• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suspensi Kotrimoksazol mengandung Sulfametoksazol C 10 H 11 N 3 O 3 S dan. Rumus struktur : H 2 N SO 2 NH N.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Suspensi Kotrimoksazol mengandung Sulfametoksazol C 10 H 11 N 3 O 3 S dan. Rumus struktur : H 2 N SO 2 NH N."

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suspensi Kotrimoksazol

Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel padat tidak larut yang terdispersi dalam fase cair.

Suspensi Kotrimoksazol mengandung Sulfametoksazol C10H11N3O3S dan

Trimetoprim, C14H18N4O3, tidak kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0%

dari jumlah yang tertera pada etiket (USP, 2008). 2.2.1 Sifat Fisikokimia 2.2.1.1 Sulfametoksazol Rumus struktur : H2N SO2NH N O CH3 Nama kimia : N1 – (5-metil-3-isoksazolil)sulfanilamida Rumus molekul : C10H11N3O3S Berat molekul : 253,28

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai hampir putih, praktis tidak berbau

Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, dalam eter dan dalam kloroform, mudah larut dalam aseton dan dalam larutan natrium hidroksida encer, agak sukar larut dalam etanol.

(2)

2.2.1.2 Trimetoprim Rumus struktur : NH2 OCH3 N H2N CH2 OCH3 N OCH3

Nama kimia : 2,4-Diamino-5-(3,4,5-trimetoksibenzil)pirimidina Rumus molekul : C14H18N4O3

Berat molekul : 290,36

Pemerian : Hablur atau serbuk hablur,putih sampai krem, tidak berbau

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air, larut dalam benzilalkohol, agak sukar larut dalam kloroform dan dalam methanol, sangat sukar larut dalam etanol dan dalam aseton, praktis tidak larut dalam eter dan dalam karbon tetraklorida.

2.2.2 Mekanisme kerja

Aktivitas antibakteri kombinasi antara sulfametoksazol dan trimetoprim ( kotrimoksazol) berdasarkan kerjanya pada dua tahap yang berurutan pada reaksi enzimatik untuk pembentukan asam tetrahidrofolat. Sulfonamida manghambat masuknya para-aminobenzoic acid (PABA) ke dalam molekul asam folat dan trimetoprim menghambat terjadinya reaksi reduksi dari dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat. Tetrahidrofolat penting untuk reaksi-reaksi pemindahan satu atom C, seperti pembentukan basa purin (adenine, guanine dan timidin) dan beberapa asam amino (metinin, glisin). Sel-sel mamalia menggunakan folat jadi yang terdapat dalam makanan dan tidak mensintesis senyawa tersebut. Trimetoprim

(3)

menghambat enzim dihidrofolat reduktase mikroba secara sangat selektif. Hal ini penting, karena enzim tersebut juga terdapat pada sel mamalia.

Efek sinergis dapat dicapai dengan perbandingan kadar yang optimal dari kedua obat. Untuk kebanyakan kuman, rasio kadar Sulfametoksazol : Trimetoprim yang optimal ialah 20:1, sifat farmakokinetik sulfonamid untuk kombinasi dengan Trimetoprim sangat penting untuk kadar yang relatif tetap dari kedua obat tersebut dalam tubuh. Trimetoprim pada umumnya 20 – 100 kali lebih poten daripada sulfametoksazol, sehingga sediaan kombinasi diformulasikan untuk mendapatkan kadar Sulfametoksazol 20 kali lebih besar daripada Trimetoprim.

2.2.3 Farmakokinetika

Trimetoprim biasanya diberikan secara oral, baik tunggal maupun dikombinasikan dengan sulfametoksazol, kombinasi ini merupakan bentuk terakhir yang dipilih karena trimetoprim dan sulfametoksazol memiliki waktu paruh yang hampir sama. Trimetoprim diabsorbsi dengan baik dari usus dan didistribusikan secara luas dalam cairan- cairan dan jaringan-jaringan tubuh, termasuk cairan serebrospinal. Karena trimetoprim lebih larut dalam lemak dibandingkan sulfametoksazol, maka volume distribusi trimetoprim lebih banyak dibandingkan sulfametoksazol. Jika 1 bagian trimetoprim diberikan dengan 5 bagian sulfametoksazol, maka konsentrasi plasma puncaknya adalah pada rasio 1 : 20 yang merupakan konsentrasi optimal. Sulfametoksazol lebih banyak terikat pada protein plasma dibandingkan trimetoprim (Katzung, 2004).

2.2.4 Efek samping

Biasanya berupa gangguan kulit dan gangguan lambung-usus, stomatitis. Pada dosis tinggi efek sampingnya juga berupa demam dan gangguan fungsi hati

(4)

dan efek-efek darah (neutropenia, trombositopenia). Oleh karena itu, penggunaan lebih dari dua minggu hendaknya disertai dengan pengawasan darah. Resiko kristaluria dapat dihindari dengan meminum lebih dari 1,5 liter air sehari. (Tjay dan Rahardja, 2002).

2.2.5 Kegunaan

Kombinasi Sulfametoksazol dan Trimetoprim merupakan pengobatan yang efektif untuk infeksi-infeksi saluran kemih dengan komplikasi, prostatitis dan infeksi saluran cerna (Katzung, 2004).

2.2.6 Bentuk sediaan

Kotrimoksazol tersedia dalam bentuk tablet oral yang mengandung 400 mg Sulfametoksazol dan 80 mg Trimetoprim atau 800 mg Sulfametoksazol dan 160 mg Trimetoprim. Untuk anak- anak tersedia dalam bentuk suspensi oral yang mengandung 200 mg Sulfametoksazol dan 40 mg Trimetoprim / 5 ml, serta tablet pediatrik yang mengandung 100 mg Sulfametoksazol dan 20 mg Trimetoprim. Untuk pemberian intravena tersedia sediaan infus yang mengandung 400 mg Sulfametoksazol dan 80 mg Trimetoprim / 5 ml.

2.2.7 Dosis

Dosis dewasa 800 mg Sulfametoksazol dan 160 mg Trimetoprim setiap 12 jam. Pada infeksi yang berat diberikan dosis lebih besar. Dosis yang dianjurkan untuk anak-anak ialah Sulfametoksazol 40 mg/kg/BB/hari dan 8 mg/kg/BB/hari Trimetoprim (Mariana, 1995).

2.3 Kromatografi

Kromatografi pertama kali dikembangkan oleh seorang ahli botani Rusia Michael Tswett pada tahun 1903 untuk memisahkan pigmen berwarna dalam

(5)

tanaman dengan cara perkolasi ekstrak petroleum eter dalam kolom gelas yang berisi kalsium karbonat (CaCO3). Saat ini kromatografi merupakan teknik

pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif atau preparatif dalam bidang farmasi (Gandjar dan Rohman, 2007).

Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan zat yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase).

Teknik kromatografi telah berkembang dan telah digunakan untuk

memisahkan berbagai macam komponen yang kompleks,baik komponen organik maupun komponen anorganik (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.3.1 Pembagian Kromatografi

Kromatografi dapat dibedakan atas berbagai macam, tergantung pada pengelompokannya. Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan menjadi : (a) kromatografi adsorbsi; (b) kromatografi partisi; (c) kromatografi pasangan ion; (d) kromatografi penukar ion (e) kromatografi eksklusi ukuran dan (f) kromatografi afinitas (Gandjar dan Rohman, 2007).

  Berdasarkan alat yang digunakan, kromatografi dapat dibagi atas : (a) kromatografi kertas ; (b) kromatografi lapis tipis, yang keduanya sering disebut kromatografi planar, (c) kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) dan (d) kromatografi gas (KG). Bentuk kromatografi yang paling awal adalah

kromatografi kolom yang digunakan untuk pemisahan sampel dalam jumlah yang besar (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.3.2 Migrasi dan Retensi Solut

Kecepatan migrasi solut melalui fase diam ditentukan oleh perbandingan distribusinya (D) dan besarnya D ditentukan oleh afinitas relatif solut pada kedua fase (fase diam dan fase bergerak). Dalam konteks kromatorgafi, nilai D

(6)

didefinisikan sebagai perbandingan konsentrasi solut dalam fase diam (Cs) dan dalam fase gerak (Cm).

D =

CmCs

Jadi semakin besar nilai D maka migrasi solut semakin lambat; dan semakin kecil nilai D migrasi solut semakin cepat. Solut akan terelusi menurut perbandingan distribusinya. Jika perbedaan perbandingan distribusi solut cukup besar maka campuran-campuran solut akan mudah dan cepat dipisahkan (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.3.3 Pemisahan pada kolom

  Kolom merupakan bagian terpenting dari keseluruhan peralatan

kromatografi karena proses pemisahan campuran komponen. Pada pemisahan campuran-campuran dalam kolom, solut-solut dicirikan dengan waktu retensi (tR)

dan faktor retensi (k’) yang berbanding lurus dengan nilai D. tR = tM (1+ k’)

Kondisi kromatografi umumnya diatur sedemikian rupa sehingga nilai k’ lebih kecil daripada 20 untuk menghindari waktu retensi yang terlalu panjang. Nlai k’ dapat dihitung dengan persamaan :

k’ = tR - tM

tM

2.3.4 Profil Puncak dan Pelebaran Puncak

Selama pemisahan kromatografi, solut individual akan membentuk profil konsentrasi yang simetris atau dikenal juga dengan profil Gaussian dalam arah aliran fase gerak. Profil, dikenal juga dengan puncak atau pita, secara perlahan-lahan akan melebar dan sering juga membentuk profil yang asimetrik karena solut-solut melanjutkan migrasinya ke fase diam.

(7)

Gambar 2. Profil-profil puncak

Adanya puncak, yang asimetris dapat disebabkan oleh hal –hal berikut:

 Ukuran sampel yang dianalisis terlalu besar. Jika sampel terlalu besar maka fase gerak tidak mampu membawa solut dengan sempurna karenanya terjadi pengekoran atau tailing.

 Interaksi yang kuat antara solut dengan fase diam dapat menyebabkan solut sukar terelusi sehingga dapat menyebabkan terbentuknya puncak yang mengekor.

 Adanya kontaminan dalam sampel yang dapat muncul terlebih dahulu sehingga menimbulkan puncak mendahului (fronting) (Gandjar dan Rohman, 2007).

2.3.5 Jenis kromatografi

Menurut Johnson dan Stevenson (1991) jenis-jenis kromatografi yaitu: 1. Kromatografi Cair-Padat (LSC)

Tehnik ini biasanya menggunakan fase diam silika gel atau alumina, meskipun demikian sekitar 90% kromatografi ini memakai silika gel sebagai fase diamnya. Fase geraknya berupa pelarut non polar yang ditambah dengan pelarut polar seperti air atau alkohol rantai pendek untuk meningkatkan kemampuan elusinya sehingga tidak timbul pengekoran puncak, seperti n-heksana ditambah metanol. Jenis KCKT ini sesuai untuk pemisahan-pemisahan campuran isomer struktur dan untuk pemisahan solut dengan gugus fungsional yang berbeda.

2. Kromatografi Partisi (LLC)

Kromatografi jenis ini disebut juga dengan kromatografi fase terikat. Kebanyakan fase diamnya adalah silika yang dimodifikasi secara kimiawi atau

(8)

fase terikat. Sejauh ini yang digunakan untuk memodifikasi silika adalah hidrokarbon-hidrokarbon non polar seperti oktadesilsilana, oktilsilana, atau dengan fenil.

Fase diam yang paling populer digunakan adalah oktadesilsilana (ODS atau C18) dan kebanyakan pemisahannya adalah dengan fase terbalik. Sedangkan fase

geraknya adalah campuran asetonitril atau metanol dengan air atau dengan larutan buffer.

Kromatografi partisi (LLC), disebut “fase normal” bila fase diam lebih polar dari fase gerak dan “fase terbalik” bila fase gerak lebih polar dari fase diam. a. Kromatografi fase normal

Kromatografi fase normal (fase diam lebih polar daripada fase gerak), kemampuan elusi meningkat dengan meningkatnya polaritas pelarut. Fase gerak ini biasanya tidak polar. Dietil eter, benzen, hidrokarbon lurus seperti pentana, heksana, heptana maupun iso-oktana sering digunakan. Halida alifatis seperti diklorometana, dikloroetana, butilklorida dan kloroform juga digunakan. Umumnya gas terlarut tidak menimbulkan masalah pada fase normal. (Gandjar dan Rohman, 2007)

b. Kromatografi fase terbalik

Kromatografi fase terbalik (fase diam kurang polar daripada fase gerak), kemampuan elusi menurun dengan meningkatnya polaritas pelarut. Kandungan utama fase gerak fase terbalik adalah air. Pelarut yang dapat campur dengan air seperti metanol, etanol, asetonitril, dioksan, tetrahidrofuran dan dimetilformamida ditambahkan untuk mengatur kepolaran fase gerak.

(9)

Dapat ditambahkan pula asam, basa, dapar dan/atau surfaktan. Mutu air harus tinggi baik air destilasi maupun air mineral.

3. Kromatografi penukar ion

Tehnik ini tergantung pada penukaran (adsorpsi) ion-ion diantara fase gerak dan tempat-tempat berion dari kemasan. Kebanyakan resin-resin berasal dari polimer stiren divinilbenzen dimana gugus-gugus fungsinya telah ditambah. Resin-resin tipe asam sulfonat dan amin kuarterner merupakan jenis resin pilihan paling baik dan banyak digunakan. Keduanya, fase terikat dan resin telah digunakan. Tehnik ini dipakai secara luas dalam life sciences dan dikenal secara khas untuk pemisahan asam-asam amino. Tehnik ini dapat dipakai untuk keduanya, kation-kation dan anion-anion.

4. Kromatografi eksklusi (EC)

Tehnik ini unik karena dalam pemisahan didasarkan pada ukuran molekul dari solut. Kemasan adalah suatu gel dengan suatu permukaan berlubang-lubang sangat kecil yang inert. Molekul-molekul kecil dapat masuk ke dalam jaringan dan ditahan dalam fase gerak yang menggenang. Molekul-molekul yang lebih besar tidak dapat masuk ke dalam jaringan dan lewat melalui kolom tanpa ditahan.

5. Kromatografi Pasangan Ion (IPC)

Kromatografi ini merupakan bentuk khusus dari kromatografi cair-cair yang digunakan untuk pemisahan senyawa atau cuplikan yang mengandung komponen ion dan non ion, seperti garam ammonium kuarterner, sulfonat, asam amino dan aminofenol. Kromatografi pasangan ion dilakukan dengan

(10)

sistem pelarut campuran air dengan metanol atau asetonitril dan kolom seperti oktadesilsilana yang terikat pada silika.

2.4 Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Kromatogarfi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan sistem pemisahan dengan kecepatan dan efisiensi yang tinggi karena didukung oleh kemajuan dalam teknologi kolom, sistem pompa tekanan tinggi, dan detektor yang sangat sensitif dan beragam sehingga mampu menganalisa berbagai cuplikan secara kualitatif maupun kuantitatif, baik dalam komponen tunggal maupun campuran (Depkes RI, 1995).

2.4.1 Komponen Kromatografi cair kinerja tinggi

Gambar 2.1. Bagan alat KCKT 2.4.2 Wadah Fase gerak

Wadah fase gerak terbuat dari bahan yang inert terhadap fase gerak. Bahan yang umum digunakan adalah gelas dan baja anti karat. Daya tampung tandon harus lebih besar dari 500 ml, yang dapat digunakan selama 4 jam untuk kecepatan alir yang umumnya 1-2 ml/menit.

2.4.3 Pompa

Untuk menggerakkan fase gerak melalui kolom diperlukan pompa. Pompa harus mampu menghasilkan tekanan 6000 Psi pada kecepatan alir 0,1–10

pompa injektor kolom oven detektor Wadah solven

(11)

ml/menit. Pompa ada 2 jenis yaitu pompa volume konstan dan pompa tekanan konstan. Pompa terbuat dari bahan yang inert terhadap semua pelarut. Bahan yang umum digunakan adalah gelas baja antikarat dan teflon. Aliran pelarut dari pompa harus tanpa denyut untuk menghindari hasil yang menyimpang pada detektor. 2.4.4 Injektor

Cuplikan harus dimasukkan ke dalam pangkal kolom (kepala kolom), diusahakan agar sesedikit mungkin terjadi gangguan pada kemasan kolom. Ada tiga jenis dasar injektor, yaitu:

a. Hentikan aliran/stop flow: Aliran dihentikan, injeksi dilakukan pada kinerja atmosfir, sistem tertutup, dan aliran dilanjutkan lagi. Tehnik ini bisa digunakan karena difusi di dalam aliran kecil dan resolusi tidak dipengaruhi.

b. Septum: Injektor-injektor langsung ke aliran fase gerak umumnya sama dengan yang digunakan pada kromatografi gas. Injektor ini dapat digunakan pada kinerja sampai 60-70 atmosfir. Tetapi septum ini tidak tahan dengan semua pelarut-pelarut kromatografi cair. Disamping itu, partikel kecil dari septum yang terkoyak (akibat jarum injektor) dapat menyebabkan penyumbatan.

c. Katup putaran (loop valve): ditunjukkan secara skematik dalam Gambar 6, tipe injektor ini umumnya digunakan untuk menginjeksi volume lebih besar dari pada 10 µl dan sekarang digunakan dengan cara automatis (dengan adaptor khusus, volume-volume lebih kecil dapat diinjeksikan secara manual). Pada posisi LOAD, sampel loop (cuplikan dalam putaran)

(12)

diisi pada tekanan atmosfir. Bila katup difungsikan, maka cuplikan di dalam putaran akan bergerak ke dalam kolom.

Gambar 2.2 Tipe injektor katup putaran 2.4.5 Kolom

Kolom adalah jantung kromatografi. Berhasil atau gagalnya suatu analisis tergantung pada pemilihan kolom dan kondisi percobaan yang sesuai. Kolom dapat dibagi menjadi dua kelompok:

 Kolom analitik: diameter khas adalah 2-6 mm. Panjang kolom tergantung pada jenis kemasan. Untuk kemasan pelikular, panjang yang lumrah adalah 50-100 cm. Untuk kemasan poros mikropartikilat, umumnya 10-30 cm. Dewasa ini ada yang 5 cm

 Kolom preparatif: umumnya memiliki diameter 6 mm atau lebih besar dan panjang kolom 25 -100 cm.

Kolom umumnya dibuat dari stainless steel dan biasanya dioperasikan pada temperatur kamar, tetapi bisa juga digunakan temperatur lebih tinggi, terutama untuk kromatografi penukar ion dan kromatografi eksklusi. Kemasan kolom tergantung pada mode kromatografi cair kinerja tinggi yang digunakan. 2.4.6 Detektor

(13)

 Detektor universal: Mampu mendeteksi zat secara umum, tidak bersifat spesifik, dan tidak bersifat selektif, seperti detektor indeks bias dan detektor spektrometri massa.

 Detektor spesifik: Hanya mendeteksi analit secara spesifik dan selektif, seperti detektor UV-Vis, detektor fluoresensi dan elektrokimia (Rohman,2007).

2.4.7 Fase Gerak

Fase gerak atau eluen biasanya terdiri atas campuran pelarut yang dapat bercampur yang secara keseluruhan berperan dalam daya elusi dan resolusi. Daya elusi dan resolusi ini ditentukan oleh polaritas keseluruhan pelarut, polaritas fase diam, dan sifat komponen-komponen sampel (Johnson dan Stevenson, 1991 dan Rohman, 2007).

Terdapat keragaman yang luas dari solvent yang digunakan dalam semua mode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi, tetapi ada beberapa sifat yang diinginkan yang mana umumnya harus dipenuhi oleh semua solven.

Menurut De Lux Putra (2007), fase gerak dalam Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

 Murni; tidak ada pencemar/kontaminan  Tidak bereaksi dengan pengemas  Sesuai dengan detektor

 Melarutkan cuplikan

 Mempunyai viskositas rendah

 Mudah rekoveri cuplikan, bila diinginkan

(14)

2.5 Parameter Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Ada beberapa parameter yang perlu diperhatikan dalam memperoleh kondisi yang diinginkan dalam kromatografi antara lain :

a. Waktu Retensi

Waktu yang dibutuhkan suatu komponen untuk melewati suatu kolom disebut waktu retensi yang dapat didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan untuk membawa keluar suatu komponen dari dalam kolom, dihitung mulai diinjeksikan hingga keluar kolom tepat pada saat konsentrasi maksimum.

2. Faktor Selektifitas

Suatu kolom dinyatakan baik apabila kolom tersebut cukup selektif, dan dikatakan selektif apabila kolom tadi mampu menahan berbagai komponen dengan kekuatan yang berbeda-beda.

3. Efisiensi Kolom

Jumlah plat teoritik dalam suatu kolom sebanding dengan panjang kolom. Karena itu jumlah plat teoritik suatu kolom dapat ditingkatkan dengan memperpanjang kolom. Makin panjang kolom makin banyak jumlah plat teoritiknya maka makin sempurna pemisahan.

4. Resolusi

Derajat pemisahan atau resolusi dari dua pita yang berdekatan didefinisikan sebagai jarak antara puncak-puncak pita (atau pusat-pusat) dibagi dengan luas pita rata-rata. Semakin tinggi harga N selalu memberikan resolusi yang membaik. Oleh karena itu resolusi dapat diperbaiki dengan menambah panjang kolom. (De Lux Putra, 2007).

(15)

5. Faktor Ikutan

Keasimetrisan puncak dinyatakan dengan faktor ikutan atau faktor asimetris. Pembentukan puncak yang curam bagian depan tetapi landai bagian belakang disebut tailing, sebaliknya puncak yang landai bagian depan dan curam bagian belakang disebut fronting.

2.6 Uji Validasi

Validasi metode menurut United States Pharmacopeia (USP) dilakukan untuk menjamin bahwa metode analisis akurat, spesifik, reprodusibel dan tahan pada kisaran analit yang akan dianalisis. Suatu metode analisis harus divalidasi untuk melakukan verifikasi bahwa parameter-parameter kinerjanya cukup mampu untuk mengatasi problem analisis.

Parameter-parameter uji validasi antara lain : a. Ketepatan (Akurasi)

Merupakan ketelitian metode analisis atau kedekatan antara nilai terukur dengan nilai yang diterima baik nilai konvensi, nilai sebenarnya, atau nilai rujukan. Akurasi diukur sebagai banyaknya analit yang diperoleh kembali pada suatu pengukuran dengan melakukan spiking pada suatu sampel. Untuk pengujian senyawa obat, akurasi diperoleh dengan membandingkan hasil pengukuran dengan bahan rujukan standar.

b. Presisi (keseksamaan)

Merupakan ukuran keterulangan metode analisis dan biasanya dinyatakan sebagai simpangan baku relatif dari sejumlah sampel yang berbeda signifikan secara statistik.

(16)

Merupakan konsentrasi analit terkecil dalam sampel yang masih dapat dideteksi, meskipun tidak selalu dapat dikuantifikasi.

d. Batas kuantitasi (Limit of Quantitation, LOQ)

Merupakan konsentrasi analit terendah dalam sampel yang dapat ditentukan dengan presisi dan akurasi yang dapat diterima pada kondisi operasional metode yang digunakan (Gandjar dan Rohman, 2007).

Referensi

Dokumen terkait