• Tidak ada hasil yang ditemukan

Informasi Publik – Pusat Penelitian Biomaterial

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Informasi Publik – Pusat Penelitian Biomaterial"

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN TEKNIK AKHIR TAHUN 2013

UNIT PELAKSANA TEKNIS

BALAI BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

BIOMATERIAL

LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

Editor: Ismail Budiman Ari Kusumaningtyas

UPT Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(2)
(3)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

Pertumbuhan dan Viabilitas Jamur Entomopatogen yang Diproduksi Secara

Massal pada Substrat Beras ... 1

Pengaruh Ekstrak Kayu Bawang (Scorodocarpus Borneensis) pada

Perlakuan Tanah (Soil Treatment) ... 5

Efikasi Asam Oleat Hasil Isolasi dari Ekstrak Biji Bintaro (Cerbera Manghas) Terhadap Rayap Tanah Coptotermes Gestroi Wasmann dan

Rayap Kayu Kering Cryptotermes Cynocephalus Ligh ... 10

Pretreatment Naoh dan Hidrolisis Enzimatis pada Ampas Tebu ... 18

Pengaruh Pretreatment Ca(Oh)2 dan Hidrolisis Enzimatis Terhadap Produksi

Gula Pereduksi pada Ampas Tebu ... 29

Sintesis Sodium Lignosulfonat dari Limbah Lignin Pretreatment Ampas

Tebu ... 41

Physical and Mechanical Properties Of Polylactic Acid-Filled Chitin and

Chitosan Composites ... 46

Characteristics Of Composites From Recycled Polypropelene and Three

Kinds Of Indonesian Bamboos Fiber ... 51

Pengaruh Rasio Air dengan Bahan Pengikat pada Autoclaved Aerated

Concrete (Aac) Berbasis Limbah Cangkang Kerang ... 58 Mechanical Properties and Chemical Changes Of Mahoni Wood (Swietenia

Mahagoni) By Close System Compression Hot Press Machine... 64

Karakteristik Kayu Kompresi dengan Metode Close System Compression

(Csc) pada Kondisi Kering ... 72

Pengaruh Waktu Pengepresan Terhadap Perubahan Komponen Kimia Kayu

Durian Kompresi Skala Pemakaian ... 79

Teknologi Pertanian Organik Untuk Biovillage ... 87

(4)
(5)

PERTUMBUHAN DAN VIABILITAS JAMUR ENTOMOPATOGEN YANG DIPRODUKSI SECARA MASSAL PADA SUBSTRAT BERAS

Deni Zulfiana

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan viabilitas beberapa jamur entomopatogen yang diproduksi secara massal pada media substrat beras melalui fermentasi padat selama 14 hari. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa jamur entomopatogen Metarhizium sp., Beauveria sp., dan Humicola menunjukan pertumbuhan yang baik pada media beras dibandingkan dengan Nomurea sp. dan

Phaecylomyces sp. Hal ini berdasarkan pada pengamatan daya kecambah, jumlah konidia dan viabilitas konidia jamur.

Kata kunci: Jamur entomopatogen, substrat beras, konidia, viabilitas

PENDAHULUAN

Jamur entomopatogen seperti Metarhizium anisopliae, Beauveria bassiana, Phaecilomyces sp., dan Nomurea rileyi adalah patogen terhadap lebih dari 40 spesies serangga hama baik hama pertanian, vektor penyakit, hama gudang dan hama rumah tangga. Seperti pemanfaatan jamur entomopatogen untuk mengendalikan berbagai beberapa jenis hama yang menyerang kubis, belalang, aphid, beberapa jenis hama gudang, hama penggerek buah kopi, hama rayap, penggerek batang tebu, dan hama wereng coklat, Nilaparvata lugens. (Butt et al. 1994; Brinkmann et al. 1997; Sun et al.

2003).

Mekanisme infeksi jamur terhadap serangga diawali pada saat jamur yang dalam bentuk spora atau konidia menempel pada permukaan tubuh serangga. Konidia tersebut menempel pada lapisan dinding atau kulit luar (integumen) serangga. Pada kondisi suhu dan kelembaban yang sesuai, konidia akan tumbuh dan menembus tubuh serangga. Jamur akan memperbanyak diri di dalam sebuh serangga sehingga tubuh serangga tertutup miselium yang berupa benang-benang halus. Dalam bentuk seperti ini diistilahkan sebagai propagul. Penetrasi jamur ke dalam tubuh serangga bisa melalui proses mekanis dan kimia. Hal tersebut terjadi karena jamur memproduksi enzim tertentu seperti enzim kitinase, glukanase, dan protease yang dapat meluruhkan kulit luar serangga, kemudian setelah konidia tumbuh, miselium akan mengeluarkan senyawa aktif yang bersifat antibiosis yang dapat bersifat racun atau menghambat proses metabolisme di dalam sel serangga. Lacey, 1997)

Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari pemanfaatan jamur entomopatogen yaitu mudah menginfeksi serangga target, tidak membunuh serangga bukan hama, mempunyai banyak strain, dan aman terhadap lingkungan (Butt, 1994; St Leger et al. 1992).

(6)

cair (subemerged culture), submerged conidia, miselium kering (serta dengan perbanyakan konidia pada media cair (Ferron 1978). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan viabilitas beberapa jamur entomopatogen yang diproduksi secara massal pada media substrat beras melalui fermentasi padat.

BAHAN DAN METODOLOGI

Perbanyakan jamur entomopatogen pada medi PDB (potato dextrose broth)

Jamur entomopatogen yang digunakan dalam penelitian ini merupakan koleksi dari Laboratorium Mikrobiologi, UPT. BPP. Biomaterial-LIPI. Jamur yang dibiakkan pada PDA (potato dextrosa agar) sebanyak satu loop penuh dengan kerapatan konidia kira-kira 107 konidia/ml dipindahkan ke dalam botol yang berisi 50 ml media PDB.

Beras dibersihkan/dicuci kemuadian direbus sampai setengah matang dan sedikit lunak dalam dandang selama 20 menit. Sebanyak 300 g beras dimasukkan ke dalam kantong plastik, kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoklaf pada 121 oC selama 15 menit. Kemudian dibiarkan dingin selama ±12 jam. Selanjutnya sebanyak 10 ml biakan jamur dalam media PDB (setelah 3 hari inkubasi) diinokulasikan ke dalam kantong plastik berisi substrat beras. Kantong berisi biakan ini kemudian ditutup dan distapler. Selanjutnya diinkubasi dalam suhu ruang selama 14 hari, sampai substrat ditutupi oleh miselium jamur. Biakan dalam kantong plastik ini diperiksa setiap 2 hari sekali sambil diaduk-aduk secara steril. Setelah 14 hari biakan pada substrat dipanen. Sebagian digunakan untuk analisis jumlah konidia dan viabilitas konidia, sisanya dioven pada suhu 60 oC selama 3 hari, dan diblender untuk dikemas sebagai tepung konidia.

Untuk analisis konidia, setiap kantong dari masing-masing media substrat diambil sebanyak 10 g, diaduk dengan 90 ml air steril dan ditambahkan 0,05% tween, kemudian diamati:

a. Persentase perkecambahan konidia (daya kecambah) diketahui dengan cara mengambil suspensi biakan dengan densitas 100 konidia yang dituangkan ke dalam petridis yang berisi media PDA dan diinkubasikan pada suhu kamar. Masing-masing suspensi biakan diulang tiga kali, persentase perkecambahan konidia dihitung setelah 24 jam.

b. Jumlah konidia/g substrat/ml diamati melalui pengenceran secara berseri. Jumlah konidia g substrat/ml dihitung menggunakan haemacytometer.

c. Viabilitas konidia diamati dengan cara 0,1 ml suspensi konidia dari pengenceran 105 dituangkan dan diratakan pada petridis steril. Media PDA pada temperatur 45 o

C dituangkan ke dalam petridis yang telah berisi suspensi konidia dan diinkubasikan selama 5 hari pada suhu kamar. Viabilitas konidia dihitung berdasarkan jumlah konidia yang tumbuh berupa koloni pada media PDA dalam petridis.

(7)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jamur entomopatogen yang ditumbuhkan media substrat beras menunjukan pertumbuhan yang cukup baik selama masa 14 hari inkubasi. Pertumbuhan

Metarhizium, Humicola dan Beauveria pada media substrat beras terlihat lebih baik karena seluruh permukaan substrat tertutup miselium dibanding Nomurea dan

Phaecilomyces yang hanya sebagian substrat tertutup oleh miselium jamur.

(a) (b) (c)

(d) (e)

Gambar 1. Tepung konodia jamur entomopatogen yang ditumbuhkan pada substrat beras. (a) Metarhizium (b) Beauveria (c) Humicola (d) Nomurea, dan (e)

Phaecilomyces

Jamur Metarizium, Humicola dan Beauveria yang dibiakkan pada substrat beras memiliki jumlah konidia per g substrat yang nyata lebih banyak dengan daya kecambah dan viabilitas yang nyata lebih tinggi dibandingkan jamur Nomurea dan Phaecilomyces

yang dibiakkan pada substrat yang sama (Tabel 1).

Tabel 1. Daya kecambah jamur entomopatogen, jumlah konidia/g substrat dan viabilitas konidia/ml yang dibiakkan pada substrat beras

Jenis jamur Daya kecambah (%)

Jumlah konidia (%)

Viabilitas konidia x105 konidia/ml

Metarhizium sp. 83,75 a 2,6 x 108 a 24,6 a

Humicola sp. 79,45 a 1,87 x 108 a 16,4 a

Beaveria sp. 33,67 a 1,20 x 106 b 4,7 b

Nomurea sp. 25,00 a 4,86 x 105 b 1,5 b

Paecilomyces sp. 22,67 a 3,35 x 105 b 1,02 b

(8)

Penggunaan bahan berkarbohidrat dan protein tinggi akan mendorong pertumbuhan vegetatif jamur. Komposisi hara media mempengaruhi produksi mikotoxin jamur entomopatogendan media terbaik untuk memroduksi racun proteolitik kompleks harus mengandung karbohidrat, yeast ekstrak dan ekstrak daun.

KESIMPULAN

Media beras merupakan substrat yang bagus untuk produksi secara massal jamur entomopatogen Metarhizium sp. Humicola sp. dan Beauveria sp.

DAFTAR PUSTAKA

Brinkmann, M.A., B.W. Fuller, and M.B. Hildret. 1997. Effect of Beauveria bassiana

on migratory grasshoppers (Orthoptera: Acrididae) in spraytower bioassay. J. Agric. Entomol. 14:121-127.

Butt, T.M., L. Ibrahim, B.W. Ball, and S.J. Clark. 1994. Pathogenicity of the entomogenous fung Metarrhizium anisopliae and Beauveria bassiana against crucifer pests and honey bee. Biocontrol Sci. Technol. 4:207-214.

Ferron, P. 1978. Biological control of insect pest by entomogenous fungi. Annu. Rev. Entomol. 23:409- 442.

Junianto Y.D. dan H. Semangun. 2000. Susu skim dan Monosodium glutamat sebagai media pensuspensi dalam pengering bekuan spora B. bassiana. J. Pelita Perkebunan 11(2)

Lacey, L.A. 1997. Initial handling and diagnosis of diseases insect. In Lacey, L.A. (Ed.). Biological Tech- niques. Manual of techniques in Insect Pathology. Academic Press. London. p.1–30.

St. Leger, R.J., Allee, L. L., May, B., Staples, R. C., and Roberts, D. W. 1992. World wide distribution of genetic variation among isolates of Beuveria spp. Mycol. Res. 96:1007-1015.

(9)

PENGARUH EKSTRAK KAYU BAWANG (SCORODOCARPUS BORNEENSIS) PADA PERLAKUAN TANAH (SOIL TREATMENT)

Didi Tarmadi1, Ikhsan Guswenrivo1, Deni Zulfiana1, Ngatiman2, Sulaeman Yusuf1

1)

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

e-mail: didi@biomaterial.lipi.go.id

2)

Balai Besar Penelitian Dipterokarpa

Jl. A. Wahab Syahranie No. 68 Sempaja Selatan, Samarinda, Kalimantan Timur

ABSTRAK

Perlakuan/peracunan tanah (soil treatment) masih menjadi solusi terbaik dalam kegiatan proteksi bangunan terhadap serangan rayap tanah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keampuhan ekstrak kayu bawang (Scorodocarpus borneensis) pada perlakukan/peracunan tanah. Pengujian mengacu pada Standar JWPA No. 13-1992. Ekstrak kulit dan daun kayu bawang dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8%

diaplikasikan pada pasir kemudian diaplikasikan pada botol ‘H’. Hasil pengujian

menunjukkan bawah ekstrak kayu Bawang pada konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% tergolong ke dalam kriteria tidak andal sehingga aktivitas termitisidal nya tidak sesuai pada parlakuan/peracunan tanah.

Kata kunci: Perlakuan/peracunan tanah, kayu Bawang (Scorodocarpus borneensis),rayap tanah Coptotermes gestroi

PENDAHULUAN

Sampai saat ini proteksi bangunan merupakan treatment yang masih sangat diperlukan mengingat komponen selulosa masih menjadi material utama dalam bangunan. Secara alami materil selulosa tersebut merupakan sumber makanan serangga perusak bangunan seperti rayap tanah. Indonesia dengan iklim tropisnya menjadi habitat yang sangat cocok sebagai tempat perkembangbiakan rayap. Tak kurang 200 jenis rayap dikenal di Indonesia. Ditaksir kerugian ekonomis akibat serangan rayap mencapai 200 milyar/pertahun (Prasetiyo dan Yusuf, 2004).

Kegiatan proteksi bangunan terhadap serangan rayap salah satunya yang umum dilakukan yaitu soil treatment (perlakuan tanah). Dimana bahan termitisida diinjeksi ke area sekitar bangunan sehingga akan tercipta chemical barrier sehingga rayap tanah tidak bisa masuk ke dalam bangunan dan material selulosa dalam bangunan tersebut aman terhadap serangan rayap tanah dalam jangka waktu tertentu. Soil treatment masih umum digunakan mengingat kayu masih dipakai sebagai komponen utama bangunan. Dan kayu yang digunakan umumnya berkeawetan sedang sampai rendah. Hal ini karena

supply kayu berkeawetan tinggi dari hutan alam atau hutan rakyat sudah semakin langka dan harganya mahal. Pemanfaatan kayu berkeawetan rendah memiliki konsekuensi fatal yaitu rentah terhadap serangan rayap tanah.

(10)

dikhawatirkan bahan kimia tersebut dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan manusia. Sehingga perlu dicari alternatif bahan termitisida yang lebih ramah terhadap lingungan. Penelitian terhadap ekstrak bahan alam yang memiliki aktivitas termitisidal sedang gencar dilakukan sebagai upaya mensubstitusi bahan termitisida kimia dan mencari alternatif teknologi proteksi bangunan yang lebih aman terhadap manusia dan lingkungan. Beberapa bahan ekstrak yang telah diteliti sebagai soil treatment diantaranya ekstrak biji Bintaro (Cerbera manghas L) biji Pinang (Areca catechu L) dan daun Saga (Tarmadi et al. 2010). Kayu Bawang salah satu jenis tanaman yang banyak ditemui di Kalimantan. Menurut penelitian Sudrajat (2012), ekstrak kayu Bawang memiliki aktivitas yang tinggi terhadap rayap tanah Coptotermes curvignathus

dan memiliki peluang untuk dikembangan sebagai termitisida alami. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keampuhan ekstrak kayu Bawang pada perlakuan/peracunan tanah (soil treatment)

METODE PENELITIAN

1. Prosedur Ekstraksi

Kulit dan daun kayu Bawang yang diperoleh dari Kalimantan Timur terlebih dahulu dikeringkan dan dihaluskan menjadi serbuk dengan ukuran 40 mesh. Masing-masing serbuk kering seberat 150 g diekstrak dengan pelarut metanol dengan metode maserasi. Ekstrasi dilakukan selama empat kali untuk mendapatan larutan ekstrak maksimal. Larutan ekstrak kemudian dievaporator pada suhu 40 oC kemudian dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.

2. Prosedur pengujian

(11)

Gambar 1. Gelas uji penetrasi horisontal (sumber JWPA No. 13-1992)

3. Pengamatan dan Kriteria efikasi

Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 21 hari untuk mengetahui panjang penetrasi yang dilakukan oleh rayap. Persentase penetrasi rayap tanah terhadap panjang pasir contoh uji dihitung dengan rumus :

Persen Penetrasi = ( P / Po ) x 100%, dimana :

P = panjang penetrasi rayap pada tanah/pasir contoh uji (mm) Po = panjang tanah/pasir contoh uji (mm)

Kriteria efikasi contoh uji terhadap rayap pada perlakuan pasir dibuat berdasarkan kriteria keandalan seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Kriteria efikasi berdasarkan kepada panjang penetrasi rayap masuk ke dalam pasir yang telah diberi perlakuan bahan kimia. (Sumber : JWPA standard No. 13-1992)

Panjang Penetrasi (cm)

Skor Kriteria Keandalan

0,0 0 Sangat Tinggi

0,1 - 1,0 1 Tinggi

1,1 - 2,0 2 Sedang

2,1 - 3,0 3 Rendah

> 3,0 4 Tidak andal

HASIL DAN PEMBAHASAN

(12)

Panjang penetrasi dari ekstrak kasar kayu Bawang disajikan pada Tabel 2. Pada ekstrak kulit kayu Bawang dengan konsentrasi 2%, 4% dan 6%, rayap tanah

Coptotremes gestroi mampu menembus pasir perlakuan pada pengamatan hari kedua, sedangkan pada konsentrasi 8%, rayap hanya membutuhkan waktu selama enam hari untuk menembus pasir perlakuan. Hal senada terlihat pada ekstrak daun. Rayap mampu menembus pasir perlakuan dengan konsentrasi 2%, 4%, 6% dan 8% pada hari kedua pengamatan.

Tabel 2. Panjang penetrasi rayap pada pasir yang telah diberi perlakuan ekstrak kasar kulit dan daun kayu Bawang.

Karakteristik senyawa bioaktif yang terkandung di dalam ekstrak kayu Bawang tidak tergolong ke dalam racun kontak. Pada perlakuan/peracuanan tanah senyawa bioaktif yang sesuai yaitu yaitu memiliki karakteristik sebagai repelen atau racun kontak. Senyawa bioaktif tersebut menjadi hambatan (barrier) bagi rayap tanah

Coptotermes gestroi untuk menembus pasir. Senyawa bioaktif ini menyebabkan kematian pada rayap ketika melakukan aktivitas penetrasi. Senyawa bioaktif yang bersifat repelen akan memaksa rayap kembali ke salah satu botol H yang tidak ada makanan sehingga perlahan-lahan rayap akan mati. Kematian rayap tanah yang menjadi indikator penunjang keberhasilan pada peracunan tanah tidak menunjukkan hasil yang bagus (Tabel 3). Sampai dengan enam hari pengamatan, kematian rayap pada ekstrak kulit dan daun kayu Bawang, menunjukkan nilai yang sama dengan kontrol.

Tabel 3. Persentase mortalitas rayap sampai dengan 6 hari pengamatan

Jenis Bahan Ekstrak Konsentrasi (%) Mortalitas (%)

Kulit

8 51,33 72,67 100 100 100 100 100 100 100 100 100

2 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

4 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

6 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

8 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Kontrol 0 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

(13)

Dari Tabel 4 terlihat dengan jelas kriteria keandalan dari masing-masing jenis ekstrak dan konsentrasinya. Ekstrak kulit dan daun Bawang pada semua konsentrasi yang diuji tergolong ke dalam kriteria tidak andal. Hal ini menunjukkan bawak ekstrak kasar kulit dan daun kayu Bawang tidak dapat mencegah serangan rayap tanah, sehingga aktivitas termitisidalnya tidak cocok pada peracunan tanah.

Tabel 4. Kriteria keandalan ekstrak kulit dan daun kayu Bawang Jenis Bahan tergolong ke dalam kriteria keandalan tidak andal, sehingga aktivitas termitisidalnya tidak cocok pada perlakuan tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim . 1992. Japan Wood Preserving Asociation, Japan.

Prasetiyo, K.W. dan S. Yusuf. 2004. Mencegah dan Membasmi Rayap secara Ramah Lingkungan dan Kimia. Agro Media Pustaka. Jakarta.

Sudrajat. 2012. ISOLASI DAN IDENTIFIKASI SENYAWA BIOAKTIF ZAT EKSTRAKTIF TUMBUHAN KAYU BAWANG (Scorodocarpus borneensis

Becc) SEBAGAI TERMISIDA RAYAP TANAH Coptotermes curvignathus

Holmgren (Isoptera : Rhinotermitidae). Mulawarman Scientifie (11): 219-227. Tarmadi, D., M. Ismayati, K.H. Setiawan, S. Yusuf. 2011. Evaluasi Aktivitas Ekstrak

(14)

EFIKASI ASAM OLEAT HASIL ISOLASI DARI EKSTRAK BIJI BINTARO (CERBERA MANGHAS) TERHADAP RAYAP TANAH COPTOTERMES GESTROI WASMANN DAN RAYAP KAYU KERING CRYPTOTERMES

CYNOCEPHALUS LIGHT

Didi Tarmadi, Ikhsan Guswenrivo, Deni Zulfiana, Sulaeman Yusuf

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

e-mail: didi@biomaterial.lipi.go.id

ABSTRAK

Penelitian terhadap pemanfaatan ekstrak bahan alam sebagai biotermitisida semakin meningkat seiiring dengan dampak negatif termitisda konvensional terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light. Identifikasi asam oleat menggunakan Gas Chromatography (GC-MS) and Nuclear magnetic resonance spectroscopy (NMR). Dari hasil tahapan kromatografi kolom diperoleh 10 sub fraksi dan rendemen paling tinggi terdapat pada sub fraksi 3. Hasil analisis kandungan senyawa kimia pada sub fraksi 3 diketahui sebagai asam oleat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro memberikan pengaruh yang rendah terhadap tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Walaupun demikian asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.

Kata kunci: Cerbera manghas, Coptotermes gestroi, Cryptotermes cynocephalus

PENDAHULUAN

Rayap tanah khususnya Coptotermes gestroi merupakan hama pertanian dan perkebunan yang memiliki sebaran yang luas (Jenkins et al. 2007). Kerugian akibat serangan rayap tanah di Amerika Serikat mencapai US$5 juta pertahun (Peterson 2010). Penggunaan bahan-bahan kimia berbahaya tersebut secara luas untuk aplikasi pertanian maupun pemukiman, tentunya sangat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan(Wright et al. 1994). Pengendalian menggunakan insektisida konvensional telah menimbulkan masalah yaitu pengaruh terhadap lingkungan dan resistensi sehingga perlu dicari alternatif bahan yang lebih ramah lingkungan (Yoon et al. 2007). Salah satu alternatif pengendalian yaitu menggunakan ekstrak herbal dari tanaman obat tertentu (Promsiri et al. 2008). Tanaman memiliki potensi sebagai bahan alternatif pengendalian serangga karena didalamnya terkandung senyawa kimia yang bersifat bioaktif (Wink 1993).

(15)

masuk dalam kelas steroid sebagai cardiac glycoside yang bersifat antikanker (Wang et al. 2010; Zhao et al. 2011). Cerbera manghas bersifat toksik terhadap organisme hama seperti rayap tanah Coptotermes gestori (Tarmadi et al. 2010), hama tanamana perkebunan Eurema spp (Utami 2010), serangga hama gudang Sitophilus oryzae

(Tarmadi et al. 2013). Ekstrak metanol C. odollam menunjukkan aktivitas anti jamur yang tinggi terhadap Trametes versicolor, Pycnoporus sanguineus, dan Schizophyllum commune (Hashim et al. 2009).

Asam oleat merupakan asam lemak terbanyak penyusun trigliserida minyak biji Bintaro yaitu sebesar 36,46% (Endriana 2007). Asam lemak yang diisolasi dari biji Nimba memiliki bersifat toksik terhadap larva nyamuk Aedes aegypti dengan nilai LC50 = 78, 45 ppm. Asam oleat dapat menghambat pertumbuhan bakteri (Dilika et al. 2000). Menurut Rahuman et al. 2008, asam oleat dan asam oleic cukup mematikan terhadap larva Aedes aegypti L. (LC50 8.80, 18.20 and LC90 35.39, 96.33 ppm),

Anopheles stephensi Liston (LC50 9.79, 11.49 and LC90 37.42, 47.35 ppm), and Culex

quinquefasciatus Say (LC50 7.66, 27.24 and LC90 30.71, 70.38 ppm).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efikasi asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi Wasmann dan rayap kayu kering

Cryptotermes cynocephalus Light.

METODE PENELITIAN

Isolasi asam oleat

Sebanyak 2000 gram ekstrak kering biji bintaro diekstraksi menggunakan pelarut metanol dengan metode maserasi. 175 gram ekstrak kering hasil ekstraksi kemudian ditambahkan aquades sampai diperoleh 300 ml ekstrak. Ekstrak kemudian dimasukkan dalam corong pisah 1000 ml dan diekstraksi dengan pelarut berikutnya yaitu n-heksana sebanyak 300 ml (1:1). Ekstrak dalam corong pisah dikocok agar aquades dan n-heksana berinterksi lalu diamkan beberapa saat sampai ada pemisahan yang jelas antara kedua pelarut. Pada tahap ini diperoleh fraksi terlarut n-heksana dan tidak terlarutnya. Fraksi tidak terlarut diekstraksi kembali dengan pelarut berikutnya yaitu etil asetat. Tahap ini dilakukan beberapa kali sampai diperoleh ekstrak n-heksana dan etil asetat yang jernih. Larutan ekstrak hasil fraksinasi kemudian dievaporasi menggunakan rotavapor pada suhu 40 oC kemudian dikeringkan di atas waterbath untuk mendapatkan ekstrak kering.

(16)

Uji bioassay terhadap rayap tanah Coptotermes gestroi

Uji bioassay dilakukan dengan mengujikan larutan asam oleat yang telah ditentukan konsentrasinya yaitu 1%, 2%, 3%, 4% (w/v). Sebanyak 50 ekor rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit dari jenis Coptotermes gestroi serta paper disc (sebagai umpan) yang telah ditetesi larutan asam oleat dimasukkan bersama-sama ke dalam cawan petri yang telah dilapisi plaster paris setebal 3 mm. Sebelum diumpankan, paper disc yang telah ditetesi larutan asam oleat terlebih dahulu divaccum di desikator selama 6 jam untuk menghilangkan pelarut. Pada penelitian ini menggunakan metode umpan paksa (forced feeding test) rayap dipaksa memakan paper disc yang telah ditetesi oleh ekstrak. Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 14 hari. Data yang diamati yaitu persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat paper disc.

Uji bioassay terhadap rayap kayu kering Cryptotermes cynocephalus Light

Pengujian mengacu pada Standar Nasional Indonesia, SNI 01-7207-2006, dengan menggunakan metode forced-feeding test (metode umpan paksa). Larutan asam oleat dengan konsentrasi 1%, 2%, 3%, 4% (w/v) dilaburkan pada seluruh permukaan kayu karet (Hevea brasiliensis) dengan ukuran (5 x 2,5 x 2) cm. Kayu uji kemudian diangin-anginkan selama 15 hari pada suhu kamar sampai menjadi kering udara kembali. Pada salah satu sisi terlebar dari masing-masing kayu uji dipasangkan tabung gelas/pipa kaca berdiameter 1,8 cm dan tinggi 4 cm. Selanjutnya, 50 ekor kasta pekerja rayap kayu kering yang sehat dan aktif dimasukkan ke dalam tabung gelas tersebut. Lubang tabung gelas yang satu lagi disumbat dengan kapas (Gambar 2). Unit perlakuan yang sudah berisi rayap tersebut kemudian disimpan di tempat gelap. Pengamatan dilakukan setiap dua hari selama 14 hari. Data yang diamati yaitu persentase mortalitas rayap dan persentase kehilangan berat kayu uji.

Gambar 1. Skema uji pengujian rayap kayu kering

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi dan identifikasi asam oleat

(17)

lainnya masih mengandung beberapa senyawa. Selanjutnya dari sub fraksi 3 dilanjutkan analisis kandungan senyawa kimia menggunakan GC-MS dan NMR.

Tabel 1. Rendemen sub fraksi

Sub fraksi Rendemen (%)

fraksi 1 0,218

fraksi 2 0,389

fraksi 3 0,95

fraksi 4 0,301

fraksi 5 0,389

fraksi 6 0,212

fraksi 7 0,478

fraksi 8 0,376

fraksi 9 0,218

Fraksi 10 0,297

Berdasarkan hasil pengukuran spektrum 1H-NMR (CDCl3, 500 MHz),

H 0,88 (t, J = 7,2 Hz) merupakan gugus metil (-CH3), dan metilen (CH2 H 1,25-1,31 (24H, 12 x CH2, bs), 1,63 (2H, CH2, qintet, J = 7,1 Hz), 2,01 (bd, CH2, J = 5,4 Hz) dan 2,34 (CH2, t, J =

H 5,35 (m, J = 3,9 Hz). Berdasarkan hasil ini diduga merupakan asam oleat, dengan rumus molekul C18H34O2 (BM 282,46).

Gambar 2. Spektrum 1H-NMR

-CH

3

14 x

CH

2

CH

2

CH

2

CH

2

(18)

O

OH

oleic acid

Gambar 3. Struktur Molekul Asam oleat

Dugaan tersebut diperkuat dengan hasil pengukuran 13C-NMR terlihat adanya

C 180,54 (- C 130,21 dan

C 14,30 (CH3) dan gugus metilen (CH2) pada dC antara 22,88; 24,87; 29,26-29,88 dan 32,13.

Gambar 4. Spektrum 13C-NMR

Disamping itu bila dibandingkan data spektrum asam oleat hasil presiksi, menunjukkan adanya kesamaan/kemiripan nilai geseran kimianya maka dapat disimpulkan bahwa senyawa tersebut adalah asam oleat.

Hasil uji bioassay efikasi asam oleat terhadap rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus

Tabel 2 menunjukkan tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi setelah memakan paper disc yang ditetesi larutan asam oleat dengan variasi konsentrasi yang diuji. Dari Tabel 2 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi memberikan pengaruh terhadap mortalitas rayap tanah . Semakin tinggi konsentrasi maka semakin tinggi

(19)

mortalitas rayap tanah C. gestroi. Pada konsentrasi tertinggi (4 %) memberikan tingkat mortalitas sebesar 33 % sampai dengan akhir pengamatan, sedangkan pada konsentrasi 1%, 2% dan 3% hanya menyebabkan tingkat mortalitas dibawah 30%. Pada perlakukan kontrol, tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi sebesar 19,33% sampai dengan akhir pengamatan. Hal ini mengindikasikan bahwa, asam oleat memberikan pengaruh yang rendah terhadap mortalitas rayap tanah C. gestroi.

Tabel 2. Mortalitas rayap tanah C. gestroi selama 14 hari pengamatan

Tabel 3 menunjukkan tingkat mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus

setelah terpapar asam oleat dengan variasi konsentrasi yang diuji. Dari Tabel 3 terlihat bahwa pada konsentrasi terbesar yaitu 4% hanya memberikan persentase tingkat mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus sebesar 15,33 %. Pada konsentrasi 1%, 2% dan 3%, menyebabkan tingkat mortalitas dibawah 15%. Hal ini mengindikasikan bahwa asam oleat memberikan pengaruh yang rendah terhadap mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus.

Tabel 3. Mortalitas rayap kayu kering C. cynocephalus selama 14 hari pengamatan

Tabel 4. Persentase penuruan berat sampel uji selama 14 hari pengujian

Concentration

Weight loss (%)

Subterranean termite Dry wood termite C. cynocephalus

Methanol solvent 5,33± 1,15 9,33±1,15 13,33±3,06 16,00±0,00 18,00±2,00 18,00±2,00 18,00±2,00 Untreated 6,67±1,15 10,00±2,00 14,67±1,15 17,33±1,15 18,67±2,31 19,33±1,15 19,33±1,15 1 6,67±1,15 10,67±1,15 14,00±2,00 18,00±2,00 18,67±1,15 19,33±1,15 20,00±0,00 2 6,67±1,15 11,33±1,15 15,33±3,06 18,67±1,15 19,33±1,15 20,67±2,31 21,33±1,15 3 8,00±2,00 13,33±1,15 19,33±1,15 21,33±1,15 24,67±1,15 26,00±0,00 30,00±2,00 4 9,33±1,15 19,33±1,15 21,33±1,15 24,67±2,31 27,33±2,31 30,67±1,15 33,33±1,15 Concentration

(% )

Daily Termite Mortality Percentage (Mean±Sdev)

2 4 6 8 10 12 14

Methanol solvent 1,33±1,15 2,67±1,15 5,33±1,15 6,67±2,31 9,33±2,31 10,00±2,00 10,67±1,15 Untreated 0,67±1,15 1,33±1,15 3,33±1,15 4,67±1,15 6,67±1,15 8,00±0,00 8,67±1,15 1 0,67±1,15 0,67±1,15 2,00±2,00 4,00±2,00 7,33±1,15 8,67±1,15 10,00±0,00 2 0,67±1,15 1,33±1,15 2,00±0,00 4,67±1,15 8,00±2,00 10,67±1.15 11,33±1.15 3 1,33±1,15 2,67±1,15 4,00±0,00 5,33±1,15 8,67±3,06 11,33±1,15 12,67±1,15 4 2,00±0,00 3,33±1,15 5,33±1,15 7,33±1,15 8,67±1,15 13,33±1,15 15,33±1,15 Concentration

(% )

(20)

Tingkat konsumsi rayap terhadap sampel uji menjadi salah satu parameter yang diamati dalam penelitian ini. Besarnya tingkat konsumsi rayap terhadap paper disc dan kayu yang telah diberi perlakuan asam oleat dinyatakan dalam persentase penurunan berat. Persentase penurunan berat menjadi indikator yang sangat penting karena berpengaruh terhadap efektivitas asam oleat terhadap rayap tanah C. gestroi daan C. cynocephalus. Penurunan berat paper disc akibat peningkatan konsentrasi ekstrak menunjukkan penambahan ekstrak memberikan peningkatan ketahanan paper disc

terhadap serangan rayap (Fallah 2005). Tabel 4 menunjukkan persentase penurunan berat sampel uji yang telah diberi perlakuan asam oleat kemudian diumpankan terhadap rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Dari Tabel 4 terlihat bahwa terdapat kecendrungan penuruan persentase penurunan berat paper sampel uji seiring dengan peningkatan konsentrasi baik pada uji terhadap rayap tanah C. gestroi

maupun rayap kayu kering C. cynocephalus. Jika dibandingkan dengan kontrol, pemberian perlakukan asam oleat memberikan pengaruh terhadap penurunan persentase penurunan berat. Walaupun pengaruhnya tidak terlalu signifikan tetapi dapat diasumsikan bahwa asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.

KESIMPULAN

Asam oleat yang diisolasi dari biji Bintaro memberikan pengaruh yang rendah terhadap tingkat mortalitas rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus. Walaupun demikian asam oleat dapat meningkatkan ketahanan terhadap serangan rayap tanah C. gestroi dan rayap kayu kering C. cynocephalus.

DAFTAR PUSTAKA

Chang LC, Joell JG, Krishna PL, Lumonadio L, Norman RF, John MP, A. Douglas K. 2000. Activity-Guided Isolation of Constituents of Cerbera manghas with Antiproliferative and Antiestrogenic Activities. Bioorganic & Medicinal Chemistry Letters. 10 2431-2434

Endriana D. 2007. Sintesis Biodiesel (metil ester) dari Minyak Biji Bintaro (Cerbera manghas ) Hasil Ekstraksi. Kimia MIPA-UI, depok.

Falah, S., T. Katayama, Mulyaningrum. 2005. Utilization of Bark Extractives from Some Tropical Hardwoods as Natural Wood Preservatives: Termitidial Activities of Extractives from Barks of Some Tropical Hardwoods. Proceeding of the 6th International Wood Science Symposium. Bali, August,29-31. pp. 323-328 Gillard Y, Ananthasankaran, K Fabien B. 2004. Cerbera odollam: a ‘suicide tree’ and

cause of death in the state of Kerala, India. J. Ethnopharmacology .95 123–126 Hashim R, Boon JG, Sulaiman O, Kawamura F, Lee CY. 2009. Evaluation of the

decay resistance properties of Cerbera odollam extracts and their influence on properties of particleboard. International Biodeterioration & Biodegradation 63: 1013–1017

(21)

Peterson C. Considerations of Soil-Applied Insecticides for Termite Control. Outlooks Pest. Manag. 2010; 21: 89 93.

Promsiri S, Amara N, Maleeya K, Usavadee T. 2006. Evaluations of larvicidal activity of medicinal plant extractsto Aedes aegypti (Diptera: Culicidae) and other effects ona non target fish. Insect Science. 13: 179-188.

Tarmadi D, M. ismayati, KH. Setiawan, S. Yusuf. 2010. Antitermite activitiy of

Carbera manghas L seeds extracts. Proceeding of The 7th Pacific Rim Termite Research Group. Singapura, 1-2 Maret 2010.

Tarmadi D, Guswenrivo I, Prianto AH, Yusuf S. 2013. The effect of Cerbera manghas

(Apocynaceae) Seed Extract against Storage Product Pest Sitophilus oryzae

(Coleoptera: Curculionidae). Proceeding of The 2th International Symposium of Sustainable Humanosphere. Bandung, 29 August 2012.

Utami S. 2010. Aktivitas Insektisida Bintaro (Cerbera odollam Gaertn) Terhadap Hama

Eurema spp. Pada Skala Laboratorium. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman 7: 211-220.

Wang GF, Yue WG, Bo F, Liang L, Cai GH, Bing HJ. 2010. Tanghinigenin from seeds of Cerbera manghas L. induces apoptosis in human promyelocytic leukemia HL-60 cells. Environmental Toxicology and Pharmacology. 30 31–36

Wink, M., 1993. Production and application of phytochemicals from an agricultural perspective. In: van Beek, T.A., Breteler, H. (Eds.), Phytochemistry and Agriculture, Vol. 34. Clarendon, Oxford, UK, pp. 171–213

Wright, C.G., R.B. Leidy and H.E. Dupree, Jr. 1994. Chlorpyrifos in the air and soil of houses eight years after its application for termite control. Bull. Environ. Contam. Toxicol. 52(1):131-134

Yoon C, SH. Kang, SA. Jang, YJ. Kim, GH. Kim. 2007. Reppelent efficacy of Caraway and Grapefruit Oils for Sitphilus oryzae (Colepotera: Curculionidae). Journal of Asia-Pacific Entomol. 10(3): 263-267

Zhao Q, Yuewei G, Bo F, Liang L, Caiguo H, Binghua J. 2011. Neriifolin from seeds of

(22)

PRETREATMENT NaOH DAN HIDROLISIS ENZIMATIS PADA AMPAS TEBU

Triyani Fajriutami*, Widya Fatriasari, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis Hermiati

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

*Email: triyani@biomaterial.lipi.go.id

ABSTRAK

Bioetanol dari biomassa lignoselulosa yang merupakan bioetanol generasi kedua masih terus dikembangkan dan diteliti secara mendalam. Kandungan serat yang tinggi dan ketersediaan limbah ampas tebu yang besar menjadikan alternatif pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol cukup strategis dan menjanjikan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment

NaOH encer pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol. Hasil pretreatment dengan NaOH dan waktu pemanasan pada ampas tebu mempengaruhi kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan ligninnya. Pada penelitian ini, pretreatment NaOH 1% dengan lama pemanasan 60 menit di suhu 121°C dilanjutkan hidrolisis selulase 10 FPU/g menghasilkan gula pereduksi sebanyak 33.97 g/100 g ampas tebu atau sekitar 43% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu.

Kata kunci: Ampas tebu, pretreatment NaOH, gula pereduksi, hidrolisis enzim

PENDAHULUAN

Salah satu penelitian bioenergi yang ditekuni saat ini adalah bioetanol dari biomassa lignoselulosa yang merupakan bioetanol generasi kedua. Generasi pertama bioetanol bersumber dari pati yang umumnya merupakan bahan pangan bagi penduduk dunia. Generasi pertama tersebut menciptakan beberapa masalah, diantaranya terganggunya ketersediaan pangan dan kenaikan harga pangan dunia. Oleh karena itu, dikembangkan penelitian untuk mengkonversi bahan lain selain pangan, misalnya lignoselulosa, menjadi bioetanol. Di dalam penerapan transportasi, bahan bakar etanol yang terbuat dari bahan lignoselulosa mengurangi 91% emisi gas rumah kaca dibandingkan bahan bakar fosil, sedangkan bahan bakar etanol yang terbuat dari pati jagung hanya mengurangi 22% emisi gas rumah kaca (Menon and Rao, 2012).

(23)

Proses konversi bahan lignoselulosa menjadi bioetanol memerlukan beberapa tahap, yaitu pretreatment, hidrolisis selulosa menjadi gula sederhana dan fermentasi gula sederhana menjadi etanol. Pretreatment bertujuan untuk menghilangkan lignin, mengurangi kristalinitas selulosa, dan meningkatkan porositas bahan. Tahap ini dinilai sebagai tahap yang paling mahal. Oleh karena itu, pretreatment merupakan tantangan utama dalam proses konversi lignoselulosa menjadi bioetanol (Hermiati et al., 2010). Karena beragamnya bahan lignoselulosa, penelitian proses pretreatment masih terbuka lebar. Pretreatment dapat dilakukan secara mekanik, kimia, biologi, dan kombinasi dari cara tersebut (Sun and Cheng, 2002).

Penelitian kali ini menggunakan larutan NaOH yang menurut penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang cukup baik. Sudiyani et al., (2010) melaporkan bahwa pretreatment alkali (NaOH 1N) pada tandan kosong kelapa sawit lebih mampu menghilangkan lignin dibandingkan dengan asam dan persen kehilangan lignin yang optimal adalah 45,8%. Nlewem and Thrash Jr. (2010) membandingkan pretreatment

terhadap switchgrass dengan 0,5-10% NaOH, 80-90°C, 1 jam; asam sulfat 0,5-6%, 121°C, 1 jam; dan air panas 100°C, 1 jam. Hasilnya adalah konsentrasi gula lebih tinggi diperoleh pada pretreatment NaOH 0.5% dibandingkan dengan lainnya. McIntosh and

Vancov (2011) melaporkan bahwa kisaran delignifikasi jerami gandum sebesar 33-72% pada suhu 121°C dengan menggunakan konsentrasi 0,75-2% NaOH.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment NaOH encer pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol.

BAHAN DAN METODE

Persiapan Bahan Baku

Ampas tebu diperoleh dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat yang kemudian dikeringkan, digiling, dan disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Sebelum digunakan untuk proses selanjutnya, ampas tebu tersebut disimpan dalam wadah yang tertutup rapat.

Pretreatment

Larutan NaOH dipersiapkan dengan variasi konsentrasi 1%, 2% dan 3% (b/v). Selanjutnya 10 gram ampas tebu yang sudah diketahui kadar airnya dimasukkan dalam labu erlenmeyer volume 250 ml dan ditambahkan 150 ml larutan NaOH atau 150 ml air suling sebagai pembanding. Kemudian labu tersebut dipanaskan selama 30, 60, dan 90 menit dalam pemanas bertekanan (autoclave) pada suhu 121°C. Setelah pemanasan selesai, sampel disaring untuk memisahkan pulp ampas tebu dengan limbah cairnya. Pulp ampas tebu dibilas beberapa kali dengan air suling untuk menetralkan pH-nya. Sebagian pulp ampas tebu yang sudah netral dikeringkan di oven 60°C selama 3 hari, dan sebagian lainnya tetap disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan untuk proses hidrolisis enzimatis.

Hidrolisis enzimatis

(24)

Proses hidrolisis dilakukan terhadap ampas tebu setelah proses pretreatment

NaOH. Sebanyak 0.1 g pulp ampas tebu (berat kering) ditimbang dalam botol vial volume 20 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 ml larutan sodium azide 20 mg/ml. Setelah itu, ditambahkan larutan stok enzim selulase 0.5 ml (untuk konsentrasi enzim 10 FPU/g) atau 1 ml (untuk konsentrasi enzim 20 FPU/g). Larutan buffer sodium sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total campuran mencapai 10 g. Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer (tanpa substrat dan tanpa penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa substrat). Proses hidrolisis dilakukan dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C selama 48 jam. Posisi vial diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak substrat dengan enzim.

Analisa

Ampas tebu sebelum pretreatment dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar abu, kadar ekstraktif, kadar lignin, kadar hemiselulosa dan kadar alfaselulosa. Struktur sel ampas tebu dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dengan perbesaran 2000 kali (15kV, WD 11 mm). Analisa gugus fungsi ampas tebu dilakukan dengan Fourier Transform Infrared (FTIR) Spectometric. Sebanyak 4 mg serbuk ampas tebu dicampur dengan 200 mg KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi tekanan 5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1 dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-500 cm-1.

Pulp ampas tebu setelah pretreatment yang sudah dikeringkan di oven 60°C dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar ekstraktif, dan kadar ligninnya. Kemudian dilakukan penghitungan kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin. Analisa SEM dan FTIR dilakukan terhadap pulp ampas tebu setelah

pretreatment yang dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer).

Filtrat hasil hidrolisis enzimatis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode Nelson-Somogyi. Gula pereduksi substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula pereduksi pada kontrol buffer dan kontrol enzim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen kimia ampas tebu sebelum proses pretreatment dapat dilihat pada Tabel 1. Komponen terbesar pada ampas tebu adalah alfaselulosa, yaitu 41.35%. Alfaselulosa merupakan polimer glukosa yang menjadikan ampas tebu berpotensi besar sebagai sumber gula untuk produksi bioetanol. Namun, untuk memaksimalkan produksi gula pada bahan lignoselulosa seperti ampas tebu, diperlukan proses penghilangan lignin atau delignifikasi terlebih dahulu.

Tabel 1. Komponen kimia ampas tebu sebelum pretreatment

No Komponen Persentase (% berat kering)

1 Alfaselulosa 41.35

2 Hemiselulosa 31.11

3 Lignin 20.16

4 Ekstraktif 8.73

(25)

Pada penelitian ini, setelah ampas tebu diberi perlakuan NaOH, kehilangan lignin dan kehilangan ekstraktif dihitung berdasarkan kehilangan berat rata-rata ampas tebu. Gambar 1 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan terhadap kehilangan berat ampas tebu. Konsentrasi NaOH berpengaruh terhadap kehilangan berat ampas tebu (p<0.05). Penggunaan larutan NaOH 1% sebagai pengganti air mengurangi berat ampas tebu sebanyak 10-20 kali lipat pada proses

pretreatment. Berdasarkan perhitungan uji lanjut, pengaruh konsentrasi NaOH yang menghasilkan perbedaan nyata kehilangan berat ampas tebu tersebut hanya terjadi antara konsentrasi 1% NaOH dan 3% NaOH.

Salah satu yang mengurangi berat ampas tebu adalah kehilangan ekstraktif. Gambar 2 memperlihatkan kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah proses

pretreatment. Kehilangan ekstraktif ini dipengaruhi oleh penggunaan NaOH (p<0.05). Pelarut NaOH dengan konsentrasi sama dengan atau lebih dari 2% mampu mengurangi kandungan ekstraktif lebih banyak dibandingkan dengan pelarut air. Namun kehilangan ekstraktif tidak berbeda nyata hanya dengan menaikkan konsentrasi NaOH sampai dengan 3%.

Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Gambar 2. Kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C

(26)

Kehilangan lignin merupakan salah satu indikator terpenting dalam penilaian efektifitas sebuah metode pretreatment. Gambar 3 memperlihatkan pengaruh konsentrasi larutan NaOH dan waktu pemanasan terhadap kehilangan lignin ampas tebu. Kehilangan lignin sangat dipengaruhi oleh penggunaan NaOH dibandingkan air (p<0.05). Semakin besar konsentrasi NaOH yang digunakan, semakin banyak kehilangan lignin ampas tebu.

Analisa SEM dilakukan pada ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment

dengan air dan NaOH 3%. Ampas tebu awal terlihat permukaannya sedikit terkoyak akibat proses penggilingan (Gambar 4a). Namun lignin masih berikatan dengan karbohidrat sehingga serat ampas tebu masih dominan terlihat rata. Kemudian serat ampas tebu memperlihatkan pola yang berbeda setelah diberi perlakuan dengan air dan NaOH. Dengan menggunakan pelarut air, serat ampas tebu hanya menerima perlakuan fisik, oleh karena itu permukaan ampas tebu yang makin terkoyak dan pecah (Gambar 4b). Sedangkan pretreatment NaOH memperlihatkan bahwa kerusakan serat ampas tebu dimulai dari permukaan ke dalam sehingga diharapkan ikatan struktur lignoselulosa mulai terbuka dan menyediakan permukaan yang semakin luas untuk reaksi hidrolisis enzimatis berikutnya (Gambar 4c).

Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan NaOH dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C

(27)

Tabel 2. Lateral order indeks (LOI) ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment

A1427 (kristalin) A897 (amorf) LOI

Ampas tebu awal 0.640 0.350 1.829

Ampas tebu pretreatment air 1.020 0.920 1.109

Ampas tebu pretreatment NaOH 1.070 0.880 1.216

Perubahan struktur ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment juga dianalisa dengan FTIR. Lateral Order Index (LOI) merupakan rasio antara jumlah selulosa kristalin dan amorf yang merupakan sifat terpenting pada lignoselulosa yang menyebabkan serat selulosa resisten terhadap enzim selulosa. Nilai LOI ini sebagai pendekatan sifat kristalinitas selulosa. Tabel 2 memperlihatkan terjadinya penurunan LOI setelah ampas tebu diberi perlakuan dengan air dan NaOH pada suhu 121°C. Hal ini mungkin disebabkan oleh terjadinya perusakan daerah kristalin selulosa serta pembesaran rasio pori-pori dan bagian dalam daerah permukaan, dimana akan memperbaiki digestibilitas enzim dalam proses hidrolisis. Penurunan LOI pada

pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan pretreatment NaOH (33.51%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda dimana pretreatment

dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa dibandingkan dengan NaOH. Hal ini karena pretreatment NaOH lebih menyerang polimer lignin.

Umumnya, bilangan gelombang 1509, 1464 dan 1422 cm-1 pada spektrum FTIR identik dengan struktur lignin (Sun et al., 2003). Gambar 5a menunjukkan spektrum FTIR ampas tebu awal. Sedangkan Gambar 5b dan Gambar 5c menunjukkan spektrum FTIR setelah pretreatment air dan NaOH 3% secara berurutan. Berdasarkan spektrum FTIR tersebut tampak jelas bahwa karakteristik puncak lignin dapat ditemukan di sampel tanpa dan dengan perlakuan pada bilangan gelombang 1250 cm-1 (11) untuk unit guaiasil dan 1327 cm-1 (10) untuk unit siringil. Tabel 3 menunjukkan bahwa rasio siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan perlakuan NaOH lebih besar dibandingkan dengan perlakuan air. Hal ini mengindikasikan bahwa perlakuan NaOH meningkatkan laju delignifikasi pada ampas tebu.

Tabel 3. Rasio siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan pretreatment NaOH dan air Unit Propana

Lignin

Tinggi puncak

Ampas tebu awal Ampas tebu-NaOH Ampas tebu-Air

Siringil (10) 0.70 1.15 1.20

Guaiasil (11) 0.78 1.03 1.29

(28)

Gambar 5. Spektrum FTIR pada ampas tebu: (a) sebelum pretreatment; (b) setelah

pretreatment dengan air pada suhu 121°C; (c) setelah pretreatment dengan NaOH 3% pada suhu 121°C

Gugus fungsional yang teridentifikasi pada ampas tebu sebelum dan sesudah

pretreatment dapat dilihat pada Tabel 4. Tampak bahwa pretreatment NaOH dan air menyebabkan kehilangan beberapa gugus fungsional. Selain itu terjadi perbedaan intensitas pada masing-masing gugus fungsional yang teridentifikasi. Pretreatment

dengan NaOH dan air menyebabkan peningkatan absorbansi dan luas area dan lebar puncak pada bilangan gelombang 3410 cm-1 yang berkaitan dengan regangan dari gugus OH. Hal ini mengindikasikan pelemahan ikatan intra dan intermolekul pada gugus OH dan menurunnya kristalinitas (Goshadrou et al., 2011). Pretreatment NaOH menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada hemiselulosa, sedangkan

pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa.

(29)

Tabel 4. Karakterisasi bilangan gelombang FTIR pada ampas tebu

Gambar 6. Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 10 FPU/g selama 48 jam pada suhu 50°C

Raw Water NaOH

1 3410 3410 3410 O-H (H-bonded) stretching; Vibration,O(3)H---O(3)

intermolecular in cellulose

Pandey and Pitman, 2003; Isroi et al 2012; Lai and Idris et al 2013; Nomanbhay et al. 2013; Corrales et al 2012

2 2916 2901 2901 C-H alifatic axial deformation Corrales et al. 2012

C-H stretching in methyl and metylene group Nomanbhay et al. 2013

3 1728 1728 - Unconjugated C=O in xylans (hemicellulose) Pandey and Pitman, 2003

4 1659 1651 1636 C=O,C=C, Absorbed O-H and conjugated C=O Lai and Idris 2013

Conjugated p-substituted aryl ketone in lignin Isroi et al. 2012

5 1605 - - C-Ph vibration Carroles et al. 2012

6 - 1597 - Aromatic skeletal vibration in lignin plus C=O stretch Pandey and Pitman 2003;Nomanbhay et al. 2013

S > G; G condensed > G etherified Isroi et al. 2012

7 1443 1443 - C=O (in ring) 2 bands Lai and Idris 2013

8 - - 1435 C-H alifatik angular deformation,, C-H deformation in

lignin and carbohydrate

Corrales et al 2012; Pandey and Pitman 2003; Lai and Idris 2013

9 1381 - 1373 C-H deformation in cellulose and hemicellulose Lai and Idris 2013; Pandey and Pitman, 2003

10 1327 1327 1327 C-H vibration in cellulose Pandey and Pitman, 2003

C1-O vibration in syringyl derivates Lai and Idris 2013

11 1250 1250 1257 C-O of guaiacyl units and C-O strech in lignin and xylan Pandey and Pitman, 2003; He et al. 2008

C-O stretching of phenol Corrales et al. 2012

12 1165 1165 1165 O-H stretching of secondary alcohol; Corrales et al. 2012

O-C vibration in anomeric regions of hemicellulose,

C-C plus C-C-O plus He et al. 2012; Isroi et al. 2012

13 1111 1111 1111 C-O-C stretching , β-xylan Corrales et al. 2012; He et al. 2008

14 1041 1041 1034 C-O stretch in cellulose and hemicellulose Pandey and Pitman, 2003

15 903 903 895 C-H deformation in cellulose o β-glicosidic linkages

between the sugar units

Nelson and O'Connor,1964; Pandey and Pitman 2003

(30)

Gambar 7. Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 20 FPU/g selama 48 jam pada suhu 50°C

Perubahan signifikan jumlah rendemen gula pereduksi berlaku jika membandingkan pelarut yang digunakan, yaitu air dan NaOH (p<0.05). Delignifikasi ampas tebu oleh NaOH yang menghasilkan kehilangan lignin 63-78% diikuti proses hidrolisis enzim selulase menghasilkan rendemen gula pereduksi 28-39 g/100 g ampas tebu kering. Sedangkan delignifikasi oleh air yang menghasilkan kehilangan lignin 0.1-4% menghasilkan rendemen gula pereduksi yang juga rendah, yaitu 2-3 g/100 g ampas tebu kering.

Secara teori, konversi ampas tebu menjadi gula pereduksi dengan 100% derajat hidrolisis dapat menghasilkan sekitar 80 g gula pereduksi/100 g ampas tebu kering. Oleh karena itu, pretreatment NaOH encer pada penelitian kali ini menghasilkan sekitar 31-50% gula pereduksi dari penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu.

KESIMPULAN

Penggunaan larutan NaOH dan lama pemanasan berpengaruh terhadap kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin pada proses pretreatment

ampas tebu. Namun, untuk mengefisienkan proses pretreatment, cukup menggunakan NaOH 1% dan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C.

Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan

pretreatment NaOH (33.51%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda dimana pretreatment dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa dibandingkan dengan NaOH. Sedangkan pretreatment NaOH lebih menyerang polimer lignin dibandingkan dengan selulosa. Rasio siringil/ guaiasil pada ampas tebu dengan perlakuan NaOH lebih besar dibandingkan dengan perlakuan air yang menunjukkan bahwa perlakuan NaOH meningkatkan laju delignifikasi pada ampas tebu. Pretreatment NaOH menyebabkan terjadinya kehilangan gugus fungsi C=O pada hemiselulosa, sedangkan pretreatment dengan air berpengaruh terhadap kehilangan gugus fungsi C-H pada selulosa dan hemiselulosa.

(31)

penghitungan teori jumlah maksimal gula pereduksi yang dapat dikonversi dari ampas tebu.

SARAN

Untuk meningkatkan rendemen gula pereduksi, penelitian lebih lanjut dapat diutamakan pada proses hidrolisis ampas tebu setelah pretreatment NaOH, misalnya dengan optimalisasi kondisi hidrolisis. Untuk mendukung data pretreatment NaOH perlu dilakukan analisa lebih lengkap tentang kehilangan selulosa dan hemiselulosa.

UCAPAN TERIMA KASIH chemical and FTIR analysis. BioResources 8(1): 371-382.

Corrales, R.C.N.R., F.M.T. Mendes, C.C. Perrone, C. Santana, W. de Souza, Y. Abud, E. da Silva Bon and V. Ferreira-Leitao. 2012. Structural evaluation of sugar cane bagasse steam pretreated in presence of CO2 and SO2. Biotechnology for Biofuel 5(36): 1-8.

Goshadrou, A., K. Karimi, and M.J. Taherzadeh. 2011. Improvement of sweet sorghum bagasse hydrolysis by alkali and acidic pretreatment. Wood Renewable Energy Congress 374-380, 8-13 May 2011, Linkoping Sweden.

Hambali, E., S. Mudjalipah, A.H. Tambunan, A.W. Pattiwiri, dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi: Biodiesel, Bioetanol, Biogas, Pure Plant Oil, Biobriket, dan Bio-Oil. PT AgroMedia Pustaka, Jakarta.

He, Y., Y. Pang, Y. Liu, X. Li, and K. Wang. 2008. Physicochemical characterization of rice straw pretreated with sodium hydroxide in the solid state for enhancing biogas production. Energy and Fuel 22(4): 2775–2781.

Hermiati, E, D. Mangunwidjaja, T.C. Sunarti, O. Suparno, dan B. Prasetya. 2010. Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian 29(4): 121-130.

Isroi, M.M. Ishola, R. Milati, S. Syamsiah, M.N. Cahyanto, C. Niklason and M.J. Taherzadeh. 2012. Structural changes of oil palm empty fruit bunch (OPEFB) after fungal and phosporic acid pretreatment. Molecules 17: 14995-15012. Lai, Long-Wee and A. Idris. 2013. Disruption of oil palm trunks and fronds by

microwave-alkali pretreatment. BioResources 8(2): 2792-2804.

McIntosh, S. and T. Vancov. 2011. Optimisation of dilute alkaline pretreatment for enzymatic saccharification of wheat straw. Biomass and Bioenergy 35: 3094-3103.

(32)

Nelson, M.L., andR.T. O’Connor. 1964. Relation of certain infrared bands to cellulose crystallinity and crystal lattice type. Part II a new infrared ratio for estimation of crystallinity in cellululoses I and II. J.Appl.Polym.Sci 8: 1325-1341.

Nlewem, K.C. and M.E. Thrash Jr. 2010. Comparison of different pretreatment methods based on residual lignin effect on the enzymatic hydrolysis of switchgrass. Bioresource Technology 101: 5426–5430.

Nomanbhay, S.M., R. Hussain, and K. Palanisamy. 2013. Microwave-assisted alkaline pretreatment and microwave assisted enzymatic saccarification of oil palm empty fruit bunch fiber for enhanced fermentable sugar yield. Journal of Sustainable Bioenergy System 3: 7-17.

Pandey, K.K. and A.J. Pitman. 2003. FTIR studies of the changes in wood chemistry following decay by brown-rot and white-rot fungi. International Biodeterioration and Biodegradation 52: 51-160.

Sudiyani, Y., K.C. Sembiring, H. Hendarsyah dan S. Alawiyah. 2010. Pengolahan awal dengan basa NaOH dan sakarifikasi enzimatis serat tandan kosong kelapa sawit (TKKS) untuk produksi etanol. Menara Perkebunan 78(2): 73-77.

Sun, Y. and J. Cheng. 2002. Hydrolysis of lignocellulosic materials for ethanol production: a review. Bioresource Technology 83: 1–11.

(33)

PENGARUH PRETREATMENT Ca(OH)2 DAN HIDROLISIS ENZIMATIS TERHADAP PRODUKSI GULA PEREDUKSI PADA AMPAS TEBU

Triyani Fajriutami*, Widya Fatriasari, Raden Permana Budi Laksana, dan Euis Hermiati

UPT. Balai Penelitian dan Pengembangan Biomaterial LIPI Jl. Raya Bogor Km. 46, Cibinong-Bogor 16911

*Email: triyani@biomaterial.lipi.go.id

ABSTRAK

Harga bioetanol yang masih mahal menjadi permasalahan utama saat ini. Untuk skala besar produksi bioetanol, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih disukai oleh industri. Ampas tebu merupakan limbah lignoselulosa yang sangat potensial sebagai bahan baku bietanol yang berkelanjutan di dunia. Penelitian ini menggunakan Ca(OH)2 karena keuntungannya adalah tidak mahal dan aman untuk digunakan. Pretreatment Ca(OH)2 dengan konsentrasi 0.2 g/g ampas tebu dengan waktu pemanasan 60 menit pada suhu 121°C untuk dilanjutkan dengan hidrolisis enzim selulase selama 48 jam pada suhu 50°C menghasilkan gula pereduksi sebanyak 25.12 g/100 g ampas tebu yang setara dengan 31.4% dari penghitungan teori gula pereduksi maksimal dari ampas tebu.

Kata kunci: Ampas tebu, pretreatment Ca(OH)2, gula pereduksi, hidrolisis enzim

PENDAHULUAN

Solusi untuk menghadapi kelangkaan energi fosil pada masa mendatang adalah pengembangan bioenergi. Kebijakan Energi Nasional (KEN) 2012-2050 menetapkan bahwa peran energi baru dan terbarukan tahun 2025 minimal 25% dan tahun 2050 minimal 40%. Sedangkan peranan minyak bumi akan dikurangi menjadi kurang dari 25% di tahun 2025 dan kurang dari 20% di tahun 2050 (ESDM, 2012).

Harga bioetanol yang masih mahal menjadi permasalahan utama saat ini. Untuk skala besar produksi bioetanol, bahan baku yang melimpah dan murah akan lebih disukai oleh industri. Biomassa lignoselulosa dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku untuk produksi bioetanol. Ketika menggunakan pati atau molase, bahan baku tersebut menghabiskan sekitar 40-70% biaya produksi (Dalgaard et al., 2006; Sendelius, 2005; Quintero et al., 2008). Limbah industri pertanian, dalam penelitian ini adalah ampas tebu, diharapkan mampu menjadi salah satu bahan baku yang melimpah dan murah sehingga dapat mengurangi biaya produksi bioetanol.

(34)

data P3GI tersebut, dilakukan perhitungan mengikuti metoda Badger dengan asumsi ampas tebu kering 10% dari tebu giling, kadar selulosa (glukan) dan hemiselulosa (xilan) ampas tebu masing-masing 40% dan 20%, efisiensi sakarifikasi glukan dan xilan masing 76% dan 90%, serta efisiensi fermentasi glukosa dan xilosa masing-masing 75% dan 50%. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa potensi etanol yang dapat dihasilkan berkisar 467-112.552 kL/tahun dan potensi total untuk seluruh Indonesia adalah 614.827 kL/tahun (Hermiati et al., 2010).

Pretreatment Ca(OH)2 merupakan metode kimia dan seperti perlakuan alkali lainnya, efek pretreatment ini adalah menghilangkan lignin. Selain itu, grup asetil dihilangkan yang akan meningkatkan digestibilitas dan menghilangkan inhibitor komponen dalam fermentasi etanol. Pretreatment Ca(OH)2 menawarkan tiga keuntungan dibanding pretreatment lainnya, yaitu tidak banyak mendegradasi selulosa dan hemiselulosa, tidak mahal sehingga bisa diaplikasikan pada produksi energi tidak terbarukan dan bahan kimia, dan aman untuk digunakan (Sierra et al., 2009).

Pretreatment Ca(OH)2 dilakukan pada kisaran suhu 25-200°C dengan selang waktu jam sampai mingguan. Pretreatment Ca(OH)2 dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan lama waktunya, yaitu pretreatment jangka panjang (1-8 minggu),

pretreatment jangka pendek (1-24 jam), dan pretreatment sederhana (1 jam dalam air mendidih) (Sierra et al., 2009). Beberapa laporan penelitian yang menghasilkan kondisi optimum penggunaan basa Ca(OH)2 pada pretreatment lignoselulosa, yaitu

pretreatment switchgrass dengan kisaran suhu 100–120°C selama 2 jam (Chang et al., 1997); dan corn stover dengan suhu 120°C selama 4 jam (Kaar and Holtzapple, 2000). Kim and Holtzapple (2005) juga melaporkan bahwa delignifikasi corn stover sampai dengan 57.8%, 66.2%, 80.9%, dan 87.5% pada suhu 25, 35, 45, dan 55°C selama 16 minggu perlakuan.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pretreatment Ca(OH)2 pada kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin ampas tebu serta terhadap gula pereduksi yang dihasilkan secara hidrolisis enzimatis untuk produksi bioetanol.

BAHAN DAN METODE

Ampas tebu dari pabrik gula di Subang, Jawa Barat dikeringkan, digiling, dan disaring sehingga berukuran 40-60 mesh. Ampas tebu tersebut mengandung 41.35% alfaselulosa, 31.11% hemiselulosa, 20.16% lignin, 8.73% ekstraktif dan 1.47% abu. Ampas tebu disimpan dalam wadah tertutup rapat sebelum digunakan.

(35)

disimpan basah dalam lemari pembeku sebelum digunakan untuk proses hidrolisis enzimatis. Pulp ampas tebu kering dianalisa komponen kimianya meliputi kadar air, kadar ekstraktif, dan kadar ligninnya. Kemudian dilakukan penghitungan kehilangan berat, kehilangan ekstraktif dan kehilangan lignin. Analisa SEM dan FTIR dilakukan terhadap pulp ampas tebu basah yang dikeringkan dengan pengering beku (freeze dryer). Struktur sel ampas tebu dianalisa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) dengan perbesaran 2000 kali (15kV, WD 11 mm). Persiapan analisa FTIR dilakukan dengan mencampur 4 mg serbuk ampas tebu dicampur dengan 200 mg KBr (kalium bromida) dimasukkan dalam tempat pembuat pelet selanjutnya diberi tekanan 5000 psi. Spetrum direkam menggunakan ABB FTIR MB3000 dengan resolusi 16 cm-1 dan 5 scan tiap sampel dengan kisaran frekuensi 4000-400 cm-1.

Hidrolisis enzimatis pada penelitian ini menggunakan enzim selulase komersial (Meicellase dari Meiji Seika, Jepang) dengan aktifitas enzim 200 FPU/g. Larutan buffer sodium sitrat 0.05 M, pH 5 disiapkan sebagai pelarut enzim selulase. Sebanyak 1 gram Meicellase dilarutkan dalam larutan buffer sodium sitrat hingga volume 100 ml, sehingga didapatkan konsentrasi larutan stok enzim selulase 2 FPU/ml. Proses hidrolisis dilakukan terhadap ampas tebu setelah proses pretreatment Ca(OH)2. Sebanyak 0.1 g pulp ampas tebu (berat kering) ditimbang dalam botol vial volume 20 ml. Kemudian ditambahkan 5 ml larutan buffer sodium sitrat dan 0.1 ml larutan sodium azide 20 mg/ml. Setelah itu, ditambahkan larutan stok enzim selulase 0.5 ml (untuk konsentrasi enzim 10 FPU/g) atau 1 ml (untuk konsentrasi enzim 20 FPU/g). Larutan buffer sodium sitrat ditambahkan kembali sampai dengan berat total campuran mencapai 10 g. Persiapan yang sama dilakukan juga untuk kontrol buffer (tanpa substrat dan tanpa penambahan enzim selulase) dan kontrol enzim (tanpa substrat). Proses hidrolisis dilakukan dalam shaking incubator 150 rpm pada suhu 50°C selama 48 jam. Posisi vial diletakkan secara horisontal untuk memperluas kontak substrat dengan enzim. Kemudian filtrat hasil hidrolisis dinalisa gula pereduksinya menggunakan metode Nelson-Somogyi. Gula pereduksi substrat dihitung setelah dikurangi dengan gula pereduksi kontrol buffer dan kontrol enzim.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ca(OH)2 secara signifikan mengurangi berat, kandungan ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu dibandingkan dengan air (p<0.05). Namun peningkatan konsentrasi Ca(OH)2 dari 0.1 g/g sampai dengan 0.3 g/g tidak berpengaruh terhadap kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu (p>0.05).

Lama pemanasan juga mempengaruhi kehilangan berat, ekstraktif, dan lignin pada ampas tebu (p<0.05). Kehilangan komponen ampas tebu tersebut paling banyak terjadi setelah pemanasan 60 menit pada temperatur 121°C.

(36)

Gambar 1. Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Gambar 2 menunjukkan pengaruh pretreatment Ca(OH)2 terhadap kehilangan ekstraktif ampas tebu. Setelah pemanasan 60 menit, ampas tebu berkurang kandungan ekstraktifnya sebesar 78.77% jika diberi perlakuan air, sedangkan jika diberi perlakuan Ca(OH)2 0.1 g/g ampas tebu maka kehilangan ekstraktifnya sebanyak 89.39%.

Gambar 2. Kehilangan ekstraktif ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C

(37)

Gambar 3. Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C

Dapat dilihat pada hasil analisa struktur serat ampas tebu pada Gambar 4. Lubang-lubang yang terdapat pada struktur serat setelah pretreatment Ca(OH)2 (Gambar 4c) menunjukkan adanya degradasi hemiselulosa, akibat dari rusaknya ikatan lignin dan hemiselulosa yang mulai terjadi.

Perubahan struktur ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment juga dianalisa dengan FTIR. Lateral Order Index (LOI) merupakan rasio antara jumlah selulosa kristalin dan amorf yang merupakan sifat terpenting pada lignoselulosa yang menyebabkan serat selulosa resisten terhadap enzim selulosa. Nilai LOI ini sebagai pendekatan sifat kristalinitas selulosa. Absorbansi pada bilangan gelombang 1427 dan 898 cm-1 sebagai ciri selulosa dapat digunakan untuk mempelajari perubahan kristalinitas selulosa. Tabel 1 menunjukkan terjadi penurunan LOI setelah ampas tebu diberi perlakuan dengan air dan Ca(OH)2 pada suhu 121°C. Hal ini mungkin disebabkan oleh terjadinya perusakan daerah kristalin selulosa serta pembesaran rasio pori-pori dan bagian dalam daerah permukaan, dimana akan memperbaiki digestibilitas enzim dalam proses hidrolisis. Pembesaran pori-pori tersebut akibat dari aktifitas pemecahan gugus ester pada ikatan silang antara lignin dan xylan (Tarkow and Feist, 1969). Penurunan LOI pada pretreatment air (39.36%) lebih besar dibandingkan dengan pretreatment Ca(OH)2 (36.74%) yang mengindikasikan pola degradasi yang berbeda. Seperti perlakuan NaOH di penelitian sebelumnya, pretreatment dengan air mungkin lebih bersifat mengkonversi struktur kristalin pada selulosa dibandingkan dengan alkali. Hal ini karena pretreatment alkali lebih menyerang polimer lignin dibandingkan dengan selulosa.

Tabel 1. Lateral order indeks (LOI) ampas tebu sebelum dan sesudah pretreatment

A1427 (kristalin) A897 (amorf) LOI

Ampas tebu awal 0.640 0.350 1.829

Ampas tebu pretreatment air 1.020 0.920 1.109

(38)

Gambar 4. Hasil analisa SEM (Scanning Electron Microscope) penampang melintang ampas tebu: (a) sebelum pretreatment, (b) setelah pretreatment dengan air pada suhu 121°C, dan (c) setelah pretreatment dengan Ca(OH)2 0.3 g/g pada suhu 121°C

Umumnya, bilangan gelombang 1509, 1464 dan 1422 cm-1 pada spektrum FTIR identik dengan struktur lignin (Sun et al., 2003). Ampas tebu yang termasuk dalam kelompok rumput-rumputan mengandung tiga kelompok lignin yaitu unit guaiasil propana yang mengandung satu gugus metoksil, unit siringil propana dengan dua gugus metoksil dan para-coumaryl alkohol tanpa gugus metoksil. Besar kandungan unit lignin tersebut pada umumnya adalah 40% guaiasil, 40% siringil dan 20% para-coumaryl alkohol. Gambar 5a menunjukkan spektrum FTIR ampas tebu awal. Sedangkan Gambar 5b dan Gambar 5c menunjukkan spektrum FTIR setelah pretreatment air dan Ca(OH)2 0.3 g/g ampas tebu secara berurutan. Berdasarkan spektrum FTIR tersebut tampak jelas bahwa karakteristik puncak lignin dapat ditemukan di sampel tanpa dan dengan perlakuan pada bilangan gelombang 1250 cm-1 (11) untuk unit guaiasil dan 1327 cm-1 (10) untuk unit siringil.

(39)

Gambar 5. Spektrum FTIR pada ampas ebu: (a) sebelum pretreatment; (b) setelah

pretreatment dengan air pada suhu 121°C; (c) setelah pretreatment dengan Ca(OH)2 0.3 g/g ampas tebu pada suhu 121°C

Tabel 2. Rasio siringil/ guaiasil ampas tebu dengan pretreatment Ca(OH)2 dan air

Unit Propana Lignin Tinggi puncak

Ampas tebu awal Ampas tebu-Ca(OH)2 Ampas tebu-Air

Siringil (10) 0.70 1.39 1.20

Guaiasil (11) 0.78 1.30 1.29

Rasio S/G 0.89 1.07 0.93

Gugus fungsional yang teridentifikasi pada ampas tebu sebelum dan sesudah

pretreatment dapat dilihat pada Tabel 3. Tampak bahwa pretreatment Ca(OH)2 dan air menyebabkan kehilangan beberapa gugus fungsional. Selain itu terjadi perbedaan intensitas pada masing-masing gugus fungsional yang teridentifikasi. Absorbansi yang lebar pada bilangan gelombang 3394-3390 cm-1 berkaitan dengan gugus OH, sedangkan bilangan gelombang 2900-2800 cm-1 menunjukkan regangan O-H (Wang et al., 2007).

Gambar

Gambar 7 .  Pengaruh pretreatment NaOH terhadap rendemen gula pereduksi per 100 gram ampas tebu kering setelah hidrolisis selulase 20 FPU/g selama 48
Gambar 1 .  Kehilangan berat ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 3 .  Kehilangan lignin ampas tebu setelah diberi perlakuan Ca(OH)2 dengan pemanas bertekanan pada suhu 121°C
Gambar 4.  Hasil analisa SEM (Scanning Electron Microscope) penampang melintang ampas tebu: (a) sebelum pretreatment, (b) setelah pretreatment dengan air pada suhu 121°C, dan (c) setelah pretreatment dengan Ca(OH)2 0.3 g/g pada suhu 121°C
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada skor HSS &lt;2 tidak ditemukan peningkatan jumlah PMN imatur, peningkatan rasio neutrofil imatur dan neutrofil total, peningkatan rasio neutrofil imatur dan matur,

digunakan sebagai workstation atau terhubung dalam jaringan untuk melayani ratusan terminal dan banyak pengguna. Banyak digunakan pada dunia bisnis, universitas,

maka Pejabat Pengadaan DINAS PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN Kabupaten Kolaka Timur Tahun Anggaran 2016 menyampaikan Pengumuman Pemenang pada paket tersebut diatas sebagai berikut

Sebagai kelanjutan dari proses pengumuman ini, pemenang sebagaimana tersebut di atas akan ditunjuk sebagai pelaksana pekerjaan dengan surat penunjukan oleh Pengguna Anggaran.

Pada hari ini Senin tanggal tujuh bulan Mei tahun dua ribu dua belas, Kami Panitia Pengadaan Barang/Jasa Untuk Kegiatan Dengan Sumber Dana APBD Provinsi

Sebagai kelanjutan dari proses pengumuman ini, akan diterbitkan Surat Penunjukan. Penyedia Barang/Jasa dan Surat

pada spesialis komputer yang dikenal dengan perangkat lunak tempahan, disebut custom- written software atau tailor made software.  Perangkat lunak aplikasi yang dibeli

Struktur tubuh Ectocarpus berupa filamen bercabang-cabang, alga ini mempunyai sifat isomorfik, artinya individu gametofit yang bersifat haploid memiliki bentuk dan