• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Streptococcus pyogenes

Streptococcus pyogenes merupakan bakteri Gram positif fakultatif anaerob

yang nonmotil dan tidak berspora. Bakteri ini berbentuk kokus yang membentuk rantai dengan diameter 0,6-1,0 µm. Metabolisme dari bakteri ini dilakukan secara fermentasi. S. pyogenes digolongkan ke dalam bakteri beta hemolitik, sehingga bila ditumbuhkan dalam media MH Blood Agar akan membentuk zona terang (Cunningham, 2000).

S. pyogenes merupakan kelompok besar patogen manusia yang dapat

menginvasi secara lokal maupun sistemik (Jawetz et al., 2001). Diperkirakan 5-15% dari bakteri ini merupakan flora normal, terutama dalam saluran nafas, dan tidak menimbulkan tanda-tanda infeksi (Radji, 2011). S. pyogenes dapat menginfeksi apabila pertahanan tubuh inang menurun atau ketika organisme tersebut mampu berpenetrasi melewati pertahanan inang yang ada. Bila bakteri ini

Gambar 2.1. S. pyogenes yang ditemukan pada kultur darah (Jawetz et al., 2001)

(2)

berpenetrasi sampai ke jaringan yang rentan, maka dapat menimbulkan infeksi yang bersifat supuratif. Infeksi yang ditimbulkan berupa faringitis, tonsillitis, impetigo dan demam scarlet. Selain itu, bakteri ini dapat menyebabkan penyakit invasi seperti infeksi tulang, necrotizing fasciitis, radang otot, meningitis dan endocarditis (Cunningham, 2000).

Demam rematik dan glomerulonefritis merupakan bentuk komplikasi dari

non-supuratif atau sekuele. Demam rematik akut dapat terjadi apabila penderita

yang terinfeksi S. pyogenes tidak mendapat penanganan segera. Sekuele ini terjadi akibat adanya antibodi protein M yang bereaksi silang dengan protein jaringan jantung sehingga menimbulkan peradangan jantung atau lebih dikenal dengan penyakit jantung rematik (Cunningham, 2000).

Glomerulonefritis akut diduga terjadi akibat adanya deposisi kompleks antigen-antibodi pada membran glomeruli ginjal. Gejala biasanya timbul 10 hari setelah infeksi tenggorokan atau kulit oleh S. pyogenes dan umumnya menyerang anak-anak usia 3-4 tahun. Pada orang dewasa, penyakit ini dapat menyebabkan gagal ginjal kronis (Guzman et al., 1999).

2.1.1 Klasifikasi Streptococcus pyogenes

Klasifikasi bakteri S. pyogenes menurut Rosenbach (1884) adalah sebagai berikut:

Domain : Bacteria

Kingdom : Eubacteria

Filum : Firmicutes

(3)

Ordo : Lactobacilles

Famili : Streptococcaceae Genus : Streptococcus

Spesies : Streptococcus pyogenes

2.1.2 Faktor Virulensi Streptococcus pyogenes

Bakteri ini dapat menyebabkan penyakit karena adanya interaksi antara faktor virulensi S. pyogenes dengan sel inang. Faktor virulensi tersebut dapat berupa protein yang disekresikan maupun yang berlokasi di permukaan sel. Protein yang disekresikan diantaranya adalah streptokinase, hialuronidase, proteinase, hemolisin, polisakarida-C, protease sistein dan Streptococcal Inhibitor

of Complement (SIC). Protein permukaan dari S. pyogenes diantaranya adalah Streptococcal C5a Peptidase (SCPa), protein M dan protein F (Cunningham,

2000; Katerov, 2000; Todar, 2002). a) Streptokinase

Streptokinase adalah protein ekstraseluler yang terdiri atas 414 asam amino dan berperan dalam patogenesis GNAPS. Streptokinase dikenal juga sebagai fibrinolisin atau spreading factor, dan berperan dalam penyebaran bakteri melalui jaringan karena kemampuannya untuk mengubah plasminogen menjadi plasmin. Plasmin akan mengaktivasi kaskade komplemen dan menyebabkan terjadinya pemecahan protein matrik ekstraselular, mencerna fibrin, dan menginduksi pelepasan vasoaktif bradikinin. Hasilnya, infeksi jaringan lunak oleh S. grup A akan cepat menyebar dan meluas (Pardede, 2009).

(4)

b) Hialuronidase

Hialuronidase merupakan enzim yang dapat merusak jaringan. Enzim ini termasuk spreading factor yang bekerja memecah asam hialuronat dan dapat menyebabkan penyebaran infeksi sepanjang jaringan. Selama terjadinya infeksi, titer antibodi serum terhadap hialuronidase akan meningkat secara bermakna, terutama pada infeksi kulit (Pardede, 2009).

c) C5a Peptidase

C5a peptidase merupakan kemotraktan sel pagosit C5a dan terdapat pada semua sel strain S. grup A. Peptidase dapat merusak sinyal kemotaktik dengan memecah komponen komplemen C5a sehingga menjadi inaktif (Pardede, 2009).

d) Protein M

Protein M merupakan faktor virulensi utama yang mempunyai lebih dari 80 serotipe. Protein ini bersifat tahan panas, resisten terhadap pagositosis, dan sensitif terhadap tripsin.Protein M terdiri dari 2 rantai dengan struktur sebagai alpha-helical coiled-coil dimer, yang tampak seperti rambut pada permukaan sel S.. Bermuara dalam membran sitoplasma, melalui dinding sel dan menonjol dari permukaan sel sebagai fibril. Kemampuan resistensi S. grup A terhadap fagositosis tergantung pada protein M permukaan sel, yang merupakan hasil dari sekresi antibodi terhadap molekul protein M. Beberapa strain memproduksi 2 protein M yang berbeda dengan aktivitas antipagositik dan secara struktural ada kaitan dengan M-like protein. Protein ini dapat berikatan dengan berbagai protein dalam serum pejamu termasuk plasminogen, fibrinogen, albumin,

(5)

imunoglobulin G (IgG), IgA, dan proteinase inhibitor α2-makroglobulin, serta beberapa faktor regulatori dari sistem komplemen seperti faktor H dan C4b-binding protein. Faktor H mampu mendestabilisasi opsonin C3b jika mengendap pada permukaan bakteri. C4b-binding protein dapat menghambat pengendapan komplemen permukaan dengan merangsang degradasi C4b dan C3b (Pardede, 2009).

e) Protein F

Protein ini memiliki peranan penting dalam langkah pertama kolonisasi, yaitu aderens ke fibronektin pada permukaan suatu sel epitel. Mekanisme utamanya adalah berinteraksi dengan fibronektin pejamu yaitu suatu protein matrik pada sel eukariotik. Struktur yang dapat mengenali fibronektin pejamu terletak pada protein F, salah satu dari banyak protein pada permukaan kuman S. grup A (Pardede, 2009).

2.2 Escherichia coli

Escherichia coli merupakan bakteri gram negatif anaerobik fakultatif yang banyak ditemukan dalam usus besar manusia sebagai flora normal. Namun, jika kesehatan menurun bakteri dapat bersifat patogen akibat toksin yang dihasilkan (Jawetz et al., 2005). Beberapa penyakit yang disebabkan oleh bakteri E. coli yaitu infeksi primer pada usus, misalnya diare, serta infeksi saluran kemih, dan

(6)

E. coli berbentuk batang, dengan panjang 2 !m, diameter 0,7 !m, dan lebar 0,4-0,7 !m, serta memiliki flagela sehingga dapat bergerak bebas. Bakteri ini membentuk koloni yang bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata. Bersifat heterotrof, dan menghasilkan makanan dengan cara fermentasi CO2, H2O, etanol, laktat dan asetat (Brooks et al., 2007).

2.2.1 Klasifikasi Escherichia coli

Menurut Hudault et al. (2001), klasifikasi E. coli adalah sebagai berikut:

Domain : Bacteria Kingdom : Eubacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Gammaproteobacteria Ordo : Enterobacteriales Famili : Enterobacteriaceae Genus : Escherichia

Gambar 2.2. E. coli dengan pewarnaan gram (Jawetz et al., 2001)

(7)

Species : Escherichia coli

2.2.2 Patogenisitas Escherichia coli

E. coli adalah kelompok bakteri yang dapat bertransmisi melalui air (water borne) atau makanan (food borne). Bakteri ini mempunyai strain beragam yang

dapat menghasilkan enterotoksin terhadap sel epitel usus dan menyebabkan diare. Strain E. coli yang merupakan patogen penyebab diare adalah ETEC, EPEC, EIEC, EHEC dan EAEC.

a) ETEC (Entero Toxigenic E. coli)

Pada anak-anak dan orang dewasa, ETEC adalah patogen penyebab utama terjadinya diare akut dengan dehidrasi. ETEC akan menghasilkan enterotoksin yang mirip dengan Cholera toxin (CT), menyebabkan terjadinya ekskresi cairan elektrolit tubuh sehingga timbul diare dengan dehidrasi. Ada dua macam ETEC, yaitu Labile Toxin (LT) yang tidak tahan panas dan berat molekulnya tinggi, serta Stabile Toxin (ST) yang berukuran kecil dan tahan terhadap panas (Dubreuil et al., 2002).

b) EPEC (Entero Pathogenic E. coli)

Beberapa rumah sakit di Inggris dan negara lainnya di Eropa, EPEC merupakan strain pertama dari E. coli yang berhasil diidentifikasi sebagai penyebab diare patogenik pada pasien bayi dan anak-anak (Whittam et al., 2011). Faktor virulensi yang memiliki peran dalam patogenisitas EPEC antara lain adesin, intimin, protein-protein sekresi dan bundle-forming pili (BFP) (Hicks et al., 1998).

(8)

c) EIEC (Entero Invasive E. coli)

EIEC mempunyai persamaan dengan Shigella dalam sifat patogenisitasnya. Strain EIEC dapat menyebabkan diare dengan melakukan penetrasi mukosa usus dan bermultiplikasi pada sel-sel epitel usus besar. Epitel usus besar yang rusak akan menimbulkan manifestasi klinis berupa diare berdarah (Parsot et al., 2005).

d) EHEC (Entero Haemorrhagic E. coli)

EHEC dikenal juga dengan sebutan Verocytotoxigenic E. coli (VTEC), dimana bakteri ini dapat bertransmisi melalui kontak langsung atau melalui makanan dengan daging yang diolah dan dihidangkan secara tidak higienis. Strain E. coli ini memproduksi sitotoksin yang menyebabkan peradangan dan perdarahan yang meluas di usus besar sehingga terjadi diare haemolytic uremic syndrome (HUS) (Hicks et al., 1998; Karch et al., 2001).

e) EAEC (Entero Aggregative E. coli)

EAEC banyak ditemukan pada pasien dengan diare di beberapa negara dengan strata ekonomi yang bervariasi. Strain E. coli ini bersifat

self-limiting dan menunjukkan gejala yang ringan (Jensen, 2014).

Patogenisitas EAEC terjadi karena bakteri ini mampu melekat dengan erat di bagian mukosa intestinal sehingga menimbulkan gangguan (Eslava et

al., 2009).

Bakteri ini umumnya dapat menyebabkan penyakit bila telah mencapai jaringan di luar traktus intestinal seperti saluran kencing, paru-paru, saluran empedu, peritoneum dan saluran otak. Selain itu, bakteri E. coli dapat menginvasi

(9)

sel mukosa yang akan menyebabkan timbulnya kerusakan dan terlepasnya lapisan mukosa (Salima, 2015).

2.3 Tanaman Melati (Jasminum sambac Ait.) 2.3.1 Gambaran Umum

Tanaman melati (Jasminum sambac Ait.) merupakan salah satu tanaman yang banyak dibudidayakan di dunia. Terdapat 200 jenis melati yang telah diidentifikasi oleh para ahli botani, namun hanya sekitar 9 jenis melati yang umum dibudidayakan (Rukmana, 1997). Di Indonesia, tanaman ini banyak dimanfaatkan sebagai hiasan, campuran teh, bahan baku parfum, dan sebagai obat tradisional.

Jasminum sambac Ait. merupakan tanaman perdu tegak merambat dengan

tinggi sekitar 0,3-3 meter yang dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah maupun daerah dengan ketinggian hingga 1.000 meter diatas permukaan laut. Tanaman ini tidak memerlukan perlakuan khusus pada proses pembungaannya, dan memerlukan waktu lebih dari setahun untuk tumbuh merambat (Endah, 2002).

Bunga tanaman melati (Jasminum sambac Ait.) umumnya tumbuh di ujung tanaman, dengan bentuk menyerupai terompet dan warna yang beragam. Susunan mahkota bunga tunggal atau ganda dan memiliki aroma yang harum. Helaian daun tanaman melati (Jasminum sambac Ait.) mempunyai bentuk seperti bulat telur, dengan tangkai yang pendek dan tulang daun yang menyirip. Pangkal daun membulat, tepi rata, dan memiliki permukaan berwarna hijau mengkilap (Eren, 2013).

(10)

Batang tanaman melati (Jasminum sambac Ait.) berwarna coklat berkayu, dengan bentuk bulat sampai segi empat dan bercabang banyak (Eren, 2013). Sistem perakaran tanaman melati (Jasminum sambac Ait.) adalah akar tunggang dan bercabang yang menyebar ke segala arah. Akar tanaman ini dapat menumbuhkan tunas tanaman melati baru (Hieronymus, 2013).

2.3.2 Klasifikasi Tanaman Melati (Jasminum sambac Ait.)

Menurut Tjitrosoepomo (2005), klasifikasi tanaman melati (Jasminum

sambac Ait.) adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dycotyledonae

Ordo : Oleales

Gambar 2.3. Tanaman melati (Jasminum

(11)

Famili : Oleaceae

Genus : Jasminum

Spesies : Jasminum sambac (L) W. Ait.

2.3.3 Metabolit Sekunder

Tanaman melati (Jasminum sambac Ait.) banyak mengandung senyawa kimia yang memiliki manfaat yang besar, terutama dalam bidang kesehatan. Efek farmakologis bunga melati diantaranya sebagai obat diare, jerawat, influenza, cacingan, demam, sakit gigi dan sesak napas (Eren, 2013). Berbagai manfaat tersebut didapatkan dari sejumlah senyawa aktif yang dapat diperoleh melalui proses ekstraksi. Berdasarkan skrining fitokimia pada bunga melati yang dilakukan oleh Rastogi dan Mehrotra (1989), didapatkan adanya beberapa kandungan senyawa aktif yang disajikan pada tabel 2.1.

Tabel 2.1. Skrining fitokimia bunga melati (Jasminum sambac Ait.)

No Senyawa Tingkat Kepolaran

Nonpolar Semipolar Polar

1 3-hexenol + 2 2-vinylpridine + 3 Indol + + + 4 Myrcene + + 5 Geranyl linalool + 6 Alpha terphenol + 7 Beta tepenol + 8 Linalyl acetat + 9 Nerolidol + 10 Phytol + 11 Isophytol + 12 Farsenol + 13 Eugenol + + + 14 Benzyl alcohol 15 Methyl benzoate + + + 16 Benzyl cyanide + + + 17 Benzyl acetat + + +

(12)

18 Methyl anilate + 19 Cis-jasmone + 20 Methyl N-mthylantheranilate + 21 Vanilin + 22 Cis-hexenylbenzoate + 23 Asam benzoate + 24 Mthylpalmitate + 25 Mthyl linoleat + 26 8,9-dihydrojasminin + 27 Linalool +

Sumber: Rastogi dan Mehrotra (1989)

Pada umumnya, berbagai tanaman termasuk melati mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit sekunder. Metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang mempunyai kemampuan bioaktif untuk melindungi tumbuhan tersebut dari gangguan hama penyakit (Lenny, 2016). Contoh metabolit sekunder yang terdapat pada tanaman seperti alkaloid, flavonoid, tanin, saponin dan senyawa aktif lainnya.

a) Alkaloid

Alkaloid adalah golongan senyawa basa bernitrogen yang banyak terdapat pada tanaman (Darwis dan Ahmad, 2001). Senyawa aktif golongan alkaloid dapat berperan sebagai antibakteri dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk sempurna dan menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson, 1995).

b) Flavonoid

Flavonoid merupakan golongan terbesar dari senyawa polifenol di alam yang berperan dalam mengikat protein, sehingga mengganggu proses metabolisme (Lenny, 2006; Ganiswara 1995).

(13)

c) Tanin

Tanin merupakan komponen zat organik yang terdapat terutama dalam tanaman berkeping dua (dikotil). Senyawa tanin berperan sebagai antibakteri dengan mengganggu sintesis peptidoglikan sehingga pembentukan dinding sel bakteri tidak sempurna. Hal ini mengakibatkan inaktivasi sel bakteri dalam sel inang (Naim, 2004).

d) Saponin

Saponin adalah senyawa yang dapat menimbulkan busa bila dikocok dalam air. Senyawa ini berperan sebagai antibakteri dengan menurunkan tegangan permukaan sehingga terjadi kebocoran sel (Robinson, 1995).

2.4 Ekstraksi dan Ekstrak 2.4.1 Ekstrak

Ekstrak adalah sediaan sari pekat tumbuhan atau hewan yang diperoleh dengan cara mengekstraksi zat aktif menggunakan pelarut yang sesuai, dan kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan. Sisa massa atau serbuk kemudian diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1995).

2.4.2 Ekstraksi

Ekstraksi merupakan suatu proses pemisahan komponen senyawa yang diinginkan dari suatu bahan sumber komponen dengan menggunakan pelarut tertentu. Beberapa faktor yang mempengaruhi ekstraksi adalah luas bidang, sifat fisik dan sifat kimia simplisia (Ahmad, 2006). Umumnya, simplisia yang

(14)

diekstrak memilki kandungan senyawa aktif yang dapat larut dan senyawa lainnya yang tidak larut, seperti karbohidrat, serat, protein, dan lain-lain (Saragih, 2010). Selain itu, pemilihan pelarut juga penting, dimana pelarut harus sesuai dengan sifat senyawa yang akan dipisahkan. Berdasarkan kaidah like dissolved like, bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut dengan kepolaran yang relatif sama.

Secara umum, ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi dua golongan, yaitu cara dingin dan cara panas yang dipilih berdasarkan kestabilan senyawa kimia dalam simplisia. Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi dengan cara dingin, yaitu maserasi.

Maserasi merupakan metode ekstraksi yang paling sederhana. Prinsip dari metode maserasi adalah terjadinya kontak langsung antara ekstrak dengan pelarut dalam waktu tertentu yang kemudian diikuti dengan penyaringan bahan yang telah di ekstrak. Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman atau hewani dan pelarut yang sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat, kemudian dilakukan beberapa kali pengocokan atau pengadukan dalam suhu kamar (Mukhriani, 2014). Pada proses ini, dinding sel akan ditembus oleh pelarut sehingga dapat masuk ke dalam rongga, dan menyebabkan senyawa aktifnya dapat larut (Rohman dan Gholib, 2009).

Gambar

Gambar 2.1. S. pyogenes yang ditemukan  pada kultur darah (Jawetz et al., 2001)
Gambar 2.2. E. coli dengan pewarnaan  gram (Jawetz et al., 2001)
Gambar 2.3. Tanaman melati (Jasminum  sambac Ait.) (plants.usda.gov)
Tabel 2.1. Skrining fitokimia bunga melati (Jasminum sambac Ait.)

Referensi

Dokumen terkait

Banyaknya layanan sistem informasi yang diberikan oleh Ditsisfo menyebabkan dilakukannya pengembangan dan perubahan aplikasi sehingga aplikasi dapat beroperasi dengan

Oleh karena perkembangan dan kemajuan dari media, yang saat ini berada pada bentuk media baru, yakni media online, penulis tertarik untuk melaksanakan praktik kerja magang di salah

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Identifikasi Kualitas Beras dengan Citra

Karena ringkasan dari 35 jawaban yang ada mengarah kepada kategori Setuju, bagi 35 siswa media Audio Visual yang dibuat dan di tampilkan pada siklus 2 ini lebih

Menurut (Syarifuddin dan Nursalim, 2019: 2) mengemukakan untuk menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memahami karya sastra, peserta didik dapat menerapkan

Penghasilan Pasal 21 Atas Kenaikan Gaji Gaji pada bulan Juni ini dirapel sejak awal tahun, maka untuk gaji Januari sampai dengan Mei ada rapel (tambahan kenaikan gaji) sebesar

BIDANG CIPTA KARYA DINAS PEKERJAAN UMUM KABUPATEN SUKOHARJO TAHUN 2014.. Jalan

Strategi pembelajaran merupakan salah satu komponen pembelajaran yang memberikan pengaruh besar terhadap keberhasilan proses pembelajaran. Strategi pembelajaran