• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Membangun Citra Pesantren

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Strategi Membangun Citra Pesantren"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Strategi Membangun Citra Pesantren

Oleh:

Dudun Ubaedullah

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dpk STAI Darunnajah Jakarta Email : dudun.ubaedullah@uinjkt.ac.id

Abstrak

Salah satu strategi dalam pemasaran di bidang jasa pendidikan adalah membangun citra (image) lembaga pendidikan. Oleh karena itu sebagai salah satu lembaga pendidikan, pesantren dipandang perlu membangun sebuah image positif, terlebih di saat isu-isu tentang paham radikal yang belakang ini sering disematkan kepada pesantren.

Penelitian dengan pendekatan kualitatif ini mendeskripsikan bagaimana strategi dalam membangun citra pesantren. Untuk membangun citra pesantren dapat dilakukan melalui enam strategi yaitu fokus pada segmen tertentu (narrow focus), keunikan (ciri khas), tepat sasaran pada segmen pasar (appropriate), berkelanjutan (continuity), dan realitas (reality). Pendekatan strategi tersebut dilakukan melalui enam indikator citra pesantren, yaitu asrama, masjid, kajian kitab, kiai, dan santri.

Kajian literatur tentang jenis pesantren yang meliputi pesantren salafiyah, khalaf, dan modern dijadikan sebagai segmentasi pada masyarakat sasaran dalam konteks strategi membagun citra pesantren, selain keunggulan dan keunikan yang dimiliki pesantren sebagai distingsi dengan lembaga pendidikan lainnya.

Pendahuluan

Dari awal kehadiran hingga kini pesantren masih terbukti mampu

tetap berdiri tegak dan berperan banyak khususnya di bidang pendidikan

di masyarakat dan Indonesia, meskipun ada upaya pembentukan stigma

negatif yang disematkan pada pesantren. Sejarah telah mencatat bahwa

pesantren menjadi basis pertahanan identitas bangsa melawan kolonialisme

dan imperialisme.

Sebagai sebuah lembaga pendidikan bercirikan Indonesia,

pesantren menjadi salah satu tempat harapan masyarakat dalam membangun

peradaban manusia, baik di bidang agama, sosial, maupun teknologi.

Harapan tersebut menjadi sebuah tantangan bagi pengelola pesantren,

terutama di saat isu-isu tentang paham radikal yang muncul dan disinyalir

(2)

Apabila isu-isu tersebut dibiarkan maka dapat memperburuk

citra pesantren dan cepat atau lambat masyarakat akan meninggalkan

pesantren. Jika hal itu terjadi maka pesantren hanya tercatat dalam sejarah

sebagai lembaga pendidikan yang pernah ada di Indonesia. Oleh karena

itu publikasi tentang pesantren merupakan sebuah keniscayaan, terutama

memberikan informasi yang benar tentang pesantren kepada masyarakat

yang tidak mengenal pesantren. Salah satu bentuk publikasi tersebut

adalah melalui pembentukan citra positif pesantren.

Dalam konteks manajemen pemasaran pendidikan, citra perlu

dibangun dan dikelola dengan baik. Citra pesantren yang sudah populer

di masyarakat pun perlu dibangun dan dikelola dengan baik untuk

mempertahankan dan meningkatkan minat masyarakat belajar di pesantren,

apalagi bagi pesantren yang baru berdiri. Pembentukan dan pengelolaan

citra pesantren yang baik tidak saja berimplikasi kepada lembaga itu

sendiri melainkan pesantren secara keseluruhan sehingga stigma pesantren

sebagai tempat suburnya ajaran radikalisme dapat dihapus.

Citra dan Reputasi

Popularitas pesantren merupakan salah satu keunggulan kompetitif

dalam meraih minat masyarakat terhadap pesantren. Oleh karena itu tidak

sedikit pesantren berupaya menyebarkan informasi sebaik mungkin melalui

media komunikasi untuk memberikan kesan positif kepada masyarakat.

Meskipun demikian, masyarakat memiliki kesan yang berbeda

terhadap sebuah lembaga pesantren. Kesan tersebut dapat mereka peroleh

baik dari pengalaman yang pernah mereka dapatkan sewaktu belajar di

pesantren, hanya sekedar mendengar dari orang-orang terdekat (word

of mouth), atau melalui informasi yang disampaikan oleh pesantren di

media baik cetak maupun elektronik seperti brosur, spanduk, website,

(3)

yang tercipta pada masing-masing individu yang disebut sebagai citra.1

Hal tersebut didukung oleh pendapat Kotler yang menyatakan bahwa citra

adalah sekumpulan keyakinan (set of beliefs), ide atau gagasan, dan kesan

seseorang tentang sebuah obyek.2

Lebih lanjut Ruslan menyatakan bahwa citra adalah opini publik

yang terbentuk dari proses akumulasi keyakinan individu.3 Pesantren yang

lost of image menunjukkan bahwa lembaga tersebut berada pada masa

krisis. Krisis yang mengakibatkan lemahnya citra lembaga dapat disebabkan

karena persepsi publik, hubungan kerja yang buruk, kesalahan strategi

bisnis, kriminal, pergantian manajemen, maupun karena persaingan.4

Dengan demikian, masyarakat yang minim informasi tentang

pesantren dapat dipengaruhi melalui citra pesantren yang dibuat dan

disebarluaskan melalui berbagai media informasi, cetak maupun elektronik.

Citra pesantren dapat terbentuk dari identitas, karakteristik, atau

ciri khas yang dimiliki pesantren baik dalam bentuk fisik seperti bangunan

masjid, asrama, sekolah maupun non fisik seperti kurikulum, tradisi

pesantren, atau karismatik sang kiai. Kesan yang dimiliki seseorang

berdasarkan ciri, karakteristik, atau identitas yang dimiliki pesantren

tersebut pada dasarnya merupakan sebuah pengetahuan individu yang

dijadikan sebagai pertimbangan dalam memilih pesantren.

Menurut Balmer dan Greyser, citra memiliki beberapa konsep

yaitu citra sebagai sikap, pengetahuan (kognisi), persepsi, dan percaya.

Perbedaan konsep tersebut memberikan implikasi pada pengukuran yang

berbeda.5 Dalam perspektif ilmu sosial, untuk memahami konsep citra

dapat dilakukan melalui bagaimana citra itu dibentuk. Dalam konteks

ini salah satu pengembangan teori yang baik dalam memahami citra

adalah melalui pengelolaan kesan (impression management).6 Melalui

pengelolaan kesan ini organisasi dapat menciptakan citra yang dikehendaki

(4)

Citra dan reputasi memiliki makna yang berbeda. Dalam hal ini

Maringe dan Gibss menjelaskan sebagai berikut:

We see corporate image as the view that different audiences have about an organization resulting from the cues presented by organization. In short, corporate image is what stakeholders perceive the organization to be. Reputation, on the other hand, is a deeper set of enduring images which are more difficult to erase from the public consciousness and, unlike images, are note solely based on immediate representations. Thus, while images can be transient, reputation tends to be more embedded.7

Penjelasan di atas menggambarkan bahwa publikasi yang

disampaikan melalui reputasi cenderung lebih kuat daripada citra.

Namun demikian, citra organisasi dapat dibangun lebih cepat daripada

reputasi organisasi. Dalam hal ini pembentukan citra organisasi dapat

dimanfaatkan oleh pesantren untuk memengaruhi masyarakat yang minim

pengetahuan tentang pesantren tersebut melalui usaha publikasi. Hal ini

sejalan dengan pendapat Pampaloni yang menyatakan bahwa “image has

greater significance when consumers have had minimal direct experience

with an organization”.8

Tradisi sebagai Indikator Citra Pesantren

Untuk membentuk citra pesantren, dapat merujuk pada elemen

dasar (unsur) yang menjadi sebuah tradisi pesantren sebagaimana

dikemukakan oleh Dhofier, yaitu (1) pondok, (2) masjid, (3) santri, (4)

pengajaran kitab Islam klasik, dan (5) kiai.9

Pertama, pondok atau disebut juga asrama adalah tempat tinggal

santri sehari-hari selama mereka belajar di pesantren. Asrama yang

nyaman dengan fasilitas yang memadai tentu menjadi salah satu indikator

dari citra pesantren yang baik.

(5)

positif terhadap asrama yang dimilikinya agar menjadi daya tarik bagi

masyarakat atau orang tua yang ingin anaknya belajar di pesantren. Hal ini

biasanya dilakukan oleh pesantren-pesantren dalam memberikan informasi

penerimaan santri baru melalui brosur, famplet, spanduk, website, atau

media sosial elektronik.

Kedua, indikator dalam pembentukan citra pesantren adalah

masjid. Dalam sebuah tradisi pesantren, masjid merupakan pusat kegiatan

pendidikan dan dianggap tempat yang paling tepat untuk mendidik santri

terutama dalam praktek salat, khutbah dan salat Jumat, serta pengajaran

kitab-kitab Islam klasik.10

Dalam perkembangannya, saat ini tidak hanya masjid yang

menjadi pusat kegiatan santri melainkan kelas dan fasilitas-fasilitas

pendidikan lainnya juga digunakan sebagai tempat kegiatan pendidikan

bagi santri-santrinya. Selain karena jumlah santri yang tidak tertampung

dalam masjid juga karena jenis kegiatan santri yang terus berkembang

yang menuntut tempat kegiatan tersebut dilaksanakan selain di masjid.

Kesan positif masyarakat terhadap fasilitas pendidikan yang

diberikan pesantren menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi salah satu

penilaian mereka sebelum memilih pesantren sebagai tempat belajar. Oleh

karena itu pesantren perlu berupaya untuk memberikan fasilitas yang

layak sesuai target sasaran pesantren.

Ketiga, indikator citra pesantren adalah pengajaran kitab kuning.

Hal ini merujuk pada buku-buku yang diajarkan di pesantren dan menjadi

sumber nilai-nilai ajaran yang dikembangkan oleh pesantren. Arti kitab

kuning bisa diperluas menjadi “kitab-kitab keagamaan berbahasa Arab,

Melayu, atau Jawa atau bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia dengan

menggunakan aksara Arab, yang selain ditulis oleh ulama timur Tengah,

juga ditulis oleh ulama Indonesia sendiri”.11

(6)

masyarakat, pesantren harus mempersiapkan lulusannya agar mampu

mengembangkan diri dengan berbagai pengetahuan dan keterampilan agar

dapat bermanfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu integrasi nilai-nilai

ajaran Islam di berbagai bidang menjadi sebuah keniscayaan. Hal tersebut

dibuktikan dengan banyaknya pesantren-pesantren yang menyelenggarakan

lembaga pendidikan formal. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pesantren

yang memiliki kurikulum pendidikan yang terintegrasi antara pendidikan

agama dan kebutuhan lapangan kerja adalah pesantren yang dapat diterima

oleh sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu, kesan positif terhadap

pesantren menjadi salah satu penilaian masyarakat.

Keempat, indikator dalam strategi membangun citra pesantren

adalah santri. Santri adalah istilah bagi seseorang yang sedang belajar di

pesantren, yang secara umum disebut siswa atau peserta didik. Jumlah

santri dan keberhasilan santri di masyarakat menjadi citra positif bagi

pesantren yang menjadi salah satu keunggulan yang dimiliki sebuah

pesantren. Dengan demikian pesantren dapat menciptakan kesan positif

terhadap santri-santrinya dan pada akhirnya dapat memberikan kontribusi

kepada citra pesantren. 12

Pada beberapa pesantren, pembentukan citra pesantren melalui

santri-santri dapat dilakukan melalui program pengabdian santri atau

khidmah secara langsung di masyarakat. Melalui pengabdian langsung di

masyarakat tersebut pada dasarnya pesantren justru telah menunjukkan

kepada masyarakat bahwa pesantren telah menjalankan proses publikasi

mulai dari how to integrate, how to inform, how to perfome, dan how to

persuade, baru kembali lagi ke how to integrate. Cara public relations

seperti ini bersifat circle sehingga terintegrasi.13

Hubungan komunikasi yang baik antara pesantren dengan

santri-santrinya dapat meningkatkan citra pesantren, dan sebaliknya jalinan

komunikasi yang kurang lancar antara kedua elemen tersebut dapat

(7)

Kelima, citra positif sebuah pesantren dapat dibangun melalui

kepemimpinan kiai. Dalam tradisi pesantren kiai merupakan sosok sentral

(figur) dan panutan bagi santri-santrinya dalam berperilaku. Sebagai

tokoh sentral, kiai cenderung memiliki kekuasaan yang tinggi dalam

pengambilan keputusan. Oleh kerena itu ketokohan kiai menjadi salah

satu strategi yang dapat dibangun dalam menciptakan citra positif sebuah

pesantren.

Di sisi lain, kepercayaan masyarakat terhadap pesantren melalui

karismatik seorang kiai merupakan salah satu alasan mereka memasukkan

anaknya di pesantren. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa citra yang

demikian disebut image building by charisma. Pencitraan positif sebagai

akibat dari karisma ini sesuai dengan pendapat Cutlip yang menyatakan

bahwa reputasi publik terhadap organisasi pada dasarnya banyak berasal

dari perilaku pejabat seniornya pada saat mereka berada di posisi puncak.

Ketika pimpinan bertindak dan berbicara maka berlangsunglah interpretasi

dan gema yang diciptakan oleh figur tersebut sehingga mau tidak mau,

pimpinan terlibat langsung dalam kegiatan public relations.14

Namun demikian tidak dapat dipungkiri, pesantren yang

mengandalkan ketokohan sosok kiai umumnya citra pesantren secara

perlahan akan meredup ketika kiai telah meninggal dunia. Oleh karena

hal tersebut, dalam pesantren perlu mempersiapkan generasi penerusnya

melalui guru-guru yang disebut dengan ustadz (guru laki-laki) dan ustadzah

(guru sperempuan).

Dalam tradisi pesantren ustadz adalah wakil kiai yang membantu

mengajarkan ilmu pengetahuan kepada santri-santrinya, terlebih ketika

jumlah santri yang banyak dan tidak dapat ditangani oleh seorang kiai.

Dengan demikian pembentukan citra pada elemen pesantren yang kelima

tidak saja dapat dilakukan melalui ketokohan, kemampuan, dan karisma

(8)

sebagai wakil kiai untuk memberikan pengajaran kepada santri-santrinya

dalam bidang agama.

Strategi Membangun Citra

Ardianto menyebutkan ada 6 (enam) strategi untuk membangun

citra organisasi yaitu fokus pada segmen tertentu (narrow focus), keunikan

(ciri khas), tepat sasaran pada segmen pasar (appropriate), berkelanjutan

(continuity), dan realitas (reality).15

a. Focus pada segmen tertentu (narrow focus)

Dalam hal ini pesantren perlu memfokuskan diri pada program

unggulan. Upaya tersebut ditujukan pada segmen atau kelompok tertentu

dan mampu mempertahannya dalam waktu jangka panjang. Segmentasi

pasar yang dimaksud adalah pesantren dapat memposisikan melalui

klasifikasi (jenis) pesantren.

Setidaknya dalam kajian beberapa literatur, terdapat tiga jenis

pesantren, yaitu pesantren salafiyah, pesantren khalafiyah, dan pesantren

modern. Berdasarkan jenis tersebut maka pesantren dapat membangun

citra sesuai dengan segmentasi sasarannya. Untuk pesantren salafiyah

misalnya dapat membangun citranya melalui kajian pada bidang

ilmu-ilmu agama melalui literatur-literatur klasik.

Menurut Mastuhu, sebagaimana dikutip Amin Haedari, et.al.

terdapat empat ciri khusus pada pesantren salafiyah. Mulai dari hanya

memberikan pelajaran agama versi kitab-kitab Islam klasik berbahasa

Arab, mempunyai teknik pengajaran yang unik yang biasa dikenal dengan

metode sorogan dan bandongan atau wetonan, mengedepankan hafalan,

(9)

Lain halnya dengan pesantren salafiyah, pesantren khalafi

merupakan model pesantren yang menyelenggarakan lembaga pendidikan

model madrasah maupun sekolah untuk mengajarkan pelajaran umum

sebagai pendidikan formal. Biasanya pada jam-jam di luar kegiatan sekolah

formal (seperti pagi setelah salat shubuh dan malam seteleh salat magrib),

para santri mengikuti kajian kitab-kitab klasik dan mereka tetap tinggal di

pesantren. Untuk pendidikan formal, mereka mengikuti pelajaran umum

di madrasah maupun sekolah yang diselenggarakan oleh pesantren.

Jika pada pesantren salafiyah dan khalafi masih mengajarkan

kajian kitab kuning, maka di pesantren modern, tidak lagi mengutamakan

kajian kitab-kitab klasik dalam proses pembelajaran, tapi kitab-kitab

berbahasa Arab yang ditulis oleh para tokoh muslim abad 20. Namun ada

beberapa pesantren modern yang masih menggunakan sebagian kitab-kitab

klasik, tapi bukan menjadi kajian utamanya, melainkan hanya menjadi

referensi tambahan atau pengayaan.

Pada pondok modern penekanan pada penguasaan bahasa asing,

seperti bahasa Arab dan bahasa Inggris dan budaya kedisplinan yang sangat

ketat menjadi ciri utamanya. Sebagaimana Arief Subhan merujuk pada

pondok modern Gontor, bahwa referensi utama dalam materi keislaman

yang digunakan bukan kitab kuning, melainkan kitab-kitab baru yang

ditulis para sarjana muslim abad ke-20. Ciri khas pondok modern adalah

tekanannya yang sangat kuat kepada pembelajaran bahasa, baik bahasa

Arab maupun Inggris. 17 Penguasaan bahasa asing ini untuk membekali

para santri agar dapat bersaing di dunia global dan dapat membaca

kitab-kitab kontemporer baik yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa

Inggris.

b. Keunikan (Ciri Khas)

Citra pesantren yang dibangun berdasarkan kemiripan dengan

(10)

itu keunikan sebuah pesantren menjadi modal untuk membangun citra

positif bagi pesantren.

Bentuk keunikan tersebut dapat dilakukan dengan cara pesantren

memberikan layanan pendidikan berupa program kegiatan, model

pembelajaran, atau kurikulum yang berbeda dengan pesantren atau

lembaga pendidikan lainnya. Pesantren yang mengkhususkan pada

kajian-kajian tertentu, misalnya tafsir, hadis, program menghafal alquran (tahfidz

quran), tata bahasa Arab (nahwu, sharaf, balaghah), fikih, dan tasawwuf

dapat mewujudkan pesantren-pesantren yang unggul dalam kajian-kajian

tertentu melalui program yang ditawarkan pesantren. Hal tersebut dapat

menjadi distingsi dengan pesantren atau lembaga pendidikan lainnya.

Keunikan dan keunggulan pesantren yang dibentuk dengan

berbagai upaya kreatif dan inovatif dapat meningkatkan minat masyarakat

sebagai pengguna jasa pendidikan. Semakin banyaknya pesantren unggulan

dengan kurikulum pendidikan yang bertaraf internasional dan yang

masih tetap mempertahankan pembelajaran salafnya serta ditawarkannya

beranekaragam keunggulan fasilitas bahkan dengan biaya yang relatif

terjangkau dapat membentuk kesan positif pesantren di masyarakat yang

pada akhirnya meningkatkan daya saing pesantren.

c. Mengena (appropriate)

Membangun citra positif sebuah pesantren harus memperhatikan

keunggulan pesantren yang dimilikinya. Pesantren perlu berupaya

membangun dan mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya

melalui perencanaan strategis. Masyarakat yang tidak tertarik pada

keunggulan pesantren tidak akan dapat menangkap citra pesantren yang

sedang dibangun.

Adapun keunggulan yang perlu dibangun harus memiliki sasaran

(11)

berdasarkan kelompok masyarakat tertentu baik secara ekonomi maupun

tingkat pendidikan.

Berdasarkan segmentasi dan keunikan di atas, pesantren

seharusnya dapat lebih mudah membangun citra positif karena distingsi

(keunikan) menjadi modal yang kuat untuk mempopulerkan citra positif

pesantren kepada masyarakat.

e. Berkelanjutan (continuity)

Upaya membangun citra juga harus dilakukan secara bertahap,

evolusioner, berkesinambungan dan dalam jangka panjang. Kesinambungan

dalam jangka panjang merupakan salah satu kunci keberhasilan program

mempopulerkan citra organisasi.

Fokus pada kebutuhan masyarakat merupakan salah satu kunci

dalam melakukan upaya membangun citra pesantren secara berkelanjutan.

Tanpa upaya yang berkelanjutan dapat mengubah citra pesantren dari citra

yang positif menjadi citra negatif karena kalah bersaing dengan pesantren

dan lembaga pendidikan lainya.

f. Realitas (reality)

Membangun citra yang dibuat tidak berdasarkan fakta atau

kenyataan di lapangan (realitas) dapat memperburuk citra pesantren di

masyarakat. Target audience cenderung bersikap sinis atau negatif terhadap

penonjolan citra yang tidak realistis. Publikasi yang tidak sesuai dengan

fakta merupakan dapat memperburuk citra pesantren karena masyarakat

akan menilai bahwa pesantren tidak melakukan publikasi dengan jujur yang

pada akhirnya akan memperburuk citra pesantren dan akan ditinggalkan

(12)

Selain dari beberapa strategi yang telah dipaparkan di atas, upaya

organsiasi dalam membentuk citra pesantren dapat dilakukan melalui

pengembangan fisik dan perilaku organisasi sebagaimana dijelaskan

Nguyen dan Leblanc sebagai berikut:

Corporate image is described as the overall impression made on the minds of the public about a irm … It is related to the various physical and behavioural attributes of the irm, such as business name, architecture, variety of products/services, tradition, ideology, and to the impression of quality communicated by each person interacting with the irm’s clients.18

Mengelola hubungan yang baik dengan pemangku kepentingan

(stakeholders) merupakan salah satu cara membangun citra pesantren,

sehingga melalui hubungan yang baik dan strategis tersebut dapat tujuan

pesantren secara realistis. Di sisi lain, melalui interaksi timbal balik

antara masyarakat (stakeholders) dengan lembaga/institusi yang baik akan

terbangun sikap percaya (trust) masyarakat terhadap pesantren.

Citra pesantren juga dapat dibangun melalui identitas fisik

seperti nama pesantren yang unik, popularitas yayasan atau lembaga

yang menaungi pesantren, fasilitas pesantren yang lengkap, lingkungan

pesantren yang aman, pelayanan yang prima, relasi dengan pelanggan

lembaga pendidikan yang baik, atau melalui tradisi pesantren yang ada.

Strategi tersebut kemudian dapat membentuk sebuah karakteristik

pesantren. Karakteristik yang kuat dan unik menjadikan pesantren memiliki

ciri khas dan pembeda dengan pesantren atau lembaga pendidikan lainnya.

Karakteristik ini disebut identitas lembaga pendidikan (institutional

identity). Identitas pesantren yang kuat dan unik dapat menjadi salah

satu unggulan pesantren sekaligus memiliki daya saing dengan pesantren

lainnya. Selanjutnya melalui identitas pesantren (institutional identity)

dapat membentuk dan menciptakan citra pesantren (institutional image)

(13)

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya citra

pesantren dapat dibentuk dan diciptakan oleh organisasi melalui

karakteristik atau identitas pesantren. Hal ini sesuai dengan pendapat

Nelson dan Kanso yang menyatakan bahwa citra merupakan refleksi dari

identitas organisasi.19 Bagaimana pembentukan citra organisasi tersebut

dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 6: Model Pembentukan citra dan reputasi organisasi. Diadaptasi dari Nelson dan Kanso.20

Berdasarkan model yang dijelaskan oleh Nelson dan Kanso di

atas, terdapat tiga konsep yang saling berkaitan, yaitu identitas pesantren

(institutional identity), citra pesantren (institutional image), dan reputasi

pesantren (institutional reputation). Untuk membedakan ketiga konsep

tersebut Helgesen and Nesset menjelaskan bahwa identitas merupakan

persepsi internal organisasi, citra merupakan persepsi stakeholder, dan

reputasi merupakan persepsi keduanya, baik internal organisasi maupun

stakeholder.21

Keterkaitan antarkonsep di atas menjelaskan bahwa identitas

(14)

lainnya. Oleh karena itu pesantren perlu memiliki identitas yang unik,

mudah diingat, mudah dilihat (eye catching) sebagaimana dijelaskan oleh

Dowling bahwa pertanyaan yang tepat untuk menggambarkan citra adalah

apa yang orang pikir tentang sebuah organisasi.22

Citra positif sebuah pesantren yang positif dapat berubah dalam

kurun waktu yang relatif singkat. Citra positif yang dipertahankan

bertahun-tahun berubah menjadi citra yang buruk karena beberapa kesalahan

institusi maupun individu. Oleh karena itu kepercayaan masyarakat

menjadi hal yang krusial dalam menumbuhkan citra pesantren. Pesantren

yang tidak mampu mempertahankan dan meningkatkan kepercayaan

masyarakat dapat memperburuk citra pesantren di kemudian hari. Di sisi

lain kemampuan pesantren untuk berkembang menjadi rendah dan pada

akhirnya akan ditinggalkan masyarakat.

Endnote

1Elvinaro Ardianto, Handbook of Public Relations Pengantar Komprehensif, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011), h. 62.

2Philip Kotler and Kevin Lane Keller, Marketing Management, edisi ke-14, (London: Pearson Education Limited, 2012), h. G4.

3Rosady Ruslan, Manajamen Public Relations dan Media Komunikasi: Kon-sepsi dan Aplikasi, edisi revisi, cet. ke-11, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 76.

4Ibid., hh. 78-80.

5John M.T. Balmer dan Stephen A. Greyser, Revealing the Corporation: Per-spective on Identity, Image, Reputation, Corporate Branding, and Corpo-rate-Level Marketing, (London: Routledge: 2003), h. 210.

6Ibid., h. 212.

7Felix Maringe and Paul Gibbs, Marketing Higher Education: Theory and Practice, (London: McGraw-Hill, 2009), h. 136.

(15)

9Zamakhsyari Dhoier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 79.

10Ibid., h. 85.

11Azyumardi Azra, Pendidikan Islam. Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002), h. 111.

12H.M. Nadim Zuhdi, “Strategi Promosi dan Aplikasi Pengembangan SDM bagi Pondok Pesantren”, dalam Manajemen Pesantren, A. Halim, dkk (ed.), (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005), h. 31.

13Chusnul Chotimah, “Strategi Public Relations Pesantren Sidogiri dalam Membangun Citra Lembaga Pendidikan Islam”, Islamica, Vol. 7 (1), Sep-tember 2012, h. 207.

14Scott M. Cutlip, et al., Effective Public Relations: Merancang dan

Melak-sanakan Kegiatan Kehumasan dengan Sukses, (Jakarta: PT. Indeks

Kelom-pok Gramedia, 2005), h. 50.

15Ibid., h. 66.

16Amin Haedari, et.al., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Kompleksitas

Global, (Jakarta: IRD Press, 2004), h. 15-16.

17Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-20, Pergu-mulan antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana, 2012)s, h. 129.

18Nha Nguyen and Gaston Leblanc, “Corporate image and corporate reputa-tion in customers’ retenreputa-tion decisions in services”, Journal of Retailing and Consumer Service, Vol 8, 2001, h. 228.

19Richard Alan Nelson dan Ali M. Kanso, “Employing Effective Leadership in a Crisis: A Case Study of Maiden Mills, Corporate Reputation, and The Limit of Socially Responsible Public Relation”, dalam Facets of Corporate Identity, Communication, and Reputation, eds. T.C. Melewar (New York: Routledge, 2008), h. 143.

20Ibid.

21Øyvind Helgesen and Erik Nesset, “Images, Satisfaction and Antecedents: Drivers of Student Loyalty? A Case Study of a Norwegian University College”, Corporate Reputation Review, Vol. 10 (1), 2007, h. 38.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Handbook of Public Relations Pengantar Komprehensif, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos wacana Ilmu, 2002.

Balmer, John M.T., dan Stephen A. Greyser, Revealing the Corporation: Per-spective on Identity, Image, Reputation, Corporate Branding, and Cor-porate-Level Marketing, London: Routledge: 2003.

Chotimah, Chusnul, “Strategi Public Relations Pesantren Sidogiri dalam Membangun Citra Lembaga Pendidikan Islam”, Islamica. Vol. 7 (1). September 2012.

Cutlip, Scott M., et al., Effective Public Relations: Merancang dan Melak-sanakan Kegiatan Kehumasan dengan Sukses, Jakarta: PT. Indeks Ke-lompok Gramedia, 2005.

Dhoier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: LP3ES, 2011.

Dowling, Grahame, “Creating Better Corporate Reputations: An Australian Perspective”, dalam Facets of Corporate Identity, Communication, and Reputation. Eds. T.C. Melewar. New York: Routledge, 2008.

Haedari, Amin, et.al., Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Kompleksitas Global. Jakarta: IRD Press, 2004.

Helgesen, Øyvind dan Erik Nesset, «Images, Satisfaction and Antecedents: Drivers of Student Loyalty? A Case Study of a Norwegian University College», Corporate Reputation Review. Vol. 10 (1), 2007.

Kotler. Philip dan Kevin Lane Keller, Marketing Management. edisi ke-14. London: Pearson Education Limited, 2012.

(17)

Nelson, Richard Alan dan Ali M. Kanso, “Employing Effective Leadership in a Crisis: A Case Study of Maiden Mills, Corporate Reputation, and The Limit of Socially Responsible Public Relation”, dalam Facets of Cor-porate Identity. Communication, and Reputation, eds. T.C. Melewar. New York: Routledge, 2008.

Nguyen, Nha dan Gaston Leblanc, “Corporate image and corporate reputation in customers’ retention decisions in services”. Journal of Retailing and Consumer Service, Vol 8, 2001.

Pampaloni, Andrea M., “The Inluence of Organizational Image on College

Selection: What Students See in Institutions of Higher Education”. Journal of Marketing for Higher Education. Vol. 20 (1), Januari-Juni, 2010.

Ruslan, Rosady, Manajamen Public Relations dan Media Komunikasi: Kon-sepsi dan Aplikasi, edisi revisi. cet. ke-11. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia Abad ke-20, Pergumu-lan antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: Kencana, 2012.

Gambar

Gambar 6:  Model Pembentukan citra dan reputasi organisasi. Diadaptasi dari Nelson dan Kanso.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Anggraini (2015) yang menyatakan bahwa kinerja lingkungan tidak berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan, peringkat

Berdasarkan uraian diatas, pada penelitian ini akan dilakukan pemetaan kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tengah menggunakan analisis multidimensional scaling metrik

tertekan sehingga mengalami gangguan jiwa dan terjerumus kedalam perilaku- perilaku yang tergolong sebagai perilaku abnormal. Androphobia adalah salah satu bentuk

Sedangkan 3 orang lainnya (30%) menyatakan bahwa mereka hanya mengetahui visi misi perusahaan karena mereka diberi arahan mengenai visi misi tersebut namun mereka tidak

Pada saat penghentian pengakuan atas aset keuangan secara keseluruhan, maka selisih antara nilai tercatat dan jumlah dari (i) pembayaran yang diterima, termasuk

Kurs porselen dikalibrasi dengan cara dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 100 o C, lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang.. Sebanyak 1- 2 gram sampel

17 Selain itu menurut Rasiman subjek dengan kemampuan sedang dapat menjawab soal dengan lebih baik dengan menggunakan metode atau cara yang diketahui sebelumnya sehingga lebih

Pada daerah persambungan ini terbebas dari muatan mayoritas (disebut daerah pengosongan), tetapi terjadi dipole muatan sehingga timbul medan listrik dan terjadi potensial halang