commit to user 7 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Hakekat Matematika
Matematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005:723) adalah
“Ilmu tentang bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan, dan prosedur operasional yang digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai masalah”.
Clapham dan Nicholson mendefinisikan matematika dalam Kamus Matematika sebagai, “Cabang dari penyelidikan manusia yang menyangkut pembelajaran mengenai bilangan, kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya, khususnya penggeneralisasian dan pengabstraksiannya serta aplikasinya pada situasi di dunia nyata” (2009:505).
Lebih lanjut Clapham dan Nicholson (2009) memperkenalkan istilah matematika murni dan matematika terapan. Matematika murni adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara kuantitas abstrak menurut sehimpunan aturan yang dirumuskan dengan baik. Matematika murni meliputi aljabar, aljabar abstrak, kalkulus, geometri, teori bilangan, topologi and trigonometri. Sedangkan matematika terapan didefinisikan sebagai, “...penerapan dan penggunaan matematika dalam konteks dunia nyata.” Matematika terapan meliputi mekanika, statistika dan peluang, mekanika kuantum, dan relativitas. Soedjadi (2000:11) merinci enam definisi matematika, yaitu:
a. Matematika adalah cabang ilmu pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik.
b. Matematika adalah pengetahuan tentang bilangan dan kalkulasi
c. Matematika adalah pengetahuan tentang penalaran logik dan berhubungan dengan bilangan
d. Matematika adalah pengetahuan tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah tentang ruang dan bentuk
e. Matematika adalah pengetahuan tentang struktur-struktur yang logik f. Matematika adalah pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat.
commit to user
Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa matematika adalah cabang ilmu pengetahuan yang mengkaji tentang bilangan, kuantitas, data, bangun dan ruang beserta hubungannya berdasarkan sehimpunan aturan yang terdefinisi dengan baik.
2. Pembelajaran Matematika
Pada dasarnya manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk pembelajar. Manusia memiliki rasa ingin tahu terhadap berbagai hal. Untuk memuaskan rasa ingin tahu tersebut manusia perlu belajar. Belajar dapat dilakukan oleh manusia itu sendiri ataupun dengan bantuan orang lain. Jika kegiatan belajar yang dilakukan tersebut melibatkan bantuan orang lain, maka kita sebut orang yang memberikan bantuan tersebut sebagai pengajar dan orang yang belajar tersebut sebagai pembelajar, sedangkan proses belajar yang terjadi disebut proses pembelajaran. Matematika adalah ilmu yang membelajarkan keterampilan berpikir. National Council of Teachers of Mathematics (NCTM) dalam Scusa (2008) mengungkapkan lima proses standar dalam matematika, yakni (1) representasi, (2) memberikan alasan dan membuktikan, (3) komunikasi, (4) memecahkan masalah, dan (5) menghubungkan.
Ada beberapa saran yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika. Lipman menyarankan dalam proses pembelajaran sebaiknya peserta didik diperlakukan sebagai seorang pemikir (Kuswana, 2011). Salah satu cara menerapkan saran ini adalah dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan serta dalam pembelajaran matematika. Guru tidak sekedar menjejali siswa dengan “ilmu jadi” tanpa menjelaskan asal usul ilmu tersebut tetapi juga mengikutsertakan siswa untuk berpikir menemukan ilmu tersebut. Berkaitan dengan keikutsertaan siswa, Carpenter (2003) menyatakan bahwa kesempatan siswa untuk ikutserta dalam matematika tergantung pada bagaimana guru menyusun dan mengembangkan kesempatan tersebut di ruang kelas. Pokok dari kesempatan tersebut adalah tugas yang diajukan oleh guru dan apa yang guru lakukan untuk merancah siswa.
commit to user
Tugas dapat berarti segala bentuk pekerjaan rumah ataupun aktivitas yang dilakukan di kelas yang harus dikerjakan oleh siswa baik secara individu maupun berkelompok. Menurut Mason dan Johnston-Wilder dalam Breen dan O‟Shea (2010), tugas seharusnya didesain agar siswa dapat berdiskusi dan membuat pilihan sehingga dapat mengarahkan siswa untuk memandang matematika sebagai sesuatu yang dapat dikonstruk. Untuk dapat menyusun tugas semacam itu, guru memerlukan informasi gambaran proses berpikir siswa sebagai salah satu bahan pertimbangan.
Secara umum, perancah (scaffold) merujuk pada cara-cara yang dilakukan guru untuk menciptakan lingkungan belajar dan melakukan sesuatu untuk membantu siswa belajar baik mengkonstruksi, mendalami, memadatkan, maupun menggabungkan ilmu pengetahuan (Bell dan Pape, 2012). Anghileri dalam Bell dan Pape (2012) menguraikan bentuk scaffolding meliputi mengatur struktur fisik dan sosial yang akan digunakan, memberikan tantangan dan dukungan yang bertanggungjawab, dan mengembangkan pemikiran konseptual.
Dengan demikian, pemberian tugas dengan menyesuaikan karakteristik siswa, dalam hal ini adalah proses berpikir siswa, termasuk salah satu bentuk scaffolding.
Pemberian bantuan secara langsung pada siswa pada saat siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan tugas juga termasuk scaffolding.
Bentuk scaffolding lain yang dapat dilakukan oleh guru adalah pada saat guru memberikan penjelasan mengenai materi. Chatib (2012) menyarankan kepada guru untuk menyesuaikan gaya mengajar dengan gaya belajar siswa. Gaya mengajar adalah strategi transfer informasi yang diberikan guru kepada siswanya, sedangkan gaya belajar adalah bagaimana sebuah informasi dapat diterima dengan baik oleh siswa (Chatib, 2012:100). Menurut De Porter dan Hernacki (2011), ada dua hal tentang bagaimana orang belajar, yaitu bagaimana seseorang menyerap informasi (modalitas), dan bagaimana seseorang tersebut mengatur serta mengolah informasi (dominasi otak). Pada saat mengajar, materi yang disampaikan guru akan menjadi informasi yang diserap, diatur, dan diolah oleh siswa. Oleh karena itu, cara mengajar guru harus disesuaikan dengan cara siswa
commit to user
dalam menyerap, mengatur, dan mengolah informasi agar siswa dapat menangkap informasi yang disampaikan dengan baik.
3. Pemecahan Masalah
Masalah adalah hal yang sangat dekat dengan kehidupan manusia.
Manusia harus membuat suatu cara untuk memecahkan masalah tersebut.
Vygotsky dalam Sujiati mengatakan bahwa seseorang akan dapat menyelesaikan masalah yang tingkat kesulitannya lebih tinggi dari kemampuan dasarnya apabila mendapat bantuan dari orang yang lebih mampu (scaffolding). Lebih lanjut Sujiati menyarankan pada guru pada umumnya untuk memahami proses berpikir siswa dalam pemecahan masalah, sehingga dapat memberikan bantuan yang diperlukan siswa untuk meningkatkan kemampuannya dalam pemecahan masalah. Costa dan Kallick menyatakan “... fleksibilitas pikiran siswa meningkat seiring dengan peningkatan kemampuan pemecahan masalah” (Scusa,2008:10).
“Pemecahan masalah adalah suatu pemikiran yang terarah secara langsung untuk menemukan suatu solusi/jalan keluar untuk suatu masalah yang spesifik” (Solso, 2008:434). Masalah matematika biasanya muncul dalam bentuk soal matematika. Menurut para penganut psikologi Gestalt, suatu permasalahan ada ketika ketegangan atau stres muncul sebagai hasil dari interaksi antara persepsi dan memori (Solso, 2008). Dengan kata lain, ada syarat bagi suatu kondisi untuk dikatakan sebagai masalah, yaitu adanya ketegangan karena interaksi persepsi dan memori.
Untuk memudahkan pemecahan masalah, Polya (1973) menawarkan empat langkah pemecahan masalah, yaitu (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan masalah, (3) melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan (4) memeriksa kembali penyelesaian masalah. Seseorang yang memecahkan masalah menggunakan langkah-langkah tersebut akan mengalami proses berpikir pada setiap langkah.
Langkah pertama pemecahan masalah yaitu memahami masalah. Selain harus memahami apa yang menjadi masalah, siswa juga harus mempunyai keinginan untuk dapat memecahkan masalah tersebut (Polya, 1973). Kata
commit to user
memahami menurut Hiebert dan Carpenter bermakna, “...membuat hubungan antara ide, fakta, atau prosedur” (Mitchelmore dan White, 2007:1). Salah satu ciri kepahaman siswa terhadap permasalahan adalah siswa dapat menjelaskan kembali permasalahan tersebut dengan bahasa sendiri meliputi informasi tentang apa yang diketahui, apa yang hendak dicari, dan apa yang tidak diketahui. Siswa dapat menuliskan apa yang diketahui, menggambar sketsa ataupun tabel untuk membantu memahami masalah dan menentukan gambaran pemecahan masalahnya (Polya, 1973).
Langkah kedua yaitu membuat perencanaan. Siswa harus dapat memanfaatkan informasi dari langkah pertama untuk menyusun rencana pemecahan masalah. Siswa harus dapat menemukan keterkaitan antara apa yang diketahui dengan apa yang ditanyakan untuk menyusun rencana pemecahan masalah. Penyusunan rencana pemecahan masalah dapat dilakukan dengan mencari permasalahan terdahulu yang telah dipecahkan (Polya, 1973).
Setelah rencana pemecahan masalah dibuat, langkah selanjutnya adalah menjalankan rencana tersebut. Sebaiknya siswa menuliskan pemecahan masalah tersebut secara rinci untuk memudahkan dalam pemeriksaan kembali hasil jawabannya.
4. Proses Berpikir a. Pengertian Proses Berpikir
Manusia tentunya mengalami proses berpikir dalam memecahkan masalah. Gilmer (1970) mendefiniskan berpikir sebagai, “Suatu pemecahan masalah dan proses penggunaan gagasan atau lambang-lambang pengganti suatu aktivitas yang tampak secara fisik” (Kuswana, 2011:2). Sedangkan berpikir menurut Kuswana (2011:1) berarti, “Menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menimbang-nimbang dalam ingatan”. Selanjutnya Kuswana menyatakan bahwa, “Proses berpikir merupakan urutan kejadian mental yang terjadi secara alamiah atau terencana dan sistematis pada konteks ruang, waktu, dan media yang digunakan, serta
commit to user
menghasilkan suatu perubahan terhadap objek yang mempengaruhinya“
(Kuswana, 2011:3).
Plato dalam Solso (2008:119) menyatakan bahwa, “Bentuk paling sederhana dari berpikir adalah pengenalan terhadap objek yang dilihat.”
Piaget mengemukakan teori tentang perkembangan kognitif manusia.
Piaget dalam Santrock (2009:48) menyatakan bahwa, ”Ketika anak berusaha membangun pemahaman mengenai dunia, otak berkembang membentuk skema”. “Skema adalah suatu struktur mental seseorang dimana ia secara intelektual beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya” (Suparno, 2001:21).
Kuswana lebih lanjut menjelaskan, “Skema berupa kategori pengetahuan yang membantu dalam menginterpretasi dan memahami dunia yang diperoleh melalui interaksi” (2011:159). Skema dapat terus berkembang seiring dengan bertambahnya interaksi yang akan menambah informasi (Kuswana, 2011).
Informasi yang baru didapat digunakan untuk memodifikasi atau bahkan mengganti skema yang lama sehingga diperoleh skema baru (Kuswana, 2011). Dalam proses berpikir terjadi adaptasi antara informasi yang masuk ke dalam otak dengan skema yang telah ada. Menurut Piaget, ada dua proses adaptasi yaitu asimilasi dan akomodasi.
“Asimilasi adalah proses menambahkan informasi baru ke dalam skema yang sudah ada” (Kuswana, 2011:159). Menurut Wadsworth dalam Suparno, “... asimilasi tidak menyebabkan perubahan skema, tetapi memperkembangkan skema” (2001:22). Sementara akomodasi adalah bentuk penyesuaian lain yang melibatkan pengubahan atau penggantian skema akibat adanya informasi baru yang tidak sesuai dengan skema yang sudah ada.
Akomodasi dapat berupa dua hal, (1) membentuk skema baru yang dapat cocok dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 2001:23).
Sebagai ilustrasi, seorang anak mempunyai konsep bahwa luas segitiga adalah hasil kali alas dengan tinggi, dimana sisi mendatar sebagai alas dan sisi yang tegak dengan alas tersebut sebagai tinggi. Kemudian siswa tersebut dihadapkan pada soal berikut.
commit to user
Pada saat mengerjakan soal nomor (1), siswa dapat secara langsung mengintegrasikan skema yang dimiliki ke dalam soal. Siswa akan dengan mudah menyatakan panjang alas segitiga tersebut adalah 12 sedangkan tingginya adalah 4. Dalam hal ini siswa dikatakan melakukan asimilasi.
Lain halnya ketika siswa dihadapkan pada soal nomor (2). Gambar pada soal (2) tidak sesuai dengan skema yang telah dimiliki sehingga siswa kebingungan menemukan mana alas dan tinggi segitiga. Siswa tersebut mungkin akan memutar segitiga sehingga diperoleh sisi mendatar seperti pada soal (1) sehingga cocok dengan skema yang dimiliki. Bahkan lebih jauh lagi mungkin siswa akan menemukan bahwa alas tidak selalu berupa sisi mendatar, tetapi dapat berupa sisi manapun segitiga dan tinggi segitiga adalah garis yang ditarik dari salah satu sudut segitiga yang tegak lurus dengan garis yang dijadikan sebagai alas sehingga skema siswa tentang alas dan tinggi segitigapun berubah. Dalam hal ini siswa dikatakan melakukan akomodasi.
Umumnya, siswa kelas VII berusia sebelas sampai dengan duabelas tahun. Menurut Piaget dalam Suparno (2000), siswa pada umur di atas sebelas atau duabelas tahun berada pada tahap operasi formal. Pada tahap ini, siswa sudah dapat berpikir logis dan dapat mengambil kesimpulan terlepas dari apa yang diamati pada saat itu. Siswa mulai bisa berpikir secara abstrak, dapat membuat teori berdasarkan apa yang diamati. Cara berpikir siswa pada tahap ini bersifat fleksibel, dapat melihat berbagai kemungkinan yang muncul dalam satu analisis dan memilih mana yang cocok untuk persoalan yang dihadapi (Suparno, 2000). Suparno juga menambahkan, siswa dapat
Tentukan luas daerah segitiga-segitiga berikut ini !
(1) (2)
12
4 12 4
commit to user
mendesain percobaan yang memerlukan pemikiran dan membutuhkan banyak variabel secara bersamaan (2000).
Menurut Van Oers & Polland (2007), proses berpikir abstrak merupakan sesuatu yang dapat diajarkan oleh guru pada siswa. Beberapa bentuk abstraksi yang sering dicontohkan guru antara lain menggunakan simbol atau mencontohkan untuk memilah informasi yang diperlukan dan mengabaikan informasi lainnya dalam memecahkan masalah. Oleh karena itu, siswa mempunyai skema dalam pikirannya untuk berpikir abstrak dalam memecahkan masalah. Bila skema ini digunakan untuk memecahkan masalah, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak.
Proses abstraksi yang dilakukan oleh siswa mungkin juga tidak dikarenakan pengalaman belajarnya bersama orang lain. Siswa yang tidak mempunyai skema mengenai penggunaan simbol ataupun pemilahan informasi dalam memecahkan masalah tertentu didorong oleh intuisinya untuk melakukan salah satu hal tersebut. Dalam hal ini, siswa dikatakan melakukan akomodasi abstrak.
Meski begitu, Piaget memberikan catatan terhadap teori tahap perkembangan kognitifnya tersebut. Tahap perkembangan yang diajukan oleh Piaget mempunyai urutan yang tetap atau berjenjang (Piaget dalam Suparno, 2000). Seorang siswa tidak akan bisa mencapai tahap selanjutnya sebelum mencapai tahap-tahap sebelumnya. Tetapi kapan tahapan-tahapan tersebut dimulai dalam diri sesorang dapat berbeda dengan orang lain, mungkin lebih cepat atau lebih lambat karena berbagai faktor seperti tingkat inteligensi atau lingkungan sosial (Piaget dalam Suparno, 2000).
Dengan demikian, dapat terjadi seorang siswa kelas VII yang seharusnya sudah berada pada tahap operasi formal ternyata masih berada pada tahap operasi konkret. Tahap ini dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan tertentu yang logis namun masih terbatas pada benda-benda konkret (Suparno, 2000). Pemikiran tersebut lanjut Suparno (2000) belum dapat diterapkan pada kalimat verbal, hipotetis, dan abstrak. Oleh karena itu, siswa pada tahap ini masih kesulitan memecahkan
commit to user
yang mempunyai segi dan variabel yang terlalu banyak (Suparno, 2000).
Menurut Suparno (2000), siswa juga belum dapat memecahkan persoalan yang abstrak sehingga ilmu aljabar atau persamaan tersamar akan sulit baginya.
Berdasarkan pemaparan diatas, proses berpikir yang juga mungkin dilakukan siswa dalam memecahkan masalah adalah asimilasi konkret atau akomodasi konkret. Proses berpikir asimilasi konkret terjadi saat siswa menggunakan pengetahuan yang dimiliki untuk memecahkan masalah tanpa menggunakan simbol maupun memilah informasi. Sedangkan proses berpikir akomodasi konkret terjadi saat siswa mengubah pengetahuan yang dimiliki untuk memecahkan masalah tanpa menggunakan simbol maupun memilah informasi.
Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan proses berpikir adalah proses pemecahan masalah yang dimulai dari penerimaan informasi, pengolahan informasi, penyimpanan informasi, dan pemanggilan informasi yang terjadi melalui proses asimilasi konkret, asimilasi abstrak, akomodasi konkret, atau akomodasi abstrak.
b. Indikator Terjadinya Asimilasi Konkret, Asimilasi Abstrak, Akomodasi Konkret, Dan Akomodasi Abstrak Dalam Pemecahan Masalah
Berdasarkan uraian mengenai proses adaptasi informasi, dirumuskan indikator terjadinya masing-masing proses tersebut dalam pemecahan masalah sebagai berikut.
1) Memahami Permasalahan
Dalam memahami permasalahan, bila siswa mencoba mencari bentuk permasalahan lain yang mirip dengan permasalahan yang diberikan maka siswa dikatakan melakukan asimilasi karena siswa berupaya mengintegrasikan permasalahan yang sedang dihadapi dengan permasalahan lalu yang sudah ada tanpa mengubah skema yang sudah dimiliki. Dengan kata lain, seperti yang juga dikatakan oleh Sari (2011), siswa dinyatakan melakukan asimilasi bila permasalahan yang diberikan sudah sesuai dengan skema yang dimiliki oleh siswa. Untuk mengetahui
commit to user
apakah skema sudah dimiliki siswa dilakukan observasi guru mengajar dan wawancara. Bila proses asimilasi dilakukan menggunakan simbol-simbol, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak sedangkan bila proses asimilasi dilakukan tanpa menggunakan simbol-simbol, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi konkret.
Siswa dikatakan melakukan akomodasi dalam memahami masalah bila siswa mencoba memahami masalah dengan caranya sendiri.
Siswa tidak mencari permasalahan lain yang sejenis dengan permasalahan yang diberikan. Untuk mengetahui keaslian ide siswa dilakukan wawancara. Akomodasi dalam memahami permasalahan juga dapat terjadi bila permasalahan yang diberikan belum sesuai dengan skema yang dimiliki siswa (Muhtarom, 2012) sehingga siswa perlu melakukan penyesuaian antara informasi baru dengan skema yang dimilikinya. Lebih lanjut, siswa dikatakan melakukan akomodasi abstrak bila proses akomodasi dilakukan menggunakan simbol-simbol dan akomodasi konkret bila proses akomodasi dilakukan tanpa menggunakan simbol-simbol.
2) Menyusun Rencana Pemecahan Masalah
Dalam menyusun rencana pemecahan masalah, siswa dikatakan melakukan asimilasi bila rencana yang disusun sama dengan rencana pemecahan masalah sejenis yang pernah dicontohkan atau pernah dijumpai oleh siswa (Sari, 2011). Bila proses asimilasi dalam menyusun rencana ini dilakukan menggunakan simbol-simbol atau menggugurkan informasi yang tidak diperlukan maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak dalam menyusun rencana pemecahan masalah.
Bila siswa mencoba membuat rencana pemecahan masalah sendiri maka siswa dikatakan melakukan akomodasi dalam merencanakan pemecahan masalah karena siswa memodifikasi skema yang dimiliki.
Siswa juga dikatakan melakukan akomodasi bila memutuskan untuk melakukan cara coba salah (trial and error) karena tidak adanya skema yang cocok dengan masalah yang ada (Sari, 2011). Bila dalam proses akomodasi siswa melakukan pengguguran informasi atau penyimbolan,
commit to user
maka siswa dikatakan melakukan akomodasi abstrak dalam menyusun rencana pemecahan masalah. Bila dalam proses akomodasi siswa tidak melakukan pengguguran informasi atau penyimbolan, maka siswa dikatakan melakukan akomodasi konkret dalam menyusun rencana pemecahan masalah.
3) Melaksanakan Rencana Pemecahan Masalah
Dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah, siswa dikatakan melakukan asimilasi bila siswa memecahkan permasalahan sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya. Bila rencana yang dijalankan tersebut menggunakan simbol, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah. Namun, bila rencana yang dijalankan tersebut tidak menggunakan simbol, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi konkret dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah
Bila rencana sebelumnya ternyata tidak dapat dijalankan sehingga siswa harus mengubah rencana tersebut maka siswa dikatakan melakukan akomodasi dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah (Muhtarom, 2012). Akomodasi juga terjadi bila siswa dapat menemukan cara lain yang dirasa lebih efektif (Sari, 2011). Jika dalam pelaksanaan rencana ini siswa melibatkan simbol-simbol seperti manipulasi aljabar, maka siswa dikatakan melakukan akomodasi abstrak. Sedangkan bila dalam pelaksanaan rencana ini siswa tidak melibatkan simbol-simbol seperti manipulasi aljabar, maka siswa dikatakan melakukan akomodasi konkret.
4) Memeriksa Kembali Jawaban Permasalahan
Langkah terakhir dalam pemecahan masalah menurut Polya adalah memeriksa kembali jawaban permasalahan. Dalam hal ini, bila siswa melakukan pemeriksaan kembali tehadap langkah-langkah yang telah dilakukan maka siswa dilakukan melakukan asimilasi (Muhtarom (2012); Sari (2011)). Asimilasi juga terjadi bila siswa memeriksa kecocokan jawaban dengan informasi yang ada (Sari, 2011). Bila pemeriksaan dengan proses asimilasi ini dilakukan dengan menggunakan
commit to user
simbol, maka siswa dikatakan melakukan asimilasi abstrak. Bila proses ini tidak melibatkan simbol maka siswa dikatakan melakukan asimilasi konkret.
Bila siswa dapat menemukan cara lain untuk memeriksa jawaban, maka siswa dikatakan melakukan akomodasi. Bila proses akomodasi tersebut dilakukan tanpa menggunakan simbol-simbol maka siswa dikatakan melakukan akomodasi konkret dalam memeriksa kembali jawaban permasalahan. Sedangkan siswa yang melakukan proses akomodasi menggunakan simbol-simbol maka dikatakan melakukan akomodasi abstrak.
Berdasarkan penjabaran diatas dapat dirumuskan indikator proses berpikir siswa melalui asimilasi, akomodasi, dan abstrak pada halaman berikut.
commit to user
Tabel 2.1. Indikator Proses Asimilasi, Asimilasi Abstrak, Akomodasi, dan Akomodasi Abstrak dalam Memahami Masalah Matematika Adaptasi
Informasi Indikator
Asimilasi Konkret
Subyek mencari bentuk permasalahan lain yang mirip dengan permasalahan yang diberikan.
Subyek menyatakan informasi pada permasalahan dengan cara mengaitkannya dengan materi yang pernah diperoleh.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan yang ditulis berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
Asimilasi Abstrak
Subyek mencari bentuk permasalahan lain yang mirip dengan permasalahan yang diberikan.
Subyek menyatakan informasi pada permasalahan dengan cara mengaitkannya dengan materi yang pernah diperoleh.
Subyek menyatakan informasi dalam permasalahan menggunakan simbol-simbol.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan ditulis berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
Akomodasi Konkret
Subyek tidak mencari bentuk permasalahan lain yang sejenis dengan permasalahan yang diberikan.
Subyek menyatakan informasi pada permasalahan menggunakan bahasanya sendiri.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan yang ditulis tidak berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
Akomodasi Abstrak
Subyek tidak mencari bentuk permasalahan lain yang sejenis dengan permasalahan yang diberikan.
Subyek menyatakan informasi pada permasalahan menggunakan bahasanya sendiri.
Subyek menyatakan informasi dalam permasalahan menggunakan simbol-simbol.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan yang ditulis tidak berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
commit to user
Tabel 2. 2. Indikator Proses Asimilasi, Asimilasi Abstrak, Akomodasi, dan Akomodasi Abstrak dalam Merencanakan Pemecahan Masalah Matematika
Adaptasi
Informasi Indikator
Asimilasi Konkret
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah dengan cara yang sama dengan rencana pemecahan masalah yang sejenis.
Subyek dapat langsung menyusun rencana pemecahan masalah berdasarkan apa yang diketahui.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan yang ditulis berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
Asimilasi Abstrak
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah dengan cara yang sama dengan rencana pemecahan masalah yang sejenis.
Subyek dapat langsung menyusun rencana pemecahan masalah berdasarkan apa yang diketahui.
Subyek menggugurkan informasi yang tidak diperlukan dalam memecahkan masalah. (berdasarkan wawancara dengan subyek).
Subyek membuat hubungan antar hal yang diketahui berdasarkan sudut pandangnya.
Pada saat wawancara siswa menyatakan bahwa pekerjaan yang ditulis berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah menggunakan simbol-simbol.
Akomodasi Konkret
Subyek memodifikasi skema yang dimiliki dengan cara mencari alternatif pemecahan masalah dengan caranya sendiri.
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah dengan cara trial and error.
Subyek tidak menggugurkan informasi yang tidak diperlukan untuk menjalankan rencana (berdasarkan wawancara dengan subyek).
Pada saat wawancara subyek menyatakan bahwa pekerjaan yang ditulis tidak berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
Akomodasi Abstrak
Subyek memodifikasi skema yang dimiliki dengan cara mencari alternatif pemecahan masalah dengan caranya sendiri.
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah dengan cara trial and error.
commit to user
Subyek menggugurkan informasi yang tidak diperlukan untuk menjalankan rencana (berdasarkan wawancara dengan subyek).
Subyek menyusun rencana pemecahan masalah menggunakan simbol-simbol.
Subyek membuat hubungan antar hal yang diketahui berdasarkan sudut pandangnya.
Pada saat wawancara subyek menyatakan bahwa pekerjaan yang ditulis tidak berdasarkan pengalaman yang pernah diperoleh.
Tabel 2. 3. Indikator Proses Asimilasi, Asimilasi Abstrak, Akomodasi, dan Akomodasi Abstrak dalam Melaksanakan Pemecahan Masalah Matematika
Adaptasi
Informasi Indikator
Asimilasi Konkret
Subyek dapat menggunakan rencana pemecahan masalah yang telah dibuat untuk memecahkan masalah.
Asimilasi Abstrak
Subyek dapat menggunakan rencana pemecahan masalah yang telah dibuat untuk memecahkan masalah.
Subyek menggunakan simbol dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah
Akomodasi Konkret
Subyek melakukan modifikasi rencana dalam melaksanakan pemecahan masalah karena rencana yang dibuat tidak dapat dijalankan.
Subyek mengubah rencana pemecahan masalah karena mengetahui ada cara lain untuk memecahkan masalah tersebut.
Akomodasi Abstrak
Subyek melakukan modifikasi rencana dalam melaksanakan pemecahan masalah karena rencana yang dibuat tidak dapat dijalankan.
Subyek mengubah rencana pemecahan masalah karena mengetahui ada cara lain untuk memecahkan masalah tersebut.
Subyek menggunakan simbol dalam melaksanakan rencana pemecahan masalah yang baru.
commit to user
Tabel 2. 4. Indikator Proses Asimilasi, Asimilasi Abstrak, Akomodasi, dan Akomodasi Abstrak dalam Memeriksa Kembali Pemecahan Masalah Matematika
Adaptasi
Informasi Indikator
Asimilasi
Konkret Subyek memeriksa langkah-langkah yang telah dilakukan dalam memeriksa kembali pemecahan masalah
Asimilasi abstrak
Subyek memeriksa langkah-langkah yang telah dilakukan dalam memeriksa kembali pemecahan masalah
Subyek menggunakan simbol dalam memeriksa kembali pemecahan masalah
Akomodasi Konkret
Subyek menggunakan cara yang lain dengan cara yang digunakan dalam memecahkan masalah untuk memeriksa kembali jawaban
Akomodasi abstrak
Subyek menggunakan cara yang lain dengan cara yang digunakan dalam memecahkan masalah untuk memeriksa kembali jawaban
Subyek menggunakan simbol dalam memeriksa kembali pemecahan masalah
5. Gaya Berpikir
“Otak manusia adalah satu-satunya organ yang sangat berkembang sehingga ia mampu mempelajari dirinya sendiri” (De Porter dan Hernacki, 2011:26). “Otak dibagi menjadi dua belahan, yaitu belahan kanan dan belahan kiri yang umumnya disebut sebagai otak kanan dan otak kiri. Eksperimen terhadap dua belahan tersebut menunjukkan masing-masing belahan bertanggung jawab terhadap cara berpikir” (De Porter dan Hernacki, 2011:36). “Proses berpikir otak kiri bersifat logis, sekuensial, linear, dan rasional. Meski sisi ini sangat teratur dan berdasarkan realitas, namun mampu melakukan penafsiran abstrak dan simbolik.
Sebaliknya, cara berpikir otak kanan bersifat abstrak, tidak teratur, intuitif, dan holistik” (De Porter dan Hernacki, 2011 : 36-38). Menurut De Porter dan Hernacki, ”Dalam proses belajar, dominasi otak ini akan berperan dalam proses pengaturan dan pengolahan informasi” (2011:110).
Anthony Gregorc dalam De Porter dan Hernacki (2011:124) menyimpulkan adanya dua kemungkinan dominasi otak terkait dengan
commit to user
pemrosesan informasi, yaitu: (a) Persepsi konkret dan abstrak; dan (b) Kemampuan pengaturan secara sekuensial (linear) dan acak (non linear).
Dua kemungkinan dominasi otak dalam pemrosesan ini dapat dipadukan menjadi empat kelompok perilaku yang disebut gaya berpikir. Jadi, gaya berpikir adalah kecenderungan seseorang dalam memproses informasi, meliputi proses pengaturan dan pengolahan informasi. Keempat kelompok gaya berpikir tersebut yakni sekuensial konkret, sekuensial abstrak, acak konkret, dan acak abstrak.
Orang yang masuk dalam dua kategori sekuensial cenderung memiliki dominasi otak kiri, sedangkan orang yang berpikir secara acak biasanya termasuk dalam dominasi otak kanan. De Porter dan Hernacki (2011) menguraikan karakteristik masing-masing karakteristik gaya berpikir sebagai berikut.
Pemikir sekuensial konkret (SK) adalah orang yang berpegang pada kenyataan yang dapat diketahui melalui indera fisik. Pemrosesan informasi dilakukan dengan cara yang teratur, linear, dan sekuensial. Akibatnya, mereka perlu mengatur tugasnya tahap demi tahap. Selain itu, mereka juga bekerja keras untuk mendapatkan kesempurnaan di setiap tahap. Mereka adalah penghafal yang baik dan menyukai pengarahan dan prosedur khusus.
Sebagaimana pemikir SK, pemikir acak konkret (AK) juga berdasarkan kenyataan. Hanya saja, pemikir AK mempunyai sikap eksperimental yang diiringi dengan perilaku kurang terstruktur. Mereka sering melakukan lompatan intuitif yang diperlukan untuk pemikiran kreatif yang sebenarnya. Pemikir tipe ini lebih berorientasi pada proses daripada hasil ataupun waktu. Mereka mempunyai dorongan kuat untuk melakukan segala sesuatu dengan caranya sendiri.
Sesuai dengan namanya, pemikir acak abstrak (AA) mempunyai dua sisi kekhasan, yakni „keacakan‟ dan „keabstrakan‟. Sikap acak pemikir AA ditunjukkan dengan perasaan dibatasi bila berada dalam lingkungan yang sangat teratur. Mereka lebih suka berkiprah di lingkungan yang kurang teratur yang berhubungan dengan orang-orang. Orang-orang dengan gaya berpikir ini mengalami peristiwa secara holistik, bukan secara bertahap. Oleh karena itu, mereka akan terbantu jika mengetahui bagaimana segala sesuatu terhubung dengan keseluruhannya sebelum masuk ke dalam detail. Sisi abstrak pemikir AA
commit to user
berada pada asumsi mereka mengenai realitas. Bagi pemikir AA, realitas adalah dunia perasaan dan emosi. Pikiran AA menyerap ide dan informasi dan mengaturnya secara refleksi. Terkadang, hal ini memakan waktu lama sehingga orang lain tidak menyadari bahwa orang AA mempunyai reaksi atau pendapat.
Selain itu, mereka mengingat sangat baik bila suatu informasi dipersonifikasi.
Meskipun sama-sama memiliki kekhasan dari sisi „abstrak‟ dalam memandang realitas, namun keabstrakan pemikir SA berbeda dengan pemikir AA.
Realitas bagi pemikir SA bukanlah dunia perasaan dan emosi, melainkan dunia teori metafisis dan pemikiran abstrak. Orang-orang tipe ini suka berpikir dalam konsep dan menganalisis informasi. Proses berpikir mereka logis, rasional, dan intelektual, serta pandai meneropong hal penting. Mereka ingin mengetahui sebab-sebab di balik akibat dan memahami teori serta konsep. Biasanya, mereka lebih suka bekerja sendiri daripada berkelompok. Sisi sekuensial mereka juga tampak dari penghargaan mereka terhadap orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang teratur rapi.
Perbandingan karakteristik masing-masing gaya berpikir disajikan dalam bentuk tabel berikut ini.
Tabel 2. 5. Perbandingan Karakteristik Masing-Masing Gaya Berpikir
No. Sekuensial Konkret Acak Konkret Acak Abstrak Sekuensial Abstrak
1. Kenyataan adalah apa yang dapat diketahui dari indera fisik.
Kenyataan adalah apa yang dapat diketahui dari indera fisik, tetapi ingin melakukan pendekatan coba- salah.
Dunia nyata bagi mereka adalah dunia perasaan dan emosi.
Dunia nyata adalah dunia teori metafisis dan pemikiran abstrak.
2. - Tertarik pada
kemungkinan-
kemungkinan yang
muncul dan
mengundang
eksplorasi selama proses.
Tertarik pada nuansa, dan sebagian lagi cenderung pada mistisme
Ingin mengetahui sebab-sebab di balik akibat dan memahami teori serta konsep.
3. Memproses informasi dengan cara yang teratur, linear, dan sekuensial
Bersikap eksperimental,
perilaku kurang terstruktur,
- Proses berpikir
mereka logis, rasional, dan intelektual.
commit to user 4. Mengingat fakta-
fakta, informasi, rumus-rumus, dan aturan-aturan khusus dengan mudah
- Mengingat sangat
baik bila suatu informasi
dipersonifikasi
Mudah
meneropong hal- hal penting, seperti titik-titik kunci dan detail-detail
penting 5. Harus mengatur
tugas-tugas menjadi proses tahap demi tahap
Sering melakukan lompatan intuitif yang diperlukan untuk pemikiran kreatif yang sebenarnya.
Mengalami
peristiwa secara holistik; mereka perlu melihat keseluruhan
gambar sekaligus, bukan bertahap.
-
6. Berusaha keras untuk mendapatkan
kesempurnaan pada setiap tahap
Lebih berorientasi pada proses daripada hasil.
- Jika suatu proyek
perlu diteliti, mereka akan melakukannya dengan mendalam 7. Menyukai pengarahan
dan prosedur khusus
Mempunyai dorongan
kuat untuk
menemukan alternatif dan mengerjakan segala sesuatu dengan cara mereka sendiri.
Terbantu jika mengetahui
bagaimana segala sesuatu terhubung dengan
keseluruhannya sebelum masuk ke dalam detail
-
8. Memperhatikan dan mengingat realitas dengan mudah
- Menyerap ide-ide,
informasi, dan
kesan dan
mengaturnya dengan refleksi
Suka berpikir dalam konsep dan menganalisis informasi.
9. - - Berkiprah di
lingkungan yang tidak teratur yang berkaitan dengan orang-orang.
Mereka lebih suka bekerja sendiri daripada
berkelompok.
10. - - Mereka merasa
dibatasi bila berada di lingkunga yang sangat teratur.
Sangat menghargai orang-orang dan peristiwa-peristiwa yang teratur rapi.
11. Berpegang pada kenyataan.
Waktu bukanlah prioritas mereka, terlebih bila sedang berada dalam situasi yang menarik.
Perasaan dapat lebih meningkatkan atau mempengaruhi belajar mereka.
Aktivitas favorit mereka adalah membaca.
commit to user
Untuk mengidentifikasi gaya berpikir seseorang dapat digunakan tes yang telah dirancang oleh John Parks Le Tellier, seorang pembimbing SuperCamp dalam De Porter dan Hernacki. Tes ini terdiri dari 15 kelompok kata yang masing- masing terdiri dari empat kata. Masing-masing kata tersebut mewakili satu gaya berpikir.
Siswa diminta memilih dua dari empat kata di masing-masing kelompok tersebut yang paling menggambarkan diri siswa. Setelah itu, siswa harus melingkari huruf-huruf dari kata-kata yang telah dipilih pada setiap nomor dalam suatu lembar jawab khusus yang terdiri dari empat kolom. Jumlahkan jawaban pada masing-masing kolom dan kalikan masing-masing hasilnya dengan empat.
Hasilnya dimasukkan dalam grafik khusus yang akan menunjukkan dominasi gaya berpikir siswa tersebut. Bersikap jujur adalah yang paling penting dalam tes ini. “Beberapa orang tampaknya terlihat mempunyai keseimbangan diantara semua cara, namun kebanyakan jelas lebih menyukai satu cara dan melampaui tiga yang lain pada batas yang berbeda-beda” (De Porter dan Hernacki, 2011:128).
Mengenai gaya berpikir ini, De Porter dan Hernacki (2011) juga menyampaikan bahwa masing-masing gaya berpikir ini sama baik. Setiap orang dapat berhasil dengan gaya berpikir apapun itu bila menyadari yang mana yang paling berhasil untuk dirinya dan mengembangkan yang lain-lainnya.
Begitu pula dalam matematika, senada dengan De Porter dan Hernacki, Ferri (2012) menyatakan bahwa gaya berpikir matematika bukanlah tentang seberapa baik seseorang dalam matematika, melainkan cara seperti apa yang disukai seseorang dalam memahami dan mempelajari matematika. Pendekatan ini didasarkan pada teori gaya berpikir Sternberg (1997). Sternberg dalam Ferri (2012) mengatakan bahwa, cara berpikir adalah gaya, bukan kemampuan melainkan lebih merujuk pada cara yang lebih disukai oleh seseorang dalam menggunakan kemampuan yang dimiliki.
Dalam proses pembelajaran di kelas, gaya berpikir siswa menjadi penting untuk diketahui oleh guru untuk menentukan gaya mengajar guru dan cara menyusun materi sehingga lebih mudah diterima siswa. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Zhang dan Sternberg dalam Ferri (2012) yang menyatakan bahwa
commit to user
siswa yang tidak mengkonsultasikan gaya berpikir mereka dengan guru mereka mungkin akan mengalami masalah dalam memahami sesuatu, tetapi bila guru menyadari gaya tersebut dan menyusun fakta-fakta matematika dengan cara yang berbeda, permasalahan dalam pemahaman tersebut dapat dicegah.
6. Materi Soal Cerita Bangun Datar Segitiga
Segitiga merupakan salah satu materi yang dipelajari pada jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar materi ini adalah sebagai berikut.
Tabel 2. 6. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Matematika Kelas VII Semester II Jenjang SMP
STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR
6. Memahami konsep segiempat dan segitiga serta menentukan ukurannya
6.1 Mengidentifikasi sifat-sifat segitiga berdasarkan sisi dan sudutnya
6.2 Mengidentifikasi sifat-sifat persegi panjang, persegi, trapesium, jajar genjang, belah ketupat dan layang- layang
6.3 Menghitung keliling dan luas bangun segitiga dan segi empat serta menggunakannya dalam pemecahan masalah
6.4 Melukis segitiga, garis tinggi, garis bagi, garis berat dan garis sumbu
Segitiga adalah bangun yang terbentuk bila sebuah garis lurus memotong dua buah garis yang sejajar (Clapham dan Nicholson, 2009). Dalam materi awal segitiga tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP), dikenal istilah alas dan tinggi segitiga. Anggaplah salah satu sisi segitiga sebagai alas segitiga tersebut. Sudut yang berhadapan dengan alas dinamakan puncak segitiga, dan jarak antara puncak dengan alas dinamakan tinggi segitiga (Clapham dan Nicholson, 2009).
Berdasarkan definisi segitiga, maka segitiga dapat dibedakan berdasarkan (1) panjang sisi-sisinya, (2) besar sudut-sudutnya, dan (3) panjang sisi dan besar sudutnya.
commit to user 1) Jenis Segitiga Berdasarkan Panjang Sisi-Sisinya
a) Segitiga Sembarang
Segitiga sembarang yaitu segitiga yang ketiga sisinya tidak sama panjang.
b) Segitiga Sama Kaki
Segitiga sama kaki yaitu segitiga yang mempunyai tepat dua buah sisi yang sama panjang.
c) Segitiga Sama Sisi
Segitiga sama sisi yaitu segitiga yang ketiga sisinya sama panjang.
2) Jenis Segitiga Berdasarkan Besar Sudut-Sudutnya a) Segitiga Lancip
Segitiga lancip adalah segitiga yang ketiga sudutnya merupakan sudut lancip.
b) Segitiga Siku-siku
Segitiga siku-siku adalah segitiga yang salah satu sudutnya merupakan sudut siku-siku.
c) Segitiga Tumpul
Segitiga tumpul adalah segitiga yang salah satu sudutnya merupakan sudut tumpul.
3) Jenis Segitiga Berdasarkan Panjang Sisi dan Besar Sudutnya a) Segitiga siku-siku sama kaki
Segitiga siku-siku sama kaki adalah segitiga yang salah satu sudutnya adalah sudut siku-siku dan mempunyai dua sisi yang sama panjang.
b) Segitiga tumpul sama kaki
Segitiga tumpul sama kaki yaitu segitiga yang salah satu sudutnya merupakan sudut tumpul dan mempunyai dua buah sisi yang sama panjang.
Jumlah besar sudut dalam suatu segitiga adalah 1800. Misalkan ABC adalah sembarang segitiga, maka keliling dan luas segitiga dirumuskan sebagai berikut.
commit to user
A
a
Bt
Keliling= AB + BC + AC Luas =
Dengan
B. Kerangka Berpikir
Matematika merupakan cabang ilmu pengetahuan yang dapat membentuk pola berpikir siswa melalui permasalahan-permasalahan yang ada di dalamnya.
Mengajarkan matematika pada siswa memang bukanlah pekerjaan yang mudah.
Banyak siswa merasa kesulitan dalam memahami mata pelajaran yang satu ini. Di lain pihak, tidak sedikit pula guru yang merasa kesulitan mencari cara terbaik untuk menyampaikan materi matematika.
Salah satu cara yang dapat dilakukan guru untuk membantu siswa memahami matematika adalah dengan memberikan bantuan (scaffold) dalam pembelajaran melalui pemilihan strategi pembelajaran yang tepat baik dari segi cara mengajar maupun pemberian tugas. Untuk menentukan cara mengajar dan struktur tugas yang tepat, maka diperlukan informasi mengenai proses berpikir siswa karena dalam proses pembelajaran tentunya terjadi proses berpikir.
Proses berpikir siswa dapat diamati melalui cara siswa dalam memecahkan masalah. Polya menawarkan empat langkah pemecahan masalah, meliputi : (1) memahami masalah, (2) menyusun rencana pemecahan masalah, (3) melaksanakan rencana penyelesaian masalah, dan (4) memeriksa kembali penyelesaian masalah. Dalam setiap langkah tersebut ada informasi yang diterima dan diolah oleh siswa. Menurut Piaget, setiap informasi yang masuk akan diadaptasi oleh siswa. Masalah yang terjadi akan menjadi informasi yang masuk sedangkan bekal pengetahuan yang telah dimiliki siswa akan menjadi skema (struktur kognitif yang dimiliki siswa). Masalah tersebut akan dipecahkan dengan cara mengadaptasi informasi yang masuk dengan skema yang sudah ada.
C
commit to user
Adaptasi dapat terjadi melalui dua cara, yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi bila informasi yang baru sesuai dengan skema yang telah dimiliki siswa sehingga siswa hanya perlu menambahkan atau mengintegrasikan informasi baru tersebut ke dalam skema yang dimilikinya. Skema adalah struktur pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya.
Bila informasi yang diterima ternyata belum sesuai dengan skema yang dimiliki siswa, maka siswa akan memodifikasi skema yang dimiliki sehingga sesuai dengan informasi yang baru atau bahkan membuat skema yang baru sehingga sesuai dengan skema yang dimiliki. Dalam hal ini siswa dikatakan melakukan akomodasi. Darisini dapat diketahui bahwa asimilasi tidak mengubah skema seseorang, tapi memperkembangkan skema. Sedangkan akomodasi dapat mengubah skema. Selain asimilasi dan akomodasi, dikenal pula abstraksi dalam pemecahan masalah. Abstraksi merupakan proses penggambaran situasi menjadi konsep yang masuk akal menurut suatu pengkonstruksian. Abstraksi dapat terjadi karena pengalaman siswa (sudah pernah diajarkan) ataupun karena inisiatif siswa.
Abstraksi yang terjadi karena pengalaman siswa disebut asimilasi abstraksi sedangkan abstraksi yang terjadi atas inisiatif pribadi siswa dinamakan akomodasi abstraksi.
Menurut para penganut psikologi Gestalt, suatu permasalahan ada ketika ketegangan atau stres muncul sebagai hasil dari interaksi antara persepsi dan memori. Dengan kata lain, syarat bagi suatu kondisi dikatakan sebagai masalah adalah adanya ketegangan karena interaksi persepsi dan memori.
Bangun datar segitiga merupakan salah satu materi matematika yang dipelajari oleh siswa kelas VII jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP). Soal- soal dalam materi ini seringkali muncul dalam bentuk soal cerita. Berdasarkan pengamatan peneliti, siswa paling banyak menemukan kesulitan dalam bentuk soal cerita, mulai dari memahami maksud soal, menyatakan soal ke dalam kalimat matematika, menyusun rencana untuk memecahkan soal tersebut, sampai dengan melaksanakan rencana pemecahan yang telah disusun. Soal cerita, termasuk soal cerita segitiga juga dapat muncul dalam berbagai variasi sehingga dapat menimbulkan perbedaan antara pengetahuan yang telah dimiliki (memori, dalam
commit to user
hal ini contoh soal) dengan pengetahuan yang baru (persepsi, dalam hal ini soal yang baru). Oleh karena itu, kemunculan soal cerita segitiga dimungkinkan dapat menjadi masalah bagi siswa sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk mengungkap proses berpikir siswa.
Dalam proses berpikir, terjadi kecenderungan pada siswa dalam mengatur dan mengolah informasi. Kecenderungan siswa dalam mengatur dan mengolah informasi ini disebut gaya berpikir. Karena ada empat kelompok gaya berpikir, maka dapat diteliti proses berpikir dari masing-masing gaya berpikir tersebut. Dengan menganalisis cara yang ditempuh masing-masing gaya berpikir dapat diperoleh gambaran proses berpikir siswa. Dalam penelitian ini akan diteliti bagaimana proses pengolahan informasi yang merupakan bagian dari proses berpikir siswa ditinjau dari gaya berpikir siswa dalam memecahkan masalah matematika, yakni pada materi bangun datar segitiga.