• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERNALISASI PEMAHAMAN HAIDH SANTRI DI MAJELIS TA’LIM DA’WATUL HASANAH KEPUHKIRIMAN WARU SIDOARJO : STUDI ANALISIS KAJIAN KITAB RISALATUL MAHIDH KARYA KH. MASRUHAN IHSAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "INTERNALISASI PEMAHAMAN HAIDH SANTRI DI MAJELIS TA’LIM DA’WATUL HASANAH KEPUHKIRIMAN WARU SIDOARJO : STUDI ANALISIS KAJIAN KITAB RISALATUL MAHIDH KARYA KH. MASRUHAN IHSAN."

Copied!
124
0
0

Teks penuh

(1)

INTERNALISASI PEMAHAMAN HAIDH SANTRI DI MAJELIS TA’LIM DA’WATUL HASANAH KEPUHKIRIMAN WARU SIDOARJO

(STUDI ANALISIS KAJIAN KITAB RISALATUL MAHIDH

KARYA KH. MASRUHAN IHSAN)

SKRIPSI

Oleh:

MAULIDYA AGUSTINI NIM. D01212087

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPELSURABAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Nama : Maulidya Agustini

Judul : Internalisasi Pemahaman Haidh Santri di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo (Studi Analisis Kajian Kitab Risalatul Mahidh karya KH. Masruhan Ihsan)

Pembimbing : Yahya Aziz, M.Ag

Kata Kunci : Internalisasi Pemahaman Haidh, Kajian Kitab Risalatul Mahidh

Internalisasi pemahaman haidh terhadap santri yang di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah di Desa Kepuhkiriman Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo

melalui kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH. Masruhan Ihsan adalah suatu upaya yang dilakukan untuk memberikan pemahaman secara mendalam tentang haidh dan hukumnya, karena pada kenyataannya, banyak anak perempuan yang kurang memahami tentang haidh dan hukumnya, sedangkan materi yang diterima di sekolah tentang haidh juga masih dikatakan sederhana, artinya masih banyak yang perlu dijelaskan secara lebih lengkap kembali. Kajian yang dilakukan ini diharapakan mampu memberikan pemahaman kepada santri untuk lebih memahami tentang haidh dan hukumnya. Sehingga dalam praktiknya mereka tidak akan menganggap haidh sebagai hal yang merupakan kodrat bagi wanita.

Adapun masalah yang menjadi pembahasan dari skripsi ini adalah: 1) Apa sajakah materi yang terdapat dalam kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan?, 2) Alasan apakah yang mendasari sehingga kitab ini dijadikan sebagai referensi utama dalam upaya internalisasi pemahaman haidh santri di Majelis

Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo?, 3) Bagaimana internalisasi pemahaman materi haidh santri di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo melalui kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan?. Adapun tujuan dari penulisa skripsi ini adalah untuk mengetahui: 1) Apa materi yang terdapat dalam kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan, 2) Alasan apakah yang mendasari sehingga kitab ini dijadikan sebagai referensi utama dalam

upaya internalisasi pemahaman haidh santri di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah

Kepuhkiriman Waru Sidoarjo, 3) Bagaimana internalisasi pemahaman meteri haidh

santri di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo melalui

kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan.

(6)

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... ii

PENGESAHAN TIM PENGUJI SKRIPSI ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 1

C. Tujuan Penelitian ... 1

D. Manfaat Penelitian ... 1

E. Ruang Lingkup Penelitian ... 1

F. Definisi Operasional ... 1

G. Sistematika Pembahasan ... 1

(7)

1. Pengertian Haidh ... 2. Cara Bersuci dari Haidh ...

3. Lama Masa Haidh ... 2

4. Hal-Hal yang Tidak Boleh Dilakukan ketika Haidh ... 2

C. Pengertian Majelis Ta’lim ... 2

D. Kajian Kitab ... 3

1. Pengertian Kajian Kitab ... 3

2. Pengertian Kitab Kuning ... 3. Contoh-Contoh Kitab Kuning ... 4

4. Metode Kajian Kitab ... BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Pendekatan Penelitian ... 2

B. Instrumen Penelitian ... 2

C. Sumber Data ... 2

D. Teknik Pengumpulan Data ... 2

E. Teknik Analisis Data ... 3

(8)

1. Materi yang terdapat dalam kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan ... 3 2. Alasan yang mendasari sehingga kitab ini dijadikan sebagai

referensi utama dalam upaya internalisasi pemahaman haidh

santri di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman

Waru Sidoarjo ... 23 3. internalisasi pemahaman materi haidh santri di Majelis Ta’lim

Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo melalui

kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan 24 C. Analisis Hasil Penelitian ... 27

BAB V PENUTUP

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan berasal dari kata “didik” dengan memberinya awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti “perbuatan” (hal, cara dan

sebagainya). Istilah pendidikan ini semula berasal dari bahasa Yunani, yaitu paedagogi, yang berarti bimbingan yang diberikan kepada anak. Istilah ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Ingggris dengan education yang berarti pengembangan atau bimbingan. Dalam bahasa Arab istilah ini sering diterjemahkan dengan tarbiyah yang berarti pendidikan.

Dalam perkembangannya, istilah pendidikan berarti bimbingan atau pertolongan yang diberikan dengan sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental.1

Ketika pendidikan dipahami sebagai segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia, serta sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia yang seutuhnya sesuai dengan

1

(10)

2

maksud Allah dan rasulNya, maka konsep manusia seutuhnya dalam pandangan Islam dapat diformulasikan secara garis besar sebagai pribadi muslim, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki berbagai kemampuan yang teraktualisasi dalam hubungannya dengan Tuhan, sesama manusia dan lingkungan secara baik, positif dan konstruktif.2

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Firman Allah Swt. dalam surah an-Nisa’ ayat 9









































Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.

Dari ayat di atas bisa kita pahami sebuah kesimpulan bahwa Allah tidak memperkenankan kepada kita untuk meninggalkan keturunan (anak-anak) yang lemah dan kesejahteraannya pun sungguh menghawatirkan. Kondisi seperti ini bisa diatasi dengan jalan memberikan sebuah pendidikan layak bagi anak-anak. Bukan berarti pendidikan yang dilakukan secara serta merta sebagai langkah awal untuk mencapai

2

Ahmad Yusam Thobroni, dkk, Tafsir dan Hadits Tarbawi: Buku Perkuliahan Program

(11)

3

kesejahteraan secara materi, tetapi lebih dikhususkan untuk mencapai kesejahteraan rohani. Artinya dengan memberikan pendidikan yang cukup kepada anak-anak, secara tidak langsung orang tua telah memberikan bekal kepada anak-anaknya dalam menjalani kehidupannya.

Oleh karena itu, fungsi pendidikan islam sudah cukup jelas, yaitu memelihara dan mengembangkan fitrah dan sumber daya manusia menuju terbentuknya manusia yang sempurna. Maka yang dimaksud dengan pendidikan perempuan dalam islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah perempuan sebagai manusia yang seutuhnya sesuai dengan maksud Allah dan Rasulnya.3

Berbicara tentang pentingnya sebuah pendidikan, tidak kita ragukan bahwa pendidikan memang memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan fitrah (karakter) seseorang. Demikian dengan perempuan, setiap peremupan memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan yang diperoleh anak perempuan akan menjadi bekal bagi mereka untuk menjalani kehidupan di masa depan, serta akan membantu pembentukan fitrah bagi seorang perempuan. Jika kita kembali kepada sejarah masa lalu, akan timbul pertanyaan, mengapa pendidikan perempuan memiliki peran yang penting dalam pembentukan fitrah perempuan seutuhnya?. Pada masa sebelum islam, kedudukan seorang

3

(12)

4

perempuan (di Arab khususnya) ditentukan oleh dua hal, pertama, sebagai seorang perempuan yang hidup di alam serba keras untuk menunaikan tugas khusus. Kedua, sebagai tuntutan hidup dengan kondisi alam serba primitive (badui), peperangan yang sering berkecambuk, merampas harta musuh, membagikan ghanimah (harta rampasan perang) dan yang lain sebagainya, sedangkan perempuan tidak dapat ikut serta.4

Sehingga dari situlah masyarakat Arab memiliki beberapa bentuk kesalahan terhadap perempuan. Adapun kesalahan mereka adalah:

1. Tidak menghargai kedudukan perempuan

2. Tidak ada kesetaraan antara anak laki-laki dan perempuan dalam ruang lingkup keluarga, bahkan antara suami istri

3. Harga diri perempuan ternodai.5

Bahkan yang lebih miris yang telah jauh kita ketahui tentang perilaku kebiasaan masyarakat Arab sebelum Islam adalah mereka rela mengubur anak perempuannya hidup-hidup hanya untuk menutupi aib keluarga mereka dengan lahirnya anak perempuan dalam keluarganya tersebut. Karena bagi mereka (bangsa Arab pra Islam), lahirnya anak perempuan dalam sebuah keluarga merupakan aib bagi keluarga mereka.

4 Su’ad Ibrahim Shalih,

Fiqh Ibadah Wanita, (Jakarta: AMZAH, 2011), h.19

5

(13)

5

Pengakuan terhadap kedudukan perempuan baru diakui setelah munculnya Islam. Pada masa ini, kedudukan wanita diakui, segala bentuk kehinaan dan penindasan masa lalu dihilangkan, segala haknya dikembalikan. Bahkan Islam memberikan kepada perempuan hak-hak yang sama dengan laki-laki, termasuk hak ekonomi dengan adanya bagian dari warisan untuk para perempuan, serta hak sosial sebagaimana hak ibadah.6

Selain dua hak tersebut, para perempuan juga memiliki hak-hak yang harus mereka dapatkan. Adapun hak-hak tersebut antara lain:

1. Hak dalam bidang politik

Disini yang dimaksud adalah perempuan memiliki hak bekerja sama dengan laki-laki dalam hal amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga perempuan hendaknya mampu mengikuti perkembangan masyarakat agar mereka mampu melihat dan memberi saran (nasihat) dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam kehidupan politik.

2. Hak dalam memilih pekerjaan

Wanita memiliki hak untuk bekerja selama pekerjaan itu membutuhkannya atau mereka membutuhkan pekerjaan itu. Mereka boleh aktif dalam berbagai bidang, baik di dalam

6

(14)

6

rumah ataupun di luar rumah, baik sendiri ataupun bersama orang lain. Namun yang menjadi batasannya adalah para perempuan tersebut tetap harus dalam koridor Islam, terhormat, sopan dan bisa memelihara agamanya dan mampu menghindari dampak-dampak negative dari pekerjaannya tersebut baik terhadap diri maupun lingkungannya.

3. Hak dan kewajiban menuntut ilmu (belajar)

Hak dan kewajiban menuntut ilmu sesuai dengan wahyu pertama yang ditujukan kepada Rasulullah saw, yaitu surah

al-‘Alaq ayat 1-5.

Ayat tersebut bisa kita pahami sebagai firman Allah yang menerangkan bahwa menimba ilmu tidak dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Mereka diperintahkan menuntut ilmu setinggi dan sebanyak mungkin.

(15)

7

pun yang ingin diketahuinya, sesuai dengan keinginan dan kecenderungan mereka masing-masing.7

Mengacu kepada yang telah disebutkan di atas, bahwa perempuan juga memiliki hak bahkan kewajiban untuk menunutut ilmu. Maka tidak salahnya kita membrikan pendidikan yang layak kepada mereka. Kita berkewajiban memberikan kepada mereka kesempatan untuk mempelajari hal-hal yang memang sangat penting untuk mereka ketahui, mereka kaji, dan mereka pahami. Adapun salah satu ilmu yang wajib mereka (perempuan) pelajari dan pahami adalah tentang masalah haidh.

Disebutkan dalam firman Allah surah Al Baqarah (2) : 222 yang berbunyi:











































































Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah

7

Atiqah Hamid, Buku Lengkap Fiqh Wanita, (Jogjakarta: DIVA Press, 2014), cet. Ke-5,

(16)

8

kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.

Dan juga sebuah hadits yang telah dinilai shahih:

Artinya: “Bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy pernah beristihadlah lalu Rasulullah Saw bersabda kepadanya: “Sungguh darah itu dikenal dengan darah hitam, maka jika terjadi demikian, untuk sementara berhentilah shalatnya, dan jika ada (keluar darah lain itu), maka segeralah berwudhu, melakukan sholat.” (HR Abu Daud, an-Nasa’I, dinyatakan shahih oleh Ibnu Hiban, berbeda dengan Abu Hatim yang mengangganpnya mungkar.)”8

Dalam ayat tersebut terdapat kalimat



.yang artinya Haidh

itu adalah sebuah kotoran. Bukan berarti kotoran yang harus dijauhi. Tetapi kondisi yang menyebabkan mereka tidak diperbolehkan (diharamkan) untuk melakukan ritual-ritual peribadatan yang biasa mereka

8

Al Hafiedh dan Ibnu Hajar al-Asqalani, Terjemah Bulughul Maram, diterjemahkan oleh

(17)

9

lakukan, seperti halnya sholat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas, puasa, ataupun membaca al-qur’an. Dalam kondisi seperti ini pula, seorang perempuan yang telah menikah tidak diperbolehkan untuk

melakukan hubungan suami istri (jima’). Hal inilah yang menyebabkan mempelajari masalah haidh hukumnya wajib „ain bagi setiap wanita. Selain itu, kondisi seperti di atas lah yang menjadikan mereka harus memahami masalah haidh ini, tetapi masih banyak hal-hal yang menjadikan mereka harus lebih memahami masalah haidh ini, sepertinya halnya menjaga sikap dalam bergaul dengan lawan jenis. Kondisi seperti inilah yang menyebabkan pemahaman akan materi haidh itu penting, terutama bagi mereka para remaja putri.

(18)

10

orang-orang tersebut pada umumnya tidak memperhatikan, tidak mau belajar, atau belum diberi pelajaran oleh gurunya.9

Oleh karena itu, kaum wanita wajib belajar hukum haidh, nifas dan istihadloh. Sebagai bekal moral mereka dalam bergaul bagi mereka yang belum menikah ataupun sudah menikah. Dan apabila sudah mempunyai suami, dan suaminya telah tahu tentang hukum-hukum masalah haidh, nifas dan istihadhoh ini, maka wajib mengajarkan kepada istrinya. Tapi apabila suami tidak tahu, maka istrinya wajib belajar pada orang yang mengetahui tentang hukum tersebut dan tidak dibenarkan (haram) bagi suami untuk mencegah istrinya yang ingin mempelajari hukum tersebut, kecuali apabila suaminya yang mau belajar dan kemudian diajarkan pada istrinya.10

Penanaman pemahaman materi haidh kepada anak-anak usia sekolah dasar sangatlah diperlukan. Karena menurut ajaran Islam, umumnya wanita akan mengalami masa haidh pertama kali ketika ia berusia 9 (sembilan) tahun. Bahkan saat ini, sudah banyak anak-anak usia sekolah dasar (sebut saja kelas 4) telah mengalami haidh. Oleh karena itu, proses pemahaman secara mendalam tentang materi haidh pada usia-usia

9

Muhammad Ardani bin Ahmad, Risalah Haidl: Nifas dan Istihadhoh, (Surabaya:

Al-Miftah, 2011), edisi revisi, h.11

10

(19)

11

sekolah dasar sangat diperlukan sebagai bentuk upaya membangun pemahaman tentang permasalahan haidh. Sehingga harapan yang muncul dari upaya ini adalah para perempuan telah siap dan faham tentang haidh dan hukum-hukum seputar masalah haidh.

Mengingat pentingnya pemahaman tentang permasalahan haidh ini,

para santri di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru

Sidoarjo diberikan kajian berupa kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan yang tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman kepada para santri apakah haidh itu sebenarnya dan bagaimana cara memperlakukan haidh secara benar.

Adapun alasan mengapa kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan ini dipilih sebagai kajian utama masalah haidh adalah:

1. Subjek pembelajaran di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo ini adalah santri-santri mulai usia ± 9 tahun.

2. Isi dari kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan ini bisa dikatakan lengkap dan mudah dipahami bagi para pemula.

(20)

12

Pemahaman Haidh Santri di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah (Studi

Analisis Kajian Kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan)”.

B. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi dasar rumusan masalah dari kegiatan penelitian ini adalah:

1. Apa sajakah materi yang terdapat dalam kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan?

2. Alasan apakah yang mendasari sehingga kitab ini dijadikan sebagai referensi utama dalam upaya internalisasi pemahaman haidh santri

di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru

Sidoarjo?

3. Bagaimana internalisasi pemahaman materi haidh santri di Majelis

Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo melalui kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukannya kegiatan penelitian ini adalah untuk mengetahui:

(21)

13

2. Alasan apakah yang mendasari sehingga kitab ini dijadikan sebagai referensi utama dalam upaya internalisasi pemahaman haidh santri

di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo. 3. Bagaimana internalisasi pemahaman meteri haidh santri di Majelis

Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru Sidoarjo melalui

kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi penulis

Manfaat penelitian ini bagi penulis adalah:

a. Sebagai suatu wacana untuk memperluas cakrawala pemikiran tentang materi haidh, khususnya yang terdapat pada kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan.

b. Sebagai salah satu sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan dan keagamaan.

2. Bagi masyarakat

Sebagai salah satu sumber informasi tentang pentingnya pemahaman materi haidh, khususnya bagi para perempuan.

3. Bagi pengembangan pendidikan

Penulis berharap penelitian ini mampu memberikan manfaat dalam pengembangan pendidikan, antara lain:

(22)

14

b. Sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian-penelitian selanjutnya.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Berdasarkan judul yang penulis angkat, maka ruang lingkup penelitian ini difokuskan pada upaya internalisasi pemahaman terkait isi kajian tentang materi haidh yang terdapat dalam kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan ini. Bagaimana upaya internalisasi pemahaman tersebut dilakukan dan mengapa kitab ini dijadikan sebagai referensi utama dalam internalisasi pemahaman haidh santri dalam kegiatan

pembelajaran di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru

Sidoarjo.

F. Definisi Operasional

Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan persepsi dalam memahami beberapa istilah yang digunakan penulis dalam skripsi ini, maka penulis perlu mengemukakan beberapa definisi operasioanl, antara lain:

1. Internalisasi : penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan dan sebagainya.

(23)

15

G. Sistematika Pembahasan

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai isi penelitian ini, maka pembahasan dibagi menjadi 5 bab.

Bab pertama merupakan pendahuluan dari penelitian yang berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, definisi operasional, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua merupakan kajian pustaka yang membahas tentang variabel yang terdapat pada judul penelitian ini. Adapun variabel yang dimaksud adalah tinjauan tentang internalisasi pemahaman, materi haidh, dan kajian kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan.

Bab ketiga merupakan prosedur penelitian yang berisikan metode penelitian, tempat penelitian, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.

Bab keempat merupakan analisis kajian kitab yang berisi identifikasi kitab Risalatul Mahidh karya KH Masruhan Ihsan,

pengajarannya di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru

Sidoarjo, dan hasil analisis dari proses internalisasi pemahaman materi

haidh santri di Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah Kepuhkiriman Waru

Sidoarjo.

(24)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Internalisasi Pemahaman

Secara etimologi, internalisasi menunjukkan suatu proses. Dalam kaidah bahasa Indonesia, akhiran –isasi mempunyai definisi proses. Sehingga internalisasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses.

Internalisasi dapat diartikan sebagai penghayatan, pendalaman, penguasaan secara mendalam yang berlangsung melalui binaan, bimbingan, dan sebagainya.11

Internalisasi juga diartikan sebagai proses menghayati hal-hal yang disampaikan sehingga membangun kesadaran penerima dan hal-hal yang disampaikan tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.12

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa internalisasi berarti penghayatan. Secara lebih luas internalisasi merupakan penghayatan terhadap suatu ajaran, doktrin, atau nilai sehingga merupakan keyakinan dan kesadaran akan kebenaran doktrin atau nilai yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku.13

Dalam prosesnya, upaya internalisasi melalui beberapa tahapan. Adapun tahapan internalisasi adalah:

11

bdkbanjarmasin.kemenag.go.id. Diakses pada 4 Juli 2015

12

library.binus.ac.id. Diakses pada 4 Juli 2015

13

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

(25)

17

1. Tahap transformasi nilai

Tahap ini merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendidik dalam menginformasikan nilai-nilai yang baik dan kurang baik. Pada tahap ini hanya terjadi komunikasi verbal antara pendidik dan peserta didik.

2. Tahap transaksi nilai

Suatu tahap pendidikan nilai dengan jalan melakukan komunikasi dua arah, atau interaksi antara peserta didik dengan pendidik yang bersifat interaksi timbal balik.

3. Tahap transinternalisasi

Tahap ini jauh lebih mendalam dari tahap transaksi. Pada tahap ini bukan hanya dilakukan dengan komunikasi verbal tapi juga sikap mental dan kepribadian. Jadi pada tahap ini komunikasi kepribadian yang berperan secara aktif.14

Adapun yang dimaksud dengan pemahaman adalah, sebagaimana yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pemahaman berasal dari kata paham yang artinya mengerti, mengerti benar, tahu benar, pandai. Sedangkan arti pemahaman sendiri adalah proses, cara, perbuatan memahami atau memahamkan.15

14

bdkbanjarmasin.kemenag.go.id. Diakses pada 4 Juli 2015

15

(26)

18

Jika kita kembali kepada tata urutan taksonomi kognitif, tentulah kita akan mengacu pada taksonomi kognitif yang dicetuskan oleh Benyamin Bloom (lebih dikenal dengan istilah Taksonomi Bloom). Adapun uraian Taksonomi Bloom adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan (Knowledge) 2. Pemahaman (Comprehension) 3. Penerapan (Aplication)

4. Analisis (Analysis) 5. Sintesis (Syntesis) 6. Evaluasi (Evaluation)16

Jika kita lihat urutan taksonomi tersebut, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah, ketika kita menginginkan seseorang mampu menerapkan dan menganalisis setiap materi pembelajaran yang telah disampaikan secara baik, maka ia harus terlebih dahulu memahami apa yang disampaikan tersebut. Pemahaman sendiri bisa diartikan sebagai kemampuan untuk mengetahui apa yang sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan ide yang tidak terkandung di dalamnya.17

Pemahaman tentulah berbeda dengan pengetahuan. Karena ketika perkembangan ragam berpikir seseorang hanya sampai pada pengetahuan,

16

Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Kognitif: Perkembangan Ragam Berpikir,

(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), h.31

17

(27)

19

maka ia tidak dituntut untuk menggunakan ide yang terkandung di dalam apa yang ia ketahui. Namun jika seseorang telah sampai pada tingkat pemahaman, maka ia dituntut untuk mengetahui serta menggunakan ide yang terkandung di dalam apa yang ia komunikasikan.

Pemahaman memiliki peran penting dalam keberhasilan belajar seseorang. Karena dari hasil belajar yang ia peroleh, maka akan diketahui seberapa besar tingkat pemahaman seseorang (siswa) tersebut. Imam

Syafi’I juga menjelaskan bahwa ada enam faktor dominan yang

menunjang hasil belajar.18 Sebagaimana Imam Syafi’i berkata, seperti

yang tercantum pada kitab Ta’lim Muta’allim19

:

“Wahai saudaraku, kalian tidak akan meraih ilmu kecuali dengan enam hal yang saya jelaskan kepadamu secara terperinci: kecerdasan, sungguh-sungguh, tekun, perlu bekal, petunjuk guru, dan panjang waktunya.”20

18

Usman Zaki el Tanto, Islamic Learning: 10 Rahasia Sukses Belajar Mengajar Muslim,

(Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2012), h.63

19

Az-Zarnuji, Ta’lim Muta’allim. Diterjemahkan oleh Imam Nashiruddin, (Magelang:

Menara Kudus, 1963), ص.55

20

Usman Zaki el Tanto, Islamic Learning: 10 Rahasia Sukses Belajar Mengajar Muslim,

(28)

20

Selain itu, di dalam sumber ajaran Islam juga disebutkan isyarat keberhasilan dalam belajar21:

1. Mengukur keberhasilan belajar dari segi penguasaan pengetahuan kognitif. Sebagaimana yang terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 30-32:



































































































































































































































Artinya: 30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." 31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)

21

Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana,

(29)

21

seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!" 32. Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."

2. Mengukur keberhasilan belajar dari segi ranah afektif. Sebagaimana firman Allah surah al-A’raf ayat 143.





















































































































































Artinya: “Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, Maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". tatkala Tuhannya Menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, Dia berkata: "Maha suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman".”

(30)

22





















































































Artinya: “Dan Kami jadikan bumi memancarkan mata air-mata air, Maka bertemu- lah air-air itu untuk suatu urusan yang sungguh telah ditetapkan. Dan Kami angkut Nuh ke atas (bahtera) yang terbuat dari papan dan paku. Yang berlayar dengan pemeliharaan Kami sebagai belasan bagi orang-orang yang diingkari (Nuh).”

4. Kemampuan spiritual. Sebagaimana firman Allah surah Yusuf ayat 23.





















































































Artinya: Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan Dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.

(31)

23































































Artinya: Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan. (Allah berfirman): "Hantamkanlah kakimu; Inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum".

6. Kemampuan menumbuhkan kepedulian dan kepekaan untuk mempertahankan nilai-nilai luhur yang universal.

7. Kemampuan menumbuhkan rasa empati, kepekaan dan kepedulian sosial untuk membantu sesama saudaranya dalam berbagai keadaan senang maupun susah.

8. Kemampuan dan ketinggian spiritual.

Isyarat-isyarat keberhasilan belajar yang sesuai dengan sumber ajaran agama islam tersebut, seluruhnya dapat diraih apabila seseorang (siswa) telah memiliki pemahaman dari hal yang telah ia komunikasikan (pelajari).

(32)

24

suatu materi pembelajaran terkait demi tercapainya hasil belajar yang diinginkan.

B. Teori tentang Haidh dan Pemahamannya

1. Pengertian Haidh

Haidh menurut bahasa artinya mengalir. Sedangkan menurut istilah adalah darah yang keluar dari wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Oleh karena itu, haid merupakan darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran, atau kelahiran.

Darah haid seorang wanita merupakan darah yang keluar dari puncak atas rahim dan keluar saat-saat tertentu (siklus bulanan), serta terjadi secara berkala setiap bulannya.22

Haidh adalah darah yang keluar dari kemaluan seorang perempuan setelah umur 9 tahun, dengan sehat (tidak karena sakit), tetapi memang watak/kodrat wanita. Adapun darah yang keluar karena sakit maka dinamakan istihadhoh. Dan darah yang keluar setelah melahirkan disebut darah nifas.23

Darah yang dikeluarkan oleh wanita bisa dihukumi haidh jika minimal ia telah mencapai umur hampir genap 9 tahun dalam hitungan hijriyah. Maksud hampir genap 9 tahun ini adalah genapnya umur 9

22

Atiqah Hamid, Buku Lengkap Fiqh Wanita, ibid. h.161

23

(33)

25

tahun adalah di bawah 16 hari dari umur genapnya, yakni 9 tahun. Masa ini juga merupakan masa yang cukup untuk minimal haidh dan minimal suci.24

Jadi jika seorang wanita mengeluarkan darah dari kemaluannya pada usia 9 tahun kurang 15 hari, maka ia sudah dihukumi haidh. Tetapi jika usianya masih 9 tahun kurang 16 hari, maka darah yang keluar adalah darah istihadlah (penyakit).

Ada hal yang perlu dipahami disini, jika seseorang mengeluarkan darah sebelum usia haidh dan masih keluar sampai usia haidh, maka darah yang keluar tersebut dihukumi sebagai darah istihadlah untuk darah yang keluar sebelum usia haidh, dan darah yang keluar setelah memasuki usia haidh dihukumi sebagai darah haidh.25 Sebagimana kasus di atas, jika seorang wanita telah mengeluarkan darah pada usia 9 tahun kurang 16 hari dan ternyata darah tersebut keluar selama 3 hari, maka darah yang keluar satu hari sebelum usia haidh (9 tahun kurang 16 hari) dihukumi sebagai darah istihadlah, dan darah yang keluar dua hari setelah masuk usia haidh (9 tahun kurang 15 jari dan 9 tahun kurang 14 hari) dihukumi sebagai darah haidh.

24

Misbah AB, Teori Praktis Seputar Haid, (Gresik: Yayasan Ar-Raudlah, 2010), cet. Ke-4,

h.4

25

(34)

26

2. Cara Bersuci dari Haidh

Kalau haidh telah selesai, maka wajib mandi. Mandi ini wajib segera dilakukan bila hendak melakukan sholat atau ibadah lain yang wajib bersuci.

Oleh karena itu wanita yang telah selesai haidh pada tengah-tengah waktu sholat wajib segera mandi kemudian sholat, meskipun tengah malam atau sangat dingin. Tidak boleh menunda-nunda sampai

terjadi sholat qada’ apalagi sampai tidak dikerjakan sama sekali.26

Yang dimaksud dengan berhentinya darah yaitu apabila kapas atau tisu dimasukkan ke dalam farji sampai pada tempat yang ketika seorang berjongkok tidak kelihatan, dan ketika kapas atau tisu dikeluarkan masih berwarna putih bersih tanpa ada noda kemerah-merahan sedikitpun. Jadi, walaupun kelihatannya sudah berhenti, tetapi ketika kapas dimasukkan dan dikeluarkan masih ada bercak kemerah-merahan berarti haidhnya belum berhenti, dan apabila ia melakukan mandi, maka mandinya tidak sah.27

Adapun fardhu mandi wajib (bersuci dari haidh) adalah:

a. Niat bersuci dari hadats besar (haidh) pada pertama kali membasuh anggota badan.

b. Menghilangkan najis, jika terdapat najis pada anggota tubuh.

26

Ibid., h.28

27

(35)

27

c. Membasahi semua anggota tubuh termasuk juznya rambut baik itu dzahir atau batin dan dzahirnya kulit sampai kuku bawahnya dan dalam farji yang terlihat ketika wanita berjongkok. Jika ada rambut atau kuku yang rontok ketika haidh, maka tidak wajib dibasahi ketika mandi, tetapi wajib dikubur.28 Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa rambut dan kuku yang rontok ketika haidh harus disucikan pula, sebagaimana bersuci dari haidh.

3. Lama Masa Haidh

Dalam menentukan lamanya masa haidh, beberapa ulama’

berbeda pendapat. Ada yang mengatakan bahwa lamanya haidh sekitar sehari semalam. Sehari semalam ini untuk ukuran haidh yang keluar secara teratur (terus menerus) ataupu tidak teratur (terputus-putus). Ada yang mengatakan 6-7 hari, dan ada yang mengatakan bahwa lamanya haidh sekitar 15 hari 15 malam. Akan tetapi, apabila melebihi dari batas 15 hari, maka tidak disebut sebagai darah haidh (darah istihadhah).29

Adapun suci yang memisah antara haidh satu dengan haidh yang lain paling sedikit adalah 15 hari. Ini karena sudah menjadi adat

28

Ibid., h.26-27

29

(36)

28

seorang wanita bahwa dalam satu bulan ia tidak lepas dari haidh dan suci, ketika batas haidhnya maksimal 15 hari, berarti minimal sucinya 15 hari. Ketika umumnya haidh adalah 6-7 hari, berarti ghalibnya suci juga 23 atau 24 hari, sementara untuk maksimal suci tidak ada batasnya, sebab kadang seorang wanita tidak mengalami haidh (suci) sampai bebberapa bulan bahkan bertahun-tahun.

Jadi, misalkan seorang wanita setelah mengalami haidh , sucinya belum mencapai 15 hari tiba-tiba darah keluar lagi (darah kedua) maka bisa dipastikan bahwa darah tersebut bukan haidh tetapi istihadhah (darah penyakit).30

4. Hal – Hal yang Tidak Boleh Dilakukan ketika Haidh

Seorang wanita yang sedang mengalami haidh dilarang melakukan hal-hal sebagai berikut31:

a. Shalat, baik fardhu ataupun sunnah. b. Puasa, baik wajib ataupun sunnah. c. Membaca al-Qur’an.

d. Menyentuh atau membawa al-Qur’an. e. Thawaf, baik wajib ataupun sunnah.

f. Berdiam diri di masjid atau melakukan I’tikaf.

30

Misbah AB, Teori Praktis Seputar Haid, ibid. h.7

31

(37)

29

g. Istimta’ yakni bermesraan dengan bersentuhan kulit antara pusar dan lutut (haram juga bagi suami).

h. Bersetubuh (haram juga bagi suami). i. Talaq (bagi suami).

j. Sujud syukur atau sujud tilawah.

k. Bersuci. Bersuci dengan tujuan menghilangkan hadats juga terlarang bagi wanita yang sedang mengalami masa haidh, sebab hadatsnya tidak hilang atau masih berlangsung. Sengaja melakukannya berarti sama dengan mempermainkan ibadah.

C. Pengertian Majelis Ta’lim

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah Majelis berarti dewan yang mengemban tugas tertentu mengenai kenegaraan dan sebagainya secara terbatas, pertemuan (kumpulan) orang banyak, bangunan tempat bersidang.32 Sedangkan kata Ta’lim berasal dari kata

‘allama-yu’allimu-ta’liiman yang artinya mempelajari. Di Indonesia,

Majelis Ta’lim atau yang lebih sering disebut dengan Majelis Taklim

berarti lembaga (organisasi) sebagai wadah pengajian, sidang pengajian, ataupun tempat pengajian.33

32

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ibid. h. 699

33

(38)

30

Di Indonesia, telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam. Bahkan lembaga- lembaga tersebut bisa tetap eksis dengan melakukan inovasi guna tetap menjadi lembaga yang masih memiliki tempat sebagai pilihan atau tujuan bagi para pencari ilmu.

Banyak lembaga pendidikan Islam mulai dari yang sifatnya formal dan juga non formal. Ada beberapa lembaga pendidikan Islam yang pernah dan masih tetap berkembang di Indonesia, seperti Meunasah (Aceh), Dayah (Aceh), Rangkang (Aceh), Surau (Minangkabau), Pesantren yang

banyak berkembang di Jawa, Madrasah, dan juga Majelis Ta’lim.

Majelis Ta’lim secara harfiah berarti tempat belajar. Sedangkan dalam arti yang umum digunakan, Majelis Ta’lim adalah tempat bagi terselenggaranya kegiatan pendidikan keagamaan yang bersifat non

formal. Majelis Ta’lim biasanya digunakan untuk kegiatan pengajian Al

-Qur’an, zikir, tahlilan, membaca sholawat, dan ceramah keagamaan.

Sasaran utamanya adalah pembinaan mental spiritual keagamaan bagi masyarakat sekitar.

Dalam perkembangan selanjutnya, Majelis Ta’lim tidak hanya

(39)

31

telah mengaalami dinamika dan peningkatan sesuai dengan tingkat

kemampuan dan intelektual para jama’ahnya.34

Namun yang perlu diketahui sebelumnya, Majelis Ta’lim Da’watul

Hasanah yang penulis maksud disini lebih tepatnya adalah sebuah lembaga pendidikan al-qur’an yang memiliki program utama melakukan kegiatan mengaji al-qur’an. Namun yang berbeda adalah, para santri disini tidak hanya anak-anak kecil saja, tetapi juga menyentuh para ibu-ibu yang ingin tetap memperdalam ilmunya tentang materi-materi seputar kegamaan. Oleh karen itulah, lembaga ini tetap disebut sebagai Majelis Ta’lim, bukan TPQ atau sejenisnya. Meskipun kita tahu bahwa TPQ juga merupakan

salah satu jenis dari Majelis Ta’lim itu sendiri.

D. Kajian Kitab

1. Pengertian Kajian Kitab

Kajian adalah mentelaah, ajaran, memberikan ilmu pengetahuan tentang masalah agama.35 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kajian berasal dari kata kaji yang berarti pelajaran (agama dan sebagainya) atau penyelidikan (ntang sesuatu), dan kajian sendiri berarti hasil dari

34

Abuddin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2012), h.302-303

35

WJS. Darminto Purnomo, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

(40)

32

mengkaji.36 Sedangkan yang dimaksud dengan kitab sebagaimana yang kita ketahui adalah sebuah bacaan atau buku bacaan yang berisi pengetahuan-pengetahuan yang bermanfaat dalam kegiatan pembelajaran.

Dari sedikit penjelasan tentang kajian tersebut, bisa kita buat kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan kajian kitab adalah kegiatan mengajarkan, mentelaah atau mempelajari lebih dalam tentang materi yang terkandung dalam kitab tertentu unutuk memperoleh pembahaman yang lebih tentang materi terkait.

Kitab Risalatul Mahidh karya Masruhan Ihsan adalah salah satu jenis kitab kuning yang berisi tentang materi fiqih yang khusus membahas tentang darah yang keluar dari seorang wanita, mulai dari haidh, nifas, dan wiladah (melahirkan). Namun, kajian kitab yang dilakukan ini lebih difokuskan terhadap pemahaman haidh.

Kegiatan kajian kitab Risalatul Mahidh yang dilakukan di

Majelis Ta’lim Da’watul Hasanah merupakan bentuk kegiatan

keagamaan yang bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang haidh dan hal-hal yang berkaitan dengan haidh, khususnya kepada santri yang telah memasuki usia baligh ataupun yang akan memasuki usia baligh.

36

(41)

33

Pelaksanaan kajian kitab ini bukan tanpa alasan. Adapun alasan dilaksanakan kajian kitab ini adalah sesuai dengan tujuan pendidikan islam, yaitu:

a. Tujuan umum

Tujuan umum dari pendidikan islam adalah beribadah kepada Allah, adapun maksud dari tujuan ini adalah untuk membentuk manusia yang beribadah kepada Allah. Tujuan ini bersifat tetap dan berlaku di segala tempat, waktu, dan keadaan.

b. Tujuan khusus

Tujuan khusus pendidikan islam ditetapkan berdasarkan keadaan tempat dengan mempertimbangkan keadaan geografi, ekonomi, dan lain-lain yang ada di tempat itu. Namun yang perlu diketahui, tujuan khusus dari pendidikan islam ini berpusat pada pembinaan potensi manusia, sifat atau sikap, serta kebudayaan.37

Adapun kalangan ulama’ merumuskan tujuan pendidikan islam

yang didasarkan cita-cita hidup umat manusia, yaitu kehidupan duniawi dan ukhrawi secara harmonis. Adapun tujuan pendidikan islam yang dimaksud adalah:

a. Tujuan keagamaan

37

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islami, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), cet.

(42)

34

Setiap orang islam pada hakikatnya adalah insane agama yang bercita-cita, berpikir, beramal untuk hidup akhiratnya, berdasarkan atas petunjuk dari wahyu Allah melalui Rasulullah. Tujuan ini difokuskan pada pembentukan pribadi Muslim yang sanggup melaksanakan syariat Islami melalui proses pendidikan spiritual menuju makrifat kepada Allah.

Sebagaimana cita-cita yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia yang tercantum dalam al-qur’an surah al-A’la ayat 14 -1738:









































































Artinya: Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman). Dan Dia ingat nama Tuhannya, lalu Dia sembahyang. Tetapi kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.

Adapun cita-cita yang seharusnya dimiliki oleh manusia adalah memperoleh kebaikan di akhirat yang kekal. Karena orang-orang yang beruntung adalah orang-orang yang mau membersihkan diri dengan beriman kepada Allah. Hal inilah yang mendasari bahwa tujuan dari pendidikan islam adalah tujuan

38

(43)

35

keagamaan, yaitu pendidikan sendiri bertujuan untuk membentuk umat yang senantiasa beriman kepada Allah dan memperoleh kebahagaiaan di akhirat.

b. Tujuan keduniaan

Tujuan kedua ini lebih mengutamakan upaya untuk mewujudkan kehidupan sejahtera di dunia dan kemanfaatannya. Namun, tujuan yang pendidikan yang dimaksud di sini adalah tujuan yang lebih diarahkan kepada upaya memajukan umat manusia dengan ilmu dan teknologi modern dengan mengutamakan pada upaya meningkatkan kemampuan berilmu pengetahuan dan berteknologi manusia dengan iman dan takwa kepada Allah sebagai pengendalinya. Nilai-nilai iman dan takwa itu tidak lepas dari manusia yang berilmu dan berteknologi.39

Sebagaimana firman Allah surah Al-Baqarah ayat 247:



……..



























































Artinya: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang Luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha mengetahui.

39

(44)

36

Dalam ayat di atas disebutkan bahwa Allah mengizinkan seseorang untuk mengejar kebahagiaan di dunia. Hal ini ditunjukkan ketika Allah menentukan Thalut sebagai raja yang mampu melawan Jalut melalui isyarat Nabi Daud.

Allah memilih Thalut karena Thalut adalah seorang yang memiliki keunggulan dalam hal materi. Artinya, Allah tidak melarang seseorang untuk meraih kebahagiaan dunia, tetapi yang perlu diingat adalah ketika seseorang berusaha meraih kebahagiaan dunai, maka ia juga harus berusaha meraih kebahagiaan akhirat.

2. Pengertian Kitab Kuning

Kajian kitab yang dimaksud dalam pembahasan tulisan ini adalah Kitab Kuning. Kitab Kuning yang dimaksud disini adalah kitab-kitab Islam klasik yang sering digunakan dalam pembelajaran agama di pesantren. Julukan kitab kuning ini adalah sebutan populer yang dilakukan di pesantren. Ada beberapa pendapat tentang Kitab Kuning menurut beberapa pandangan:

a. Affandi Muchtar

(45)

37

bahkan menjadi penyebab terjadinya stagnasi berpikir umat islam. Bahkan dari istilah ini, banyak kalangan oesantern yang mengusulkan bahwa istilah kitab kuning ini diganti dengan istilah kitab klasik.40

b. Mas’udi

Mas’udi memberikan pendapat bahwa yang termasuk ke dalam

golongan kitab kuning adalah:

1) Kitab-kitab yang ditulis oleh ulama’ asing yang kemudian secara turun temurun menjadi referensi yang dapat dijadikan

pedoman bagi ulama’-ulama’ Indonesia.

2) Kitab yang ditulis oleh ulama’ Indonesia sebagai karya tulis yang independen.

3) Kitb yang ditulis oleh ulama’ Indonesia sebagai komentar atau terjemahan dari kitab-kitab karya ulama’ asing.

c. Azyumardi Azra

Azyumardi Azra memberika definisinya tentang kitab kuning, bahwa kitab kuning merupakan kitab-kitab keagamaan yang berbahasa Arab, Melayu atau Jawa ataupun bahasa-bahasa lokal lain di Indonesia dengan menggunakan aksara Arab yang selain

40

Samsul Nizar, Sejarah Sosial dan Dinamika Intelektual Pendidikan Islam di Nusantara,

(46)

38

ditulis oleh ulama’ Timur Tengah juga ditulis oleh ulama’ Indonesia.41

Dari beberapa pengertian di atas, bisa kita ambil garis besarnya bahwa yang dimaksud dengan Kitab Kuning adalah kitab-kitab

keagamaan klasik yang ditulis baik oleh ulama’ asing (Timur Tengah) maupun oleh ulama’ Indonesia yang menggunakan bahasa Arab ataupun bahasa lokal di Indonesia yang dapat dijadikan pedoman dalam melakukan pembelajaran di bidang keagamaan.

Jadi bisa kita katakan bahwa kitab kuning bukan sekedar kitab yang ditulis pada kertas kuning yang berkadar rendah yang dikenal lekat dengan budaya pesantren, tetapi lebih ke dalam materi yang terkandung dalam kitab kuning ini. Dimana isi dari kitab-kitab ini memberikan penjelasan yang gamblang tentang materi-materi kegamaan, baik yang berhubungan dengan ibadah atau syariat, namun juga membahas tentang muamalah. Serta tidak ketinggalan ada pula kitab yang membahas tentang kehidupan ukhrawi (akhirat).

Eksistensi pengajaran kitab kuning yang masih berlangsung sampai saat ini dikarenakan kitab kuning ini memiliki peran strategis dalam pembelajaran (transformasi keilmuan) tentang keagamaan. Hal ini dibuktikan dari ungkapan Husein Muhammad:

41

(47)

39

“Dalam kurun waktu yang panjang, pesantren mengkonsumsi kitab kuning sebagai pedoman berpikir dan bertingkah laku. Ia telah menjadi bagian inheren dalam pesantren. Menurut masyarakat pesantren, kitab kuning merupakan formulasi final dari al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Ia ditulis oleh para ulama’ dengan kualifikasi ganda: keilmuan yang tinggi dan moralitas yang luhur. Ia juga ditulis dengan mata pena atau jari-jari yang bercahaya. Oleh karena itu, ia dipandang hampir-hampir tak memiliki cacat dan sulit untuk mengkritiknya”

Azyumardi Azra juga menulis:

“Hampir tidak diragukan lagi kitab kuning mempunyai peran besar tidak hanya dalam transmisi ilmu pengetahuan Islam, bukan hanya di kalangan komunitas santri, tetapi juga di tengah masyarakat Muslim di Indonesia secara keseluruhan. Lebih jauh lagi, kitab kuning khususnya yang ditulis oleh para ulama’ dan pemikir Islam di kawasan ini merupakan refleksi perkembangan intelektualisme dan tradisi keilmuan Islam Indonesia. Bahkan, dalam batas tertentu, kitab kuning juga merefleksikan perkembangan sejarah sosial Islam di kawasan ini.”42

Dari ungkapan kedua tokoh tersebut, bisa kita ketahui bahwa kitab kuning merupakan pedoman bagi setiap kalangan yang ingin memperdalam kajian keilmuannya tentang keislaman, baik dalam berpikir maupun bertingkah laku. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa kitab kuning telah menjadi bagian yang telah melekat dan tidak dapat dipisahkan dari pesantren. Tidak hanya pesantren yang hanya meliputi kalangan komunitas santri saja yang memerlukan peran dari ajaran-ajaran yang ada di dalam kitab kuning ini, melainkan pula seluruh

42

Ahmad Barizi, Pendidikan Integratif: Akar Tradisi & Integrasi Keilmuan Pendidikan

(48)

40

masyarakat Muslim Indonesia juga memerlukan peran kitab kuning sebagai sumber transmisi ilmu pengetahuan Islam.

3. Contoh – Contoh Kitab Kuning

Adanya tradisi kajian kitab kuning di Indonesia sulit ditentukan kapan waktunya, hal ini dikarenakan tidak ada riwayat yang menjelaskan kapan tradisi ini mulai dilakukan. Meskipun ada beberapa cerita klasik yang menyinggung masalah yang berkenaan dengan syariat atau fikih dan masalah keimanan, namun tidak disinggung apakah menggunakan rujukan kitab kuning tertentu sebagai sumber pengajarannya.43

Namun terlepas dari kapan dimulainya tradisi kitab kuning ini diajarkan di Indonesia, kita telah mengetahui bahwa sampai saat ini tradisi kitab kuning di Indonesia telah menjadi ciri khas dari pengajaran di pesantren-pesantren, baik di Jawa dan Madura, serta di luar Jawa dan Madura. Bahkan ada pula lembaga-lembaga formal (sekolah) yang juga menjadikan tradisi kitab kuning sebagai salah satu rujukan untuk pengajaran mereka, meskipun tidak sebanyak tradisi kitab kuning yang diajarkan di pesantren.

43

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan

(49)

41

Ada banyak kitab kuning yang dijadikan sebagai rujukan untuk membahas masalah-masalah keagamaan, baik masalah syariat atau fikih, maupun masalah keimanan. Berikut beberapa contoh kitab kuning yang dijadikan rujukan dalam membahas masalah tersebut:

a. Kitab Taqrib atau dikenal dengan nama kitab Mukhtashar, kitab ini ditulis oleh Abu Syuja’ yang wafat pada 593 H/1196 M. b. Kitab Al-Muharrar karya Abu al Qasim al-Rafi’i yang wafat pada

623 H/1226 M.

c. Kitab Minhaj al-Thalibin karya Abu Zakaria al-Nawawi yang wafat pada 676 H/1277 M.

d. Kitab Kanz al Raghibin karya Jalal al-Din al-Mahali yang wafat pada 864 H/1460 M.

e. Kitab Manhaj al-Thullab dan kitab Fath al-Wahhab karya Zakariyya al-Anshari yang wafat pada 926 H/1520 M.

f. Kitab Tuhfat al-Muhtaj dan kitab Minhaj al-Qawim karya Ibn Hajar Haytami yang wafat pada 973 H/1565 M.44

Sejak abad ke-17 M, banyak murid Jawi yang belajar di Haramayn (Tanah Suci) kembali ke Tanah Air dengan membawa kitab-kitab yang mereka pelajari selama mereka berada di Haramayn. Mereka tidak sekedar membawa untuk dirinya sendiri, tetapi mereka

44

(50)

42

juga menyebarkannya di lingkungan-lingkungan yang memiliki kemampuan membaca dan memahami teks berbahasa Arab. Maka tidak heran, jika selain dari Timur Tengah, banyak kitab kuning yang

ditulis sendiri oleh ulama’ Indonesia, baik yang berupa terjemahan,

atau bahkan karya mereka sendiri yang mengacu pada kitab-kitab

karya ulama’ Timur Tengah.

Adapun beberapa kitab karya ulama’ Indonesia adalah :

a. Kitab Sirat al-Mustaqim yang merupaka kitab Fikih Ibadah karya al-Raniri yang wafat pada 1068 H/1658 M. Dalam penulisannya, al-Raniri mengacu pada kitab Minhaj al-Thalibin karya Abu Zakaria Nawawi dan kitab Fath Wahhab karya Zakariyya al-Anshari sebagai rujukan utamanya.

b. Kitab Mir’at al-Thullab yang merupakan kitab Fikih Muamalah

karya ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili yang wafat pada 1105 H/1690 M. c. Kitab Nihayat al-Muhtaj karya Syams al-Din al-Ramli.

d. Kitab Tafsir al-Baydhawi karya Ibn Umar al-Baydhawi yang wafat pada 685 H/1286 M.

(51)

43

kitab-kitab yang ditulis oleh ulama’ Indonesia yang umumnya juga merujuk pada karya-karya kitab ulama’ Syafi’iyyah.45

4. Metode Kajian Kitab

Metode yang digunakan dalam kajian kitab adalah metode-metode tradisional yang masih tetap digunakan sampai saat ini dan masih dinilai cukup mumpuni untuk dilakukan. Adapun metode yang umum digunakan adalah sorogan dan wetonan atau yang lebih dikenal dengan istilah bandongan.

Metode sorogan merupakan suatu metode yang ditempuh dengan cara guru menyampaikan pelajaran kepada santri secara individual, biasanya di samping di pesantren juga dilangsungkan di langgar, masjid atau malah di rumah-rumah,46 atau bahkan di lembaga-lembaga pendidikan non formal seperti Majelis Ta’lim.

Dalam pelaksanaannya di pesantren, sasaran metode ini adalah kelompok santri pada tingkat rendah, yaitu mereka yang baru menguasai pembacaan Al-Qur’an. Melalui metode ini, kiai dapat memberikan bimbingan penuh kejiwaan sehingga dapat memberikan tekanan pengajaran kepada santri-santri tertentu.47 Inti metode ini

45

Ibid., h.145

46

Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi

Institusi, (Jakarta: Erlangga, tt), h.142

47

(52)

44

adalah dapat membentuk tata nilai santri karena berlangsung dengan intensif, atau ada proses delivery of culture. Namun di beberapa pesantren tertentu, metode ini digunakan untuk santri yang ingin mendalami kitab tertentu. Mereka menyodorkan (memberikan) kitab tertentu kepada kiainya dan kemudian ia memberikan catatan kepada kitab itu dari terjemah dan penjelasan maksud kitab tersebut yang diberikan oleh kiai.48

Selain sorogan, metode yang juga digunakan dalam kajian kitab adalah metode wetonan (bandongan) yang diadaptasi dari metode pengajaran agama yang berlangsung di Timur Tengah, terutama di Makkah dan Al-Azhar, Mesir.

Metode wetonan atau bandongan merupakan metode yang paling utama di lingkungan pesantren. Metode ini adalah suatu metode pengajaran dengan cara guru membaca, menterjemahkan, menerangkan dan mengulas buku-buku Islam dalam bahasa Arab sedang sekelompok santri mendengarkannya. Mereka memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan (baik arti maupun keterangan) tentang kat

Gambar

Tabel 1.1 Data Santriwan
Tabel 1.2 Data Santriwati
Tabel 1.3 Data Kitab Kuning dan Kajian yang Diajarkan
Tabel 1.4 Data Santri yang Telah dan Sedang Mengkaji
+4

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat , tuntunan dan penyertaan-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan naskah skripsi dengan judul

Pada proses kinerja warnet medianet tersebut sering kali terjadi beberapa kasus berkaitan dengan penyalahgunaan hak akses dalam hal ini pencurian data pengguna yang

Penurunan nilai absorbansi di atas menunjukkan bahwa terjadi penangkapan/peredaman radikal bebas DPPH oleh larutan uji sehingga menunjukkan adanya aktivitas

( http://www.aptel.depkominfo.go.id/content/view/103/27//). Berdasarkan gambaran mengenai fenomena interkoneksi dan aplikasi e-govt sebelumnya, kiranya itu mengindikasikan

Dari hasil analisis pengaruh penyuluhan terhadap kesiapsiagaan pada siswa SMP Katolik Soegiyo Pranoto Manado, bahwa siswa yang sebelum di berikan penyuluhan

Membandingkan rumusan dasar negara yang diusulkan oleh para tokoh pendiri negara Materi : • Pembentukan PPKI • Penetapan Pancasila Penugasan : Menganalisis perbedaan

Adapun kesimpulan hasil yang diperloh adalah tingkat kecemasan Responden paling banyak dalam kategori kecemasan sedang sebanyak 77 orang (48,1%) , hasil ini