• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA 3 4 TAHUN (PRASEKOLAH) DI PLAY GROUP TUNAS MEKAR MEDAN : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK TESIS. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA 3 4 TAHUN (PRASEKOLAH) DI PLAY GROUP TUNAS MEKAR MEDAN : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK TESIS. Oleh"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA 3 – 4 TAHUN

(PRASEKOLAH) DI PLAY GROUP TUNAS MEKAR MEDAN :

TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK

TESIS

Oleh

PUTRI NASUTION

077009019/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(2)

KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA 3 – 4 TAHUN

(PRASEKOLAH) DI PLAY GROUP TUNAS MEKAR MEDAN :

TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Humaniora dalam Program Studi Linguistik pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

PUTRI NASUTION

077009019/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009

(3)

Judul Tesis : KEMAMPUAN BERBAHASA ANAK USIA 3 – 4 TAHUN (PRASEKOLAH) DI PLAY GROUP TUNAS MEKAR MEDAN : TINJAUAN PSIKOLINGUISTIK

Nama Mahasiswa : Putri Nasution

Nomor Pokok : 077009019

Program Studi : Linguistik

Menyetujui Komisi Pembimbing,

(Prof. Mangantar Simanjuntak, Ph.D.) (Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP.) Ketua Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D.) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc.)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 22 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Mangantar Simanjuntak, Ph.D.

Anggota : 1. Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP.

2. Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. 3. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

(5)

ABSTRAK

Putri Nasution 2009. Penelitian terhadap “Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3—4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan : Tinjauan Psikolinguistik” ini merupakan penelitian psikolinguistik yang menggunakan metode kualitatif dalam pemerolehan dan penganalisisan data. Pada dasarnya pemerolehan bahasa anak usia 3—4 tahun dimulai dengan pemerolehan fonologi, semantik dan sintaksis. Data penelitian dianalisis berdasarkan ilmu fonologi, sintaksis dan semantik.

Populasi penelitian ini adalah anak-anak usia 3—4 tahun yang berada di Play Group Tunas Mekar Medan. Penelitian ini mengamati kemampuan berbahasa di antara anak-anak itu sendiri, baik dengan teman maupun dengan guru mereka.

Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa para responden pada dasarnya anak-anak usia 3—4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan mampu berbahasa baik dari pemerolehan fonologi, sintaksis maupun semantik. Walaupun anak mampu namun dalam pemerolehan fonologi anak mengalami pergantian sebuah bunyi yang disuarakan dengan bunyi yang tidak disuarakan, yaitu pada pelafalan kata “mau” menjadi “mo” yang merupakan pelesapan vokal [a] dan pengubahan vokal [u] menjadi [o], anak juga melakukan pelesapan konsonan yang lemah yaitu konsonan [l] dalam kata yang memiliki dua buah suku kata, anak melakukan proses reduplikasi, kemudian melakukan reduksi atau penyederhanaan kelompok kata. Pada pemerolehan sintaksis anak telah mampu menggunakan kalimat-kalimat yang gramatikal dan pada pemerolehan semantik anak lebih cenderung menggunakan makna denotatif.

Dengan demikian, dapat dilihat bahwa anak dilahirkan dengan potensi mampu memperoleh bahasa apa saja termasuk bahasa Indonesia. Kemampuan itu membawa seorang anak mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap dari sederhana sampai kepada bentuk yang kompleks.

(6)

ABSTRACT

Putri Nasution 2009. “The Language Competence of Children (Preschooler) in 3—4 years of age in Play Group Tunas Mekar Medan : “Psycholinguistic review was a psycholinguistics research using qualitative method in requisition and analysis of data. Essentially the language requisition of children in 3—4 years of age started with phonological, semantic and syntax requisitions. The data of research was analyzed in basic on phonology, syntax, and semantics.

The population of research was children in 3—4 years of age staying in Play Group Tunas Mekar Medan. This research observed the language competence among children themselves, either with peers or with teachers.

The research indicated that the respondents, children of 3—4 years in Play Group Tunas Mekar Medan, have language competence either from phonological, syntax or semantic requisitions. While the children have competence, however in phonological requisition they experienced the change in voiced and unvoiced sounds, i.e., Pronounciation of word “mau” to “mo” as vowel (a) release and conversion of vowel (u) to (o), they also made a weak consonant release (l) in word of two phrases, they made reduplication process, and then reduction and simplification of phrases. In syntax requisition, they were able of using the grammatical sentences, and in semantic requisition they more tended to use the denotative meaning.

Thus, it could be seen that children were born with potential of requisiting whatever language, including Indonesian language. This competence led the child to understand the gradual sentences from simple to complex forms.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberi rahmat, kesehatan, dan keselamatan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal penelitian tesis ini dengan baik.

Tesis ini penulis beri judul “Kemampuan Berbahasa Anak Usia 3—4 Tahun (Prasekolah) di Play Group Tunas Mekar Medan : Tinjauan Psikolinguistik”. Tesis ini menjelaskan tentang pendahuluan tesis, kajian pustaka, konsep, dan landasan teori, dan juga metode penelitian.

Di dalam penyelesaian tugas ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan kepada penulis, seperti Prof. Tengku Silvana Sinar, M.A., Ph.D. sebagai Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU sekaligus Dosen Pembimbing Akademik saya, Prof. Mangantar Simanjuntak, Ph.D. sebagai pembimbing I, Dr. Drs. Eddy Setia, M.Ed. TESP. Sebagai pembimbing II, yang telah memeriksa dan memberikan saran penyempurnaan tesis ini.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi dalam memajukan pengetahuan kita, khususnya ilmu linguistik kajian psikolinguistik.

Medan, Mei 2009 Penulis,

Putri Nasution Nim 077009019

(8)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis ucapkan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa selesainya penulis tesis ini bukanlah semata-mata atas kemampuan sendiri, tetapi atas bantuan dari berbagai pihak yang jasa-jasanya tak dapat dilupakan.

Penulis sangat berterima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara Bapak Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM & H., Sp.A (K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan program Magister Linguistik. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana USU, Ibu Prof. T. Silvana Sinar, M.A., Ph.D. selaku Ketua Program Studi Magister Linguistik, dan Bapak Drs. Umar Mono, M.Hum. selaku Sekretaris Program Studi Magister Linguistik. Kepada seluruh dosen yang telah memberikan ilmu yang sangat berharga selama penulis kuliah di Program Studi Linguistik, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.

Selanjutnya ucapan terima kasih kepada rekan-rekan penulis, atas bantuan dan perhatian yang penulis terima baik selama perkuliahan maupun sewaktu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhirnya ucapan terima kasih disampaikan khusus kepada suami tercinta Brigadir Bambang Lisardi dan ananda tersayang Zilfa, yang selaku memberi semangat, pengertian, dukungan dan selalu memanjatkan do’a demi keberhasilan

(9)

penulis. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada ayahanda Abdul Munir Nasution dan ibunda Mahtom Rambe tercinta karena dengan do’a mereka penulis berhasil menyelesaikan tulisan ini.

Semoga Allah SWT yang Maha Pemurah memberikan imbalan kemurahan dan kemudahan bagi kita. Amin.

Medan, Juni 2009

Putri Nasution 077009019/LNG

(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Putri Nasution Nim : 07999019 Program Studi : Linguistik Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Dosen Yayasan STIE Graha Kirana

Alamat : Jalan Karya Wisata Gg. Karya Bersama No 12 A Telp : 081397441424

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH... iv

RIWAYAT HIDUP... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix DAFTAR SINGKATAN ... x BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 5 1.3 Tujuan Penelitian ... 6 1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Ruang Lingkup Penelitian... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Pengertian Psikolinguistik... 8

2.2 Pemerolehan (Perkembangan) Bahasa... 9

2.3 Benda yang Diperoleh itu ... 10

2.4 Hipotesis Kenuranian (The Innateness Hypothesis) Dalam Linguistik. 16 2.5 Piranti Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Device) ... 18

2.6 Keuniversalan Bahasa ... 20

2.7 Anak Usia Prasekolah ... 23

(12)

BAB III METODE PENELITIAN ... 37

3.1 Metode dan Teknik Penelitian ... 37

3.2 Populasi dan Sampel ... 40

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41

4.1 Analisis Pemerolehan Fonologi ... 41

4.2 Analisis dari Pemerolehan Sintaksis ... 58

4.3 Analisis dari Pemerolehan Semantik ... 80

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 87

5.1 Kesimpulan ... 87

5.2 Saran... 92

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

No Judul Halaman

1. Biodata Anak ... 95 2. Data - Data ... 98 3. Lembar Buku Induk Anak Didik TK ... 105

(14)

DAFTAR SINGKATAN Art = Artikel S = Subjek P = Predikat O = Objek Ket = Keterangan Pel = Pelengkap Komp = Komplemen

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Setiap anak yang normal pasti memeroleh suatu bahasa yaitu “bahasa pertama” atau “bahasa asli” ataupun “bahasa ibu” dalam tahun pertama kehidupannya. Usia merupakan salah satu rintangan sosial yang membedakan kelompok-kelompok manusia. Kelompok manusia ini akan memungkinkan timbulnya dialek sosial yang sedikit banyak memberikan warna tersendiri pada kelompok itu. Usia akan mengelompokkan masyarakat menjadi kelompok kanak-kanak, kelompok remaja, dan kelompok dewasa (Chaer 2003). Tentu saja batas usia itu tidak bisa secara tepat dipastikan. Satu hal yang membedakan dialek sosial jenis ini dengan lainnya adalah dialek sosial kelas buruh atau dialek regional. Pada dialek sosial kelas buruh atau dialek regional didapat ciri-ciri kebahasaan yang relatif tetap pada penuturnya, misalnya, orang yang berbahasa-ibu dialek Jakarta akan selamanya membawa ciri-ciri dialek tersebut.

Kepandaian yang dicapai seorang bayi sering kali membuat orang tua merasa takjub. Mahluk mungil yang semula hanya bisa mengekpresikan perasaan ataupun keinginannya dengan tangisan, empat atau lima bulan kemudian berceloteh. Bunyi yang dikeluarkannya memang belum jelas, kadang hanya menggumam. Sejalan dengan usianya, gumaman atau ocehan yang dikeluarkan bayi bisa menjadi alat komunikasi dengan orang tua atau orang dewasa yang merawatnya. Bayi tidak lagi

(16)

mengekspresikan perasaannya dengan suara tangisannya saja, tetapi juga dengan berbagai ocehannya. Suara tertentu yang dikeluarkannya bisa menunjukkan bahwa pada saat itu bayi merasa riang, tetapi pada kesempatan lain mungkin ia menggumam karena merasa kenyang.

Pada usia sekitar sepuluh sampai dua belas bulan, bayi mulai belajar berjalan, ada di antara mereka yang sudah bisa mengucapkan beberapa kata sederhana. Bila pada usia itu si bayi belum bisa berkata-kata dengan jelas orang tua tidak perlu khawatir. Kepandaian setiap bayi tidak sama dengan bayi lainnya. Dengan demikian, keinginan bicara anak dapat dirangsang dengan sesering mungkin mengajukan pertanyaan padanya atau mengajak anaknya bercakap-cakap. Ajukan pertanyaan sederhana dan beri kesempatan pada anak untuk memberikan jawabannya. Misalnya, dengan menanyakan nama benda yang sedang dipegang si anak lalu meminta pendapatnya tentang benda itu. Selain itu bisa juga dengan mengajaknya berbincang-bincang mengenai apa yang ingin dilakukan dengan mainannya.

Anak mulai belajar berbicara pada usia kurang lebih 18 bulan. Selanjutnya, pada usia kurang lebih tiga setengah tahun si anak boleh dikatakan sudah menguasai “tata bahasa” bahasa ibunya sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan orang dewasa secara sempurna. Pada masa awal perkembangannya, bahasa anak-anak itu mempunyai ciri-ciri, antara lain, adanya penyusutan (reduksi).

Perkembangan kemampuan linguistik terjadi di dalam konteks umum perkembangan konseptual dan intelektual anak-anak. Memahami proses pemerolehan bahasa itu akan memberi kita pandangan yang lebih jelas mengenai perkembangan

(17)

kognitif anak-anak secara menyeluruh. Anak-anak mengembangkan kompetensi linguistik dalam pengertian bahwa dia mengembangkan gambaran intern tata bahasa dari bahasanya yang akhirnya mengizinkannya untuk membuat jenis-jenis pertimbangan/keputusan linguistik yang dapat dibuat oleh orang dewasa, yaitu keputusan-keputusan mengenai ketatabahasaan, kedwimaknaan, parafrase, dan sebagainya.

Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas bahwa anak dilahirkan dengan potensi mampu memperoleh bahasa apa saja termasuk bahasa Indonesia. Kemampuan itu membawa seorang anak mampu menguasai kalimat-kalimat secara bertahap dari yang sederhana sampai kepada bentuk yang kompleks (Chomsky, 1969 : 6). Perkembangan bahasa anak-anak yang kompleks itu berproses menuju sistem yang berlaku umum walaupun kaidah bahasa anak belum dikatakan sempurna (approximative system) dan bersifat sebagai kaidah peralihan (transitional construction) dan bahasa kanak-kanak yang masih belum sempurna ini tidak dapat dianggap sebagai suatu penyakit yang harus dijauhi.

Menurut Chomsky (dalam Woolfolk dkk : 1984) anak yang dilahirkan ke dunia telah memiliki kapasitas berbahasa. Akan tetapi seperti dalam bidang lain, faktor akan mengambil peranan yang cukup menonjol, mempengaruhi perkembangan anak tersebut. Mereka belajar makna kata dan bahasa sesuai dengan apa yang mereka dengar, lihat dan hayati dalam hidupnya sehari-hari. Perkembangan bahasa anak terbentuk oleh lingkungan yang berbeda-beda.

(18)

Kenyataan ini didukung oleh kemampuan kanak-kanak menguasai suatu bahasa dalam waktu yang relatif singkat, yaitu merupakan suatu peristiwa alamiah yang sangat mengagumkan dan kemampuan anak-anak yang berusia 3—4 tahun yang mempunyai kemampuan berbahasa dalam berakting ketika mereka bermain film/sinetron di televisi yang sangat mengagumkan dan menarik untuk diteliti, seperti halnya dengan kemampuan berbahasa Indonesia anak Play Group.

Play group merupakan pendidikan untuk usia prasekolah. Peralihan dari lingkungan keluarga menuju bangku sekolah. Play group juga merupakan sarana anak usia 3—4 tahun sebagai tempat bermain. Kemudian diasumsikan setiap anak tidak sama dalam memahami bahasa Indonesia dimulai dengan kata-kata yang mudah sampai dengan kata-kata yang sulit (Laura : 2009)

Dengan demikian, peneliti akan mengamati kemampuan berbahasa di antara anak-anak itu, baik dengan teman maupun dengan guru mereka. Selain itu, juga akan mengamati kemampuan berbahasa anak-anak usia 3—4 tahun yang ada di Play Group Tunas Mekar Medan . Hal itu jugalah yang melatar belakangi penelitian ini.

Manusia baik anak maupun dewasa mempunyai tingkat kemampuan yang berbeda dalam berbahasa. Bahasa yang digunakan pada penelitian ini adalah bahasa pada anak usia prasekolah (3—4 tahun) yang berada di Play Group Tunas Mekar Medan. Play Group merupakan kelompok bermain, tempat di mana anak belajar bersosialisasi dan berinteraksi dengan teman-teman sebayanya yang diarahkan pada sesuatu yang sifatnya positif. Melalui bermain anak menyusun kemampuan berbahasanya. Bermain juga merupakan hal yang baik bagi anak untuk menggunakan

(19)

bahasa yang dipakai antara ayah dan ibu, antarsaudara, antarteman, dan sebagainya. Jumlah kosakata yang dikuasai anak bergantung pada orang yang paling sering berinteraksi dengan diri anak, baik teman maupun pola bahasa yang sering dipakai dirumah.

1.2 Perumusan Masalah

Kemampuan berbahasa pertama merupakan kemampuan yang dimiliki hampir semua anak yang dilahirkan manusia. Kemampuan itu dapat diperoleh tanpa harus melalui pemberian pengajaran khusus kepadanya. Hal yang menakjubkan ialah dalam waktu relatif tidak lama anak sudah dapat menggunakan bahasa itu untuk berkomunikasi dengan para penutur yang ia temui di lingkungannya.

Sejalan dengan itu, permasalahan yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah anak menggunakan bahasa pertamanya dalam berinteraksi dengan teman-temannya dan guru-gurunya di Play Group Tunas Mekar Medan?

2. Bagaimanakah pola kalimat bahasa pertama yang digunakan anak dalam percakapan di Play Group Tunas Mekar Medan?

3. Bagaimanakah kemampuan berbahasa anak di Play Group Tunas Mekar Medan?

(20)

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah penelitian yang telah disebutkan di atas, maka tujuan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. Penelitian ini bertujuan memperoleh pemerian yang sahih dan objektif berdasarkan data empiris yang diperoleh dari observasi langsung terhadap kemampuan berbahasa anak. Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terhadap:

1. Penggunaan bahasa pertama anak dalam berinteraksi antara teman-temannya dan guru-gurunya di Play Group Tunas Mekar Medan.

2. Penggunaan pola kalimat-kalimat bahasa pertama dalam percakapan di

Play Group Tunas Mekar Medan.

3. Kemampuan berbahasa anak di Play Group Tunas Mekar Medan.

1.4 Manfaat Penelitian

Sejalan dengan tujuan penelitian ini, manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain.

1. Dapat memberikan masukan kepada orang tua bagaimana cara yang tepat untuk membuat anak usia 3—4 tahun dapat berkomunikasi seperti orang dewasa dengan penutur yang ia temui.

2. Dapat memberikan masukan pada orang tua dan guru dalam pembelajaran pola–pola kalimat yang gramatikal pada anak usia prasekolah.

3. Dapat meningkatkan kualitas pengembangan bahasa pertama anak dengan baik dan benar di lingkungan prasekolah

(21)

4. Memperkaya khasanah penemuan tentang perkembangan kemampuan berbahasa anak usia 3—4 tahun.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini memiliki ruang lingkup yang terbatas, yakni : 1. Penelitian dibatasi pada anak Play Group Tunas Mekar Medan. 2. Fokus penelitian hanya pada bahasa pertama (bahasa Indonesia) 3. Usia anak 3—4 tahun.

4. Terbatas pada komunikasi lisan.

5. Data penelitian ini berupa cerita lisan sekitar 10 menit

6. Data penelitian ini dianalisis berdasarkan pemerolehan fonologi, sintaksis dan semantik

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Psikolinguistik

Kata psikolinguistik adalah gabungan dua patah kata, yaitu ‘psikologi’ dan ‘linguistik’, yang merupakan dua disiplin yang berlainan dan berdiri sendiri. Kedua-dua disiplin ilmu ini mengkaji satu masalah yang sama, yaitu bahasa, dengan cara yang berlainan dan dengan tujuan yang berlainan. Namun demikian banyak masalah sama yang dikaji oleh kedua-dua disiplin ilmu ini dengan tujuan yang boleh dikatakan sama atau hampir sama tetapi dengan cara atau teori yang berlainan. Kedua disiplin ilmu ini saling berdampingan dan bekerjasama atau saling membantu dalam mengkaji bahasa dan hakekat bahasa itu.

Sebagai hasil kerjasama yang lebih terarah dan sistematis lahirlah satu ilmu baru yang kemudian disebut ‘psikolinguistik’. Psikolinguistik merupakan satu ilmu yang mencoba menerangkan proses-proses psikologi yang terjadi apabila seseorang mengucapkan kalimat-kalimat dan memahami kalimat yang didengar pada waktu berkomunikasi dan bagaimanakah hal itu diperoleh manusia (Miller 1962).

Secara teoritis tujuan utama psikolinguistik ialah mencari satu teori bahasa yang unggul dari segi linguistik dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan struktur bahasa dan bagaimana struktur bahasa diperoleh dan digunakan pada waktu bertutur dan memahami ujaran-ujaran bahasa. Pada dasarnya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan

(23)

psikologi kepada masalah-masalah seperti pengajaran dan pembelajaran bahasa, pengajaran pembacaan pemula dan pembacaan lanjutan, kedwibahasaan (bilingualism) dan kemultibahasaan (multilingualism), penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya. Dapat disimpulkan bahwa psikolinguistik adalah satu ilmu yang dilahirkan sebagai akibat daripada satu kesadaran, bahwa pengkajian bahasa merupakan sesuatu yang sulit sehingga satu disiplin ilmu secara sendiri tidak mungkin mampu menerangkan hakikat bahasa itu.

2.2 Pemerolehan (Perkembangan) Bahasa

Pemerolehan bahasa (language acquisition) ialah proses-proses yang berlaku di dalam otak seorang anak – anak (bayi) sewaktu memperoleh bahasa ibunya. Dengan demikian kita harus membedakan pemerolehan bahasa dari pembelajaran bahasa (language learning). Pembelajaran bahasa menyangkut proses-proses yang berlaku pada waktu seseorang sedang mempelajari bahasa baru setelah dia memperoleh bahasa ibunya. Dengan kata lain pemerolehan bahasa meliputi bahasa pertama sedangkan pemelajaran bahasa meliputi bahasa kedua atau bahasa asing. Proses – proses yang berlaku sewaktu anak-anak sedang memperoleh bahasa ibunya terdiri dari dua jenis yaitu jenis pertama ialah perlakuan (performance) yang terdiri dari proses-proses pemahaman dan proses – proses penerbitan dan yang kedua ialah kompetensi (competence). Kedua jenis proses ini berlainan. Proses – proses pemahaman meliputi kemampuan mengamati atau kemampuan untuk mendengar kata – kata yang didengar dan proses menerbitkan atau mengeluarkan kata – kata. Kedua –

(24)

dua jenis proses ini apabila telah dikuasai anak – anak akan menjadi kemampuan linguistiknya. Jadi, kemampuan – kemampuan linguistik terdiri atas kemampuan memahami dan mengeluarkan kata – kata yang dalam ilmu linguistik disebut perlakuan. Perlakuan terjadi apabila seseorang telah memiliki kompetensi. Kompetensi adalah pengetahuan bahasa yaitu bahasa yang telah kita kuasai secara tidak sadar. Jelaslah bahwa pemerolehan bahasa terdiri atas proses – proses yang berlaku pada waktu anak – anak sedang menuranikan (internalize) tatabahasa ibunya dan sewaktu dia menguasai perlakuan atau penerapan tatabahasa ini dalam pemahaman dan penerbitan kata – kata. Pemerolehan bahasa dibagi dalam empat komponen yaitu pemerolehan sintaksis, pemerolehan semantik, pemerolehan fonologi dan pemerolehan pragmatik. Keempat komponen ini diperoleh anak – anak serentak.

Ada dua hal yang harus diketahui untuk mempermudah mengetahui pemerolehan bahasa. Hal yang pertama adalah : Apa sebenarnya benda yang diperoleh apabila kita berbicara mengenai pemerolehan bahasa? Hal yang kedua ialah alat apa yang dipakai oleh anak – anak dalam proses pemerolehan ini?.

2.3 Benda yang Diperoleh itu

Pertanyaan “Apakah benda yang diperoleh itu?” diterangkan secara lebih baik dengan merujuk diakotomi kompetensi / performansi. Tanpa diakotomi ini semua permasalahan mengenai apa benda yang diperoleh oleh kanak – kanak dalam proses pemerolehan bahasa ibunya tidaklah menghasilkan sesuatu yang positif.

(25)

Seorang penutur pribumi sesuatu bahasa mampu memahami dan menerbitkan kata – kata bahasa itu karena dia telah menuranikan tatabahasa bahasa itu menjadi ‘kompetensi’ bahasanya dan juga telah menguasai kebolehan – kebolehan ‘performansi’ bahasa itu. Jadi jelaslah, bahwa kalau kita berbicara mengenai pemerolehan bahasa oleh seorang anak – anak maka benda yang diperoleh oleh anak ialah kompetensi dan performansi bahasa ibunya. Bahasa ‘kompetensi’ ialah tatabahasa yang menjadi pengetahuan bahasa anak – anak. Tatabahasa itu terdiri atas empat komponen: komponen sintaksis, komponen semantik, komponen fonologi, komponen pragmatik. Di dalam komponen – komponen sintaksis dan semantik itu telah termasuk leksikon bahasa, yaitu kumpulan atau susunan kalimat – kalimat dan morfem – morfem bahasa itu. Keempat komponen itu terdiri atas rumus – rumus yaitu rumus – rumus sintaksis, rumus – rumus semantik, rumus – rumus fonologi dan rumus – rumus pragmatik. Jadi keempat jenis rumus itulah yang lebih dahulu diperoleh oleh anak – anak dalam proses pemerolehan bahasanya.

a. Komponen Fonologi

Menurut Simanjuntak (2008 : 64) Komponen fonologi adalah sistem bunyi sesuatu bahasa. Komponen fonologi ini mempunyai rumus – rumus yang disebut rumus – rumus fonologi yang menukar struktur permukaan sintaksis kepada representasi fonetik yaitu bunyi – bunyi bahasa yang kita dengar. Supaya hakikat rumus – rumus fonologi ini dapat dijelaskan dengan baik perlulah membincangkan representasi fonetik terlebih dahulu. Misalnya apabila mendengar kata – kata berikut : ‘pisang’, ‘pasang’, ‘pulang’, ‘potong’, ‘atap’, ‘hidup’. Kalau kita kaji bunyi kata –

(26)

kata yang didengar maka akan mendapat bahwa semua kata itu mengandung suatu bunyi yang sama yaitu bunyi ‘p’. Pada lima kata pertama bunyi ‘p’ itu muncul pada posisi awal, dan pada dua kata terakhir bunyi ‘p’ itu muncul pada posisi akhir. Apabila kita perhatikan kedua kata pertama, ‘pisang’ dan ‘pasang’, kedua kata itu berbeda hanya pada bunyi kedua yaitu ‘i’ dan ‘a’, sedangkan bunyi – bunyi lain sama saja. Kata ‘pasang’ dan ‘petang’ berbeda pada dua bunyi yaitu bunyi kedua dan ketiga: ‘a’, ‘s’ dan ‘e’, ‘t’. Setiap bunyi yang membentuk sesuatu kata disebut unit bunyi atau segmen fonetik, dan lebih terkenal lagi dengan nama fon (phone). Apabila kita menghuraikan semua segmen fonetik yang terkandung dalam sesuatu kata, umpamanya kata ‘pisang’, maka diperoleh suatu huraian fonetik terhadap kata itu. Huraian fonetik kata ‘pisang’ adalah sebagai berikut:

# /p/ /i/ /s/ /a/ /ŋ/ # atau disederhanakan menjadi /pisaŋ/. Simbol # dipakai untuk menandakan suatu kata yaitu di awal kata dan akhir kata. Simbol [ ] menandakan suatu bunyi yang kita dengar. Pada huraian fonetik kata ‘pisang’ di atas dapat kita ketahui bahwa sekalipun kata itu didengar hanya lima saja. Bunyi yang terakhir yaitu /ŋ/ telah dituliskan dengan huruf ‘ng’. Setiap segmen fonetik dilambangkan dengan satu simbol yang diambil dari International Phonetic Alphabet (IPA), yaitu suatu bunyi suatu alfabet yang khusus diciptakan dalam ilmu linguistik untuk melambangkan semua unit bunyi (fon) yang terdapat dalam bahasa – bahasa dunia. b. Komponen Sintaksis

Leksikon sesuatu bahasa terdiri dari sekumpulan kata – kata (termasuk morfem – morfemnya), satu representasi fonologi tiap – tiap kata (morfem) yang

(27)

abstrak, dan spesifikasi pembentukan sintaksis untuk tiap – tiap kata sebagai penanda frase struktur dalaman kalimat di mana kata – kata itu telah terjadi. Bahasa sebagai suatu alat komunikasi melibatkan unit – unit yang lebih besar dari kata – kata leksikon ini yang disebut frase – frase dan kalimat – kalimat. Setiap organisasi pembentukan kalimat – kalimat atau unit – unit yang lebih besar ini memengaruhi arti – arti setiap kata yang membentuk kalimat – kalimat atau unit – unit itu. Dengan kata lain, arti sesuatu kalimat atau frase tidak dapat ditentukan hanya dari arti kata – kata yang membentuk kalimat itu. Arti sesuatu kalimat atau frase bergantung pada urutan dan organisasi kata – kata yang membentuk kalimat atau frase sebagaimana juga pada arti kata – kata itu sendiri. Pentingnya urutan kata – kata dalam menentukan arti jelas yang digambarkan pada kalimat dibawah ini:

1. Raja kera itu sangat besar 2. Kera raja itu sangat besar.

Arti frase ‘raja kera itu’ dalam kalimat (1) sangat berbeda dari arti frase ‘kera raja’ dalam kalimat (2) dan perbedaan telah ditimbulkan oleh urutan kata – kata yang membentuk frase – frase tersebut. Perbedaan arti ini sangat jelas pada penjelasan penanda frase berikut ini:

Kera itu mempunyai raja N Art V FN Raja itu mempunyai kera N Art V FN

(28)

Penanda Frase ‘Kera raja’ pada kalimat (2)

Dari Penanda Frase struktur dalaman kedua – dua frase kalimat (1) dan kalimat (2) di atas jelaslah bahwa dalam kalimat (1) keralah yang mempunyai raja sedangkan dalam kalimat (10) rajalah yang mempunyai kera.

Urutan dan organisasi kata – kata yang membentuk kalimat atau frase menurut rumus – rumus sangat penting dalam suatu bahasa dan komponen bahasa (atau komponen tatabahasa) yang mengaturnya disebut sintaksis. Tugas paling utama komponen sintaksis ini adalah untuk menentukan hubungan di antara pola – pola bunyi bahasa itu dengan arti – artinya dengan cara mengatur urutan kata – kata yang membentuk frase – frase atau kalimat – kalimatnya agar selaras dengan arti – arti yang diinginkan penuturnya. Dengan demikian apsek dalam penggunaan bahasa telah dapat diterangkan berdasarkan komponen sintaksis. Dengan kata lain, fakta bahwa anak mempunyai kemampuan (kompetensi) untuk menerbitkan dan memahami kalimat – kalimat baru yang tidak terbatas jumlahnya dapat diterangkan oleh hakikat sistem sintaksis bahasa.

c. Komponen Semantik

komponen semantik sesuatu tatabahasa memainkan peranan untuk menentukan arti setiap kalimat sesuatu bahasa. Dengan demikian komponen semantik membentuk semacam pebatasan diantara bahasa dengan pikiran. Oleh karena komponen semantik ini merupakan satu sistem representasi dalaman, maksudnya berada di dalam otak, maka komponen ini sangat sukar dipahami dan dikaji karena

(29)

tidak diamati dan diteliti secara empirikal. Arti sesuatu kalimat atau frase ditentukan oleh beberapa faktor yang satu sama lain saling menjalin. Faktor – faktor itu adalah :

1. Arti kata – kata dan morfem – morfem yang membentuk kalimat atau frase 2. Urutan kata – kata dan morfem – morfem ini dalam organisasi kalimat atau

frase yang disebut sintaksis

3. Intonasi dan cara kalimat atau frase itu diucapkan atau dituliskan 4. Situasi pada waktu kalimat atau frase itu diucapkan

5. Kalimat – kalimat yang diucapkan atau dituliskan sebelum kalimat – kalimat atau frase – frase itu

Satu pendapat yang keliru apabila kita menganggap bahwa arti sesuatu kalimat sama dengan kumpulan arti – arti kata – kata dan morfem – morfem yang membentuk kalimat itu. Sebagai contoh frase ‘raja monyet’ dan ‘monyet raja’. Arti kedua – dua frase ini berbeda karena susunan kata – katanya berbeda. Begitu juga kalau intonasinya berbeda. Kalau dalam frase ‘monyet raja’, kata ‘raja’ ditekankan menjadi ‘raja monyet’artinya berbeda kalau kata ‘monyet yang ditekankan menjadi ‘raja’ ‘monyet’.

Pengkajian komponen semantik ini menjadi semakin rumit lagi disebabkan oleh fakta bahwa banyak kata sesuatu bahasa mempunyai lebih dari satu arti. Kemudian arti – arti ini boleh saja berubah setelah kata – kata itu digabungkan dengan kata – kata lain. Misalnya kata ‘mata’ yang arti terasnya ialah ‘alat untuk melihat’. Tetapi kalau kata ini digabungkan dengan kata ‘kaki’ menjadi ‘mata kaki’ artinya tidak ada hubungannya lagi dengan pengertian ‘melihat’. Oleh karena itu satu

(30)

tatabahasa yang memadai haruslah mampu menerangkan hakikat semantik seperti ini, yaitu arti sesuatu kata boleh berubah karena faktor lingkungan.

Agar faktor – faktor lingkungan kata atau morfem yang mempengaruhi arti ini jelas, lihat kalimat berikut ini.

‘Gadis itu sangat manis’

Apabila kata ‘manis’ berdiri sendiri artinya bermcama – macam. Antara lain mempunyai rasa seperti gula, menarik, baik hati, cantik, dan lain – lain. Tetapi apabila kata ‘manis’ itu ditempatkan dalam lingkungan baru maka kata ‘manis’ menjadi ‘cantik’ atau ‘baik hati’ (baik budi) dan tidak mungkin artinya ‘mempunyai rasa seperti gula’. Apabila lingkungannya diubah dengan menambah kata ‘rupanya’ sehingga menjadi kalimat ‘Gadis itu sangat manis rupanya’. Maka artinya sudah pasti cantik atau menarik.

Selain dari ketiga jenis rumus tatabahasa itu ada rumus – rumus lain yang harus diperoleh anak – anak untuk kegunaan ‘performansi’ yaitu pemahaman atau pengkodean dan penerbitan atau pengkodean. Rumus – rumus inilah rumus – rumus transformasi, yaitu rumus – rumus yang menukarkan bentuk – bentuk dalaman atau struktur dalaman kepada bentuk – bentuk luaran atau struktur luaran.

2.4 Hipotesis Kenuranian (The Innateness Hypothesis) dalam Linguistik

Untuk mengetahui masalah pertanyaan mengenai “alat apa yang dipakai oleh anak – anak dalam proses pemerolehan bahasa maka satu hipotesis yang sekarang terkenal dengan nama Hipotesis Kenuranian (The Innateness Hypothesis) dalam

(31)

linguistik perlulah dipahami dengan baik. Beberapa pengamatan yang telah dilakukan terhadap pemerolehan bahasa oleh anak – anak telah melahirkan hipotesis ini Chomsky (1962) dalam Simanjuntak (1987 : 160). Di antara pengamatan itu yang terpenting ialah (1) Semua anak – anak yang normal, asalkan dia didedahkan pada bahasa ibunya, memperoleh bahasa itu. (2) Pemerolehan bahasa tidak ada hubungannya dengan kecerdasan anak – anak yang bodoh, dungu bahkan yang memperoleh bahasa ibunya. (3) kata – kata yang didengar oleh anak – anak sering tidak gramatikal dan tidak lengkap dan jumlahnya pun sedikit. (4) bahasa tidak dapat diajarkan kepada mahluk lain. (5) Proses pemerolehan bahasa oleh semua anak di dunia ini mengikuti jadual semula jadi yang sama yang erat hubungannya dengan proses pematangan anak – anak itu. (6) Struktur bahasa sangat rumit atau kompleks dan bersifat sejagat, tetapi dapat diperoleh oleh semua anak dalam waktu yang relatif singkat yaitu lebih kurang dalam usia 3 – 4 tahun.

Dapat disimpulkan bahwa manusia telah dilengkapi dengan sesuatu yang khas secara semula jadi untuk berbahasa. Dengan kata lain, manusia dilahirkan bersama sesuatu yang membuatnya berbahasa dengan mudah dan cepat. Ada dua jenis bentuk Hipotesis Kenuranian yaitu (a) Hipotesis kenuranian Bahasa; (b) Hipotesis Kenuranian Mekanisme (Simanjuntak 1987). Hipotesis Kenuranian Bahasa merupakan suatu andaian yang mengatakan bahwa sebagian terpenting daripada bahasa bahkan mungkin semua bahasa itu tidaklah dipelajari atau diperoleh tetapi dihubungkan dengan atau ditentukan oleh fitur – fitur nurani yang khusus daripada organisme manusia itu. Hipotesis Nurani Mekanisme juga merupakan satu andaian

(32)

yang mengatakan bahwa proses pemerolehan bahasa oleh manusia berhubungan dengan atau ditentukan oleh perkembangan kognitif umum dan mekanisme nurani umum yang berinteraksi dengan pengalaman. Perbedaan di antara kedua – dua jenis hipotesis itu ialah Hipotesis Kenuranian Bahasa menekankan bahwa terdapat sesuatu benda nurani yang dibawa sejak lahir yang khusus untuk bahasa dan berbahasa sedangkan Hipotesis Kenuranian Mekanisme menekankan bahwa terdapat sesuatu benda nurani berbentuk mekanisme yang umum untuk semua kebolehan manusia dan bahasa serta berbahasa merupakan sebagian daripada yang umum.

2.5 Piranti Pemerolehan Bahasa (Language Acquisition Device)

Khusus mengenai kemampuan berbahasa, hipotesis kenuranian bahasa mempunyai suatu peruntukan yang dijelaskan oleh Chomsky dan Miller (Miller dan Chomsky 1957) yang dikenal dengan nama LAD (language acquisition device), sebuah Alat atau Piranti Pemerolehan Bahasa (PPB). LAD (PPB) telah dimiliki oleh setiap anak – anak sejak lahir dan memungkinkan anak – anak memperoleh bahasa ibunya dengan mudah dan cepat. LAD (PPB) juga merupakan satu peralatan intelek nurani yang khusus untuk menguasai bahasa yang cara bekerjanya dapat digambarkan sebagai berikut :

Ujaran – Ujaran Bahasa PPB (LAD) Tatabahasa Atau : Data Linguistik Utama PPB (LAD) Tatabahasa

(33)

Bagan itu menggambarkan suatu fungsi yang memetakan sejumlah ujaran (ucapan) bahasa B yang didengar si anak ke dalam PPB dalam otak si anak. Apabila jumlah ujaran itu telah cukup (memadai) dipetakan ke dalam PPB si anak, maka PPB itu akan membentuk sebuah tatabahasa sebagai keluarannya. Dengan demikian jelas bahwa PPB (LAD) merupakan sebuah alat nurani (bawaan) yang sudah sedia dibawa lahir untuk memeroleh bahasa ibunya.

Hipotesis mengenai adanya PPB (LAD) itu sebagai alat untuk memperoleh bahasa oleh anak – anak semakin memperkuat fakta – fakta yang telah diamati oleh para ahli dalam bidang pemerolehan bahasa yang menyokong hipotesis itu. Misalnya, satu fakta yang jelas mendukung PPB (LAD) itu ialah keadaan masukan, yaitu ucapan – ucapan yang didengar oleh anak – anak di sekitarnya. Ucapan – ucapan itu penuh dengan pembukaan kata yang salah, berbagai kesilapan, kesalahan – kesalahan gramatikal, dan lain – lain, namun anak – anak memperoleh juga bahasa pertamanya. Bahasa diperoleh oleh anak – anak dalam keadaan yang beragam walau bagaimanapun bentuknya. Anak – anak tidak mungkin dapat menguasai sintaksis bahasanya kalau dia tidak dianugerahkan dengan suatu mekanisme nurani yang khusus untuk bahasa.

Bentuk awal PPB (LAD) seperti yang diperkenalkan oleh Chomsky dan Miller telah membuat pengkajian pemerolehan bahasa sampai ke peringkat yang sangat tinggi. Pada awalnya pemerolehan komponen sintaksis dan peranan semantik juga kognisi kurang mendapat perhatian karena pada dasarnya teori linguistik TG yang diperkenalkan oleh Chomsky telah memusatkan perhatian pada keautonoman

(34)

komponen sintaksis. Faktor – faktor yang bukan linguistik seperti masukan penglihatan, perasaan, dan juga pengetahuan bukan linguistik tidak begitu penting untuk pemerolehan bahasa.

2.6 Keuniversalan Bahasa

Anak dapat memperoleh bahasa apapun, pastilah ada sesuatu yang mengikat bahasa-bahasa ini secara bersama, ada sesuatu yang sifatnya universal. Tanpa sifat ini mustahillah manusia dari pelbagai latar belakang yang berbeda-beda dapat memperoleh bahasa yang disajikan kepadanya.

Dalam hal ini ada terdapat perbedaan di antara para ahli bahasa. Greenberg (1963), yang boleh dikatakan sebagai pelopor pertama dalam bidang ini, bertitik tolak dari penelitian terhadap banyak bahasa dan dari bahasa-bahasa itu dia simpulkan secara induktif hal – hal yang terdapat pada bahasa-bahasa tersebut. Sebagian dari itu terdapat pada semua bahasa, sebagian yang lain pada banyak bahasa, sebagian yang lain lagi pada beberapa bahasa, dan seterusnya.

Berdasarkan gradasi seperti ini Comrie (1989/81 : 15-23) membagi keuniversalan bahasa yaitu keuniversalan absolut dan keuniversalan tendensius. Dengan memperhatikan gejala implikasional maka menurut Comrie ada empat kelompok yaitu :

1) Tidak ada perkecualian

Contoh : Semua bahasa memiliki bunyi vokal bahasa mana pun di dunia ini menggabungkan bunyi untuk sukukata atau kata.

(35)

2) Keuniversalan absolut implikasional

Contoh : Bila suatu bahasa mempunyai refleks persona pertama/kedua, maka bahasa itu mempunyai pula refleks persona ketiga, bila suatu bahasa mempunyai bunyi hambat velar, bahasa tersebut pasti mempunyai bunyi hambat bilabial.

3) Keuniversalan tendensi non implikasional

Contoh : Hampir semua bahasa memiliki konsonan nasal. 4) Keuniversalan tendensi implikasional

Contoh : Bila suatu bahasa mempunyai urutan dasar SOV, maka kemungkinan adalah bahwa bahasa itu memiliki urutan preposisi; bila suatu bahasa memiliki urutan dasar SVO, maka kemungkinannya adalah bahwa bahasa tadi memakai urutan preposisi.

Bertitik tolak dari landasan yang sama sekali berlainan, Chomsky memberi pengertian yang berbeda mengenai keuniversalan bahasa. Chomsky (1965 : 28) hanya memakai satu bahasa yang dikajinya secara mendalam dan dari sistem aturan bahasa tersebut dia memunculkan fitur – fitur yang universal. Tentu saja fitur – fitur itu harus diuji-coba dan diadu-coba dengan bahasa – bahasa yang lain untuk ditentukan kebenarannya. Pandangan Chomsky dapat diumpamakan sebagai suatu pengkajian terhadap suatu entitas, bila entitas itu mengandung unsur – unsur hakiki tertentu maka unsur – unsur itu pasti ada pada sampel lain dari entitas yang sama. Oleh karena itu, Chomsky hanya membedakan dua macam keuniversalan : (1) keuniversalan substantif yang berupa elemen pembentukan bahasa, dan (2) keuniversalan formal,

(36)

yang meramu elemen bahasa. Bahwa bahasa mempunyai nomina dan verba merupakan contoh dari keuniversalan substantif. Bagaimana kedua elemen ini diatur dalam bahasa merupakan keuniversalan formal. Pengaturan elemen umumnya berbeda dari satu bahasa ke bahasa lain. Karena itulah pada dasarnya bahasa itu sama, wujud lahiriahnya berbeda – beda.

Ada pula ciri universal dalam tutur anak-anak ditinjau dari segi fonologi. Misalnya, bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh gerak membuka dan menutup bibir yang biasa disebut bunyi bilabial, merupakan bunyi-bunyi yang sangat umum dihasilkan oleh anak-anak pada awal ujarannya. Orang pertama dan yang terutama paling dekat dengan anak pada masa awal perkembangan bahasanya adalah ibunya. Selanjutnya, jika kita perhatikan kata panggilan untuk ibu dalam pelbagai bahasa, akan membenarkan pandangan bahwa bunyi bilabial itu dominan pada awal perkembangan bahasa anak. Misalnya; mak, nyak (Betawi), mek (Bali), bu (Melayu). Produksi awal bunyi-bunyi bilabial ini bisa kita mengerti karena bunyi-bunyi inilah yang paling mudah dihasilkan, yaitu dengan hanya menggerakkan kedua bibir.

Bunyi-bunyi juga dilafalkan sesuai dengan daya kerja alat-alat ucap mereka. Dalam pelbagai masyarakat bahasa Indonesia bunyi /r/ adalah bunyi yang paling sulit diproduksi sehingga bunyi itu baru dikuasai anak setelah mereka berusia beberapa tahun. Banyak anak berusia tiga tahun yang masih mengucapkan /lumput/ untuk /rumput/. Agak kurang sulit dari bunyi /r/ ini adalah bunyi /s/ yang untuk beberapa waktu diucapkan /č/, sehingga /susu/ /sapi/ diucapkan / čuču/, / čapi/.

(37)

2.7 Anak Usia Prasekolah

1. Pengertian Anak Prasekolah

Menurut Biechler dan Snowman yang dikutip Patmonodewo (2003 : 19) anak prasekolah adalah mereka yang berusia antara 3 – 6 tahun. Mereka biasanya mengikuti program prasekolah dan kinderganten. Sedangkan di Indonesia, umumnya mereka mengikuti program tempat penitipan anak yang juga kita kenal dengan Play Group (usia 3 – 4 tahun) sedangkan pada usia lima tahun biasanya mereka mengikuti program Taman Kanak-kanak.

Menurut teori Erikson dalam Patmonodewo (2003 : 19) yang membicarakan kepribadian seorang dengan titik berat pada perkembangan psikososial tahapan 0 – 1 tahun, berada pada tahapan oral sensorik dengan krisis emosi antara ‘trust versus ministrust’, tahapan 3 – 6 tahun, mereka dalam tahapan dengan krisis ‘autonomy versus shame and doubt’ (2 – 3 tahun), initiative versus guilt, (4 – 5 tahun) tahap usia 6 – 11 tahun mengalami krisis ‘industry versus inferiority.

2. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Prasekolah

Tumbuh berarti bertambah dalam ukuran. Tumbuh dapat berarti bahwa sel tubuh bertambah banyak atau sel tumbuh dalam ukuran. Mengukur pertumbuhan biasanya dilakukan dengan menimbang dan mengukur tubuh anak. Relatif, melaksanakan pengukuran ini relatif lebih mudah dibandingkan mengukur perkembangan sosial atau perkembangan kepribadian seseorang.

Pertumbuhan dipengaruhi oleh jumlah dan macam-macam makanan yang dikonsumsi tubuh. Hubungan antara makanan yang dikonsumsi tubuh dan

(38)

pertumbuhan badan menjadi perhatian para ahli gizi. Namun, kenyataannya pertumbuhan tubuh tidak hanya dipengaruhi oleh makanan yang dikonsumsi saja, tetapi juga proses sosial. Dengan perkataan lain, pertumbuhan tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah dan kualitas makanan saja, tetapi juga sejauh mana makanan tersebut dapat diasimilasi dan dipergunakan tubuh. Baik tidaknya makanan tersebut dapat diserap tubuh tergantung pula oleh taraf kesehatan anak. Pertumbuhan anak juga dipengaruhi oleh perkembangan sosial, psikologis dan, kualitas hubungan anak dengan pengasuh yang bebas dari stress.

Perkembangan anak tidak sama dengan pertumbuhannya. Keduanya (pertumbuhan dan perkembangan) memang benar saling berkaitan dan dalam penggunaan kedua pengertian tersebut sering kali dilakukan satu sama lain. Bila pertumbuhan menjelaskan perubahan dalam ukuran sedangkan perkembangan adalah perubahan dalam kompleksitas dan fungsinya.

Seorang anak sudah dapat melihat sejak lahir dengan menangis, ekspresi muka dan gerakan-gerakan. Apabila anak berinteraksi dengan lingkungan berarti sekaligus anak dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan. Dengan demikian, hubungan anak dengan lingkungan, bersifat timbal-balik, baik yang bersifat perkembangan psikologis maupun pertumbuhan dan perkembangan fisik. Perkembangan kognitif dan sosial dipengaruhi oleh pertumbuhan sel otak dan perkembangan hubungan antara sel otak dengan kondisi kesehatan dan gizi anak walaupun masih dalam kandungan ibu akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

(39)

Walaupun semua anak memiliki kebutuhan dasar tertentu, secara individual masing-masing anak memilih kebutuhan yang sifatnya pribadi. Juga dikatakan bahwa semua anak berkembang tetapi beberapa anak berkembang lebih cepat sedangkan yang lain lebih lambat.

3. Lingkungan Pendidikan Anak Usia Prasekolah

Ekologi adalah suatu studi tentang bagaimana orang-orang berinteraksi dengan lingkungannya dan bagaimana hasilnya atau konsekuensinya dari interaksi tersebut. Dengan berkembangnya lingkungan maka berkembang pula minat seseorang. Para pendidik yang bekerja untuk anak usia Play Group sebaiknya memperhatikan lingkungan anak. Anak pada usia tersebut mempunyai pengalaman bersama keluarga, lingkungan rumah, teman sebaya, orang dewasa lain, dan lingkungan sekolah. Lingkungan anak di rumah adalah lingkungan yang pertama. Dengan meningkatnya usia anak, dia akan mengenal teman sebaya di luar rumah atau dari lingkungan tetangga. Selanjutnya, akan masuk lingkungan sekolah, di mana mereka akan mengenal pola teman sebaya, orang dewasa lain, dan petugas-petugas sekolah.

Lingkungan anak Play Group terdiri dari atas lapis yang masing-masing mengandung lingkungan ekologi yang berorientasi pada :

a. Lingkungan fisik, yang terdiri dari objek, materi, dan ruang. Lingkungan fisik yang berbeda akan mempengaruhi anak. Misalnya, anak yang dibesarkan di dalam lingkungan dengan objek yang serba mewah, alat mainan yang bervariasi serta ruang gerak yang luas akan lebih memungkinkan berkembang

(40)

secara optimal bila dibanding dengan mereka yang serba kekurangan dan tinggal di rumah yang sempit.

b. Lingkungan yang bersifat aktivitas, terdiri dari kegiatan bermain, kegiatan sehari-hari, dan upacara yang bersifat keagamaan. Misalnya, anak yang aktivitas sehari-hari di isi dengan kegiatan yang bermakna, misalnya bermain bersama ibu, hasilnya akan lebih berkualitas dibanding dengan anak bila bermain sendiri.

c. Berbagai orang yang ada disekitar anak dapat dibedakan dalam usia, jenis kelamin, pekerjaan, status kesehatan, dan tingkat pendidikannya. Lingkungan anak akan lebih baik bila orang-orang di sekitarnya berpendidikan dibandingkan bila lingkungannya terdiri dari orang yang tidak pernah mengikuti pendidikan formal.

d. Sistem nilai, sikap, dan norma ekologi anak akan lebih baik apabila anak diasuh dalam lingkungan yang menanamkan disiplin yang konsisten dibandingkan bila mereka tinggal dalam lingkungan yang tidak menentu aturannya.

e. Komunikasi antar anak dan orang sekelilingnya akan menentukan perkembangan sosial dan emosi anak.

f. Hubungan yang hangat dan kebutuhannya terpenuhi oleh lingkungannya akan menghasilkan perkembangan kepribadian yang lebih mantap dibandingkan apabila hubungannya lebih banyak mendatangkan kecemasan.

(41)

Dulay sebagaimana dikutip Chaer (2003 : 257), menerangkan bahwa kualitas lingkungan bahasa sangat penting bagi seseorang pembelajar untuk dapat berhasil dalam mempelajari bahasa, yang dimaksud dengan lingkungan bahasa adalah segala hal yang didengar dan dilihat oleh pembelajar.

4. Kemampuan Berbahasa Anak Usia Prasekolah

Sebagaimana anak yang baru lahir (baby) mau tidak mau harus melalui proses belajar bahasa setahap demi setahap yang dipelajari dari orang sekelilingnya, yaitu ibu, bapak, saudara-saudaranya, maupun nenek-neneknya yang ada di dalam rumah/sekitarnya.

Berkaitan dengan itu, yang menarik perhatian kita adalah mengapa anak kita mudah menerima “kata-kata baru” bila mendengar dari orang sekelilingnya? Pada dasarnya anak kecil itu belum mempunyai konsep bahasa, tetapi yang ada padanya baru berbentuk “potensi” jika orang di sekelilingnya mau menggunakan potensi itu. Perbedaannya dengan orang dewasa atau remaja yang belajar bahasa ialah baik orang dewasa atau anak remaja itu sudah mempunyai pengalaman dan konsep bahasa lain, misalnya bahasa ibu atau bahasa nasional. Pada saat inilah mereka akan menghadapi problem untuk mempelajari bahasa pertamanya. Pada saat mempelajari bahasa pertama proses pembelajarannya berjalan tanpa sadar.

Menurut Clark (1995 : 237), pada usia antara dua sampai enam tahun anak cenderung menciptakan kata-kata baru untuk konsep-konsep tertentu. Usia antara dua setengah sampai empat setengah tahun merupakan masa pesatnya perkembangan kosa

(42)

kata itu. Malah menurut Clark, pada usia dua sampai enam tahun anak cenderung menciptakan kata-kata baru untuk konsep-konsep tertentu.

Kemampuan berbahasa diperoleh melalui kebiasaan maka latihan menghafal dan menirukan berulang-ulang harus diintensifkan.

2.8 Kemampuan Berbahasa

1. Pengertian Kemampuan Berbahasa

Secara bahasa kemampuan sama dengan kesanggupan atau kecakapan. Jadi, kemampuan adalah kesanggupan individu untuk melakukan pekerjaan yang dibebankan. Sedangkan kemampuan berbahasa adalah kemampuan individu untuk mendengarkan ujaran yang disampaikan oleh lawan bicara, berbicara dengan lawan bicara, membaca pesan-pesan yang disampaikan dalam bentuk tulis, dan menulis pesan-pesan yang disampaikan dalam bentuk tulis, dan menulis pesan-pesan baik secara lisan maupun tulisan.

2. Jenis-jenis Kemampuan Berbahasa a. Kemampuan mendengar

Kemampuan mendengar adalah kemampuan atau keterampilan menangkap dan memproduksi bahasa yang diperoleh dengan pendengaran. Dalam mendengarkan biasanya menggunakan direct method. Kaidah metode itu pelajaran awal diberikan dengan latihan-latihan mendengarkan atau hear training, kemudian diikuti dengan latihan-latihan mengucapkan bunyi lebih dahulu, setelah itu kata-kata pendek, dan akhirnya kalimat yang lebih panjang. Kalimat-kalimat tersebut kemudian

(43)

dirangkaikan menjadi percakapan dan cerita. Materi pelajaran ditulis dalam notasi fonetik bukan ejaan sebagaimana lazimnya gramatika diajarkan secara induktif, dengan pelajaran mangarang terdiri atas reproduksi, dari yang telah didengar dan bicara (Dahlan, 1992 : 112 - 113) .

Secara umum tujuan latihan menyimak/mendengar adalah agar anak-anak dapat memahami ajaran bahasa Indonesia yang baik dan benar, baik bahasa sehari-hari maupun bahasa yang digunakan dalam forum resmi (Effendy, 2005 : 109 – 110).

Dalam menyimak Effendy (2005 : 112), mengungkapkan beberapa tahapan latihan menyimak, yaitu sebagai berikut:

1. Latihan pengenalan (identifikasi)

Pada tahap ini, bertujuan agar dapat mengidentifikasi bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Dalam menyajikan pelajaran, bisa langsung oleh guru secara lisan maupun melalui rekaman.

2. Latihan mendengarkan dan menirukan

Dalam tahapan pemula, murid dilatih untuk mendengarkan dan menirukan ujaran guru. Oleh karena itu, harus dipilihkan bahan ajar yang pendek, mungkin berupa percakapan sehari-hari atau ungkapan-ungkapan sederhana yang tidak terlalu kompleks.

a. Latihan mendengarkan dan memahami

Pada tahap ini, mendengarkan bertujuan agar siswa mampu memahami bentuk dan makna dari apa yang telah didengar. Dalam hubungannya dengan latihan

(44)

mendengarkan untuk pemahaman ini, ada beberapa tehnik yang diperlu diperhatikan, yaitu :

1. latihan melihat dan mendengar. 2. latihan membaca dan mendengar. 3. latihan mendengar dan memperagakan. 4. latihan mendengar dan memahami. b. Kemampuan berbicara

Pelajaran bahasa pada umumnya ditujukan pada keterampilan berbicara atau keterampilan menggunakan bahasa lisan. Kemampuan berbicara adalah kemampuan berkomunikasi secara langsung dalam bentuk percakapan atau berdialog.

Latihan-latihan cakap (diskusi, dialog) serta latihan membuat laporan lisan, dapat juga menambah keterampilan berbicara. Persoalan yang tidak kurang pentingnya agar murid trampil berbicara, adalah latihan-latihan keberanian berbicara. Selain bergantung pada sikap guru, tugas-tugas mengadakan komunikasi dengan orang lain (selain guru kelas) dapat juga menimbulkan keberanian berbicara bagi murid-murid pemula, persoalannya keberanian (berbicara) perlu mendapat latihan-latihan seperlunya.

Kemahiran berbicara merupakan salah satu jenis kemampuan berbahasa yang ingin dicapai dalam pengajaran bahasa. Berbicara merupakan sarana utama untuk membina saling pengertian, komunikasi timbal-balik, dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

(45)

Kegiatan berbicara di dalam kelas bahasa mempunyai aspek komunikasi dua arah, yakni antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal balik. Dengan demikian, latihan berbicara harus terlebih dahulu didasari oleh :

1. Kemampuan mendengarkan. 2. Kemampuan mengucapkan.

3. Penguasaan (relatif) kosa kata yang diungkapkan yang memungkinkan siswa dapat mengkomunikasikan maksud/fisiknya.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa latihan berbicara itu merupakan kelanjutan dari latihan menyimak/mendengar yang di dalam kegiatannya juga terdapat latihan mengucapkan.

Kegiatan berbicara itu sebenarnya merupakan kegiatan yang menarik dan ‘ramai’ dalam kelas bahasa. Akan tetapi, sering terjadi sebaliknya, kegiatan berbicara sering tidak menarik, tidak merangsang partisipasi murid, suasana menjadi kaku dan akhirnya macet. Ini terjadi mungkin karena penguasaan kosa kata dan pola kalimat oleh murid masih sangat terbatas. Akan tetapi, kunci keberhasilan kegiatan tersebut sebenarnya ada pada guru. Apabila guru dapat secara tepat memilih topik pembicaraan sesuai dengan tingkat kemampuan murid dan memiliki kreativitas dalam mengembangkan model-model pengajaran berbicara yang banyak sekali variasinya, tentu kemacetan tidak akan terjadi. Faktor lain yang penting dalam menghidupkan kegiatan berbicara ialah keberanian murid dan perasaan tidak takut salah. Oleh karena itu, guru harus dapat memberikan dorongan kepada siswa agar berani berbicara

(46)

kendati pun dengan resiko salah. Kepada siswa hendaknya ditekankan bahwa takut salah adalah kesalahan yang paing besar.

Secara umum tujuan latihan berbicara untuk tingkat pemula dan menengah ialah agar murid dapat berkomunikasi lisan secara sederhana dalam bahasa pertama. Adapun tahapan-tahapan latihan berbicara adalah sebagai berikut :

Ada tahap-tahap permulaan, latihan berbicara dapat dikatakan serupa dengan latihan menyimak. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, dalam latiham menyimak ada tahap mendengarkan dan menirukan. Latihan mendengarkan dan menirukan itu merupakan gabungan antara latihan dasar untuk kemahiran menyimak dan kemahiran berbicara. Namun harus disadari bahwa tujuan akhir dari keduanya berbeda. Tujuan akhir latihan menyimak adalah kemampuan memahami apa yang disimak. Sedangkan tujuan akhir latihan pengucapan adalah kemampuan ekspresi, yaitu menggunakan ide/pikiran/pesan kepada orang lain. Keduanya merupakan syarat mutlak bagi sebuah komunikasi lisan yang efektif secara timbal-balik.

Berikut ini ada beberapa model latihan berbicara; yaitu 1. Latihan asosiasi dan identifikasi

Latihan ini terutama dimaksud untuk melatih spontanitas siswa dan kecepatannya dalam mengidentifikasi dan mengasosiasi makna ujaran yang didengarnya. Untuk latihan antara lain:

Guru menyebut satu kata, siswa menyebut kata lain yang ada hubungannya dengan kata tersebut.

(47)

2. Latihan percakapan

Latihan percakapan ini terutama mengambil topik tentang kehidupan sehari-hari atau kegiatan-kegiatan yang dekat dengan kehidupan siswa.

3. Bercerita

Berbicara mungkin salah satu hal yang menyenangkan tetapi, bagi yang mendapat tugas bercerita kadangkala merupakan siksaan karena tidak punya gambaran apa yang akan diceritakan. Oleh karena itu, guru hendaknya membantu siswa dalam menemukan topik cerita.

4. Diskusi

Hendaknya dalam pemilihan topik diskusi dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

a. disesuaikan dengan kemampuan siswa, b. disesuaikan dengan minat dan selera siswa, c. topik hendaknya bersifat umum dan popular, dan

d. dalam menentukan topik, sebaiknya siswa diajak serta untuk merangsang keterlibatan mereka dalam kegiatan berbicara.

c. Kemampuan Membaca

Kemampuan mengucapkan bahasa dengan melihat atau memperhatikan gambar dapat disebut kemampuan bercerita dengan membaca gambar. Kemampuan itu dapat juga disebut kemampuan menafsirkan atau mengucapkan “bahasa” yang tersirat dalam gambar. Sebelum siswa-siswa dapat membaca (mengucapkan huruf, bunyi, atau lambang bahasa) lebih dahulu siswa-siswa mengenal huruf. Kemampuan

(48)

pengenalan huruf dapat diperlakukan dengan cara melihat dan memperkirakan guru menulis.

Yang dimaksud dengan “dapat membaca” adalah dapat mengucapkan lambang-lambang bahasa dengan pelan latihan-latihan membaca menggunakan kartu-kartu kalimat yang dibawa pulang. Kemampuan membaca dalam arti mengerti atau memahami isi bacaan dapat dilakukan dengan latihan-latihan membaca seberapa kalimat yang sertai gambar (pengalaman siswa). ( Broto, 2003)

Dari segi linguistik, membaca adalah suatu proses penyandaian kembali dan pembacaan sandi, (Tarigan, 1979). Yang dimaksud dengan kemampuan membaca adalah dapat memahami fungsi dan makna yang dibaca, dengan jalan mengucapkan bahasa, mengenal bentuk, memahami isi yang dibaca.

Kemampuan berbicara mengandung dua aspek yaitu, mengubah lambang tulis menjadi bunyi dan menangkap arti dari seluruh situasi yang dilambangkan dengan lambang-lambang tulis dan bunyi tersebut. Inti dari kemampuan membaca terletak pada aspek yang kedua. Ini tidak berarti bahwa kemahiran dalam aspek pertama tidak penting sebab kemahiran dalam aspek yang pertama mendasari kemahiran yang kedua. Betapa pun juga keduanya merupakan tujuan yang hendak dicapai oleh pengajar bahasa. Walaupun kegiatan pengajaran membaca dalam pengertian pertama telah diberikan sejak tingkat-tingkat permulaan, tetapi pembinaannya harus dilakukan juga sampai tingkat menengah bahkan tingkat lanjut melalui kegiatan membaca keras.

Secara umum tujuan pengajaran membaca adalah agar murid dapat membaca dan memahami teks bahasa pertama (Effendy, 2003). Secara metedologi dikenal

(49)

dengan reading method. Ada pun langkah-langkah reading method, yaitu materi pelajaran dibagi menjadi seksi-seksi pendek, tiap seksi atau bagian ini didahului dengan daftar kata-kata yang maknanya akan diajarkan melalui konteks, terjemahan atau gambar-gambar setelah pada kemampuan tertentu murid menguasai kosa kata, diajarkan bacaan tambahan dalam bentuk cerita singkat dengan tujuan penguasaan murid terhadap kosa kata menjadi lebih mantap (Dahlan, 1992).

d. Kemampuan menulis

Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung atau tidak secara tatap muka dengan orang lain. Menurut Broto (2003 : 141), kemampuan berbahasa ialah trampil membuat huruf-huruf (besar maupun kecil) dengan jalan menyalin atau meniru tulisan-tulisan dalam struktur kalimat. Kemampuan menulis seperti ini bisa kita sebut kemampuan menulis teknis.

Kemampuan menulis yang lebih penting adalah kemampuan menulis berdasarkan pengertian komposisi atau kemampuan merangkai bahasa/mengarang. Seperti halnya membaca, kemahiran menulis mempunyai dua aspek, tetapi dalam hubungan yang berbeda. Pertama, kemahiran membentuk huruf dan menguasai ejaan. Kedua, kemahiran melahirkan pikiran dan perasaan dengan tulisan.

1. Kemahiran membentuk huruf

Dalam kenyataan, banyak orang yang dapat menulis dengan amat baik, tetapi tidak paham kalimat yang ditulisnya, apalagi melahirkan maksud dan fikirannya sendiri dengan bahasa.

(50)

2. Kemahiran mengungkapkan dengan tulisan

Aspek merupakan intisari dari kemahiran menulis. Latihan menulis ini pada prinsipnya diberikan secara latihan menyimak, berbicara dan membaca. Hal itu tidak berarti bahwa latihan menulis ini hanya diberikan setelah murid memiliki ketiga kemahiran tersebut di atas. Latihan menulis dapat diberikan pada jam yang sama dengan latihan kemahiran yang lain, sudah tentu dengan memperhatikan tahap-tahap latihan sesuai dengan tingkat kemampuan murid.

(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode dan Teknik Penelitian

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode

kualitatif merupakan metode yang mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda. Metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan informan (Moleong : 2002). Pendekatan yang dilakukan terhadap subjek, dalam penelitian ini adalah pendekatan psikolinguistik sebab yang akan diteliti adalah pemerolehan bahasa pertama anak. Ilmu psikolinguistik dalam pandangan terhadap pemerolehan bahasa si anak adalah berkaitan dengan kompetensi dan performansi bahasa ibunya.

Sementara itu, teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik wawancara berstruktur; dalam wawancara berstruktur itu semua pertanyaan telah dirumuskan semuanya dengan cermat, dengan cara menyuruh subjek penelitian ini (anak Play Group) bercerita tentang sesuatu dengan cara memberikan perlakuan atau memberikan topik cerita.

Pengumpulan data dilakukan secara Cross selama satu bulan. Cross Sectional (rancangan silang) dimaksudkan sebagai cara untuk mengetahui kemampuan berbahasa dengan menggunakan subjek penelitian dalam jumlah yang cukup banyak dan dalam waktu yang singkat.

(52)

Penelitian ini menggunakan rancangan silang, karena waktu yang ada tidak cukup untuk mengikuti perkembangan kemampuan berbahasa dalam waktu yang cukup panjang.

Penelitian juga dibantu dengan teknik : a. Observasi

Dilakukan untuk mengamati kemampuan berbahasa ana usia 3 – 4 tahun. b. Rekaman

Rekaman digunakan untuk mendapatkan data yang akurat melalui tuturan kanak-kanak ketika anak bercerita di depan kelas dengan anak yang lain atau dengan gurunya.

c. Bercerita

Bercerita dilakukan untuk mendengar dengan seksama semua ucapan yang muncul tepat dan benar. Sejalan dengan itu, dalam menganalisis data yakni data yang diperoleh dari dialog antara peneliti dengan anak usia prasekolah (3—4) tahun. Selanjutnya, hasil bercerita diidentifikasi struktur kemampuan berbahasa yang diucapkan setiap anak. Kemudian, dibandingkan dengan anak-anak yang lain.

Untuk hal ini diperlukan kriteria Chomsky (1969 : 64), jika dalam tuturan anak terdapat penggunaan kata yang berulang-ulang muncul, tetap dan benar, maka gejala itu dapat dijadikan bukti bagi kompetensi bahasa anak pada tiap tahap perkembangan bahasa mereka, dan Darjowijojo (2000 : 6) menyebut dengan komprehensibiltas artinya satu elemen yang diujarkan anak dianggap sebagai refleksi kompetensi, bila elemen yang dia pakai dalam produksi itu telah menunjukkan

(53)

adanya koherensi kata-kata tersebut. Kriteria yang dipakai di dalam komprehensibilitas ini adalah kata yang berulang-ulang. Jadi pada kesimpulan penelitian ini adalah apa yang menyebabkan terjadinya perulangan kata pada seseoarang.

Dipersiapkan tiga topik untuk bahan mereka bercerita, adapun topik tersebut adalah :

a. Kegiatan saya sehari-hari b. Hobi saya

c. Cita-cita saya

Untuk memperoleh kalimat – kalimat, anak dipancing dengan pertanyaan: a. Apa kegiatan kamu sehari-hari?

b. Apa hobi kamu?

c. Mengapa kamu suka itu? d. Apa cita-cita kamu?

e. Mengapa kamu mau jadi itu?

Untuk bercerita, peneliti memberitahu cara bercerita. Dalam upaya menyoroti hasil analisis, saya memanfaatkan pelbagai teori yang saat ini sedang berkembang agar eksplanasi teoritis yang saya temukan dalam data dapat diberikan. Tidak jarang pula terjadi ketidaksamaan antara teori yang sedang berkembang dengan fakta yang ada dalam penelitian ini.

(54)

3.2 Populasi dan Sampel

Data dalam penelitian ini akan diambil dari murid Play Group Tahun Ajaran 2008/2009, yang selanjutnya disebut subjek penelitian. Subjek penelitian ini berjumlah 10 orang yang berusia 3—4 tahun yang terdiri hanya satu kelas hal ini dilakukan peneliti atas dasar sampling kuota. Sampling kuota adalah metode memilih sampel yang mempunyai ciri – ciri tertentu dalam jumlah atau kuota yang diinginkan. Dalam hal ini peneliti memilih 10 pemercontoh yang terdapat dalam satu kelas (Nasution : 2003). 10 anak ini akan dijadikan subjek penelitian sebagai sumber datanya. Syaratnya anak – anak Play Group tersebut bercerita satu-persatu di depan kelas setelah diinstruksikan oleh si peneliti apa yang akan disampaikannya.

Bahasa Indonesia adalah bahasa pertama yang digunakan anak-anak untuk berkomunikasi dengan teman-temannya, guru-gurunya di dalam kelas. Sebagai sumber data dalam penelitian ini anak-anak yang berbeda usia tidak dipisahkan, mereka disamakan semua dalam bercerita untuk mendapatkan data yang akurat.

(55)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini akan mengungkap masalah tentang pemerolehan bahasa anak yang berusia 3—4 tahun yang berkaitan dengan pemerolehan fonologi, pemerolehan sintaksis dan pemerolehan semantik.

Adapun hasil perekaman dalam penelitian ini berasal dari 10 anak 3—4 tahun di Play Group Tunas Mekar Medan :

4.1 Analisis Pemerolehan Fonologi

Dalam analisis fonologi peneliti memaparkan transkripsi fonetis dan teks secara grafologi. Trnaskripsi dilakukan untuk memaparkan secara konkrit ujaran yang diungkapkan oleh si anak (subjek penelitian). Selanjutnya data secara grafalogi dituliskan untuk memperlihatkan secara fonemis (tertulis) ujaran yang diucapkan oleh si anak (subjek penelitian).

DATA I :

Transkrip Fonetis

[asalamualaikum] [warohmatullohi] [wabarkatuh]

[nama saya rara] [nama saya rara] [kəpanĵaŋanňa mawulida zahra] [dipaŋgil rara] [umur saya əmpat tahun] [saya tiŋgal di ĵalan luku satu gaŋ kucowa] [nama bapak saya sugiyarta] [nama bunda saya mardĭyah] [hobi saya bərənaŋ karəna bərənaŋ itu ənak] [t∫ita – t∫ita saya iŋin ĵadi doktər karəna mo ŋobati oraŋ sakit] [kəgiyatan saya sətiap hari itu mayin – mayin tidur sama sholat ŋaĵi] [ŋaji ĵam ənam] [saya tidur ĵam səmbilan malam] [rara sənaŋ nonton fĭlm dora karəna ənak]

bunyi ungkapan anak yang sebenarnya.

(56)

Nama saya Rara. Nama saya Rara. Kepanjangannya Maulida Zahra. Dipanggil Rara. Umur saya 4 tahun. Saya tinggal di jalan Luku I Gg kucoa. Nama bapak saya Sugiarta. Nama bunda saya Mardiah. Hobi saya berenang. Karena berenang itu enak. Cita – cita saya ingin jadi Dokter karena mau ngobati orang sakit. Kegiatan saya setiap hari itu main – main, tidur sama sholat, ngaji. Ngaji jam 6. saya tidur jam 9 malam. Rara senang nonton film Dora karena enak.

Secara bunyi bahasa data 1 dikatakan mampu. Hal ini dapat dilihat dari pelafalan bunyi konsonan yang disampaikan anak dalam cerita tersebut dan hanya ada dua kalimat yang tidak sesuai dengan bunyi bahasa yaitu :

1. Nama saya Rara. Nama saya Rara.

Anak melafalkan sebuah kalimat dengan mengulang kalimat yang sama dua kali, yaitu kalimat “nama saya Rara nama saya Rara”. Secara Psikologi hal ini terjadi disebabkan anak merasa takut ketika berada di depan teman – temannya dan guru – gurunya sehingga kalimat pertama ketika dia berbicara terlafalkan dua kali. Pada kasus seperti ini, para ahli Patologi bicara bahasa menyebutnya dengan proses fonologis Reduplikasi. Proses ini seharusnya hilang setelah usia 2,5 tahun.

2. Cita – cita saya ingin jadi dokter karena mo ngobati orang sakit. Seharusnya bunyi bahasa yang benar adalah “cita – cita saya ingin jadi dokter karena mau ngobati

orang sakit”.

Dalam hal ini anak mengganti sebuah bunyi yang disuarakan dengan bunyi yang tidak disuarakan (Penyuaraan berarti vibrasi pita suara yang cepat, yang terjadi

(57)

pada sebagian suara tetapi tidak terjadi pada sebagian suara yang lain, yaitu pada pelafalan kata ‘mau’ menjadi ‘mo’ merupakan pelesapan vokal [a] dan pengubahan vokal [u] menjadi [o]. Proses ini seharusnya hilang setelah usia 3 tahun. Hal ini juga terjadi dikarenakan pengaruh lingkungan rumah atau lingkungan sekolah si anak yang melafalkan mau menjadi mo oleh karena itu si anak menerapkan dalam otaknya pelafalan kata tersebut.

DATA 2 :

Transkrip Fonetis :

[asalamualaikum] [warohmatullohi] [wabarkatuh]

[nama saya aldo] [kəpanĵaŋanňa raynaldo saputra] [nama mama saya mama iĵah] [nama ayah saya adinda putra ĵaya] [nama adik saya raĵa arya pərmana] [təmpat tiŋgal ado ĵalan karya wisata] [t∫ita – t∫ita ado mo ĵadi doktər sama polisi] [ado mo ĵadi doktər mo ŋobati oraŋ sakit] [mo ĵadi polisi mo naŋkap oraŋ ĵahat] [hobi ado bərənaŋ sama meňaňi] [ado tĭyap hari nonton powəranĵərs spidərman Batman karəna məmbəla kəbənaran] [ado tidur sorə əh malam]

bunyi ungkapan yang sebenarnya

Assalamualaikum warohmatullahi wabarkatuh

Nama saya Aldo. Kepanjangannya Raynaldo Sahputra. Nama mama saya mama Izah. Nama ayah saya Adinda Putra Jaya. Nama adik saya Raja Arya Permana. Tempat tinggal Aldo jalan Karya Wisata. Cita – cita saya mau jadi Dokter sama Polisi. Aldo mau jadi Dokter mau ngobati orang sakit. Mau jadi Polisi mau nangkap orang jahat. Hobi saya berenang sama menyanyi. Aldo tiap hari nonton Powerrangers, Batman, Spiderman karena membela kebenaran. Aldo tidur sore eh malam.

Referensi

Dokumen terkait