BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Perkembangan bisnis kuliner di Indonesia sangat pesat ditandai dengan
beranekaragamnya bisnis kuliner yang bisa kita temukan di Indonesia, mulai dari
warung, restoran, kafe, bar dan berbagai jenis waralaba asing yang juga
menggeluti bisnis kuliner. Bisnis kuliner sangat menjanjikan, apalagi didukung
oleh jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar yang lebih dari 250 juta jiwa.
Dengan jumlah penduduk yang sangat besar ini, Indonesia merupakan pasar yang
sangat besar dengan total pengeluaran konsumen tertinggi di Asia Tenggara.
Gambar 1.1 Pasar di ASEAN dan Negara Asia Pasifik
Sumber: Euromonitor International, 2015
Faktanya, pada tahun 2013 bisnis hotel dan restoran menyumbang 14,33% bagi
terbesar bagi total PDB Indonesia setelah bisnis manufaktur dan
agribisnis(http://www.cekindo.com/restaurant-market-experiencing-great-growth-opportunity-in-indonesia.html, diakses pada 19 Oktober 2015).
Pada diagram di bawah ini, dapat kita lihat besar kontribusi industri food
and beverage (makanan dan minuman) pada PDB non minyak dan gas tahun 2013
sebesar 29%, meningkat menjadi 30% pada tahun 2014.
Gambar 1.2Kontribusi Industri Makanan dan Minuman pada PDB Indonesia
Sumber: Investment Opportunities in Food and Beverage Industry, Kementerian Perindustrian Indonesia, 2015
Namun, jumlah bisnis kuliner yang tidak sedikit membuat persaingan di
antara bisnis kuliner yang satu dengan lainnya sangat kompetitif dan harus punya
keunggulan kompetitif tersendiri baik itu dalam hal pelayanan, desain interior,
jenis makanannya, serta keunikan-keunikan lainnya yang mendiferensiasikan
bisnis yang satu dengan yang lainnya agar bisa memenangkan pasar. Berikut ini
adalah data jumlah restoran atau rumah makan dan data pendapatan usaha restoran
Tabel 1.1 PERKEMBANGAN USAHA RESTORAN/RUMAH MAKAN SKALA MENENGAH DAN BESAR MENURUT PROVINSI,
Papua 2 2 3 na 23 25 25 23
Rata-rata 2,704 2,916 2,977 0 27 27 28 28
Sumber: Statistik Restoran, BPS 2012
Tabel 1.2 RATA-RATA PENDAPATAN USAHA RESTORAN/RUMAH MAKAN PER PROVINSI, TAHUN 2012
Bangka Belitung 2.506.444.693
Kep. Riau 3.672.076.575
DKI Jakarta 3.735.380.386
Jawa Barat 3.071.129.805
Jawa Tengah 3.819.716.312
DI Yogyakarta 3.625.950.154
Jawa Timur 3.237.338.625
Banten 3.214.304.442
Bali 4.476.439.283
NTB 3.860.872.629
NTT 1.466.819.493
Kalimantan Barat 2.938.427.812
Kalimantan Tengah 2.129.228.009
Kalimantan Selatan 3.998.384.114
Kalimantan Timur 3.927.947.345
Sulawesi Utara 5.381.827.179
Sulawesi Tengah 3.199.982.599
Sulawesi Selatan 3.748.556.031
Sulawesi Tenggara 4.656.554.801
Gorontalo 3.192.666.667
Sulawesi Barat 642.000.000
Maluku Utara 1.468.000.000
Papua Barat 1.489.688.000
Papua 6.278.175.000
Rata-rata 3.512.686.465
Sumber: Statistik Restoran/Rumah Makan, Badan Pusat Statistik 2012
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik pada tabel di atas,
pertumbuhan jumlah restoran di Provinsi Sumatera Utara bertambah terus setiap
tahunnya hingga 168 outlet pada tahun 2011. Dan dapat kita amati berdasarkan
tabel di atas, rata-rata pendapatan usaha tiap restoran di Indonesia ialah sebesar
3,5 milyar rupiah dan di Provinsi Sumatera Utara sebesar 2,8 milyar rupiah.
Pendapatan yang tidak sedikit ini menunjukkan bahwa bisnis kuliner sangat
berpotensi besar dalam mendapatkan profit dalam jumlah besar bagi pengusaha.
Dari data serta analisa di atas, tidak heran jika restoran menjamur di mana-mana,
terutama di kota-kota besar.
Menurut Marsum (2001:8-11), ada dua puluh dua jenis tipe restoran, yaitu
a’la carte restaurant, table d’hote restaurant, coffe shop atau brasserle,
cafetaria/cafe, canteen, continental restaurant, carvery, dining room,
dischoteque, fish and chip shop, grill room (rotisserie), inn tavern, night
club/super club, pizzeria, pan cake house/creperie, pub, snack bar/cafe/milk bar,
specialty restaurant, terrace restaurant, gourmet restaurant, family type
restaurant, dan main dining room.
Kafe merupakan salah satu dari kedua puluh dua tipe restoran di atas yang
sering dikunjungi oleh penduduk kelas menengah ke atas di Indonesia. Jumlah
outlet kafe juga bertambah mengikuti bertambahnya jumlah penduduk kelas
Network) pada tahun 2010, pertumbuhan jumlah kafe baru di Indonesia ialah
sebesar 5,1 – 5,5% setiap tahunnya
(http://www.chilealimentos.com/medios/Servicios/Normas_internacionales/Norm
a_otros_paises/Norma_Indonesia/Food_Service_Hotel_Restaurant_Institutional_J
akarta_Indonesia_USDA.pdf, diakses pada tanggal 19 Oktober 2015). Angka ini
merupakan angka yang cukup signifikan bagi perkembangan bisnis kuliner
nasional.
Gambar 1.3 Perilaku Belanja Kelas Bawah, Menengah dan Atas Masyarakat Indonesia Sumber: Euromonitor International from national statistical offices/OECD
Tampak dari grafik di atas, bahwa bisnis hotels and catering (layanan jasa
penyediaan makanan seperti restoran, kafe, dll) porsinya semakin besar pada
decile 5 (kelas menengah) dan decile 10 (kelas atas).
Konsumen kelas menengah adalah segmen paling menguntungkan bagi
bisnis saat ini. Data terakhir dari Bank Dunia 2010, jumlah kelas menengah
Indonesia mencapai 132 juta jiwa dengan daya beli US$2-20, dan setiap tahun
kafe (http://iryanah.com/indonesia-middle-class-consumer-trends-2015/, diakses
pada tanggal 19 Oktober 2015).
Kafe saat ini bukan hanya menyediakan manfaat pemenuhan kebutuhan
akan makanan dan minuman, namun juga memberikan manfaat berupa pemuasan
kebutuhan emosional, seperti gengsi, rasa bangga, perasaan dihargai, kebutuhan
afiliasi, dst. ‘Nge-cafe’ sekarang ini sudah menjadi gaya hidup di perkotaan dan
menjadi salah satu kebutuhan tersier, khususnya di kalangan anak muda.
Salah satu kota besar di Indonesia, yaitu Medan misalnya, memiliki
kafe-kafe serta restoran yang dapat ditemukan bertebaran di berbagai areal di
perkotaan. Kota yang menurut Badan Pusat Statistik berpenduduk 2.122.804 jiwa
pada tahun 2012 ini (http://sumut.bps.go.id/frontend/LinkTabelStatis/view/id/362
, diakses pada tanggal 19 Oktober 2015), merupakan kota dengan pasar yang
sangat besar dan potensial. Beragamnya kafe membuat persaingan semakin sengit
di antara pebisnis kafe di kota Medan, sehingga setiap pebisnis perlu berpikir
lebih keras lagi bagaimana menciptakan keunikan di dalam kafenya sehingga
menarik bahkan meng-engage lebih banyak lagi pelanggan.
Berbagai keunikan diciptakan oleh setiap bisnis kafe, misalnya dengan
membuat atmosfer dan desain interior yang berbeda dengan tema yang unik dan
beragam. Setiap kafe harus bisa membuat konsep dari segi fisik dan juga
pelayanan yang membedakannya dari kafe lainnya agar bisa terus bersaing dan
mempengaruhi keputusan pembelian konsumen. Di tengah persaingan bisnis yang
semakin ketat, menjamurnya kafe-kafe di kota besar, isu MEA (Masyarakat
Ekonomi ASEAN), dan meledaknya jumlah penduduk menengah ke atas,
mendorong pebisnis kafe untuk berpikir keras mencari cara bagaimana
mendapatkan pangsa pasar dan mempertahankan pelanggannya di tengah peluang
dan ancaman yang ada.
(http://www.themindcafe.com) ini mengemas bisnis dan jasanya dengan
memberikan pengalaman unik dan kenangan yang membekas di hati
pelanggannya lewat perpaduan makanan, minuman, kenyamanan, desain interior,
atmosfer, boardgames, dll. Boardgames merupakan salah satu fasilitas yang
diandalkan dan menjadi keunikan dari kafe yang mendapatkan lebih dari 21.000
‘like’ pada November 2015 di situs jejaring sosial Facebook ini
(http://www.facebook.com/themindcafeindonesia, diakses pada 29 November
2015), yang mendorong konsumen untuk datang bersama teman-temannya untuk
hang out sambil menikmati makanan dan minuman yang disediakan serta
diselingi dengan kegiatan bermain beranekaragam jenis permainan atau
boardgames yang ditawarkan.
Perpaduan boardgames, makanan, minuman, desain interior yang
menarik, dll tercakup dalam lima unsur dalam experiential marketing, yaitusense,
feel, think, act, dan relate yang membawa konsumen ke dalam dimensi yang baru
meningkatkan kepuasan konsumen dan mempengaruhi nilai yang dipersepsikan
konsumen (perceived value) serta loyalitas pelanggan.
Selain itu, strategi seperti experiential marketing juga penting dilakukan
untuk mempertahankan pelanggan lama agar tetap loyal. Kertajaya dalam
Yuwandha dan Sri Rahayu (2010:193) menyatakan experiential marketing
bertujuan membentuk pelanggan yang loyal dengan cara menyentuh emosi
pelanggan dengan menciptakan pengalaman-pengalaman positif dan memberikan
suatu feeling yang positif terhadap jasa dan produk mereka. Tentunya, dengan
experiential marketing, efisiensi biaya akan ditingkatkan, sebab biaya yang
dibutuhkan untuk mendapatkan pelanggan baru bagi suatu bisnis seperti bisnis
kafe akan lebih besar dibandingkan biaya untuk mempertahankan pelanggan lama.
Fenomena-fenomena ini mendorong peneliti untuk meneliti bagaimanakah
signifikasi pengaruh (signifikan atau tidak) antara experiential marketing yang
diterapkan The Mind Cafe dan perceived value terhadap loyalitas konsumen The
Mind Cafe Jl. Dr. Mansyur dan yang manakah dari aspek berikut: sense, feel,
think, act, relate, serta perceived value, yang paling dominan atau signifikan
pengaruhnya terhadap loyalitas konsumen The Mind Cafe di Jl Dr. Mansyur. Oleh
sebab itu, penulis tertarik untuk melakukan pembahasan lebih mendalam
mengangkat judul penelitian “Pengaruh Experiential Marketing dan Perceived
value terhadap Loyalitas Pelanggan The Mind Cafe di Jl. Dr. Mansyur
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah
penelitian sebagai berikut:
1. Apakah terdapat pengaruh signifikan secara parsial antara variabel
experiential marketing (sense, feel, think, act, dan relate) dan perceived
value terhadap loyalitas pelanggan The Mind Cafe di Jl. Dr. Mansyur
Medan?
2. Apakah terdapat pengaruh signifikan secara simultan antara variabel
experiential marketing (sense, feel, think, act, dan relate) dan perceived
value terhadap loyalitas pelanggan The Mind Cafe di Jl. Dr. Mansyur
Medan?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini
adalah:
1. Untuk menganalisis pengaruh secara parsial antara variabel-variabel
experiential marketing (sense, feel, think, act, dan relate) dan perceived
value terhadap loyalitas pelanggan The Mind Cafe di Jl. Dr. Mansyur
Medan
2. Untuk menganalis pengaruh secara simultan antara variabel-variabel
experiential marketing (sense, feel, think, act, dan relate) dan perceived
value terhadap loyalitas pelanggan The Mind Cafe di Jl. Dr. Mansyur
Medan.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini ialah sebagai berikut:
1. Penulis
Untuk menambah pengetahuan, wawasan, dan ilmu mengenai experiental
marketing, perceived value, dan loyalitas konsumen agar bisa
diimplementasikan bagi usaha sendiri maupun usaha pihak lain
2. Perusahaan
Sebagai referensi dan sumber pustaka untuk mengukur sudah sejauh mana
perusahaan mengembangkan experiential marketing dan perceived value,
serta loyalitas pelanggan.
3. Civitas akademika
Sebagai sumber pustaka dan karya ilmiah untuk pengembangan ilmu
pengetahuan tentang bisnis, khususnya di bidang experiential marketing