• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR. Oleh : Achmad Husni Malian Bambang Irawan Hendiarto, Budi Wiryono, Saktyanu K. Dermoredjo Chairul Muslim Sjaiful Bahri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR. Oleh : Achmad Husni Malian Bambang Irawan Hendiarto, Budi Wiryono, Saktyanu K. Dermoredjo Chairul Muslim Sjaiful Bahri"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

PROSPEK PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI DALAM

MENINGKATKAN DAYA SAING DAN EKSPOR

BERDASARKAN PERMINTAAN JENIS PRODUK

KOMODITAS PERKEBUNAN UTAMA

Oleh :

Achmad Husni Malian Bambang Irawan Hendiarto, Budi Wiryono, Saktyanu K. Dermoredjo Chairul Muslim Sjaiful Bahri

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SOSIAL EKONOMI PETANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN DEPARTEMEN PERTANIAN

(2)

RINGKASAN EKSEKUTIF

A. Pendahuluan

1. Komoditas perkebunan sampai saat ini masih menjadi salah satu sumber devisa non-migas di Indonesia. Produk yang diekspor sangat beragam, mulai dari jenis asalan sampai pada produk yang telah mengalami berbagai tingkat pengolahan. Dalam era globalisasi perdagangan dan investasi saat ini, keberadaan produk agroindustri perkebunan Indonesia di pasar dunia harus bersaing dengan produk sejenis asal negara lain. Produk agroindustri perkebunan yang diekspor Indonesia, khususnya lada, sebagian besar masih dalam bentuk hasil olahan yang sederhana. Sementara untuk komoditas berbasis kelapa dalam bentuk Crude Copra Oil (CCO) serta Disiccated Coconut (DESCO), dan komoditas berbasis teh dalam bentuk teh hijau dan teh hitam.

2. Permasalahan utama yang dihadapi agroindustri perkebunan Indonesia adalah : (a) Pengembangan produk agroindustri berbasis komoditas perkebunan rakyat itu berjalan relatif lamban dan tidak mampu bersaing dengan produk sejenis di pasar dunia; (b) Kinerja ekspor produk agroindustri yang berbeda berdasarkan permintaan jenis produk di pasar dunia mencerminkan adanya perbedaan daya saing komoditas perkebunan rakyat yang dihasilkan petani; (c) Pengaruh struktural berupa perubahan impor dari negara mitra dagang juga ikut berperan dalam menurunkan ekspor produk agroindustri dari negara-negara berkembang; (d) Peran kelembagaan dalam proses pengolahan dan pemasaran (termasuk ekspor) sangat mempengaruhi bagian yang diterima oleh petani (farmer’s share); dan (e) Informasi mengenai permintaan ekspor produk agroindustri di pasar tujuan saat ini serta integrasi harga produk di pasar domestik dan pasar dunia sangat diperlukan, untuk memilih negara-negara tujuan ekspor dan jenis produk agroindustri yang masih dapat dipertahankan. Dengan demikian diharapkan dapat dirumuskan kebijakan pengembangan dan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh, khususnya yang terkait dengan daya saing dan permintaan ekspor di pasar tujuan.

3. Penelitian ini mencakup dua kegiatan utama, yaitu: (a) Analisis Daya Saing Ekspor Produk Agroindustri Berbasis Lada, Kelapa dan Teh di Pasar Tujuan; dan (b) Analisis Permintaan Ekspor Produk Agroindustri Berbasis Lada, Kelapa dan Teh di Pasar Tujuan. Tujuan kegiatan pertama yaitu : (a) Mengidentifikasi daya saing ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh di pasar dunia; (b) Mengevaluasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh di pasar tujuan; dan (c) Menganalisis kegiatan dan nilai tambah dalam proses pengolahan di tingkat petani, pedagang, agroindustri dan eksportir produk agroindustri

(3)

berbasis lada, kelapa dan teh. Tujuan kegiatan kedua yaitu : (a) Menganalisis elastisitas substitusi produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh di pasar tujuan ekspor; (b) Menganalisis integrasi harga petani, harga ekspor, dan harga dunia produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh; dan (c) Merumuskan kebijakan dalam pengembangan dan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh.

B. Metode Penelitian

4. Identifikasi daya saing produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh adalah dengan menggunakan metode perhitungan Revealed Comparative Advantage (RCA), Acceleration Ratio (AR) dan Trade Specialization Index (TSI). Dari hasil analisis di atas, selanjutnya

ditentukan jenis-jenis produk agroindustri dengan kategori produk unggulan ekspor. Sedangkan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa adalah dengan menggunakan “Constant Market Share” (CMS). Alat analisis ini digunakan untuk merinci (dekomposisi) faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ekspor ke dalam dua kelompok atau tingkat, yaitu dekomposisi tingkat satu (first-level decomposition) dan dekomposisi tingkat dua (second-level decomposition).

5. Bagian yang diterima petani (farmer’s share) merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam setiap kebijakan pembangunan pertanian. Untuk itu diperlukan analisis kegiatan dan nilai tambah dalam proses pengolahan di tingkat petani, pedagang, agroindustri dan eksportir, yang mampu menjelaskan secara kuantitatif dan kualitatif aliran produk agroindustri itu sampai di ekspor. Permintaan ekspor menurut jenis produk agroindustri akan diestimasi dengan menggunakan persamaan hasil modifikasi dari model Armington. Untuk menganalisis integrasi harga petani dengan harga ekspor dan harga ekspor dengan harga dunia produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh, akan digunakan model integrasi pasar. Model integrasi pasar antara harga petani dengan harga ekspor yang dikembangkan dalam penelitian ini diturunkan dan dimodifikasi dari model Ravallion.

6. Penelitian ini telah dilaksanakan di tiga provinsi, yaitu Kepulauan Bangka-Belitung yang mewakili produk agroindustri berbasis lada putih, Sulawesi Utara yang mewakili produk agroindustri berbasis kelapa, serta Jawa Barat yang mewakili produk agroindustri berbasis teh. Data primer dalam penelitian ini dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner terstruktur. Jenis responden terdiri dari petani, pengolah di tingkat pedesaan sampai pengusaha agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh, pedagang desa sampai pedagang besar, serta eksportir. Data sekunder yang dikumpulkan disesuaikan dengan kebutuhan data untuk analisis daya saing, analisis permintaan ekspor, dan analisis integrasi harga. Data sekunder tersebut dibedakan menurut

(4)

jenis produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh. Namun, untuk produk agroindustri yang diekspor dalam bentuk asalan (seperti lada putih), maka analisis dilakukan berdasarkan komoditas.

C. Daya Saing Produk Ekspor Berbasis Komoditas Perkebunan Utama

7. Hasil analisis RCA lada menunjukkan bahwa Indonesia terspesialisasi pada produk 090411 (yaitu lada yang tidak dihancurkan atau tidak ditumbuk). Kondisi ini berlaku untuk semua negara tujuan ekspor, yaitu USA, Perancis, Jerman dan Belanda. Hasil nilai AR menunjukkan bahwa produk lada tidak ada yang melebihi angka satu, yang berarti produk lada yang dihasilkan tidak memiliki daya saing. Dengan demikian, diperlukan pengembangan kualitas produk yang mengarah pada peningkatan daya saing di negara-negara tujuan ekspor utama. Dengan bentuk produk ekspor lada yang masih bersifat asalan, maka perbaikan kualitas ekspor yang perlu dilakukan adalah pada tingkat usahatani.

8. Daya saing ekspor produk agroindustri berbasis kelapa dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Indonesia memiliki spesialisasi produk HS 151311 [minyak mentah (coconut (copra) oil crude)], 120300 [kopra (copra)], dan 080111 [kelapa diparut atau dikeringkan (coconuts, dessicated,

shelled)] ke negara-negara tujuan ekspor, tetapi produk tersebut secara

umum tidak memiliki daya saing; dan (2) Indonesia memiliki daya saing produk HS 380210 (karbon aktif), tetapi tidak terspesialisasi pada produk tersebut. Untuk produk ini, Indonesia tidak masuk ke dalam kategori negara pengekspor (TSI negatif).

9. Sementara untuk daya saing ekspor produk agroindustri berbasis teh adalah: (1) Indonesia memiliki spesialisasi dan daya saing ekspor untuk produk HS 210120 (Ekstrak, esens dan konsentrat, dari teh atau mate dan olehan dengan dasar ekstrak, esens atau konsentrat teh atau mate atau olahan dengan dasar teh atau mate) ke negara-negara tujuan ekspor. Indikator yang diperoleh menunjukkan bahwa produk ini masuk dalam kategori ekspor (TSI positif); (2) Indonesia memiliki spesialisasi ekspor untuk HS 090210 [teh hijau (tidak difermentasi) dikemas langsung dalam kemasan tidak melebihi 3 kg] ke negara-negara tujuan ekspor, tetapi produk ini secara umum tidak memiliki daya saing; dan (3) Indonesia memiliki daya saing produk untuk HS 090230 [teh hitam (difermentasi) dan teh difermentasi sebagian, dikemas dalam kemasan tidak melebihi 3 kg], tetapi tidak terspesialisasi pada produk tersebut. Produk ini tidak masuk ke dalam kategori negara pengekspor (TSI negatif).

(5)

D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Ekspor

10. Hasil analisis CMS terhadap komoditas lada menunjukkan bahwa Indonesia mengalami nilai negatif pada efek struktural dan kompetitif, sementara pada efek ordo kedua mengalami nilai positif. Akibatnya Indonesia mengalami penurunan ekspor sebesar US$ 55,4 juta, disamping itu India juga kehilangan US$ 21,7 juta dan Brazil kehilangan hampir US$ 23 juta. Hal tersebut menunjukkan bahwa ketiga negara tersebut tidak mampu mengikuti perubahan permintaan yang terjadi di negara tujuan ekspor. Secara relatif Indonesia memang bukan merupakan negara yang paling lemah, namun secara absolut (nominal) Indonesia mengalami dampak negatif terbesar. Untuk dekomposisi tingkat kedua, efek struktural yang memberikan dampak negatif terbesar adalah efek pertumbuhan, dengan penurunan ekspor sebesar US$ 49,2 juta untuk Indonesia, US$ 19,0 untuk India, dan US$ 21,0 juta untuk Brazil. Penurunan yang besar dari efek pertumbuhan ini memberikan indikasi bahwa permintaan impor lada dari negara-negara mitra dagang tradisional telah menurun, untuk itu perlu dikembangkan pasar ekspor lada yang baru. Walaupun demikian, perubahan struktur ekspor Indonesia cukup dapat menyesuaikan diri dengan perubahan volume impor negara tujuan.

11. Dekomposisi tingkat pertama untuk produk agroindustri berbasis kelapa menunjukkan bahwa efek struktural menurunkan nilai ekspor Indonesia sebesar US$ 40,1 juta, sementara efek kompetitif menurunkan nilai ekspor kelapa Indonesia sebesar US$ 114,3 juta. Sebaliknya, efek ordo kedua meningkatkan ekspor sebesar US$ 33,7 juta. Jika penurunan daya saing kelapa Indonesia dibandingkan dengan Filipina dan India terlihat bahwa kedua negara pesaing itu justru mengalami peningkatan daya saing, yang tercermin dari nilai positif efek kompetitif sebesar US$ 133,1 juta untuk Filipina dan US$ 17,1 juta untuk India. Sementara untuk dekomposisi tingkat kedua, Indonesia mengalami efek struktural negatif sebesar US$ 40,2 juta, dimana efek negatif terbesar diakibatkan oleh efek komoditas yang mencapai hampir US$ 27 juta. Artinya, ekspor Indonesia terkonsentrasi pada komoditas yang pertumbuhan pasar (permintaannya) lambat atau menurun. Efek negatif yang besar lainnya adalah efek pertumbuhan sebesar US$ 15,2 juta, yang berarti Indonesia menerima dampak negatif (negative growth) dari penurunan impor negara tujuan. Filipina menerima dampak yang relatif sama dengan Indonesia, meskipun dengan magnitude yang lebih kecil. Sementara itu, India menerima efek positif terutama akibat efek pasar dan komoditas. 12. Hasil analisis dekomposisi tingkat pertama untuk komoditas teh

menunjukkan bahwa Indonesia mengalami efek kompetitif positif sebesar US$ 18,7 juta, yang terdiri atas efek kompetitif umum US$ 3,7 juta dan efek kompetitif spesifik hampir US$ 15,0 juta. Semua negara eksportir teh dunia, kecuali Sri Lanka, mengalami dampak negatif dari efek struktural. Artinya, perubahan struktur impor negara tujuan

(6)

memberikan dampak yang negatif terhadap keempat negara pengekspor lainnya. Secara lebih rinci, Indonesia mengalami dampak negatif baik efek pertumbuhan, efek distribusi pasar maupun efek komoditas. Sementara itu, daya saing Indonesia menunjukkan peningkatan, meskipun dengan jumlah yang tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan Sri Lanka. Peningkatan ini terlihat pada efek kompetitif spesifik yang memberikan dampak positif terbesar dibandingkan dengan keempat negara pesaingnya. Analisis berikutnya juga menunjukkan bahwa Indonesia mengalami efek negatif pada efek ordo kedua murni dan residu struktural dinamis. Hal ini berarti bahwa struktur ekspor Indonesia kurang dapat menyesuaikan diri dengan perubahan struktur impor negara tujuan, baik dalam volume dan terutama struktur (komposisi) impor. Hal yang sama juga dialami oleh tiga negara pesaing lainnya, kecuali Kenya. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa peningkatan ekspor teh Indonesia, terutama didukung oleh peningkatan daya saing produk, dengan kontribusi terbesar diperoleh dari efek kompetitif spesifik, menunjukkan adanya produk agroindustri tertentu yang memberikan kontribusi terbesar yang dapat dijadikan produk unggulan ekspor pada masa yang akan datang.

E. Marjin Pemasaran dalam Ekspor Komoditas Perkebunan Utama

13. Dalam pemasaran lada putih, sistem informasi harga berlangsung satu arah dan petani hanya berperan sebagai penerima harga. Berapapun harga yang ditetapkan oleh pedagang, penjual terpaksa harus menerima. Demikian pula pedagang yang berada pada tingkatan di bawahnya (pedagang yang lebih kecil), terpaksa harus menerima harga yang ditawarkan oleh pedagang yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh harga lada di pasar domestik sangat ditentukan oleh harga di pasar ekspor. Dalam saluran pemasaran lada putih, marjin biaya yang dikeluarkan oleh Pedagang Pengumpul adalah yang paling besar yaitu Rp. 900/kg, sementara marjin biaya Pedagang Desa dan Eksportir hanya Rp. 300/kg dan Rp. 800/kg. Pedagang Pengumpul mengeluarkan marjin biaya lebih besar, karena selain biaya karung, pengeringan, sortasi dan angkut, juga harus menanggung biaya susut yang besarnya kurang lebih dua persen. Hal ini terkait dengan kualitas lada yang diterima dari petani masih belum memenuhi persyaratan, disamping terjadinya perbedaan waktu pembelian dan penjualan. Marjin keuntungan yang terbesar dinikmati oleh para Eksportir yaitu sebesar Rp. 1.800/kg, sedangkan marjin keuntungan yang diterima oleh Pedagang Desa sebesar Rp. 700/kg dan Pedagang Pengumpul sebesar Rp. 1.000/kg. Besarnya marjin keuntungan yang diterima Ekportir ini terkait dengan kemampuan mereka dalam mengamati kecenderungan harga di pasar dunia, serta perubahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (US$).

(7)

14. Dalam saluran pemasaran kopra menjadi CCO, marjin biaya yang dikeluarkan oleh Pabrik dan Eksportir CCO adalah yang paling besar, yaitu Rp. 152/kg. Sementara marjin biaya Pedagang Kopra hanya Rp. 102/kg. Pabrik dan Eksportir CCO mengeluarkan marjin biaya yang besar, karena selain harus melakukan pengolahan juga perlu mengeluarkan berbagai biaya yang terkait dengan ekspor. Meskipun demikian, para pengusaha ini akan memperoleh marjin keuntungan yang terbesar, yaitu sekitar 30,17% dari harga ekspor CCO. Adapun tujuan ekspor CCO dan minyak goreng berbahan baku kelapa dari Provinsi Sulawesi Utara adalah Uni Eropa (Belanda dan Jerman), Amerika Serikat dan Korea Selatan. PT BIMOLI selain memproduksi CCO, minyak goreng berbahan baku kelapa dan kopra, juga mendapatkan hasil samping berupa bungkil kopra sebagai bahan baku pakan ternak yang memiliki potensi untuk diekspor. Namun penurunan produksi kelapa selama beberapa tahun terakhir di Provinsi Sulawesi Utara, telah mendorong terjadinya persaingan dalam mendapatkan bahan baku antar produsen agroindustri berbasis kelapa. Dampaknya terjadi penurunan produksi CCO pada tahun 2005, sebagai akibat dari kenaikan harga kopra yang mencapai dua kali lipat.

15. Produk agroindustri kelapa parut kering (DESCO) di Provinsi Sulawesi Utara merupakan produk agroindustri yang paling banyak menggunakan kelapa butiran. Hasil akhir yang diperoleh dari pengolahan DESCO ditentukan oleh kematangan buah kelapa, berat kelapa butiran dan sistem pembuatan kelapa parut kering. Hasil penelitian Balai Penelitian Kimia (1976) menyatakan bahwa setiap 4,95 kelapa butiran dapat menghasilkan 1 kg kelapa parut kering; atau setiap 5,4 kg kelapa butiran akan menghasilkan 1 kg kelapa parut kering. Kualitas kelapa butiran yang dapat digunakan sebagai bahan baku DESCO adalah kelapa yang baik, dengan harga jual di tingkat petani (saat penelitian ini dilangsungkan) sebesar Rp. 700/butir. Dengan asumsi 4,95 butir kelapa dapat menghasilkan 1 kg DESCO, maka tingkat harga yang diterima petani kelapa butiran adalah 46,51% dari harga ekspor DESCO sebesar Rp. 7.450/kg (Tabel 3). Tidak berbeda dengan marjin pemasaran CCO, dalam pemasaran kelapa butiran menjadi DESCO, Pabrik dan Eksportir DESCO juga mengeluarkan marjin biaya yang terbesar, yaitu Rp. 2.130/kg DESCO, atau setara dengan 28,59% dari harga ekspor DESCO. Sementara marjin biaya Pedagang Besar Kelapa hanya Rp. 110/kg, yang sebagian besar digunakan untuk biaya transportasi selama melakukan pembelian ke desa dan penjualan ke Pabrik DESCO di Manado. Marjin keuntungan terbesar diterima oleh Pabrik dan Eksportir DESCO sebesar Rp. 730/kg, atau setara dengan 9,80% dari harga ekspor DESCO. Setelah itu baru diikuti oleh Pedagang Besar Kelapa (8,59%) dan Pedagang Pengumpul Kelapa (5,03%). Dilihat dari harga jual kelapa butiran dan marjin keuntungan yang diterima oleh Pabrik dan Eksportir DESCO, maka pengembangan produk DESCO tampaknya memiliki prospek yang cukup baik untuk peningkatan

(8)

pendapatan petani kelapa. Namun kualitas kelapa butiran yang terus menurun diduga akan menjadi kendala utama dalam pengembangan produk DESCO di Provinsi Sulawesi Utara, sehingga program peremajaan ”kelapa dalam” hendaknya dapat mulai dilakukan.

16. Arang tempurung yang diproduksi oleh berbagai perusahaan (PMDN atau PMA) di Provinsi Sulawesi Utara, seluruhnya diekspor secara langsung. Bagi petani yang melakukan pengolahan kopra, arang tempurung yang dihasilkan dapat dijual ke Pengolah Kopra lainnya yang ada di desa dengan harga Rp. 500/kg atau kepada Pedagang Arang Tempurung dengan harga Rp. 600/kg. Sementara petani yang bermukim di daerah yang berdekatan dengan Pabrik dan Eksportir Arang Tempurung juga dapat melakukan penjualan langsung, dengan harga Rp. 820/kg. Dalam pemasaran arang tempurung, Pabrik dan Eksportir Arang Tempurung secara aktif melakukan pembelian ke desa-desa, baik kepada Petani, Pengolah Kopra atau Pedagang Arang Tempurung yang ada di desa. Hal ini terkait dengan harga arang tempurung yang rendah, sehingga secara ekonomis sebenarnya tidak layak untuk diusahakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani diketahui bahwa untuk mendapatkan 1 kg arang tempurung, dibutuhkan tempurung dari 5 butir kelapa. Marjin keuntungan yang diperoleh Pabrik dan Pedagang Arang Tempurung adalah Rp. 730/kg arang tempurung, atau setara dengan 41,73% dari harga ekspor. Marjin keuntungan yang besar inilah yang mendorong Pabrik dan Pedagang Arang Tempurung tetap bertahan dalam bidang usahanya, meskipun secara ekonomis komoditas yang diusahakan memiliki nilai yang rendah. Kendala utama agroindustri arang tempurung di Provinsi Sulawesi Utara adalah kurangnya bahan baku, sehingga Pabrik dan Eksportir Arang Tempurung tidak mampu memenuhi permintaan yang terus meningkat. Dalam konteks ini, Pemerintah Daerah perlu mendorong dan menjamin berlangsungnya kemitraan antara Petani dengan Pabrik dan Eksportir Arang Tempurung, sehingga petani dapat memperoleh harga jual yang lebih layak. Dengan harga jual seperti saat penelitian ini berlangsung (Rp. 500/kg), niscaya petani enggan untuk memproduksi arang tempurung dan tempurung kelapa tetap menjadi limbah yang tidak tergunakan.

17. Dalam pemasaran produk agroindustri berbasis teh hijau di Provinsi Jawa Barat terlihat bahwa harga pucuk teh pada bulan Agustus 2005 mencapai Rp. 700/kg sampai Rp. 750/kg daun segar. Marjin biaya yang dikeluarkan oleh Pedagang Pucuk Teh sebesar Rp. 117/kg (6,91%), yang sebagian besar digunakan untuk biaya transportasi dan menanggung susut selama dalam proses pembelian dan penjualan. Sementara itu, Pabrik Pengolahan dan Pedagang Teh Hijau mengeluarkan biaya masing-masing sebesar Rp. 240/kg (14,18%) dan Rp. 360/kg (21,28%). Hasil analisis pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa keuntungan yang diterima Pedagang Pucuk Teh adalah Rp. 83/kg, sedangkan Pabrik Pengolah Teh Hijau dan Pedagang Teh Hijau

(9)

berturut-turut sebesar Rp. 102/kg (6,03%) dan Rp. 90/kg (5,32%). Dalam analisis ini telah dihitung rendemen teh sebesar 23%, yang berarti untuk setiap 1 kg pucuk akan diperoleh 0,23 kg teh hijau. Menurut informasi yang diperoleh dari Pedagang Teh Hijau di Sukabumi, usaha perdagangan teh hijau akhir-akhir ini makin menurun, karena pabrik teh wangi yang berada di Jawa Tengah mulai menguasai lahan kebun teh yang berada di wilayah Jawa Barat. Dalam konteks ini perlu dikembangkan pola kemitraan, sehingga Petani dan Pabrik Pengolahan Teh Hijau dapat melakukan penjualan langsung kepada perwakilan Pabrik Teh Wangi yang ada di Provinsi Jawa Barat.

F. Analisis Permintaan Ekspor Komoditas Perkebunan Utama

18. Ekspor lada putih Indonesia menghadapi persaingan dengan Brazil dan India. Sampai saat ini Singapura tetap menjadi negara tujuan ekspor utama, meskipun negara ini akan melakukan re-ekspor produk lada putih Indonesia. Hasil analisis permintaan ekspor menunjukkan bahwa elastisitas harga bertanda positif, dengan nilai dugaan sebesar 0,35 untuk negara tujuan Singapura dan 0,90 untuk Belanda. Sementara untuk elastisitas pendapatan, hanya negara tujuan ekspor Singapura yang memberikan tanda positif, sedangkan Belanda memberikan tanda negatif.

19. Untuk produk agroindustri berbasis kelapa terlihat bahwa semua angka elastisitas untuk harga, substitusi dan pendapatan memberikan angka yang negatif, kecuali negara tujuan Uni Emirat yang memberikan angka positif untuk elastisitas harga dan substitusi. Sementara untuk produk agroindustri berbasis teh terlihat hanya elastisitas harga dan elastisitas pendapatan dengan negara tujuan Pakistan yang memberikan angka positif, sedangkan lainnya bertanda negatif.

20. Dari hasil analisis ini terlihat bahwa elastisitas harga merupakan faktor yang sangat mempengaruhi ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh Indonesia. Dalam kondisi harga yang mengalami penurunan, maka ekspor produk agroindustri Indonesia pada masa yang akan datang akan terus mengalami penurunan. Hasil analisis ini sejalan dengan hasil analisis daya saing ekspor yang telah dikemukakan sebelumnya.

G. Analisis Integrasi Pasar Komoditas Perkebunan Utama

21. Analisis integrasi harga yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas integrasi harga petani dengan harga ekspor dan integrasi harga ekspor dengan harga dunia. Namun ketiadaan data harga dunia CCO dan DESCO, menyebabkan integrasi harga ekspor dengan harga dunia tidak dapat dilakukan.

(10)

22. Dari hasil analisis integrasi harga petani dengan harga ekspor terlihat bahwa untuk produk lada putih, CCO dan DESCO dua tingkatan pasar ini sama sekali tidak berhubungan. Sementara untuk produk teh hijau masih terdapat hubungan yang cukup kuat antara harga pucuk teh dan harga ekspor teh hijau. Untuk integrasi harga ekspor dan harga dunia terlihat adanya keterpaduan yang sempurna antara harga ekspor lada putih dengan harga dunia, serta integrasi yang cukup kuat antara harga ekspor dan harga dunia teh hijau.

23. Dari uraian di atas terlihat bahwa penentuan harga beli produk lada putih, kopra dan kelapa butiran di tingkat petani tidak ditentukan oleh harga di tingkat eksportir, tetapi berdasarkan tawar-menawar antara petani dan Pedagang Desa atau antara petani dan Pedagang Pengumpul. Lemahnya posisi tawar (bargaining position) ini petani disebabkan oleh tidak tersedianya informasi pasar yang cukup, sehingga petani selalu menerima tingkat harga yang ditetapkan oleh pedagang. Namun sebaliknya, penguasaan informasi harga dunia dan nilai tukar rupiah terhadap US$ telah memberikan keuntungan kepada Eksportir produk agroindustri, karena akan segera direspon dalam bentuk penurunan harga beli. Tanpa adanya informasi harga dunia yang memadai bagi petani, maka posisi tawar petani pada masa yang akan datang akan tetap lemah.

H. Rumusan Kebijakan dalam Pengembangan Produk Agroindustri

24. Perbaikan Produktivitas dan Kualitas Bahan Baku Produk Agroindustri. Untuk peningkatan produktivitas dan kualitas bahan baku produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh pada masa yang akan datang, diperlukan program peremajaan yang diarahkan pada peningkatan produktivitas dan kualitas bahan baku untuk industri. Kepada petani yang dilibatkan dalam program peremajaan, dianjurkan untuk mengelola tanaman secara intensif. Untuk itu kepada petani diberikan subsidi dalam bentuk bibit, pupuk, pestisida, kredit usahatani dan bantuan langsung untuk penguatan kelompok tani. Kelompok tani ini selanjutnya diberikan pendampingan oleh Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dalam program peremajaan dan penerapan teknologi budidaya, serta melakukan kemitraan dengan pengusaha agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh.

25. Insentif Ekspor. Untuk menggairahkan pengusaha dalam meningkatkan produksi dan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh, maka pemerintah perlu memberikan insentif ekspor dalam bentuk keringanan dan pembebasan pajak (tax incentive). Tax incentive ini hendaknya diberikan kepada pengusaha agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh yang bersedia melakukan kemitraan, khususnya untuk pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. Disamping itu, tax

(11)

membangun industri hilir (infant industry), seperti industri sabutret dan industri VCO untuk produk agroindustri berbasis kelapa. Namun sebaliknya, bagi pengusaha yang tidak bersedia melakukan kemitraan diberikan pajak tambahan, khususnya yang terkait dengan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Dengan insentif dan punishment seperti itu, para pengusaha diharapkan bersedia untuk menjalin kemitraan, khususnya dalam penetapan harga jual di tingkat petani. Dengan demikian, para petani serta pengusaha dan eksportir dapat menarik manfaat dari perbaikan kualitas bahan baku yang telah dilakukan.

26. Promosi Ekspor. Salah satu cara untuk meningkatkan ekspor produk agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh di Indonesia ---- yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan harga jual bahan baku di tingkat petani ---- adalah melakukan promosi ekspor dalam bentuk diversifikasi negara tujuan ekspor. Negara tujuan ekspor yang dapat dikembangkan pada masa yang akan datang adalah: (1) Produk agroindustri berbasis lada: Australia, negara-negara di Kawasan Timur Tengah, serta negara-negara Eropa lainnya; (2) Produk agroindustri berbasis kelapa: negara-negara di Kawasan Timur Tengah, Jepang, Hongkong, Korea Selatan, Perancis, Spanyol, Jerman, Australia serta negara-negara di Kawasan Eropa Timur; dan (3) Produk agroindustri berbasis teh: Australia, negara-negara di Kawasan Timur Tengah dan negara-negara ASEAN, khususnya Malaysia. Pada beberapa kawasan, Indonesia seringkali menghadapi berbagai isu kontemporer, seperti

food/agricultural products safety, khususnya ke negara-negara di

Kawasan Uni Eropa, Australia dan Jepang. Dalam konteks ini para pengusaha Indonesia perlu dipersiapkan, agar mampu memenuhi spesifikasi produk yang ditetapkan oleh buyers di negara tujuan ekspor. 27. Pengembangan Produk. Untuk meningkatkan ekspor produk

agroindustri berbasis lada, kelapa dan teh pada masa yang akan datang, pemerintah perlu mendorong peningkatan ekspor produk agroindustri yang memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi serta mengembangkan produk berdasarkan pohon industri. Sebagai contoh, untuk produk agroindustri berbasis kelapa, pengembangan produk dapat dilakukan dalam bentuk: (1) Dari daging kelapa parut dapat dihasilkan low fat

desicated coconut, cocomic dan virgin coconut oil (VCO) yang

selanjutnya dapat dijadikan bahan baku kosmetik; (2) Dari kulit ari daging kelapa dapat dihasilkan semi virgin coconut oil dan coco cake; dan (3) Dari sabut kelapa dapat diperoleh corflex, sabutret (sabut berkaret) dan matras. Secara ekonomis pengembangan produk ini akan lebih menguntungkan, jika pengusaha membangun dalam bentuk industri terpadu, yang memanfaatkan secara maksimum bahan baku yang dihasilkan oleh petani.

Referensi

Dokumen terkait

3 kunci ini menuntut penerapan teknologi yang canggih dan tepat yang tentunya akan berimplikasi pada penggunaan akuntansi manajemen dan akuntansi biaya yang

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 269 Tahun 2008 tentang Rekam Medis, yang dimaksud dengan rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen

Unit amatan dalam penelitian ini adalah Instagram dengan beberapa akun selebgram anak dengan unit analisa dalam penelitian ini yaitu bagaimana privasi anak-anak

Dari sisi teoritis, faktor penentu keberhasilan bisnis olah oleh raga futsal adalah ketersediaan bauran pemasaran, seperti ketersediaan produk, harga, lokasi,

Dengan menggunakan Tabel 3, dapat diketahui bahwa tingkat pelayanan jalan pada saat tanpa tarikan pergerakan dari Rumah Sakit Siloam Manado adalah 0,47 untuk Jalan

Kajian ini menemukan bahwa seorang anak akan mampu menampilkan akhlak mulia manakala pendidik, baik orangtua maupun guru, mampu memahami kejiwaan anak sembari mulai mengajari

•Urusan mengkafankan Jenazah akan dibantu oleh waris yang berhak dengan menitik berat alemen hukum dan sensitiviti masyarakat setempat. •Sebagai menghormati khariah setempat

Tiap Kolom ke-n dalam 4 buah wavelet tersebut akan di-Embedd dengan nilai yang sesuai dengan aturan pengkodean untuk digit karakter ke-n.. Model pengkodean ini mengambil tiap