• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN KALA DAN ASPEK KALIMAT BAHASA JEPANG DENGAN BAHASA INDONESIA DALAM CERPEN “DEWA AGNI” KARYA AKUTAGAWA RYUUNOSUKE | duwi | Ayumi : Jurnal Budaya, Bahasa, dan Sastra 251 607 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN KALA DAN ASPEK KALIMAT BAHASA JEPANG DENGAN BAHASA INDONESIA DALAM CERPEN “DEWA AGNI” KARYA AKUTAGAWA RYUUNOSUKE | duwi | Ayumi : Jurnal Budaya, Bahasa, dan Sastra 251 607 1 PB"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

18

PERBANDINGAN KALA DAN ASPEK KALIMAT BAHASA JEPANG DENGAN BAHASA INDONESIA DALAM CERPEN “DEWA AGNI”

KARYA AKUTAGAWA RYUUNOSUKE

Rahadiyan D. Nugroho

Fakultas Sastra Jurusan Sastra Jepang Universitas Dr. Soetomo, Surabaya

ABSTRAK

Pada Bahasa Jepang penanda kohesi gramatikal lebih cenderung dominan daripada kohesi leksikal dalam menentukan makna suatu kalimat. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia, untuk menandai bahwa suatu kejadian atau peristiwa itu akan terjadi, sedang terjadi, atau telah selesai, dimungkinkan lebih cenderung menggunakan penanda kohesi leksikal seperti adverbia atau keterangan waktu. Penulis ingin menelusuri lebih lanjut tentang perbandingan fungsi kala dan aspek kalimat bahasa Jepang kemudian membandingkannya dengan terjemahannya dalam kalimat bahasa Indonesia. Melalui metode penelitian deskriptif-kualitatif, perbandingan kala dan aspek antara kalimat bahasa Jepang dan bahasa Indonesia serta fungsi dan jenis aspek bahasa Jepang yang ditemukan dalam cerpen “Dewa Agni” dapat ditemukan. Hasil yang ditemukan adalah (1) dalam Bahasa Jepang, kegiatan yang akan dilakukan, sedang dilakukan atau telah terjadi dinyatakan secara jelas lewat kategori gramatikal aspeknya, sebaliknya, dalam bahasa Indonesia dinyatakan secara jelas dalam kalimatnya. (2) terkait jenis dan fungsi aspek yang muncul dalam cerpen “Dewa Agni” adalah sebagai berikut:(a) Kelompok katsuyougobi; masu/ru-kei, menyatakan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang dan mashita/ta-kei, menyatakan perbuatan yang telah selesai dilakukan. (b) Kelompok te-kei; te iru, menyatakan keadaan atau situasi saat ini, te imashita, menyatakan peristiwa yang sudah terjadi, namun masih memandang proses kejadian hingga mencapai ketercapaian, te kuru, menyatakan proses hilang dan munculnya sesuatu, te shimasu, menyatakan ketuntasan perbuatan, menyatakan perbuatan yang tak disengaja dan diharapkan akhirnya terjadi. (c) Kelompok renyoukei; renyoukei+dasu, menyatakan dimulainya suatu perbuatan, renyoukei+ageru, menyatakan perbuatan yang dilakukan untuk orang lain, renyoukei+hajimeru, menyatakan dimulainya suatu perbuatan.

(2)

19 A. Pendahuluan dan Tinjauan Teori

Pengisi struktur kalimat dalam Bahasa Jepang, yakni kata, secara umum terbagi atas dua kelas kata, yakni kata penuh atau jiritsugo dan kata tugas atau fuzokugo. Kata penuh atau jiritsugo adalah kata-kata yang memiliki arti tertentu sesuai dengan referensinya atau sesuai dengan arti kamus. Sebaliknya, kata tugas atau fuzokugo adalah kata-kata yang belum bisa dimaknai artinya sebelum kata-kata ini melekat dengan jiritsugo dalam sebuah kalimat. Kata-kata yang baru memiliki fungsi demikian, tidak bisa dimaknai secara leksikal melainkan secara gramatikal. Walau demikian, baik kelas kata dari jiritsugo maupun fuzokugo pada akhirnya apabila disatukan dan dipadukan guna membentuk sebuah kalimat, kata-kata ini secara kohesi akan terikat satu sama lain, membentuk kalimat yang memiliki makna yang tersusun berdasarkan kaidah gramatika bahasa penuturnya.

Penulis ingin menelusuri lebih lanjut tentang perbandingan fungsi kala dan aspek kalimat bahasa

Jepang kemudian

membandingkannya dengan terjemahannya dalam kalimat bahasa Indonesia. Adapun sumber data yang diambil penulis, yakni sebuah cerpen bahasa Jepang yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Cerpen ini berjudul ア

ニ 神 atau “Dewa Agni” dalam kumpulan cerpen Lukisan Neraka dan Cerpen Lainnya tahun 1987 buah karya Akutagawa Ryunosuke yang diterjemahkan oleh Jonjon Johana tahun 2013.

1. Kala atau Jisei

Kala atau tenses dalam bahasa Jepang disebut jisei atau tensu. Menurut Katou dan Fukuchi (1989: 2-3),

“tensu to wa, hanashite ga kono

sekai no jishou o jikan no nagare no naka ni okeru hitotsu no ten toshite torae, hatsuwaji kara mite mae ka ushiro ka o

(3)

20 adalah kategori gramatikal yang menyatakan waktu terjadinya suatu peristiwa atau berlangsungnya suatu aktivitas yang bertitik tolak pada waktu kalimat tersebut diucapkan. Jika waktu berbicara (hatsuwa-ji) atau waktu mengucapkan kalimat tersebut diumpamakan dengan waktu sekarang (saat ini), maka waktu terjadinya peristiwa atau aktivitas tersebut ada tiga, yaitu waktu sebelumnya atau yang telah berlalu (kako) ‘lampau’, waktu saat berbicara (genzai) ‘sekarang/kini’, dan waktu yang akan datang (mirai). Dengan demikian, berdasarkan teori Katou, Fukuchi, dan Sudjianto, penulis menyimpulkan bahwa kala atau jisei adalah kategori gramatikal yang lebih menerangkan dan menitik-beratkan kapan suatu peristiwa itu terjadi, yakni pada masa lampau, sekarang atau pada masa akan datang. Pada saat berujar, saat itulah keadaan peristiwa tersebut disampaikan oleh pembicara.

2. Perubahan Bentuk Kala dalam Predikat Kalimat Bahasa Jepang Dalam bahasa Jepang, kala terbagi atas 2, yakni kala lampau (過

去) dan kala tak lampau (非 過 去).

Kala tak lampau (hikako), meliputi waktu sekarang (genzai), waktu mendatang (mirai) dan tak berkala (chouji). Penggunaan kala tersebut terdapat di setiap predikat dalam kalimat, baik predikat berupa verba, ajektiva dan nomina (Katou dan Fukuchi (1989: 3). Secara lebih rinci, penggunaan kala lampau dan tak lampau beserta perubahannya dalam setiap predikat, dapat diamati pada contoh kalimat berikut ini.

Predikat verba (1) 授 業

先 週 う

終わ

過去

(2) ア ス あ

行 い

現 在 い

(3) 彼 明日来 あ

来 い

(4) ン ピ ッ 四年 毎 開

超時

Predikat ajektiva

a. i-keiyoshi

(1) う 歯 痛

過去

(2) 彼 忙

い 現 在 い

(3) 長期予報

う う

今年 冬

暖 あ

い 来

b. Na-keiyoshi

(1) 彼 元気 過去

(4)

21

(2) 彼 週

現 在

Predikat nomina

(1) う 雨

過去

(2) 今日 う

秋晴 あ

現 在 い

(3) 内田 う

先 生 い

六 月

七十歳

う い

3. Keterlibatan Kala dalam Kalimat

Dalam sebuah kalimat, bentuk kala selain mudah ditemukan dalam kalimat berpredikat tunggal yang menyatakan situasi, aktivitas atau peristiwa, juga bisa ditemukan dalam kalimat majemuk, yang di dalamnya terdapat klausa utama atau shusetsu dan klausa tambahan atau

juuzokusetsu. Berikutnya,

keterlibatan kala dalam kalimat juga dapat ditemukan dalam kalimat yang menyatakan kebenaran pembicara atau hanashite no shinri, baik lewat pernyataan objektif atau kyakkanteki atau pernyataan subjektif atau shukanteki (Katou dan Fukuchi (1989: 4). Berikut contoh kalimatnya.

1. Predikat dalam kalimat tunggal (shubun) yang menyatakan situasi, aktivitas atau peristiwa.

(1) 彼 背 高 い 状態

う い

(2) 僕 来 週 四 年

い う

帰国 動作

2. Predikat dalam kalimat majemuk (fukubun) yang mengandung klausa utama (shusetsu) dan klausa tambahan (juuzokusetsu). (1) 彼 体 力

あ 採用

い う

(2) 航空券 う う

買 ホ テ

予約

3. Predikat dalam kalimat yang menyatakan pernyataan objektif (kyakkanteki) atau pernyataan subjektif (shukanteki) pembicara.

(1) あ あ

(2) 前 言 い

3. Aspek atau Sou

(5)

22 Artinya, aspek adalah sesuatu yang tidak melebarkan ruang lingkup waktu tertentu terkait suatu gejala/masalah, atau suatu kasus, pemahamannya melibatkan proses batin, dan mempersoalkan aspek kedinamisan proses. Jadi, aspek tidak mempermasalahkan ruang lingkup waktu, namun lebih cenderung pada penghayatan batin terkait suatu proses gejala, masalah atau suatu peristiwa. Selanjutnya, Sudjianto (2011: 93) menambahkan bahwa aspek merupakan kategori gramatikal dalam verba yang menyatakan kondisi suatu perbuatan atau kejadian apakah baru dimulai, sedang berlangsung, sudah selesai atau berulang-ulang.

Dengan demikian, berdasarkan pendapat Katou, Fukuchi dan Sudjianto, penulis menyimpulkan bahwa aspek adalah kategori gramatikal dalam verba yang tidak mempermasalahkan kapan suatu situasi atau peristiwa itu terjadi. Aspek lebih menitik-beratkan pada proses kejadian, perbuatan atau situasi yang tercermin dalam sebuah kalimat yang dituturkan oleh pembicara. Oleh karena itu agar bisa

memahami kehadiran aspek dalam sebuah kalimat, diperlukan penghayatan batin yang mendalam.

4. Ciri Khas Verba dalam Aspek Kindaiichi (dalam Sudjianto, 2011: 94-96), memilah jenis verba yang menentukan aspek dalam bahasa Jepang ke dalam empat macam. Berikut uraiannya.

a. Shunkan doushi, yaitu verba yang menyatakan suatu aktivitas atau kejadian, mengakibatkan terjadinya suatu perubahan dalam waktu singkat. Perubahan yang dimaksud adalah “dari

tidak...menjadi...”.

b. Keizoku doushi, yaitu verba yang menyatakan suatu aktivitas atau kejadian yang memerlukan waktu tertentu dan pada setiap bagian waktu tersebut terjadi perubahan. Dengan demikian, waktu kapan dimulai dan kapan berakhirnya suatu aktivitas atau kejadian akan terlihat jelas.

(6)

23 d. Danyonshuu doushi, yaitu verba

yang menyatakan keadaan sesuatu secara khusus, dan selalu dinyatakan dalam verba -te iru atau bentuk sedang.

6. Macam-Macam Aspek dan Maknanya dalam Kalimat Bahasa Jepang

Terkait pengaplikasian aspek dalam kalimat, Katou dan Fukuchi (1989: 26) membagi aspek menjadi 3 golongan, yaitu katsuyougobi, te-kei, dan renyoukei. Berikut uraiannya. 1. katsuyougobi

a. Aspek yang menggunakan verba bentuk ta, memiliki makna ketercapaian perbuatan melalui suatu proses. Misalnya:

(1) 引 越 準備

b. Aspek yang menggunakan verba bentuk ru (masu kei), memiliki makna suatu perbuatan atau keadaan belum tercapai. Misalnya:

(2) 列 車 到 着

2. te kei

a. 1) Aspek yang menggunakan bentuk te iru, menyatakan

suatu peristiwa yang sedang berlangsung. Misalnya:

(3) 桜 花 風 乗

吹雪 う 散 い

2) Menyatakan situasi akhir yang mengandung makna perubahan dalam waktu singkat. Misalnya:

(4) あ ゴ ブ 死

3) Menyatakan perbuatan yang berulang-ulang dilakukan (habituatif). Misalnya:

(5) 僕 朝六時

起 い

4) Menyatakan keadaan sesuatu secara khusus. Misalnya: (6) 山 高 え い

b. te kei+hojodoushi

1) Aspek yang menggunakan bentuk te ita, menyatakan situasi peristiwa yang terjadi di waktu lampau dan sekarang sudah tidak ada lagi. Misalnya:

(7) 日前 え

窓 ス

割 わ

(7)

24 akibat suatu perbuatan seseorang. Misalnya:

(8) 机 え

手紙 置い あ

3) Aspek yang menggunakan bentuk te shimau menyatakan aktivitas/kejadian yang dilangsungkan sampai tuntas. Kedua menyatakan perbuatan yang tidak disengaja (tidak diharapkan) telanjur terjadi. Misalnya:

(9) う 掃除

(aktivitas tuntas)

(10) 酒 飲 (penyesalan)

4) Aspek yang menggunakan bentuk te kuru menyatakan proses munculnya sesuatu dan proses terjadinya perubahan.

(11) 遠 音 聞

え (munculnya sesuatu)

(12) 登山者 山 う

(terjadinya perubahan)

5) Aspek yang menggunakan bentuk te iku menyatakan proses munculnya sesuatu dan proses terjadinya perubahan.

(13) 急 う

問題 い

興味 う

薄 う

い (munculnya sesuatu)

(14) 飛行機 う

爆音 遠

い (terjadinya perubahan)

3. renyoukei+hojodoushi

a. Aspek yang menggunakan bentuk sufiks ...hajimeru, menyatakan dimulainya suatu peristiwa atau perbuatan. Misalnya:

(15) う う 雨 あ

b. Aspek yang menggunakan bentuk sufiks ...dasu, juga menyatakan dimulainya suatu peristiwa atau perbuatan. Misalnya:

(16) 子 急

出 c. Aspek yang menggunakan

bentuk sufiks ...owaru, menyatakan berakhirnya suatu peristiwa. Misalnya:

(17) ポ ト 書

(8)

25 pada bab pembahasan, penulis mencoba mengelompokkan kala dan aspek dalam kalimat bahasa Jepang yang muncul dalam cerpen, lalu akan dibandingkan dan dideskripsikan dengan kalimat terjemahan bahasa Indonesia.

B. Metode Penelitian

Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif-kualitatif. Metode penelitian ini adalah metode yang bertujuan membuat deskripsi; membuat gambaran data secara sistematis dan ilmiah, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti. Metode ini dikatakan pula sebagai pencarian data dengan interpretasi yang tepat (Djajasudarma, 2010: 9).

Adapun teknik penelitian ini adalah teknik simak bebas libat cakap dan catat (Mahsun, 2005: 93). Artinya, dalam penelitian ini, penulis mengamati penggunaan bahasa tokoh dan partisipan lain lewat kalimat-kalimat cerpen. Selanjutnya, teknik catat adalah cara penulis mendapatkan data dengan cara

mencatat dan mengklasifikasikan data kalimat yang mengandung kala dan aspek dalam bahasa Jepang lalu membandingkannya dengan kalimat terjemahan bahasa Indonesia.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Kala atau Jisei

a. Kala lampau 過去 (1) 遠藤

え う

手紙 読 終 え

懐中時計 い う い

出 見

(1987: 205)

‘Setelah selesai membaca surat itu, Endo mengeluarkan jam rantainya dari sakunya.’ (2013: 173)

(9)

26 pada verba dashite miru ‘mengeluarkan’. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia, penanda kohesi gramatikal yang menyatakan selesainya kedua perbuatan tidak diketahui. Terdapat verba selesai, namun verba ini digunakan untuk menyatakan selesainya perbuatan pada klausa tambahan di sisi kiri. b. Kala kini 現在

(2) 私 わ

主人 香港 日 領 う (1987: 201)

‘Majikanku adalah konsul Jepang di Hong Kong.’ (2013: 169)

Kalimat (2) menyatakan keadaan kala kini, yakni keadaan profesi majikan si pembicara. Kalimat ini menyatakan kala kini, karena pada kalimat bahasa Jepang di atas terdapat penanda kohesi gramatikal berupa kopula da yang melekat pada nomina Nihon ryou ‘konsul Jepang’. Dengan demikian, hingga sampai saat ini, majikannya masih menjabat sebagai konsul Jepang. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia, tidak disertakan penanda kohesi leksikal guna menegaskan keadaan tersebut masih berlangsung hingga kini.

3. Kala mendatang 来

(3)

占 う

い 当 う

時 別 礼

い (1987: 197)

‘Nanti kalau ramalan nenek tepat, akan saya kasih lagi.’ (2013: 165)

(10)

27 perbuatan ini akan dilakukan pada masa depan, ditandai dengan kata nanti kalau (makna pengandaian) pada klausa pertama dan akan (makna belum dilakukan) pada klausa kedua. Kata-kata tersebut termasuk ke dalam kategori gramatikal.

2. Aspek atau Sou 1. Katsuyougobi a. masu (ru kei) (4) 今夜 十 時

婆 あ

ア ニ あ

神 乗

移 う

(1987: 204)

‘Malam ini pun pada pukul dua belas, si nenek akan merasukkan dewa Agni ke dalam tubuh saya.’ (2013: 172)

Kalimat (4) menyatakan peristiwa yang akan terjadi pada masa mendatang. kalimat ini sepertinya bisa dimasukkan ke dalam kategori kala mendatang, tapi melihat dari keadaan atau situasi kalimat yang menyatakan proses perbuatan yang berulang-ulang dilakukan oleh pelaku (nenek sihir) dengan merasukkan dewa Agni kepada si pembicara, maka kalimat ini tergolong dalam aspek. Adapun

penanda kohesi yang mempertegas bahwa proses perbuatan ini terjadi berulang-ulang dan memerlukan waktu tertentu untuk melakukan ritual, yakni tiga kategori leksikal seperti keterangan waktu konya ‘malam ini’, 12 ji ’jam 12’, dan mata ‘lagi’. Kemudian kohesi gramatikal berupa partikel mo ‘pun’ dan sufiks masu atau ru yang melekat pada verba utsuru ‘merasukkan’. Begitu juga sebaliknya, dalam bahasa Indonesia juga ditandai dengan kohesi leksikal malam ini, dan jam 12. Lalu, kohesi gramatikalnya yakni kata lagi dan pun.

b. mashita (ru kei)

(5) ア メ 人 う 言 い

新 あ

い見タバ巻煙草

(1987: 196)

‘Sambil berkata demikian, orang Amerika itu menyalakan rokok linting barunya.’ (2013: 164)

(11)

28 mendahuluinya dengan perbuatan berkata sesuatu kepada nenek sihir India. Dengan demikian, ada proses kegiatan lain yakni perbuatan berbicara yang kemudian diselingi dengan perbuatan menyalakan rokok linting baru.

Dalam kalimat bahasa Jepang, proses perbuatan mencapai ketercapaian ditandai dengan sufiks –mashita yang melekat pada verba

tsukeru ‘menyalakan’ yang

merupakan kategori gramatikal berkonjugasi, sebaliknya dalam bahasa Indonesia, ketercapaian perbuatan tidak ditunjukkan melalui penanda kohesi leksikal, misalnya keterangan waktu. Selanjutnya, proses perbuatan berbincang yang memerlukan waktu ditandai dengan sufiks –nagara sebagai kategori gramatikal berkonjugasi, namun dalam bahasa Indonesia sufiks tersebut berubah menjadi kategori gramatikal tak berkonjugasi/menjadi konjungsi.

c. naru (6) 婆

百 弗 小切手

見 急

う 愛想 あい 1987: 197)

‘Begitu melihat cek tiga ratus dolar, serta-merta saja sikap si nenek menjadi ramah.’ (2013: 165)

Kalimat (6) menyatakan perbuatan yang sudah terjadi. Perbuatan yang diwujudkan dengan tingkah laku ramah si nenek setelah ia menerima cek 300 dolar. Walau demikian, ketercapaian perbuatan tersebut diawali oleh proses disodorkannya cek sebesar tiga ratus dolar oleh orang Amerika. Seketika saja, setelah itu ia berubah menjadi ramah.

(12)

29 kata dalam bahasa Jepang ini dalam bahasa Indonesia juga berfungsi sebagai adverbia yang terwujud dalam kata penuh atau jiritsugo. Dengan demikian, kehadiran adverbia ini menambah kejelasan keadaan sikap si nenek yang menjadi ramah.

2. a. te iru

(7) 見え い所 唇 帰

人 馬鹿 う

微笑 う

え 浮 う

い (1987: 202)

‘Jangankan merasa takut,

bahkan dia

menyunggingkan senyum yang seolah melecehkan.’ (2013: 169)

Kalimat (7) menyatakan keadaan atau situasi sikap si nenek. Dalam konteks kalimat sebelumnya, ia menyunggingkan senyum kepada Endo yang sebelumnya telah mengancamnya dengan pistol agar bersedia menyerahkan Taeko. Adapun penanda kategori gramatikal yang menyatakan keadaan atau situasi itu masih bisa diamati keadaannya nampak dari sufiks –te iru yang melekat pada verba ukaberu ‘mengapung’ yang diterjemahkan menjadi melecehkan (tidak

memedulikan). Jadi, dipaksa dengan cara demikian, si nenek tidak menggubris atau pun gentar. Di samping itu partikel –sae yang menyatakan ketidak-percayaan si pembicara terhadap lawan bicaranya (si nenek) turut menjadi faktor masih membekasnya keadaan itu terhadap diri si penutur. Dalam bahasa Indonesia, penggambaran situasi yang masih bisa dirasakan dampaknya seperti –te iru tidak ditemukan, namun penggambaran keadaan ketidak-percayaan pembicara seperti partikel –sae masih bisa diterjemahkan menjadi konjungsi jangankan...bahkan. b. te+imashita

(8) 婆 あ

疑 う

う 日 人 様子 う

窺 う い (1987: 201) ‘Si nenek semakin terlihat curiga, terus-menerus memperhatikan tindak-tanduk orang Jepang itu.’ (2013: 169)

(13)

30 wujudkan dalam perbuatan memperhatikan terus-menerus tingkah laku Endo, orang Jepang tersebut. Lalu, secara gramatikal, ketercapaian perbuatan ditandai dengan sufiks imashita yang melekat pada verba ukagau ‘memperhatikan’. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, tidak ditemukan penanda aspek ketercapaian dalam kejadian tersebut.

c. te+kuru

(9) 見 あ

礼 い

え 碌

い人 多 来

(1987: 197) ‘Akhir-akhir ini, meski

saya sudah meramalkan, banyak orang yang tidak membalas kemurahan hati dengan semestinya.’ (2013: 165)

Kalimat (9) merupakan ujaran si nenek yang ditujukan pada orang Amerika yang ingin diramalnya. Kalimat ini menyatakan makna proses hilangnya penghormatan para pelanggannya yang tidak membalas budi sewajarnya kepada si nenek setelah mereka diramal olehnya. Secara gramatikal, kategori gramatikal yang menandainya ditandai dengan sufiks

–te kuru yang menyatakan demikian. Dalam terjemahan bahasa Indonesia, tidak diketahui secara pasti penanda kategori leksikal atau gramatikal yang menyatakan proses hilangnya sesuatu, namun bila melihat dari konteks kalimatnya, bisa segera dipahami bahwa si nenek memang tengah merasakan hal demikian.

c. te+shimau (10) … 階

窓 顔 出

支那人 女 子

一目見 い

気 う

い (1987: 199)

‘Begitu melihat wajah anak perempuan yang muncul di jendela lantai dua, dia terhenti berjalan dan bengong terpana.’ (2013: 167)

(14)

31 memiliki makna dilangsungkannya kejadian hingga tuntas. Lalu, akhiran-mashita menunjukkan bahwa perbuatan tersebut telah usai. Dalam bahasa Indonesia, penanda yang menunjukkan ketuntasan belum diketahui secara pasti apakah kata terpana, lalu tidak ditemukan pula penanda leksikal yang menyatakan bahwa kejadian tersebut telah usai.

3. a. renyoukei+dasu (11) う 婆

部屋 戸

力い い 叩 出

(1987: 200)

‘Lalu dengan sekuat tenaga dia mengetuk pintu kamar si nenek.’ (2013: 168)

Kalimat (11) memiliki makna dimulainya suatu kegiatan atau perbuatan. Kegiatan atau perbuatan tersebut dilatar-belakangi oleh suatu penyebab. Adapun konteks kalimat di atas yakni, Endo berusaha mengetuk pintu kamar si nenek sekuat tenaga, karena dalam konteks sebelumnya, dinyatakan bahwa ia mendengar tangisan Taeko yang sedang disiksa si nenek. Oleh karena itulah, Endo memberanikan diri melakukan perbuatan tersebut. Adapun penanda kategori

gramatikalnya ditandai dengan sufiks -dashimasita yang bergabung dengan verba tataku ‘mengetuk’. Kejadian tersebut juga telah usai. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia, peristiwa selesainya kejadian tersebut juga tidak bisa diamati secara jelas karena tidak ada penanda kohesinya. Begitu pula dengan bentuk perbuatan yang dilakukan, apakah betul-betul baru dimulai atau tidak, juga tidak diketahui secara pasti.

b. renyoukei+ageru (12) い い 色

い 失 う

う 一度婆 い あ

見 あ

(1987: 199)

‘Wajah E Ren semakin memucat, dan sekali lagi dia menatap wajah si nenek.’ (2013: 167)

(15)

32 ditandai dengan sufiks –agemashita. Secara gramatikal, dalam bahasa Indonesia, tidak ditandai bentuk kohesi yang menunjukkan perbuatan memberi yang dilakukan seseorang kepada orang lain, melainkan harus dipahami dulu konteks kalimatnya.

c. renyoukei+hajimeru

(13)誰 外 来 見 え

戸 叩 音 突然粗々

あ あ

聞え始 (1987: 199)

‘Tepat pada saat itu, tampaknya ada seseorang yang datang, terdengar ketukan yang keras di pintu.’ (2013: 167)

Kalimat (13) memiliki makna yang hampir sama dengan kalimat (10) yakni menyatakan dimulainya suatu kegiatan. Pada konteks kalimat ini, dimulainya suatu bentuk kegiatan atau perbuatan ditandai oleh didengarnya ketukan pintu oleh si nenek (dalam konteks sebelumnya disebut). Perbuatan tersebut menjadi latar belakang sikap dan perbuatan si nenek lainnya yang mulai curiga terhadap orang yang tiba-tiba datang ini (Endo). Dalam bahasa Jepang, penanda gramatikal yang menandai dimulainya suatu perbuatan dalam

kalimat ini ditandai dengan sufiks – hajimeru dan diikut-lekati oleh sufiks mashita yang menandakan bahwa peristiwa ini telah usai. Sebaliknya, dalam terjemahan bahasa Indonesia, tidak diketahui secara pasti penanda kohesi yang menunjukkan kapan perbuatan itu dimulai, dan kapan perbuatan itu berakhir.

D. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis kalimat terkait perbandingan antara kala dan aspek dalam bahasa Jepang dengan bahasa Indonesia, penulis mendapati beberapa perbedaan. Berikut perbedaannya.

(16)

33 berlangsung atau dalam suatu keadaan tidak dinyatakan secara jelas dalam kalimatnya. Jadi, tidak ada penanda kekohesian tertentu yang turut membedakan kapan peristiwa itu terjadi.

2. Bahasa Jepang sangat memperhatikan penggunaan kala atau sou. Dengan demikian, memudahkan seorang pembelajar untuk mengetahui situasi, proses, kejadian atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku atau pembicara dalam kalimat. Adapun wujud kala ditandai dengan penanda-penanda kekohesian gramatikal, seperti –te iru, -te shimasu, -te kuru dan sebagainya. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia, nampaknya tidak diketahui secara pasti wujud penanda kalanya.

3. Pemaknaan arti kalimat bahasa Jepang lebih cenderung bersifat gramatikal, sedangkan bahasa Indonesia bersifat leksikal.

4. Pemaknaan arti kata dalam bahasa Jepang baru bisa diketahui setelah sebuah kata tugas (fuzokugo) bergabung dengan unsur atau kelas kata lain (jiritsugo). Dengan

kata lain, bahasa Jepang mengenal perubahan makna lewat proses berkonjugasinya kata-kata tugas dalam kata lain yang bisa berdiri sendiri. Misalnya: ba tidak akan memiliki arti apa-apa bila tidak bergabung dengan kata lain seperti taberu ‘makan’, sehingga menjadi tabereba ‘bila makan’, -mashita juga tidak memiliki makna apa pun bila tidak digabungkan dengan verba. Misalnya: nomu+mashita= nomimashita yang artinya telah minum. Sebaliknya, dalam bahasa Indonesia, suatu kata dapat berdiri sendiri dan tanpa harus digabung dengan kata lain pun, ia tetap bisa dimaknai secara leksikal. Misalnya: akan memiliki arti hendak, bakal atau memiliki makna sesuatu yang akan terjadi. 5. Terkait jenis dan fungsi aspek

yang muncul dalam cerpen “Dewa Agni” adalah sebagai berikut. a. Kelompok katsuyougobi

(17)

34 (2) mashita/ta-kei, menyatakan

perbuatan yang telah selesai dilakukan.

b. Kelompok te-kei

(1) te iru, menyatakan keadaan atau situasi saat ini.

(2) te imashita, menyatakan peristiwa yang sudah terjadi, namun masih memandang proses kejadian hingga mencapai ketercapaian.

(3) te kuru, menyatakan proses hilang dan munculnya sesuatu.

(4) te shimasu, menyatakan ketuntasan perbuatan,

menyatakan perbuatan yang tak disengaja dan diharapkan akhirnya terjadi.

c. Kelompok renyoukei (1) renyoukei+dasu,

menyatakan dimulainya suatu perbuatan.

(2) renyoukei+ageru,

menyatakan perbuatan yang dilakukan untuk orang lain.

(3) renyoukei+hajimeru, menyatakan dimulainya suatu perbuatan.

E. Daftar Pustaka

Akutagawa, Ryuunosuke. 2013. “Dewa Agni”. Dalam Lukisan Neraka dan Cerpen Pilihan Lainnya. Terjemahan Jonjon Johana dari Akutagawa Ryuunosuke Tanpenshuu: Aguni no Kami (1987). Jakarta: Kansha Publishing.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2010. Metode Linguistik. Bandung: Refika Aditama. Katou, Yasuhiko dan Fukuchi Tsutomu. 1989. Tensu, Asupekuto, Muudo. Tokyo:

Aratake Shuppan.

Kenji, Matsuura. 1994. Nihongo-Indoneshiago Jiten ‘Kamus Bahasa Jepa ng-Indonesia’. Kyoto: Kyoto Sangyo University Press.

(18)

35

Sudjianto dan Ahmad Dahidi. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Jakarta: Kesaint Blanc.

Referensi

Dokumen terkait