• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENCEMARAN NAMA BAIK DI INDONESIA. A. Pencemaran Nama Baik Menurut KUHPidana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENCEMARAN NAMA BAIK DI INDONESIA. A. Pencemaran Nama Baik Menurut KUHPidana"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM TENTANG PENCEMARAN NAMA BAIK DI INDONESIA

A. Pencemaran Nama Baik Menurut KUHPidana

Penghinaan atau defamation secara harafiah diartikan sebagai sebuah tindakan yang merugikan nama baik dan kehormatan seseorang. Ukuran suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai pencemaran nama baik orang lain masih belum jelas karena banyak faktor yang harus dikaji. Dalam hal pencemaran nama baik atau penghinaan yang hendak dilindungi adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati orang lain dari sudut kehormatannya dan nama baiknya dimata oranglain. Adanya Hubungan antara kehormatan dan nama baik dalam hal pencemaran nama baik tersebut, maka dapat dilihat terlebih dahulu pengertiannya masing-masing. Di sini penulis mengartikan kehormatan ialah sebagai suatu hal yang berbentuk rasa kehormatan seseorang dimata orang lain atau masyarakat, dimana setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan sebagai anggota masyarakat yang terhormat.

Menyerang kehormatan berarti melakukan perbuatan menurut penilaian secara umum menyerang kehormatan seseorang. Rasa hormat dan perbuatan yang termasuk kategori menyerang kehormatan seseorang ditentukan menurut

lingkungan masyarakat pada tempat perbuatan tersebut dilakukan.37

37

Mudzakir, Delik Penghinaan dalam pemberitaan Pers Mengenai Pejabat Publik, Dictum 3, 2004, hal 17

Rasa kehormatan ini harus diobjektifkan sedemikian rupa dan harus ditinjau dengan

▸ Baca selengkapnya: cara menghitung nama seseorang menurut islam

(2)

suatu perbuatan tertentu, seseorang pada umumnya akan merasa tersinggung atau tidak. Dapat dikatakan pula bahwa seseorang anak yang masih sangat muda belum dapat merasakan tersinggung ini, dan bahwa seorang yang sangat gila tidak dapat merasa tersinggung itu. Maka, tidak ada tindak pidana penghinaan terhadap kedua

jenis orang tadi.38 Nama baik adalah penilaian baik menurut anggapan umum

tentang perilaku atau kepribadian seseorang dari sudut moralnya. Nama baik seseorang selalu dilihat dari sudut orang lain, yakni moral atau kepribadian yang baik, sehingga ukurannya ditentukan berdasarkan penilaian secara umum dalam suatu masyarakat tertentu di tempat mana perbuatan tersebut dilakukan dan

konteks perbuatannya.39

Pencemaran Nama Baik dikenal juga istilah penghinaan, yang pada dasarnya adalah menyerang nama baik dan kehormatan seseorang yang bukan dalam arti seksual sehingga orang tersebut merasa dirugikan. Kehormatan dan nama baik memiliki pengertian yang berbeda, tetapi keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, karena menyerang kehormatan akan berakibat kehormatan dan nama baiknya tercemar, demikian juga menyerang nama baik akan berakibat nama baik dan kehormatan seseorang dapat tercemar. Oleh sebab itu, meyerang salah satu diantara kehormatan atau nama baik sudah cukup

dijadikan alasan untuk menuduh seseorang melakukan penghinaan.40

38

Prodjodikoro Wiryono, Tindak-tindak Pidana tertentu Di Indonesia, Bandung, PT. Refika Aditama, 2003, Hal.98

39

Mudzakir, Op.cit, hlm 18

40

Ibid, hal 18

Menurut R. Soesilo, dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta

(3)

Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (1991), berdasarkan

ketentuan yang ada di dalam KUHP, ada enam macam penghinaan, yakni :41

a. Menista/smaad (pasal 310 KUHP)

(1) Barangsiapa sengaja merusak kehormatan atau nama baik seseorang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan dengan maksud nyata akan tersiarnya tuduhan tersebut, dihukum karena menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,- (empat ribu lima ratus rupiah). Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar mempergunakan kata celaan. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata smaad dari bahasa Belanda yang berarti hina, rendah, celah, noda.

Adapun unsur-unsur kejahatan menista tersebut adalah :

1. Menuduh seseorang

2. Melakukan suatu perbuatan tertentu

3. Dengan maksud

4. Akan tersiarnya tuduhan tersebut

b. Menista Dengan Tulisan/smaadschrift ( Pasal 310 ayat (2) )

(2) Kalau hal ini dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan kepada umum atau ditempelkan, maka yang berbuat itu dihukum karena menista dengan tulisan dengan hukuman penjara

41

(4)

lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-

(3) Tidak termasuk menista atau menista dengan tulisan, jika ternyata bahwa sipembuat melakukan hal itu untuk membela kepentingan umum atau lantaran terpaksa perlu untuk mempertahankan dirinya sendiri.

Menurut R. Soesilo seperti yang dikutip Tjipta Lesmana, bahwa yang berwenang untuk menentukan apa dan bagaimanakah kepentingan umum itu

sendiri adalah Hakim yang mengadili perkara tersebut.42 Namun KUHPidana

sendiri tidak memberikan gambaran yang jelas apakah yang dimaksud dengan kepentingan umum tersebut. KUHP juga tidak merinci tentang batasan atau hal-hal yang dianggap bersifat menghina dan mencemarkan nama baik seseorang. Soesilo mengatakan bahwa esensi penghinaan adalah menuduh seseorang

sehingga orang tersebut menjadi malu karenanya. 43

Perbuatan yang dituduhkan dalam hal penghinaan juga tidak harus merupakan yang dapat dihukum seperti menuduh seseorang mencuri, tetapi cuku dengan suatu perbuatan yang dinilai memalukan seperti menuduh seseorang

Kata-kata yang dianggap menghina disesuaikan dengan kondisi ruang dan waktu dimana pernyataan tersebut dikeluarkan. Misalnya dengan menyebut seseorang dengan sebutan “begu” di pulau jawa tidak dapat dikategorikan menghina sebab secara umum orang-orang yang berdiam di daerah pula jawa tidak mengerti makna daripada perkataan “begu”, tetap bila hal tersebut dikatakan di daerah sumatera utara, maka termasuk dalam ketentuan pasal tentang penghinaan tersebut.

42

Ibid, hal 152

43

(5)

sering berkunjung ketempat pelacuran sehingga dapat dikatakan bahwa tuduhan tersebut telah menyerang kehormatan dan nama baik seseorang.

c. Memfitnah/laster ( Pasal 311 KUHP )

(1) Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan tulisan dalam hal ia diizinkan untuk membuktikan dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dihukum karena salah memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun

(2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35 no 1-3

Unsur-unsur memfitnah mencakup keseluruhan daripada unsur-unsur menista dengan menambahkan satu unsur lagi yaitu “tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar” artinya ada kesengajaan untuk menista. Ketentuan seperti ini juga terdapat di Amerika Serikat yang dikenal dengan istilah actual malice dimana pelaku sudah mengetahui bahwa berita tersebut tidak benar

tetapi pelaku tetap saja mempublikasikannya.44

Unsur lainnya yaitu maksud untuk menyiarkan masih menurut pendapat Soesilo ialah dengan sengaja melakukannya didepan umum atau khayalak ramai dimana semua orang dapat mendengar dan mengetahui apa yang diucapkan atau

disiarkannya.45 44 Ibid, hal 33 45 Ibid.,

Unsur terpenting daripada fitnah ialah bahwa tuduhan tersebut dilakukan sedangkan telah diketahui bahwa hal tersebut tidak benar dan pihak mengeluarkan pernyataan tersebut diizinkan untuk membuktikan ucapannya

(6)

namun tidak bisa. Apabila suatu pernyataan tersebut dapat dibuktikan benar adanya maka tidak termasuk dalam kategori fitnah melainkan penghinaan.

d. Penghinaan Ringan/eenvoundige belediging (Pasal 315)

Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tiada bersifat menista atau menista dengan tulisan, yang dilakukan kepada seseorang baik ditempat umum dengan lisan ataupun dengan tulisan maupun dihadapan orang itu sendiri dengan lisan ataupun dengan perbuatannya, begitupun dengan tulisan yang dikirimkan kepadanya, dihukum karena penghinaan ringan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat bulan dua minggu atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4500,-

e. Mengadu Dengan Memfitnah/lasterlijke aanklacht (Pasal 317)

(1) Barangsiapa dengan sengaja memasukkan atau menyuruh menuliskan surat pengaduan atas pemberitaan yang palsu kepada pembesar negeri tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baik orang tersebut jadi tersinggung, maka dihukum karena mengadu dengan memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.

(2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35

f. Menyuruh Dengan Memfitnah/lasterlijke verdachtmaking (Pasal 318)

(1) Barangsiapa dengan sengaja melakukan suatu perbuatan menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, maka dihukum karena tuduhan memfitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun

(7)

(2) Dapat dijatuhkan hukuman pencabutan hak yang tersebut dalam pasal 35.

Pengaturan mengenai Tindak Pidana penghinaan didalam KUHPidana pada dasarnya merupakan suatu delik aduan, dalam pengertian supaya bisa dihukum, harus ada pengaduan dari pihak yang diserang kehormatannya tersebut bahwa penghinaan tersebut nyata-nyata benar merugikan baginya, kecuali jika penghinaan tersebut ditujukan kepada Presiden dan Wakilnya, maka penghinaan

tersebut dapat langsung dituntut ke pengadilan.46

Pencemaran nama baik terlihat dari 2 macam, yaitu pencemaran nama baik secara lisan, dan pencemaran nama baik secara tertulis. Dalam bukunya, Oemar Seno Adji menyatakan pencemaran nama baik dikenal dengan istilah, dimana

dibagi menjadi sebagai berikut :47

a. Penghinaan Materiil

Penghinaan yang terdiri dari suatu kenyataan yang meliputi pernyataan yang objektif dalam kata-kata secara lisan maupun secara tulisan, maka yang menjadi faktor menentukan adalah isi dari pernyataan baik yang digunakan secara tertulis maupun lisan. Masih ada kemungkinan untuk membuktikan bahwa tuduhan tersebut dilakukan demi kepentingan umum.

b. Penghinaan Formil

Dalam hal ini tidak dikemukakan apa isi dari penghinaan, melainkan bagaimana pernyataan yang bersangkutan itu dikeluarkan.

46

Ibid.,

47

Oemar Seno Adji, Perkembangan Delik Pers Di Indonesia, Jakarta: Erlangga, 1990, Hal. 37-38

(8)

Bentuk dan caranya yang merupakan faktor menentukan. Pada umumnya cara menyatakan adalah dengan cara-cara kasar dan tidak objektif. Kemungkinan untuk membuktikan kebenaran dari tuduhan tidak ada dan dapat dikatakan bahwa kemungkinan tersebut adalah ditutup.

Hukum Pidana mengatur penghinaan dalam KUHP pada Pasal 310 sampai dengan Pasal 321 KUHP, penghinaan dalam bab ini meliputi enam macam penghinaan yaitu :

1) Pasal 310 ayat (1) KUHP mengenai pencemaran;

Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seorang, dengan menuduh suatu hal, yang dimaksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Banyak pakar yang menggunakan istilah “menista”. Perkataan “menista” berasal dari kata “nista”. Sebagian pakar menggunakan kata “celaan”. Perbedaan istilah tersebut disebabkan penggunaan kata-kata dalam menerjemahkan kata “smaad” dari bahasa Belanda. Kata “nista” dan kata “celaan” merupakan kata

sinonim.48

1. Unsur-Unsur Objektif:

Unsur-unsur Pasal 310 ayat (1) KUHP, dibagi dua yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.

a. Barangsiapa;

b. Menyerang kehormatan atau nama baik “seseorang” c. Dengan menuduhkan suatu hal.

48

Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Pengertian dan Penerapannya, Jakarta, PT. Grafindo Persada, 1997, Hal 11.

(9)

2. Unsur-Unsur Subjektif:

a. Dengan maksud yang nyata (kenlijk doel) supaya tuduhan itu diketahui umum (ruchtbaarheid te geven);

b. Dengan sengaja (opzettelijk);

2) Pasal 310 ayat (2) KUHP mengenai pencemaran tertulis;

Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis, diancam pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Istilah “menista secara tertulis” oleh beberapa pakar dipergunakan istilah “menista dengan tulisan”. Perbedaan tersebut disebabkan pilihan kata-kata untuk menerjemahkan yakni kata smaadschrift yang dapat diterjemahkan dengan

kata-kata yang bersamaan atau hampir bersamaan.49

a) Barangsiapa;

Berdasarkan rumusan diatas maka menista dan menista dengan tulisan mempunyai unsur-unsur yang sama, bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedangkan unsur-unsur lainnya tidak berbeda. Unsur-unsur tersebut, yaitu:

b) Dengan sengaja;

c) Menyerang kehormatan atau nama baik “seseorang”; d) Dengan tulisan atau gambar yang disiarkan;

e) Dipertunjukkan pada umum atau ditempelkan.

49

(10)

3) Pasal 311 ayat (1) KUHP mengenai memfitnah;

Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam hal diperbolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Kata “fitnah” dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu, diizinkan

membuktikannya dan ternyata, tidak dapat membuktikannya.50 Menurut pasal 313

KUHP, membuktikan kebenaran ini juga tidak diperbolehkan apabila kepada si korban dituduhkan suatu tindak pidana yang hanya dapat dituntut atas pengaduan,

dan pengaduan ini in concreto tidak ada.51

a) Semua Unsur (objektif dan subjektif) dari Pencemaran (pasal 310) ayat (1) atau Pencemaran Tertulis (pasal 310 ayat (2))

Tindak pidana yang diatur dalam pasal 311 ayat (1) KUHP tampaknya erat terkait dengan ketentuan Pasal 310 KUHP. Sehingga dapat ditarik unsur-unsur kejahatan yang terkandung yaitu:

b) Si pembuat dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkannya itu benar;

c) Tetapi si pembuat tidak dapat membuktikan kebenaran tuduhannya;

d) Apa yang menjadi tuduhannya adalah bertentangan dengan yang diketahuinya.

50

Ibid, Hal 31.

51

(11)

4) Pasal 315 KUHP mengenai penghinaan ringan;

Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik dimuka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimanya kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Kata “penghinaan ringan” diterjemahkan dari bahasa belanda yaitu kata eenvoudige belediging. Sebagian pakar menerjemahkan eenvoudige dengan kata “biasa”. Sebagian pakar lainnya menerjemahkan dengan kata “ringan”. Unsur-unsur Pasal 315 KUHP:

1. Unsur Objektif:

a) Setiap penghinaan yang tidak bersifat pencemaran (dengan lisan) atau pencemaran tertulis;

b) Yang dilakukan terhadap seseorang dimuka umum dengan lisan atau tulisan,maupun dimuka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan;

c) Dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya.

2. Unsur Subjektif : Dengan Sengaja.

5) Pasal 317 ayat (1) KUHP mengenai mengadu secara memfitnah;

Barangsiapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan,

(12)

tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Maka Unsur-unsur dalam Pasal 317 ayat (1) KUHP adalah :

1. Unsur Objektif:

a) Mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan;

b) Tentang seseorang kepada penguasa;

c) Sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang.

2. Unsur Subjektif : dengan sengaja.

Penguasa dalam pengertian semua instansi dan pejabat yang mempunyai wewenang hukum publik.

6) Pasal 318 ayat (1) KUHP mengenai tuduhan secara memfitnah

Barangsiapa dengan sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana, diancam, karena menimbulkan persangkaan palsu, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Unsur-unsur Pasal 318 ayat (1) KUHP adalah:

1. Unsur Objektif : Sesuatu perbuatan sengaja menimbulkan secara palsu

persangkaan terhadap seseorang bahwa dia melakukan sesuatu perbuatan pidana;

(13)

Dengan sengaja melakukan perbuatan dengan maksud menuduh seseorang secara palsu, bahwa ia telah melakukan perbuatan yang dapat dihukum (tindak

pidana), tuduhan mana ternyata palsu.52

Objek dari penghinaan-penghinaan diatas haruslah manusia perorangan, maksudnya bukan instansi pemerintah, pengurus suatu organisasi, segolongan penduduk dan sebagainya.

Dalam kejahatan ini, terhadap seseorang yang tidak ada hubungannya dengan sesuatu tindak pidana yang telah terjadi, dilakukan suatu perbuatan, hingga ia dicurigai sebagai pelaku dari tindak pidana itu. Semua penghinaan ini hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan darimorang atau korban, yang dikenal dengan delik aduan, kecuali apabila penghinaan terhadap seseorang pegawai negeri pada waktu sedang menjalankan tugasnya secara sah.

53

Supaya dapat dihukum dengan pasal menista atau pencemaran nama baik, maka penghinaan harus dilakukan dengan cara menuduh seseorang telah melakukan perbuatan yang tertentu dengan maksud tuduhan itu akan diketahui oleh banyak orang baik secara lisan maupun tertulis, atau kejahatan menista ini tidak perlu dilakukan di muka umum, sudah cukup bila

dapat dibuktikan bahwa terdakwa bermaksud menyiarkan tuduhan itu.54

Menurut pasal 310 ayat (3) KUHP, perbuatan menista atau menista dengan tulisan tidak dihukum apabila dilakukan untuk membela kepentingan umum atau terpaksa dilakukan untuk membela diri. Patut atau tidaknya alasan pembelaan diri

52

H. A. K. Moh Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II) Jilid 1, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1994, Hal 145.

53

R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, serta komentarnya Pasal Demi

Pasal, Bogor, Politeia 1990, Hal 225.

54

(14)

atau kepentingan umum terletak pada pertimbangan hukum, sehingga apabila oleh hakim dinyatakan bahwa penghinaan tersebut benar-benar untuk membela kepentingan umum atau membela diri maka pelaku tidak dihukum. Tetapi bila oleh hakim penghinaan tersebut bukan untuk kepentingan umum atau membela diri, pelaku dikenakan hukuman pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP, dan apabila yang dituduhkan oleh si pelaku tidak benar adanya, maka si pelaku dihukum

dengan pasal 311 KUHP, yaitu memfitnah.55

Untuk mengetahui kecendrungan putusan yang dijatuhkan oleh hakim dalam perkara pencemaran nama baik dapat ditelusuri melalui putusan pengadilan. Dalam perkara pidana pada umumnya dan perkara pencemaran nama baik pada khususnya kecendrungan putusan pengadilan dapat berbentuk putusan bebas (vrijspraak), putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging) dan putusan pemidanaan.56

55

Ibid.,

56

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan

Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, 2000, Sinar Grafika, Jakarta, Hal

326-333.

Putusan Bebas dijatuhkan oleh Hakim apabila dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa di sidang pengadilan, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan. Sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum di jatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Selanjutnya putusan pemidanaan dijatuhkan apabila hakim

(15)

berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan

kepadanya.57

Kemajuan teknologi informasi telah mengubah pandangan manusia tentang berbagai kegiatan yang selama ini hanya dimonopoli oleh aktivitas yang bersifat fisik belaka. Lahirnya internet mengubah paradigma komunikasi manusia dalam bergaul, berbisnis dan berasmara. Pada intinya internet merupakan jaringan komputer yang terhubung satu sama lain melalui media komunikasi, seperti kabel telepon, serta optik, satelit ataupun gelombang frekuensi. Perkembangan teknologi jaringan komputer global atau internet telah menciptakan dunia baru yang dinamakan cyberspace. Dengan menggunakan internet, pengguna dimanjakan untuk berkelana menelusuri dunia cyberspace dengan menembus

Pencemaran nama baik (menista) sebenarnya merupakan bagian dari bentuk penghinaan yang diatur dalam Bab XVI KUHP. Pengertian “penghinaan” dapat ditelusuri Dari kata “menghina” yang berarti “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang”. Korban penghinaan tersebut biasa nya merasa malu, sedangkan kehormatan disini hanya menyangkut nama baik dan bukan kehormatan dalam pengertian seksualitas, dimana korban merasa nama baik nya dirusak.

B. Pencemaran Nama Baik Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun

2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

57

(16)

batas kedaulatan suatu negara, batas budaya, batas agama, politik, ras, hierarki, birokrasi dan sebagainya. Internet juga menjadi sarana yang baik bagi masyarakat dalam pekerjaan, dirumah maupun di tempat-tempat pelayanan publik lainnya.

Pengertian cyberspace tidak terbatas pada dunia yang tercipta ketika terjadi hubungan melalui internet. Setidak-tidaknya dengan memperhatikan definisi tentang cyberspace dari John Perry Barlow, cyberspace lebih luas dari sekadar hubungan melalui internet ketika kita sedang menelepon atau membaca buku, ada ruang yang muncul (yang juga dinamakan cyberspace oleh Barlow),

tetapi ruang yang tercipta itu tidak mungkin untuk berinteraksi secara real-time.58

Terlepas dari permasalahan istilah cyberspace, yang perlu diperhatikan sekarang adalah bahwa masyarakat global kini telah memasuki dunia baru yang di dalamnya dapat berbuat apa pun seperti yang dapat dilakukan di dunia nyata, dengan tingkat pengalaman yang sama, yaitu di dalam jagat raya cyberspace. Cyberspace telah berkembang dan meluas serta secara fundamental telah menggasak definisi lama tentang ruang fisik, identitas dan

komunitas.59

Cyberspace menjadi tempat bagi setiap orang untuk menemukan demokrasi, tempat orang mencurahkan pendapatnya dan bebas untuk berbicara apa saja karena cyberspace adalah ruang yang bebas. Anggapan demikian tidak terlepas dari dominasi media cetak dan elektronik yang sering memanipulasi

Cyberspace yang menghadirkan realitas virtual yang dianggap sebagai sebuah revolusi realitas.

58

Agus Raharjo, SH., M.Hum,Op.Cit, Hal 92.

59

(17)

peristiwa dan data yang diungkapkan lewat berita-beritanya. Cyberspace menjadi ruang yang bebas untuk melontarkan kritik dan kebebasan berpendapat, kebebasan dari aturan main yang ditentukan oleh media massa. Cyberspace telah melingkupi berbagai sisi dari kehidupan modern dan memungkinkan hubungan yang terjadi tanpa mempermasalahkan jarak, waktu dan tempat. Adapun salah satu dari jenis dunia maya yaitu teknologi komunikasi yang berkembang selama ini seperti telepon, yang sebenarnya dapat menolong manusia untuk mendorong dalam memelihara hubungan yang baik dan memperpendek jarak, demikian juga dengan televisi.

Penggabungan antara teknologi telekomunikasi dan komputer (internet) menjadi komunikasi berbasis komputer mempunyai konsekuensi lebih besar daripada pemanfaatan telepon dan televisi secara tersendiri. Komunikasi berbasis komputer juga mempertinggi interaksi seseorang dengan orang lain yang tidak terbatas pada tempat, waktu, luas bidang yang diperbincangkan atau dengan kata lain interaksi yang bersifat multidimensional dan serta tidak lagi terganggu oleh batas-batas konvensional dalam berinteraksi. Pada awalnya komputer dikembangkan dari peralatan kalkulasi dalam bidang ilmu hitung, dan saat ini telah menghasilkan pengelolaan sistem data yang tak terbatas. Sistem komputer juga mampu digunakan untuk mengendalikan lalu lintas di darat, udara dan laut. Meskipun demikian, tidak dapat diabaikan bahwa ada beberapa orang yang menggunakan teknologi komputer untuk melakukan kejahatan misalnya hacking, penipuan, penghinaan, perdagangangan manusia< perdagangan narkoba, pornografi dll. Dalam perspektif sosiologi, kejahatan termasuk cybercrime

(18)

merupakan suatu perilaku yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri dalam

interaksi sosial.60

Mengingat kejahatan merupakan gejala sosial, maka muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan, pemahaman terhadap kejahatan harus didasarkan pada konsep kejahatan sebagai penyakit indvidual, gejala patologi individu atau manusia, yang kemudian diseimbangkan dengan konsepsi kejahatan sebagai

penyakit sosial atau sebagai gejala patologi sosial.61

Saat ini ketentuan cybercrime di Indonesia banyak diatur dalam Undang-Undang 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Sebelum diberlakukan Undang-Undang ITE, cybercrime di Indonesia sudah diatur, namun masih tersebar di beberapa Undang-Undang. Sebelum diberlakukan UU ITE, pengadilan menggunakan ketentuan dalam mengadili cybercrime adalah dengan KUHP dan ketentuan dalam Undang-Undang di luar KUHP yang mengatur tindak Berdasarkan pemikiran bahwa cybercrime merupakan gejala sosial maka dapat dipahami bahwa cybercrime merupakan konsekuensi logis dan merupakan ekses negatif dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Cybercrime merupakan gejala sosial yang sudah mengarah pada ranah hukum pidana, yaitu berupa kejahatan. Cybercrime sudah dianggap sebagai kejahatan yang sudah menjadi permasalahan global. Setiap negara mestinya peduli untuk menanggulangi kejahatan teknologi tinggi tersebut, baik melalui kebijakan Non-hukum Pidana (nonpenal policy), maupun kebijakan hukum pidana (Penal Policy).

60

Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, Jakarta, Rajawali, 2002, hal 12.

61

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1998, Hal 169.

(19)

pidana. Ketentuan yang digunakan sebelum adanya UU ITE adalah ketentuan tentang pemalsuan (Pasal 263-276), pencurian (Pasal 362-367), penipuan (Pasal 378-395), perusakan barang (pasal 407-412). Saat ini cybercrime sudah diatur

oleh instrumen internasional, yaitu Convention on Cybercrime.62

Sebagai negara hukum, indonesia selalu mengutamakan semua kegiatan kenegaraan dan kemasyarakatan didasarkan pada ketentuan hukum. Karena itu, Indonesia selalu berusaha melakukan pembaharuan Hukum Pidana, salah satunya menerbitkan UU ITE. Karena penyelenggaraan kegiatan dalam bidang teknologi yang berbasis elektronik sangat penting bagi masyarakat dan rawan melakukan pelanggaran hak asasi manusia, maka dalam melakukan kriminalisasi, Indonesia sangat memperhatikan himbauan, anjuran, rekomendasi Perikatan Bangsa-bangsa. Berdasarkan ketentuan tersebut diketahui tentan 6 prinsip dasar yang digunakan untuk perancangan peraturan perundang-undangan yang mengatur cybercrime, yaitu sebagai berikut :

Dasar yuridis melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan berupa gangguan terhadap sistem atau jaringan komputer milik orang lain secara tidak sah dalam UU ITE adalah ketentuan Pasal 4 Convention on Cybercrime. Cybercrime merupakan keseluruhan bentuk kejahatan yang ditujukan terhadap komputer, jaringan komputer dan para penggunanya, dan bentuk-bentuk kejahatan tradisional yang menggunakan atau dengan bantuan peralatan komputer.

63

62

Prof. Dr. Widodo, S.H., M.H., Aspek Hukum Pidana Kejahatan Mayantara, Yogyakarta, Aswaja Pressindo,2013, hal 46.

63

(20)

1. Untuk melindungi kepentingan hukum yang berkaitan dengan teknologi informasi, hukum pidana merupakan sarana terakhir (ultimum remidium), karena pemanfaatan hukum administrasi dan hukum perdata lebih penting. 2. Ketentuan hukum pidana harus menguraikan perbuatan yang dilarang

secara tepat, spesifik dan menghindari perumusan yang samar-samar. Ketentuan tersebut perlu dilakukan untuk menyeimbangkan antara perbuatan yang berkaitan dengan keleluasaan pribadi seseorang dengan kebebasan memperoleh informasi.

3. Dalam kriminalisasi perlu diuraikan secara jelas dalam ketentuan hukum pidana masing-masing negara. Oleh karena itu, perluasan ketentuan yang akan digunakan sebagai acuan yang belum jelas dan sulit dimengerti harus dihindari. Jika acuan eksplisit atau implisit digunakan untuk menerapkan hukum pidana, maka ketentuannya juga harus jelas.

4. Prinsip kesalah pada si pembuat (asas kulpabilitas) dan tujuan suatu perbuatan kejahatan selalu dijadikan bagian dari unsur pertanggungjawaban pidana dalam cybercrime.

5. Kriminalisasi terhadap perbuatan yang dapat dipidana karena seseorang lalai melakukan sesuatu (delik omisionis), perlu didasari pada pertimbangan yang mendalam.

(21)

Dalam perspektif yuridis, khususnya dalam ruang lingkup hukum pidana, banyak terobosan yang penting dalam UU ITE tersebut, antara lain sebagai

berikut :64

a. Penegasan secara cermat beberapa istilah yang berkaitan dengan dunia mayantara, misalnya pengertian komputer, data, dan transaksi elektronik. b. Tindak pidana yang diatur banyak yang sudah merujuk pada ketentuan

yang diatur dalam Convention on Cybercrime, baik tindak pidana yang menjadikan komputer sebagai sasaran maupun menggunakan komputer sebagai alat kejahatan.

c. Beberapa kejahatan tradisonal yang menggunakan komputer (misal nya perjudian, pornografi, perbuatan yang tidak menyenangkan, pencemaran nama baik, penghinaan) sudah dijadikan tindak pidana.

d. Ancaman bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana berupa jenis pidana (strafsourt) menggunakan sistem ancaman kumulatif-alternatif, dan lama pemidanaan atau besarnya ancaman denda (strafmaat) cukup tinggi dibandingkan dengan ancaman dalam hukum pidana konvensional.

e. Tanda tangan elektronik (digital signature) diakui sebagai alat bukti yang memiliki kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan konvensional yang menggunakan tinta basah dan bermaterai. Surat elektronik (e-mail), website, dan perangkat-perangkat virtual lainnya sudah diakui sebagai alat bukti (digital evidence) yang sah sehingga dapat digunakan sebagai alat

64

(22)

bukti yang sah dalam proses peradilan pidana, selain sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.

f. Jika korporasi melakukan tindak pidana jga diancam dengan pidana, bahkan ancaman dendanya lebih berat dibandingkan dilakukan manusia. g. Ruang lingkup keberlakuan UU ITE adalah untuk setiap orang yang

melakukan perbuatan hukum di wilayah Indonesia maupun di luar Indonesia yang memiliki akibat hukum di Indonesia.

Di samping itu berdasarkan beberapa literatur serta praktiknya, cybercrime memiliki karakteristik yang khas dibandingkan dengan kejahatan konvensional, yaitu :65

1. Perbuatan yang dilakukan secara ilegal, tanpa hak atau tidak etis tersebut terjadi dalam ruang/wilayah siber (cyber space), sehingga tidak dapat dipastikan yurisdiksi negara mana yang berlaku terhadapnya.

2. Perbuatan tersebut dilakukan dengan menggunakan perlatan apapun yang terhubung dengan internet.

3. Perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian material maupun immaterial (waktu, nilai, jasa, uang, barang, harga diri, martabat, kerahasiaan informasi) yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kejahatan konvensional.

65

Drs. Abdul Wahid, Mohammad Labib, SH, Kejahatan Mayantara

(23)

4. Pelakunya adalah orang yang memnguasai penggunaan internet beserta aplikasinya.

5. Perbuatan tersebut sering dilakukan secara transnasional/melintasi batas negara.

Penanggulangan cybercrime sesungguhnya tidak terlepas dari

perkembangan cyberspace itu sendiri. Adapun pengaturan hukum tentang pencemaran nama baik yang merupakan salah satu perbuatan yang di larang UU ITE yang tergolong dalam kejahatan tradisional yang menggunakan alat komputer, telekomunikasi dan elektronik diatur dalam pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Adapun isi dari Pasal tersebut yaitu:

(3) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Sedangkan ketentuan ancaman pidana terhadap pelaku Pencemaran Nama Baik terdapat di dalam Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik berikut:

(1) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 ( satu miliar rupiah ).

(24)

Pada Pasal 27 ayat (3) sangat berpotensi disalahgunakan. Penghinaan dalam KUHP dapat digolongkan ke dalam 5 jenis yaitu menista, fitnah, penghinaan ringan, pengaduan fitnah, dan persangkaan palsu. Namun dalam UU ITE, penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut tidak lagi dibedakan berdasarkan objek, gradasi hukumannya dan juga berdasarkan jenisnya, namun hanya disatukan dalam satu tindak pidana dalam Pasal 27 ayat (3). Pasal 27 ayat (3) juga tidak memberikan sebuah syarat penting dalam mengatur muatan penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut dengan tidak memberikan syarat pembuktian kebenaran untuk kepentingan umum dan menyamaratakan seluruh muatan penghinaan dan pencemaran nama baik tersebut dengan menghilangkan syarat delik aduan sebagai salah satu syarat penting dalam tindak pidana penghinaan dan pencemaran nama baik.

Dalam UU ITE dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan infromasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.

Sedangkan dokumen elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,

(25)

peta, rancangan , foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang

mampu memahaminya.66

Ketentuan dalam Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE pernah di Uji meteriel kan, namun tidak dikabulkan oleh MK melalui putusan MK No. 2/PUU-VII/2009. Karena itu, ketentuan Pasal 27 ayat (3) masih tetap berlaku. Dalam pertimbangannya MK menyatakan bahwa secara harfiah bahwa unsur di muka umum, diketahui umum, atau di siarkan dalam Pasal 310 ayat (2) KUHP tidak dapat diterapkan dalam dunia maya, sehingga memerlukan unsur ekstensif yaitu mendistribusikan dan/atau mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya.

Namun demikian, UU ITE tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam pasal 310 dan 311 KUHP. Pasal 27 ayat (3) juga berpotensi melanggar kebebasan berekspresi, berpendapat, menyebarkan informasi. Kebebasan berekspresi merupakan salah satu syarat penting yang memungkinkan berlangsungnya demokrasi dan partisipasi publik dalam pembuatan keputusan-keputusan.

67

Perkembangan teknologi informasi beserta perkembangan instrumen canggih lainnya, hanya merupakan alat bantu untuk mempermudah kehidupan manusia yanh hidup dan sling berpengaruh dalam dunia nyata (real/physical world) guna mencapai suatu kesejahteraan. Sehingga, fokus

Mahkamah juga menyatakan :

66

Pasal 1 Angka 1 dan 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008.

67

(26)

akhir dari pengaturan dan pembatasan oleh hukum in casu Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE), sebagaimana ketentuan pasal 27 ayat (3) UU ITE, adalah untuk menjaga ketertiban hukum dalam lalu lintas interaksi manusia dalam media cyber yang secara langsung atau tidak langsung berakibat dalam dunia nyata. Kejahatan yang dilakukan di dunia maya dirasakan oleh korban dalam jangka waktu yang sangat panjang dan begitu meluas karena tanpa adanya sekat yang mampu membatasi penggunaan, kapan saja dan dimana saja semua orang dapat membuka fitur-fitur yang dimuat di dalamnya, sehinggajustru korban dari kejahatan di dunia maya lah yang mengalami efek dalam jangka panjang bukan pelaku kejahatannya.

Bila dikaitkan dengan rumusan pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi & Transkasi Elektronik bertujuan untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan atas diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dengan kebebasan berbicara, berekspresi, mengemukakan pendapat dan pikiran serta mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi,. Keseimbangan itu diperlukan untuk menghindari terjadinya “hukum rimba” dalam dunia maya (cyberspace) karena banyaknya pelanggaran yang tidak dapat diselesaikan karena tidak ada hukum yang mengaturnya. Maka dari itu penulis menyimpulkan bahwa pencemaran nama baik dengan menggunakan alat-alat elektronik, komputer dan informasi merupakan perbuatan yang merugikan orang lain melalui dunia maya.

(27)

C. Pencemaran Nama Baik Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran

Hukum Penyiaran merupakan bagian terkecil (genre) dari kajian Hukum Telekomunikasi (genus). Hukum Telekomunikasi adalah primat hukum khusus atau lex specialis yang mengkaji dan mengatur hal-hal yang berkenaan dengan telekomunikasi. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran didefinisikan, bahwa penyiaran adalah :

“kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut dan di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran”.

Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka Hukum Penyiaran adalah seluruh kaidah dan aturan yang menyangkut kegiatan pemancarluasan, termasuk sarana teknis, sistem dan spektrum frekuensi hingga penerimaan masyarakat secara

serentak melalui alat penerima siaran.68

68

Dr. Judhariksawan, S.H., M.H., Hukum Penyiaran, Jakarta, PT. RAJAGRAFINDO PERSADA,2010, Hal 17

Untuk memahami bagaimana Hukum Penyiaran berlaku, maka harus dapat dipahami terlebih dahulu bagaimana sesungguhnya sistem kerja teknologi penyiaran. Dalam sistem telekomunikasi yang juga berlaku pada penyiaran, terdapat beberapa sistem penyebarluasan siaran yang dapat dilakukan, antara lain sistem kabel, sistem nirkabel, dan sistem satelit.

(28)

Adapun pengaturan tentang sanksi Pidana dijabarkan pada beberapa pasal dalam UU Penyiaran, yaitu Pasal 57, Pasal 58 dan Pasal 59 dengan ancaman Pidana penjara dan denda yang beragam terhadap pelanggaran atas peraturan yang termaksud dalam Undang-Undang tersebut. Pasal 57 mengatur bahwa akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,-(satu milyar rupiah) untuk penyiaran radio dan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah) untuk penyiaran televisi,

setiap orang yang melanggar:69

1. Pasal 17 ayat (3), mengatur tentang Lembaga Penyiaran Swasta Wajib memberikan kesempatan kepada karyawan untuk memiliki saham perusahaan dan memberikan bagian laba perusahaan.

2. Pasal 18 ayat (2), mengatur tentang pembatasan kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran radio dan Lembaga Penyiaran Swasta yang menyelenggarakan jasa penyiaran televisi, antara Lembaga Penyiaran Swasta dan perusahaan media cetak, serta antara Lembaga Penyiaran Swasta dan lembaga penyiaran swasta jasa penyiaran lainnya, baik langsung maupun tidak langsung.

3. Pasal 30 ayat (1), mengatur tentang larangan pendirian Lembaga penyiaran asing di Indonesia.

4. Pasal 36 (5), mengatur tentang larangan isi siaran yang bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong, menonjolkan unsur kekerasan,

69

(29)

cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau pertentangkan suku, agama, ras dan antargolongan.

5. Pasal 36 ayat (6), mengatur tentang larangan isi siaran yang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Adapun pengaturan hukum tentang tindak Pidana Pencemaran Nama Baik yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran ialah pada Pasal 36 ayat (5) dan di Pidana sesuai dengan aturan yang telah di tulis diatas. Dalam UU No. 32 Tahun 2002 pada Pasal 36 ayat (5) menyebutkan bahwa:

Isi siaran dilarang :

a. Bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan, dan/atau bohong;

b. Menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang;

c. Mempertentangkan suku, agama, ras, dan atargolongan

Adapun bentuk penghinaan yang dimaksud dalam Pasal 36 ayat (5) Jo pasal 57 Huruf d, apabila dirinci terdapat unsur :

a. Perbuatan : siaran (menyiarkan)

Perbuatan menyiarkan dalam Pasal 36 ayat (5) UU Penyiaran tidak sama artinya dengan menyiarkan (verspreiden) dalam Pasal 310 ayat (2) atau Pasal 157 ayat (1) KUHP. Menurut KUHP menyiarkan (verspreiden)

(30)

melakukan perbuatan dengan menyebarkan sesuatu (objek tindak pidana) kepada umum sehingga sesuatu tersebut diketahui oleh orang banyak (umum). Oleh karena tidak disebutkan caranya menyiarkan, maka cara tersebut harus disesuaikan dengan sifat objek dan wadah objek yang disiarkan.

Objek yang disiarkan menurut UU penyiaran adalah merupakan pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karater, baik yang bersifat interaktif

maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.70

b. Objeknya : isi siaran bersifat fitnah;

Objek tindak pidana penyiaran dalam KUHP pada dasarnya adalah berita dalam tulisan yang wadahnya kertas.

Oleh karena UU Penyiaran tidak memberi keterangan apa-apa mengenai unsur bersifat fitnah, maka harus kembali pada sumber utama Huku Pidana ialah KUHP. Fitnah dalam KUHP dirumuskan dalam 311. Pasal 311 ayat (1) merumuskan jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis dibolehkan untuk membuktikan apa yang ditudukan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentang dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Dari rumusan fitnah tersebut dapatlah diketahui bahwa sesungguhnya dalam fitnah terdapat pencemaran, baik pencemaran lisan

70

Adamichazawi.blogspot.co.id/2009/Reg.Perk-PDM-78/KNDL/Ep.2/09/2010, diakses pada tanggal 24 Mei 2017 pada Pukul 21.08 WIB

(31)

maupun tertulis. Pencemaran adalah standar betuk – bentuk penghinaan, termasuk fitnah. Oleh karena itu fitnah merupakan bentuk pencemaran khusus, maka dalam fitnah terdapat unsur – unsur pencemaran.

Sementara bentuk penghinaan dalam Pasal 36 ayat (6) Jo Pasal 57 Huruf e, apabila dirinci terdapat unsur :

a. Perbuatan : siaran (menyiarkan)

b. Objeknya : isi siaran memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai – nilai agama, martabat manusia indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Penghinaan ini tidak ada bandingannya dalam bentuk – bentuk penghinaan umum (Bab XVI Buku II KUHP). Oleh karena itu bukan merupakan lex specialis dari bentuk – bentuk penghinaan umum dalam KUHP. Merupakan penghinaan yang berdiri sendiri. Kecuali penghinaan terhadap objek nilai – nilai agama. Terdapat hubungannya dengan penghinaan/penodaan agama menurut Pasal 156a KUHP. Bentuk penghinaan terhadap nilai agama menurut pasal 36 ayat (6) UU Penyiaran bisa dianggap sebagai bentuk lex specialis dari penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP. Letak sifat khususnya ialah pada cara menyampaikan objek/isi penghinaan.

Menurut UU Penyiaran, objek isi pesan atau rangkaian pesn disampaikan dengan melalui sarana pemancaran dan/atau saran transmisi yang dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. Suatu sifat melawan hukumnya

(32)

perbuatan menyiarkan dalam tindak pidana menurut Pasal 36 ayat (6) Jo 57 Huruf e UU Penyiaran ialah Orang yang merasa terhina bukan orang pribadi sebagaimana bentuk – bentuk penghinaan umum dalam Bab XVI

Buku II KUHP, melainkan orang dalam arti komunal/kelompok orang.71

Pers adalah pilar negara demokratis. Kebebasan pers merupakan unsur penting dalam pembentukan suatu sistem bernegara yang demokratis, terbuka dan transparan. Pers sebagai media informasi berjalan seiring dengan penegakan hukum untuk terciptanya keseimbangan dalam suatu negara. Penting untuk menjaga obyektifitas dan transparansi dalam dunia pers, sehingga dapat dituangkan secara sebenar-benarnya tanpa ada rasa takut atau dibawah ancaman. Pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang yang tersendiri mengenai Pers yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 mengenai pers, dengan maksud dan tujuan untuk melindungi segala hal yang berhubungan dengan

Dicontohkan sebuah stasiun TV menyiarkan tulisan waratawannya, menyatakan bahwa isi Kitab suci agam “B” bukanlah suatu wahyu Tuhan seperti agama “A”. Pihak yang merasa terhina dari siaran tersebut bukan pribadi orang tertentu, tetapi semua orang pemeluk agama “B” tersebut. Perbuatan ini dapat dikualifisir sebagai memperolok, merendahkan, melecehkan agam B tersebut.

D. Pencemaran Nama Baik Menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers

71

(33)

pers, baik subjek, objek dan lain sebagainya serta meminta pertanggungjawaban atas pemberitaan yang disiarkan sebagai salah satu perwujudan kedaulatan rakyat. Menurut para ahli hukum, delik pers adalah setiap pengumuman dan atau penyebarluasan pikiran melalui penerbitan pers. Terdapat tiga unsur atau kriteria yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan yang dilakukan melalui pers dapat

digolongkan sebagai delik pers :72

a. Adanya pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui barang cetakan.

b. Pikiran dan perasaan yang diumumkan atau disebarluaskan melalui barang cetakan itu harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum.

c. Pengumuman pikiran dan perasaan yang dapat dipidana tersebut serta yang dilakukan melalui barang cetakan tadi harus dapat dibuktikan telah disiarkan kepada masyarakat umum atau dipublikasikan. Jadi, syarat atau unsur terpenting adalah publikasi.

Pergesekan antara pers dengan masyarakat dapat terjadi sebagai akibat sajian yang dianggap merugikan oleh seseorang atau golongan tertentu. Fenomena mengenai pergesekan dimaksud mengemuka dalam bentuk tuntutan hukum masyarakat terhadap pers. Kesemuanya itu menunjukkan betapa penting untuk menciptakan penyelesaian yang adil ketika terjadi permasalahan antara pers

dengan masyarakat.73

72

AS Haris Sumadria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature: Panduan

Praktis Jurnalis Profesional, Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005, hal 232.

73

H. Syamsul Wahidin (b), Hukum Pers, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, Hal 4. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers lebih

(34)

banyak mengatur tentang pelaksanaan dan penggunaan hak konstitusional di bidang pers dan perlindungan hukum terhadap pelaksanaan dan penggunaan hak konstitusional, tetapi tidak tampak pengaturan mengenai aspek penyalahgunaan hak konstitusional di bidang pers.

Oleh sebab itu, sanksi pidana lebih ditujukan kepada orang lain yang melakukan perbuatan yang dapat mengganggu atau menghambat pelaksanaan atau penggunaan hak konstitusional berpa kebebasan berekspresi/kebebasan pers seperti yang tertuang dalam Pasal 4 yaitu :

1. Kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.

2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.

UU Pers no. 40 Tahun 1999 hanya memuat masalah pemidanaan pers pada Pasal 18 saja, yaitu :

1. Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) yaitu :

(2) terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan

(35)

(3) untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak

mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima Ratus Juta Rupiah).

2. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) yaitu :

(1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini

dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan

masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

(2) Pers wajib melayani Hak Jawab.

Serta Pasal 13, yaitu :

Perusahaan iklan dilarang memuat iklan :

1) Yang berakibat merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama serta bertentangan dengan rasa kesuilaan masyarakat.

2) Minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3) Peragaan wujud rokok dan atau penggunaan rokok.

Dipidana dengan pidana dengda paling banyak Rp. 500.000.000.00 (Lima Ratus Juta Rupiah).

3. Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2), yaitu :

(2) Setiap perusahaan Pers harus berbentuk badan Hukum Indonesia

(36)

Perusahaan pers wajib menggumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan, khusus untuk penerbitan ditambah nama dan alamat percetakan, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (Seratus Juta Rupiah)

Menurut UU No. 40 Tahun 1999 yang dapat dikenai pertanggungjawaban adalah : 1) Pemimpin Umum/Redaksi

2) Redaktur Pelaksana 3) Redaktur

4) Reporter/Keresponden

Dalam KUHP tidak ada delik khusus mengenai Pers, untuk adanya kepastian hukum dan perlindungan hukum dan perlindungan hukum untuk jenis-jenis penyalahgunaan fungsi pers, maka dalam kaitannya dengan delik pidana yang diatur dalam KUHP akan dicari hubungan yang sesuai dengan delik ini, khususnya pasal-pasal mengenai komunikasi, penyebaran informasi dan media massa, yang terdiri dari jenis-jenis :

1) Delik Penyebar Kebencian

Haatzai Artikelen adalah pasal-pasal yang mengancam dengan hukuman kepada siapa pun yang menyebarkan rasa permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap pemerintah Hindia Belanda, yang

diatur dalam Pasal 154-157 dari Wetboek van Strafrecht.74

74

P. Swantoro dan Atmakusumah, “Garis Besar Kebijaksanaan Pemerintah terhadap Pers” dalam Abdurrahman Surjomihardjo (ed.), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di

Indonesia, Jakarta, LEKNAS LIPI dan Departemen Penerangan, 1980, Hal 147.

Pasal 154 s/d 157 adalah yang biasa disebut delik-delik penyebar kebencian yang

(37)

maksudnya untuk menjaga ketentraman dan ketertiban umum dikalangan penduduk jangan sampai kena rupa-rupa hasutan yang mengacau dan memecah belah dengan jalan berpidato, rulisan, gambar, dan lain sebagainya di depan umum atau disurat kabar. Pasal 154 memutuskan delik pers sedangkan Pasal 155 delik penyebaran.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/PUU-V/2007 menyatakan pasal 154 dan pasal 155 KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.75 Kualifikasi delik atau tindak pidana yang dirumuskan dalam

Pasal 154 dan Pasal 155 KUHP di atas adalah delik formil yang cukup hanya mempersyaratkan terpenuhinya unsur adanya perbuatan yang dilarang (strafbare handeling) tanpa mengaitkan dengan akibat dari suatu perbuatan. Akibatnya, rumusan kedua pasal pidana tersebut menimbulkan kecendrungan penyalahgunaan kekuasaan karena secaea mudah dapat

ditafsirkan menurut selera penguasa.76

2) Delik Penghinaan (Pencemaran Nama Baik)

Penghinaan merupakan kumpulan berbagai jenis kejahatan terhadap kehormatan orang, yang menista secara lisan, menista dengan tulisan, memfitnah, mengadu secara memfirnah, menuduh secara memfitnah. Penghinaan merupakan perkosaan terhadap kehormatan. Kehormatan adalah perasaan pribadi yang berarti nilai atau harga atau martabat susila dari seseorang. KUHP memberikan kemungkinan juga

75

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 06/PUU-V/2007, Hal 80.

76

(38)

perbuatan perkosaan terhadap kehormatan dari seseorang yang sudah

meninggal dunia dan suatu badan resmi.77

a) Penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden Indonesia, diatur dalam pasal 134, 136 bis dan 137 KUHP. Termasuk dalam kelompok ini penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum, yang diatur dalam pasal-pasal 207, 208 dan 209 KUHP.

Kejahatan penghinaan dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) kelompok :

b) Penghinaan umum, diatur dalam pasal-pasal 310 dan 315 KUHP. 3) Delik penyebaran Kabar Bohong.

Delik kabar bohong diatur dalam pasal 14 dan 15 UU No. 1 tahun 1946 tentang ketntuan-ketentuan pokok pers. Dalam RUU KUHP selain mengatur tentang penyebaran berita bohong pada pasal 307, juga diatur pidana penyiaran berita yang tidak pas, tidak lengkap dan berlebihan dalam pasal 308. RUU KUHP membuat secara khusus tentang tindak pidana berupa menyiarkan beriyta bohong, dan berita yang tidak akurat. Meskipun diatur secara khusus, tetapi terdapat ketidakjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan berita bohong, sehingga pasal-pasal tersebut potensial dapat disalahgunakan. Narasumber yang tidak suka dengan pers atau pemberitaan mengenai dirinya bisa menyeret pers ke pengadilan

dengan tuduhan menyiarkan kabar atau berita bohong.78

4) Delik Kesusilaan 77

H.A.K. Moch. Anwar, Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP Buku II), Bandung, Alumni, 1980, Hal 135.

78

Eriyanto dan Anggara, Kebebasan Pers Dalam Rancangan KUHP, Jakarta, Aji dan Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2007, Hal 26.

(39)

Tindak pidana menyebarluaskan, mempertunjukkan secara terbuka suatu tulisan, gambar atau denda yang menyinggung kesusilaan itu oleh pembentuk undang-undang telah diatur dalam pasal 282 ayat (1) sampai dengan ayat (3) KUHP. Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 282

KUHP itu melarang dilakukannya tiga macam perbuatan:79

a) Menyiarkan, mempertontonkan atau menempelkan dengan terang-terangan tulisan dan sebagainya;

b) Membuat, membawa masuk, mengirim langsung, membawa keluar atau menyediakan tulisan dan lain sebagainya untuk disiarkan, dipertontonkan atau ditempelkan dengan terang-terangan;

c) Dengan terang-terangan atau dengan menyiarkan suatu tulisan menawarkan dengan tidak diminta atau menunjukkan, bahwa tulisan dan sebagainya itu boleh didapat.

5) Pertanggungjawaban penerbitan

Pada pasal 483 KUHP dan Pasal 484 KUHP diatur mengenai kejahatan dengan alat cetak. Kejahatan ini merupakan kejahatan khusus yang hanya diperlakukan bagi orang-orang tertentu yaitu penerbit. Pasal 483 KUHP menyatakan bahwa perbuatang yang dilarang adalah menerbitkan tulisan dan gambar yang memuat isi bersifat tindak pidana. Dengan perbuatan penerbitan yang belum dapat dihukum. Penerbit dapat

dihukum, apabila memenuhi 2 (dua) syarat yaitu :80

79

R. Soesilo, Penjelasan Pasal 282 KUHP.

80

(40)

a. Pembuat tidak diketahui namanya dan juga tidak diketahui siapa orangnya oleh penerbit pada peringatan yang pertama sesudah penuntutan berjalan terhadapnya.

b. Penerbit sudah tau atau dapat menduga, bahwa si pembuat ini tidak dapat dituntut dimuka pengadilan menurut hukum pidana atau akan menetap (berkedudukan) diluar indonesia pada ketika tulisan atau gambar itu diterbitkan.

Adapun yang dapat menjadi korban dalam delik pers, yaitu :

a. Insan Pers

Korban insan Pers adalah perusahaan pers, dapat juga pimpinan redaksi sebagai individu yang bertanggung jawab atas naik tidaknya sebuah berita atau wartawan sebagai pencari atau penulis berita/opini. Korban dari pihak pers lebih banyak berjatuhan akibat usaha pengendalian kebebasan pers yang terlalu kejam seperti kasus pemukulan, penyensoran maupun pembredelan akibat berita yang salah ataupun yang benar tetapi tidak dapat diterima oleh pejabat atau masyarakat.

b. Warga Negara/Masyarakat

Pada pemberitaan pers yang bersaing ketat dan cenderung saling berlomba, adu sensasional, berita pembunuhan, skandal, horror, yang banyak mengangkat kaya versus miskin, skandal dan gosip murahan,

seringkali dibumbui dan merendahkan mutu jurnalistik.81

81

T. Atmadi, Bunga Rampai Catatan Pertumbuhan dan Perkembangan Sistem Pers Indonesia, Jakarta, PT. Pantja Simpati, 1985, hal 119

(41)

yang merusak masyarakat yang lebih disoroti adalah generasi muda yang secara psikologis lebih mudah terkorup bahan bacaan ataupun tontonan, mereka akan lebih mudah segera mencari kegiatan yang serupa sebagai

puncak sampainya informasi tersebut kepada masyarakat/anak muda.82

c. Pemerintah

Pemerintah atau negara dapat menjadi korban dalam hal bertanggung jawab mengatasi kekacauan atau permintaan masyarakat melalui media pers. Stabilitas negara dan pertahanan keamanan negara dapat kacau akibat pemberitaan pers yang tidak benar dan tendesius, menghasut dan memprovokasi masyarakat untuk tidak taat atau menolak kebijakan pemerintah.

Adapun beberapa kebijakan hukum terhadap Tindak Pidana Pers Serta Perlindungan Terhadap Korban Dalam Permasalahan Pers :

a. Kebijakan Pidana Terhadap Delik Pers

Upaya penanggulangan kejahatan secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu lewat jalur "penal” (hukum pidana) dan lewat jalur “non-penal” (diluar hukum pidana).

Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur

“penal” lebih menitikberatkan pada sifat repressive

(penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatn terjadi, sedangkan jalur “non-penal lebih menitikberatkan pada sifat preventif

82

(42)

(pencegahan/penangkalan/pengendalian) sebelum kejahatan terjadi prosedur yang ditempuh apabila terjadi tindak pidana pers lebih diutamakan melalui kebijakan non-penal yaitu dengan prosedur sebagai berikut :

1) Dengan menggunakan Hak Jawab ;

2) Mengadukan Pers yang bersangkutan ke Dewan Pers ;

3) Jika orang yang merasa keberatan dan tercemar nama baiknya tersebut masih merasa belum puas, maka yang bersangkutan dapat menggugat dan menuntut penanggungjawab dalam pers itu sendiri.

Apabila pers tidak menjaga kepatuhannya pada Kode Etik Jurnalistik, maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kriminalisasi terhadap jurnalis. Karena jika terjadi kriminalisasi, Dewan Pers tidak dapat berbuat banyak. Dalam Pasal 1 ayat (2) Prosedur Pengaduan ke Dewan Pers mengatur bahwa Dewan Pers tidak memeriksa pengaduan yang sudah dilaporkan pada polisi atau pengadilan. Walau telah ditandatangani nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Polri, berisi perihal kasus pemberitaan yang telah dilaporkan kepada Polri memungkinkan untuk tetap melanjutkan atau tidaknya perkara dengan proses hukum tetap ada di tangan pelapor.

Referensi

Dokumen terkait

Aktivitas yang diteliti adalah penerapan teknik latihan terbimbing dengan media audio murottal pada mata pelajaran Al-Qur'an Hadis di MTs NU Miftahut Tholibin Mejobo

Tujuan pembelajaran merupakan acuan utama untuk membuat suatu media pembelajaran, dalam hal ini poster. Karena sebuah media pembelajaran harus sesuai dengan

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab salah satu penyebab kerusakan karena korosi dengan perlakuan permukaan shot peening yaitu penembakan bola baja dengan

Penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi tentang pengaruh dari post-heat dan cooling rate terhadap mekanisme difusi tembaga, perubahan struktur mikro,

Oleh karena itu, dibuat sebuah aplikasi dengan menerapkan teknologi Augmented Reality untuk membuat suatu metode pembelajaran untuk siswa SD Ar-Rafi’ agar para

Sumber : Hamermesh dan Rees, (1987) Mereka menyimpulkan bahwa individu dengan pendidikan yang lebih tinggi awalnya mempunyai pendapatan yang lebih rendah dari pada

Proses produksi adalah tahapan yang sangat penting dan menentukan produk dari mutu yang dihasilkan, untuk itu proses dalam suatu produksi harus diperhatikan dan

Simpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini antara lain: Ekstrak etanol 70% daun bawang mekah terdeteksi mengandung beberapa komponen bioaktif, yaitu