• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV KONSEP TENTANG KEUANGAN NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK PEMERINTAHAN"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

88

BAB IV

KONSEP TENTANG KEUANGAN

NEGARA YANG IDEAL BERDASARKAN TINDAK

PEMERINTAHAN

A. Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia

Dalam sub bab ini penulis hendak menyampaikan kenyataan yang terjadi bahwa konsep keuangan negara dalam berbagai peraturan perundang-undangan saling bertentangan antara satu dengan yang lain (antinomi). Dengan memahami Konsep Tindak Pemerintah (dalam hukum publik dan privat) akan dengan mudah mangetahui bahwa se yogyanya undang-undang yang mengatur tentang keuangan negara haruslah sejalan dengan prinsip yang terkandung di dalam Tindak Pemerintah tersebut, sehingga adanya antinomi antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan yang lainnya tidak akan terjadi. Oleh sebabnya konsep tindak pemerintahan

(2)

89 seharusnya menjadi dasar dari pengaturan terhadap keuangan negara terkhususnya kekayaan negara yang dipisahkan.

Berikut dibawah ini akan dijabarkan berbagai konsep tentang keuangan negara dan/atau kekayaan negara yang dipisahkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia.

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Salah satu perubahan penting dari amandemen ketiga UUD NRI 1945 yaitu pada Bab VIII Pasal 23 tentang Keuangan Negara yaitu :

1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan

undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan

bertanggung jawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2) Rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah.

3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun yang lalu.

Pasal 23C

Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang.

Pada Pasal 23 UUD NRI 1945 inilah yang menjadi dasar hadirnya tiga paket Undang-Undang di bidang keuangan negara. Pasal tersebut

(3)

90 dengan jelas menyatakan bahwa “Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara” (APBN) sebagai wujud pengelolaan keuangan negara...”

Namun terhadap Pasal 23 ini, terdapat berbagai interpretasi dari berbagai ahli hukum, bahkan pembentuk undang-undang sendiri yang berbeda-beda. Arifin Soeria Atmadja, menyatakan bahwa rumusan definisi dan penjelasan keuangan negara yang bergulir sejak 1945 berdasarkan Pasal 23 ayat (4) dan ayat (5) UUD 1945 (naskah asli) sampai dengan perubahan ketiga UUD 1945, khususnya Pasal 23, Pasal 23C, Bab VIIIA Pasal 23E, tetap tidak jelas dan masih menyisahkan masalah yang cukup serius, baik dari segi hukum maupun dari segi akuntansi. Afirin mengatakan bahwa ketidakjelasan dari Pasal 23 tersebut membawa berbagai macam interpretasi dari berbagai pihak terhadap konsep keuangan negara.97 Arifin sendiri dalam disertasinya, menggambarkan dualism pengertian keuangan negara, yakni pengertian keuangan negara dalam arti yang luas dan pengertian dalam arti yang sempit. Pengertian keuangan negara dalam arti luas yang dimaksud ialah keuangan yang berasal dari APBN, APBD, dan keuangan yang berasal dari Unit Usaha Negara atau Perusahaan-perusahaan milik negara. Sedangkan pengertian

97

(4)

91 keuangan negara dalam arti yang sempit adalah keuangan yang berasal dari APBN saja.98

Interpretasi terhadap Pasal 23 UUD NRI 1945 membuat beragamnya konsep keuangan negara. Menggunakan metode interpretasi adalah salah satu cara dari para ahli untuk melihat konsep keuangan negara, selain konsep keuangan negara itu sendiri yang dapat dilihat dari segi pengelolaan dan pertanggungjawabannya. Arifin Soeria Atmadja menyatakan bahwa konsep keuangan negara dapat dipahami atas tiga interpretasi atau penafsiran terhadap Pasal 23 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara. Penafsiran

pertama, keuangan negara diartikan secara sempit yang hanya meliputi

keuangan negara yang bersumber dari APBN. Penafsiran kedua, keuangan negara dalam arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara, sebagai suatu sistem keuangan negara. penafsiran ketiga, dilakukan melalui pendekatan sistematik dan sosiologis, maksudnya apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan didasarkan pada sistem pengurusan dan

98

Tim Pengkajian Hukum dan Pembinaan Hukum Nasional, Sistem Pengelolaan Keuangan Negara, 2011, h. 13.

(5)

92 pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit.99

Berdasarkan pasal 23 tersebut maka hadirlah paket undang-undang yang mengatur tentang keuangan negara. Namun hadirnya paket udang-undang keuangan negara tersebut justru me nimbulkan masalah baru. Berbagai ketentuan norma di dalam undang- undang tersebut saling bertentangan dengan undang-undang lainnya, seperti undang-undang tentang BUMN dan undang- undang tentang keuangan negara.

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara

Dalam Pasal 1 ayat (1) undang-undang ini menyatakan:

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Kemudian pada Pasal 2 menyatakan :

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :

a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;

b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

99

Muhamad Fauzan, Hukum Pemerintahan Da erah (Kajian Tentang Hubungan

(6)

93

c) Penerimaan Negara; d) Pengeluaran Negara; e) Penerimaan Daerah; f) Pengeluaran Daerah;

g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas

yang diberikan pemerintah.

Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 2 huruf (g) ini secara tegas menyatakan bahwa kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan tetaplah berstatus kekayaan negara. Dengan pasal ini, maka Badan Pemeriksa Keuangan memiliki wewenang untuk mengaudit keuangan Badan Usaha Milik Negara (Persero). Pasal tersebut menunjukan bahwa penyusun undang-undang tidak membedakan secara yuridis prinsipil dan konsekuen antara hukum publik dan hukum privat. Selain itu ketentuan di dalam undang-undang ini menunjukan bahwa dalam menyusun norma-norma di dalam peraturan perundangan ini, penyusunan undang-undang ini juga tidak berdasarkan pada konsep tindak pemerintahan. Padahal justru dengan mengacu pada konsep inilah yang akan menjadi pedoman bagi pembentuk undang- undang.

(7)

94 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembe rantasan

Tindak Pidana Korupsi

Di dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada penjelasan undang- undang tersebut dikatakan bahwa:

Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena :

a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah; b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban

Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.

Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Hal ini meunjukan bahwa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, bukanlah satu-satunya yang memuat konsep keuangan negara. Konsep keuangan negara juga terdapat di dalam undang-undang lainnya.

(8)

95 4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan

Negara

Di dalam undang- undang ini pada Pasal 1 angka (6) menyatakan bahwa :

Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah.

Hal yang menarik berkaitan dengan pasal tersebut terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 77/PUU-IX/2011 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) khususnya pendapat Mahkamah pada paragraf (3.17) dan (3.19) menyatakan bahwa :

Paragraf (3.17) ;

“...berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan

Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang

memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT);

(9)

96 Dan paragraf (3.19) yang menyatakan bahwa :

“Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan dalam

paragraph [3.15] sampai dengan paragraf [3.18] di atas, menurut Mahkamah, piutang Bank BUMN setelah berlakunya UU 1/2004, UU

BUMN serta UU PT adalah bukan lagi piutang negara yang harus

dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN Piutang Bank -Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN. Bank BUMN sebagai perseroan terbatas telah dipisahkan kekayaannya dari kekayaan negara yang dalam menjalankan segala tindakan bisnisnya termasuk manajemen dan pengurusan piutang masing-masing Bank bersangkutan dilakukan oleh manajemen Bank yang bersangkutan dan tidak dilimpahkan kepada PUPN.

Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal II ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah 73 Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah adalah tidak sejalan dengan ketentuan UU 1/2004, UU BUMN, dan UU PT;

Putusan Mahkamah Konstitusi ini ingin menyatakan secara tegas bahwa Keuangan BUMN bukanlah keuangan negara, BUMN merupakan badan usaha yang memiliki kekayaan sendiri dan terpisah dari kekayaan negara. Oleh karena keuangan BUMN bukan lagi keuangan negara, maka piutang BUMN bukan lagi menjadi piutang negara, piutang negara hanya sebatas piutang pemerintah pusat.

(10)

97 5. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Otoritas Jasa

Keuangan

Undang-undang ini dalam ketentuannya juga menyinggung tentang keuangan negara. Dalam Pasal 46 ayat (1) dikatakan bahwa:

Kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan yang terkait dengan keuangan negara wajib diajukan untuk mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Dan di dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “keuangan negara” adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara pada saat kebijakan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan dan/atau dilaksanakan. Ini menunjukan bahwa undang-undang tentang otoritas jasa keuangan memaknai keuangan negara hanya sebatas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Berbagai antinomi yang terjadi diantara peraturan perundang-undangan membuat tidak adanya kepastian hukum bagi pelaksanaan dan pengelolaan hal- hal yang berkaitan dengan keuangan negara terkhususnya kekayaan negara yang dipisahkan pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Hal ini tentu menjadi dilema tersendiri bagi pimpinan Badan Usaha Milik Negara. Dalam menjalankan pengelolaan Badan Usaha Milik Negara pada direksi selalu dihantui dengan ketakutan terjadinya kerugian pada BUMN dalam

(11)

98 menjankan usahanya. Padahal sebagai entitas hukum bisnis, dalam menjalankan usahanya kentungan dan kerugian bagaikan dua sisi koin yang tak terpisahkan. Sehingga ketika BUMN merugi adalah sesuatu yang wajar dalam menjalankan usaha.

Sebagai sebuah sistem, ketika dalam peraturan perundang-undangan terjadi antinomi, maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik atau asas preverensi. Dalam sistem tidak dikehendaki adanya saling pertentangan antara pelbagai peraturan perundang-undangan. Pertentangan hanya akan meruntuhkan otoritas dari sistem peraturan perundang- undangan itu sendiri yaitu timbulnya ketidakpastian hukum. Hal ini menunjukan bahwa di dalam suatu sistem terhadap suatu permasalahan telah tersedia solusi untuk setiap persoalan yang muncul. Menjadi fokus penulis adalah pertentangan antara UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dengan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Dalam UU No. 17 Tahun 2003 Pasal 1 ayat (1) menyatakan:

Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.

Kemudian pada Pasal 2 menyatakan :

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi : a) hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan

uang, dan melakukan pinjaman;

b) kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

(12)

99

d) Pengeluaran Negara; e) Penerimaan Daerah; f) Pengeluaran Daerah;

g) kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;

h) kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum; i) kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang

diberikan pemerintah.

Melihat norma yang termuat dalam pasal 1 dan pasal 2 tersebut, menunjukan bahwa UU tentang Keuangan Negara memposisikan kekayaan negara yang berada di dalam BUMN sebagai keuangan negara. Padahal jika melihat dalam UU tentang BUMN sendiri dalam Pasal 4 ayat (1) menyatakan bahwa “Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan

negara yang dipisahkan”. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut

dikatakan bahwa

“Yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan

pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Menjadi permasalahan ketika dua peraturan perundang-undangan menyatakan hal yang bertentangan satu dengan lain. Untuk menyelesaikan ini penulis menggunakan asas lex specialis derogate legi generalis, yang bermakna bahwa aturan hukum yang khusus mengatur sesuatu (BUMN)

(13)

100 akan mengesampingkan aturan hukum yang umum (Keuangan Negara). Aturan yang bersifat khusus mengatur sesuatu dalam hal ini tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN itu sendiri dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana yang diamanatkan dalam pasal 4 ayat (1) UU BUMN. Sedangkan aturan yang bersifat umum yaitu UU tentang Keuangan Negara, dimana hanya dalam pasal 2 huruf (g) yang menyatakan kekayaan yang sudah dipisahkan di dalam BUMN masih berstatus uang negara, padahal jika dilihat aturan khusus yang mengatur BUMN itu sendiri menyatakan bahwa

pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya

didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Oleh karena itu sebagaimana yang sudah tersurat di dalam UU BUMN itu sendiri, maka antinomi ini dapat diatasi dengan menggunakan asas lex

specialis derogate legi generalis, dimana UU No. 19 Tahun 2003 tentang

BUMN dan UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengesampingkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Terdapat hal menarik lainnya terhadap berbagai antinomi yang terjadi, terkhusunya dengan undang- undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan

(14)

101 negara. Berbagai permasalahan yang terjadi tersebut membuat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Pasal 2 Huruf G dan Huruf I tersebut diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Terhadap Pasal-pasal yang diujikan tersebut, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Salah satu pendapat Mahkamah ialah pada paragraf (3.16) yang menyatakan :

“... Rumusan pengertian mengenai keuangan negara dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 menggunakan rumusan pengertian yang bersifat luas dan komprehensif denga tujuan untuk mengamankan kekayaan negara yang bersumber dari uang rakyat yang diperoleh dari melalui pajak, retribusi maupun penerimaan negara bukan pajak. Pengertian ruang lingkup keuangan negara yang dirumuskan secara luas/komprehensif tersebut dimaksudkan untuk mencegah adanya celah dalam regulasi yang dapat mengakibatkan timbulnya kerugian negara. Mahkamah juga telah mempertimbangkan bahwa BHMN PT atau BUMN/BUMD merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam arti luas, dengan demikian posisi BHMN PT atau BUMN/BUMD adalah melakukan pengelolaan keuangan

negara, meskipun harus dipahami dengan mempergunakan

paradigm yang berbeda-beda.

Perluasan pengertian dan cakupan keuangan negara berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003, menurut Mahkamah tidak bertentangan dengan norma UUD 1945 mengenai keuangan negara. Pasal 23 UUD 1945 tidak berarti wujud pengelolaan keuangan negara hanya terbatas pada APBN. Pemahaman mengenai keuangan negara tidak terlepas dari pasal-pasal UUD 1945 yang lain, khususnya dalam hal ini Pasal 23C UUD 1945. Selain itu, perluasan pengertian keuangan negara diderivasi dari konsep negara kesejahteraan (welfare state) yang secara eksplisit dianut

(15)

102

di dalam UUD 1945, yaitu pembukaan UUD 1945, khususnya alinea keempat, hingga ke pasal-pasal yang terdapat di dalamnya, mencita-citakan pembentukan suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan mampu memajukan kesejahteraan umum dan seterusnya. Besarnya peran dan fungsi BHMN PT atau BUMN/BUMD dalam mengelola keuangan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, harus diiringi pula dengan penegasan bahwa pengelolaan terhadap sarana dan prasarana milik negara yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan paradigma yang berlaku. Dengan demikian menurut Mahkamah Pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.”

Pertimbangan dan Putusan Mahkamah ini akan sangat berbeda jauh terhadap Putusan Mahkamah Nomor 77/PUU-IX/2011. Dalam kasus ini Mahkamah menyatakan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian dengan salah satu pertimbangan yang menarik yaitu pada paragraf (3.17)

“...berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003

tentang Badan Usaha Milik Negara (selanjutnya disebut UU BUMN), Pasal 1 angka 1 dan angka 10 menyatakan bahwa Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan, yaitu kekayaan negara yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan penyertaan modal negara pada Persero dan/atau Perum serta perseroan terbatas lainnya. Dengan demikian BUMN adalah badan

usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan

(16)

103

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut UU PT);

Terlihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 48/PUU-XI/2013 dan Putusan Nomor 77/PUU-IX/2011 saling bertentangan. Pada putusan yang pertama Mahkamah menyatakan dengan tegas bahwa “...BUMN/BUMD

merupakan kepanjangan tangan pemerintah dalam menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam arti luas, dengan demikian posisi BHMN PT atau BUMN/BUMD adalah melakukan pengelolaan keuangan negara

sedangkan dilain sisi, Dengan demikian BUMN adalah badan usaha yang

memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum perseroan terbatas berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dengan demikian, tergambarkan dengan jelas berbagai antinomi yang terjadi terhadap keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Revisi Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 merupakan salah satu alternatif untuk menyelesaikan polemik yang terjadi ini.

(17)

104 B. Implikasi Antinomi Konsep Keuangan Negara Dalam Tataran

Praktis

Konsep keuangan negara yang tidak bangun berdasarkan pemahaman tentang asas/prinsip yang melandasi tindak pemerintahan mengakibatkan adanya pertentangan yang terjadi (antinomi) antara norma-norma yang berkaitan dengan keuangan negara. Pemahaman tentang keuangan negara yang tidak dibangun berdasarkan konsep Tindak Pemerintahan tersebut bukan hanya berimplikasi pada tataran normatif dengan adanya antinomi antar norma-norma yang berkaitan dengan keuangan negara, namun juga berdampak pada tataran praktis. Implikasi yang terjadi dalam tataran praktis antara lain :

1) Tidak Ada Kepastian Hukum

Tidak adanya kepastian hukum disini, akibat Pasal 2 huruf (g) dan huruf (i) dari UU Keuangan Negara. Pasal 2 huruf (g) UU Keuangan Negara menyatakan bahwa:

“keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 1, meliputi: ...

g) Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak- hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang

(18)

105 Norma di dalam Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengartikan bahwa kekayaan negara yang telah dipisahkan sebagai penyertaan di dalam BUMN masih berstatus sebagai keuangan negara. Dengan demikian implikasi yuridis dari status uang negara tersebut yaitu keberlakuan asas-asas maupun peraturan perundang-undangan di dalam hukum publik seperti UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap uang tersebut. Sedangkan di dalam UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dalam pasal 11 ditegaskan bahwa terhadap persero (BUMN) berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip bagi perseroan terbatas sebagaimana yang diatur dalam UU Perseroan Terbatas dan ketentuan Pasar Modal bagi BUMN yang telah menjadi perusahaan terbuka (go public).

Hal inilah yang menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dimana disatu sisi uang yang berada di dalam BUMN masih diposisikan sebagai uang negara yang mengakibatkan pengaturan tentang uang tersebut tunduk dalam UU tentang Keuangan Negara, UU tentang BPK dan UU tentang Tipikor, sedangkan disisi yang lain uang yang telah berada di dalam BUMN tersebut terhadapnya tunduk dan mengikuti norma-norma yang berada di dalam UU tentang Perseroan Terbatas dan UU tentang BUMN.

(19)

106 2) BUMN Menjadi Objek Pe meriksaan Auditor Negara

Hal ini menjadi sangat tidak logis ketika BUMN menjadi objek Pemeriksaan Auditor Negara100 dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Padahal uang negara yang telah dijadikan penyertaan modal dalam BUMN telah berstransformasi menjadi uang privat dimana seluruh aktivitasnya tunduk dalam hukum privat. Hal ini merupakan konsekuensi yuridis dari Tindak Pemerintahan dalam Hukum Publik dan Tindak Pemerintahan Dalam Hukum Privat.

Hal ini juga selaras dengan pasal 11 UU tersebut menyatakan : “Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip

yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Oleh karenanya tidaklah tepat ketika BUMN menjadi objek pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, melainkan seharusnya oleh auditor eksternal (akuntan publik) yang ditetapkan oleh RUPS sebagaimana yang diatur di dalam UU No. 40 tentang Perseroan Terbatas dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

100

Seperti halnya kasus yang dialami oleh E.C.W Neloe dan rekan-rekannya selaku mantan Direksi PT Bank Mandiri yang dipenjara karena dinyatakan mengambil tindakan yang merugikan keuangan negara.

(20)

107 3) Ketakutan Direksi BUMN Dalam Mengambil Keputusan Bisnis

Kasus E.C.W Neloe adalah salah satu kasus fenomenal yang membuktikan bahwa keputusan bisnis (Business Judgment) yang dipandang bermasalah dari segi penegak hukum dapat dibawah kedalam ranah pengadilan.

Ketakutan direksi BUMN ini tidak terlepas dari tidak adanya kepastian hukum dalam aktivitas BUMN, dimana masih terdapat perbedaan pemaknaan konsep keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan di BUMN. Perbedaan pemaknaan aturan perundang-undangan tersebut akhirnya membuat para Direksi BUMN (Persero) tersebut menjadi takut mengambil keputusan bisnis karena selalu diperhadapkan kepada ancaman resiko kerugian keuangan negara yang bermuara pada tindak pidana korupsi.

4) Fatwa Hukum MA No. WKMA.Yud/20/VIII/2006

Fatwa ini dikeluarkan karena Menteri Keuangan Sri Mulyani memohon fatwa soal kekayaan negara di BUMN yang berkaitan dengan adanya antinomi antara UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan antara lain :

1) Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi :

“Badan usaha milik negara yang selanjutnya disebut BUMN adalah badan usaha negara yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.”

(21)

108

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang yang sama menyatakan bahwa “Modal

BUMN dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.

Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “Yang

dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari anggaran pendapatan dan belanja negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem anggaran pendapatan dan belanja negara namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

2) Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan Undang-Undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berdasarkan dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistim APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. 3) Bahwa Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang

Perbendaharaan Negara menyebutkan,

“Piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada pemerintah pusat dan atau hak pemerintah pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”.

Bahwa oleh karena itu, piutang BUMN bukanlah piutang negara.

4) Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-Undang Nomor 49 PRP Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang

negara atau hutang kepada negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian, atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan

bahwa piutang negara meliputi pula piutang “badan-badan yang

umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik negara, misalnya bank-bank negara, PT, PT negara, perusahaan-perusahaan negara, yayasan, perbekalan, dan persediaan yayasan urusan bahan makanan, dan sebagainya ”, serta Pasal 12 ayat (1)

undang-undang yang sama mewajibkan instansi- instansi pemerintah dan badan-badan negara sebagai dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan

(22)

109 piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasinya sebagaimana mestinya kepada panitia urusan piutang negara. Namun ketentuan tentang Piutang BUMN dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialist) dan lebih baru dari Undang-Undang Nomor 49 PRP Tahun 1960.

5) Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi:

Keuangan negara sebagaimana dimaksud pada Pasal 1 angka 1 meliputi: g) Kekayaan negara/daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain

berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak -hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah.

Yang dengan adanya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan

daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

Timbulnya Fatwa Mahkamah Agung tersebut di atas menunjukan secara tegas telah terjadi antinomi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keuangan negara. Walaupun Fatwa Mahkamah Agung hanya sebuah pendapat hukum (Legal Opinion) Mahkamah Agung yang tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, keberlakuannya tentunya dapat atau tidak dapat digunakan oleh Hakim di dalam memberikan pertimbangan dalam putusannya. Hal ini secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan ekses atau dampak tersendiri terhadap perkembangan

(23)

110 hukum terutama yang berkaitan dengan kedudukan hukum keuangan negara dalam Badan Usaha Milik Negara baik dari sisi negatif atau sisi positifnya.101

C. Konsep Pengaturan Tentang Keuangan Negara Yang Ideal Berdasarkan Tindak Pemerintah

Berkaitan dengan judul dari pembahasan ini menunjukan bahwasanya konsep pengaturan tentang keuangan negara pada saat ini yang termuat di dalam UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara belumlah ideal. Konsep dari keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan merupakan salah satu contoh dari berbagai hal yang dipandang bermasalah di dalam UU No. 17 Tahun 2003 tersebut. Akibatnya, konsep keuangan negara menjadi tidak rasional karena peraturan perundang- undangan dan kebijakan yang mengatur keuangan negara tidak sejalan dengan konsep tindak pemerintahan.

Penulis bergerak pada pendirian bahwa pengaturan tentang keuangan negara yang ideal haruslah dibangun berdasarkan konsep tindak pemerintahan. Konsep Tindak Pemerintah dalam hukum publik dan tindak

101

(24)

111 Pemerintahan dalam hukum privat, haruslah menjadi dasar dari konsep keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan. Dengan memahami dan membedakan konsep Tindak Pemerintahan dalam lapangan hukum publik maupun dalam lapangan keperdataan, maka pembentuk peraturan perundang-undangan dapat mengetahui bahwa terhadap pembedaan tindak pemerintahan tersebut membawa implikasi tersendiri terhadap status uang tersebut yaitu status uang negara dan uang privat (BUMN). Dengan status uang yang berbeda tersebut menentukan rezim hukum mana yang berlaku. Jika status hukum uang tersebut ialah uang negara maka rezim hukum publik yang berlaku dan sebaliknya jika status hukum uang tersebut ialah uang privat maka rezim hukum perdata yang berlaku.

Oleh karenanya, pengaturan tentang keuangan negara yang ideal harusnya mencerminkan pembedaan terhadap status hukum uang sebagai implikasi dari Konsep Tindak Pemerintahan tersebut. Intervensi hukum publik dalam ranah hukum privat, dimana status hukum uang privat tercakup dalam uang negara hanya akan menambah masalah baru, karena hukum privat memiliki pengaturannya sendiri beserta dengan asas-asas yang berlaku di dalamnya. Sehingga status hukum uang privat di dalam BUMN sepenuhnya tunduk dalam pengaturan hukum perdata.

Dengan mengacu pada Tindak Pemerintahan, maka status hukum uang dalam BUMN (Persero) adalah uang BUMN itu sendiri yang terpisah dari

(25)

112 uang negara. Status hukum uang tersebut merupakan salah satu contoh dari Tindak Pemerintah Dalam Hukum Privat (jure gestionis) dimana aturan dalam lapangan keperdataan yang berlaku. O leh karenanya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas adalah berlaku bagi BUMN tersebut. Selain itu juga Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dengan pengecualian terhadap Undang-Undang ini berkaitan dengan Pasal 71 ayat (2) yang menyatakan :

“Badan Pemeriksa Keuangan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap BUMN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Pasal tersebut jika dicermati tidaklah sesuai dengan konsep tindak pemerintah dalam lapangan keperdataan. Karena status hukum uang yang berada di dalam BUMN tidaklah berstatus uang negara.

Sedangkan teruntuk tindak pemerintahan dalam ranah hukum publik dimana status hukum uang tersebut adalah uang negara maka paket Undang-Undang Bidang Keuangan Negara yang berlaku yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara serta UU terkait lainnya.

Namun terkadang ada hal- hal yang perlu di pahami bahwa tindak pemerintahan dalam hukum keperdataan yang dilakukan oleh pemerintah

(26)

113 tidaklah sama dengan tindak keperdataan yang dilakukan oleh warga pada umumnya, bahkan terkadang tindak pemerintah tersebut baik publik maupun

privat saling berjalan bersama-sama. Menurut Indroharto, dalam kenyataan

bahwa posisi pemerintah adalah serba khusus sekalipun dalam hubungan perdata, disebabkan karena Pemerintah tidak dapat melepaskan dirinya sebagai penjaga dan pemelihara kepentingan umum, dengan kewajiban memperhatikan ketentuan hukum publik pada umumnya dan kekuatan mengikat perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat apalagi tentang wewenang pemerintah tidak dapat sama atau seperti perjanjian antar warga.102 Dalam lapangan keperdataan meskipun kedudukan pemerintah sama dengan swasta tetapi ada keleluasaan yang diberikan kepada pemerintah yang melakukan hubungan keperdataan. Misalnya jika perorangan pada umumnya untuk mengakhiri perjanjian harus ada kesepakatan diantara kedua belah pihak, namun pemerintah demi kepentingan umum dapat mengakhiri secara sepihak.

Hal ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan antara privatnya negara dengan privatnya orang perorangan pad a biasanya, dimana masih ada unsur kekuasaan publik disana selain prinsip umum dalam lapangan keperdataan

102

Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Huk um Publik dan Huk um Perdata, Le mbaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Ad min istrasi Negara (LPP-HAN), Bogor-Jakarta, 1995, h. 171.

(27)

114 bahwa perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak (pacta sunt

servanda). Hal demikian terlihat bahwa sulit untuk menampik nuansa hukum

publik dalam perjanjian antara pemerintah dan warga masyarakat. Sebagai contoh ialah kontrak kerja pemerintah dengan pihak swasta dalam hal pengadaan barang dan jasa. Dalam kontrak kerja tersebut terdapat berbagai rezim hukum (publik dan privat) yang berlaku dan mengatur berbagai tindakan pemerintah dan pihak swasta. Rezim hukum publik karena proses pengadaan barang dan jasa bersumber dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya103 namun hubungan yang dibangun bersifat keperdataan karena didasarkan pada kontrak antara para pihak. Disini terlihat bahwa nuansa publik dan privat dalam kontrak kerja pemerintah ini. Oleh karena itu menjadi penting dalam menentukan garis batas (scheidingslijn) tindak pemerintahan apakah bersifat publik atau privat. Penulis berpendapat ketika pemerintah bertindak dalam lapangan keperdataan, terdapat hal- hal terntentu yang bersifat privat karena memang sifatnya privat dan terdapat hal- hal tertentu yang bersifat publik. Namun terkhususnya untuk rezim publik batasan terhadap hal tersebut ialah sepanjang menyangkut penggunaan uang

103

Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pe merintah telah mengala mi perubahan sebanyak empat kali yaitu Peraturan Presiden No mor 35 Tahun 2011 jo Pe raturan Presiden No mor 70 Tahun 2012 jo Pe raturan Presiden No mor 172 Tahun 2014 jo PERPRES No 4 Tahun 2015.

(28)

115 negara dalam transaksi. Hal ini penting untuk mencegah masuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pelaksanaan kontrak tersebut, jika pada akhirnya terdapat hal- hal yang dianggap merugikan keuangan negara. oleh karenanya penyelesaian terhadap hal tersebut biarlah diselesaikan dengan ketentuan hukum privat dan berdasarkan kesepakatan para pihak yang telah dituangkan dalam kontrak tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil uji statistik untuk mengetahui hubungan antara teknologi yang digunakan (benih bersertifikat, pengolahan tanah, pemupukan sesuai rekomendasi, PHT, pembersihan

Pada penelitian ini, perlu diidentifikasikan dahulu berbagai permasalahan yang terjadi agar menghasilkan suatu tujuan penelitian yang diharapkan, maka perlu

Pertama, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi sekolah dan orang tua dalam memahami pengaruh media sosial agar dapat ikut berperan mengontrol

Dari uraian diatas, peneliti sangat tertarik untuk melakukan penelitian dengan pembahasan mengenai “Pengukuran Indeks Kepuasan Masyarakat terhadap Kualitas Pelayanan Publik

Institut Seni Indonesia Surakarta). Ujian Tugas Akhir merupakan tahap akhir dalam perkuliahan untuk menyelesaikan program studi S-1 Jalur Kepenarian Jurusan Tari di Institut

Dalam penulisan makalah mengenai “ DAMPAK POLUSI UDARA, AIR, DAN TANAH TERHADAP KESEHATAN MANUSIA DAN LINGKUNGAN ” ini, kami mendapatkan beberapa hal,

Pembelajaran tematik terpadu lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan sesuatu ( learning by doing ). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau

maka pergantian brand yang dilakukan oleh Bekasi Square menjadi awal menuju perubahan yang baik. Sebagai Divisi Media Relation di Revo Town HD menjelaskan, “nama yang