• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP BAHAGIA DALAM HADIS NABI SAW : PEMAKNAAN HADIS RIWAYAT IMAM AHMAD BIN HANBAL NOMOR INDEKS 8095.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KONSEP BAHAGIA DALAM HADIS NABI SAW : PEMAKNAAN HADIS RIWAYAT IMAM AHMAD BIN HANBAL NOMOR INDEKS 8095."

Copied!
147
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP BAHAGIA DALAM HADIS NABI SAW

(Pemaknaan Hadis Riwayat Ima>m Ah{mad bin H{anbal nomor Indeks 8095)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Jurusan al-Qur`an dan Hadis

Oleh:

Fatichatus Sa’diyah NIM. E03212048

JURUSAN AL-QUR’AN DAN HADIS

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Fatichatus Sa’diyah (E03212048), Konsep Bahagia Dalam Hadis Nabi SAW

(Pemaknaan Hadis Riwayat Ima>m Ah{mad bin H{anbal nomor Indeks 8095). Skripsi jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negri Sunan Ampel Surabaya.

Ada beberapa kitab-kitab hadis klasik yang banyak menjadi pegangan umat Islam. Diantaranya adalah Muwat}t}a>’ Malik, Musnad al Sha>fi`i>, Musnad Ah}mad, S}ah}i>h} al Bukha>ri>, S}ah}i>h} Muslim, Sunan Abu> Da>wud, Sunan Tirmidhi>, Sunan al Nasa>’i>, dan Sunan Ibn Ma>jah. Musnad Ah}mad merupakan kitab hadis terbesar dan terbanyak memuat hadis. Kitab ini memuat 40.000 hadis. Kitab ini merupakan salah satu kitab hadis termasyhur dalam sejarah perkembangan kitab hadis. Di dalamnya terdapat hadis s}ah}i>h}, h}asan, dan d}a`i>f. Di sisi lain, semua manusia mendambakan kebahagiaan dalam kehidupannya. Namun, tidak semua perjalanan manusia mencari kebahagiaan menemukan jalan dan cara-cara yang benar untuk meraihnya. Salah satu kandungan hadis Nabi SAW no 8095 dalam Musnad Ah}mad menjelaskan tentang kebahagiaan manusia. Dalam hadis tersebut terdapat penjelasan mengenai kebahagiaan dalam dua sisi, sisi vertical (hubungan manusia dengan Allah) dan sisi horizontal (hubungan manusia dengan sesamanya). Oleh karena, itu akan lebih baik jika hadis ini dikaji dalam berbagai aspeknya, baik aspek internal (matan hadis) maupun aspek eksternal (sanad hadis), serta pemaknaannya.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kualitas hadis dalam kitab Musnad Ah}mad No indeks 8095, serta menjelaskan pemaknaan hadis tentang konsep bahagia menurut hadis Nabi SAW.

Penelitian ini bersifat kepustakaan (library research). Untuk merealisasikan tujuan tersebut, penulis mengumpulkan data yang diperoleh dari Musnad Ah}mad dan kitab-kitab penunjang lain. Kemudian dilakukan analisa dengan melakukan takhri>j dan melakukan kritik sanad dan matan terhadap hadis yang diteliti serta melakukan i`tiba>r dengan mengumpulkan sanad-sanad dari jalur yang lain agar diketahui muttabi` dan syahidnya.

Hasil dari penelitian ini adalah hadis tersebut berkualitas d}a`i>f. Setelah dilakukan i`tiba>r, hadis tersebut tidak dapat naik derajatnya menjadi h}asan sebab tidak ada penunjang lain yang thiqah.

Pemaknaan hadis di atas mengandung nasehat. Dari penjelasan beberapa nasehat tersebut, dua nasehat diantaranya berhubungan dengan Allah, yakni takut terhadap segala hal yang diharamkan oleh Allah SWT dan qana’ah terhadap pemberian Allah. Dua nasehat diantaranya berhubungan dengan sesama, yakni perintah untuk berbuat baik kepada tetangga dan mencintai sesama sebagaimana mencintai diri sendiri. Satu diantaranya berhubungan dengan diri sendiri, yakni larangan untuk banyak tertawa. Secara tidak langsung, hadis tersebut memerintahkan untuk berbuat baik kepada Allah SWT, kepada sesama manusia, dan berbudi pekerti yang baik. Seseorang yang dapat berbuat baik kepada Allah dan manusia, niscaya amal jeleknya lebih sedikit dari pada amal buruknya, dan kebahagiaan akan diraihnya.

(6)

DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Sampul Dalam ... i

ABSTRAK ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN ... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

PEDOMAN TRANSELITERASI ... viii

KATA PENGANTAR ... x

PERSEMBAHAN ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

(7)

C. Rumusan Masalah ... 9

D. Tujuan Penelitian ... 9

E. Kegunaan Penelitian ... 9

F. Kajian Pustaka ... 10

G. Metode Penelitian ... 15

H. Sistematika Pembahasan ... 20

BAB II METODE KRITIK HADIS DAN PEMAKNAANNYA ... 22

A. Kriteria Kes}ah}i>h}an Hadis ... 22

1. Teori al Jarh} wa al Ta`di>l ... 36

B. Teori Keh}ujjahan Hadis ... 39

C. Kaidah Pemaknaan Hadis ... 42

BAB III IMA<M AH{MAD BIN H{ANBAL DAN KITAB AL MUSNAD ... 48

A. Biografi Ah}mad bin H{anbal ... 48

B. Karakteristik Musnad Ah}mad ... 51

C. Data dan Skema Sanad ... 59

1. Data Hadis ... 59

2. Skema Sanad ... 62

D. I’tiba>r dan Skema Sanad Keseluruhan ... 104

(8)

A. Kualitas Sanad ... 105

B. Kualitas Matan ... 110

C. Keh}ujjahan Hadis ... 113

D. Kandungan Matan Hadis ... 116

BAB V PENUTUP ... 130

A. Kesimpulan ... 130

B. Saran ... 131

DAFTAR PUSTAKA ... 133

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua manusia mendambakan kebahagiaan dalam kehidupannya. Namun, tidak semua perjalanan manusia mencari kebahagiaan menemukan jalan dan cara-cara yang benar untuk meraihnya. Untuk mendapatkan dan merasakan kebahagiaan tidak bisa ditempuh dengan hanya satu jalan tetapi begitu banyak jalan. Jalan-jalan tersebut tersedia begitu lapang dan luas untuk dilalui manusia. Besar-kecilnya jalan yang ditempuh bergantung pada manusia yang melaluinya. Jika upaya seseorang dengan sungguh-sungguh menelusuri jalan-jalan yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan agama, betapapun banyak jalan, tidak membuat seseorang menjadi bingung dan resah dalam perjalanan karena semakin banyak jalan yang diraih, semakin besar pula potensi kebahagiaan yang dapat dirasakan.1

Ibn Maskawaih mengupas teori kebahagiaan sesuai dengan pandangan Aristoteles, yang dibagi menjadi tiga yaitu 1) kebahagiaan jiwa atau rohani, misalnya kebijaksanaan, dan kebenaran. 2) kebahagiaan badan atau jasmani, misalnya kecantikan dan kesehatan. 3) kebahagiaan di luar badan, misalnya

1

(10)

2

kawan yang setia, anak-anak yang sehat dan salih, harta kekayaan dan sebagainya.2

Atas kerangka kebahagiaan menurut Aristoteles itu, Ibn Maskawaih membagi kebahagiaan menjadi tiga tingkat, yakni: 1) al Nafs al Bahi>mah (nafsu kebinatangan), ini tingkat terendah. 2) al Nafs Subu’iyah (Nafsu binatang buas), ini tingkat sedang. 3) al Nafs Na>t}iqah (jiwa yang cerdas), ini yang baik. Jiwa yang cerdas memiliki ciri-ciri sifat adil, cinta kebenaran dan mengabdi kebenaran, mempunyai harga diri yang tinggi, berani, pemurah, cinta dan kasih sayang, benar dan sebagainya.3

Dalam meraih kebahagiaan, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) memiliki

dua konsep, yang pertama adalah konsep “segitiga cinta” dan yang kedua

adalah konsep “hati yang selesai”. Konsep segitiganya Cak Nun merupakan

rangkaian cinta antara Allah, Nabi Muhammad SAW, dan manusia serta salawatlah yang menjadi media dialektikanya. Tujuan dari dialektika ini adalah agar Allah berkenan mencintai manusia, karena ketika Allah berkenan mencintai manusia, maka apapun yang diminta oleh manusia akan dikabulkan oleh Allah. Konsep tersebut dicetuskan oleh Cak Nun karena mengingat permasalahan yang dihadapi oleh manusia sangat kompleks, sehingga

2

Umar Hasyim, Memburu Kebahagiaan, cetakan pertama (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), 197.

3

(11)

3

dibutuhkan intervensi Tuhan secara langsung terhadap apapun yang terjadi pada manusia.4

Dalam konsep “hati yang selesai”, Cak Nun menjelaskan bahwa hati

yang selesai adalah hati yang tidak heboh dengan macam-macam obsesi dan nafsu, tidak meributkan scenario-skenario individual dan subyektif, hati yang bisa menerima apapun takdir Tuhan yang ditetapkan untuknya, tidak risau dan tidak hanyut dalam janji-janji kemewahan dunia. Tanpa adanya suatu pemberontakan dalam dirinya.5

Menurut al Ghazali> dalam Mi>za>n al `Amal, bahwa kebahagiaan merupakan tuntutan dan tujuan manusia sejak dahulu hingga akhir zaman, dan hanya bisa dicapai dengan menintegrasikan ilmu dan amal. Ilmu sebagai acuan dasar, dan amal sebagai acuan penyempurnanya. Kebahagiaan yang paling utama adalah kebahagiaan akhirat, sementara kebahagiaan dunia adakalanya semu, tipuan atau kebenaran jika membantu kebahagiaan akhirat. Kebahagiaan itu dicapai dengan mensinergikan empat keutamaan setelah keutamaan akhirat, yaitu keutamaan jiwa (yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, pemeliharaan diri, dan keadilan), keutamaan badan (yang meliputi kesehatan, kekuatan, hidup teratur dan panjang umur), keutamaan eksternal (yang meliputi kekayaan, keluarga, kedudukan sosial, dan kehormatan keturunan), dan keutamaan taufiq (yang meliputi petunjuk dan pertolongan

4

Ahmad Mahdi, “Konsep Kebahagiaan Emha Ainun Nadjib dan Realisasinya Pada Jama’ah Maiyah”, (Skripsi—UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2014), 79.

5

(12)

4

Allah SWT). Untuk meraih kebahagiaan itu, manusia harus memiliki pokok-pokok keutamaan jiwa yang secara global terdiri dari dua macam: kecermatan hati dan akhlak mulia. Dengan kecermatan hati, dapat diketahui jalan kebahagiaan dan jalan kesengsaraan dan kemudian mengamalkan jalan kebaikan. Budi pekerti yang baik dapat dilakukan dngan menghilangkan kebiasaan yang buruk sesuai dengan petunjuk yang diberikan oleh Agama.6

Sebagai utusan Allah, Nabi Muhammad adalah panutan dan tokoh masyarakat. Dalam kapasitasnya sebagai Rasul, pemimpin masyarakat, panglima perang, kepala rumah tangga dan teman, segala tingkah laku, ucapan dan petunjuk yang disampaikan disebut hadis yang merupakan bentuk implementasi dari ajaran Islam yang didasarkan pada al-Qur’an. Nabi sendiri sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, ia selalu memanfaatkan setiap kesempatan untuk menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawanya, dan sahabat pun mengambil kesempatan itu untuk belajar lebih banyak mengenai ajaran-ajaran yang diembannya.7

Kandungan hadis memiliki dimensi yang menyeluruh. Dimensi ini dapat dilihat dalam semua aspek kehidupan manusia dipandang dari segi vertikal, horizontal, dan kedalamannya. Dari segi vertikal meliputi semua aspek kehidupan manusia dalam semua aktivitasnya baik di rumah, pasar,

6Yusuf Suharto, “Konsep Kebahagiaan (Studi pemikiran al Ghazali>

dalam Miza>nal `Amal)” (Tesis— UIN Sunan Ampel, Surabaya, 2011), 89-90.

7

(13)

5

masjid, jalan, maupun lingkungan pekerjaan. Selain itu, juga mencakup hubungannya dengan Allah dan dengan manusia, seperti hubungannya dengan keluarga, sesama muslim dan nonmuslim, bahkan dengan seluruh umat manusia, hewan, dan benda mati.8

Segi horizontal meliputi jarak masa yang dijalankan manusia dimulai dari kelahirannya hingga kematiannya, juga mencakup masa kandungannya hingga kehidupannya sesudah mati. Adapun segi kedalamannya meliputi pandangan yang menyorot pada diri manusia baik pada jasad, akal, dan roh. Hal ini berarti mencakup segi lahiriah dan batiniah manusia, seperti ucapan, perbuatan, dan niat manusia yang kesemuanya ini diatur dan dijelaskan dalam hadis Nabi SAW.9

Salah satu kandungan hadis Nabi SAW menjelaskan tentang kebahagiaan manusia, yang berbunyi:

`Abd al Razza>q telah menceritakan kepada kami, Ja`far –yakni Ibn Sulayman- telah menceritakan kepada Razza>q dari Abi> T{a>riq dari al H{asan dari Abu Hurayrah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa

8Yusu>f al Qarad{a>wi>

, Studi Kritis al Sunnah, terj. Bahrun Abubar (Bandung: Trigenda Karya, t.th.), 11-12.

9

Ibid., 12.

10 Ah{mad bin H{anbal, Musnad al Ima>m Ah{mad bin H{anbal

(14)

6

yang ingin belajar dariku tentang lima perkara kemudian mengamalkannya, atau mengajarkannya kepada orang yang mau mengamalkan? Kemudian Abu> Hurayrah berkata: saya, Wahai Rasul. Kemudian ia meraih tangan Abu> Hurayrah seraya berkata: takutlah kepada semua hal yang diharamkan maka kamu akan menjadi manusia yang paling ahli beribadah, relalah dengan semua hal yang Allah berikan kepadamu maka kamu akan menjadi manusia yang paling kaya, berbuat baiklah kepada tetanggamu maka kau termasuk orang yang benar-benar mukmin, cintailah manusia sebagaimana cintamu pada dirimu sendiri maka kau benar-benar orang yang muslim, dan janganlah kau banyak tertawa karena sesungguhnya banyak tertawa itu dapat mematikan hati.

Dalam hadis tersebut terdapat penjelasan mengenai kebahagiaan dalam dua sisi, sisi vertical (hubungan manusia dengan Allah) dan sisi horizontal (hubungan manusia dengan sesamanya). Oleh karena, itu akan lebih baik jika hadis ini dikaji dalam berbagai aspeknya, baik aspek internal (matan hadis) maupun aspek eksternal (sanad hadis), serta pemaknaannya. Agar penjelasan tentang kebahagiaan dalam hadis ini dapat diketahui secara konkrit sebagaimana pendapat al Ghazali> dan Aristoteles di atas.

(15)

7

700.000 hadis yang dihafal Imam Ah{mad bin H{anbal. Kebanyakan hadis di dalamnya tidak termasuk dalam al Kutub al Sittah.11

Hadis ini semakin menarik apabila dikaji dari semua aspeknya. Khususnya kandungan hadis ini yang terdapat dalam Musnad Ah{mad, mengingat kitab ini adalah kitab induk yang banyak dijadikan rujukan umat Islam. Kitab ini merupakan kitab hadis termasyhur dalam sejarah perkembangan kitab hadis. Di dalamnya terdapat hadis s}ah}i>h}, h}asan, dan d}a`i>f. Dalam buku Studi Kitab Hadis karya Zainul Arifin dijelaskan bahwa

dalam al Musnad terdapat hadis-hadis d}a`i>f yang derajatnya mendekati hasan.12 Imam Ah}mad merupakan salah satu ulama hadis yang menjadikan hadis d}a`i>f sebagai hujjah jika hadis tersebut termasuk fad}a>’il `amal.13

Dalam penelitian ini penulis menggunakan Musnad Imam Ah}mad bin H{anbal yang dicetak oleh Muassasah al Risa>lah di Beyrut pada tahun 1995.

Kitab ini telah ditahqiq oleh Shu`ayb al Arn>a’u>t} dan `A<dil Murshid. Kitab ini merupakan kitab cetakan baru yang sistematika penulisannya berbeda dengan penulisan Musnad Ahmad yang dicetak tanpa nomor hadis. Kitab ini telah tertulis secara rapi beserta nomor hadisnya. Jarak antara hadis yang satu dengan yang lain pun tidak terlalu berdempetan. Oleh karena itu, penomoran dan jarak yang teratur memudahkan pembaca memahami setiap hadisnya.

11Nasrun Haroen, “Kitab Hadis”, Ensiklopedi Islam

, Vol 2, ed. Nina M. Armando, et al., (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005), 258.

12

Arifin, Studi Kitab, 96.

13

(16)

8

Di samping itu, Ima>m Ah{mad juga merupakan ulama hadis yang sangat berjasa sekali dalam kodifikasi hadis Nabi. Hal ini merupakan argumentasi utama penulis dalam memilih kitab hadis beliau sebagai instrumen utama penelitian ini. Di sisi lain, penulis juga belum menemukan adanya penelitian lain tentang Kitab Musnad Ah{mad ini yang berkenaan dengan hadis tentang Konsep Bahagia dalam Hadis Nabi SAW menjadikan penelitian ini menemukan relevansinya.

B. Identifikasi Masalah

Terkait hadis tentang konsep bahagia dalam kitab Musnad Ah{mad Nomor Indeks 8095 ini, ada beberapa permasalahan yang dapat dikaji. Diantaranya:

1. Bagaimana urgensi ini hadis bagi umat Islam?

2. Bagaimana aplikasi kandungan hadis bagi kehidupan manusia? 3. Bagaimana peran ulama hadis terhadap perkembangan hadis? 4. Siapa Ima>m Ah{mad bin H{anbal?

5. Bagaimana kontribusinya untuk perkembangan hadis?

6. Bagaimana kualitas hadis tentang konsep bahagia menurut Nabi SAW dalam Musnad Ah{mad nomor indeks 8095?

7. Bagaimana kehujjahan hadis tentang konsep bahagia menurut Nabi SAW

(17)

9

8. Bagaimana pemaknaan hadis tentang konsep bahagia menurut Nabi SAW

dalam Musnad Ah{mad nomor 8095? C. Rumusan Masalah

Dari beberapa permasalahan yang diidentifikasi di atas, perlu adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam penelitian ini tidak melebar. Batasan masalah tersebut sebagai berikut:

1. Bagaimana kualitas dan kehujjahan hadis tentang konsep bahagia menurut Nabi SAW dalam Musnad Ah{mad nomor indeks 8095?

2. Bagaimana pemaknaan hadis tentang konsep bahagia menurut Nabi SAW

dalam Musnad Ah{mad nomor indeks 8095? D. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui kualitas dan kehujjahan hadis tentang konsep bahagia menurut Nabi SAW dalam Musnad Ah{mad nomor indeks 8095

2. Untuk mengetahui pemaknaan hadis tentang konsep bahagia menurut Nabi SAW dalam Musnad Ah{mad nomor indeks 8095

E. Kegunaan Penelitian

(18)

10

1. Secara teoretis, Penelitian ini berguna sebagai sumbangsih akademis bagi civitas akademika yang mendalami kajian hadis dan sebagai pijakan untuk penelitian selanjutnya.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga seseorang dapat menjalin interaksi yang lebih baik dengan sesamanya dan dapat menjalin hubungan yang lebih baik dengan Tuhannya

F. Kajian Pustaka

Ada beberapa literature yang membahas mengenai Ima>m Ah{mad bin H{anbal dan karyanya. Literature tersebut sebagai berikut:

1. Skripsi karya Athiyyatul Maula sarjana Tafsir Hadis Universitas Islam Negri Sunan Ampel tahun 2013 yang berjudul Puasa Wis}a>l dalam Musnad Ahmad bin Hanbal (Studi Pemaknaan Hadis No Indeks 5922 dan 1106). Berdasarkan hasil penelitian ini, kualitas hadis tentang puasa wis}a>l

tergolong shahih marfu’. Tetapi, hadis ini dipahami sebagian ulama

bukanlah sebagai hadis yang menetapkan melakukan puasa wis}a>l atau melarang untuk melakukannya. Rasulullah SAW tidak membolehkan puasa wis}a>l. Namun hanya rasul saja yang boleh melakukannya.

(19)

11

Kasus dalam Kitab Sunan al Tirmidhi> No Indeks 2804 dan Musnad Ah{mad bin H{anbal no Indeks 11998). Hasil penelitian ini adalah hadis

yang menyatakan paha sebagian dari aurat merupakan hadis yang dijadikan ketetapan syariat. Sedangkan hadis yang kedua menerangkan kebolehan terbukanya paha pada waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain, penyelesaian hadis yang bertentangan dalam penelitian ini menggunakan al jam` wa al taufi<q.

3. Skripsi Mohammad Didik Sulaiman sarjana Tafsir Hadis Universitas Islam Negri Sunan Ampel tahun 2014 yang berjudul Perempuan Berpakaian Tetapi Telanjang Dalam Hadis Musnad Ah{mad No Indeks

9693 (Tinjauan Perspektif Ilmu Ma’ani Hadis). Dalam penelitian ini

diketahui bahwa hadis No 9693 berkualitas s}ah}i>h} li dha>tih, sanadnya bersambung sampai Nabi, seluruh periwayatannya dari orang-orang thiqah sehingga layak dijadikan hujjah.

4. Skripsi karya Miftakhur rohmah sarjana tafsir Hadis Universitas Islam Negri Sunan Ampel tahun 2002 yang berjudul Studi Menyambung Rambut Dalam Musnad Ah{mad bin H{anbal. Penelitian ini menghasilkan penemuan bahwa hadis tentang menyambung rambut dalam Musnad Ah{mad terdapat Sembilan hadis. Setelah diteliti, salah satu hadis tersebut

(20)

12

dijadikan hujjah dan dapat diamalkan, bahwa orang yang menyambung rambut akan dilaknat oleh Allah karena mengandung unsur penipuan terhadap manusia.

5. Skripsi karya Lailatul Fitriyah sarjana Tafsir Hadis Universitas Islam Negri Sunan Ampel tahun 2002 yang berjudul Studi Hadis Tentang Mi`ra>j

Dalam Musnad Ah{mad bin H{anbal (Pertemuan Nabi Muhammad dengan

Nabi Isa dan Nabi Ibrahim). Menurut hasil penelitian ini, kualitas hadis tersebut adalah mursal s}ah}a>bi>, yang menurut mayoritas ulama dapat dijadikan hujjah. Oleh karena itu, hadis tersebut harus dipercaya karena berdasarkan kandungan matannya, hadis tersebut bernilai histororis. 6. Skripsi Moh. Khamim Thohari sarjana Ah{wa>l al Shakhs}i>yah Universitas

Islam Negri Sunan Ampel yang berjudul Pandangan Ima>m Ah{mad bin H{anbal Tentang Nafkah Istri yang dit{alaq ba>’in dan relevansinya dengan pasal 149 ayat B Kompilasi Hukum islam. Berdasarkan hasil penelitian ini, peradilan agama diharapkan mengadakan penyuluhan hukum berkenaan dengan masalah nafkah istri yang dit{alaq ba>’in dalam keadaan tidak hamil. Dari penyuluhan, diharapkan adanya suatu kesadaran betapa pentingnya pengetahuan seorang istri tentang hak-haknya selama menjalani masa iddah.

(21)

13

Tauhid (Studi Hadis Dalam Kitab Musnad Ah{mad bin H{anbal 21466). Menurut hasil penelitian ini, kualitas hadis tersebut s}ah}i>h}. Hadis ini menyiratkan makna bahwa dalam perjalanan hidup manusia harus didasari dengan tauhid yang kuat. Hadis ini juga memerintahkan untuk segera bertaubat bagi yang melakukan dosa.

8. Skripsi M. Sholeh sarjana Tafsir Hadis Universitas Islam Negri Sunan Ampel tahun 2009 yang berjudul Studi Kualitatif Hadis Tentang Puasa `A<shu>ra>’ dalam Kitab Sunan Abu> Dawu>d dan Musnad Ah{mad bin H{anbal. Berdasarkan hasil penelitian ini, kualitas hadis tersebut s}ah}i>h} li dha>tih. Rasulullah menyariatkan untuk berpuasa mulai dari hari kesembilan bulan Muharram.

Ada juga beberapa literatur yang membahas tentang kebahagiaan. Diantaranya adalah:

1. Buku karya Anwar Sanusi yang berjudul Jalan Kebahagiaan, diterbitkan oleh Gema Insani di Depok pada tahun 2006. Dalam buku ini dikupas mengenai jalan kebahagiaan dari berbagai bidang, seperti bidang politik, sosial, kebudayaan, akidah, ibadah, keluarga, dan bidang pendidikan.

2. Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin karya Hamzah Ya’qub

(22)

14

taubat, tawakkal, raja>’, mura>qabah, istiqamah, s}iddi>q, shaja>`ah, zuhud, s}adaqah, zikir, doa, istighfa>r, tilawah al-Qur’an, tahajjud, puasa, dhikr al

mawt, menuju alam baqa>’, serta tangis dan air mata.

3. Jujur; modal kebahagiaan dan keselamatan dunia akhirat karya Sa’id

Abdul Halim yang diterbitkan oleh Pustaka Azzam di Jakarta pada tahun 2005. Dalam buku ini dijelaskan bahwa kejujuran dalam segala hal, baik jujur dalam keikhlasan, kesabaran, taubat, zuhud, tawakkal, mengenali diri dan mengenali musuh merupakan kunci keselamatan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.

4. Penghimpun Kebahagiaan karya al Naraqi yang diterbitkan oleh Mizan di Bandung pada tahun 1993. Kebahagiaan sejati dapat dicapai atau dipertahankan dengan bersihnya segala daya jiwa. Oleh karena itu, orang yang berusaha mencapai kebahagiaan terakhir dan sempurna harus membebaskan dirinya dari cengkeraman kekuatan-kekuatan dan kecenderungan-kecenderungan hewani, dan melangkah ke wilayah yang lebih tinggi.

(23)

15

dan amal. Ilmu sebagai prasyarat yang sangat penting dan amal adalah penyempurna bagi ilmu.

Sebatas pengetahuan penulis tidak ditemukan literatur atau hasil penelitian akademis (skripsi, tesis, dan disertasi) yang membahas hadis tentang Konsep Bahagia Dalam Hadis Nabi SAW (Pemaknaan Hadis Riwayat Ima>m Ah{mad bin H{anbal No Indeks 8095).

G. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah prosedur atau langkah-langkah dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu. Jadi, metode penelitian adalah cara sistematis untuk menyusun ilmu pengetahuan.14 Metode penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini meliputi:

1. Jenis penelitian

Menurut Prof. Sutrisno Hadi, MA, jenis-jenis penelitian dapat dilihat dari sudut tinjauan tertentu. Diantaranya dari tinjauan bidangnya, tempat, pemakaiannnya, tujuan umum dan pendekatannya.15 Jadi, menurut bidangnya, penelitian ini termasuk pada penelitian agama,16 karena penelitian ini membahas tentang hadis. Sedangkan, menurut tempatnya,

14

Suryana, Metodologi Penelitian: Model Praktis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif (Jakarta: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), 20.

15

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, cetakan pertama (Jakarta: PT Bumi Aksara, 1997), 41.

16

(24)

16

penelitian ini termasuk pada penelitian perpustakaan,17 karena data-data penelitian ini diolah melalui penggalian dan penelurusan terhadap buku-buku dan kitab-kitab, dan catatan lainnya yang mendukung penelitian. Berdasarkan paradigmanya, penelitian ini termasuk pada penelitian kualitatif. Karena pada penelitian ini menyiratkan penekanan para proses dan makna yang tidak dikaji secara ketat atau belum diukur dari sisi kuantitas, jumlah, intensitas, dan frekuensinya.18

2. Sumber penelitian

Terkait sumber data yang digunakan sebagai bahan dasar dalam penelitian ini terdapat dua data, yakni data primer dan data sekunder. Data primer adalah sumber data utama yang digunakan dalam penelitian. Sedangakan, sumber data sekunder adalah sumber data yang melengkapi data primer, atau sumber-sumber yang berhubungan dengan data primer. Data primer dalam penelitian ini adalah Musnad Ah{mad bin H{anbal karya Imam Ah{mad bin H{anbal. Sedangkan data-data pendukung lainnya antara lain:

a) Sunan al Tirmidhi< karya Muh{ammad bin `Isa> bin Surah al Tirmidhi< b) Sunan Ibn al Ma>jah karya Abu> `Abd al la>h Muh{ammad bin Yazi>d al

Qazwi>ni>

c) Fayd{ al Qadi>r Sharh{ Ja>mi` al Shaghi>r karya Abd al Ra’u>f al Mana>wi>

17

Joko Subagyo, Metode Penelitian; Dalam Teori dan Praktek, cetakan kelima (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), 109.

18

(25)

17

d) Tuh{fah al Ah{wa>dhi> bi Sharh{ Ja>mi` al Tirmudhi> karya Abu> al `Ali> Muh{ammad `Abd al Rah{man bin `Abd al Rah{i>m al Mabarkafu>ri>

e) Siyar A`la>m al Nubala>’ karya Shams al Di>n Muh{ammad bin Ah{mad bin Uthma>n al Dhahabi<

f) Mi>za>n al I`tida>l fi> Naqd al Rija>l karya Abu> `Abd al la>h Muh{ammad bin Ah{mad bin Uthma>n al Dhahabi>

g) Tadhh>ib; Tahdhi>b al Kama>l fi> Asma>’ al Rija>l karya Shams al Di>n Abi> `Abd al la>h Muh{ammad bin Ah{mad bin Uthma>n bin Qima>z yang terkenal dengan al Dhahaby>

h) Tahdhi>b al-Tahdhi>b karya Ah{mad bin `Ali> bin H{ajar al `Asqala>ni> i) Pemahaman Hadis Nabi Secara Tekstual dan Kontekstual karya M.

Syuhudi Ismail

Selain literature yang telah dipaparkan di atas, masih ada beberapa literature lain yang menjadi sumber data sekunder selama literature tersebut memiliki hubungan pembahasan dalam penelitian ini.

3. Metode pengumpulan data

(26)

18

lain sebagainya.19 Dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini berupa tulisan dan karya-karya tentang hadis. Salah satu bentuk dokumentasi yang dilakukan dalam mengumpulkan hadis yang akan diteliti antara lain dengan:

a) Takhri>j hadis

Takhri>j hadis adalah penjelasan keberadaan sebuah hadis dalam

berbagai referensi hadis utama dan penjelasan otentisitas serta validitasnya.20 Dengan kata lain, takhri>j hadis adalah suatu usaha menggali hadis dari sumber otentik representative.

b) I`tiba>r

I`tiba>r adalah suatu usaha untuk mencari dukungan hadis dari kitab lain yang setema. I`tiba>r juga berguna untuk mengkategorikan muttaba` ta>m atau muttaba` qa>s}ir yang berujung pada akhir sanad

(nama sahabat) yang berbeda (sha>hid).21

Dengan metode ini pula, hadis yang sebelumnya berstatus rendah dapat terangkat satu derajat, jika terdapat riwayat lain yang perawi-perawinya lebih kuat.

4. Metode analisis data

Metode analisis data dalam penelitian ini meliputi dua cara, yakni kritik sanad dan kritik matan. Kritik sanad adalah penelitian yang dilakukan

19

Haris Herdiansyah, Metodologi Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial, catatan ketiga, (Jakarta: Salemba Humanika, 2012), 146.

20

Tim Penyusun, Studi Hadis, 171.

21

(27)

19

untuk mengukur ketersambungan sanad, keadilan perawi, kedhabitan perawi, ketiadaan hal yang janggal dan yang cacat. Untuk mengukur semua hal ini diperlukan ilmu Rija>l al Hadi>th dan ilmu al Jarh{ wa al Ta`di>l, untuk mengukur kekuatan hubungan guru-muridnya dapat diketahui dari al Tah{ammul wa al Ada>’. Semua hal itu dilakukan untuk mengukur integritas seorang perawi dan untuk mengetahui validitas ketersambungan guru-murid mereka.

Kritik matan adalah penelitian yang dilakukan untuk mengetahui konten hadis tersebut. Hal ini dapat diketahui dari matan hadis tersebut terhindar dari shudhudh dan matan hadis terhindar dari illat. Syarat dari matan yang terhindar dari shudhudh ialah matan tersebut tidak ghari>b, dan tidak menyalahi riwayat yang lebih kuat. Adapun ketentuan dari matan yang terhindar dari illat antara lain tidak terdapat ziya>dah lafadz, tidak terdapat idra>j dalam lafadz matan, dan tidak terdapat iz{tira>b (pertentangan yang

tidak dapat dikompromikan) dalam lafadz matan.22

Secara umum, suatu matan hadis dapat dikatakan sahih apabila tidak bertentangan dengan petunjuk al-Qur’an, hadis yang lebih kuat dan akal sehat dan sejarah.23

22

Tim Penyusun, Studi Hadis, 166-167.

23

(28)

20

H. Sistematika Pembahasan

Masalah pokok yang disebutkan di atas, dalam penelitian ini dibagi menjadi lima bab sebagaimana berikut:

Bab pertama, pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab ini digunakan sebagai pedoman, acuan dan arahan sekaligus target penelitian, agar penelitian dapat terlaksana secara terarah dan pembahasannya tidak melebar.

Bab kedua, landasan teori yang berisi tentang kaidah kesahihan, kehujjahan dan Pemaknaan hadis. Bab ini merupakan landasan yang menjadi tolok ukur dalam penelitian ini.

Bab ketiga, tinjuan redaksional hadis tentang Konsep Bahagia Dalam Hadis Nabi SAW, yang membahas tentang biografi Ima>m Ah{mad bin H{anbal dan kitabnya Musnad Ah{mad bin H{anbal, serta menampilkan hadis tentang konsep bahagia yaitu meliputi: data hadis, skema sanad hadis nomor 8095, I`tiba>r dan skema sanadnya secara keseluruhan.

(29)

21

(30)

BAB II

METODE KRITIK HADIS DAN PEMAKNAANNYA

A. Kriteria Kes}ah}i>h}an Hadis

Untuk meneliti dan mengukur kes}ah}i>h}an suatu hadis diperlukan acuan standar yang dapat digunakan sebagai ukuran menilai kualitas hadis. Acuan yang dipakai adalah kaidah keabsahan (Kes}ah}i>h}an) hadis, jika hadis yang diteliti ternyata bukan hadis mutawa>tir.1

Kriteria kes}ah}i>h}an sanad dan matan dapat diketahui dari pengertian istilah hadis s{ah}i>h}.2 Menurut ulama hadis, misalnya Mah}mu>d al T{ah}h}a>n, hadis s}ah}i>h} ialah3

Hadis s}ah}i>h} adalah hadis yang sanadnya sambung, diriwayatkan oleh perawi yang `adil dan d{a>bit} sampai akhir sanad serta tidak terdapat kejanggalan (shudhu>dh) dan cacat (`illat).

Dari pengertian tersebut, dapat diuraikan unsur-unsur hadis sahih menjadi:

1. Sanadnya sambung

1

Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadis, cetakan kedua (Surabaya: Sunan Ampel Press, 2012), 155.

2

M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya, cetakan pertama (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 76.

3Mah{mu>d al T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah} al Hadi>th

(31)

23

2. Perawi bersifat `a>dil 3. Perawi bersifat d}a>bit}

4. Dalam hadis tersebut tidak terdapat kejanggalan (shudhu>dh) 5. Dalam hadis tersebut tidak terdapat cacat (`illat)

Ketiga unsur yang pertama berkenaan dengan sanad. Sedangkan, dua unsur terakhir berkenaan dengan sanad dan matan. Dengan demikian, unsur-unsur yang termasuk persyaratan umum kaidah kes}ah}i>h}an hadis ada tujuh macam, yakni lima macam berkaitan dengan sanad dan dua macam berkaitan dengan matan. Persyaratan umum itu diberi istilah sebagai kaidah mayor sebab masing-masing unsurnya memiliki persyaratan khusus. Sedangkan, yang berkaitan dengan persyaratan khusus itu diberi istilah sebagai kaidah minor.4

Lima unsur yang terdapat dalam kaidah mayor untuk sanad di atas, dapat dipadatkan menjadi tiga unsur saja. Yakni unsur-unsur yang terhindar dari shudhu>dh dan terhindar dari `illat dimasukkan pada unsur pertama dan ketiga. Pemadatan unsur-unsur ini tidak mengganggu substansi kaidah sebab hanya bersifat metodologi untuk menghindari terjadinya tumpang tindih unsur-unsur, khususnya dalam kaidah minor.5

1. Kriteria Kes}ah}i>h}an Sanad

4

Ismail, Hadis Nabi, 77.

5

(32)

24

Kaidah minor Kes}ah}i>h}an Sanad sebagai berikut:

a) Sanadnya sambung. Maksud dari bersambung dalam hal ini adalah

Hadis yang setiap perawi-perawi hingga akhir sadanya mendengarkan hadis tersebut secara langsung dari syaikhnya. Menurut M. Syuhudi Ismail, kriteria ini mengandung unsur-unsur minor yang merupakan turunan dari unsur mayor. Unsur-unsur minor itu sebagai berikut sebagai berikut7:

1) Muttas}il (bersambung)

2) Marfu>` (bersandar kepada Nabi SAW) 3) Mah}fu>z} (terhindar dari shudhudh) 4) Bukan mu`all (bercacat)

Persoalan ketersambungan sanad merupakan persoalan yang cukup penting untuk diterima atau tidaknya suatu hadis. Begitu pentingnya ketersambungan sanad ini sehingga cukup banyak macam-macam hadis yang masuk dalam kategori hadis d}a`i>f (meskipun diriwayatkan oleh perawi yang tidak `a>dil) karena ketidaksambungan sanad.8

6 Muh{ammad bin

`Alawi> al Ma>liki> al H{asani>, al Qawa>`id al Asa>si>yah fi> `Ilm Mus}t}alah} al Hadi>th (Malang: Hay’ah al S{afwah, t.th.), 15.

7

Ismail, Hadis Nabi, 77.

8

(33)

25

Untuk mengetahui bersambung atau tidaknya suatu sanad, menurut M. Syuhudi, ulama biasa menempuh tata kerja penelitian sebagai berikut9:

1) Mencatat semua nama perawi dalam sanad yang diteliti

2) Mempelajari sejarah hidup masing-masing perawi yang dilakukan melalui kitab-kitab Rija>l al Hadi>th, misalnya kitab Tahdhi>b al Kama>l karya al Mizzi>, Tahdhi>b al Tahdhi>b karya Ibn H{ajar al

`Asqala>ni>, dan kitab al Ka>shif oleh Muh{ammad bin Ah}mad al Dhahabi>, dan lain-lain.

Hal itu dimaksudkan untuk mengetahui apakah setiap perawi dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang thiqah (`a>dil dan d{a>bit), serta tidak suka melakukan tadli>s (menyembunyikan cacat).

Serta untuk mengetahui apakah antara para perawi dengan perawi yang terdekat dalam sanad itu terdapat hubungan mu`a>s}arah (kesezamanan pada masa lampau) dan liqa>’ (pertemuan atau hubungan guru-murid dalam periwayatan hadis)

3) Meneliti kata-kata (ada>t al tah}ammul wa al ada>’ al hadi>th) yang menghubungkan antara para perawi dengan perawi terdekat dalam sanad, yakni kata-kata atau metode yang digunakan dalam penyampaian sanad (berupa kata h}addathani>, h}addathana>, akhbarani>, akhbarana>, sami`tu, `an, anna, dan sebagainya).

9

(34)

26

Melalui beberapa langkah di atas dapat diketahui apakah sanad suatu hadis dinyatakan bersambung atau tidak. Ketersambungan sanad itu dapat diketahui apakah para perawi dipastikan meriwayatkan hadis dari perawi terdekat sebelumnya yang diketahui melalui usia mereka, terjadinya hubungan guru-murid, atau melalui metode periwayatan yang mereka gunakan.10

b) Perawi bersifat adil. Adil dalam kesahihan hadis adalah

Setiap perawi dalam sanadnya adalah orang Islam, baligh, berakal, tidak fasiq, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat menjatuhkan harga diri

Kriteria ini mengandung unsur minor sebagai berikut12:

1) Beragama islam

2) Mukallaf (baligh dan berakal sehat)

3) Melaksanakan ketentuan agama Islam

4) Memelihara muru>’ah (harga diri)

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa orang kafir, anak yang belum mumayyiz atau baligh, dan orang gila tidak termasuk dalam

10

Ibid., 162.

11T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah},

34.

12

(35)

27

kriteria perawi yang `a>dil dan tidak bisa diterima periwayatannya.13 Kecuali seorang perempuan dan budak yang memenuhi semua persyaratan di atas, maka periwayatnnya dapat diterima.14

Adapun memelihara muru>’ah adalah selalu memelihara kesopanan pribadi yang membawa manusia untuk dapat menegakkan kebajikan moral dan kebajikan adat-istiadat.15

Secara akumulatif, kriteria-kriteria itu adalah beragama Islam, Baligh, berakal, taqwa, memelihara muru>’ah, teguh dalam beragama, tidak

berbuat dosa besar, tidak berbuat maksiat, tidak berbuat bid’ah dan

tidak berbuat fa>siq.16

Persyaratan beragama Islam berlaku bagi kegiatan meriwayatkan hadis, sedangkan untuk kegiatan menerima hadis tidak disyaratkan beragama Islam. Jadi, boleh saja perawi menerima hadis ketika belum beragama Islam, tetapi ketika meriwayatkannya ia harus beragama Islam.17

Demikian pula mukallaf (baligh dan berakal sehat) merupakan syarat bagi kegiatan menyampaikan hadis. Jadi, apabila seseorang melakukan

13 Muh{ammad bin Ibra>hi>m Khira>j al Salafi> al Jaza>’iri>

, Mengenal Kaedah Dasar Ilmu Hadis:

Penjelasan al Manz}u>mah al Bayqu>ni>yah(t.t: Maktabah al Ghuraba’, t.th.), 22.

14H{asani>, al Qawa>`id al Asa>si>yah,

16.

15

Tim Penyusun, Studi Hadis, 158.

16

Idri, Studi Hadis, 163.

17

(36)

28

kegiatan menerima hadis perawi belum baligh tetap dianggap sah selama sang perawi sudah mumayyiz.18

Untuk mengetahui `adil tidaknya perawi, para ulama hadis telah menetapkan beberapa cara sebagai berikut19:

1) Melalui popularitas keutamaan perawi di kalangan ulama hadis. Perawi yang terkenal keutamaan pribadinya misalnya Ma>lik bin Anas dan Sufya>n al Thawri> tidak diragukan ke`a>dilannya.

2) Penilaian dari para kritikus perawi hadis. Penilaian ini berisi pengungkapan kelebihan (al ta`di>l) dan kekurangan (al jarh}) yang ada pada diri perawi hadis.

3) Penerapan kaidah al jarh} wa al ta`di>l. Cara ini ditempuh apabila para kritikus hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi perawi tertentu.

Ketiga cara di atas diprioritaskan urut dari urutan pertama. Jelasnya, keadilan seorang perawi hadis dapat diketahui melalui popularitas keutamaannya di kalangan para ulama. Jika seorang perawi hadis terkenal dengan keutamaannya seperti Ma>lik bin Anas dan Sufya>n al Thawri>, maka dipastikan ia bersifat `a>dil. Jika perawi itu tidak dikenal

bersifat `a>dil, namun berdasarkan penilaian para kritikus hadis

18

Ibid., 158.

19

M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan

(37)

29

diketahui bahwa ia bersifat `a>dil, maka ditetapkan pula sifat `a>dil baginya. Akan tetapi, jika terjadi perbedaan pendapat tentang `a>dil tidaknya seorang perawi, maka kaidah-kaidah al Jarh} wa al Ta`di>l diterapkan.20

c) Perawi bersifat d}a>bit}. D}abit} adalah:

Setiap perawinya memiliki sifat d{a>bit} yang sempurna, baik d{a>bit} s}adri> atau d{a>bit} kita>bi>.

D{a>bit} s}adri> adalah perawi yang hafal benar apa yang dia dengar dan ia

memungkinkan untuk mengutarakan hafalannya kapanpun ia berkehendak mengutarakannya. Sedangkan, d{a>bit} kita>bi> adalah perawi yang benar-benar menjaga kitab yang ia tulis sejak ia mendengarnya dan memperbaikinya hingga ia menyampaikan hadis yang ia tulis tersebut serta tidak menyerahkannya kepada orang-orang yang tidak bisa menjaganya dan dimungkinkan ia akan merubah atau mengganti hadis yang ada di dalamnya.22

Kriteria unsur ini mengandung unsur minor sebagai berikut23: 1) Hafal dengan baik hadis yang diriwayatkannya

20

Idri, Studi Hadis, 163-164.

21T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah},

34.

22Jaza>’iri>

, Mengenal Kaedah , 24.

23

(38)

30

2) Mampu menyampaikan riwayat hadis yang dihafalkannya kepada orang lain dengan baik

3) Terhindar dari shudhu>dh 4) Terhindar dari `illat

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perawi yang mukha>lif al thiqah (menyalahi perawi yang lebih kuat),24 shadi>d al takhli>t (kacau hafalannya), mughaffal (mudah lalai), d}a`i>f (lemah hafalannya), dan s}a>h}ib al auha>m (perawi yang sering wahm atau keliru) tidak termasuk pada kriteria d{a>bit}.25

Sebagaimana halnya perawi yang `a>dil, perawi yang d{a>bit} juga dapat diketahui melalui beberapa cara. Cara untuk mengetahui ked{a>bit}an perawi sebagai berikut26:

1) Ked{a>bit}an perawi dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama 2) Ked{a>bit}an perawi dapat diketahui berdasarkan kesesuaian

riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh perawi lain yang telah dikenal ked}a>bit}annya, baik kesesuaian itu sampai tingkat makna maupun tingkat h{arfi>yah

24T{ah}h}a>n, Taysi>r Mus}t}alah},

146.

25Jaza>’iri>

, Mengenal Kaedah , 24.

26

(39)

31

3) Perawi yang terkadang mengalami kekeliruan, tetapi dinyatakan d{a>bit}, jika kesalahan itu tidak sering terjadi. Jika ia sering

mengalami kekeliruan dalam riwayat hadis, maka tidak disebut d{a>bit}.

Dengan acuan kaidah mayor dan minor bagi sanad tersebut, maka penelitian sanad hadis dilaksanakan. Sepanjang semua unsur diterapkan secara benar dan cermat, maka penelitian akan menghasilkan kualitas sanad dengan tingkat akurasi yang tinggi.27

2. Kriteria Kes}ah}i>h}an Matan

Kes}ah}i>h}an hadis tidak menjamin kes}ah}i>h}an matannya. Artinya, bisa jadi persyaratan otentisitas sebuah hadis sudah terpenuhi keseluruhannya, namun dari sisi analisis matannya dinilai ada kejanggalan. Dalam sebuah kaidah ilmu hadis

Sanad yang s}ah}i>h} itu matannya tidak pasti s}ah}i>h}

Sedemikian pula sebaliknya, kadang ditemukan hadis yang sanadnya d}a>`if, namun sisi maknanya tidak bermasalah.28

27

Ismail, Hadis Nabi, 78.

28

(40)

32

Sebagaimana telah disebutkan di atas, kaidah mayor untuk matan ada dua, yakni terhindar dari shudhu>dh dan terhindar dari `illat.29 Adapun kaidah minor dari kaidah mayor sebagai berikut30:

a) Matan terhindar dari shudhu>dh

Berdasarkan pendapat al Ima>m al Sha>fi`i> dan al Khali>li> dalam masalah hadis yang terhindar dari shudhu>dh adalah:

1) Sanad dari matan yang bersangkutan harus mah}fu>z} dan tidak ghari>b

2) Matan hadis bersangkutan tidak bertentangan atau tidak menyalahi riwayat yang lebih kuat.

Penelitian ini tidak dapat terlepaskan dari penelitian atas kualitas sanad hadis yang bersangkutan. Dengan demikian, langkah metodologis yang perlu ditempuh untuk mengetahui apakah suatu matan hadis itu terdapat shudhu>dh atau tidak adalah31

:

1) Melakukan penelitian terhadap kualitas sanad matan yang diduga bermasalah

2) Membandingkan redaksi matan yang bersangkutan dengan

matan-matan lain yang memiliki tema sama, dan memiliki sanad berbeda

29

Ismail.., Hadis Nabi Menurut Pembela.., 78.

30

Tim Penyusun, Studi Hadis, 165-166.

31

(41)

33

3) Melakukan klarifikasi keselarasan antara redaksi matan-matan hadis yang mengangkat tema sama

Dengan langkah-langkah ini, akan diperoleh kesimpulan mana matan yang mah}fu>z} dan mana matan yang janggal (shudhu>dh). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut harus dilakukan penggalian data dan menempuh langkah takhri>j bi al mawd}u>`.

b) Matan terhindar dari `illat

Kaidah minor matan hadis yang terhindar dari `illat adalah32: 1) Tidak terdapat ziya>dah (tambahan) dalam lafadz matan 2) Tidak terdapat idra>j (sisipan) dalam lafadz matan

3) Tidak terdapat iz}t}ira>b (pertentangan yang tidak dapat dikompromikan) dalam lafadz matan hadis

4) Jika ziya>dah, idra>j dan iz}t}ira>b bertentangan dengan riwayat thiqah lainnya, maka matan hadis tersebut sekaligus mengandung shudhu>dh

5) Redaksi teks yang terbalik (al qalb fi> al matan)33 6) Kesalahan ejaan (al tas}h}i>f wa al tah}ri>f fi> al matan)34

32

Tim Penyusun, Studi Hadis, 167.

33

Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis dan Metodologis, cetakan pertama (Malang: UIN-Malang Press, 2008), 105.

34

(42)

34

Langkah-langkah metodologis yang perlu ditempuh dalam melacak dugaan `illat pada matan hadis adalah35:

1) Melakukan takhri>j untuk matan bersangkutan, guna mengetahui seluruh jalur sanadnya

2) Melanjutkan kegiatan i`tiba>r guna mengkategorikan muttaba` ta>m atau qa>s{ir dan menghimpun matan yang bertema sama sekalipun berujung pada akhir sanad (nama sahabat) yang berbeda (sha>hid)

3) Mencermati data dan mengukur segi-segi perbedaan atau

kedekatan pada nisbat ungkapan kepada narasumber, pada s}i>ghat al tah}di>th, dan pada susunan matannya, kemudian menentukan sejauh mana unsur perbedaan yang teridentifikasi

Selanjutnya akan diperoleh kesimpulan apakah kadar deviasi (penyimpangan) dalam penuturan riwayat matan hadis masih dalam batas toleransi (`illat khafi>yah) atau sudah pada taraf merusak dan memanipulasi pemberitaan (`illat qa>dih{ah).

Selain di atas, khusus untuk penelitian matan di samping menggunakan pendekatan kaidah shudhu>dh dan `illat, para ulama juga

35

(43)

35

merumuskan acuan standar yang lain untuk menilai kes}ah}i>h}an matan. Tolok ukur kes}ah}i>h}an matan sebagai berikut36

:

1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an

2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat

3) Tidak bertentangan dengan akal, panca indera, dan sejarah 4) Susunan bahasanya menunjukkan ciri-ciri sabda kenabian

Tolok ukur kes}ah}i>h}an matan di atas, oleh ulama diperinci lagi kepada beberapa macam. Dr. Mustafa al Sibai misalnya, memberikan penjelasan bahwa matan yang s}ah}i>h itu tidak mengandung beberapa hal sebagai berikut37:

1) Susunan gramatikanya sangat jelek

2) Maknanya bertentangan dengan pendapat akal

3) Menyalahi al-Qur’an yang telah tegas maksudnya

4) Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi

5) Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya,

sedangkan orang itu terkenal fanatic terhadap mazhabnya

6) Mengandung suatu perkara yang seharusnya perkara itu

diberitakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya diriwayatkan oleh seorang saja

36 S}ala>h} al Di>n bin Ah}mad al Adlabi>, Manhaj Naqd al Matan `inda Ulama>` al H{adi>th al Nabawi>

, cetakan pertama (Beyru>t: Da>r al Afa>q al Jadi>dah, 1983), 243.

37

(44)

36

7) Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil atau ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak berarti

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa standar matan yang sahih meliputi beberapa hal. Yakni, sanad perawinya maqbu>l, redaksi matannya tidak cacat dan janggal, dan kandungan maknanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil dan realitas yang s{ah}i>h}.38

1. Teori al Jarh} wa al Ta`di>l

Al Jarh} wa al Ta`di>l adalah ilmu yang membicarakan masalah keadaan perawi, baik dengan mengungkapkan sifat-sifat yang menunjukkan keadalahannya maupun sifat-sifat yang menunjukkan kecacatannya, yang bermuara pada penerimaan atau penolakan terhadap riwayat yang disampaikan.39

Syarat-syarat bagi seseorang yang dapat dinyatakan sebagai ja>rih} dan mu`addil sebagai berikut:40

a) Syarat yang berkenaan dengan sikap pribadi, yakni: bersifat adil (berdasarkan ilmu hadis), tidak bersikap fanatik terhadap aliran atau mazhab yang dianutnya, tidak bersikap bermusuhan dengan perawi yang dinilainya, termasuk terhadap perawi yang berbeda aliran dengannya.

38

Tim Penyusun, Studi Hadis, 169.

39

Umi Sumbulah, Kritik Hadis: Pendekatan Historis Metodologis, cetakan pertama (Malang: UIN-Maliki Press, 2008), 78.

40

(45)

37

b) Syarat yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan yang harus dikuasai oleh seorang ja>rih} dan mu`addil adalah ajaran Islam, bahasa Arab, hadis dan ilmu hadis, pribadi perawi yang dikritik, adat istiadat yang berlaku, dan sebab-sebab yang melatarbelakangi sifat-sifat utama dan tercela yang dimiliki oleh perawi.

Macam-macam ulama ketika mengkritik antara lain41:

a) Mutasyaddid (ketat). Seperti al Nasa>’i>, Ali bin `Abd al Lah bin Ja`far al Sa`di> al Madini> (Ibn al Madini>). Mereka dikenal sebagai mutasyaddi dalam menilai kesahihan hadis.

b) Mutawassit{ (moderat). Seperti al Dhahabi>. Ia dikenal sebagai ulama yang mutawassit dalam menilai perawi dan kualitas hadis

c) Mutasahil (longgar). Seperti al H}a>kim al Naysa>buri>, Jala>l al Di>n al Suyu>t}i>. Mereka dikenal sebagai mutasahil dalam menilai kesahihan hadis.

Sedangkan, Ibn al Jawzi dikenal ulama yang mutasahil dalam menilai ked}a`i>fan hadis.

Dalam penelitian, jika para kritikus sepakat dengan kritikan terhadap seorang perawi, maka kualitas perawi jelas. Tetapi, jika para kritikus tidak

41

(46)

38

sepakat dengan kritikan perawi tertentu. Maka sebaiknya menggunakan teori al jarh} yang kontra dengan ta`dil, sebagai berikut42

:

a) Al Ta`dil didahulukan atas al jarh} ( ر لا لع دقم ليدعتلا)

Teori ini digunakan ketika seorang perawi dinilai terpuji oleh seorang kritikus dan dinilai tercela oleh kritikus lain. Maka yang didahulukan adalah al ta`dilnya.

b) Al jarh} didahulukan daripada al ta`di>l (ليدعتلا لع دقم ر لا)

Bila seseorang kritikus menilai tercela dan dinilai terpuji oleh kritikus lain. Maka yang didahulukan adalah al jarh}

c) Apabila al jarh} bertentangan dengan al ta`dil, maka ta`dilnya harus didahulukan kecuali apabila kritikan yang mencela disertai penjelasan terhadap sebab-sebabnya. ( ت ث ا ا اإ دع لل م حلاف دع لا و را لا راعت ا ا ر سف لا ر لا)

d) Apabila kritikus penjarh} tergolong d}a`i>f maka kritikan terhadap orang yang thiqah tidak diterima (ةقثلل هحرج ل قي اف افيعض را لا اك ا ا).

e) Al Jarh} tidak diterima kecuali setelah ditetapkan adanya kekhawatiran terjadinya kesamaan tentang orang-orang yang dicelanya. ( اا ر لا ل قي ا نيحور لا ف ا شأا ةيشخ ت ثتلا دعب)

42

(47)

39

f) Al Jarh} yang dikemukakan oleh orang yang mengalami permusuhan dalam masalah keduniawian tidak perlu diperhatikan ( وادع نع ئشانلا ر لا هب دتعي ا ةيويند)

B. Teori Keh}ujjahan Hadis 1. Keh}ujjahan Hadis S{ah}i>h}

Para ulama sepakat bahwa hadis ah}ad yang s}ah}i>h} dapat dijadikan h}ujjah untuk menetapkan syariat Islam. Namun, mereka berbeda pendapat tentang keh}ujjahan hadis ini dalam bidang akidah.43

Perbedaan pendapat itu berpangkal pada perbedaan penilaian mereka tentang faidah yang diperoleh dari hadis ah}a>d yang s}ah}i>h}, apakah hadis itu memberikan faidah yang qat}`i> atau z}anni>. Ulama yang menganggap hadis semacam ini memberi faidah qat}`i> sebagaimana hadis mutawa>tir, maka hadis tersebut dapat dijadikan h}ujjah dalam bidang akidah, sebagaimana dinyatakan al Nawawi> bahwa hadis-hadis sahih riwayat al Bukha>ri> dan al Muslim berstatus qat}`i>. Sedangkan, ulama yang menganggap hadis semacam ini hanya memberi faidah z}anni>, maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan h}ujjah dalam bidang akidah.44

Ada juga ulama lain seperti Ibn H{azm yang memandang bahwa semua hadis s}ah}i>h} berstatus qat}`i> tanpa dibedakan apakah diriwayatkan oleh kedua ulama tersebut atau bukan. Menurut ibn H}azm, tidak ada

43

Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, cetakan pertama (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1996), 166.

44

(48)

40

keterangan atau alasan yang harus membedakan hal ini berdasarkan siapa yang meriwayatkannya. Semua hadis, jika memenuhi syarat kes}ah}i>h}an, maka dapat dijadikan h}ujjah.45

2. Keh}ujjahan Hadis H{asan

Sebagaimana hadis s}ah}i>h}, menurut para ulama hadis bahwa hadis h}asan –

baik h}asan li dha>tih atau h}asan li ghayrih- juga dapat dijadikan h}ujjah untuk menetapkan suatu kepastian hukum, yang harus diamalkan. Hanya saja terdapat perbedaan pandangan di antara mereka mengenai penempatan rutbah atau urutannya yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing. Ada ulama yang tetap membedakan kualitas keh}ujjahan, baik antara s}ah}i>h} li dha>tih dengan s}ah}i>h} li ghayrih dan h}asan li dha>tih dengan h}asan li ghayrih, maupun antara hadis s}ah}i>h} dengan hadis h}asan sendiri. Tetapi ada juga ulama yang memasukkannya ke dalam satu kelompok tanpa membedakannya, yakni hadis s}ah}i>h}. Pendapat ini dianut oleh al Ha>kim, Ibn H}ibba>n, dan Ibn H}uzaymah.46

3. Keh}ujjahan Hadis D{a`i>f

Kalau untuk hadis h}asan dapat dinyatakan bahwa pada umumnya ulama masih menerimanya sebagai h}ujjah, maka untuk hadis d}a`i>f, sebagai tingkat terakhir dari tiga kualitas hadis, pada umumnya ulama menolak sebagai h}ujjah. Pendapat yang secara tegas menolak hadis da`if, selain

45

Idri, Studi Hadis, 175.

46

(49)

41

Yah}ya> bin Ma`i>n dan al Bukha>ri> adalah `Ali> bin H{azm dan Abu> Bakar bin

`Arabi>.47

Setidaknya terdapat tiga pendapat berkenaan dengan dapat tidaknya berh}ujjah dengan hadis jenis ini48

:

a) Menurut Yah}ya> bin Ma`i>n, Abu> Bakar bin `Arabi>, al Bukha>ri>, Muslim, dan Ibn H{azm bahwa hadis d}a`i>f tidak dapat diamalkan secara mutlak baik dalam masalah fad}a>’il `amal maupun hukum.

b) Abu> Da>wu>d dan Ah}mad bin H{anbal berpendapat bahwa hadis d}a`i>f dapat diamalkan secara mutlak

c) Menurut Ibn H{ajar al `Asqa>lani> hadis d}a`i>f dapat dijadikan h}ujjah dalam masalah fad}a>’il `amal, mawa>’iz}, al targhi>b wa al tarhi>b, dengan beberapa syarat.

4. Keh}ujjahan Hadis Fad}a>’il `Amal

Sebagian ulama menyatakan bahwa `Abd al Lah bin al Muba>rak, `Abd al Rah}ma>n bin al Mahdi>, dan Ah}mad bin H{anbal menerima hadis sebagai

h}ujjah untuk fad}a>’il `amal (keutamaan amal), dengan beberapa syarat

sebagai berikut49:

47

Ismail, Hadis Nabi, 89.

48

Idri, Studi Hadis, 245.

49

(50)

42

a) Isinya berkenaan dengan kisah, nasihat, keutamaan, dan yang sejenisnya, serta tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, tafsir ayat

al-Qur’an, hukum halal-haram, dan semacamnya b) Ke-d}a`i>f-annya tidak parah

c) Ada dalil lain (yang kuat atau memenuhi syarat) yang menjadi dasar pokok bagi hadis d}a`i>f yang bersangkutan

d) Niat pengamalannya tidak berdasarkan atas hadis d}a`i>f itu, tetapi atas dasar kehati-hatian.

C. Kaidah Pemaknaan Hadis

Yusu>f al Qarad{a>wi> menetapkan beberapa acuan untuk memahami

sunnah dengan baik, yaitu:

1. Memahami sunnah berdasarkan petunjuk al-Qur’an. Hal ini dilakukan agar pemahaman terhadap hadis terhindar dari penyimpangan, pemalsuan, serta takwil yang buruk.50

2. Menghimpun hadis yang topik pembahasannya sama. Hal ini dilakukan agar hal-hal yang syubhat dapat dijelaskan dengan hal-hal yang muh}kam, hal-hal yang mutlak dapat dibatasi dengan hal yang muqayyad (terikat), dan hal-hal yang bermakna umum dapat ditafsirkan dengan hal-hal yang

50

(51)

43

bermakna khusus sehingga makna yang dimaksud oleh subjek tersebut menjadi jelas dan tidak bertentangan.51

3. Memadukan atau mentarji>h{ hadis-hadis yang bertentangan.

4. Memahami hadis berdasarkan latar belakang, kondisi, dan tujuannya. Hal ini dilakukan agar makna hadis itu dapat terbaca dengan teliti dan pemahaman terhadapnya tidak kacau atau tidak terarah.52

5. Membedakan sarana yang berubah-ubah dan tujuannya yang bersifat tetap dari setiap hadis.

6. Membedakan makna h{aqiqi> dan makna maja>zi> dalam memahami sunnah

7. Membedakan antara yang ghaib dan yang nyata

8. Memastikan makna redaksi yang digunakan oleh hadis. Hal ini dilakukan karena penunjukan makna lafadz berubah-ubah dari suatu masa ke masa dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lain.53

Muh Zuhri dalam bukunya Telaah Matan Hadis, menetapkan beberapa pendekatan untuk memahami hadis Nabi. Diantaranya adalah:

1. Pendekatan kebahasaan

Penelitian bahasa ini tertuju pada beberapa objek. Diantaranya54:

51Ibid.,

114.

52Ibid.,

144.

53

Ibid., 218.

54

(52)

44

a) Struktur bahasa, yakni apakah bahasa dalam matan tersebut sesuai dengan kaidah bahasa arab atau tidak

b) Redaksi matan tersebut apakah merupakan bahasa yang lumrah digunakan pada masa Nabi atau merupakan bahasa baru yang dipergunakan dalam literatur Arab modern

c) Matan hadis tersebut apakah menggunakan bahasa kenabian atau tidak

d) Makna redaksi matan tersebut, yakni apakah makna redaksi tersebut ketika diucapkan oleh Nabi dan ketika dipahami oleh pembaca itu sama atau tidak maksudnya

Permasalahan-permasalahan tersebut dapat diatasi dengan beberapa cara. Diantaranya55:

a) Mengatasi kata-kata sukar dengan asumsi riwa>yat bi al ma`na>

Periwayatan hadis secara makna menyebabkan penelitian matan dengan pendekatan bahasa tidak mudah dilakukan. Karena matan hadis yang sampai ke tangan mukharrij telah melalui sejumlah perawi yang berbeda generasi dengan latar belakang budaya dan kecerdasan yang berbeda. Perbedaan tersebut menyebabkan terjadinya perbedaan penggunaan dan pemahaman suatu kata.

55

(53)

45

Mayoritas ulama berpendapat bahwa muhaddith boleh meriwayatkan hadis dengan makna saja, tidak dengan lafadznya, bila ia memahami bahasa Arab dan segala seluk beluknya, mengerti makna-makna dan kandungannya, serta memahami kata yang bisa berubah makna dan tidak berubah maknanya. Karena dengan memenuhi beberapa syarat tersebut, seseorang bisa menghindari perubahan-perubahan makna dan pergeseran makna. Akan tetapi, bila seorang perawi hadis tidak mengerti dan memahami kata-kata yang bisa merubah makna, maka perawi tersebut tidak diperbolehkan meriwayatkan hadis dengan makna. Dengan demikian, hanya bagi orang-orang yang memahami dan mengerti benar kata-kata yang bisa merubah dan tidak merubah maknanya saja yang diperbolehkan meriwayatkan hadis dengan makna.56

b) Memahami kalimat

Setelah tidak ada kata-kata sukar, sebuah hadis tidak otomatis dipahami secara langsung. Selanjutnya akan dibahas tentang bagaimana memahami kalimat. Kemana arah informasi ditujukan, apakah informasi itu masih berlaku, sebuah perintah berlaku umum atau untuk kelompok tertentu, situasi tertentu, dan seterusnya adalah sederetan pertanyaan yang mengantarkan kepada pemahaman kalimat

56

(54)

46

yang terkandung dalam hadis.57 Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam rangka memahami hadis. Antara lain:

1) Asba>b al wuru>d (sebab-sebab yang melatarbelakangi munculnya hadis)

Sebenarnya, asba>b al wuru>d tidak ada pengaruhnya secara langsung terhadap kualitas suatu hadis. Namun, dengan mengetahui asba>b al wuru>d dapat mempermudah dalam memahami kandungan hadis.58

Asba>b al wuru>d diperlukan untuk menyibak hadis yang

bermuatan norma hukum, terutama hukum sosial. Sebab, hukum dapat berubah sesuai dengan situasi dan illatnya. Asba>b al wuru>d tidak diperlukan untuk memahami hadis yang memuat informasi alam ghaib atau akidah karena tema ini tidak terpengaruh oleh situasi apapun.59

Fungsi asba>b al wuru>d ada tiga. Pertama, menjelaskan makna hadis melalui takhs}i>s} al `amm, taqyi>d al mut}laq, tafs}i>l al mujmal, al na>sikh wa al mansu>kh, baya>n `illat al h}ukm, tawd}i>h} al mushkil. Kedua, mengetahui kedudukan Nabi ketika munculnya hadis,

apakah sebagai Rasul, qa>d}i> dan mufti, sebagai pemimpin

57

Zuhri, Telaah Matan, 58.

58

Bustamin dan M. Isa H. A., Metodologi Kritik, 85.

59

(55)

47

masyarakat, atau sebagai manusia biasa. Ketiga, mengetahui situasi dan kondisi masyarakat saat hadis itu disampaikan.60

60

(56)

BAB III

IMA<M AH{MAD BIN H{ANBAL DAN KITAB AL MUSNAD

A. Biografi Ah}mad bin H{anbal

Nama panjangnya berdasarkan nasab adalah Abu> `Abd al Lah Ah}mad bin Muh}ammad bin H}anbal bin Hila>l bin Asad bin Idri>s bin `Abd al Lah bin H{ayya>n bin `Abd al Lah bin Anas bin `Auf bin Qa>sit} bin Ma>zin bin Shayba>n

bin Dhuhl bin Tha`labah bin `Uka>bah bin S}a`b bin `Ali> bin Bakr bin Wa>’il bin Qa>sit} bin Hinb bin Ufs}a> bin Du`mi> bin Jadi>lah bin Asad bin Rabi>`ah bin

Naza>r bin Ma`d bin `Adna>n bin Ud bin Udad bin al Hamaysa` bin H{aml bin al

Nabt bin Qaydha>r bin Isma>`il bin Ibra>hi>m al Khali>l Alayh al Sala>m.1 Dilahirkan di Baghdad pada tahun 164 H.2 Ayahnya meninggal ketika ia masih muda, sekitar 30 tahun.3 Karena itu, ia diasuh oleh ibunya di bawah tanggung jawab pamannya.4 Ibunya adalah S{afi>yah bin Maymu>nah bint `Abd al Ma>lik al Shayba>ni>.5

1Abu> al Farj

`Abd al Rah}ma>n bin `Ali> bin Muh}ammad bin al Jawzi>, Mana>qib al Ima>m Ah}mad bin

H{anbal, cetakan kedua (Riyad: Ja>mi`ah al Ima>mMuh}ammad bin Su``u>d al Isla>mi>yah, t.th.), 16.

2 Muh}ammad Muh}ammad

Abu> Zahw, al H{a>dith wa al Muh}addithu>n, cetakan kedua (Riyadh: t.p, 1984), 352.

3

Shams al Di>nMuh}ammad bin Ah}mad bin `Uthma>n al Dhahabi>, Siyar A`la>m al Nubala>’, juz ke-11,

cetakan pertama (Beyrut: Muassasah al Risa>lah, 1982), 178.

4

`Abd al Lah bin Ah}mad bin H{anbal, Hadis-Hadis Imam Ahmad: menyoal al Qur’an, Sirah, Khilafah,

dan Jihad, terj M.A. Fatah, cetakan pertama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), 371.

5

(57)

49

Ah}mad terbiasa mengecat rambutnya. Badannya tinggi dan berkulit

sawo matang.6 Ia mulai menimba ilmu ketika ia masih berumur 15 tahun ketika Ma>lik dan H{amma>d bin Zayd meninggal.7

Ah{mad sempat dipenjarakan selama 28 bulan karena sikapnya yang

dengan gigih menolak faham kemakhlukan alQur’an.8 Ia diperlakukan dengan sangat kasar oleh para penguasa. Namun beliau tidak pernah ciut nyalinya dan menyerah. Sejumlah buku telah ditulis di tengah pengasingannya.9

Ia melakukan perlawatan ke berbagai tempat. Ia memberikan banyak perhatian untuk hadis dan fiqh, hingga ia dikenal sebagai Imam Ahli Hadis.10 Selama di Baghdad, ia menimba hadis dari Ima>m al Sha>fi`i> cukup lama. Studi hadis di mancanegara meliputi Yaman, Kufah, Basrah, Jazirah, Makkah, Madinah, dan Sham. Ketika berada di Yaman, ia sempat berguru hadis kepada Abd al Razza>q al S{an`a>ni> di tempat lain ia berguru kepada Bashar al Raqa>shi, Sufya>n bin `Uyaynah, Yah}ya> bin Sa>`id al Qat}t}a>n, Sulayma>n bin Dawu>d al

T{aya>lisi> dan Isma>`i>l bin `Uyaynah.11

Di antara ulama yang berguru kepadanya adalah Muh}ammad bin Isma>`i>l al Bukha>ri>, Muslim bin al H{ajja>j al Naysa>bu>ri>, al Sha>fi`i>, `Abd al Razza>q, Waki>`, dan lain-lain.12

Zainul Arifin, Studi Kitab Hadis, cetakan kedua (Surabaya: Pustaka al Muna, 2010), 83.

9

Azami, Metodologi Kitik, 136.

(58)

50

Diantara karya-karya Ah}mad selain al Musnad antara lain: Kitab al `Ilal, kitab al Tafsi>r, kitab al Na>sikh wa al Mansu>kh, kitab al Zuhd, kitab al Fad}a>’il, kitab al Fara>’id, kitab al I<ma>n, kitab al Ashribah, kitab al Radd `ala al

Jahmiyah, Hadith Shu`bah, al Muqaddimah wa al Muakhkhirah fi> Kita>b al Lah Ta`a>la>, Jawaba>t al Qur’a>n, kitab Nafy al Tashbi>h, kitab al Ima>mah, al Risa>lah fi> S{ala>t, kitab al Fitan, kitab Fad}a>’il Ahl al Bayt, Musnad Ahl al Bayt,

dan al Asma>’ wa al Kuna>.13

Ish}a>q bin Rahawayh memberikan pendapat tentang Ah}mad bin

H{anbal, bahwa Ah}mad adalah hujjah antara Allah dan hamba-hambanya di

bumi. Yah}ya bin Main juga berpendapat bahwa dalam diri Ahmad bin hanbal itu ada satu paket komplit yang belum pernah saya lihat di dunia, dia adalah seorang ahli hadis, h{a>fiz{,14 alim, seorang yang wirai, orang yang zuhud, dan juga cerdas. Dia juga berkata lagi, manusia menginginkan kita untuk menjadi seperti Ahmad, demi Allah kita tidak kuat untuk menjadi seperti dirinya juga, kita juga merasa tidak kuat untuk meniru cara dia beribadah.15 Imam Ah}mad meninggal pada waktu dhuha hari Jum`at, 12 rabiul Awwal 241 H.16

13Ah}mad

bin H{anbal, Musnad Ah}mad bin H{anbal, juz pertama, cetakan pertama (Beyrut: Muassasah al Risa>lah, 1995), 47-50.

14

Hafiz adalah seseorang yang hafal 100.000 hadis baik matan dan sanadnya. (lih. `Abd al Rah{man bin Ibrahim al Khamisi>, Mu`jam `Ulu>m al Hadi>th, 89)

15

Zahw, al H{a>dith wa al Muh}addithu>n, 352.

16H{anbal

Referensi

Dokumen terkait