• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tukang Sangiang: Studi Sosio-Historis tentang peran dari tukang sangiang dalam Ritual dan Bermasyarakat di Suku Dayak Ngaju T2 752014010 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tukang Sangiang: Studi Sosio-Historis tentang peran dari tukang sangiang dalam Ritual dan Bermasyarakat di Suku Dayak Ngaju T2 752014010 BAB II"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Pemahaman Max Weber tentang Otoritas

Analisis Max Weber atas struktur-struktur otoritas dimulai dalam suatu cara yang konsisten dengan asumsi-asumsinya tentang hakikat tindakan. Ia kemudian mendefinisikan dominasi sebagai propabilitas bahwa semua perintah akan dipatuhi oleh sekelompok orang tertentu.1 Dominasi ini kemudian disebut dengan otoritas, dan yang melandasi otoritas bagi para pengikutnya yaitu rasional, tradisional, dan kharismatik.2 Terdapat tiga jenis otoritas murni yang mendasar yakni pertama, kepercayaan dalam sebuah standar legalitas dari pola-pola aturan normatif dan hak kepada kuasa di bawah aturan tersebut untuk mengeluarkan perintah-perintah hukum atau kuasa, jenis ini dinamakan otoritas rasional. Kedua, sebuah alasan keimanan dalam sebuah kesucian tradisi dahulu dan keabsahannya dari para pengikutnya, jenis ini adalah otoritas tradisional. Ketiga adalah otoritas kharismatik, yang meletakkan ketaatan dalam sebuah kasus tertentu atau keilhaman seseorang.3

1. Otoritas Tradisional

Otoritas tradisional dilegitimasikan oleh kesucian tradisi. Dalam otoritas ini, tatanan sosial saat ini dipandang sebagai suci, abadi, dan tidak bisa dilanggar. Orang atau kelompok dominan, biasanya didefinisikan oleh warisan, dianggap telah ditetapkan sebelumnya untuk

1 George Ritzer, Sociological Theory, (New York: MC Graw Hill, 2008), 219.

2 George Ritzer, 2008: 220.

3Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Falcon’s Wings Press,

1947), 342.

(2)

memerintah yang lain. Rakyat terikat dengan penguasa oleh ketergantungan personal dan tradisi kesetiaan, dan ketaatan mereka kepada dia makin diperkuat oleh keyakinan-keyakinan kultural seperti hak-hak ilahi para raja. Otoritas tradisional didasarkan pada klaim oleh para pemimpin, dan keyakinan pada bagian dari pengikut, bahwa ada kebajikan dalam kesucian aturan kuno dan kekuasaan.4 Semua sistem pemerintahan sebelum berkembangnya negara modern merupakan contoh otoritas tradisional. Meskipun kekuasaan penguasa dibatasi oleh tradisi yang melegitimasikannya, pembatasan ini tidak ketat, karena pihak penguasa secara tradisional dianggap tetap memiliki kesewenang-wenangan. Umumnya, otoritas tradisional cenderung mengabadikan status quo dan tidak cocok bagi perubahan sosial.5

Dalam sebuah wibawa kepala dari tipe kekuasaan tradisional ini pemilihan tidak terdapat dalam aturan, namun harus memenuhi kualifikasi dari kepala terdahulu yaitu dengan merekrut orang-orang yang sudah terkait dengan kepala atau pimpinan oleh ikatan kesetiaan.

Hal ini disebut dengan ‘patrimonial rekrutment.’ Orang-orang tersebut bisa saja sanak

saudaranya, hamba, kepala keluarga, sahabat, atau bahkan orang kepercayaan. Selain itu, seseorang direkrut dari sumber lainnya yakni ‘exrta-patrimonial,’ di mana kategori ini berhubungan dengan orang-orang yang memiliki hubungan kesetiaan yang murni secara pribadi dan akhirnya mereka bebas masuk ke dalam hubungan dengan kepala dalam sebuah hubungan kesetiaan sebagai pejabat dalam kepemerintahan.6

4 George Ritzer, 2008: 132.

5 Dennis Wrong, Max Weber: Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: IKON TERALITERA, 2003), 233-234.

6

(3)

2. Otoritas Legal

Otoritas Legal ini merupakan organisasi yang terus menerus dari fungsi-fungsi resmi terikat oleh aturan. Kompetensi yang ditetapkan melibatkan bidang yang menjadi kewajiban yang menjalankan fungsi yang telah ditandai sebagai bagian dari pembagian kerja yang sistemtis, penyediaan incumbent dengan kuasa yang diperlukan untuk melaksanakan fungsi-fungsi ini, dan unit ini melaksanakan kekuasaan yang teroganisir yang disebut dengan organisasi administrasi.7 Tipe ini dilegitimasikan oleh keyakinan formalistik pada supremasi hukum, apa pun isi spesifiknya.

Asumsinya ialah bahwa aturan-aturan legal sengaja dibuat untuk memajukan pencapaian rasional atas tujuan-tujuan kolektif. Dalam sistem semacam itu, kepatuhan tidak disebabkan oleh orang, apakah ketua tradisional atau pemimpin kharismatik, melainkan oleh seperangkat prinsip impersonal. Prototipenya adalah pemerintahan modern yang memiliki monopoli atas penggunaan paksaan fisik secara sah, dan prinsip-prinsip yang sama tercermin dalam berbagai badan eksekutifnya, seperti militer, dan juga di perusahaan-perusahaan swasta, seperti pabrik. Sementara atasan memiliki otoritas atas bawahan, yang disebut pertama maupun disebut terakhir tunduk pada otoritas badan resmi yakni regulasi impersonal. Otoritas legal dapat dilambangkan dalam frase, "Pemerintahan hukum, bukan orang."8

7

Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Falcon’s Wings Press, 1947), 346.

(4)

3. Otoritas Kharismatis

Istilah kharisma oleh Max Weber merujuk kepada sebuah kualitas individual tertentu.9 Otoritas yang disahkan oleh kharisma, bersandar pada kesetiaan para pengikutnya. Kesucian luar biasa, teladan, heroisme, atau kemampuan istimewa.10 Tipe ini mendefinisikan seorang pemimpin sebagai yang diilhami oleh Tuhan atau kekuatan supernatural. Ada perasaan 'dipanggil' untuk menyebarkan panggilannya. Ketaatan pada pemimpin dan keyakinan bahwa keputusannya meliputi semangat dan cita-cita gerakan adalah sumber kataatan kelompok pada perintah-perintahnya. Pemimpin kharismatis mungkin muncul dalam hampir semua bidang kehidupan sosial, seperti nabi-nabi, penghasut politik, atau pahlawan-pahlawan militer. Memang, unsur kharisma terlibat kapanpun orang mengilhami orang lain untuk mengikuti jejaknya.11 Otoritas kharismatik biasanya bertindak sebagai kekuatan revolusioner, karena melibatkan penolakan nilai-nilai tradisional dan pemberontakan menentang tatanan yang sudah mapan, sering sebagai reaksi terhadap krisis. Istilah kharisma yang dipakai Weber adalah pinjaman dari tradisi Kristen dalam Perjanjian lama.12

Carl Joachim Friedrich telah mencatat penafsiran yang akan muncul dalam pembahasan mengenai kharisma. Menurutnya dalam otoritas, sangat sering terlihat dalam perspektif 'penumbra psikologis’. Fakta bahwa orang dalam posisi otoritas sering didasari dengan harga diri, rasa hormat dan kekaguman dari hasil di atribut yang diidentifikasi dalam otoritas..13 Orang yang berkharisma menurut Weber, seperti dalam masyarakat religius kuno

9

Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, (New York: The Falcon’s Wings Press, 1947), 358.

10

George Ritzer, Sociological Theory, (New York: MC Graw Hill, 2008), 220.

11Dennis Wrong, Max Weber: Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: IKON TERALITERA, 2003), 236.

12 Ayub Ranoh, Pemimpin Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis

Sukarno, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 52.

(5)

dalam Alkitab adalah para nabi, orang berhikmat, pahlawan perang, raja-raja yang diurapi, para hakim. Yesus dan para rasul juga tergolong orang yang dianggap berkharisma. Berdasarkan pengertian otoritas dan kharisma, Weber memahami otoritas kharismatis sebagai tipe yang keabsahannya berdasarkan pengakuan terhadap kualitas istimewa misalnya pahlawan, dan kesetiaan kepada individu tertentu serta komunikasi bentukannya. Orang taat, bukan karena legalitas atau tradisi, melainkan karena kharisma individu pemberi perintah itu.14 Otoritas kharismatis dan orang berkharisma cenderung menolak perilaku ekonomi rasional dan tidak mengutamakan uang karena lebih menekankan misi dan panggilan.

Dari pengertian otoritas, kharisma dan otoritas kharismatis, Weber mengemukakan ciri otoritas kharismatis itu.15 Beberapa hal yang perlu dicatat dari ciri-ciri ini. Pertama, Weber tidak membedakan ciri komunitas kharismatis religius dan politis. Sepertinya, secara eksplisit hendak ditekankan bahwa walaupun kedua jenis komunitas religius maupun politis berbeda, tetapi gejala kharisma adalah sama. Ciri-ciri otoritas kharisma ialah:16

a. Pemimpin dengan otoritas kharismatis memiliki kesadaran misi dan panggilan yang terwujud dalam ide dan memanggil orang untuk ikut serta dalam misinya.

b. Pengakuan pengikut terhadap kharisma pemimpin mendorong mereka mengikuti, mentaati, dan setia terlibat dalam misi itu.

c. Keikutsertaan pendukung, selain mengakui kharisma pemimpin, juga karena kekecewaan mereka terhadap situasi krisis yang mereka alami. Bila pemimpin itu bisa menjawab harapan mereka dan mengatasi situasi krisis, maka kesetiaan dan antusiasme pengikut bertahan; bila tidak, maka secara berangsur pemimpin itu akan ditinggalkan.

14Ayub Ranoh, Pemimpin Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis atas Kepemimpinan Kharismatis

Sukarno, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2011), 53. 15 Ayub Ranoh, 2011: 53.

16

(6)

d. Otoritas kharismatis dijalankan bersama pengikut setia. Mereka dipilih karena kualitas kharismatik pribadi. Tidak ada hirarki dan control, yang berlaku hanya panggilan berdasarkan kharisma anggota.

e. Kharisma itu bersifat extra-legal, mengabaikan struktur dan aturan formal. Pemimpin kharismatik hanya mengenal inner determination dan iner restraint. Pengikut menyesuaikan diri dengan inspirasi dan kehendak pemimpin.

f. Relasi dalam komunitas bersifat personal. Karena pemimpin muncul dalam situasi krisis, otoritas ini tidak stabil. Ia bisa berakhir dan mengalami transformasi ke arah otoritas tradisional dan legal.

g. Karena menonjol dalam situasi kritis dan tidak stabil, maka otoritas kharismatis adalah kekuatan revolusioner, cenderung menerobos tatanan dan nilai yang sudah mapan, dan merintis nilai dan tatanan baru.

Menarik adalah penekanan Weber pada segi pengakuan pengikut terhadap kualitas istimewa itu. Jadi, kualitas istimewa yang berasal dari yang Ilahi itu adalah soal pengakuan pengikut, lepas dari apakah kualitas itu ada secara objektif atau tidak.

B. Pemimpin yang Memiliki Kharisma

1. Pemimpin Kharismatis

Kharisma berasal dari Bahasa Yunani yang artinya adalah ‘anugerah istimewa’ atau

‘karunia dari Ilahi,’ seperti kemampuan melakukan suatu keajaiban atau memprediksi masa

(7)

atau sifat-sifat yang supranatural atau setidak-tidaknya sifat atau kekuatan khusus. Sifat-sifat tersebut seolah-olah merupakan pengeculian yang ia terima karena anugerah Tuhan dan atas dasar tersebut ia deperlakukan sebagai seorang pemimpin. Hubungan antara pengikut dan pemimpin kharismatik bersumber pada pengabdian terhadap kesucian khusus, kepahlawanan, dan watak keteladanan seseorang, serta pola-pola tatanan normatif yang mereka buat dan perlakukan terhadap pengikutnya. Karena itu, pemimpin kharismatik bersumber kepada kepercayaan pribadi terhadap seseorang yang mempunyai kualifikasi tersebut.17 Analisa Max Weber dalam menggambarkan kharisma terdapat tiga ciri pokok yaitu, kharisma adalah sesuatu yang luar biasa dan sangat berbeda dari dunia sehari-hari, bersifat spontan dan berbeda dengan bentuk-bentuk sosial yang stabil, dan merupakan suatu sumber dari bentuk serta gerakan baru sehingga dalam artian sosiologis bersifat kreatif.18

Istilah dan konsep Kharisma dicetuskan Max Weber untuk mengkarakterisasi pemimpin yang mengangkat diri sendiri dan diikuti oleh mereka yang mengalami kesulitan berat dan membutuhkan mengikuti pemimpin karena mereka mempercayainya sebagai memiliki kemampuan luar biasa. Konsep kharisma yang dicetuskan Weber ini tidak menyangkut adanya para pemimpin yang secara personal memiliki ciri yang menonjol yaitu anugerah istimewa, tetapi konsep pemimpin kharismatik itu baginya ‘lebih tergantung pada kelompok pengikut dan bagaimana mereka mendefinisikan pemimpin kharismatik.’ Menurut Weber, jika para pengikut mendefinisikan pemimpin mereka sebagai seseorang yang berkharisma, maka ia cenderung sebagai pemimpin kharismatik terlepas dari benar-tidaknya ia memiliki ciri yang menonjol, yang krusial dalam proses ini adalah ketika seorang pemimpin

17 Jarmanto, Kepemimpinan sebagai Ilmu dan Seni, (Jogyakarta: Liberty, 1983), 122.

(8)

dipisahkan dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah ia memiliki kekuatan atau kualitas supranatural, supermanusia atau sekurang-kurangnya kekuatan tidak lazim yang tidak dimiliki oleh orang biasa. Kepemimpinan kharismatis ini tidak terikat oleh struktur masyarakat dalam bentuk community atau social. Namun kepemimpinan ini diberikan kepada pribadi dan tidak didukung oleh kekuasaan seperti kepemerintahan yang berada di masyarakat.19

Dalam kepemimpinan kharismatik, peranannya tidak didasarkan atas pengakuan dari

pengikutnya, akan tetapi atas rasa ‘terpanggil’ oleh ‘kewajiban’ yang dibebankan pada dirinya

sebagai karunia Tuhan yang harus ia terima. Karena sifatnya yang khusus, masyarakat pengikutnya menjadi taat dan patuh dengan penuh semangat. Lazimnya, pemimpin kharismatik muncul pada saat-saat kritis yang memerlukan pemecahan masalah yang cepat.20 Analisa Max Weber tentang kharisma berhubungan erat dengan fenomena yang kudus dan yang suci dalam teorinya Emile Durkheim. Kharisma memiliki suatu titik kritis yang ada

dalam dunia ‘sehari-hari’, yang berhubungan dengan seseorang yang luar biasa dan

mendatangkan kewajiban. Sehingga Weber membatasi kharisma dengan beranggapan bahwa, suatu kualitas tertentu dalam kepribadian seseorang di mana ia dibedakan dari orang biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang memperoleh anugerah kekuasaan adikodrati, adimanusiawi, atau setidak-tidaknya kekuatan atau kualitas yang sangat luar biasa. Kekuatan seperti ini tidak bisa dijangkau oleh orang biasa, tetapi dianggap berasal dari kayangan dan atas dasar itu ia diperlakukan sebagai seorang pemimpin.21

Kemampuan khusus (wahyu) yang ada pada diri seseorang dapat dikatakan sebagai wewenang kharismatis. Orang-orang di sekitarnya mengakui akan adanya kemampuan

19 Rodney R. Hutton, Charisma and Authority in Israelite Society, (Minneapolis: Fortress Press), 4. 20 Jarmanto, Kepemimpinan sebagai Ilmu dan Seni, (Jogyakarta: Liberty, 1983), 123.

(9)

tersebut atas dasar kepercayaan dan pemujaan karena mereka menganggap bahwa sumber kemampuan tersebut merupakan sesuatu yang berada di atas kekuasaan dan kemampuan manusia. Manfaat serta kegunaan sumber kepercayaan dan pemujaan ini karena kemampuan khusus itu terbukti bagi masyarakat. Wewenang kharismatis ini akan tetap bertahan selama dapat dibuktikan.22 Dasar wewenang kharismatis bukan terletak pada suatu peraturan, tetapi bersumber pada diri pribadi individu yang bersangkutan. Kharisma semakin meningkat sesuai dengan kesanggupan untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat. Wewenang kharismatis dapat berkurang jika ia berbuat kesalahan-kesalahan yang merugikan masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat menjadi berkurang. Lebih jauh lagi, wewenang kharismatis dapat hilang karena masyarakat sendiri yang berubah dan mempunyai paham yang berbeda. Perubahan-perubahan tersebut sering kali tidak dapat diikuti oleh orang yang mempunyai wewenang kharismatis, sehingga ia tertinggal oleh kemajuan dan perkembangan dalam masyarakat.23

Bagi Weber, kharisma memainkan dua peranan penting dalam kehidupan. Pertama,

sebagai sebuah hal yang luar biasa kharisma merupakan sumber goncangan dan pembaharuan. Oleh karena itu, hal ini menjadi unsur strategis dalam perubahan sosial. Dalam memperoleh para pengikutnya dan dalam menimbulkan rasa hormat, sumber dalam wewenang itulah yang kemudian membuat ia dihormati, diterima, dan diakui. Kedua, kharisma melahirkan panggilan dan menanggapinya sebagai sebuah keyakinan. Seseorang merasa bahwa sebuah kewajiban ketika mereka terpanggil pada suatu misi kharismatik untuk mengetahui kualitasnya dan bertindak sesuai dengan kharisma itu. Sehingga, dalam kepemimpinan kharismatik dianggap

22 Soerjono Soekanto dan Budi Sulistyowati, Sosiologi: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2014), 241.

(10)

berada di luar suasana profan dan dunia sehari-hari. Hal ini merupakan dunia yang luar biasa dan yang suci.24 Menyangkut yang sakral dan profan, Heru Nugroho menyatakan bahwa sejarah adalah perjuangan antara kharisma dan rutinitas. Ada dua tingkatan yang terpisah dalam dua hal ini; Pertama, pembawa otoritas yang memiliki kharisma, konsep ini digunakan dalam menemukan sifat otoritas dalam figure kharismatik. Rutinitas dari pembawa otoritas ini terjadi jika ditransfer melalui pewarisan kepada kelompok-kelompok lain yang kemudian dilembagakan menjadi aturan dan intuisi. Kedua, perubahan budaya, perubahan ini terjadi jika kharisma itu terlalu kuat untuk mempengaruhi rutinitas.25 Lebih jauh, perjuangan ini diuraikan dalam referensi studi Max Weber tentang Ancient Judaisme (1952).26

2. Rutinitas Kharisma

Schoeder kemudian menguraikan secara singkat mengenai referensi Max Weber dalam jenjang antara kharisma dan rutinitas. Pada jenjang pertama, konsepsi dari Tuhan yang tunggal, transenden, dan sangat kuat memberikan asal mulanya otoritas kharismatik dari nabi-nabi Yahudi awal, menjadi sebuah rutinitas dan kemudian otoritas ini seperti ditransfer dari nabi-nabi awal kepada starta pendeta. Jenjang kedua merupakan sistem keyakinan baru kemudian menantang norma-norma tradisional dan menuntut sebuah tatanan sosial yang baru.27 Schoeder menambahkan tiga penjelasan yang berbeda dari dua jenjang perjuangan antara kharisma dan rutinitas ini.

24Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), 42. 25 Ralp Schroeder, Max Weber: tentang Hegemoni Sistem Kepercayaan, (Yogyakarta: KANISIUS,

2002), xi.

(11)

Bagi Schoeder, hal pertama dalam penjelasan Weber menyangkut sumber akhir dari sistem keyakinan degan menempatkannya secara konkret dalam otoritas seorang nabi individu daripada mewakili sebuah agama. Kedua, perbedaan bisa muncul karena Weber mengamati perbedaan fundamental antara konsep kharisma digunakan pada tahap magis dan agama. Pada tahap magis, kharisma memang secara langsung berada dalam diri ahli magis, sedangkan pengaruhnya tetap dihubungkan dengan sumber yang nyata. Dalam tahap agama, tidak hanya otoritas nabi dan pengikutnya yang berasal dari sumber transenden, tetapi pengaruh terhadap para penganut agama dan kehidupan sosial sering menjadi akibat dari sistem kepercayaan itu dan tidak secara langsung tergantung pada otoritas pendukungnya. Ketiga, Weber mengambil istilah kharisma dan rutinitas dalam sosiologi umum yang kemudian digunakan dalam sosiologi agama tanpa memperkirakan pergeseran makna. Dalam hal ini Schoeder menganggap Weber mengaburkan perbedaan antara otoritas dari ahli-ahli agama dan perubahan pengaruh dari sistem kepercayaan.28

Kepemimpinan kharismatik bergantung pada keyakinan luas pada eksistensi kemampuan-kemampuan luar biasa atau supernatural, tetapi keyakinan seperti itu tidak diperhitungkan dalam konteks sekuler. Menurut Karl Loewenstein, kharisma ditemukan di wilayah-wilayah dunia di mana suatu keyakinan rakyat pada kekuatan supernatural masih meluas, seperti di beberapa bagian Afrika dan Asia. Hal ini berbeda dengan Shils, yang melihat unsur kharismatik dalam semua masyarakat. Seperti ditunjukkan oleh Shils, Weber sendiri tidak membatasi pemakaiannya atas istilah itu pada keyakinan magis atau religius, dan dia menganalisi institusionalisasi kharisma melalui hubungan darah, keturunan, dan istitusi.

(12)

Intinya adalah bahwa kharisma melekat pada individu atau institusi yang bisa memenuhi kebutuhan itu atau berjanji akan memenuhinya.29

Weber mendefinisikan kharisma sebagai kualitas tertentu dari seorang individu yang karenanya ia berbeda jauh dari orang-orang biasa dan dianggap memiliki kekuatan atau sifat supernatural, manusia-super, atau setidaknya luar biasa. Kualitas ini dianggap tidak bisa dimiliki oleh orang biasa, tetapi dianggap bersumber dari Tuhan, dan atas dasar itu individu yang bersangkutan diperlukan sebagai pemimpin. Weber pertama-tama mencatat bahwa kharisma mungkin merupakan kekuatan revolusioner terbesar dalam periode-periode tradisi yang mapan, dan kedua bahwa ia secara tipikal mengabaikan pertimbangan tentang efisiensi dan rasionalitas ekonomi. Ketiga, dia menekankan bahwa pemimpin kharismatik dan pengikutnya merupakan jemaat kongregasi (Gemeinde). Namun, otoritas kharismatiknya akan lenyap jika bukti kualifikasi kharismatik hilang dari dirinya untuk jangka waktu yang terlalu lama.30

Banyak contoh-contoh historis tentang seorang pemimpin yang merasa terpanggil namun tidak dapat menemukan seorang pemimpin yang akan memenuhi kerinduan mereka akan keajaiban. Dengan demikian, kharisma tampaknya sering terjadi karena pencarian atas kharisma berlanjut. Tetapi kharisma yang asli merupakan peristiwa yang langka, yang lahir dari kenyakinan pada anugerah misterius seseorang dan keyakinan semacam itu sama-sama dimiliki oleh pemilik kharisma maupun mereka mengikuti dia.31

29 Dennis Wrong, Max Weber: Sebuah Khazanah, (Yogyakarta: IKON TERALITERA, 2003), 257-259. 30 Dennis Wrong, 2003: 261-263.

(13)

3. Pemahaman Kharisma dalam Masyarakat

Walaupun teori kharisma dan otoritas kharisma muncul dari kajian sosio politis di Barat, gejala yang agak mirip bisa ditemui dalam kajian sejarah dan sosio antropologis di Indonesia. Menurut Soemarsaid Moertono, ide pulung, andaru, teja yakni sinar yang menimpa seseorang adalah pratanda bagi pendiri dinasti baru. Pulung atau andaru lalu diartikan sebagai wahyu dan dalam konteks kultural Jawa dipahami sebagai karunia bagi raja, satu cara pengesahan kedudukan raja ada persetujuan Ilahi, dan dengan sendirinya diakui rakyat.32

Penguasa yang demikian memiliki daya ilahi, daya yang menurut Soemarsaid merupakan unsur utama bagi seorang penguasa yang disegani dalam satu masyarakat yang mengharapkan satu kepemimpinan yang kharismatik. Ide yang sama diajukan Sartono Kartodirjo. Kharisma adalah gejala dalam sejarah dan budaya Indonesia. kharisma sama dengan pulung dalam pengertian Jawa. Kharisma murni adalah kualitas yang diperoleh karena usaha puasa dan bertapa, berbeda dari kharisma turunan atau jabatan yang diperoleh karena pengalihan. Orang memiliki kharisma menjadi sakti, dan mampu memancarkan cahaya serta daya adikodrati.

Sartono mengajukan tiga fase gejala kharisma dalam tradisi historis kultural di Indonesia. Pertama, gejala kharismatis masa kritis yang memunculkan pemimpin dengan ilhan dan pesan, yang mampu mengubah masyarakat dan membentuk dinasti baru. Kedua, siklus kharisma dijumpai bila pemimpin tradisional berhadapan dengan pemimpin kharismatis yang memimpin gerakan ke arah tatanan baru. Ketiga, bila tatanan baru bisa dibentuk, akan terjadi

32

(14)

rutinisasi kharisma menjadi institusi dan jabatan, dengan otoritas baik tradisional atau legal rasional.33Di samping itu, seorang antropolog Indonesia, Koentjaraningrat mengatakan:34

Kita akan sesat apabila kita mengira bahwa orang Jawa menganggap kekuasaan identik dengan

satu energi sakti yang dapat diraih dengan upacara atau bertapa. Konsepsi orang Jwa mengenai

kekuasaan dan kepemimpinan jauh lebih kompleks dari itu: konsepsi masa kini sedang

berkembang dari konsepsi tradisional ke arah suatu konsepsi Indonesia masa kini.

Ia lalu mengembangkan skema komponen kekuasaan dalam masyarakat sederhana, tradisional dan masa kini. Ada empat komponen yang senantiasa ada dalam setiap jenis masyarakat: wibawa, kharisma, wewenang dan kemampuan khusus. Dengan skema:

Masyarakat Sederhana Masyarakat Tradisional Masyarakat Masa Kini

Wibawa Kharisma Wibawa

Wewenang Wewenang Wewenang

Kharisma Wibawa Kharisma

Kemampuan Khusus Kemampuan Khusus Kemampuan Khusus

Ada dua hal yang menarik, khususnya dalam kaitan dengan komponen kharisma. Pertama, pengertian berbeda yang ia berikan pada kharisma. Dalam masyarakat sederhana, kharisma diartikan sebagai kemampuan pemimpin dalam ilmu gaib untuk memperbesar pengaruh. Jadi, kharisma bermakna kesaktian. Dalam masyarakat tradisional, kharisma diartikan sebagai sifat keramat dan pemilikan wahyu. Karena itu untuk menjaga kekeramatan, pemimpin mengambil jarak dengan rakyat. Dalam masyarakat masa kini, kharisma dalam

(15)

kepemilikan sejumlah kualitas spiritual untuk menunjang kekuasaan dan dengan itu pemimpin disegani. Kedua, adalah cara menempatkan kharisma untuk setiap jenis masyarakat seperti dalam skema. Untuk masyarakat sederhana dan masa kini kharisma ditempatkan sebagai komponen ketiga. Sedangkan masyarakat tradisional, kharisma adalah komponen pertama. Koentjaraningrat memberikan wawasan yang menarik bahwa kharisma adalah suatu komponen kepemimpinan, baik untuk masyarakat kuno maupun modern. Kharisma bukan konsep yang hanya relevan untuk dunia Timur, melainkan untuk semua masyarakat.35

Referensi

Dokumen terkait

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Profil Protein Ekstrak Biji Mimba ( Azadirachta indica A. Juzz) dengan Pemanasan Kering Sebelum

Dengan ini diberitahukan bahwa berdasarkan Penetapan Pengadaan Langsung Nomor : 37.7/PNP/PPBJ/APBD/BMP-JJ/VII/2015 tanggal 02 Juli 2015, Pejabat Pengadaan Barang/Jasa

Dengan im diberitahukan bahwa berdasarkan Penetapan Pengadaan Langsung Nomor 34.07 /PNP /PPBJ/ APBD /BMP /VII/2015 tanggal 03 Juli 2015, Pejabat Pengadaan Barang/Jasa

Sehubungan dengan Evaluasi Penawaran, Kami POKJA-IV Kantor Layanan Pengadaan Barang / Jasa mengundang Saudara untuk dapat menghadiri Ferifikasi dan Klarifikasi terhadap Perusahaan

Setelah mengikuti kuliah ini, diharapkan mahasiswa memahami tentang intelligent control (kendali cerdas), khususnya Pengendali Logika Fuzzy dan Jaringan Saraf Tiruan. Mata kuliah

turunkan arus penguat magnet pada unit torsi meter hingga nol, buka saklar tegangan tetap6. dan saklar tegangan variabel dan akhirnya lepas lepas

The International Archives of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Sciences, Volume XLII-2/W2, 2016 11th 3D Geoinfo Conference, 20–21 October 2016,

Bagi Pemegang Saham yang sahamnya berada dalam sistem Penitipan Kolektif di KSEI, HMETD akan didistribusikan secara elektronik ke dalam rekening efek di KSEI melalui Rekening