• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Proses Berpikir Kreatif Philip L. Harriman dalam Maulidya (2018: 13) mengungkapkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR A. Kajian Pustaka 1. Proses Berpikir Kreatif Philip L. Harriman dalam Maulidya (2018: 13) mengungkapkan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

7

Philip L. Harriman dalam Maulidya (2018: 13) mengungkapkan bahwa berpikir adalah istilah yang sangat luas dengan berbagai defenisi. Solso dalam Abdillah, dkk (2018b: 1) mendefinisikan berpikir sebagai proses yang membentuk representasi mental baru melalui transformasi informasi oleh interaksi kompleks dari atribusi mental yang mencakup pertimbangan, pengabstrakan, penalaran, penggambaran, pemecahan masalah logis, pembentukan konsep, kreativitas dan kecerdasan. Sedangkan Floyd L. Ruch dalam Maulidya (2018: 13) mengemukakan bahwa berpikir merupakan unsur- unsur lingkungan dengan menggunakan simbol-simbol sehingga tidak perlu langsung melakukan kegiatan yang tampak.

Banyak pakar yang mendiskusikan kreativitas sebagai berpikir kreatif atau pemecahan masalah. Menurut Hamalik (2008) seorang yang kreatif adalah yang memiliki kemampuan kapasitas pemahaman, sensitivitas, dan apresiasi dapat dikatakan melebihi dari seseorang yang tergolong intelijen. Cagne dalam Hamalik (2008 : 180) mengemukakan bahwa kreativitas merupakan suatu bentuk pemecahan masalah yang melibatkan intuitive leaps atau suatu kombinasi gagasan-gagasan yang bersumber dari berbagai bidang pengetahuan yang terpisah secara luas.

Suherman (2003: 17) berpendapat bahwa matematika tumbuh dan berkembang karena proses berpikir, oleh karena itu logika atau berpikir merupakan dasar dari terbentuknya matematika. Menurut Siswono (2002: 45), proses berpikir adalah suatu proses yang dimulai dengan menerima data, mengolah dan menyimpannya di dalam ingatan serta memanggil kembali dari ingatan pada saat dibutuhkan untuk pengolahan selanjutnya.

Marpaung dalam Siswono (2002: 45) mengatakan proses berpikir adalah proses yang dimulai dari penemuan informasi (dari luar atau diri siswa), pengolahan, penyimpanan dan memanggil kembali informasi itu dari ingatan

(2)

siswa. Sedangkan Sudarman (Yani, dkk., 2016: 44) menyatakan bahwa proses berpikir adalah aktivitas yang terjadi dalam otak manusia.

Solso dalam Adibah (2015) mengartikan kreativitas sebagai suatu aktivitas kognitif yang menghasilkan suatu pandangan yang baru mengenai suatu bentuk permasalahan yang tidak dibatasi pada hasil yang pragmatis.

Kemampuan berpikir kreatif pada pembelajaran matematika adalah kemampuan yang merangsang siswa untuk menemukan solusi atau ide yang beragam dalam memecahkan masalah matematika (Sari, 2016: 163). Pada intinya kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan individu dalam menemukan solusi baru yang beragam dalam memecahkan masalah.

Siswono (2004: 4) menjelaskan bahwa proses berpikir kreatif merupakan suatu proses yang mengkombinasikan berpikir logis dan berpikir divergen. Berpikir divergen yaitu dapat menghasilkan beberapa kemungkinan jawaban. Siswono (2008: 61) juga menyatakan bahwa proses berpikir kreatif adalah langkah-langkah berpikir kreatif yang meliputi mensintesis ide-ide, membangun suatu ide, kemudian merencanakan penerapan ide dan menerapkan ide tersebut untuk menghasilkan suatu produk yang “baru”.

Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa proses berpikir kreatif merupakan suatu tahapan yang dilakukan seseorang untuk menemukan gagasan baru yang beragam.

Terdapat beberapa pendapat yang dapat digunakan untuk mengetahui proses berpikir kreatif, antara lain pendapat oleh Wallas, Rowlinson, dan model Creative Problem Solving. Wallas dalam Solso (2007: 445) menjelaskan bahwa ada 4 tahapan dalam proses kreatif, sebagai berikut.

1. Persiapan. Memformulasikan suatu masalah dan membuat usaha awal untuk memecahkannya.

2. Inkubasi. Masa dimana tidak ada usaha yang dilakukan secara langsung untuk memecahkan masalah dan perhatian dialihkan sejenak pada hal lainnya.

3. Iluminasi. Memperoleh insight (pemahaman yang mendalam) dari masalah tersebut.

(3)

4. Verifikasi. Menguji pemahaman yang telah didapat dan membuat solusi.

Menurut Munandar dalam Siswono (2004: 4), untuk mengetahui proses berpikir kreatif siswa, pedoman yang digunakan adalah proses kreatif yang dikembangkan oleh Wallas karena merupakan salah satu teori yang paling umum digunakan untuk mengetahui proses berpikir kreatif dari para penemu maupun pekerja seni.

Menurut Rawlinson (1979: 24), pada berpikir kreatif terdapat lima tahap, yaitu persiapan, usaha, inkubasi, pengertian, dan evaluasi.

1. Tahap persiapan, merupakan tahap mendapatkan fakta mengenai suatu persoalan khusus dan menentukannya dengan teliti.

2. Tahap usaha, merupakan tahapan memproduksi ide-ide. Pada tahap ini diperlukan berpikir divergen.

3. Tahap inkubasi, merupakan tahap yang dilakukan secara sadar seperti membaca daftar ide untuk merangsang timbulnya ide berikutnya.

4. Tahap pengertian, mulai ditemukan ide untuk menyelesaikan suatu permasalahan.

5. Tahap evaluasi, ide yang telah diperoleh pada tahap sebelumnya diperiksa dengan kritis. Tahap evaluasi ini kadang-kadang dikenal dengan nama tahap verifikasi.

Menurut Siswono (2008: 61), terdapat 4 tahapan dalam proses berpikir kreatif, yaitu.

1. Mensintesis Ide, artinya menjalin atau memadukan ide-ide (gagasan) yang dimiliki yang dapat bersumber dari pembelajaran di kelas maupun pengalaman sehari-hari. Dalam mensintesis ide, individu sudah memahami masalah yang diberikan dan mempunyai perangkat pengetahuan (pengetahuan prasyarat) untuk menyelesaikannya yang dapat bersumber dari pembelajaran di kelas maupun pengalamannya sehari-hari.

2. Membangun Ide, artinya memunculkan ide-ide yang berkaitan dengan masalah yang diberikan sebagai hasil dari proses sintesis ide sebelumnya.

Dalam tahap ini akan terlihat kebaruan, kefasihan, maupun fleksibilitas individu dalam menyelesaikan tugas.

(4)

3. Merencanakan Penerapan, artinya memilih suatu ide tertentu untuk digunakan dalam menyelesaikan masalah yang diberikan atau yang ingin diselesaikan.

4. Menerapkan Ide, artinya mengimplementasikan atau menggunakan ide yang direncanakan untuk menyelesaikan masalah.

Isaksen (2011) juga mengembangkan model kreatif yang sebelumnya dikembangkan oleh Alex Osborn yaitu model Creative Problem Solving (CPS).

Model CPS dibangun dari definisi proses kreatif Wallas, Spearman, dll. CPS terdiri atas empat komponen, yaitu tiga komponen proses dan satu komponen manajemen. Untuk mengetahui proses berpikir kreatif siswa, digunakan tiga komponen proses pada CPS, yaitu memahami masalah (understanding the challenge), membangun ide (generating ideas), dan mempersiapkan tindakan (preparing for action).

Pada dasarnya tahapan proses berpikir kreatif dari berbagai ahli tersebut memiliki tahap yang sama. Namun bila dilihat lebih seksama semua tahap tersebut didasarkan pada proses berpikir kreatif menurut Wallas. Proses berpikir kreatif Wallas merupakan teori paling umum yang biasa digunakan untuk mengetahui proses berpikir kreatif siswa oleh karena itu pada penelitian ini digunakan proses berpikir kreatif Wallas sebagai berikut.

1. Tahap Persiapan

Tahap ini merupakan tahap dimana seseorang mengumpulkan hal- hal yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Menurut Siswono (2004), pada tahap persiapan seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan masalah dengan cara mengumpulkan data yang relevan, dan mencari pendekatan untuk menyelesaikannya. Dalam Sriraman (2004: 19) dijelaskan bahwa pada tahap ini seseorang mengumpulkan segala hal yang berhubungan dengan masalah yang akan diselesaikan. Pada tahap ini siswa akan memahami masalah dengan mengumpulkan informasi yang diperoleh dari permasalahan tersebut serta mengumpulkan materi sebelumnya yang sekiranya dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.

(5)

2. Tahap Inkubasi

Siswono (2004) menjelaskan bahwa pada tahap inkubasi seseorang seakan-akan melepaskan diri secara sementara dari masalah yang sedang dihadapi. Solso (2007) mengatakan bahwa tahap inkubasi yaitu masa dimana tidak ada usaha secara langsung untuk memecahkan masalah dan perhatian dialihkan sejenak pada hal lain. Tahap ini penting sebagai awal proses timbulnya inspirasi yang merupakan titik mula dari suatu penemuan atau kreasi baru dari daerah pra sadar. Mengesampingkan masalah untuk jangka waktu tertentu dapat memunculkan inspirasi ide yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah dengan pendekatan yang benar.

Sitorus dan Masrayati (2016: 3) mengungkapkan bahwa pada tahap inkubasi seseorang seolah-olah secara sadar mengalihkan diri sementara waktu dari masalah, tetapi tetap mencari penyelesaian masalah secara tidak sadar. Pada tahap ini siswa belum memiliki pemikiran yang jelas mengenai langkah penyelesaian masalah yang akan dilakukan. Hal ini mendorong siswa untuk mulai melakukan hal-hal yang dapat membantu untuk memperoleh inspirasi penyelesaian masalah.

3. Tahap Iluminasi

Proses berpikir kreatif tidak akan terlepas dari hasil berpikir kreatif itu sendiri. Pada tahap iluminasi siswa mulai memperoleh sebuah pemecahan masalah yang diikuti dengan munculnya inspirasi dan ide-ide yang mengawali dan mengikuti munculnya inspirasi dan gagasan baru (Sitorus dan Masrayati, 2016: 4). Gagasan-gagasan baru tersebut muncul sebagai hasil dari berpikir kreatif. Silver (1997: 76) menjelaskan bahwa terdapat tiga komponen yang dapat digunakan sebagai indikator siswa telah berpikir kreatif dalam memecahkan suatu masalah, yaitu kefasihan (fluency), keluwesan (flexibility), dan kebaruan (novelty).

Fluency atau kefasihan dalam penyelesaian masalah mengacu pada kemampuan siswa untuk mendapatkan jawaban atau penyelesaian yang beragam dan benar untuk suatu masalah. Beberapa penyelesaian dapat dikatakan beragam jika jawaban yang diberikan oleh siswa tampak berbeda

(6)

dan mengikuti suatu pola tertentu. Flexibility atau keluwesan dalam penyelesaian masalah didasarkan pada kemampuan siswa untuk memecahkan masalah dengan menggunakan berbagai metode atau cara yang berbeda. Sedangkan novelty atau kebaruan mengacu pada kemampuan siswa untuk menyelesaikan masalah dengan jawaban yang berbeda dan benar, atau jika ditemukan jawaban yang “tidak biasa” untuk siswa pada tingkat pengetahuannya.

Sriraman (2004: 20) menjelaskan bahwa pada tahap iluminasi solusi dapat tiba-tiba muncul tanpa disadari. Pada tahap ini, penyelesaian yang dihasilkan mungkin belum berupa penyelesaian akhir, tetapi bisa saja masih berupa ide mengenai langkah-langkah yang akan digunakan (Sitorus dan Masrayati, 2016: 4).

4. Tahap Verifikasi

Pada tahap tahap verifikasi, Siswono (2004) menjelaskan bahwa seseorang menguji dan memeriksa pemecahan masalah tersebut terhadap realitas. Dalam Sriraman (2004: 20) dijelaskan bahwa pada tahap verifikasi seseorang memeriksa hasil penyelesaian masalahnya, membuatnya lebih akurat, dan mencari kemungkinan jawaban yang paling benar berdasarkan hasil yang telah diperoleh. Sriraman (2011: 124) menjelaskan bahwa tujuan dari tahap ini adalah mengonfirmasi ketepatan ide yang diperoleh termasuk memeriksa, memperbaiki, mengekspresikan, mengevaluasi, mengonfirmasi, menulis, mengedit, meyakinkan dan akhirnya memperoleh hasil akhir.

Disini diperlukan pemikiran kritis dan konvergen. Pada tahap ini, siswa yang telah melakukan berpikir kreatif juga dituntut untuk melakukan berpikir kritis.

Pada penelitian ini proses berpikir kreatif adalah suatu tahapan yang dilakukan seseorang untuk menemukan gagasan baru yang beragam, dimana tahapan tersebut meliputi persiapan pengumpulan data yang dibutuhkan, inkubasi atau berhenti sejenak, kemudian memperoleh ide untuk pemecahan masalah, dan memeriksa kembali penyelesaian masalah yang telah dilakukan.

(7)

Uraian aktivitas siswa pada setiap tahapan proses berpikir kreatif (TPBK) pada penelitian ini dijelaskan pada Tabel 2.1 berikut.

Tabel 2.1 Uraian Proses Berpikir Kreatif

No TPBK Uraian

1. Tahap Persiapan

 Siswa memahami petunjuk dan informasi yang ada dalam suatu permasalahan.

 Siswa mengumpulkan informasi relevan berupa materi yang sudah dipelajari yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah.

2. Tahap Inkubasi

 Siswa diam dan melakukan hal-hal yang dapat membantu dalam memperoleh inspirasi pemecahan masalah.

3. Tahap Iluminasi

 Siswa memperoleh ide untuk menyelesaikan permasalahan, kemudian mencari penyelesaian yang tepat.

 Siswa memperoleh gagasan-gagasan baru (kefasihan, keluwesan, dan kebaruan) dalam menyelesaikan masalah.

4. Tahap Verifikasi

 Siswa menguji dan memeriksa kembali penyelesaian masalah yang telah dilakukan.

2. Ill-Structured Problems

Secara umum masalah adalah suatu hal tidak diketahui yang diperoleh dari usaha manusia dalam memenuhi kebutuhan atau mencapai suatu tujuan (Jonassen, 1997: 66). Masalah merupakan suatu halangan atau kendala yang ditemui dalam mencapai suatu tujuan.

Menurut Jonassen (1997: 67) terdapat 2 tipe masalah yaitu well- structured problem dan ill-structured problem. Suatu masalah dikatakan ill- structured jika masalah tersebut bukan well-structured. Jonassen (1997: 68) menyebutkan bahwa masalah well-structured merupakan masalah yang tujuannya diketahui dan komponennya terdefinisi dengan baik. Sedangkan masalah ill-structured dapat didefinisikan sebagai masalah yang strukturnya kurang definisi dalam beberapa hal (Simon, 1977: 304).

Masalah ill-structured adalah jenis masalah yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari (Jonassen, 1997: 68). Untuk menyerupai situasi di dunia nyata, masalah ill-structured memiliki tujuan yang tidak jelas dan informasi yang tidak lengkap (Voss dalam Shin & McGee, 2003).

(8)

Ciri-ciri masalah ill-structured menurut Jonassen (1997: 68-69) antara lain:

1. Nampak tidak jelas karena satu atau lebih elemen masalah tidak diketahui atau tidak diketahui dengan tingkat kepercayaan apa pun

2. Memiliki tujuan yang tidak jelas dan batasan yang tidak disebutkan

3. Memiliki banyak penyelesaian, path penyelesaian, atau tidak memiliki penyelesaian sama sekali,

4. Memiliki beberapa kriteria untuk mengevaluasi penyelesaian, 5. Memiliki parameter yang kurang dapat dimanipulasi,

6. Tidak memiliki kasus prototipe karena elemen kasus berbeda penting dalam konteks yang berbeda dan karena mereka berinteraksi,

7. Menyajikan ketidakpastian tentang konsep, aturan, dan prinsip mana yang diperlukan untuk solusi atau bagaimana mereka diatur,

8. Memiliki hubungan antara konsep, aturan, dan prinsip yang tidak konsisten antara kasus,

9. Tidak menawarkan aturan atau prinsip umum untuk menggambarkan atau memprediksi sebagian besar kasus,

10. Tidak memiliki sarana eksplisit untuk menentukan tindakan yang tepat, 11. Memerlukan peserta didik untuk mengekspresikan pendapat atau

kepercayaan pribadi tentang masalah tersebut, dan oleh karena itu merupakan kegiatan interpersonal manusia yang unik, dan

12. Mengharuskan peserta didik untuk membuat penilaian tentang masalah dan mempertahankannya.

Hong dan Kim (2016: 268) secara garis besar mendefinisikan authenticity (keaslian), complexity (kompleksitas), dan openness (keterbukaan) sebagai ciri-ciri masalah ill-structured.

1. Keaslian

Keaslian berarti masalah yang menggambarkan kehidupan nyata di luar sekolah (Palm dalam Hong dan Kim, 2016: 268). Suatu masalah dapat dikatakan memenuhi kriteria keaslian jika masalah tersebut merupakan

(9)

masalah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari dan merupakan situasi nyata.

2. Kompleksitas

Jonassen dalam Hong dan Kim (2016: 268) mengartikan kompleksitas sebagai:

a) Ketidakpastian konsep, prinsip, dan aturan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah, atau tentang organisasinya, dan

b) Hubungan yang tidak konsisten antara konsep, prinsip, dan aturan kasus yang terlibat dalam suatu masalah.

Suatu masalah dapat dikatakan memenuhi kriteria kompleksitas jika komponen penyusun masalahnya tidak lengkap.

3. Keterbukaan

Jonassen dalam Hong dan Kim (2016: 268) berpendapat bahwa keterbukaan adalah:

a) Kriteria evaluasi yang beragam untuk menyelesaikan masalah b) Memiliki cara penyelesaian yang tidak biasa

c) Peserta didik harus mengungkapkan pendapat dan kepercayaan diri tentang masalah

Sifat keterbukaan memungkinkan siswa untuk membuat berbagai interpretasi penyelesaian masalah dan untuk membenarkan interpretasi mereka sendiri.

Perbedaan masalah well-structured dan ill-structured problem dapat dilihat pada contoh-contoh masalah berikut. Contoh masalah well-structured problem dapat dilihat pada Gambar 2.1. Contoh masalah ill-structured problem diperoleh dari Hong dan Kim (2016: 271) yang ditujukan untuk anak SD kelas 5 yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.1. Contoh Masalah Tipe Well-Structured

Ani sedang berada di sebuah taman. Taman tersebut berbentuk lingkaran dengan diameter 7 m. Jika Ani berlari mengelilingi tepi taman tersebut berapa meter jarak yang ditempuh Ani?

(10)

Gambar 2.2. Contoh Masalah Tipe Ill-Structured

Permasalahan well-structured pada Gambar 2.1 merupakan permasalahan yang biasa diberikan di sekolah. Masalah well-structured terlihat memiliki tujuan yang jelas, komponen yang dibutuhkan untuk memperoleh penyelesaian sudah diketahui dengan lengkap, dan hanya memiliki satu penyelesaian yang tepat, sedangkan permasalahan pada Gambar 2.2 memiliki sifat yang menunjukkan ill-structured problem yaitu keaslian, kompleksitas, dan keterbukaan. Keaslian terlihat pada konteks masalah berhubungan dengan kehidupan nyata dan menggambarkan situasi nyata. Soal mengandung sifat kompleksitas terlihat dari bentuk ruangan yang tidak diketahui serta rumitnya detail syarat dan ketentuan yang diinginkan pelanggan. Selanjutnya soal tersebut memiliki sifat keterbukaan atau dapat menghasilkan lebih dari satu jawaban yang benar.

Masalah ill-structured dapat digunakan untuk mengetahui proses berpikir kreatif siswa. Abdillah dan Mastuti (2018: 54) mengungkapkan bahwa jika ditinjau dari komponen berpikir kreatif Silver maka berpikir siswa dalam Suatu perusahaan konstruksi dan desain arsitektur („A‟) mendapatkan pesanan dari klien („B‟) sebagai berikut.

Saya ingin membangun sebuah rumah. Ini adalah rincian kriteria rumah yang saya inginkan. Pertama, saya ingin rumah berbentuk persegi panjang dengan panjang 20 m, lebar 10 m, dan luas lantainya 200 m2. Rumahnya harus mempunyai 5 kamar tidur, 2 kamar mandi, 1 ruang keluarga, 1 dapur dan ruang makan, 1 ruang cuci jemur dan balkon. Ruang tidur utama luasnya 20 m2 dengan akses langsung ke kamar mandi dan ruang ganti baju.

Ruangan-ruangan tersebut luasnya sekitar 12-16 m2. Ruang keluarga, dapur, dan ruang makan harus berada di tengah. Ruang keluarga luasnya 44m2, kemudian dapur dan ruang makan luasnya 24 m2. Ruang cuci jemur harus terhubung dengan dapur. Kamar tidur utama harus berada di pojok terjauh dari pintu depan. Setelah anda memberikan desain yang sesuai dengan kriteria saya, saya akan menentukan pilihan setelah memeriksanya.

Perusahaan A memberi tahu beberapa timnya mengenai permintaan klien B dan meminta mereka membuat desain. Dari beberapa proposal yang diajukan, perusahaan A akan memilih desain terbaik yang memenuhi permintaan klien B. Setiap kelompok akan menjadi tim dari perusahaan A dan akan mencoba untuk mengembangkan desain terbaik.

(11)

memecahkan ill-structured mathematical problems memenuhi kriteria berpikir kreatif.

Pada penelitian ini digunakan definisi masalah ill-structured menurut Kim yang mengatakan bahwa masalah ill-structured memiliki 3 sifat yaitu keaslian, kompleksitas, dan keterbukaan. Sehingga dapat dikatakan bahwa masalah ill-structured merupakan suatu permasalahan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari, komponen penyusunnya tidak lengkap, dan memiliki banyak penyelesaian masalah.

3. Pemecahan Masalah

Solso (2007: 434) menyatakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi/

jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik. Krulik dan Rudnick dalam Riastini (2017: 189) berpendapat bahwa pemecahan masalah merupakan proses menerapkan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya ke dalam suatu situasi yang baru. Selanjutnya O‟Daffer dalam Riastini (2017: 189) berpendapat bahwa pemecahan masalah adalah proses yang dilakukan seorang individu untuk menjawab pertanyaan tentang suatu situasi menggunakan konsep-konsep, fakta-fakta, dan hubungan-hubungan yang dipelajari sebelumnya, serta menggunakan berbagai keterampilan penalaran dan strategi.

Siswono (2008) menyebutkan bahwa pemecahan masalah berarti suatu proses atau upaya individu untuk merespon atau mengatasi halangan atau kendala ketika suatu jawaban atau metode jawaban belum tampak jelas.

Menurut NCTM, pemecahan masalah dalam matematika berarti terlibat dalam tugas yang metode solusinya tidak diketahui sebelumnya (Poehl, 2016: 149).

NCTM (2000) mengemukakan bahwa pemecahan masalah tidak hanya tujuan dari belajar matematika tetapi juga sarana utama dalam melakukannya. Dengan memecahkan masalah matematika maka siswa memiliki rasa ingin tahu dan percaya diri dalam berbagai situasi yang berguna untuk mereka di luar kelas matematika.

(12)

Masalah matematika yang digunakan dalam penelitian ini adalah masalah matematika tipe ill-structured problem. Sehingga pada penelitian ini pemecahan masalah adalah suatu usaha yang menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya untuk menjawab permasalahan matematika tipe ill-structured problem.

4. Proses Berpikir Kreatif dalam Pemecahan Masalah

Proses berpikir kreatif dalam pemecahan masalah terdiri atas dua hal yaitu proses berpikir kreatif dan pemecahan masalah. Proses berpikir kreatif adalah suatu proses dalam pemecahan masalah yang menggunakan berpikir logis dan divergen untuk menghasilkan suatu hal yang baru. Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa proses berpikir kreatif adalah langkah- langkah atau tahapan berpikir kreatif yang meliputi persiapan pengumpulan data yang dibutuhkan, inkubasi atau berhenti sejenak, kemudian memperoleh ide untuk pemecahan masalah, dan memeriksa kembali penyelesaian masalah yang telah dilakukan. Selanjutnya pada subbab sebelumnya telah dipaparkan bahwa pemecahan masalah merupakan proses yang menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman yang telah dimiliki sebelumnya untuk menjawab permasalahan matematika tipe ill-structured problem.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, pada penelitian ini proses berpikir kreatif dalam pemecahan masalah adalah tahapan yang dilakukan seseorang untuk menemukan gagasan baru yang meliputi persiapan pengumpulan data, inkubasi, kemudian memperoleh ide, dan memeriksa kembali penyelesaian masalah untuk menjawab permasalahan matematika tipe ill-structured problem.

5. Prestasi Belajar Matematika

Prestasi belajar merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran. Hamalik (2014: 38) berpendapat bahwa prestasi belajar atau hasil belajar akan tampak pada setiap perubahan pada aspek-aspek pengetahuan, pemahaman, kebiasaan, keterampilan, apresiasi, emosional,

(13)

hubungan sosial, jasmani, budi pekerti (etika), sikap dan lain-lain. Winkel (1996: 162) berpendapat bahwa prestasi belajar adalah bukti keberhasilan belajar siswa dalam melakukan kegiatan belajarnya sesuai dengan bobot yang dicapainya.

Tirtonegoro (2004: 24) Prestasi belajar merupakan penilaian pendidikan tentang kemajuan siswa dalam segala hal yang dipelajari di sekolah yang menyangkut pengetahuan atau kecakapan dan keterampilan yang dinyatakan sesudah hasil penilaian. Selanjutnya Tirtonegoro (2004: 27) juga berpendapat bahwa prestasi belajar merupakan penilaian usaha kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka, huruf atau simbol yang dapat mencerminkan hasil yang dicapai oleh setiap anak dalam periode tertentu.

Prestasi belajar dapat dikatakan sebagai bukti keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka, huruf, atau simbol dan mencerminkan hasil pencapaian siswa. Sudjana (2009: 22) menyatakan bahwa prestasi belajar matematika merupakan perubahan tingkah laku yang diperoleh melalui pengalaman-pengalaman siswa dari berbagai kegiatan seperti kegiatan mengumpulkan data, mencari hubungan antara dua hal, menghitung, menyusun hipotesis, menggeneralisasikan dan lain-lain.

Penelitian ini dilakukan pada mata pelajaran matematika materi geometri. Sehingga prestasi belajar matematika pada penelitian ini adalah bukti keberhasilan siswa dalam kegiatan belajar yang dinyatakan dalam bentuk angka pada mata pelajaran matematika materi geometri.

6. Think-aloud Method

Tujuan dari think-aloud method adalah untuk memperoleh data mengenai proses kognitif seseorang (Someren dan Barnard, 1994: 37).

Menurut Leighton (2009: 2), pada penelitian pendidikan wawancara think- aloud dapat digunakan untuk mengamati, mendefinisikan, dan mengukur isi pikiran siswa saat menyelesaikan soal-soal tes. Terdapat dua tipe wawancara think-aloud yaitu analisis protokol dan analisis verbal. Menurut Ericsson dan Simon dalam Leighton (2009: 4), analisis protokol digunakan untuk

(14)

mengidentifikasi dan mengukur proses pemecahan masalah. Analisis protokol membutuhkan siswa untuk memberikan informasi verbal terkait pemikirannya secara bersamaan saat siswa menyelesaikan suatu permasalahan.

Menurut Chi dalam Leighton (2009: 5), analisis verbal biasanya digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur struktur pengetahuan, termasuk keyakinan dan sikap. Tidak seperti analisis protokol, pada analisis verbal siswa tidak harus mengeluarkan pikirannya bersamaan saat penyelesaian masalah. Siswa dapat mengungkapkan pikirannya selama atau setelah menyelesaikan permasalahan.

Perbedaan antara analisis protokol dan verbal terletak pada lokasi memori yang dilihat pada wawancara think-aloud. Analisis protokol melihat pada memori kerja (working memory), sedangkan analisis verbal melihat memori jangka panjang (long-term memory).

Think-aloud dengan analisis protokol selanjutnya akan disebut dengan think-aloud protocol. Menurut Duncker dalam Siddiq dan Scherer (2017: 7), metodologi think-aloud protocol telah digunakan dalam waktu yang lama untuk meningkatkan pemahaman mengenai pemikiran dan perbuatan manusia.

Menurut Siddiq dan Scherer (2017: 7), penelitian menggunakan think-aloud protocol berfokus pada verbalisasi pemikiran mereka bersamaan saat menyelesaikan permasalahan. Metodologi TAP mengungkap aspek proses berpikir siswa yang mungkin tidak ditangkap oleh performance-based tasks.

TAP adalah metodologi pengumpulan data yang kuat yang menyediakan data tentang proses kognitif, akses ke prosedur penalaran yang mendasari kognisi, dan pengambilan keputusan siswa (Greene, Yu, & Copeland, 2014; Pressley &

Afflerbach, 1995). Meskipun hanya ukuran sampel kecil yang disurvei, set data yang dihasilkan mungkin menjadi sangat kaya dan besar dan memberikan informasi yang valid (Johnstone, Altman, & Moore, 2011). Nielson (1994) mengemukakan bahwa ukuran sampel dari lima peserta mungkin sudah menghasilkan informasi yang cukup tentang perilaku pemecahan masalah.

Berikut adalah contoh verbalisasi dalam proses think-aloud. Misal terdapat soal “Gunakan cara tercepat untuk menghitung !”.

(15)

Kemungkinan verbalisasi pemikiran siswa yaitu “29 kali 32 lebih cepat pakai perkalian bersusun atau dulu terus dikurang 32 ya?”, “ saja deh”, “960 dikurang 32 berarti 928”. Seperti pada contoh tersebut, dalam proses think-aloud tidak hanya dilakukan verbalisasi apa yang sedang dilakukan tetapi juga verbalisasi ide-ide yang muncul saat menyelesaikan permasalahan.

Pada penelitian ini digunakan think-aloud protocol (TAP), yaitu siswa mengungkapkan pemikirannya bersamaan dengan menyelesaikan permasalahan sehingga proses berpikir kreatif siswa dalam memecahkan masalah dapat diungkap.

B. Kerangka Berpikir

Perkembangan teknologi yang terjadi pada saat ini telah menuntut perubahan dalam setiap aspek kehidupan tidak terkecuali pada bidang pendidikan.

Seiring dengan keadaan tersebut pembelajaran saat ini terus melakukan perubahan hingga menjadi pembelajaran abad 21. Kreatif merupakan salah satu dari 4 kemampuan yang sangat dibutuhkan dalam pembelajaran abad 21. Dalam pembelajaran matematika, berpikir kreatif dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan non-rutin yang jarang atau bahkan belum pernah dihadapi oleh siswa.

Pemecahan masalah juga merupakan kemampuan sangat dibutuhkan dalam setiap bidang pendidikan termasuk matematika. Kemampuan pemecahan masalah sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan siswa dalam menghadapi berbagai permasalahan yang akan dihadapi baik dalam pembelajaran maupun kehidupan nyata. Dalam pemecahan masalah seringkali dibutuhkan berpikir kreatif. Sejalan dengan hal tersebut Krutetskii dalam Adibah (2015) berpendapat bahwa kemampuan berpikir kreatif dimaksudkan untuk digunakan dalam memecahkan masalah matematika pada pembelajaran di sekolah. Pada penelitian ini tahapan proses berpikir kreatif siswa dalam pemecahan masalah dilihat menggunakan tahapan Wallas. Menurut Wallas tahapan berpikir kreatif adalah 1) preparation, 2) incubation, 3) illumination, dan 4) verification.

(16)

Penelitian sebelumnya yang terkait dengan proses berpikir kreatif dilakukan oleh Maharani, dkk. (2017). Penelitian tersebut mendeskripsikan mengenai proses berpikir kreatif siswa dalam pemecahan masalah berdasarkan model Wallas. Sari, dkk. (2016) juga melakukan penelitian mengenai proses berpikir kreatif siswa dalam pemecahan masalah dilihat berdasarkan model Wallas. Penelitian tersebut mendeskripsikan proses berpikir kreatif dalam memecahkan masalah non-rutin. Selanjutnya Fardah, dkk. (2012) juga melakukan penelitian mengenai proses berpikir kreatif siswa dalam pemecahan masalah. Tipe masalah yang digunakan pada penelitian tersebut adalah masalah open-ended.

Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut dapat dilihat bahwa tipe masalah yang digunakan adalah masalah non-rutin dan open-ended. Masalah tipe ill-structured problem belum pernah digunakan dalam penelitian yang terkait dengan proses berpikir kreatif.

Hong dan Kim (2016: 268) berpendapat bahwa ill-structured problem merupakan merupakan suatu permasalahan yang menggambarkan kehidupan sehari-hari (authenticity), komponen penyusunnya tidak lengkap (complexity), dan memiliki banyak penyelesaian masalah (openness). Dalam menyelesaikan masalah yang mempunyai banyak penyelesaian siswa dituntut untuk berpikir kreatif. Berpikir kreatif dibutuhkan siswa untuk memperoleh kemungkinan penyelesaian yang beragam. Selain itu, dengan komponen penyusun soal yang tidak lengkap siswa juga membutuhkan berpikir kreatif dalam memperoleh cara yang paling tepat untuk menyelesaikan soal. Pemberian masalah tipe ill-structured problem kepada siswa dapat digunakan untuk melihat proses berpikir kreatif siswa dalam pemecahan masalah.

Salah satu faktor yang mempengaruhi berpikir kreatif siswa adalah prestasi belajar. Sari (2016) menjelaskan bahwa perbedaan prestasi belajar matematika dapat mempengaruhi proses berpikir kreatif siswa. Subur (2013) melakukan penelitian mengenai kreativitas siswa dengan subjek yang dikategorikan menjadi siswa dengan kemampuan matematika tinggi, sedang, dan rendah. Kemampuan matematika yang dimaksud pada penelitian tersebut adalah prestasi belajar matematika. Siswa dengan kemampuan rendah memilih untuk

(17)

memecahkan masalah yang mudah dan menghindari masalah-masalah yang dirasa sulit. Siswa dengan kemampuan sedang mampu memberikan pemecahan masalah yang berbeda namun masih terpaku pada penyelesaian standar yang biasa dipelajari di kelas. Siswa masih menunjukkan kecenderungan mengikuti rumus yang biasa digunakan. Berbeda dengan dua kategori kemampuan matematika tersebut, siswa dengan kemampuan tinggi menyukai tantangan dalam pemecahan masalah. Siswa mampu memberikan cara-cara yang berbeda dalam menyelesaikan masalah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, siswa dengan prestasi belajar tinggi, sedang, dan rendah memiliki perbedaan karakteristik dalam melakukan pemecahan masalah. Perbedaan tersebut memberikan dapat memberikan perbedaan proses berpikir kreatif pada masing-masing siswa. Sehingga pada penelitian ini prestasi belajar matematika siswa dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu prestasi belajar tinggi, sedang, dan rendah.

Dalam penelitian ini dibahas mengenai bagaimana proses berpikir kreatif siswa dalam pemecahan masalah ill-structured problem berdasarkan kategori prestasi belajar matematika tinggi, sedang, dan rendah. Proses berpikir kreatif siswa pada penelitian ini dilihat dengan menggolongkan siswa berdasarkan prestasi belajar matematika dan kemudian melakukan proses think-aloud yang dilanjutkan dengan wawancara terhadap soal tipe ill-structured problem yang telah dikerjakan siswa. Selanjutnya hasil think-aloud beserta wawancara dan hasil tes tertulis siswa dianalisis berdasarkan proses berpikir kreatif Wallas.

Berdasarkan tahap-tahap tersebut dapat diketahui bagaimana proses berpikir kreatif siswa dalam pemecahan masalah tipe ill-structured problem.

Gambar

Tabel 2.1 Uraian Proses Berpikir Kreatif
Gambar 2.2. Contoh Masalah Tipe Ill-Structured

Referensi

Dokumen terkait

Digunakan untuk mempercepat dan memperlambat pergerakan deformasi struktu digunakan untuk menghentikan pergerakan deformasi..  Pilih Design/Steel Frame Design/Start

Sedangkan menurut Simamora (2013) fungsi manajemen ini lebih menekankan bagaimana manajer mengarahkan dan menggerakkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang

Dengan menggunakan strategi cost leadership, perusahaan dapat membuat produk dengan harga murah untuk meningkatkan penjualan yang lebih baik (strategi S-O)..

bahwa dalam rangka upaya meningkatkan kelancaran tugas-tugas bidang Pekerjaan umum Bina Marga agar lebih berdaya guna dan berhasil guna serta menunjang pelaksanaan

Abdullah bin Mubarok berkata, “Sungguh mengembalikan satu dirham yang berasal dari harta yang syubhat lebih baik bagiku daripada bersedeqah dengan seratus ribu dirham”..

Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang maha Esa karena atas nikmat-Nya penyusunan Laporan Kuliah Kerja Magang (KKM) STIE PGRI Dewantara Jombang dapat diselesaikan tepat

Maka dari latar belakang dan penelitian yang telah diungkapkan diatas, pada penelitian ini penulis merancang sebuah sistem pelacakan fotovoltaik (PV) dengan

Selain kontraksi kinerja usaha pada sektor pertanian, perkebunan, peternakan, kehutanan & perikanan dan sektor pertambangan & penggalian, penurunan SBT kegiatan