BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
Transformasi konflik merupakan pendekatan yang digunakan dalam proses rekonsiliasi sebagai upaya untuk memperbaiki pola hubungan dua komunitas agama di Kota Ambon pasca konflik. Budaya sebagai kekuatan dalam masyarakat akan dijadikan sebagai elemen atau alat dalam proses tersebut.
Pendekatan transformasi konflik merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dan melengkapi program – program bina damai yang selama ini digunakan lewat pendekatan – pendekatan sebelumnya seperti manajemen konflik dan resolusi konflik.
Konflik di Maluku merupakan bagian dari serangkaian konflik berbasis agama dan etnis yang terjadi di Indonesia pasca turunnya rezim pemerintahan Soeharto. Indikasi ketidakpastian politik dianggap cukup kuat berada di balik kerusuhan atau kekerasan atas nama agama atau etnis di Indonesia, dan kompetisi politik membentuk keadaan dimana para elit politik terpaksa mengorganisir sebuah kerusuhan etnis. Pada konteks nasional, kondisi seperti ini terjadi di Indonesia, ketika rezim orde baru Soeharto berusaha mempertahankan kekuasaannya. Setelah kerusuhan anti Cina di Jakarta dan beberapa kota lain selama tahun 1998, kemudian terjadi konflik kekerasan agama antara Muslim dan Kristen pada tahun 1999 di Ambon dan Poso, serta antara etnis Dayak dan Melayu di Kalimantan.1
Maluku merupakan salah satu provinsi yang harus berbenah diri dan mengejar ketertinggalan dari daerah lain, setelah terperosok dalam dinamika konflik komunal yang terjadi pada tahun 1999-2002. Masyarakat Maluku terutama yang ada di Kota Ambon tidak akan pernah menyangka bahwa pertikaian kecil antara dua orang supir angkutan umum yang kebetulan berbeda agama, akan berkembang menjadi perang agama berskala besar. Insiden yang biasanya dapat segera diselesaikan berubah menjadi mobilisasi masa dengan
1 S. R. Panggabean & B. Smith, ‘Explaining Anti-Chinese Riots in the Late 20th Century in Indonesia,’World Development,vol. 39,no.2, 2011, p. 233.
membawa simbol – simbol agama.2 Konflik dengan cepat memecah belah masyarakat ke dalam dua komunitas, yaitu Islam dan Kristen. Konflik diperparah dengan aktifnya para provokator profesional dan kehadiran kelompok militan dari luar Maluku, yang berkontribusi pada kekerasan bermotif agama.3 Polarisasi konflik di Ambon antara Islam dan Kristen sudah sangat terlihat pada akhir tahun 1998. Persepsi ancaman dan kesempatan muncul di kalangan menengah kota terkait siapa yang memiliki kontrol atas negara. Semua ini terkait dengan jabatan – jabatan politis dan strategis di lembaga – lembaga pemerintahan, yang semakin memanas dengan rencana pelaksanaan pemilu pada tahun 1999.4 Bentuk kompetisi seperti ini menimbulkan kecemburuan satu sama lain dan mulai memperparah segregasi di antara kedua kelompok komunitas.
Segregasi kelompok di Maluku tidak baru dimulai pada saat terjadinya konflik, dimana sebelumnya kedua komunitas hidup damai berdampingan, namun karena ditunggangi oleh isu politik maka terjadi benturan. Bentuk segregasi sudah ada jauh dari jaman kolonial. Ketika itu, Belanda mengkotak – kotakan masyarakat Maluku, berdasarkan agama. Segregasi ini semakin diperparah dengan kemunculan kelompok separatis Republik Maluku Selatan (RMS) yang diidentikkan dengan orang Kristen, sedangkan orang Islam lebih memilih untuk tetap setia kepada negara Indonesia. Bentuk stereortype seperti inilah yang dianggap sebagai bentuk ancaman laten dalam masyarakat.
Ketika ekskalasi konflik sedang tinggi - tingginya, banyak upaya penyelesaian konflik dan proses perdamaian yang dilakukan oleh pemerintah pusat, daerah dan lembaga non pemerintah baik skala lokal, nasional maupun internasional. Setelah konflik dinyatakan selesai pada tahun 2002, muncul kembali banyak insiden di Ambon setelah itu. Pada situasi pasca konflik seperti ini, konflik terbuka jarang bahkan tidak lagi muncul ke permukaan, namun konflik laten terutama ketegangan sosial – kultural di masyarakat masih terus
2 B. Brauchler, ‘Mobilizing culture and tradition for peace : Reconciliation in the Moluccas,’
dalam B. Brauchler, Reconciling Indonesia : Grassroots Agency for Peace, Routledge, New York, 2009, p. 97.
3 C. Pamungkas, ‘Agama, etnisitas, dan perubahan politik di Maluku : Refleksi teoretik dan historis,’Jurnal Masyarakat Indonesia, vol. 40, no.1, Juni 2014, p. 46.
4 G. Van Klinken, ‘Pelaku baru, identitas baru : Kekerasan atar suku pada masa asca Soeharto di Indonesia,’ dalam D. F. Anwar, H. Bouvier, G. Smith, &R. Tol, Konflik kekerasan internal : Tinjauan sejarah, ekonomi-politik, dan kebijakan di Asia Pasifik, Yayasan Obor Indonesia – LIPI – LASEMA CNRS - KITLV, Jakarta, 2005, p. 101.
berlangsung.5 Hal ini berarti bahwa sebelumnya konflik hanya selesai pada tataran masyarakat tertentu tetapi belum selesai pada tataran akar rumput, yang paling merasakan dampak dari konflik.
Sebagian besar masyarakat dari berbagai latar belakang agama di Maluku berpendapat bahwa selain pendekatan keamanan, upaya perdamaian pemerintah lewat perjanjian Malino II secara politis cukup berhasil dalam menurunkan ekskalasi konflik. Tetapi untuk mencegah konflik laten kembali menjadi konflik terbuka, harus berasal dari inisiatif masyarakat sendiri melalui instrumen yang dapat dipakai sebagai jembatan bagi kedua komunitas.6 Elemen adat kemudian mulai muncul sebagai konsep tradisional untuk rekonsiliasi pihak – pihak yang bertikai, selain melalui dialog – dialog lintas agama yang secara intens terus dilakukan.
Selain penggunaan budaya tradisi dan dialog, para komunitas anak muda yang merupakan bagian dari kelompok akar rumput juga turut memainkan peran di ruang – ruang publik melalui kerangka seni dan musik. Mekanisme yang mereka lakukan cukup sederhana, namun dapat secara signifikan membantu memperbaiki kontak dan pola interaksi antar masyarakat mulai pada skala yang kecil hingga skala yang lebih luas. Selain untuk mendukung rekonsiliasi pasca konflik, hal ini juga menunjukan bahwa mayoritas masyarakat ingin untuk kehidupannya cepat pulih dan dapat hidup harmonis.
Kondisi Kota Ambon saat ini sudah damai, namun perlu dipastikan bahwa ancaman – ancaman laten di tengah – tengah masyarakat sudah berkurang atau hilang sama sekali. Tesis ini akan membahas secara komprehensif upaya bersama masyarakat dalam menciptakan wadah - wadah perjumpaan untuk memperbaiki hubungan masyarakat pasca konflik. Dalam proses ini, budaya akan memiliki peran penting dalam proses transformasi, diantaranya penggunaan budaya tradisi dan media berkesenian untuk perdamaian.
B. Pertanyaan Penelitian
Bagaimana transformasi konflik berbasis budaya dijalankan di Ambon ?
5 L. Trijono, Pembangunan sebagai perdamaian, Lembaga Padii – Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, p. 89.
6 Brauchler, ‘Mobilizing culture and tradition for peace : Reconciliation in the Moluccas’,p. 98.
C. Review Literatur
Penelitian ini akan berfokus pada proses transformasi konflik sebagai pendekatan yang digunakan untuk menganalisa bentuk – bentuk rekonsiliasi di Maluku khususnya di kota Ambon pasca konflik komunal tahun 1999. Budaya digunakan dalam proses transformasi konflik untuk memperbaiki hubungan masyarakat. Tidak hanya pada situasi pasca konflik tetapi juga untuk menghilangkan ancaman laten yang masih ada di tengah - tengah masyarakat.
Menyusul pecahnya konflik komunal di Maluku pada tahun 1999, ada banyak bentuk insiatif untuk mengakhiri konflik. Faktanya, masalah konflik komunal di Maluku mengundang banyak perhatian untuk dilakukan berbagai bentuk rekonsiliasi dan perdamaian yang melibatkan aktor internasional, nasional dan lokal. Secara keseluruhan, bentuk - bentuk inisiatif tersebut justru semakin menimbulkan kompleksitas dalam proses perdamaian. Brauchler dalam bukunya, mencoba untuk menganalisa mengapa model atau alat rekonsiliasi dan perdamaian yang biasa diterapkan secara global di berbagai negara, gagal diterapkan di Maluku walau banyak juga alternatif yang dikembangkan di lapangan. Inisiatif – inisiatif tersebut berasal dari banyak LSM atau organisasi skala internasional maupun nasional, pemerintah, akademisi, media, pemimpin dan organisasi lokal, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat dan komunitas – komunitas masyarakat lainnya. Namun salah satu latar belakang kegagalan proses perdamaian adalah kurangnya koordinasi antara program dan inisiatif Artinya bahwa kebanyakan program perdamaian gagal dilakukan karena tidak adanya dukungan ataupun inisiatif penuh dari pihak – pihak yang bertikai karena dianggap bertentangan dengan keinginan masyarakat.7
Setelah bentuk kegagalan – kegagalan tersebut, maka muncul inisiatif lain yang dilakukan oleh LSM dan komunitas lokal dari daerah yang bertikai. Inisiatif ini melibatkan figur – figur yang dihormati, para wanita dan anak – anak.
Program rekonsiliasi dilakukan di daerah – daerah umum atau netral di pusat kota. Hasilnya adalah secara perlahan namun pasti menjadi lebih baik dari program - program sebelumnya. Analisa Brauchler adalah untuk daerah seperti Maluku, budaya memainkan peran yang sangat penting atau sebagai kunci penyelesaian konflik dan dalam proses bina damai. Brauchler sepakat dengan
7 B. Brauchler, The Cultural Dimension of Peace, Decentralization and Reconciliation in Indonesia, Palgrave, New York, 2015, p. 80.
Lederach bahwa semua sektor dalam masyarakat harus aktif terlibat penuh untuk menciptakan proses perdamaian yang berhasil dan bertahan lama.8
Konflik komunal yang terjadi dimana saja termasuk di Maluku, menyebabkan kesengsaraan tidak hanya fisik tapi juga sangat menguras emosi.
Seperti apa yang Klinken katakan dalam bukunya ini, bahwa Ambon telah menjadi sebuah kota yang dipisahkan dalam tubuh dan pikiran. Lebih dari enam tahun setelah kejadian itu, kebenaran masih belum terungkap dan kedua komunitas masih tidak mampu untuk mendengar satu sama lain serta mencapai pengertian bersama. 9 Pada kesepakatan damai pada Februari 2002, termuat klausal tentang penyelidikan kasus kerusuhan yang dimulai pada tahun 1999.
Satu – satunya keinginan dari masyarakat yang telah tersegregasi, bukan terfokus pada penyelesaian secara emosional, tetapi terkuras untuk menuntut kebenaran terkait konflik.
Fokusnya adalah pada fase pertama konflik tahun 1999, ada kekuatan pendorong di belakang orang yang termobilisasi untuk membunuh daripada menggunakan pendekatan budaya untuk meredam mereka yang tersulut emosi.
Penghitungan rasionalitas yang terbentuk dalam aktivitas terorganisir merupakan aktor utama daripada perhitungan emosional soal rasa bangga atau rasa penyesalan (untuk membunuh). Terdapat cara lain dalam melihat kejadian ini, selain latar belakang politik, semua ini merupakan tragedi yang tidak sengaja terjadi karena konsekuensi dari rasa takut. Penjelasan alternatifnya adalah timbulnya kekerasan seperti ini merupakan security dillema, membunuh atau dibunuh.10
Agama bukanlah menjadi faktor utama (core conflict) dalam konflik anarkisme, namun hanya menjadi faktor konsideran maupun pendukung (supporting conflict). Dalam berbagai kasus konflik yang mengatasnamakan agama seperti konflik Islam – Kristen di Poso dan Maluku, agama justru terpolitisasi menjadi identitas konflik yang sebenarnya hanya menjadi topeng atas rivalitas perebutan sumber ekonomi, politik maupun birokrasi antar masyarakat.
8 Brauchler, p. 81.
9 G. Van Klinken, Communal Violence and Democratization in Indonesia, Small Town Wars, Routledge, London, 2007 p.89.
10 Van Klinken, P. 90.
11 Selain itu ada juga dominasi komunitas tertentu terhadap komunitas lain dan masuknya etnis – etnis seperti Bugis, Buton dan Jawa yang kemudian menguasai sektor – sektor perekonomian. Hal ini menjadi sangat rentan ketika muncul provokasi agama yang didasari motif politik dengan memanfaatkan kecemburuan dan kesenjangan politik, ekonomi dan sosial yang sudah terpupuk selama ratusan tahun.
Namun demikian, yang menjadi kekhasan dalam penyelesaian konflik anarkisme agama di Maluku adalah representasi maupun revitalisasi kearifan lokal berupa pela gandong antar negri (kampung), untuk saling mengangkat saudara menjadi hubungan kakak-adik.12 Jati seperti halnya dengan Lederach dan Brauchler sepakat mengangkat relevansi budaya dalam proses pengelolaan konflik dan bina damai di Maluku. Tetapi Jati juga menambahkan bahwa keberhasilan program bina damai berbasis budaya di level masyarakat menengah dan paling bawah akan semakin berhasil jika dibarengi dengan representasi yang seimbang di berbagai bidang. Perlu diingat bahwa selain agama sebagai konflik pendukung, problematika akses dalam bidang politik dan ekonomi juga mengakibatkan kesenjangan dan persoalan di tengah – tengah masyarakat.
Adapun studi konflik di Maluku merupakan bahasan menarik yang perlu dilanjutkan oleh penelitian – penelitian selanjutnya terutama mengenai potensi konflik laten pasca rekonsiliasi perdamaian. Tidak dapat dipungkiri bahwa konflik sendiri sulit untuk dimusnahkan, melainkan hanya dapat direduksi perkembangannya. Maka yang menjadi persoalan selanjutnya untuk diteliti adalah bagaimana potensi konflik laten dalam masyarakat Maluku pasca rekonsiliasi. 13
Selain upaya - upaya rekonsiliasi, masyarakat juga harus berupaya untuk menciptakan basis perdamaian jangka panjang. Perdamaian dapat dicapai dengan pembentukan struktur, proses dan pelatihan individu di berbagai tingkatan generasi. Banyak defenisi terkait dengan upaya kelompok masyarakat sipil, namun menurut Paffenholfz, secara umum upaya masyarakat sipil dapat kita anggap sebagai sebuah arena untuk aksi bersama, yang saling berbagi
11 W. R. Jati, ‘Kearifan Lokal sebagai Resolusi Konflik Keagamaan,’ Jurnal Walisongo, vol. 21, nomor 2, November 2013, p.394.
12 Jati, p. 395.
13 Jati, p. 414.
kepentingan, tujuan dan nilai. Masyarakat sipil merupakan aktor kunci dalam upaya rekonsiliasi dan perdamaian berkelanjutan.14
Pada tataran masyarakat sipil, melakukan bentuk pendekatan partisipatoris akan menjadi lebih mudah. Masyarakat tidak hanya diundang untuk sekedar berpartisipasi dalam berbagai program bina damai, rekonsiliasi maupun dialog, tetapi akan dilibatkan mulai dari awal sebagai upaya untuk membuka ruang dalam kerjasama. Mereka juga turut mendesain program – program pemulihan perdamaian dengan menggunakan sumber daya tradisi, agama individual, peran sebuah instrumen seperti jaringan keagamaan dan kemasyarakatan ke dalam dinamika konflik dan bina damai untuk mencapai perdamaian jangka panjang.
Tempat dan ruang memainkan peranan penting dalam proses bina damai yang bertujuan untuk menyatukan secara sosial dan geografis kedua kelompok yang tersegregasi. Salah satunya adalah mencari tempat yang netral seperti daerah tengah kota atau perpustakaan umum, untuk saling berkumpul dan melakukan dialog. Para artis, musisi, dan seniman menggunakan arena publik secara umum dan intensif untuk mengembalikan citra Maluku yang hancur karena konflik menjadi citra yang cinta damai. Media juga digunakan lebih luas lagi sebagai agen perdamaian, baik lewat jurnalis, VCD, grafiti, poster, lukisan, selebaran, internet dan pesan singkat lewat telepon genggam.15
Selain budaya tradisi, media berkesenian dapat digunakan sebagai alat dalam proses rekonsiliasi atau perdamaian. Kebanyaan organisasi dan proyek bina damai belum menggunakan pendekatan seni, karena dianggap merupakan bentuk pendekatan “lembut” yang tidak sesuai dengan isu – isu “keras” dalam konflik dan kekerasan. Selain itu proses bina damai lebih banyak didasarkan pada ilmu sosial dan politik yang bersifat koersif, daripada menggunakan pendekatan – pendekatan humanis.16 Namun pada banyak kasus, pendekatan seni sudah di lakukan di berbagai belahan dunia terutama pada konflik – konflik berbasis komunal dan untuk kampanye - kampanye perdamaian.
14 T. Paffenholz, ‘Civil Society,’ dalam R. MacGinty, Routledge Handbook of Peacebuilding, Routledge, London, 2013, p. 349.
15 Brauchler, The Cultural Dimension of Peace, Decentralization and Reconciliation in Indonesia, p. 100.
16 M. Shank & L. Schirch, ‘Arts and Peace,’ Peace History society and Peace and Justice Studies Association, 2008, p.1.
Seni digunakan sebagai alat komunikasi dan transformatif, untuk merubah cara berpikir dan bertindak individu. Media seni ini muncul dalam bidang bina damai sebagai bentuk respon terhadap kompleksitas dan beragamnya semangat humanitas dalam diri seseorang. Seni digunakan sebagai media untuk mengekspersikan diri, menyembuhkan trauma dan merekonsiliasikan diri mereka ataupun dengan orang lain melalui kesenian.17 Proses rekonsiliasi dengan menggunakan pendekatan ini biasanya dilakukan pada situasi pasca konflik, yang bertujuan untuk proses rekonsiliasi dan rehabilitasi, sekaligus dapat digunakan sebagai instrumen pendidikan bina damai.18
Penggunaan media berkesenian untuk rekonsiliasi dan perdamaian sudah banyak diterapkan di berbagai wilayah yang mengalami konflik komunal. Musik dan puisi di Siprus telah digunakan untuk proses transformasi konflik pada level konseptual, emosional dan kultural. Lirik dalam lagu digunakan untuk menjaga visi tentang perdamaian, sebagai alat untuk berkomunikasi, kolaborasi dan sebagai bentuk selebrasi. Musik dan puisi digunakan untuk penyatuan budaya, bukan dikotomi Yunani dan Turki, tetapi sebagai orang Siprus, tidak terpecah - pecah sekaligus untuk mempromosikan budaya damai di masyarakat.19 Selain di Siprus, bentuk intervensi seni dalam transformasi konflik juga dilakukan di Uganda Utara. Seni pertunjukan dilaksanakan di area - area publik.
Musik Acholi merupakan inti dari kehidupan masyarakat yang telah berperang selama lebih dari dua dekade. Masyarakat Acholi menempatkan musik sebagai bagian terpenting dalam proses transformasi konflik. Sepuluh tahun setelah meredanya konflik bersenjata, situasi di Uganda Utara telah relatif stabil dan damai.20
Seni juga dapat dikatakan sebagai elemen kreatifitas yang dapat digunakan secara bersama – sama, yang berarti bahwa proses kreativitas sebagai elemen penting dalam bina damai termasuk di daerah bekas konflik seperti di
17 Shank & Schirch, p. 2.
18 European Centre for Conflict Prevention, International Fellowship of reconciliation (IFOR), &
the Coexistence Initiative of State of the World Forum, Healing divided societes, People Building Peace : 35 Inspiring Stories from Around the World, European Centre for Conflict Prevention, Amsterdam, 1999, p.287
19 European Centre for Conflict Prevention, International Fellowship of reconciliation (IFOR), &
the Coexistence Initiative of State of the World Forum, p. 297.
20 L. Mc. Opiyo, Music as Education, Voice, Memory and Healing : Community Views on the Role of Music in Conflict Transformation in Northern Uganda, African Conflict and Peacebuilding Review, vol. 5, no. 1, 2015, p. 42.
Ambon. Penggunaan media ini sangat efektif dalam melibatkan kedua komunitas yang bertikai untuk berkumpul bersama – sama dan turut berpartisipasi dalam aksi kolaboratif sebagai bagian dari proses terapi traumatik maupun dalam membangun hubungan interpersonal lewat aktivitas – aktivitas kreatif tersebut.
D. Kerangka Konseptual
Tranformasi konflik diharapkan dapat mengisi celah yang ada dalam implementasi program manajemen dan resolusi. Selama ini, peran lembaga non pemerintah dan kelompok akademisi untuk membantu mencari solusi dalam konflik domestik sangatlah penting, dimana organisasi tradisional dan pemerintah mengalami kesulitan untuk melakukannya. Konseling dan pelatihan untuk transformasi konflik sebagai bentuk pendekatan bina damai yang sering digunakan akhir – akhir ini, diharapkan dapat membawa alternatif dan perspektif baru. Perbedaannya adalah bahwa para aktor eksternal tidak lagi menjadi ahli, mendikte, dan berpartisipasi penuh, tetapi hanya sebagai fasilitator dalam dialog – dialog yang melibatkan masyarakat secara utuh dan mendorong mereka untuk terlibat dalam aktivitas yang berorientasi proses.21
Selanjutnya ada tiga celah yang dilihat oleh praktisi perdamaian berbasis transformasi konflik, yaitu terkait dengan ketidakmampuan dalam kerangka konseptual dan praktek yang melemahkan kapasitas kita untuk mempertahankan hasil yang diinginkan. Resolusi konflik sendiri pasalnya lebih menekankan hubungan horizontal dan mengabaikan hubungan vertikal. Hubungan antara level elit, menengah, dan akar rumput belum tertangani. Masih ada celah terkait hubungan interdependensi pada level vertikal ini.
Celah yang kedua adalah dalam interdependensi, keadilan dan proses struktural. Selama ini melalui kesepakatan, bentuk kekerasan langsung dapat dikurangi. Namun ekspektasi dalam bidang sosial, ekonomi, agama dan budaya, jarang bisa dicapai. Ada celah yang besar antara ekspektasi dengan apa yang dihasilkan. Celah yang ketiga adalah terkait faktor yang dirasa hilang dalam proses bina damai. Menurut Lederach selain negosiasi, mediasi dan intervensi, kita juga membutuhkan sesuatu yang baru. Faktor yang hilang adalah perdamaian
21 W. Graf, G.Kramer, & A. Nicolescou, ‘Counselling and Training for Conflict Transformation and Peacebuilding,’ dalam C. Webel & J. Galtung, Handbook of Peace and Conflict Studies, Routledge, New York, 2007, p. 124.
sebagai sebuah proses organik yang harus diisi dengan kreativitas, dedikasi dan visi dari mereka yang hidup dalam konflik. 22
John P. Lederach selanjutnya memberikan defenisi transformasi konflik sebagai berikut ;
Conflict transformation is to envision and respond to the ebb and flow of social conflict as life-giving opportunities for creating constructive change processes that reduce violence, increase justice, in direct action and social structures, and respond to real-life problems in human relationships. Transformasi konflik ingin bergerak dari satu bagian ke bagian lain, untuk merubah situasi, tidak hanya untuk menghentikan persoalan. Hal ini menjadi sangat penting karena konflik - konflik baru yang muncul sering juga merupakan hasil dari konflik lama yang dianggap sudah terselesaikan.23
Paffenholfz juga sepakat dengan mengatakan bahwa transformasi konflik fokus kepada pendekatan yang lebih dalam dan komprehensif. Berdasarkan perbedaan pengertian dalam bina damai, Rupesinghe, menawarkan untuk mengganti istilah resolusi konflik dengan transformasi konflik, karena dianggap lebih lengkap dan menyeluruh. Dia menawarkan untuk membangun insfrastruktur jangka panjang untuk bina damai dalam rangka mendukung potensi rekonsiliasi ditengah – tengah masyarakat. Sama seperti halnya resolusi konflik, pendekatan ini juga melihat adanya kebutuhan untuk membangun kembali hubungan yang rusak, fokus kepada rekonsiliasi masyarakat dan penguatan – penguatan potensi masyarakat. Kemudian pendekatan ini juga menekankan pentingnya koordinasi antar aktor di berbagai tingkatan, dimana sensitif terhadap budaya lokal juga sangat penting. Pendekatan ini mengidentifikasikan individu atau kelompok di tingkatan menengah dengan memberdayakan mereka untuk membangun perdamaian dan mendukung rekonsiliasi.24
Jika berbicara mengenai terminologi dalam prinsip bina damai, Simon Fisher menganalogikan transformasi konflik dan pendekatan lainnya dengan tingkatan kekerasan konflik di dalam masyarakat. Melalui bagan dibawah ini,
22 Graf, Kramer & Nicolescou pp. 125-126.
23 L. Mc. Opiyo, Music as Education, Voice, Memory and Healing : Community Views on the Role of Music in Conflict Transformation in Northern Uganda, p. 44.
24 T. Paffenholz, ‘Understanding Peacebuilding Theory : Management, Resolution and Transformation,’ New Routes : a Journal of Peace and Research, vol.14, 2009, pp. 4-5.
Fisher ingin menunjukkan berbagai pendekatan untuk menangani konflik, yang kadang juga dipandang sebagai tahap – tahap dalam suatu proses. Masing – masing tahap akan melibatkan tahap sebelumnya.
Gambar 1.1. Respon terhadap berbagai konflik : melalui lika liku istilah
Sumber : S. Fisher, et.al, Working with Conflict : Skills and Strategies for Action
Pencegahan konflik mengacu pada strategi – strategi untuk mengatasi konflik laten, dengan harapan dapat mencegah meningkatnya kekerasan. Resolusi konflik di pihak lain, mengacu pada strategi – strategi untuk menangani konflik terbuka dengan harapan tidak hanya mencapai suatu kesepakatan untuk mengakhiri kekerasan dan penyelesaian konflik, tetapi juga mencapai suatu resolusi dari berbagai perbedaan sasaran yang menjadi penyebabnya. Sementara itu transformasi konflik adalah strategi yang paling menyeluruh dan luas, yang membutuhkan komitmen paling lama dan paling luas cakupannya.25
Transformasi konflik merupakan konsep yang menekankan bahwa konflik kontemporer membutuhkan lebih dari sekedar win – win solution. Dia harus menyertakan proses perubahan pola hubungan, kepentingan, diskursus, bahkan masyarakat yang terlibat sebelumnya dalam konflik kekerasan. Semua orang dalam pihak – pihak yang terlibat di dalam konflik pada semua tataran memainkan peranan yang penting dalam proses perdamaian jangka panjang.
Transformasi konflik bersifat multi dimensi, yang dapat muncul pada berbagai tingkatan konflik. Oleh karena itu, transformasi dalam prosesnya dapat dilakukan berulang – ulang jika hasil yang didapat tidak maksimal atau gagal.
25 S. Fisher, et.al, Working with Conflict : Skills and Strategies for Action, edisi Bahasa Indonesia, Mengelola Konflik : Ketrampilan & Strategi untuk Bertindak, diterjemahkan oleh S. N. Kartikasari, Meiske D. Tapilatu, Rita Maharani, Dwiati Novita Rini, The British Council, London, 2000. pp. 7-8.
Meningkatnya Kekerasan
Meningkatkan Ruang Lingkup
Konflik Laten Konflik di Permukaan Konflik Terbuka Pencegahan Konflik
Penyelesaian Konflik Pengelolaan Konflik Resolusi Konflik Transformasi Konflik
Transformasi dapat muncul pada tahap awal ekskalasi atau sebelum masuk pada konflik skala besar, dan kemudian mencegahnya berekskalasi kembali.
Transformasi juga dapat dimunculkan setelah krisis atau selesainya episode kekerasan, dimana para partisan yang terlibat dalam konflik menarik diri dari arena konflik, atau secara koersif salah satu pihak dapat dipukul mundur. Pada proses tersebut, para musuh dapat membangun hubungan baru yang dapat diterima oleh semua pihak sehingga tidak lagi terlibat dalam kekerasan parah yang dapat kembali merubah pola hubungan mereka.26
Konflik akan ditransformasikan secara gradual, tanpa mempermasalahkan transformasi melalui perubahan kecil ataupun besar. Transformasi konflik harus secara aktif melibatkan, menghormati, dan mempromosikan sumber daya manusia dan budaya yang ada.27 Menurut Lederach, aspek transfromasi didasarkan pada dimensi personal, relasional, struktural dan budaya. Selanjutnya elemen budaya yang digunakan dalam proses transformasi konflik dianggap sebagai sebuah model yang elisitif, dimana sumber daya dan pengetahuan akan budaya digunakan sebagai fondasi dan untuk mendapat pengetahuan baru dalam proses perdamaian. 28
Dimensi budaya dimaksudkan untuk mengubah apa yang dihasilkan oleh konflik dalam suatu kelompok dan bagaimana budaya memberikan dampak terhadap pembangunan dan penanganan konflik. pada level deskriptif, transformasi tertarik dalam menganalisa bagaimana konflik berdampak dan mengubah pola budaya dalam suatu kelompok, dan bagaimana akumulasinya dalam mempengaruhi individu untuk mengerti dan merespon konflik. Secara preskriptif, transformasi mencari pola budaya yang berkontribusi kepada peningkatan ekskalasi konflik sekaligus mengidentifikasi, mempromosikan dan membangun sumber daya serta mekanisme secara konstruktif untuk merespon dan mengatasi konflik.29
26 L. Kriesberg, The State of the Art in Conflict Transformation, dalam B. M. Fischer & H. J Giessmann, Advancing Conflict Transformation, The Berghof Handbook II, Opladen/Framington Hills : Barbara Budrich Publishers, Berlin, 2011, pp. 50-51.
27 H. Miall, ‘Conflict Transformation : A Multi-Dimensional Task,’ Berghof Research Center, http://www.berghof-handbook.net, 2004, p. 4.
28 S.Ryan, The Transformation of Violent Intercommunal Conflict, Ashgate Publishing, Burlington, 2007, p. 20.
29 J.P.Lederach, Building Peace : Sustainable Reconciliation in Divided Societies, United States Institutions of Peace, Washington DC, 1997, p. 83.
Bagi tranformasi konflik, konflik akan selalu ada dalam hubungan antar manusia dan bersifat dinamis di dalam komunitas, sehingga proses perdamaian juga harus menyesuaikan dengan dinamika konflik yang ada.Terdapat beberapa elemen yang harus diperhatikan untuk dapat mencapai perdamaian jangka panjang dalam sebuah komunitas, yaitu consciousness, recognition, resources, dialogue, shared activities dan justice. Dalam situasi pasca konflik, membangun kembali hubungan yang rusak merupakan hal yang penting, untuk itulah kesadaran seorang individu sangat dibutuhkan. Consciousness terkait dengan sensor terhadap persepsi emosional, ingatan, kemauan, keengganan, dan keinginan. Consciousness juga membutuhkan dinamika power dalam dan antara individu dan kelompok pada semua level konflik dan binadamai. Awal terbangunnya consciousness adalah dari diri sendiri, kemudian mengembangkan persepsi terhadap orang lain, dan secara lebih luas dilakukan pada tataran komunitas atau kelompok.30
Recognition digunakan untuk melakukan transformasi hubungan dengan memandang orang lain juga sebagai manusia. Melahirkan rasa menghormati atau menghargai orang lain sebagai individu. Pada saat konflik individu cenderung melakukan dehumanisasi kepada musuh, tetapi jika recognition itu dapat dicapai, dia akan kembali menghargai musuhnya sebagai seorang manusia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan dia. Untuk itulah kunci dari recognition adalah rasa hormat. Memperlakukan sesama secara hormat, dengan menyertakan pengetahuan akan pentingnya tradisi – tradisi budaya, ritual dan bahasa.
Horstmann memberikan contoh tradisi ritual multi agama yang ada di dearah danau Songkhla di Thailand Selatan yang menggunakan elemen tersebut untuk menyatukan pihak – pihak yang bertikai. Kelompok Muslim dan Budha di daerah tersebut memiliki tradisi lama saling memberikan makanan pada saat waktu berbuka puasa, dan sama – sama saling membantu pada acara – acara duka kedukaan. 31
Resources terkait dengan sosial politik, yaitu ketika konflik selesai, kehidupan kembali berjalan normal namun trauma masih tetap ada. Konflik menyebabkan banyak kehilangan baik secara emosional maupun material.
30 H. Devere, ‘Peacebuilding within and between communities,’ dalam S.A. Wilson, Identity, Culture and the Politics of Community Development, Newcastle upon Tyne : Cambridge Scholars Publishing, 2015, p. 71.
31 Devere, p.72.
Pendidikan bisa dijadikan sebagai instrumen untuk membangun kembali sumber daya di dalam komunitas. Pendidikan tentang bina damai dapat membantu proses transformasi, dengan mengidentifikasi sumber konflik, membangun kapasitas building dan membantu menghilangkan trauma serta perspektif laten.32 Semua itu dapat dilakukan melalui program – program pendidikan baik secara formal maupun non formal.
Institusi politik juga memerlukan sumber daya yang baik. Pasca konflik, institusi – insitusi tersebut harus dibangun secara bersama dengan bantuan dan aspirasi dari komunitas masyarakat sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini juga terkait dengan perimbangan kekuasaan dan akuntabilitas sehingga tidak menimbulkan hal – hal yang dapat kembali melahirkan konflik. Tawil Souri mencontohkan bahwa bantuan modal berbasis perdamaian di Palestina oleh Amerika Serikat bukan bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Palestina, tetapi untuk membantu meningkatan taraf hidup kelompok pribumi di Palestina yang selama ini termarginalisasi. Hal ini secara politis dimaksudkan untuk mencegah lahirnya gerakan – gerakan terorisme dari kelompok pribumi tersebut.33
Kebanyakan resolusi konflik terfokus pada bentuk dialog, diskusi atau negosiasi yang dilakukan dengan di fasilitasi oleh pihak luar dan kebanyakan dilakukan secara koersif atau formal. Dialog dilakukan dengan mekanisme mendengar dan berbicara berdasarkan keinginan – keinginan pihak yang bertikai dalam rangka untuk mencari resolusi bersama. Transfromasi konflik mengedepankan bentuk dialog yang dapat dilakukan tanpa adanya intervensi dari pihak ketiga. Dialog dapat dilakukan oleh kedua pihak secara non formal dan lebih santai dalam membicarakan isu – isu yang ringan, dalam rangka untuk semakin memperkuat interaksi dan kemampuan mereka dalam mendengarkan dan berbicara. Linda Tuhiwai Te Rina Smith menekankan pada pentingnya naratif dan teknik mendongeng sebagai tradisi masyarakat yang biasa digunakan untuk bercerita tentang sejarah, yang dapat menyatukan kembali pihak - pihak yang bertikai. 34
32 Devere, p. 73.
33 Devere, pp. 73-74.
34 Devere, p. 74.
Shared Activities atau kegiatan bersama dilakukan untuk meningikat kembali pihak – pihak yang bertikai. Hal ini juga dilakukan untuk meningkatkan rasa hormat terhadap satu sama lain. Kegiatan bersama ini dilakukan dalam bentuk – bentuk non formal seperti menggunakan dimensi seni, musik, dan tarian dalam bina damai. 35 Lagu – lagu perdamaian dapat digunakan untuk melahirkan rasa empati dari dalam diri masing – masing orang maupun komunitas secara lebih luas, dalam rangka mendorong mereka untuk kembali mengenang masa lalu dimana mereka sebelumnya dapat hidup secara damai.
Justice atau penegakan keadilan merupakan hal yang penting dalam mengawal berbagai proses tranformasi konflik yang dilakukan dalam masyarakat.
Hal ini dimaksudkan untuk kembali melahirkan rasa percaya kepada pemerintah, dan juga untuk menjaga kondisi keamanan di dalam komunitas. Penegakkan hukum harus dilakukan secara adil, tanpa pandang bulu dan tidak memihak salah satu kelompok, termasuk menghukum orang – orang yang selama ini menjadi provokator di dalam konflik, dengan tujuan memberikan rasa aman kepada masyarakat. Transformasi konflik perlu diaplikasikan pada semua level di dalam masyarakat, termasuk pada level elit. Jika ada elit politik yang terlibat, maka tetap harus diproses secara hukum.36
Berdasarkan uraian di atas, transformasi konflik dimaksudkan tidak hanya untuk membantu proses perdamaian pasca konflik tetapi membantu untuk menciptakan perdamaian jangka panjang termasuk menghilangkan ancaman – ancaman laten yang masih tersimpan di dalam masyarakat.
Elemen – elemen dalam proses transformasi konflik menekankan akan pentingnya relevansi lokal untuk digunakan sebagai instrumen dalam proses perdamaian. Peran penting masyarakat dan pemerintah secara bersama – sama dibutuhkan dalam proses ini. Kewajiban pemerintah untuk menyediakan rasa aman bagi warga negaranya merupakan sebuah pilar untuk membantu mengawal dan menjaga upaya – upaya masyarakat sipil dalam rekonsiliasi.
Pada penelitian ini, konsep transformasi konflik membantu penulis dalam menganalisa bagaimana budaya digunakan sebagai instrumen penting dalam proses perdamaian di Kota Ambon. Sesuai dengan konsep transformasi konflik, budaya lokal merupakan sebuah kekuatan yang dapat digunakan sebagai fondasi
35 Devere, p. 75.
36 Devere, p. 75.
rekonsiliasi pada semua tataran masyarakat dengan melibatkan peran penting semua pihak. Selain budaya lokal sebagai modal dasar, strategi - strategi lain perlu dikembangkan di lapangan seperti melalui intervensi musik dan seni untuk bina damai.
E. Hipotesis
Elemen Budaya digunakan dalam proses transformasi konflik di Kota Ambon. Budaya tradisi dan media berkesenian dijadikan sebagai alat dalam wadah - wadah perjumpaan masyarakat untuk mempersempit ruang segregasi dan memperbaiki pola hubungan pasca konflik.
F. Metode penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang akan dilakukan melalui studi literatur sebagai basis analisis. Studi literatur akan dilakukan dengan mengolah buku – buku, jurnal, majalah, surat kabar, internet, wawancara dan laporan – laporan institusi terkait seperti milik Pemerintah Daerah Maluku dan Pemerintah Kota Ambon, dan berbagai sumber yang relevan untuk mendukung pokok bahasan dalam penelitian. Penelitian ini akan memaparkan data yaitu berbagai bentuk transformasi konflik berbasis budaya di Kota Ambon, yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat.
G. Sistematika penulisan
Setelah Bab Pertama ini, penulis akan melanjutkan untuk membahas mengenai gambaran dinamika konflik dan perdamaian di Kota Ambon pada Bab Kedua. Kemudian pada Bab Ketiga, penulis akan mencoba memaparkan peran budaya dalam transformasi konflik. Dilanjutkan pada Bab Keempat, penulis akan membahas tentang implikasi kultural terhadap proses transformasi konflik di Ambon. Terakhir pada Bab Kelima akan berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan.