• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Orang Tua Dalam Membangun Kepribadian Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peran Orang Tua Dalam Membangun Kepribadian Anak"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN ORANG TUA DALAM MEMBANGUN

KEPRIBADIAN ANAK

Arsam

Dosen Tetap Jurusan Dakwah STAIN Purwokerto

Abstract

One of parents’ roles in family life is delivering religious values. This can be applied in the family in three methods, bilhikmah (wisely), bilmauidzhoh hasanah (with good advice), and bilmujadalah (with exchange thoughts). These methods are applied in order to form good character of children. In applying this method effectively and efficiently, parents as a performer da’i should apply ten guidance for da’i.

The ten rules are: 1) parents should provide exemplary before preaching; 2) parents should have good impression; 3) parents should explain before giving some assignment/task; 4) parents have to apply some phases in giving tasks; 5) parents should facilitate rather than complicate; 6) the principles should be given before the branch; 7) parents should motivate rather than threat; 8) parents should encourage rather than dictate; 9)parents should educate rather than expose; 10) parents should emphasize students to from their teacher rather than from books.

Key Words: dakwah, methods of preaching in the family, children character

Abstrak

Salah satu peran orang tua dalam keluarga adalah berdakwah. Dakwah keluarga dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu metode bilhikmah (dengan bijaksana),

bilmauidzhoh hasanah(dengan nasehat yang baik), dan bilmujadalah(dengan tukar fikiran). Ketiga metode ini dilakukan dalam rangka membentuk kharakter anak menjadi kharakter yang baik. Agar metode itu berjalan efektif dan efisien maka orang tua sebagai da’I hendaknya mempraktikkan sepuluh kaidah bimbingan bagi da’i.

Sepuluh kaidah itu adalah Pertama, memberikan keteladanan sebelum berdakwah.

Kedua, mengikat hati sebelum menjelaskan. Ketiga,mengenalkan sebelum memberi beban.Keempat, bertahap dalam pembebanan. Kelima, memudahkan bukan menyulitkan.

Keenam, yang pokok sebelum yang cabang. Ketujuh,membesarkan hati sebelum memberi ancaman.Kedelapan,memahamkan bukan mendikte. Kesembilan, mendidik bukan menelanjangi.Kesepuluh, muridnya guru bukan muridnya buku.

Kata-Kata Kunci: Dakwah, Metode Dakwah Keluarga, Karakter Anak

Pendahuluan

Dakwah adalah suatu usaha mempertahankan, melestarikan dan menyempurnakan umat manusia agar mereka tetap beriman kepada Allah, dengan menjalankan syari’at-Nya sehingga mereka menjadi manusia yang hidup bahagia di dunia maupun di akhirat.1 Ada juga yang memaknai dakwah sebagai usaha untuk mendorong (memotifasi) umat manusia agar melaksanakan kebaikan dan mengikuti petunjuk serta memerintah berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan mungkar, agar memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.2 Amrullah Ahmad sebagaimana yang dikutip oleh Dzikron Abdullah

(2)

memaknai dakwah sebagai usaha untuk merealisir ajaran Islam dalam semua segi kehidupan manusia.3 M. Shulton dalam bukunya yang berjudul “ Desain Ilmu Dakwah “ mendefinisikan dakwah sebagai usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap individu maupun masyarakat.4 Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa dakwah adalah usaha dengan mengajak dan memotifasi mad’u untuk melaksanakan syari’at-Nya dan mengikuti petunjuk-Nya agar berubah kearah yang lebih baik dan sempurna sehingga bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

Tujuan dari dakwah adalah untuk memperoleh kebahagiaan, kesejahteran dan keadaan yang lebih baik serta keselamatan di dunia dan di akhirat. Agar tujuan tersebut bisa tercapai, maka dakwah harus dilaksanakan dan dikerjakan secara terus menerus tanpa mengenal masa dan waktu. Setiap muslim mempunyai tanggung jawab dan kewajiban mulia untuk berdakwah. Umat Islam adalah umat pendakwah dan memiliki risalah yang mereka warisi dari para Nabi. Setiap individu baik laki-laki maupun perempuan dibebani kewajiban ini. Sebagaimana menurut Hafi Anshari bahwa dakwah merupakan tugas suci bagi setiap muslim dalam rangka pengabdiannya kepada Allah swt.5

Dengan demikian, dakwah tidak hanya menjadi tanggung jawab atau tugas secara kolektif tetapi juga tugas dan tanggung jawab secara indivudu. Oleh karena itu dakwah bisa dilakukan oleh siapapun juga baik muslim atau muslimah sepanjang dia patuh dan taat pada ajaran agama Islam. Dakwah juga bisa dilaksanakan kapanpun dan dimanapun tempatnya, termasuk oleh orang tua (Ayah dan Ibu) kepada anak-anaknya di lingkungan keluarga. Dakwah dalam keluarga dilakukan sebagai upaya untuk membentuk anak-anaknya agar memiliki kepribadian, kharakter yang baik dan akhlak yang mulia (saleh dan salehah).

Keluarga adalah sekolah pertama tempat putra-putri bangsa belajar. Dari sana mereka mempelajari sifat-sifat mulia, seperti kesetiaan, rahmat, dan kasih sayang, ghirah (kecemburuan positif) dan sebagainya. Dari kehidupan keluarga, seorang ayah memperoleh dan memupuk sifat keberanian dan keuletan. Keberanian dan keuletan sikap itu dalam upaya membela sanak keluarganya dan membahagiakan mereka. Keluarga adalah unit terkecil yang menjadi pendukung dan pembangkit lahirnya bangsa dan masyarakat. Selama pembangkit itu mampu menyalurkan arus yang kuat lagi sehat, selama itu pula masyarakat bangsa akan menjadi sehat dan kuat. Dengan demikian keluarga memiliki andil yang besar bagi bangun-runtuhnya suatu masyarakat.6

Dalam konteks dakwah, keluarga merupakan ladang awal dan terbaik untuk menyemaikan nilai-nilai agama pada anggotanya, terutama anak. Dalam hal ini, orang tua (ayah dan ibu) memiliki peran yang strategis dalam membangun dan membentuk karakter anak yang unggul dan baik serta berkepribadian mulia. Tentu, semua orang tua pasti mendambakan seorang anak yang beriman dan bertakwa, yang soleh, baik sholeh secara individual maupun secara sosial. Sebaliknya, tidak ada satu pun orang tua di dunia ini yang menginginkan anaknya menjadi orang yang buruk perangai dan karakternya.

Meskipun tidak ada satupun orang tua yang menginginkan anaknya menjadi anak yang jahat, namun realitas dilapangan sering kali kita temui kenakalan remaja dan kejahatan-kejahatan lainnya seperti perkelahian, tawuran antar pelajar, terlibat dalam jaringan narkoba, pencurian, perampokan dan lain sebagainya. Oleh karenanya, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka orang tua harus memainkan perannya dengan baik yakni dengan membimbing, mengarahkan putra-putrinya dengan melaksanakan dakwah dalam kehidupan keluarganya secara terus-menerus agar kelak anaknya menjadi anak yang sholeh - sholehah, patuh kepada orang tua, rajin belajar, dan berkepribadian mulia serta berguna bagi agama, masyarakat bangsa dan negara. Dan tentunya sebagai orang tua akan merasa bangga dan bahagia ketika melihat putra-putrinya

(3)

menjadi anak yang berkharacter unggul, berkepribadian mulia dan sukses masa depannya serta bermanfaat hidupnya.

Mengenal Anak

Orang tua dan anak adalah satu ikatan dalam jiwa. Dalam keterpisahan raga, jiwa mereka bersatu dalam ikatan keabadian. Tak seorangpun dapat menceraiberaikan.Orang tua dan anak dalam satu keluarga memiliki kedudukan yang berbeda. Dalam pandangan orang tua, anak adalah buah hati dan tumpuan dimasa depan yang harus dipelihara dan dibimbing. Memeliharanya dari segala marabahaya dan membimbing agar menjadi anak yang cerdas. Itulah sifat fitrah orang tua sedangkan sifat-sifat fitrah orang tua yang lainnya, seperti diungkapkan oleh M. Thalib, yang dikutip oleh Syaiful Bahri Djamarah bahwa fitrah orang tua adalah senang mempunyai anak, senang anaknya salih, berusaha menempatkan anak ditempat yang baik, sedih melihat anaknya lemah atau hidup miskin, memohon kepada Allah bagi kebaikan anaknya, lebih memikirkan keselamatan anak daripada dirinya pada saat terjadi bencana, senang mempunyai anak yang bisa dibanggakan, cendrung lebih mencintai anak tertentu, menghendaki anaknya berbakti kepadanya, bersabar menghadapi perilaku buruk anaknya.7

Itulah beberapa fitrah orang tua yang didalamnya memuat keinginan-keinginan agar kedepan anaknya menjadi generasi yang kuat, yang siap menghadapi berbagai macam tantangan yang menghadang. Untuk itu agar fitrah keinginan orang tua bisa berhasil maka ada beberapa cara atau metode dakwah yang harus dilakukan oleh orang tua. Namun sebelum membahas tentang metode dakwah dalam keluarga, orang tua harus mengetahui lebih jauh tentang sifat-sifat dan tipe-tipe yang ada dalam diri anak. Menurut Ahmad Marimba ada beberapa sifat-sifat anak diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Dorongan untuk bergerak (bermain dan bekerja). Dorongan ini besar sekali. Perhatikanlah anak-anak itu sepanjang hari tak jemu-jemunya bergerak, bermain dan bekerja. Bermain adalah bagian dari kehidupannya. Bermain dan anak tidak bisa dipisahkan.

2. Dorongan Meniru. Mereka senang sekali meniru tingkah- laku dan cara-cara orang lain, terutama tingkah laku orang-orang yang dikasihinya, tingkah laku orang-orang kepada siapa anak itu mengidentifikasikan dirinya.

3. Dorongan-dorongan mencari rasa senang. Dorongan ini terdapat pada semua orang, tetapi lebih hebat adanya pada anak-anak; acapkali terjadi bahwa mereka berdusta atau berbuat hal-hal yang dilarang, oleh karena mereka terdorong oleh keinginan mencari kesenangan. Dorongan ini adalah demikian rupa sehingga acapkali mengalahkan dorongan-dorongan lainnya, tanpa disertai dengan maksud secara sadar hendak merugikan orang lain; misalnya : seorang anak sedang asyiknya bermain-main dengan gembira akan mencari alasan-alasan untuk membangkang kalau ia pada saat itu disuruh berbuat lain, misalnya; disuruh pergi mandi. Penolakannya ini lepas dari pertimbangan bahwa mandi itu berguna bagi kebersihan dan kesehatannya dan lepas pula dari maksud-maksud secara sadar ingin membantah orang yang menyuruhnya.

4. Dorongan-dorongan mencari kasih sayang dan perkenankan. Dorongan ini dalam bentuknya yang ekstrim menjadi dorongan-dorongan mencari muka atau menjilat. Dalam bentuknya yang normal dorongan ini sangat membantu para pendidik dalam menanamkan suatu kebiasaan. Anak-anak sangat membutuhkan kasih sayang dan perkenan dari pendidiknya terhadap siapa mereka beridentifikasi. Oleh karena itu perintah-perintah dan larangan-larangan pendidiknya itu dipatuhinya dengan rela dengan tujuan agar pendidik tersebut tetap mengasihinya, agar pendidik tsb. merasa senang.8

(4)

Sedangkan tipe-tipe anak, Jim Taylor mengelompkkan menjadi lima tipe. Pertama, pleaser (anak yang suka menyenangkan). Kedua, disappointer (anak yang suka mengecewakan) Ketiga, reactor (anak yang suka bereaksi).Keempat, frustator (anak yang suka membuat frustasi). Kelima, rejector (anak yang suka menolak).9

1. pleaser (anak yang suka menyenangkan)

Ganjaran pilihan anak yang suka menyenangkan adalah cinta orangtua dan perhatian. Mereka biasanya sering dipandang sebagai anak-anak teladan yang sangat suka memberi dan mendukung orang lain. Mereka lebih memperhatikan kebutuhan orang lain daripada kebutuhan mereka sendiri.

2. Disappointer (anak yang suka mengecewakan)

Jenis kedua adalah anak yang suka mengecewakan karena mereka tidak pernah memenuhi pengharapan anda. Bukannya dengan positif menanggapi tekanan anda supaya berprestasi, mereka malah menghindari tekanan ini dengan tidak member anda apa yang paling Anda inginkan-prestasi tinggi.

Dissappointer adalah nonachiever (individu yang tidak berprestasi). Mereka biasanya cerdas dan memperlihatkan prospek bagus dalam beberapa bidang-sebagai contoh, mereka sering mendapat nilai tinggi dalam tes IQ dan tes kemampuan, namun mereka jarang berprestasi. Sedikit upaya mereka untuk berprestasi diwarnai oleh tindakan menyabot diri sendiri yang ditimbulkan oleh konflik mendasar dengan Anda(orang tua). Mereka tergantung pada Anda dalam hal cinta dan harga diri, jadi, mereka mengungkapkan hasrat mereka untuk berprestasi dan berhasil supaya memperoleh cinta itu. Pada saat bersamaan, mereka takut memberikan upaya terbaik mereka karena, jika mereka berusaha sekeras mungkin dan gagal, mereka takkan mempunyai alasan dan mereka pasti akan kehilangan cinta Anda.

3. Reactor (anak yang suka bereaksi),

Anak yang suka bereaksi adalah anak yang bertolak belakang dengan pleaser, yang melakukan apa pun yang diinginkan orangtua mereka, dan dengan disappointer, yang perilakunya tidak terpengaruh oleh keinginan orangtua, reactor melakukan kebaikan dari apa pun yang diinginkan orangtua mereka. Orangtua sering menafsirkan perilaku ini sebagai kemandirian, tapi sebenarnya, reactor sangat tergantung pada orangtua mereka dengan cara bersifat paradox.

Reactor merasa dikendalikan oleh orangtua mereka dan merasa tak berdaya untuk secara langsung menegaskan kemandirian mereka sendiri dengan menentang pembatasan orangtua mereka. Rasa tidak berdaya ini menimbulkan kemarahan dan kebencian, dan memotivasi mereka untuk mencari berbagai cara guna membangun kendali atas hidup mereka sendiri. Jika Anda orangtua seorang reactor, Anda secara tidak sadar membimbing sikap anak Anda dengan memberikan pengarahan dan tujuan baginya. Reactor menunggu sampai mereka mengetahui apa yang Anda ingin mereka lakukan dan kemudian mereka memilih arah yang berlawanan dengan keinginan Anda. Reactor melihat diri mereka terpisah dari Anda, dan mereka yakin bahwa mereka membuat pilihan berdasarkan keinginan mereka sendiri, tapi kenyataannya mereka tidak mampu mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan tanpa bimbingan. Perilaku reaktif ini biasanya muncul dalam bentuk pakaian yang tidak sesuai dengan norma social, nilai buruk, hubungan antar teman yang “tidak bisa diterima,” dan kemungkinan, penyalahgunaan alcohol dan obat terlarang.

4. Frustator (anak yang suka membuat frustasi)

Jenis yang keempat adalah anak yang suka membuat frustasi, karena orangtua mereka sering merasa frustasi terhadap mereka. Mereka bukanlah “anak yang jahat,” dan mereka jarang terjerumus ke dalam masalah. Prestasi mereka di sekolah dan dalam

(5)

seting berprestasi lain cukup bagus, meski begitu mereka sering sebagai underachiever yang tidak berprestasi sesuai kemampuan.

Frustator sepertinya mempunyai hubungan cinta-benci dengan orangtua mereka. Mereka pada umumnya mempunyai hubungan yang baik dengan orangtua mereka, tapi mereka sering memperlihatkan kemarahan dan penolakan terhadap orangtua mereka karena mereka juga frustasi dan melampiaskannya kepada orangtua mereka. Frustator mengungkapkan perasaan negative dengan cara-cara halus, sering dalam bentuk komitmen yang tidak total dan motivasi yang lebih rendah dalam upaya berprestasi mereka. Mereka mungkin memilih mendapat nilai B+ daripada berusaha sedikit lebih keras untuk memperoleh A dalam pelajaran mereka, atau lebih suka disebut sebagai pemain cadangan dalam sebuah recital music, atau kalah dalam kompetisi olahraga yang ketat.

5. Rejector (anak yang suka menolak)

Yang terakhir adalah anak yang suka menolak. Jika Anda orangtua rejector, berarti anak Anda menolak nilai-nilai peraturan Anda, memilih jalannya sendiri meskipun anda keberatan. Meski mempunyai kesamaan dengan reactor, yaitu tidak mengikuti petunjuk orangtua, rejector tidak sekedar bereaksi dengan memilih kebalikan keinginan orangtua mereka, tapi mereka sepenuhnya menolak apapun yang ditawarkan orangtua mereka.

Rejector bisa dilihat sebagai jenis anak tergantung yang paling sehat dan paling bisa beradaptasi karena mereka benar-benar telah terpisah dari orangtua mereka dan menjadi orang yang berotonomi dan mengatur diri sendiri. Meski begitu, anak Anda yang suka menolak harus membayar harga pemisahan dirinya.Untuk menciptakan pemisahan, ia sering harus mengambil langkah-langkah ekstrem untuk memastikan kemandiriannya. Untuk membuat pemisahan ini, ia bahkan mungkin perlu membuang kontribusi Anda yang berpotensi positif. Rejector menggunakan cara-cara ekstrem, termasuk pindah dari kediaman keluarga, kuliah di tempat yang sejauh mungkin, kadang bahkan seratus persen memutuskan hubungan dengan orangtua mereka. Mereka juga mungkin merasa perlu menolak sebagian besar nilai dan gaya hidup orangtua mereka.10

Metode Dakwah dalam Keluarga

Salah satu peran orang tua dalam lingkungan keluarga adalah berdakwah. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dakwah adalah suatu usaha dengan mengajak dan memotifasi mad’u agar melaksanakan syari’at-Nya dan mengikuti petunjuk-Nya sehingga berubah kearah yang lebih baik dan sempurna serta bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Agar tujuan dakwah bisa tercapai dengan baik, maka dakwah harus disampaikan dengan menggunakan cara yang baik atau yang dikenal dengan istilah metode. Metode barasal dari bahasa Yunani “Methodos” artinya cara, jalan.11 Adapun metode menurut Mustofa Ya’cub adalah langkah- langkah sistematis yang harus ditempuh untuk mencapai suatu tujuan.12

Dengan demikian metode dakwah adalah langkah - langkah yang ditempuh agar ajakan dan motifasi yang dilakukan oleh orang tua secara sistematis agar mad’u ( anak ) melaksanakan syari’at-Nya dan mengikuti petunjuk-Nya sehingga akan terjadi sebuah perubahan kearah yang lebih baik dan bahagia di dunia serta di akhirat. Usaha inilah yang harus dilakukan oleh orang tua kepada anak-anaknya di lingkungan keluarga agar anak mereka mempunyai kepribadian yang mulia dan menarik. Adapun yang dimaksud dengan Kepribadian adalah aktifitas kejiwaan manusia terhadap lingkungan hidup.13 Dengan demikian kepribadian yang menarik adalah aktifitas kejiwaan manusia terhadap

(6)

lingkungan hidup yang membuat orang lain simpati dan senang dengan kepribadian tersebut dan tertarik untuk menirunya.

Adapun metode dakwah sebagaimana tertuang dalam firman Allah surat An-Nahl ayat 125 yaitu : “Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan dengan mauidhoh yang baik dan bantahlah dengan cara yang baik.” (Surat An-Nahl : 125 ).14

Dari ayat diatas disimpulkan bahwa dalam berdakwah ada tiga cara atau metode. Pertama, dakwah bil hikmah (dengan cara bijaksana). Kedua, dakwah bil Mau’idlah hasanah (nasehat yang baik). Ketiga, dakwah bil Mujadalah (dengan berdebat). Ketiga cara ini bisa dilakukan oleh orang tua kepada anaknya untuk membina dan membentuk kepribadian yang mulia dan karakter yang menarik. Ketiga metode ini hendaknya dilakukan secara terus menerus, berkesinambungan dan tidak bisa dipisahkan antara satu metode dengan metode yang lainnya.

1. Da’wah Bil Hikmah (Pelatihan dan Pembiasaan)

Dalam menanamkan nilai-nilai agama orang tua hendaknya Mengajak, menyeru kepada anak-anaknya dengan cara yang hikmah. Sifat Al-hikmah sebagaimana menurut Husein Fadlullah adalah merupakan perpaduan dari unsur Al-kitab (pengetahuan) al-nuran (latihan) dan at-tajribah (Pengalaman). Beliau mengatakan, jelas bahwa kita menganggap orang yang dibekali dengan pengetahuan, latihan dan pengalaman sebagai orang yang bijaksana.15

Membina dan membimbing karakter anak, dalam arti untuk membentuk “positive character” anak sudah menjadi tugas orang tua. Agar positive character terbentuk, maka anak perlu dilatih melalui pembiasaan –pembiasaan berprilaku positive. Cara inilah yang hendaknya dilakukan orang tua agar anak memiliki pengalaman yang baik dalam hidupnya.

Orang tua memiliki peran central dalam membentuk karakter anak-anaknya dengan melatih dan mentradisikan ritual keagamaan serta perilaku-perilaku positif dalam kehidupan sehari-hari sehingga nilai-nilai positif tersebut dapat tertanam kedalam relung-relung jiwa anak yang akan berbuah menjadi amal shalih. Mentradisikan dalam melaksanakan ibadah misalnya seperti shalat, puasa, infaq, dan sadaqah serta mentradisikan nilai-nilai luhur seperti mandiri, amanah, rajin belajar, tanggung jawab, disiplin, peka terhadap lingkungan, menghargai orang lain dan sebagainya, baik di lingkungan keluarga maupun di lingkungan sekitar. Disini, ibadah dan nilai-nilai luhur dapat bersemi dengan suburnya didalam jiwa anak. Kepribadian yang luhur agamis yang membalut jiwa anak menjadikannya insan-insan yang penuh iman dan takwa kepada Allah swt.16

Pembiasaan menjadi cara yang sangat strategis dalam membentuk character anak menjadi karakter yang positif. Dimana, usaha tersebut dilakukan secara terus menerus sampai melekat dalam jiwa anak. Sehingga pada akhirnya kebiasaan tersebut akan terbawa sampai ia dewasa, tua bahkan sampai ia menghadap kepada sang khaliq Allah SWT. Sebagaimana menurut Ahmad Marimba bahwa pembentukan kebiasaan sebagai alat untuk pembentukan selanjutnya, yang bertujuan bahwa akhirnya anak-anak dapat kelak berdiri sendiri secara jasmaniah dan rohaniah. Itulah yang kemudian disebut dengan anak yang sholeh dan sholehah.17

Pembiasaan adalah metode yang sangat strategis sebagaimana menurut Quraisy Syihab bahwa pembiasaan mempunyai peranan yang sangat besar dalam kehidupan manusia, karena dengan kebiasaan, seseorang mampu melakukan hal-hal penting dan berguna tanpa menggunakan energy dan waktu banyak. Dari sini dijumpai bahwa Al-Qur’an menggunakan “pembiasaan” yang dalam prosesnya akan menjadi “kebiasaan” sebagai salah satu cara yang menunjang tercapainya target yang diinginkan dalam

(7)

penyajian materi-materinya. Pembiasaan tersebut menyangkut segi-segi pasif (meninggalkan sesuatu) ataupun aktif (melaksanakan sesuatu).18 Adapun pembiasaan yang menyangkut segi-segi aktif yang harus dibiasakan pada anak diantaranya adalah: a. Dalam hal ibadah. Untuk membentuk pribadi anak yang mulia, maka orang tua

harus melatih dengan mentradisikan atau membiasakan anak-anaknya untuk mengerjakan sholat, melaksanakan ibadah puasa, menunaikan zakat, menginfakkan sebagian rizki, sholat jama’ah, dan sebagainya. Disamping itu orang tua juga harus mengontrol kegiatan yang dilakukan oleh anak sehingga ketika anak melakukan kekeliruan maka orang tua pada saat itu juga bisa meluruskannya.

b. Dalam hal komunikasi dakwah. Anak harus dilatih dan dibiasakan untuk berkumunikasi dakwah dalam kehidupan sehari-hari baik dalam bergaul dengan keluarganya maupun dengan tetangga sekitar. Komunikasi adalah suatu tingkah laku, perbuatan atau kegiatan penyampaian atau pengoperan lambang-lambang, yang mengandung arti atau makna. Atau perbuatan penyampaian suatu gagasan atau informasi dari seseorang kepada orang lainnya. Atau lebih jelasnya suatu pemindahan atau penyampaian informasi, mengenai fikiran, dan perasaan-perasaan.19 Dengan demikian komunikasi dakwah adalah suatu pemindahan,

penyampaian informasi, mengenai fikiran dan perasaan –perasaan yang mengandung nilai-nilai dakwah. Untuk itu orang tua hendaknya menanamkan anak dengan membiasakan berkomunikasi dakwah seperti Selalu mengucapkan salam “Assalamu’alaikum” bila bertemu dengan teman-temannya, lebih-lebih kepada orang tua dan semua anggota keluarganya. Kemudian ketika terjadi sesuatu seperti terkena musibah, kecewa, ketika berjanji, ketika melihat sesuatu yang menakjubkan maka hendaknya orang tua membiasakan anaknya untuk mengucapkan dengan ungkapan seperti ketika berjanji mengucapkan “insyaallah”, ketika terkena musibah seperti kesandung kemudian mengucapkan “innalillah” , ketika kecewa mengucapkan “maasaa Allah”, ketika mendapatkan kenikmatan mengucapkan “Alhamdulillah”. Komunikasi dakwah seperti inilah yang perlu ditanamkan dan dibiasakan pada anak-anak agar mendorong kepada anak-anak untuk ingat kepada Allah dan kalau ingat kepada Allah maka ini akan mendorong ia untuk berbuat baik. Sebaliknya bila anak tidak dibiasakan berkomnikasi dakwah, maka yang timbul adalah bahasa-bahasa kotor seperti kurang ajar, syetan, aduh, cemet dan mungkin nama-nama binatang disebut semuanya. Maka kata-kata seperti ini harus dihindari, sebab kata-kata semacam ini akan menjauhkan anak akan ingat kepada Allah dan mendorong anak untuk berbuat jahat atau buruk. Disamping itu pula orang tua hendaknya membiasakan anak untuk “minta maaf” dan “memberi maaf”.Dalam kehidupan keluarga, kata ma’af harus ditradisikan oleh semua anggota keluarga, utamanya orang tua bila telah melakukan kesalahan kepada anak-anaknya dengan harapan untuk mendidik anak-anaknya agar ketika berbuat salah mereka mau menyadari dan mau minta maaf. Sebagaimana firman Allah yang berbunyi : “ Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka”.20 Orang tua tidak akan menjadi hina meminta maaf kepada anaknya

ketika berbuat salah, justru itu adalah perbuatan yang mulia. betapa mulianya hati orang tua manakala ia mau memulai untuk minta maaf ketika berbuat salah dan ikhlas memaafkan kesalahan anggota keluarga. Saling membuka diri, berkata jujur, dan pengertian adalah pintu-pintu kemaafan yang dapat mengharmoniskan hubungan antara orang tua dan anak dalam keluarga. kata maaf yang keluar dari lubuk hati yang paling dalam dengan disertai dengan tanggung jawab dan semangat

(8)

tinggi untuk memperbaikinya adalah kunci terciptanya hubungan yang harmonis dalam keluarga.

c. Melatih sillaturrahim. Orang tua hendaknya melatih serta mentradisikan anaknya untuk bersillaturrahmi. Saling berkunjung kerumah saudara, kerumah tetangga dan teman-temannya. Dengan demikian anak akan semakin mengenal dengan saudara, tetangga dan teman-temannya dan tercipta hubungan cinta dan kasih sayang diantara mereka. Sillaturrahmi tidak dihanya dilakukan hanya ketika ada kepentingan saja, akan tetapi sillaturrahmi hendaknya dilakukan setiap saat, setiap waktu dan setiap ada kesempatan, tidak membedakan apakah mereka kaya atau miskin, lebih tua atau muda, pejabat atau rakyat, selama ada kesempatan maka silaturrahmi sudah menjadi kewajiban. Kebiasaan ini dilakukan adalah dalam rangka untuk membentuk anak agar senantiasa menjalin hubungan saudara dengan siapapun.

d. Melatih peka terhadap social. Orang tua hendaknya melatih anaknya terhadap persoalan-persoalan sosial disekitarnya seperti menengok orang yang sakit, membantu anggota masyarakat yang tidak mampu, aktif dalam kegiatan-kegiatan social, membuang sampah ditempatnya atau memungut sampah dijalan atau ditempat-tempat umum dan lain sebagainya. Demikianlah beberapa kebiasaan yang bisa dilakukan oleh orang tua dalam rangka membentuk anaknya menjadi anak yang berkarakter mulia. Saya yakin bahwa dengan menanamkan kebiasaan – kebiasaan tersebut akan membentuk character anak menjadi kuat baik jasmani maupun rohaninya. Sebagaimana menurut Ahmad d Marimba bahwa pembentukan kebiasaan sebagai alat untuk pembentukan selanjutnya, yang bertujuan bahwa akhirnya anak-anak dapat kelak berdiri sendiri secara jasmaniah dan rohaniah. Itulah yang kemudian disebut dengan anak yang sholeh dan sholehah.21

Sedangkan pembiasaan yang menyangkut segi pasif artinya hal-hal yang harus ditinggalkan anak diantaranya adalah suka berbohong, minder, pemalu, bersifat agresif, suka membangkang, dan kebiasaan bertengkar . Karakter negative inilah yang harus ditinggalkan dan ditutup dengan karakter-karakter positif sebagaimana tersebut diatas.

2. Da’wah Bil Mauidhoh Hasanah (Dorongan Positif)

Mau’idzatul hasanah mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih sayang dan ke dalam perasaan dengan penuh kelembutan; tidak membongkar atau membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasehati seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.22

Setelah cara pertama dilakukan dengan mengajak, membiasakan dan mentradisikan anak untuk berbuat makruf, beribadah kepada Allah dan membiasakan perilaku positif, maka yang kedua adalah menjelaskan anak, memotovasi, mendorong atau dengan bahasa lain sebagaimana menurut Ahmad d Marimba adalah mengatakan bahwa setelah mentradisikan, membiasakan anak dalam amalan – amalan, baik yang bersifat individu maupun sosial maka setelah itu memberi pengertian/ pengetahuan tentang amalan-amalan yang dikerjakan dan diucapkan. Memberikan nasehat tentang kebiasaan-kebiasaan yang telah ditanamkan kepada anak tentunya dengan cara-cara yang baik, cinta dan penuh kasih sayang.23

Menjelaskan manfaat, keuntungan, dan pahala ketika seseorang berbuat baik dan menjelaskan dampak negative, kerugian, dan sanksi bagi seseorang yang telah melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti misalnya menengok orang sakit. Menjelaskan manfaat menengok orang sakit seperti memberikan dorongan untuk cepat

(9)

sembuh, menunjukkan rasa empati terhadap sesama saudara dan peduli. Kemudian menjelaskan kerugian terhadap perbuatan-perbuatan yang negative misalnya membuang sampah sembarangan. Membuang sampah sembarangan adalah perbuatan yang tercela, mengganggu kebersihan dan bisa menimbulkan bencana banjir karena sampah tersebut menyumbat selokan dan sebagainya. Contoh lainnya dalam hal ibadah seperti puasa. Puasa adalah wajib hukumnya bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, puasa dilakukan dalam rangka untuk menahan lapar dan minum mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Dan yang lebih penting lagi yang perlu disampaikan adalah bahwa inti dari puasa itu adalah menahan hawa nafsu dari berbuat ma’siat kepada Allah dan lain sebagainya inilah contoh pemberian nasehat atau pengertian yang harus dilakukan oleh orang tua setelah pada tahap pertama orang tua sudah membiasakan pada anaknya untuk berpuasa dan begitu seterusnya pada ibadah-ibadah yang lainnya. Oleh karena itu agar pengertina itu bisa dicerna oleh anak dengan baik maka dalam metode ini, orang tua harus pandai-pandai untuk memvisualisasikan nasehat-nasehatnya agar bisa diterima anak dengan baik ‘ dan yang lebih penting lagi adalah nasehat itu disampaikan dalam suasana senang dan bahagia, sehingga pengertian, penjelasan, nasehat-nasehat yang baik dapat masuk kedalam qalbu anak dengan penuh kasih sayang dan kedalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak berupa larangan, tidak menjelek-jelekkan atau membongkar kesalahan-kesalahan anak.24

Dengan metode ini pula orang tua mulai mengisi rohani serta akal fikiran anak dengan nilai-nilai keluhuran dan kemuliaan ajaran-ajaran agama Islam agar setelah dewasa nanti anak akan lahir dan muncul dalam diri dan pribadinya perbuatan – perbuatan yang luhur dan mulia. Dan yang paling penting serta inti dari nasehat itu adalah berupa dorongan bagi anak untuk berprestasi baik dalam bidang intelektual maupun amal. Mengapa dorongan penting bagi anak ? sebab kebanyakan anak merupakan makhluk lamban (seperti juga halnya kebanyakan orang dewasa). Dengan motivasi atau dorongan akan menggerakkan anak untuk bangkit, bekerja keras, untuk melakukan sesuatu.

3. Da’wah Bil Mujadalah (Bertukar fikiran)

Dakwah bil Mujadalah yang sebaik-baiknya artinya bahwa dakwah dilakukan dengan jalan mengadakan tukar pikiran dengan sebaik – baiknya.25 Dalam

menggunakan metode ini orang tua hendaknya memposisikan dirinya sebagai patner diskusi, sebagai teman diskusi yang saling tolong menolong di dalam mencari kebenaran, bukan sebagai lawan yang saling mencari kemenangan. Imam Ghazali dalam Masyhur Amin mensyaratkan antara lain agar orang yang melakukan mujadalah itu, tidaklah beranggapan bahwa yang satu sebagai lawan bagi yang lainnya. Tetapi mereka menganggap bahwa para peserta mujadalah adalah sebagai kawan yang saling tolong menolong di dalam mencari kebenaran.26

Hal ini sebagaimana kisah nabi Ibrahim dengan nabi Ismail yang diabadikan dalam Al-Qur’an surat Ash Shaaffaat ayat 100-102 yang artinya :

“ Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang sholeh(100) Maka kami beri dia kabar gembira dengan dengan seorang anak yang amat sabar (101)maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim. Ibrahim berkata:” Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu !” Ia menjawab:” Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”.(102).27

(10)

Ayat diatas menggambarkan sebuah tukar pikiran antara seorang ayah yang bernama Ibrahim dan putranya yang bernama Ismail, yang sangat disayanginya. Dengan bahasa cinta dan kasih sayang, Ibrahim mengatakan “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu !” Ismail menjawab: Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Ibrahim telah menyampaikan pesan Allah dengan tulus, cinta dan kasih sayang meskipun isinya tentang kabar menyedihkan yakni perintah menyembelih. Namun,karena bahasa yang ia sampaikan adalah bahasa cinta, bahasa hati, maka Ismail pun merespon jawaban dengan bahasa hati, cinta dan kasih sayang pula sehingga keduanya bersepakat akan kebenaran dan kesabaran dan akhirnya keduanya lulus dari ujian allah dan menjadi kekasih Allah.

Setelah anak dibiasakan untuk melakukan amalan-amalan yang baik kemudian diikuti dengan memberikan wawasan pengetahuan tentang amalan – amalan yang dilakukan serta membina rohani, Jiwa, dan akal pikiran kemudian setelah matang jiwa, dan akalnya maka orang tua senantiasa menjadikan anak-anaknya yang sudah dewasa sebagai patner tukar fikiran untuk mencari data-data yang lebih akurat dan mencari informasi yang tepat terhadap setiap persoalan yang dihadapi keluarganya, sehingga masalah yang ada senantiasa dapat terpecahkan dengan baik dan tujuan keluarga dapat tercapai yakni menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah yakni keluarga bahagia dan sejahtera.

Dalam tahapan ini pula orang tua memberikan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan pemahamannya setelah melaksanakan amalan-amalan dan penjelasan pengetahuan yang telah ia terima dari orang tua. Kemudian orang tua tetap memposisikan dirinya sebagai da’I yang selalu siap untuk beradu argumen dengan mad’u yang dalam hal ini adalah anaknya. Dalam tahapan ini pula orang tua harus terbuka dan tidak boleh bersikap otoriter sehingga ketika dalam perjalanannya tidak bisa memberikan argumen yang tepat, maka ia harus mengakui kekurangan dirinya dan akan selalu belajar bersama-sama untuk kebaikan bersama pula. Bukan malah sebaliknya menyalahkan anaknya, memarahinya tanpa ada dasar yang kuat. Ini harus dihindari sebab dasar dari metode ini adalah untuk mencari kebenaran bukan kemenangan. Cara inilah yang disebut dengan cara bil Mujadalah atau berdebat dengan cara yang baik.

Tiga metode dakwah diatas manakala bisa dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan penuh semangat maka dimasa yang akan datang akan lahir generasi-generasi yang kuat, kokoh yang siap dalam menghadapi berbagai macam bentuk tantangan yang menghadangnya. Dan orang tua tentunya akan senang, bahagia dan menjadi orang tua yang berhasil, yang akan selalu dikenang oleh anak-anaknya sepanjang hidup.

Orang Tua Sebagai Da’i

Agar ajakan orang tua terhadap anak-anaknya bisa efektif dan diterima anak dengan senang hati tanpa ada beban dan anak tidak merasa tertekan, maka orang tua hendaknya berpegangan pada sepuluh (10) kaidah bimbingan bagi da'i. Menurut Jum’ah Amin Abdul ‘Zis ada sepuluh kaidah bimbingan untuk da’I dalam hal ini adalah orang tua. Pertama, Memberikan keteladanan sebelum berdakwah. Kedua, mengikat hati sebelum menjelaskan. Ketiga,mengenalkan sebelum member beban.Keempat,Bertahap dalam Pembebanan. Kelima, memudahkan bukan menyulitkan. Keenam, yang Pokok sebelum yang cabang. Ketujuh, membesarkan hati sebelum member ancaman.

(11)

Kedelapan,memahamkan bukan mendikte. Kesembilan, mendidik bukan menelanjangi. Kesepuluh,muridnya guru bukan muridnya buku.28

Pertama adalah memberi keteladanan sebelum berdakwah. Keteladanan itu yang pertama. Seorang anak harus memperoleh teladan yang baik sejak dini dalam keluarganya, terutama dari kedua orang tuanya, agar dasar-dasar Islam meresap sejak masa kanak-kanak, sehingga mewarnai pertumbuhan pribadinya menjadi pribadi yang mulia dan berkharakter. Kadang-kadang kita jumpai orang tua yang menghendaki anaknya baik, shaleh akan tetapi mereka tidak menghiraukan dirinya bahkan kadang-kadang dengan mudahnya memerintahkan anaknya seperti’ sana ke masjid sholat jama’ah, sementara mereka duduk-duduk sambil merokok dengan santainya. Atau menyuruh anak menjaga kebersihan namun ia membuang abu rokok seenaknya sendiri. Ini menandakan bahwa orang tua belum mampu memberikan keteladanan dengan baik. Padahal ketika kita menginginkan anak shaleh, maka kita harus sholeh terlebih dahulu” sesuai dengan slogan “

Ashlih nafsaka wad’u ghairaka ( perbaiki dirimu, kemudian ajaklah orang lain).29 maka disinilah pentinya ada sinergi antara ucapan dan perbuatan, konsisten antara ilmu dan amal. Jadi da’I dalam hal ini orang tua sebelum mengajak anak-anaknya melakukan kebaikan maka, orang tua harus memberi contoh terlebih dahulu. Sebab nasehat yang dikemukakannya itu tidak banyak manfaatnya jika tidak dibarengi dengan contoh teladan dari pemberi atau penyampai nasehat.

Kedua adalah mengikat hati sebelum menjelaskan.Rasulullah saw adalah sosok pribadi yang diutus oleh allah sebagai rahmah bagi semesta alam. Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam.30 Demikian itu karena jiwa manusia secara fitrah mencintai orang yang bersikap baik kepadanya dan membenci orang yang bersikap buruk kepadanya. Dan seorang da’I yang bijaksana adalah mereka yang diberi taufik oleh Allah untuk melihat hati-hati manusia yang tertutup, kemudian berupaya membukanya dengan lemah lembut dan berinteraksi dengan penuh kasih sayang dan berusaha menghadirkan perasaan cinta dalam berbicara dengan objek dakwah (anak). Dengan itulah maka hati yang keras akan menjadi lunak, jiwa yang penuh dengan maksiat menjadi istiqamah dalam kebaikan. Karena apa saja yang berasal dari hati itu akan sampai ke hati, dan apa saja yang keluar dari lisan akan masuk telinga. Maka tugas sebagai orang tua adalah mengambil hati anak dengan bahasa hati terlebih dahulu kemudian memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam diri anak, sehingga anak akan menerimanya dengan tulus tanpa ada beban ataupun tuntutan dari orang tua dan akhirnya anak mengamalkan ajaran tersebut sebagai suatu kebutuhan bukan sebagai beban atau tuntutan.

Ketiga adalah mengenalkan sebelum memberi beban. Fase pengenalan merupakan fase terpenting dalam dakwah, karena apabila seorang da’I (orang tua) baik dalam mengemukakan awal dakwahnya berupa pengenalan, maka hati manusia akan terbuka untuk menerimanya dan mereka menjadi senang untuk melaksanakannya.oleh karena itu, fase ini memerlukan uraian agak rinci. Pengenalan adalah penting bagi anak, karena anak akan melakukan sesuatu manakala ia sudah mengenalnya, setelah anak mengenal biasanya anak akan melakukannya dengan senang hati.

Keempat adalah bertahap dalam pembebanan. Pekerjaan yang berat dan paling sulit di antara yang sulit adalah aktifitas dakwah, bimbingan dan pembinaan. Hal itu tidak lain karena aktivitas dakwah, pembinaan ini merupakan pekerjaan yang di dalamnya terdapat interaksi dengan jiwa manusia dengan berbagai ragamnya. Dikatakan sulit, karena jiwa-jiwa yang beragam itu masing-masing mempunyai tabiat yang khusus dan spesifik. Dari situlah diperlukan cara yang khusus pula untuk membina dan memperbaikinya. Oleh karena itu, Rasulullah Saw. Memberikan jalan keluar yang berbeda kepada setiap orang, dan mengarahkannya sesuai dengan tingkat kemampuan dan kecendrungannya. Demikian

(12)

juga, jiwa manusia biasanya cendrung untuk bengkok, menyimpang, dan berbuat maksiat, sehingga apabila kamu mencoba langsung memperbaiki jiwa itu secara frontal, berarti kamu telah membenturkan diri dengannya. Karena itu, setiap da’I wajib bersikap lemah lembut dan melakukan pendekatan serta terapi secara bertahap. Dan juga harus mengenal dengan baik pintu-pintu untuk memasuki jiwa tersebut. Ini merupakan sunnatullah dalam kancah dakwah. Contoh sederhana dalam memberikan beban ibadah kepada anak secara bertahap seperti ibadah puasa misalnya dimana, orang tua melatih anaknya secara bertahap mulai dari puasa dzuhur, kemudian puasa asar hingga akhirnya sehari penuh sampai maghrib. Jadi dalam contoh ibadah ini orang tua tidak langsug menyuruh anaknya berpuasa sehari penuh itu tidak, karena bagi anak itu akan terasa berat tetapi membimbing dan melatih mengamalkan ajaran agama secara bertahap itu akan terasa ringan dan mudah.

Kelima adalah memudahkan bukan menyulitkan. Dengarkanlah apa yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, dari Nabi Saw. Beliau bersabda, “ Permudahlah, jangan dipersulit, besarkan hati jangan membuat orang lari”. Imam Nawawi berkata, “Andaikan Rasulullah hanya menyebutkan “permudahlah..” maka beliau akan membenarkan tindakan orang untuk mempermudah sekali, tetapi selanjutnya dia juga banyak mempersulit”. Hal itu untuk menghindari sikap mempersulit dalam semua keadaan. Demikian juga sabda Rasulullah,”. Dan janganlah kalian membuat mereka lari.” Artinya menghibur atau membuat gembira orang-orang yang diharapkan keislamannya, bukan malah membuat mereka lari dari Islam, dan tidak bersikap keras kepada mereka di awal keislamannya. Demikian juga dalam melarang dari kemaksiatan, sebaiknya dilakukan dengan lemah lembut agar bisa diterima. Dalam mengajarkan ilmu hendaknya bertahap, karena segala sesuatu kalau pada awalnya terasa mudah dan menyenangkan, orang akan berminat untuk masuk lebih jauh dan menerima dengan enak. Bahkan seringkali dengan kesadaran sendiri dia akan minta tambah. Berbeda dengan sikap sebaliknya.31Setiap orang tua wajib melihat anaknya dengan jiwa dan pandangan seorang da’i yang penuh kasih sayang, rendah hati, dan pemaaf. Dia senantiasa mengharap kebaikan atas diri anaknya. Mengajak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh anaknya tanpa memaksakan kehendak di luar kemampuan anaknya.

Keenam adalah yang pokok sebelum yang cabang. Dalam menyampaikan dakwahnya seorang da’I wajib memulai dari yang pokok dengan metode yang mudah dipahami oleh objek dakwahnya, sehingga pesan dakwah bisa sampai kepada mereka. Dia ibarat air yang menyegarkan, setelah sekian lama mereka merasa kehausan, dan menenangkan jiwa setelah sekian waktu mereka mengalami kebingungan, serta meluruskannya setelah mengalami penyimpangan.32 Misalnya tentang hakekat Ketuhanan, yaitu dengan mengenalkan manusia kepada Tuhannya dengan secara rinci dan menyeluruh, mengenalkan kepada mereka Dzat-Nya dan sifat-sifat-Nya, mengenalkan tentang sifat-sifat Ketuhanan yang membedakan antara Dia dari hamba-hamba-Nya, sebagaimana mengenalkan kepada mereka tentang pengaruh Allah terhadap alam semesta dan atas diri manusia khususnya. Disinilah peran orang tua yang pertama dan paling utama terhadap anak untuk senantiasa memperkokoh bangunan diri anaknya dengan ketauhidan atau keimanan yang kokoh sebagai pondasi rumah dan akar tumbuhan yang kuat agar tidak mudah goyah ketika diterpa angin kemaksiatan yang senatiasa mengguncang dan merobohkan keimanan.

Ketujuh adalah membesarkan hati sebelum memberi ancaman. Seruan untuk berbuat kebaikan, melaksanakan ketaatan dan beristiqamah di atas perintah Allah dan amal saleh yang sangat ditekankan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Semua itu didahului dengan berbagai janji dan kabar gembira yang banyak baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, setiap da’I wajib mendahulukan kabar gembira (bisyarah atau targhib) sebelum

(13)

ancaman (tarhib).33 Sebagai contoh, orang tua semestinya terlebih dahulu memberikan kabar gembira kepada anak untuk beramal dengan ikhlas, sebelum dia memberi ancaman kepadanya tentang bahaya riya’, memberi dorongan untuk menyebarkan ilmu sebelum memberi peringatan kepada mereka tentang besarnya dosa menyembunyikan ilmu dan member dorongan kepada mereka untuk melaksanakan sholat pada waktunya sebelum memberikan peringatan tentang besarnya dosa meninggalkan sholat. Demikianlah seterusnya, karena mendahulukan kabar gembira (targhib) itu lebih bermanfaat daripada mendahulukan ancaman (tarhib) dalam setiap pembicaraan. Demikian juga orang tua hendaknya memberikan kabar gembira dengan memberikan motivasi dalam setiap menanamkan aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh anaknya.

Kedelapan yaitu memahamkan bukan mendikte.Tugas seorang da’I dalam hal ini orang tua adalah memberikan pengertian terhadap berbagai ajaran yang tertuang di dalam Al-Qur’an dan hadis dengan cara yang hikmah sampai mereka mengerti terhadap apa yang ia lakukan dan ketika anak sudah mencapai dewasa orang tua hendaknya membuka lebar pintu dialog. Bukan malah sebaliknya dengan mendekte anak untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak orang tua. Ini akan menjadi beban berat bagi anak yang justru anak menjadi malas dan berbuat sekehendak hatinya.

Kesembilan mendidik bukan menelanjangi. Secara alami, jiwa manusia mencintai siapa saja yang berbuat baik kepadanya, dan membenci siapa saja yang berbuat buruk kepadanya. Karena itu, setiap da’I harus memasuki jiwa manusia itu dari pintu “ kebaikan” bukan dari pintu “keburukan”. Tugas dakwah adalah tugas membimbing, bukan tugas yang bersifat bisnis, yang berorientasi pada untung materi bagi diri sang da’i. karenanya, seorang da’I harus bersih dari sikap sok pandai, sikap sok intelek, cinta popularitas, ambisi kepemimpinan dan keinginan-keinginan nafsu lainnya.34 Orang tua tidak boleh mencaci, melaknat dan mengusir anaknya yang berbuat buruk. Atau bahkan mengumumkannya dihadapan anak-anaknya yang lain dan menghinanya dengan kata-kata yang kasar akan tetapi tugas dakwah orang tua adalah dengan penuh cinta dan kasih sayang mengingatkan, mengarahkan dan membina agar senantiasa berada dalam kebaikan.

Kesepuluh ialah muridnya Guru bukan muridnya buku. Diantara kesalahan paling mendasar yang dilakukan sebagian da’I muda adalah mengambil nash-nash Al-Qur’an maupun hadis secara langsung dan berguru hanya kepada buku, tanpa mau merujuk pada orang alim yang membidangi hal itu.35 Atau merujuk pada seorang da’I yang ahli, yang bisa menjelaskan kepadanya tentang kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi, berupa pemahaman dan segala sesuatu yang tidak dipahaminya. Disini orang tua jangan pernah berhenti untuk belajar dan terus belajar kepada ulama-ulama agar senantiasa bertambah ilmunya memiliki wawasan yang luas sehingga bisa lebih luas dan kaya akan strategi dalam membina, membimbing dan mengarahkan putra putrinya.

Penutup

Salah satu peran dan tugas orang tua adalah berdakwah. Dakwah adalah tugas yang suci dan kewajiban yang mulia bagi setiap orang tua. Baik-buruknya akhlak anak adalah tergantung bagaimana usaha orang tua. Bila orang tua menyadari tanggung jawabnya dan melaksanakan tanggung jawab yang mulia, maka mereka akan melihat anak-anaknya menjadi anak yang sholeh – sholikhah serta akan menjadi generasi yang kuat dan berkharakter.

Ada tiga metode dakwah yang bisa dilaksanakan oleh orang tua dalam membangun kharakter anak dan memiliki berkepribadian mulia. Pertama, dengan cara hikmah (Membiasakan anak), Kedua, dengan cara mau’idhoh hasanah ( memberikan nasehat dengan memberikan dorongan, pengertian, penjelasan dan mengisi rohani anak ) Ketiga,

(14)

dengan Mujadalah yang baik ( tukar fikiran dengan cara yang baik) untuk mencari solusi yang paling baik, akurat dan valid. Ada sepuluh kaidah dakwah untuk pegangan bagi para orang tua sebagai acuan dalam berdakwah kepada anak sehingga ajakan dan bimbingannya akan diterima dengan senang hati tanpa ada tekanan dan beban sedikitpun insya Allah Amin.

ENDNOTE

1Asmuni Syukir , Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Penerbit Al-Ikhlas 1983), hlm.

20.

2Sutirman Eka Ardana:Jurnalistik Dakwah, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar 1995), hlm.

10-11.

3Dzikron Abdullah, Metodologi Dakwah,(Semarang: Penerbit Fakultas Da’wah IAIN Walisongo

1989), hlm.7.

4M. Shulton Desain Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar 2003), hlm. 9.

5Hafi Anshari. Pemahaman dan Pengalaman Dakwah, (Jakarta: Penerbit Al-Ikhlas 1993), hlm. 73. 6 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan

Masyarakat,(Bandung: Penerbit Mizan 2000), hlm. 255.

7Syaiful Bahri Djamarah.Op.Cit. 2004. hlm 28.

8Ahmad d Marimba Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT,. Al-Ma’arif 1964), hlm

83-84.

9 Jim Taylor, Positive Pushing How to Rise A Successful and Happy Childrenemberi Dorongan

Positif pada Anak agar Anak Berhasil dalam Hidup, Terj. Rina Buntaran, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama 2002), hlm 167.

10Ibid., hlm 168-174.

11Dzikron Abdullah,Op.Cit. hlm 3-4.

12Musctafa Ya’kub: Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus1997), hlm

124.

13Toha Yahya Umar : Islam dan Dakwah, (Jakarta: P.T Mawardi Prima 2004), hlm 127. 14Mashadi (Editor) Depag RI, (Semarang: Penerbit CV Toha Putra 1989), hlm 421.

15Husein Fadlullah Uslub ad Dakwah fi Al-Qur’an. Terj. Tarmani Ahmad Qasim. Metode Dakwah

Dalam Al-Qur’an.(Jakarta: Penerbit PT Lentera Basritama 1997), hlm . 42.

16 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga,(Jakarta:

Penerbit Rineka Cipta 2004), hlm. 20.

17Ahmad d Marimba. Op.Cit. 1964. hlm. 85. 18Quroish Shihab, Op.Cit, 2003. hlm 198.

19James G. Robbins, Barbara S. Jones Efective Communication for To Day’s Manager, Terj. R.

Turman Sirait, Komunikasi Yang Efektif, (Jakarta: C.V Pedoman Ilmu Jaya, 1995), hlm .1.

20Mashadi dkk.(Editot), Op.Cit, (Q.S : 3: 135) 21Ahmad d Marimba. Op.Cit. 1964. hlm. 85.

22Munzier Suparta, Harjani Hefni (Editor), Metode Dakwah, (Jakarta: Penerbit Rahmat Semesta,

2006), hlm. 17.

23Ahmad d Marimba. Op.Cit. 1964. hlm. 77. 24M. Husein Fadlullah . Op.Cit. 1997. hlm. 50. 25Dzikron Abdullah, Op.Cit 1989, hlm 27.

26Masyhur Amin Dakwah Islam dan Pesan Moral, (Jakarta: Penerbit Al-Amin Press,1997). Hlm. 22 27Mashadi (Editor)Op.Cit. (Q.S. 37: 23), hlm. 100-102.

28Jum’ah Amin Abdul ‘Zis, Ad-Da’wah, Qawaid wa Ushul, Terj. Abdus Salam Maskur, Fiqih

Dakwah (prinsip dan kaidah asasi Dakwah Islam) (Surakarta: Penerbit Intermedia 2005), hlm 175.

29Ibid.. hlm.176.

30Mashadi (Editor) Op.Cit. (Q.S. 21:107) hlm. 508. 31Ibid., hlm.325-326.

32Ibid., hlm.337-338. 33Ibid., hlm. 348. 34Ibid., hlm. 369. 35Ibid., hlm. 384.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Marimba, Ahmad. 1964. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Al-Ma’arif. Yaqub, Ali Mustafa. 1997. Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: PT Pustaka

Firdaus.

Syukir, Asmuni. 1983. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam.Surabaya: Penerbit Al-Ikhlas. Abdillah, Dzikron. 1989. Metodologi Dakwah. Semarang: Penerbit Fakultas Da’wah IAIN

Walisongo.

Umar, H.M. Toha Yahya. 2004.Islam dan Dakwah, Jakarta: P.T Mawardi Prima.

Anshari, H.M Hafi. 1993. Pemahaman dan Pengalaman Dakwah, Jakarta: Penerbit Al-Ikhlas.

Amin, H.M. Masyhur. 1997. Dakwah Islam dan Pesan Moral, Jakarta: Penerbit Al-Amin Press.

Robbins, James G dan Jones, Barbara S. 1995. Efective Communication for To Day’s Manager, Terj.R. Turman Sirait, Komunikasi Yang Efektif, Jakarta: C.V Pedoman Ilmu Jaya.

Taylor, Jim. 2002. Positive Pushing How to Rise A Successful and Happy Childrenemberi Dorongan Positif pada Anak agar Anak Berhasil dalam Hidup, Terj. Rina Buntaran. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Shulthon, M. 2003.Desain Ilmu Dakwah. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.

Suprata, Munzier. dan Hefni, Harjani (Editor). 2006. Metode Dakwah. Jakarta: Penerbit Rahmat Semesta.

Fadlullah, Muhammad Husein. 1997. Uslub ad Dakwah fi Al-Qur’an. Terj. Tarmani Ahmad Qasim. Metode Dakwah Dalam Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit PT Lentera Basritama.

Shihab, Quraisy. 2003. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Penerbit Mizan.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak Dalam Keluarga.

Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Referensi

Dokumen terkait

Lajunya pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertambahan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), sehingga tingkat perkembangan PDRB

Karema lalu menatap kedua wajah kedua orang yang disayanginya itu sambil berkata, “Tahukah kalian apa yang akan terjadi apabila tongkat kalian berdua tidak sama lagi ukurannya

Sebelum dilakukan eksperimen untuk mendapatkan suhu pengeringan yang optimum, dibuat sampel batako dengan menggunakan suhu pengeringan alami (36°C) yang akan

Kekuatan pembuktian materil akta dibawah tangan menurut Pasal 1875 K.U.H.Perdata, oleh orang terhadap akta itu digunakan atau yang dapat dianggap diakui

Karena pada umumnya masyarakat kalangan bawah hanya bisa menikmati bangku sekolah sampai Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP). Tak bisa dipungkiri,

Teori Sinyal dan Efisiensi pasar merupakan petunjuk bahwa volatilitas harga saham yang berpengaruh terhadap return saham berasal dari tarik menarik kepentingan antara

Jika anda memberi tanda ( √ ) pada skala sebelah kanan, maka artinya adalah dalam memilih pasar modern yang akan dikembangkan lokasi 4 tingkat lebih penting dari pada

3HQGLGLNDQ DGDODK XVDKD VDGDU GDQ WHUHQFDQD XQWXN PHZXMXGNDQ VXDVDQD EHOD MDU GDQ SURVHV SHPEHODMDUDQ DJDU SHVHUWD GLGLN VHFDUD DNWLI PHQJHPEDQJNDQ SRWHQVL GLULQ\D XQWXN