieber, 2008).

(3)

2.1.3 Faktor Risiko

Berbagai faktor ikut berinteraksi dalam patogenesis dermatitis atopik, misalnya faktor genetik, lingkungan, sawar kulit, farmakologik, dan imunologik. (Djuanda, 2011)

Faktor risiko terjadinya dermatitis atopik antara lain : a. Genetik

Pada penyakit atopik, karakteristik status atopik dapat diuji melalui uji tusuk kulit positif pada alergen yang umum. Sekitar 80% dari bayi dengan dermatitis atopik memperlihatkan peningkatan level serum total IgE. Riwayat orangtua diperkirakan mempunyai peranan penting pada penyebab dermatitis atopik dan penyakit atopik lainnya karena genetik merupakan faktor risiko yang sering memicu penyakit pada bayi. Meskipun, tidak selalu ditemukan hubungan yang dekat pada status pihak ibu daripada ayah (Morar et al., 2006)

b. Laktasi

Terjadi perbedaan bayi yang mendapat ASI dengan yang tidak ASI. Melalu penelitian yang dilakukan Yang tahun 2009 tentang hubungan antara menyusui dan terjadinya dermatitis atopik menunjukkan hasil yang tidak menentu, dimana hasilnya tidak ada pembuktian yang kuat efek proteksi menyusui secara eksklusif paling tidak selama 3 bulan terhadap kejadian dermatitis atopik pada anak-anak dengan riwayat keluarga yang positif dermatitis atopik (Yang et al., 2009).

c. Sosioekonomi

Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah. Laporan prevalensi eksema meningkat 1.5-2 kali lebih tinggi pada sosial kelas atas. Alergi lebih sering pada kelompok berpendidikan tinggi (Dalstra et al., 2005).

d. Polusi Lingkungan

(4)

rokok, penggunaan pendingin ruangan yang berpengaruh pula pada kelembaban udara, penggunaan sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna (Leung, 2008).

2.1.4 Patogenesis

Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat kompleks serta melibatkan banyak faktor sehingga menggambarkan suatu penyakit yang multifaktorial. Salah satu teori yang banyak dipakai untuk menjelaskan patogenesis dermatitis atopik adalah teori imunologik. Konsep imunopatologi ini berdasarkan bahwa pada pengamatan 75% penderita dermatitis atopik mempunyai riwayat atopi lain pada keluarga atau pada dirinya. Selain itu beberapa parameter imunologi dapaat ditemukan pada dermatitis atopik, seperti peningkatan kadar IgE dalam serum pada 60-80% kasus, adanya IgE spesisfik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta ditemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans epidermis.

Peranan reaksi alergi pada etiologi dermatitis atopik masih kontroversi dan menjadi bahan perdebatan di antara para ahli. Istilah alergi dipakai untuk merujuk pada setiap bentuk reaksi hipersensitivitas yang melibatkan IgE sebagai antibodi yang terjadi akibat paparan alergen. Beberapa peneliti menyebutkan alergen yang umum antara lain sebagai berikut:

a. Aeroalergen atau alergen inhalan : Tungau debu rumah, bulu binatang, jamur dan kecoa

b. Makanan : susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum

c. Mikroorganisme : bakteri seperti staphylococcus aureus, streptococcus species dan ragi seperti Pityrosporum ovale, Candida albicans dan Trichophyton species

d. Bahan iritan atau alergen : wool, desinfektan, nikel, paru, balsam dan sebagainya.

(5)

setelah inhalasi atau secara langsung melalui kontak dengan kulit. Pada pemaparan pertama terjadi sensitisasi, dimana alergen akan “ditangkap” oleh sel penyaji antigen (APC), untuk kemudian diproses dan disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC klas II. Hal ini menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenali alergen tersebut melalui sel T cell receptor (TCR). Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi

subpopulasi sel Th 2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Begitu ada dalam sirkulasi IgE segera berikatan dengan sel mast dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya, IgE telah tersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara alergen dengan IgE. Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi sel mast. Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator baik yang teleah tersedia seperti histamin yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator yang baru dibentuk seperti leukotrien C4 (LTC4), prostaglandin D2 (PGD2) dan lain sebagainya.

Sel Langerhans epidermal berperan penting pula di dalam patogenesis dermatitis atopik oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan membrannya yang dapat mengikat molekul IgE serta mensekresi berbagai sitokin. Apabila ada alergen masuk akan diikat dan disajikan pada sel T dengan bantuan molekul MHC klas II dan sel T akan mensekresikan limfokin dengan profil Th2 yaitu IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10. IL-5 secara fungsional bekerja mirip ECF-A sehingga sel eosinofil ditarik dan berkumpul di tempat lesi, menjadi aktif dan akan mengeluarkan granula protein yang akan membuat kerusakan jaringan. Terjadinya lesi dermatitis atopik pada keadaan ini didasari oleh mekanisme reaksi fase lambat atau late phase reaction. Respon imun dermatitis atopik terjadi mirip respon tipe

(6)

2.1.5 Gejala Klinis

Gejala Klinis dermatitis atopik secara umum adalah gatal, kulit kering dan timbulnya eksim (eksematous inflammation) yang berjalan kronik dan residif. Rasa gatal yang hebat menyebabkan garukan siang dan malam sehingga memberikan tanda bekas garukan (scratch mark) yang akan diikuti oleh kelainan-kelainan sekunder berupa papula, erosi atau ekskoriasi dan selanjutnya akan terjadi likenifikasi bila proses menjadi kronis.

Papula dapat terasa sangat gatal (prurigo papula) bersamaan dengan timbulnya vesikel (papulovesikel) dan eritema, merupakan gambaran lesi eksematous. Prurigo papules, lesi eksematous dan likenifikasi dapat menjadi erosif bila terkena garukan dan terjadi eksudasi yang berakhir dengan lesi berkrustae. Lesi kulit yang sangat basah (weeping) dan berkrusta sering didapatkan pada kelainan yang lanjut (Kariosentono, 2007).

2.1.6 Kriteria Diagnostik

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik Menurut Hanifin-Rajka

Kriteria Mayor Kriteria Minor

1. Pruritus

2. Morfologi dan distribusi lesi khas:

Dewasa : fleksural likenifikasi atau linear

Bayi dan anak: Mengenai wajah dan ekstensor

3. Dermatitis kronik atau kronik berulang

5. Kecenderungan mendapat infeksi kulit akibat gangguan imunitas seluler

6. Kecenderungan mendapat dermatitis non spesifik pada tangan dan kaki 7. Eksema pada putting susu

(7)

11.Katarak subkapsuler anterior 12.Hiperpigmentasi daerah orbita 13.Kemerahan/kepucatan di pipi 14. Pitiriasis alba

15. Dermatitis di lipatan leher anterior 16. Gatal bila berkeringat

17.Intoleransi terhadap wol dan pelarut lemak

18.Aksentuasi perifolikuler 19.Intoleransi makanan

20.Perjalanan penyakit dipengaruhi lingkungan/emosi

21. Dermografisme putih/delayedblanch

Dikutip dari Atopic Dermatitis : An update (Rothe and Grant-Kels,1996)

Seseorang dianggap menderita dermatitis atopik bila ditemukan minimal 3 gejala mayor dan 3 gejala minor.

Dari kriteria mayor pada penelitian Hanifin Rijka, Organisasi International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC) membuat suatu kuesioner

untuk mendiagnosis dermatitis atopik. Hal ini dilakukan untuk kepentingan penelitian epidemiologi (Asher et al 1995). Seseorang didiagnosis dermatitis

atopik bila memenuhi ≥ 3 pertanyaan dari 7 pertanyaan kuisioner ISAAC

(Breinninkmejer, et al 2008)

2.2 Air Susu Ibu

2.2.1 Pengertian Air Susu Ibu

(8)

anak menurun. United Nation Children Fund (UNICEF) dan World Helath Organization (WHO) merekomendasikan sebaiknya anak hanya disusui ASI

selama paling sedikit enam bulan. Hal ini dilakukan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian anak. ASI eksklusif dianjurkan pada beberapa bulan pertama kehidupan karena ASI tidak terkontaminasi dan mengandung banyak gizi yang diperlukan anak pada umur tersebut. Pada tahun 2003, Pemerintah Indonesia mengubah rekomendasi lamanya pemberian ASI eksklusif dari 4 bulan menjadi 6 bulan (Kemenkes, 2014).

Pemberian ASI eksklusif merupakan suatu tindakan pemberian ASI pada bayi tanpa tambahan cairan lain seperti susu formula, jeruk, madu, air teh, air putih, dan tanpa tambahan makanan padat seperti pisang, pepaya, bubur , susu, biskuit, bubur nasi dan tim. Pemberian ASI secara eksklusif ini dianjurkan untuk jangka waktu sampai 6 bulan,. Setelah bayi berumur 6 bulan, ia harus mulai diperkenalkan dengan makanan padat, sedangkan ASI dapat dapat diteruskan sampai 2 tahun atau lebih (Roesli, 2000).

2.2.2 Komposisi Air Susu Ibu

ASI adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktose, dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu, sebagai makanan utama bagi bayi.

Komposisi ASI ini ternyata tidak konstandan tidak sama dari waktu ke waktu.Faktor-faktor yang mempengaruhi komposisi ASI adalah :

a. Stadium laktasi b. Ras

c. Keadaan Nutrisi d. Diet Ibu

ASI menurut stadium laktasi : 1. Kolostrum

(9)

2.2.2.1Kolostrum

Kolostrum merupakan cairan viscous kental dengan warna kekuning-kuningan (lebih kuning dibandingkan susu yang matur) yang pertama kali disekresi oleh kelenjar payudara. Kolostrum mengandung tissue debris dan residual material yang terdapat dalam alveoli dan duktus dari kelenjar payudara sebelum dan setelah masa puerperium. Kolustrum disekresi oleh kelenjar payudara dari hari pertama sampai hari ketiga atau keempat. Komposisi dari kolostrum ini dari hari ke hari selalu berubah. Kolostrum ini juga merupakan pencahar yang ideal untuk membersihkan mekoneum dari usus bayi yang baru lahir dan mempersiapkan saluran pencernaaan makanan bayi bagi makanan yang akan datang. Pada kolostrum terdapat tripsin inhibitor, sehingga hidrolisis protein di dalam usus bayi menjadi

kurang sempurna. Hal ini akan lebih banyak menambah kadar antibodi pada bayi. Volumemya berkisar 150-300 ml/24 jam

Hal-hal yang membedakan kolustrum dengan susu matur yaitu sebagai berikut :

1. Kandungan protein di dalam kolostrum lebih banyak dibandingkan dengan ASI yang matur. Protein yang utama dalam kolostrum adalah globulin (gamma globulin).

2. Kolostrum juga mengandung lebih banyak antibodi dibandingkan dengan ASI yang matur dan dapat memberikan perlindungan bagi bayi sampai umur 6 bulan.

3. Kadar karbohidrat dan lemak di dalam kolostrum lebih rendah jika dibandingkan dengan ASI yang matur.

4. Mineral yang utama dalam kolostrum adalah natrium, kalium dan klorida dan kadarnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan susu yang matur.

(10)

6. Vitamin yang larut dalam lemak lebih tinggi jika dibandingkan dengan ASI matur, sedangkan vitamin yang larut dalam air dapat lebih tinggi atau lebih rendah.

7. Bila dipanaskan, kolostrum akan menggumpal, sedangkan ASI matur tidak.

8. Pada Kolostrum pH lebih alkalis dibandingkan dengan ASI matur 9. Lipidnya lebih banyak mengandung kolesterol dibandingkan

dengan ASI matur.

2.2.2.2Air Susu Masa Peralihan

Air susu masa peralihan merupakan ASI peralihan dari kolostrum sampai menjadi ASI yang matur. Air susu ini disekresi dari hari ke- 4 sampai hari ke-10 dari mas laktasi, tetapi ada pula pendapat yang mengatakan bahwa ASI matur baru terjadi pada minggu ketiga sampai minggu kelima. Kadar protein semakin rendah sedangkan kadar karbohidrat dan lemak semakin tinggi. Selain itu volumenya juga akan semakin meningkat.

Tabel 2.2 Komposisi ASI menurut penyelidikan dari Kleiner I.S. & Osten J.M.

Waktu Protein Karbohidrat Lemak

Hari ke-5 2,00 6,42 3,2

Hari ke-9 1,73 6,73 3,7

Minggu ke-34 1,30 7,11 4,0

Dikutip dari: Breast Feeding a guide for medical profession (Lawrence, Mosby and St. Louis, 1980)

(11)

2.2.2.3. Air Susu Matur

Air susu matur merupakan ASI yang disekresi pada hari ke-10 dan seterusnya. Komposinya relatif konstan mulai minggu ke 3 sampai minggu ke-5. Bagi ibu yang sehat, dimana produksi ASInya cukup, ASI inilah merupakan makanan satu-satunya yang paling baik dan cukup untuk bayi sampai umur 6 bulan. Air susu matur merupakan suatu cairan berwarna putih kekuning-kunigan yang diakibatkan warna dari garam Ca-caseinat, riboflavin dan karoten yang terdapat di dalamnya. Air susu ini tidak mnggumpal jika dipanaskan. Selain itu, di dalam ASI ini terdapat antimikrobial faktor, antara lain:

a. Antibodi terhadap bakteri dan virus

b. Sel (fagosit granulosit dan makrofag dan limfosit tipe T)

c. Enzim (lisozim, laktoperoksidase, lipase, katalase, fosfatase, amilase, fosfodiesterase, alkalinfosfatase)

d. Protein ( laktoferin, B12 binding protein) e. Resistance factor terhadapa stafilokokud f. Komplemen

g. Interferon producing cell

h. Sifat biokimia yang khas, kapasitas buffer yang rendah dan adanya faktor bifidus

i. Hormon-hormon .

2.2.3 Faktor-Faktor Kekebalan di dalam Air Susu Ibu

Faktor-faktor kekebalan didalam ASI secara garis besar didapatkan dua macam kekebalan ialah :

2.2.3.1 Faktor Kekebalan non spesifik

a. Faktor Pertumbuhan laktobasilus bifidus

(12)

Di dalam ASI kadar bifidus factor 40 kali lebih banyak daripada di dalam usus sapi dan rusak apabila ASI dipanaskan. Bifidus factor dalam suasana asam di dalam usus bayi akan menstimulir pertumbuhan Laktobasilus bifidus (Bifidubacteria). Laktobacilus bifidus ini di dalam

usus bayi akan mengubah laktosa yang banyak terdapat di dalam ASI menjadi asam laktatdan asam asetat sehingga suasana akan lebih aman. Suasana yang asam ini akan menghambat pertumbuhan Escherichia Coli patogen dan Enterobacteriaceae.

b. Laktoferin

Laktoferin merupakan suatu iron binding protein yang bersifat bakteriostatik yang kuat terhadap Escheria coli danjuga menghambat pertumbuhan Candida albicans. Kadar laktoferin bervariasi di antara 6 mg/ml kolostrum dan tidak lebih daripada 1mg/ml di dalam ASI matur . Pada Ibu dengan gizi yang kurang kadar ini sedikit lebih rendah. Meskipun kadar laktoferin di dalam kolostrum susu sapi cukup tinggi ialah 5 mg/ml, tetapi kadar ini cepat menurun. Di dalam ASI yang matur, laktoferin selain menghambat pertumbuhan Candida albicans, juga bersama-sama (sinergistik) dengan SIgA menghambat pertumbuhan E. coli patogen . Laktoferin dapat mengikat zat besi berkompetisi di dalam usus bayi dengan kuman-kuman patogen dalam mengikat zat besi, vitamin B12 dan asam folat.

c. Lisozim (muramidase)

(13)

kuman-kuman gram positif, Diduga lisozim juga melindungi tubuh bayi terhadap berbagi penyakit infeksi virus antara lain (Herpes hominis). d. Laktoperoksidase

Kadar laktoperoksidase di dalam ASI lebih rendah daripada kadar laktoperoksidase di dalam air liur bayi. Khasiat daripada enzim ini belum diketahui dengan jelas (Soetjiningsih, 1997).

2.2.3.2 Faktor-faktor Kekebalan Spesifik di dalam ASI a. Sistem komplemen

Sistem komplemen adalah suatu sistem yang terdiri atas sebelas komplemen-komplemen itu disebut ; CIq, CIr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9. Sistem komplemen diaktifkan oleh kompleks antigen-antibodinya. Pada prinsipnya aktivitas sistem komplemen itu berlangsung menurut fenomena classical pathway yaitu mulai dari C1 sampai C9.

Telah dibuktikan bahwa di dalam ASI terdapat ke sebelas komplemen dari sistem komplemen, meskipun beberapa di antara kadarnya sangat rendah.

b. Khasiat seluler

Kolostrum ibu mengandung bermacam–macam sel, yang terutama terdiri dari makrofag (90%), Limfosit (1-15%) dan sedikit leukosit polimorfnuklear.

Makrofag bergerak bebas, bersifat ameboid dab fagositik terhadpa kuman-kuman Staphylococcus, E. coli dan Candida albicans. Makrofag juga menghasilkan C3, C4, enzim laktoferin dan

enzim lisozim. Makrofag ini mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya nocrotizing enterocolitis.

(14)

rendah. Selain daripada itu sel T juga menghasilkan interferon. Populasi Sel B di dalam ASI, primer berasal dari sel-sel pada dinding usus dan mukosa lain dari ibu, terbukti bahwa prekursor dari sel B ini ditemukan di dalam sel mesenterium, antibodi yang terbentuk terutama adalah SIgA.

c. Immunoglobulin

Semua macam immunoglobulin dapat ditemukan di dalam ASI. Dengan teknik-teknik yang baru seperti immunoelectrophoresis, radioimmune assay, elisa dan sebagainya dapat diidentifikasikan

lebih dari 30 macam immunoglobulin. Immunoglobulin terpenting dan terbanyak di dalam darah manusia adalah immunoglobulin G, kadar IgA hanya seperlima daripada kadar IgG. Sebaliknya di dalam ASI immunoglobulin A merupakan immunoglobulin terpenting, tidak saja karena konsentrasinya yang tinggi, juga karena aktivitas biologiknya. SIgA yang palin dominan, 90% daripada seluruh kadar immunoglobulin di dalam kolostrum maupun ASI matur. Fungsi utama SIgA ialah mencegah melekatnya kuman-kuman patogen pada didinding mukosa usus halus SIgA diduga dapat menghambat proliferasi kuman-kuma tersebut di dalam usus, meskipun tidak dapat membunuhnya. Immunoglobulin memberikan mekanisme pertahanan yang efektif terhadap bakteri dan virus (terutama IgA) dan bila bergabung dengan komplemen dan lisozim merupakan antibakterial yang langsung terhadap E. coli . Faktor lisozim dan komplemen ini adalah suatu antibakterial nonspesifik yang mengatur pertumbuhan flora usus (Soetjiningsih, 1997)

2.2.4 Sifat Anti-Alergi Air Susu Ibu

(15)

penyakit-penyakit infeksi yang masih tinggi prevalensinya. Tidak diragukan lagi bahwa banyak faktor yang dapat terlihat pada bayi dan anak yang alergi terhadap makanan. Protein susu sapi adalah yang paling utama, 2/3 daripada kasus-kasus alergi pada bayi berumur 1-2 bulan.

Beberapa puluh tahun yang lalu dilaporkan bahwa kemungkinan terjadinya eksema infantil di Amerika Serikat karena susu sapi tujuh kali lebih sering dibandingkan pada bayi-bayi yang mendapat ASI. Dengan memproses susu sapi secara modern (denaturasi) maka kejadian alergi ini menurun tetapi tidak hilang sama sekali. Ternyata komponen protein susu sapi yang dapat menyebabkan gejala-gejala alergi tersebut adalah kasein (60%), alfa laktabumin (53%), beta laktaglobulin (62%) dan serum albumin sapi (52%). Gejala-gejala alergi bisa satu macam atau lebih, demikian juga penyebabnya dapat salah satu komponen atau lebih. Keterlibatan alfa-laktoglobulin dan serum albumin sapi sangat nyata dan kedua faktor tidak ditemukan di dalam ASI. Protein sebagai antigen bersifat “species-specific”, berarti protein ASI bersifat non-alergenik (Soetjiningsih, 1997)

2.2.5 Hubungan pemberian ASI eksklusif dengan kejadian dermatitis atopik ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi. Banyak kandungan gizi yang terdapat pada ASI. Oleh karena itu, banyak manfaat yang dapat diterima bila bayi mendapatkan asi eksklusif. Beberapa penelitian mengatakan salah satu manfaat dari pemberian ASI Ekslusif adalah pencegahan pada kejadian dermatitis atopik.

(16)

yang menghalangi masuknya antigen ke mukosa, dan secara tidak langsung terjadi pada pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan (Kalliomaki, 2001)

Gambar

Tabel 2.1 Kriteria Diagnosis Dermatitis Atopik Menurut Hanifin-Rajka
Tabel 2.2 Komposisi ASI menurut penyelidikan dari Kleiner I.S. & Osten

Referensi

Dokumen terkait

Pada anak usia 5-7 tahun di wilayah kerja UPT Kesmas Blahbatuh II status gizi kurang lebih banyak ditemukan pada anak dengan jenis kelamin laki-laki lebih dibandingkan

Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Lestari 2019, Risiko menjadi stunting 3,7 kali lebih tinggi pada anak yang tidak diberi ASI Eksklusif ASI < 6 bulan dibandingkan